I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Salah satu masalah dan tantangan besar pembangunan ekonomi di
Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang adalah disparitas hasil pembangunan, baik disparitas antar wilayah, antar golongan masyarakat maupun antar sektoral. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antar daerah/wilayah menjadi besar, wilayahwilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena eksploitasi sumber daya yang berlebihan. Ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum
berkembang
(less
developed
countries)
selalu
berusaha
untuk
meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi disparitas karena beberapa alasan, antara lain: (1) untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap, (2) untuk mengembangkan ekonomi secara cepat, (3) untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya, (4) untuk meningkatkan lapangan kerja, (5) untuk mengurangi beban sektor
2
pertanian, (6) untuk mendorong desentralisasi, (7) untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif, dan (8) untuk meningkatkan ketahanan nasional (Bappenas, 2006). Untuk itu dibutuhkan kebijakan program yang mampu mengatasi permasalahan disparitas antar wilayah atau kawasan, dan perencanaan yang mampu mewujudkan pembangunan wilayah atau kawasan yang berimbang. Di Indonesia, dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah, ketimpangan pertumbuhan tidak hanya terjadi antar Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), tetapi juga antar provinsi, dan antar wilayah pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan data BPS (2005 dan 2009a) dalam selang waktu tahun 2003-2008, rata-rata tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di KBI sekitar 5.24 persen per tahun dan cenderung meningkat, sedangkan rata-rata tingkat pertumbuhan PDB di KTI hanya 3.85 persen per tahun serta berfluktuasi.
Perbedaan tingkat
pertumbuhan
ini semakin
memperparah
ketimpangan nilai PDB antar kedua kawasan tersebut. Pada tahun 2003, sekitar 82.82 persen dari total PDB nasional terkonsentrasi di wilayah KBI dan sisanya 17.18 persen tersebar di provinsi-provinsi wilayah KTI, pada tahun 2008 konsentrasi PDB di KBI meningkat menjadi 83.55 persen. Perbedaan tingkat pertumbuhan antara kawasan KBI dan KTI juga menyebabkan tingkat pendapatan perkapita di hampir semua provinsi di KTI lebih rendah dibandingkan di provinsiprovinsi di KBI. Ketimpangan antar wilayah provinsi dapat dilihat dari penguasaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh provinsi dan laju pertumbuhan PDRB antar provinsi. Pada kurun waktu 2003-2008, Provinsi di Jawa dan Bali menguasai
3
rata-rata sekitar 60.57 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai rata-rata sekitar 22.44 persen, provinsi di Kalimantan menguasai ratarata 9.40 persen, Sulawesi menguasai 4.11 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3.48 persen. Selain itu, dalam periode 2003-2008, ratarata laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali sebesar 5.60 persen per tahun, provinsi di Sumatra sebesar 4.25 persen per tahun, provinsi di Kalimantan 3.31 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 6.21 persen per tahun, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 2.47 persen per tahun (BPS, 2005 dan 2009a). Ketimpangan pendapatan yang sering mendapat perhatian besar adalah ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan. pedesaan dan
perkotaan dapat
dilihat
Ketimpangan antar wilayah
dari sebaran
miskin.Ketimpangan tersebut masih cukup besar.
jumlah penduduk
Data BPS (2009b)
menunjukkan bahwa dalam tahun 2001-2008, rata-rata jumlah penduduk miskin per tahun di perdesaan hampir dua kali lipat dari jumlah penduduk miskin di perkotaan, yakni sekitar 24.70 juta jiwa untuk di daerah perdesaan dan sekitar 12.43 juta jiwa di daerah perkotaan. Kondisi disparitas perekonomian regional demikian pada akhirnya menyebabkan lemahnya kondisi perekonomian nasional secara makro. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun terakhir (tahun 2003-2008) sebesar 5.47 persen per tahun, lebih rendah dari target pertumbuhan yang diinginkan pemerintah sebesar 6.5 persen, sementara tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin masih tetap tinggi. Meskipun dalam kurun waktu 2003-2008
4
tingkat pengangguran mengalami penurunan dari 9.7 persen pada tahun 2003 menjadi 8.46 pesen pada awal tahun 2008, akan tetapi jumlah nominal penduduk menganggur masih cukup besar yakni hampir 10 juta jiwa di tahun 2008. Secara nominal, jumlah penduduk miskin masih tetap besar yakni sekitar 34.96 juta pada tahun 2008, tidak banyak berubah dari kondisi sebelumnya yang sebesar 37.3 juta pada tahun 2003 (BPS, 2007a dan 2009b). Masalah disparitas ekonomi antar wilayah tidak lepas dari masalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi.
Kim (2007) mengemukakan
bahwa faktor pendorong peningkatan atau penurunan disparitas ekonomi antar wilayah adalah kebijakan pemerintah yang dapat berupa industrial policies; migration policies dan public infrastructure.
