Perubahan Iklim Bencana saat ini atau Masa Datang ? Profil Tokoh pada edisi ini menampilkan Ir. Rachmat Witoelar. Beliau saat ini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden tentang Perubahan Iklim (President‟s Special Envoy for Climate Change) dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yaitu Dewan yang diketuai langsung oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan melibatkan 17 kementerian dan 1 Badan yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Dewan Nasional ini disahkan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Juli 2008. Semangat dewan ini adalah mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang perubahan iklim yang ditetapkan pada November tahun 2007. Lebih jauh, DNPI bertugas merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan serta merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon. Ditemui di kantor DNPI, disela waktu beliau sebelum memimpin rapat koordinasi persiapan tim negosiasi Indonesia ke pertemuan di Bonn-Jerman. Berikut petikan wawancaranya. Apa saja kegiatan Bapak selepas menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup? Selepas menjadi Menteri Lingkungan Hidup, saya masih diberi tugas oleh Presiden (yang ditetapkan dengan dengan Perpres) menjadi Ketua Harian DNPI, dimana Ketua DNPI adalah Presiden. Saya sudah menjabat sebagai Ketua Harian DNPI dalam 2 tahun ini. Adapun fokus tugasnya terkait perubahan iklim. Itulah kegiatan saya sehari-hari saat ini yang mengharuskan saya untuk bekerja fulltime.Terkait tugas tersebut saya juga menjabat sebagai President‟s Special Envoy yaitu utusan khusus Presiden (mewakili Presiden) terkait urusan Perubahan Iklim. Beberapa negara juga memiliki President‟s Special Envoy terkait urusan tersebut. Menjadi President‟s Envoy urusan climate change itu adalah kapasitas saya sebagai pribadi, sementara sebagai ketua Harian DNPI itu kapasitas organisasi yang fasilitasnya sama dengan setingkat Menteri. Akan tetapi di luar negeri President‟s Envoy lebih di terima karena boleh bertemu dengan kepala negara. Tetapi kalau menteri hanya diterima oleh menterinya saja.
Latar belakang Bapak terlibat dalam Dewan Nasional Perubahan Iklim? Serta tupoksi Bapak sendiri menjabat sebagai Ketua Harian DNPI? Saya terlibat di DNPI, awalnya karena saya menjadi Presiden COP (Conference of Parties) -13 di Bali. Setelah selesai acara tersebut ada sesuatu yang sangat besar yang harus ditindaklanjuti, karena COP-13 dianggap yang paling berhasil, karena 4 buletin tata ruang | Mei - Juni 2011 dapat mengangkat Indonesia ke panggung dunia dan Bapak Presiden menghargainya. Sehingga setelah selesai COP Bali, beliau memutuskan pembentukan DNPI dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 46 tahun 2008, dan saya menjadi Ketua Hariannya. Adapun Tugas DNPI yang pertama adalah mengadakan koordinasi diantara kementerian-kementerian dan Badan, dengan jumlah anggotanya 17 kementerian (PU, Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan lain-lain) serta 1 badan yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika. Yang paling utama adalah mengadakan policy coordination yaitu merumuskan kebijakan nasional dengan mengambil bahan-bahan dari kementerian-kementerian yang relevan dan menyusun suatu kebijakan dan nantinya menjadi kebijakan nasional perubahan iklim. Kedua, mengadakan koordinasi pelaksanaan tugas dan ketiga adalah merumuskan kebijakan- kebijakan pengaturan dari sistemnya. Lebih spesifiknya ? Tugas yang lebih spesifik sebenarnya adalah mewakili Indonesia di luar negeri terkait negosiasi perubahan iklim, yang tidak bisa dilakukan lembaga lain. Internasional itu hanya mengenal satu national vocal point. Jadi kalau ada konferensi perubahan iklim di suatu negara, Ketua Harian DNPI menjadi ketua delegasi. Bukan berarti ini DNPI menjadi suatu superbody karena semua ilmu yang ada di dewan ini adalah diambil dari kementerian-kementerian yang menjadi anggotanya. Kelompok- kelompok kerja yang dibentuk dalam Dewan ini masing-masing ketuanya adalah dari kementerian-kementerian tersebut, misalnya Dirjen Penataan Ruang Kementerian PU adalah Ketua Kelompok Kerja Adaptasi, dan disini saya mengkoordinasikannya. Misi DNPI adalah semua kementerian/ lembaga turut melawan perubahan iklim (climate change), sehingga akan memperkuat posisi Indonesia memperjuangkan perubahan iklim. Adapun kelompok-kelompok kerja (Pokja) mengadakan rapat koordinasi minimal setiap bulan di dalam kelompok itu sendiri dan antar kelompok, dimana nantinya mengkerucut kepada suatu kesimpulan yang akan menjadi kebijakan nasional. Selain itu sebagai Ketua harian, saya juga bertugas untuk membuat keputusan dan saya validasi. Kalau menyangkut skala nasional, baru saya tanyakan kepada Presiden, karena tentunya Beliau tidak bisa mengatasi hal ini secara detail.