Dari sisi industrial policies,
kebijakan pemerintah dalam mendorong perekonomian tergantung desain rencana pembangunan dimana secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di berbagai negara umumnya diawali dengan penguatan sektor pertanian melalui modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas. Kebijakan pembangunan ekonomi di masa Orde Baru, dimana secara umum pada awal masa pembangunan ekonomi di era Orde Baru, secara formal grand strategi pembangunan ekonomi menempatkan sektor pertanian sebagai sektor prioritas dalam upaya mewujudkan visi pembangunan ekonomi yakni terwujudnya landasan memasuki era tinggal landas (take off). Semua tahapan pembangunan ekonomi dititiberatkan pada sektor pertanian dan industri yang artinya bahwa strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I didasarkan pada pendekatan industrialisasi bertahap dan berimbang dengan dukungan sektor
5
pertanian. Strategi pembangunan demikian dipelopori oleh Rostow (1960) yang secara spesifik mengemukakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan pra kondisi tinggal landas (Rostow dalam Simatupang dan Syafa’at, 2000) . Namun demikian, dalam perjalannya terjadi senjang strategi formal dan kebijakan operasional karena masalah di tataran pasar politik ekonomi. Pembangunan strategi industrialisasi berbasis pertanian hanya retorika belaka. Pentahapan tinggal landas tidak mengikuti pandangan Rostow atau menurut Tambunan dan Priyanto (2005), pola transformasi yang terjadi tidak mengikuti struktur klasik yakni Agriculture-Industry-Service (AIS) ke IAS dan selanjutnya menjadi ISA dan SIA.
Sebaliknya, Indonesia membentuk pola sendiri yang
diawali dengan ASI hingga menjelang tahun 1980, untuk selanjutnya langsung mengambil jalan pintas ke SIA hingga 1995. Pelaksanaan strategi PJP I atau strategi industrialisasi di era Orde Baru terlalu mengandalkan peranan industri besar modern yang sangat bias ke arah teknologi padat modal, sementara persoalan riil yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia adalah labor surplus phenomenon. Dengan kebijakan ini, proses pembangunan ekonomi terpusatkan di sektor-sektor tertentu (infrastruktur, industri dan perbankan) dan di wilayah tertentu yakni Jawa khususnya Jakarta dan sekitarnya sehingga pembangunan bias perkotaan dan industri padat modal dengan harapan hasil pembangunan ini akan menetes atau terjadi trickle down effect ke sektor-sektor dan ke wilayah lainnya di Indonesia.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan ini lebih berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan diasumsikan akan dengan sendirinya terjadi melalui trickle down effect.
6
Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pada pembangunan era Orde Baru, trickle down effect dari hasil pembangunan relatif kecil, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali, atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat (Tambunan, 2006). Pada masa Orde Baru (1970-1997) memang tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dimana sampai sebelum masa krisis, pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun; akan tetapi secara umum tingkat kesenjangan ekonomi baik distribusi pendapatan antar golongan maupun antar wilayah mengalami peningkatan yang tajam seperti yang terlihat pada Gambar 1.1. Strategi industrialisasi yang bias industri besar serta padat modal dan tidak ramah terhadap sektor pertanian mempercepat laju penurunan sektor pertanian dalam komposisi PDB (Tambunan, 1998; Daryanto, 1999; Simatupang dan Sjafa’at, 2000). Secara bertahap peran sektor pertanian dalam pembentukan PDB terus mengalami penurunan dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi 14.40 persen pada tahun 2008. Penurunan peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sebetulnya merupakan suatu fenomena yang alamiah, namun khusus untuk kasus Indonesia, penurunan peran sektor pertanian tersebut menyimpan dan menyisakan sejumlah masalah diantaranya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah. Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), kondisi tersebut karena transformasi struktural yang tidak berjalan secara bertahap menyebabkan: (1) dari sisi serapan tenaga kerja, perubahan struktur praktis tidak terjadi mengingat struktur total tenaga kerja menurut sektor masih tetap membentuk pola ASI, (2) terjadi ketimpangan produktivitas tenaga kerja sektoral yang cukup tajam, dan
7
(3) sektor pertanian menderita underinvestment mengingat tingkat produktivitas pertanian secara keseluruhan belumlah terlalu tinggi bertalian dengan rendahnya investasi di sektor ini.
Alokasi kredit perbankan misalnya, berdasarkan data
histrorik menunjukkan bahwa sektor pertanian memperoleh curahan kredit perbankan yang relatif kecil dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Konjektur di sini adalah kebijakan moneter yang ada juga bias ke arah industri yang selanjutnya membuat posisi sektor pertanian menjadi inferior. Pembangunan yang dilaksanakan Orde Baru terbukti gagal baik dalam menciptakan pemerataan pembangunan maupun dalam menciptakan struktur ekonomi yang berimbang dan tangguh secara berkelanjutan. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku.
Sementara, pada saat krisis tersebut satu-satunya sektor yang tumbuh
positif adalah sektor pertanian dan ketika sektor pertanian tumbuh, tingkat ketimpangan baik antar golongan pendapatan maupun antar wilayah mengalami penurunan.
Berdasarkan koefisien gini, tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan menurun dari sekitar 0.4 lebih di tahun 1990-an menjadi 0.32 pada tahun 1998. Sementara tingkat ketimpangan antar wilayah menunjukkan sedikit penurunan dari 0.671 pada tahun 1997 menjadi 0.605 pada tahun 1998 (Sjafrizal, 2000). Begitu pula dengan hasil studi Akita dan Alisjahbana (2002), tingkat ketimpangan antar wilayah di tahun 1998 mengalami penurunan, kembali ke tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1995. Penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat
8
tajam. Sedangkan provinsi-provinsi yang kurang maju yang pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. Fenomena tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dan ketimpangan antar wilayah di saat krisis ini secara implisit menunjukkan pentingnya peran sektor pertanian dalam upaya meningkatkan pemerataan hasil pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah. Dengan demikian, pasca Orde Baru atau mulai era reformasi hingga kabinet Indonesia Bersatu dewasa ini, Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi.
Fakta empiris
menunjukkan bahwa di sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian. Meskipun secara nasional, sektor pertanian tidak lagi menjadi kontributor utama PDB dan kontribusinya cenderung menurun, namun sektor tersebut baik secara nasional maupun regional tetap merupakan sektor penting. Daryanto (1999), mengemukakan bahwa pentingnya mengembangkan sektor pertanian di negara-negara berkembang, sejalan dengan paradigma pembangunan pertanian dan perekonomian dewasa ini. Teori penurunan peranan relatif sektor pertanian, yang mendominasi pemikiran pembangunan ekonomi pada tahun 1950-an dan 1960-an, sering diartikan untuk memberikan prioritas kepada sektor industri dan mengabaikan pembangunan di sektor pertanian. Dalam hal ini, sektor pertanian dianggap sebagai suatu sektor yang statis dan mempunyai peranan yang negatif dalam pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, sejak tahun
9
1980-an terdapat perubahan pemikiran yang signifikan dalam kebijakan publik yang memandang sektor pertanian lebih positif dan sektor ini diyakini dapat berperan sebagai sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi. Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya karena kemampuan sektor pertanian dalam menghadapi gejolak ekonomi, tetapi juga karena peran penting lainnya. Sebagian besar provinsi (60 persen) sumber PDRB utamanya adalah sektor pertanian dan sebagian besar dari provinsi tersebut berada di luar Jawa dan Sumatera. Pentingnya sektor pertanian, baik secara nasional maupun regional juga dapat dilihat dari kontribusinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja.
Dalam delapan tahun terakhir (1999-2008), secara
nasional, sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan kerja terbesar, ratarata kontribusinya lebih dari 40 persen. Disamping itu, kemiskinan lebih banyak di pedesaan dan pertanian atau di provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian.
Dengan demikian, rata-rata tingkat pendapatan perkapita di
provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian lebih kecil daripada di provinsi lainnya. Rata-rata pendapatan perkapita di provinsi tersebut dalam delapan tahun terakhir (2000-2008) hanya sekitar 4.8 juta rupiah, jauh lebih kecil dari rata-rata pendapatan perkapita di provinsi lainnya yang mencapai sekitar 11.2 juta rupiah (BPS, 2005 dan 2009a). Disamping itu di masa yang akan datang sektor pertanian akan semakin penting terkait perannya dalam menyediakan food, feed dan fuel. Strategi pembangunan
pembangunan sektor
pertanian
atau
industrialisasi
adalah
yang
Agricultural
mengedepankan
Development
Led-
Industrialisation (ADLI). Ide dasar strategi ADLI dikemukakan oleh Adelman (1984) yang juga meyakini bahwa sektor pertanian dapat menjadi leading sector
10
yang mempromosikan pertumbuhan dan industrialisasi. Sementara menurut Kuznets (1964), Mellor (1966), Ghatak dan Ingersent (1984), Adelman (1984) dan Norton (2004) di negara berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian dapat menjadi leading sector. Strategi ADLI menggarisbawahi peranan peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam meningkatkan pendapatan pedesaan.