Apa yang menjadi visi dan misi Dewan Nasional Perubahan Iklim ( DNPI? ) Visi DNPI adalah memperjuangkan agar supaya keputusan-keputusan yang ditetapkan di Bali pada COP-13 diterima secara utuh dan dilaksanakan dalam forum internasional. Sedangkan misinya adalah semua kementerian/ lembaga turut melawan perubahan iklim (climate change), sehingga akan memperkuat posisi Indonesia memperjuangkan perubahan iklim. Kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh DNPI dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia?
Sebenarnya hal ini merupakan salah satu perjuangan kita untuk mengadakan penugasan khusus antar negara. Seharusnya negara maju yang utama bertanggungjawab yaitu n dengan mengeluarkan biaya dan menyediakan tenaga, dengan 2 (dua) alasan yaitu pertama negara maju itu penyebab utama dan yang kedua negara maju mempunyai kapasitas lebih. Sementara negara berkembang bisa juga melakukan tetapi tidak yang utama,. Sebagai contoh adalah Amerika selaku negara maju , dimana negara tersebut mempunyai anggaran 15 kali lebih besar daripada negara berkembang sehingga negara tersebut memiliki kapasitas dan tanggung jawab lebih untuk berbuat banyak hal. Amerika mesti mengeluarkan dana untuk menjaga atau melestarikan sarana-sarana yang akan terkena dampak perubahan iklim. Jadi ini yang diperjuangkan oleh DNPI di dalam forum-forum, sSebenarnya itu perjuangan bersama dengan negara-negara berkembang dan itu juga kaitannya dengan Bali Road Map yaitu bahwa negara-negara maju itu berkewajiban melakukan usaha-usaha yang utama dan memberikan fasilitasi kepada negara-negara berkembang. Cuma di sini ada perkembangan, hukumnya memang seperti itu tapi kita lihat, andaikata negara berkembang Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang 5 profil tokoh Kita mengupayakan apa yang bisa dilakukan, karena itu Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi sendiri secara sukarela hingga 26 %. itu tidak melakukan dengan cukup, sementara negara maju melakukan semaksimal mungkin atau istilahnya tancap
gasnya sekencang-kencang, perubahan iklim tetap saja mengancam. Jadi negara maju tidak bisa sendiri. Ini adalah sesuatu pemikiran nasional Indonesia yang sedikit kontroversial. Kenapa negara berkembang harus ikut terlibat untuk untuk mengatasi?. Karena begini, negara maju ada 47 negara, sisanya adalah 180 negara berkembang. Jadi kita sebagai salah satu negara berkembang harus ikut memikirkan kalau ingin selamat. Kita mengupayakan apa yang bisa kita lakukan, karena itu Indonesia menjanjikan/berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon secara sukarela hingga 26 %. Terkait dengan komitmen Presiden bahwa Indonesia akan menurunkan emisi karbon sebanyak 26% sampai tahun 2020, bagaimana upaya DNPI untuk membantu mengimplementasikan hal tersebut?