Produksi pertanian yang meningkat
menciptakan pasar pasar bagi barang-barang industri karena keterkaitan permintaan antara dan perminataan akhir yang kuat. Karena permintaan untuk barang-barang industri meningkat, transfer sumberdaya dari sektor pertanian mulai muncul, kemudian diikuti dengan pertumbuhan di sektor non pertanian. Beberapa
hasil
studi
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
prioritas
pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu memecahkan masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi (Datt dan Ravallion,1998; Fan et al., 1999; Sipayung, 2000; Mellor, 2001; Anderson, 2002; Fan et al., 2002; Thirtle et al., 2003; Lopez dan Anriquez, 2004; Lofgren dan Robinson, 2004; Yudhoyono, 2004; Astuti, 2005; de Ferranti et al., 2005). Disamping itu, beberapa studi (Takeda dan Nakata, 1998; Bautista dan Thomas, 2000; Jiang, 2003; Pardede, 2004; Byerlee et al., 2005; Oktaviani et al. 2007a; AlHasan dan Diao, 2007; Lipton dan Zhang, 2007; dan Liu et al., 2008) menunjukkan
bahwa pembangunan/investasi
di sektor
pertanian,
sektor
basis/kunci atau leading sector berpotensi mengurangi ketimpangan antar wilayah atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah. Menurut Murty (2000), untuk dapat membangun keterkaitan antar wilayah dan mengurangi kesenjangan antar wilayah, maka dapat dilakukan dengan menerapakan strategi: (1) mendorong pemerataan investasi, (2) mendorong
11
pemerataan permintaan (demand), dan (3) mendorong pemerataan tabungan. Menurut backwardness theories (modernization theories), kurang berkembangnya suatu wilayah (underdevelopment) adalah karena rendahnya tingkat investasi. Tingkat investasi yang rendah akan menghasilkan tingkat output dan pendapatan yang rendah. Investasi adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan pembangunan ekonomi karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi baik nasional, regional dan sektoral. Dalam model ekonomi makro Keynes, peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi atau produktivitas. Kedua peran tersebut menyebabkan investasi mempunyai efek pengganda yang besar dalam perekonomian suatu negara atau daerah. Model Harrold-Domar menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, investasi akan meningkatkan penawaran melalui peningkatan stok kapital yang pada gilirannya akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output atau melakukan kegiatan-kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut akan meningkatkan juga penyerapan tenaga kerja. Proses ini pada akhirnya akan memicu meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Untuk Indonesia, kegiatan investasi merupakan upaya mendasar yang harus dipacu untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan jumlah penduduk yang besar yaitu 228.5 juta pada tahun 2008 (BPS, 2009b). Jumlah tersebut adalah keempat terbesar di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang besar jika dibarengi dengan peningkatan pendapatan per kapita merupakan pasar potensial bagi produk industri. Hal ini sekaligus merupakan daya tarik investor, baik dalam
12
negeri maupun asing. Disamping itu, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini lebih ditopang oleh kegiatan konsumsi masyarakat daripada investasi. Selama kurun waktu 2000-2007, dari total PDB, rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 65.13 persen; sedangkan untuk kegiatan pembentukan modal tetap sektor swasta hanya memberikan kontribusi rata-rata sebesar 24.16 persen; dan rata-rata konsumsi pemerintah sebesar 8.40 persen (BPS, 2006a dan 2009b). Dalam kondisi sumber pembiayaan pembangunan yang terbatas, maka pemihakan kebijakan pembangunan ekonomi terhadap sektor tertentu diharapkan tidak hanya memecahkan masalah pembangunan ekonomi sektoral, tetapi juga masalah perekomian makro dan wilayah. Kebijakan alokasi investasi sektoral mempunyai implikasi penting terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi regional karena perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas wilayah. Suatu wilayah perencanaan sektoral biasanya melebihi batas wilayah administratif karena lebih mengacu pada suatu konsep wilayah homogen. Dalam suatu perekonomian yang terbuka, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah tidak hanya tergantung pada pertumbuhan dari sektor-sektor perekonomiannya itu sendiri, akan tetapi juga tergantung pada keterkaitan antar wilayah dimana keterkaitan antar wilayah terjadi melalui keterkaitan antar sektor apakah dalam suatu sistem agribisnis ataupun dalam suatu sistem keterkaitan ekonomi antara industri hulu dan hilir, serta sebagai implikasi dari kebijakan investasi sektoral.
1.2.
Perumusan Masalah Bagi Indonesia, investasi tidak hanya penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi
nasional, akan tetapi juga dibutuhkan dalam upaya
13
memperkecil disparitas ekonomi baik disparitas wilayah maupun disparitas antar golongan masyarakat dimana dalam sepuluh tahun terakhir tingkat disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia yang diukur oleh Coefficient of Variation Williamson (CVw) indeks cenderung meningkat dan bertahan pada tingkat yang relatif tinggi (Gambar 1). Pada tahun 1994-1998 nilai indeks CVw sekitar 0.6 dan sejak tahun 1999 menjadi sekitar 0.8 hingga tahun 2008. mobilisasi
dana
pembangunan
atau
investasi,
Dengan demikian,
tidak
hanya
penting
mempertimbangkan dari sisi kuantitasnya juga penting dari sisi alokasinya baik secara sektoral maupun spatial.
Gambar 1. Disparitas Pendapatan Antar Wilayah Provinsi di Indonesia, Tahun 1971-2008 Sumber: Sjafrizal, 2000 dan 2008; BPS, 2005 dan 2009a (diolah). Ketimpangan tersebut diduga terkait erat dengan masalah alokasi investasi yang masih bias ke sektor industri dan bias ke wilayah Jawa.
Kebijakan
14
pembangunan pasca Orde Baru yang kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan pembangunan ekonomi tidak disertai dukungan investasi yang memadai. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (dimulai tahun 2000) yang ditujukan selain untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk meredam masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah, belum juga memberikan hasil yang memuaskan. Salah satunya karena alokasi anggaran pembangunan belum mempertimbangkan sektor unggulan dimana alokasi investasi sektoral selama ini tanpa didasari alasan yang jelas. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa dengan adanya desentralisasi fiskal meningkatkan secara nyata kinerja fiskal daerah yang artinya meningkatkan dana pembangunan/investasi pemerintah daerah (Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002; Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005). Peningkatan kinerja fiskal, di satu pihak, meningkatkan kinerja perekonomian daerah walaupun sebagian besar tidak secara signifikan (Wuryanto,1996; Sartiyah, 2001; Yuliati, 2002; Riyanto, 2003; Pakasi, 2005; Sumedi, 2005) dan dipihak lain memperbesar disparitas wilayah (Riyanto, 2003; Islam, 2003; Dartanto dan Brodjonegoro, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005; Waluyo, 2007; Fadjar dan Sembiring, 2008). Hal ini disebabkan, sebagian besar APBD dialokasikan untuk anggaran rutin dan tidak ke anggaran pembangunan (Riyanto, 2003; Pardede, 2004; Sumedi, 2005), dan juga dalam alokasi anggaran pembangunan belum mempertimbangkan sektor unggulan (Pardede, 2004). Hasil simulasi menunjukan bahwa realokasi anggaran yang lebih besar ke anggaran pembangunan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun kecil sekali dampaknya bahkan ada yang justru memperbesar disparitas wilayah. Salah satunya karena belum mempertimbangkan sektor unggulan. Dalam tujuh tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia (2001-2007), memang nilai investasi baik Penanaman Modal Dalam Negeri
15
(PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 37.69 persen per tahun untuk PMDN dan 21.07 persen per tahun untuk PMA. Namun secara sektoral, dalam kurun waktu tersebut kegiatan investasi masih bias ke sektor industri. Sektor tersebut rata-rata menyerap 66.63 persen dari total PMDN dan 50.04 persen dari total PMA. Meskipun persentase PMA untuk sektor industri lebih kecil daripada PMDN, namun alokasi PMA untuk sektor pertanian jauh lebih kecil daripada PMDN, padahal nilai PMA jauh lebih besar daripada PMDN. Kecenderungan yang sama terjadi untuk kegiatan investasi oleh pemerintah. Kecenderungan investasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Memang secara nasional struktur perekonomian Indonesia telah bergeser dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian ke perekonomian yang didominasi oleh sektor industri, seperti yang tampak pada Tabel 2. Dalam kurun waktu tahun 2001-2008, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap nilai total PDB nasional selalu berada pada posisi paling atas dengan nilai persentase yang relatif besar. Namun demikian, secara regional seperti yang terlihat pada Tabel 32, pada tahun 2008 wilayah provinsi yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor tersebut hanya empat atau hanya sekitar 12 persen dari 33 provinsi yang ada di Indonesia dan provinsi-provinsi tersebut terpusat di pulau Jawa serta termasuk kedalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan sedang menurut hasil studi Bappenas tahun 2003. Sebagian besar provinsi (64 persen), struktur Tabel 1. Realisasi Investasi di Indonesia Menurut Sektor, Tahun 2001-2007 Sektor
2001
2002
2003
Tahun 2004
2005
2006
2007
16
A.PMDN (Milyar Rupiah) 1. Sektor Pertanian 1 121.7
537.7
593.8
527.0
4 177.2
3 578.7
3 441.3
(11.34)
(4.30)
(4.99)
(3.45)
(13.62)
(17.21)
(10.47)
2. Sektor Non Pertanian a. Sektor Industri
b. Sektor Lainnya
Total
5 760.6 9 968.9
6 229.4 10 517.9 20 931.1 13 152.2 24 846.9
(58.24)
(79.75)
(52.39)
(68.90)
(68.26)
(63.27)
(75.58)
3 008.5 1 993.4
5 066.8
4 219.8
5 556.7
4 057.5
4 587.5
(30.42)
(42.61)
(27.64)
(18.12)
(19.52)
(13.95)
(15.95)
9 890.8 12 500.0 11 890.0 15 264.7 30 665.0 20 788.4 32 875.7 (100)
(100)
(100)
(100)
(100)
(100)
(100)
79.4
18.1
221.3
186.5
348.9
434.5
201.5
(2.26)
(0.59)
(4.06)
(4.05)
(3.91)
(7.27)
(2.36)
2 198.5 1 552.2
1 880.4
2 803.3
3 502.1
3 604.5
3 622.9
(62.65)
(50.23)
(34.50)
(60.93)
(39.28)
(60.31)
(42.40)
1 231.5 1 519.8
3 348.7
1 611.3
5 063.6
1 938.0
4 720.0
(35.09)
(49.18)
(61.44)
(35.02)
(56.80)
(32.42)
(55.24)
3 509.4 3 090.1
5 450.4
4 601.1
8 914.6
5 977.0
8 544.4
(100)
(100)
(100)
(100)
(100)
B. PMA (Juta Dollar) 1. Sektor Pertanian
2. Sektor Non Pertanian a. Sektor Industri
b. Sektor Lainnya
Total
(100)
(100)
Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase
perekonomiannya masih didominasi oleh sektor pertanian, dan sebagian besar dari provinsi tersebut termasuk dalam kelompok provinsi dengan tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah. Sekitar 12 persen provinsi lainnya, perekonomiannya didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, kelompok ini termasuk dalam tingkat pendapatan per kapita yang relatif tinggi.