Menurut Presiden Obama, menurunkan emisi karbon sebanyak 26 % adalah suatu inisiatif yang “heroic”. Hal 6 buletin tata ruang | Mei - Juni 2011 ini dikarenakan kita selaku negara berkembang, punya hak untuk tidak melakukan apa-apa, karena masih banyak penduduk miskin. Akan tetapi kita tetap ingin berkomitmen untuk menurunkan emisi karbonnya. Kalau orang yang tidak mengerti melihat ini pasti mengatakan „kebangetan‟, karena di negara kita masih banyak orang miskin. Memang iya, tetapi orang miskin dan orang kaya juga akan mati juga kalau kita tidak melakukan apa- apa terhadap perubahan iklim, jadi mari kita lakukan bersama-sama. Apa yang bisa kita lakukan? Banyak yang bisa kita lakukan, pertama, di lingkungan sekitar kita, di kantor DNPI misalnya telah dilakukan penghematan listrik yaitu lampu hanya dinyalakan bila diperlukan. Jadi kantor-kantor itu harus ramah lingkungan. Kedua, mengurangi emisiemisi dari kendaraan dan rumah tangga. Bagaimana mengurangi emisi dari kendaraan? Idealnya adalah menggunakan kendaraan yang rendah emisi. Akan tetapi yang gampang kita lakukan adalah bersama-sama tetangga menggunakan mobil secara bergantian disaat pergi kekantor atau menggunakan transportasi umum Kereta Api atau Bus. Terkait penurunan emisi 26%, kementerian/lembaga banyak yang tidak keberatan, dimana pelaksanaannya disinkronkan oleh Bappenas, dan tentunya kementerian lainnya ikut dalam semangat itu. Posisi Indonesia sebagai penengah dari kepentingan-kepentingan dan kemampuan-kemampuan yang ekstrim. Kepentingan-kepentingan yang paling keras itu datang dari negara-negara yang sangat miskin (misal : Tuvalu, Maladewa, Fiji, dll), mereka adalah wakil dari negara yang kecil dan tidak mampu. Sementara yang ekstrim disisi lainnya adalah Amerika, Eropa, Jepang, Korea itu mampu, jadi kita berada kan ditengah-tengahnya dan harus bisa bertindak selaku penyeimbang. Menurut Bapak, apakah perlu penyesuaian sistem penataan ruang dalam bidang perubahan iklim? contohnya seperti apa? Perlu dicatat bahwa kita itu menjadi anggota dan pendukung Cartagena Dialogue (kelompok Negara-negara menengah). Dari segi kebijakan, di lingkungan kita sendiri yang dapat dilakukan adalah berhemat didalam penggunaan kendaraan pribadi dan dilakukan mulai dari lingkungan rumah tangga. Dari segi kenegaraan/daerah adalah
membereskan tata ruang kita. Tata ruangnya itu kalau tidak disiplin dan tidak benar pengaturannya akan menyebabkan polusi. Sebagai contoh di Kota Bandung dimana daerah Punclut Dago yang seharusnya menjadi daerah resapan air malah dijadikan daerah pemukiman, yang ditandai dengan maraknya pembangunan Villa didaerah tersebut. Demikian juga soal pengelolaan TPA yang tidak benar Dari seminar yang sering saya hadiri, dapat disimpulkan bahwa kota di negara kita itu polutif baik dari segi lahannya, sistem transportasinya dan kegiatan pemerintahannya, misal dalam masalah pengelolaan sampah. Kita jangan main-main dengan masalah sampah (dua tahun lalu saya kan menjadi Menteri yang mengurus masalah „sampah‟). Sampah itu apabila tidak diurus dengan baik akan dapat menjadi musibah (tertimbunnya pemukiman penduduk oleh longsoran sampah) akan tetapi bila dikelola dengan baik malah akan memberi berkah, yaitu dari sampah kita bisa menjual methan. Idealnya, tata ruang itu adalah tool untuk menertibkan „living space‟ supaya tidak polusi. Jadi kalau mengembangkan daerah tidak dengan tertib dan lalulintasnya kacau, maka akan terjadi polusi seperti yang terjadi sekarang di kota-kota besar di Indonesia . Adapun yang menghitung emisi adalah lembaga internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan menggunakan satelit, dan lain-lain. dan sebagainya. Tata ruang ini sangat penting untuk menentukan fungsifungsi kota. Masalah tata ruang yang agak krusial saat ini adalah alih fungsi lahan dan ini harus dimonitor dan diminimalkan oleh instansi-instansi yang berwenang. Tetapi yang perlu diperhatikan dan sangat saya harapkan, Ketua Kelompok Kerja Adaptasi untuk mengembangkan suatu konsep perkotaan yang baik. Walaupun kita tahu banyak yang sudah terlanjur sulit tertata tetapi masih banyak kota atau kota baru yang dapat ditata dengan baik. Lebih jauh, tata ruang untuk kota-kota satelit maupun pengembangan infrastruktur mesti disesuaikan dengan kebutuhan perubahan iklim.
Keterlibatan DNPI sendiri dalam mewujudkan komitmen tersebut seperti apa? Tadinya DNPI bukan terlibat di kegiatan operasional tetapi lebih ke kebijakan, tetapi kita membuat identifikasi, dan menyusun matriks bersama-sama dengan Bappenas yang operasional dan memberdayakannya ke kementerian- kementerian, terutama Kementerian Kehutanan, Pertanian dan Dalam Negeri. Jadi kan kita sudah tahu bahwa polusi yang terbesar yang diekspor Indonesia itu adalah karena kehutanan dan tanah. Jadi kita memfasilitasi riset- riset mengenai itu, memfasilitasi dana- dana dari luar negeri untuk masuk ke sana, memberikan pemberdayaan kepada bupati dan meminta KLH untuk mengawasi yang „nakal-nakal‟. Sampai- sampai didalam UU no.32/2009, kalau ada pelanggaran dan terbukti salah berarti dipenjara.
DNPI mengadakan kegiatan perdagangan karbon, bagaimana mekanismenya? Ini sebenarnya mengenai pengurangan emisi, dimana ada kewajiban negara- negara tertentu untuk menurunkan emisinya. Ada argumentasi yang menyatakan menurunkan emisi berarti akan memperoleh kerugian besar. Amerika contohnya, bila negara tersebut menurunkan emisinya akan menderita kerugian banyak. Amerika harus menurunkan emisinya maka dia harus menutup banyak pabrik, dan tentunya hal ini akan mendatangkan kerugian. Jadi ada fasilitasi karena dunia ini satu, penurunan emisi hitungannya satu dunia bukan satu negara. Karena kalau hanya satu negara yang menurunkan emisi maka sama saja dampaknya untuk dunia. Kalau Amerika tidak mau menutup pabrik untuk menurunkan emisinya, maka ada fasilitasi atau kompensasi atau insentif kepada negara berkembang untuk penghijauan/menanam pohon. Sehingga ada trade-nya, jadi kewajiban untuk menurunkan emisi diganti dengan menurunkan emisi di tempat lain tetapi ada kompensasi. Jadi kompensasi itu kalau ada nilai ekonominya dinamakan trade. Yang diambil itu emisi yaitu karbon maka disebut dengan istilah carbon trade. Yang dilakukan DNPI ....? DNPI mendaftarkan perusahaan- perusahaan dari negara yang menurunkan emisi itu untuk diberikan pengetahuan dan cara menghitung. Jadi di salah satu deputi DNPI, tugasnya adalah mengatur dan memfasilitasi agar semua industri di Indonesia bisa menurunkan emisinya. Bila ada kelebihan emisi dan itu mempunyai nilai, maka nilai itu akan dibayar oleh pihak-pihak yang kelebihan emisi tersebut. Adapun yang menghitung Mei - Juni 2011 | buletin tata ruang 7 profil tokoh emisi adalah lembaga internasional yang telah diakui, dan dilakukan secara intensif. Hal itu bisa di detailkan misalnya dengan menggunakan satelit, dan lain-lain. Sekarang ini carbon trade tersebut belum begitu sahih/formal, karena belum diikat oleh suatu kesepakatan (COP decision) baik kualitatif maupun kuantitatif. Hingga saat ini secara kuantitatif belum bisa ditetapkan, selalu mengalami kegagalan termasuk juga di pertemuan Frankfurt. Hal ini disebabkan karena begitu ditetapkan maka negara maju akan „kena‟. Jadi ekstrimnya, negara Amerika akan terus menunda penerapannya. Tetapi menyadari hal tersebut maka perlu