Provinsi lainnya,
perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa. Dengan demikian, alokasi investasi yang bias ke sektor industri juga menyebabkan alokasi investasi yang bias ke wilayah Jawa atau KBI yang pada Tabel 2. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2000-2008 (%) No Lapangan Usaha
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
17
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
15.60
15.64
15.46
15.39
14.99
14.54
14.20
13.83
13.66
12.06
11.66
11.28
10.66
9.66
9.30
9.10
8.73
8.28
27.75
27.60
27.85
27.97
28.36
28.10
27.83
27.40
26.79
0.60
0.63
0.66
0.66
0.66
0.66
5.51
5.55
5.61
5.70
5.81
5.91
0.66 6.08
0.69 6.21
0.72 6.28
16.15
16.24
16.16
16.23
16.36
16.83
16.92
17.26
17.45
4.68
4.87
5.06
5.38
5.85
6.26
6.77
7.28
7.98
8.31
8.53
8.69
8.87
9.13
9.26
9.21
9.35
9.55
9.34
9.28
9.23
9.14
9.18
9.14
9.24
9.27
9.30
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: BPS, 2006b dan 2009b.
akhirnya ketimpangan ekonomi antar wilayah bertahan pada tingkat yang tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 1. Lebih dari sepuluh tahun terakhir (19972008), tingkat ketimpangan wilayah antar provinsi yang diukur dengan Coefficient of Variation Williamson (CVw) masih tetap pada kisaran angka 0.8. Dalam kurun waktu 2001-2007 dari total investasi PMDN, rata-rata alokasi investasi tersebut per tahun ke wilayah Jawa adalah sekitar 62.56 persen; sementara rata-rata alokasi investasi PMA ke wilayah Jawa dari total investasi tersebut adalah sekitar 79.10 persen, seperti yang terlihat pada Tabel 3. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa alokasi investasi sektoral mempunyai peran dalam menentukan besar kecilnya tingkat disparitas perekonomian wilayah. Perencanaan pembangunan sektoral bersifat lintas wilayah. Dalam hal ini, untuk dapat memperkecil disparitas wilayah maka investasi perlu diprioritaskan kepada sektor-sektor yang menjadi sumber pertumbuhan di wilayah yang kurang berkembang dan kepada sektor yang mempunyai keterkaitan yang kuat dalam menggerakan perekonomian di wilayah tersebut.
18
Tabel 3. Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007 (Milyar Rupiah) No. 1 2 3 4 5 6 7
Lokasi Sumatera Jawa Bali & NTT Kalimantan Sulawesi
2001
2003
3 029.4
199.1
1 228.3
(30.6)
(1.6)
(10.3)
5 070.1 10 878.1
9917.0
2004
2005
1 286.7 13 501.7 (8.4)
(44.0)
2006
2007
4 644.3 10 362.0 (22.3)
(31.5)
7 886.3 14 796.6 13 030.8 17 577.1 (62.7) (53.5) (51.7) (48.3)
(51.3)
(87.0)
(83.4)
311.4
46.3
49.1
240.4
66.1
(3.1)
(0.4)
(0.4)
(1.6)
(0.2)
(0.5)
(0.0) 1 039.8
104.9
15.2
902.0
1 330.4
418.8
5 141.8
1 747.6
2 536.1
(9.1)
(10.6)
(3.5)
(33.7)
(5.7)
(12.2)
(3.2)
571.4
36.0
275.5
164.4
509.0
68.6
3 881.6
(5.8)
(0.3)
(2.3)
(1.1)
(1.7)
(0.3)
(11.8)
6.5
0.0
1.3
0.0
0.9
0.2
0.0
(0.1)
(0.0)
(0.0)
(0.0)
(0.0)
(0.0)
(0.0)
0.0
10.1
0.0
545.1
43.1
403.5
0.0
(0.0)
(0.1)
(0.0)
(3.6)
(0.1)
(1.9)
(0.0)
Maluku Papua Total
2002
9 890.8 12 500.0 (100.0)
(100.0)
11890.0 (100.0)
15 264.7 30 665.0 20 788.4 32 875.7 (100.0)
(100.0)
(100.0)
(100.0)
Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase
Seperti sudah dikemukakan, sektor pertanian adalah sektor yang dominan dalam perekonomian di sebagian besar provinsi dengan tingkat pendapatan perkapita yang relatif rendah. Sektor tersebut selain masih merupakan sektor yang dominan dalam penyerapan tenaga kerja (Tahun 1999-2007) sekitar lebih dari 40 persen dari total tenaga kerja terserap di sektor tersebut, juga menjadi sumber nafkah sebagian besar masyarakat pedesaan yang pada umumnya tergolong miskin. Dengan demikian, pembangunan pertanian yang
mengarah ke
pertumbuhan produktivitas pertanian secara keseluruhan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah pedesaan dan wilayah kurang Tabel 4. Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing Menurut Wilayah di Indonesia, Tahun 2001-2007 (Juta Dollar) No.
Lokasi
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
19
1 2 3 4 5 6 7
906.7
90.1
501.7
850.4
1 224.6
883.7
902
(25.8)
(2.9)
(9.2)
(18.5)
(13.7)
(14.8)
(10.6)
2 481.6
2 740.1
4 515.6
3 248.1
(70.7)
(88.7)
(82.8)
(70.6)
34.1
6.8
25.2
107.2
Sumatera Jawa Bali & NTT Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Total
7 251.2 4 412.8 7 323.9 (81.3) (73.8) (85.7) 102.6
109.8
49.3 (0.6)
(1.0)
(0.2)
(0.5)
(2.3)
(1.2)
(1.8)
53.5
188.5
137.2
368
181.8
534.6
203.2
(1.5)
(6.1)
(2.5)
(8.0)
(2.0)
(8.9)
(2.4)
7.1
60.5
266.6
27.4
145.3
15.5
63.6
(0.2)
(2.0)
(4.9)
(0.6)
(1.6)
(0.3)
(0.7)
1.8
0.0
0.0
0.0
9.1
20
0
(0.1)
(0.0)
(0.0)
(0.0)
(0.1)
(0.3)
(0.0)
24.8
4.1
4.1
0.0
0.0
0.6
2.4
(0.0)
(0.0)
(0.0)
(0.7)
(0.1)
(0.1)
(0.0)
3 509.6
3 090.1
5 450.4
4 601.1
(100)
(100)
(100)
(100)
8 914.6 5 977.0 8 544.4 (100)
(100)
(100)
Sumber: BKPM, 2008. Keterangan: ( ) nilai persentase
berkembang yang juga berarti mengurangi penduduk miskin, sekaligus mengurangi ketimpangan produktivitas antar sektor pertanian dan industri yang pada akhirnya memperkecil ketimpangan antar wilayah. World Bank (2005), mengemukakan bahwa sebagian besar masyarakat miskin di dunia tergantung kepada sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak penduduk yang tingkat kesejahteraan hidupnya mengalami perbaikan, merasa hal tersebut terjadi karena memperoleh manfaat dari adanya investasi mendasar dalam pembangunan sektor pertanian
pada tahun
1970-an dan tahun 1980-an. Investasi ini membawa banyak terobosan terhadap lapangan usaha petani yang memungkinkan negara meningkatkan keamanan pangan, meningkatkan pendapatan rumahtangga di pedesaan, dan penggunaan sektor pertanian sebagai lokomotif pertumbuhan bagi perekonomian secara keseluruhan. Berbagai hasil studi empiris sebelumnya menunjukkan bahwa
20
prioritas pembangunan ekonomi ke pembangunan sektor pertanian mampu memecahkan masalah kemiskinan, pengangguran serta pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, meskipun sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai kontribusi terbesar dalam PDRB di sebagian besar provinsi wilayah kurang berkembang, namun dilihat dari distribusi nilai output nasional sektor pertanian secara regional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada tahun 2008 mencapai 39.88 persen seperti pada Tabel 31. Disamping itu tingkat pertumbuhan sektor pertanian dalam tujuh tahun terakhir paling kecil, setelah sektor pertambangan dan penggalian (rata-rata pertumbuhannya hanya sekitar 3.4 persen per tahun) dibandingkan dengan sektor perekonomian lainnya, walaupun kedudukannya dalam perekonomian nasional masih dalam posisi ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan pariwisata. Dalam konteks perdagangan, nilai tukar sektor pertanian juga relatif rendah. Dengan demikian, prioritas peningkatan alokasi investasi ke sektor pertanian dikhawatirkan justru dapat mempertajam ketimpangan antar wilayah atau perannya relatif kecil dalam hal tersebut. Kekhawatiran tersebut juga muncul karena hasil studi Wibisono (2005) menemukan bahwa perbedaan tingkat teknologi
antar provinsi sangat lebar sehingga transfer teknologi juga akan
berjalan lambat yang pada akhirnya membawa konvergensi pendapatan yang lambat pula; serta adanya eksternalitas negatif menyebabkan inefisiensi dari investasi. Hasil studi Mansur (1999) dampak dari investasi perkebunan swasta menyebabkan penurunan pendapatan maupun pertumbuhan pendapatan wilayah, namun dalam studi ini tidak dibahas, model belum mengakomodasi hal tersebut. Disamping itu, beberapa studi yang secara langsung mengkaitkan antara pemba-
21
ngunan ekonomi sektoral dengan ketimpangan antar wilayah menunjukkan bahwa pembangunan/investasi di sektor pertanian tidak selalu menurunkan disparitas ekonomi antar wilayah atau mendorong konvergensi ekonomi antar wilayah (Liu et al., 2008). Sementara studi Dermorejo (2001), JASID (2001), Al-Hasan dan Diao (2007) serta Lipton dan Zhang (2007) menunjukkan bahwa pembangunan di sektor pertanian dapat mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah. Berdasarkan fenomena permasalahan tersebut maka pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam studi ini adalah secara sektoral, harus diarahkan ke sektor apakah alokasi investasi agar mampu memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah dan sekaligus meningkatkan kinerja perekonomian makro maupun sektoral?
Pertanyaan tersebut menjadi penting pada kondisi anggaran
pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas.