ada volunteering market. Carbon trade ini dalam dimensi kecil dapat dilakukan, yaitu bila orang dapat mengurangi polusi maka harus diberi kompensasi. Harus ada pengurangan emisi di suatu daerah, hal ini dikaitkan dengan hutan, di PU ada sampah. Kalau suatu daerah sampahnya menggunung dengan emisi sekian, sampah itu ditutup dengan plastik kemudian dikumpulkan, diukur methan yang keluar dan dibakar, dihitung berapa, maka akan ada nilai ekonominya, contohnya di Bantar Gebang. Demikian juga ada literatur yang telah menghitung nilai methan dari peternakan sapi. Jadi yang mikro-mikro seperti ini ada banyak di Indonesia.
Contohnya dalam membangun jalan yang akan membangkitkan jumlah lalu lintas, menurut Bapak keterkaitannya dengan emisi karbon? Jalan raya yang disini adalah jalan tol, akan menghasilkan banyak sekali emisi. Menurut saya tarif tolnya harus disisihkan untuk biaya penghijauan, jadi akan lebih mahal tapi apa boleh buat. Misalkan tarif yang tadinya Rp 6.500 dinaikkan menjadi Rp 7.000, jadi yang Rp 500 akan disumbangkan untuk penghijauan. Jalan-jalan raya yang menghasilkan banyak polusi itu di offset dengan kegiatan yang lain. Ya ini 8 buletin tata ruang | Mei Juni 2011 The idea behind carbon trading is quite similar to the trading of securities or commodities in a marketplace. Carbon would be given an economic value, allowing people, companies or nations to trade it. The value of the carbon would be beased on the ability of the country owning the carbon to store it or to prevent it from being released into the atmosphere. contoh trade volunteer, dan ini sangat konkrit.
Isu lain terkait abrasi pantai yang merupakan dampak dari perubahan iklim, menurut pendapat Bapak apa upaya yang harus dilakukan? Secara kebijakan negara kita memang masih memperhatikan dan memperjuangkan perubahan iklim supaya dikontrol. Yang menjadi menjadi korban adalah pantai- pantai, sementara beberapa masih bisa dipagari oleh tanggul tapi itu sementara sekali. Yang strategis itu kita perlu serius berjuang untuk climate change dunia. Kenaikan air muka laut (sea level rise) itu dampak dari semua negara yang mengeluarkan emisi (tidak hanya negara yang terkena dampak saja). Jadi penangannya nsecara strategis tidak bisa oleh hanya satu negara saja. Jadi yag dilakukan adalah meminimalkan dampak dalam dalam hal ini adalah adaptasi, yaitu orang yang tinggal di pesisir dihimbau untuk pindah ke tempat yang aman dan diajarkan sesuatu yang baru. Seperti kita ketahui, terdapat 2 strategi dalam melawan Perubahan Iklim yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi yaitu hal- hal yang harus kita perjuangkan untuk dikurangi, dan kalau tidak bisa ya kita harus sesuaikan yaitu dengan Adaptasi. Jadi, perubahan iklim tidak dapat dipungkiri dan pasti akan terjadi. Semua pihak harus berkontribusi untuk menekan tingkat dan laju kejadiannya dan pada saat yang bersamaan beradaptasi dengan perubahan dan dampak yang terjadi. Akan tetapi yang harus diingat adalah upaya ini tidak boleh menghambat pembangunan.