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian yang telah
dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi mikroekonomi yang mencakup output dan harga sektoral, tingkat upah dan kesempatan kerja sektoral, serta ekspor dan impor. 2. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi dan kesejahteraan rumahtangga. 3. Menganalisis dampak investasi sektoral terhadap kondisi makroekonomi wilayah dan disparitas ekonomi antar wilayah. 4. Merumuskan alokasi investasi sektoral yang mampu memberikan dampak yang terbaik terhadap kondisi perekonomian mikro, makro dan wilayah.
22
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi para kademisi dan pengambil kebijakan. Secara akademis, hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu maupun peneliti berikutnya khususnya untuk studi mengenai peran investasi sektoral dalam pembangunan ekonomi sektoral, wilayah maupun nasional dengan menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE). Sementara bagi para pengambil kebijakan, baik pemerintah pusat maupun daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya dalam alokasi investasi sektoral maupun wilayah
dalam rangka
menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah perekonomian secara nasional yang
kemudian didisagregasi secara sektoral dan regional. Secara nasional, analisis ditujukan untuk mengetahui dampak alokasi investasi sektoral terhadap fenomena perekonomian makro melalui keterkaitan antar sektor, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, ekspor dan impor, neraca perdagangan, dan distribusi pendapatan. Perkembangan perekonomian mikro atau sektoral sebagai dampak dari alokasi investasi sektoral juga dikaji secara nasional. Disagregasi wilayah dilakukan untuk mengetahui fenomena perekonomian wilayah khususnya pertumbuhan PDRB, kesempatan kerja dan tingkat upah. Dalam hal ini, wilayah nasional didisagregasi menurut wilayah administrasi provinsi sehingga menjadi 30 wilayah provinsi sebagaimana disagregasi wilayah nasional dalam Inter Regional Input Output (IRIO) tahun 2005. Adapun tujuan utama disagregasi wilayah adalah untuk dapat mengidentifikasi tingkat disparitas
23
ekonomi antar wilayah sebagai dampak dari adanya perubahan produktivitas sektoral yang dsimulir investasi. Disparitas ekonomi antar wilayah ini diukur dengan indikator CVw dan hanya mencakup kesenjangan ekonomi antar wilayah provinsi. Dari sisi sektoral, ruang lingkup analisis mencakup seluruh sektor perekonomian yang didisagregasi menjadi 30 sektor yakni: tanaman pangan; perkebunan; peternakan; kehutanan; dan perikanan; pertambangan minyak, gas dan panas bumi; pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya; pengilangan minyak bumi; industri makanan dan minuman; industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; industri Barang kayu dan hasil hutan lainnya; industri pulp dan kertas; industri pupuk dan pestisida; industri kimia, karet dan barang dari karet; industri semen; industri logam dasar besi dan baja; industri barang dari logam; industri alat angkutan, mesin dan peralatannya; industri iainnya; listrik, gas dan air bersih; bangunan; perdagangan; hotel dan restoran; angkutan darat; angkutan air; angkutan udara; komunikasi; lembaga keuangan; jasa pemerintah;
dan jasa
lainnya. Penentuan jumlah sektor yang dianalisis didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data investasi secara sektoral dan mencakup sektor-sektor prioritas dalam rencana pembangunan. Dengan ruang lingkup tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pembangunan termasuk pembangunan wilayah seperti yang diungkapkan oleh Todaro (2000) merupakan multidimensional dan menurut Murty (2000) terdapat faktor lain yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah, namun dalam studi hanya menekankan pada variabel investasi sebagai penentu kesenjangan wilayah.
Disamping itu efektifitas dan efisiensi dari
investasi akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tinggi rendahnya
24
transaction cost, sistem birokrasi dan adanya eksternalitas negatif dari adanya suatu investasi, namun dalam studi ini faktor-faktor tersebut tidak diakomodasi dalam model. Penggunaan model multiregonal CGE top-down, menyebabkan shock tidak dapat dilakukan dari sisi suplai spesifik wilayah. Pemetaan dimensi wilayah muncul tanpa adanya feedback dari wilayah yang didisagregasi; dalam hal ini efek dari kebijakan yang berasal dari dalam wilayah tidak dapat terlihat. Keterbatasan lain dari studi ini adalah bahwa disagregasi wilayah hanya mencakup 30 wilayah provinsi, padahal saat ini jumlah wilayah provinsi di Indonesia sudah mencapai 33 proinsi sehingga sedikitnya akan mempengaruhi kerelevanan penelitian ini. Dalam studi ini investasi sektoral yang dimaksud belum dibedakan menurut bentuk atau jenis investasinya sehingga rekomendasi kebijakan dari studi ini belum sampai pada tahap tersebut. Sementara investasi infrastruktur hanya mencakup infrastruktur jalan dan irigasi (infratruktur pedesaan).
Nilai investasi sektoral hanya tersedia menurut sembilan sektor
perekonomian, sementara disagregasi sektoral dibedakan kedalam 30 sektor. Dengan demikian, untuk masing-masing subsektor yang termasuk dalam kelompok sektor yang sama diasumsikan mempunyai nilai produktivitas yang sama. Nilai produktivitas diduga berdasarkan model ekonometrik dan kemudian nilai produktivitas tersebut dijadikan shock dalam proses simulasi dengan menggunakan model CGE.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pembangunan Wilayah