SEPTEMBER - OKTOBER 2011
tataruang buletin
BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Menata Aceh
dengan Harapan Baru
Mitigasi Bencana Tsunami Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalam
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dan Danau Toba
Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana
Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana
Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim
Ketika Ijin Usaha PerkebunanPertambangan (IUP) Bersinggungan Kawasan Hutan
Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Jelang Deadline
Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN
Penentuan Pusat-pusat Pengembangan di Wilayah Pesisir dan Laut
Posisi Indonesia
dan Kerentanan Terhadap Bencana
Agenda Kerja BKPRN
P RO F I L
BARCODE
BKPRN
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
Dr. Syamsul Maarif
buletin tata ruang PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja
Penasehat Redaksi
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
pemimpin redaksi
Aria Indra Purnama, ST, MUM.
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc
redaktur pelaksana
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
Sekretaris Redaksi
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
staf redaksi
Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST
Koordinasi Produksi
Angger Hassanah, SH
Staf Produksi Alwirdan BE
Koordinasi Sirkulasi
Supriyono S.Sos
Staf Sirkulasi
sekapur sirih
‘Assallamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi September-Oktober di tahun 2011. Menurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian yang tinggi dari berbagai bahaya dengan sekitar 40 persen dari populasi yang beresiko. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa, maka jumlah nominal korban yang beresiko adalah sekitar 90 juta jiwa. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak di salah satu daerah hot spot bencana yang paling aktif. Pada daerah hot spot beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Kerugian akibat aneka bencana tersebut telah mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana alam yang terjadi setidaknya telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua terhadap pentingnya keberadaan ruang yang aman. Ketahanan ruang terhadap ancaman bencana alam memang tidak akan secara mutlak menghindarkan manusia dari bahaya maut, tetapi setidaknya akan mengurangi jumlah korban yang menderita akibat dampak bencana tersebut. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan mau dan mampu mempertimbangkan aspek kebencanaan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu instrumen yang dinilai cukup strategis perannya dalam upaya meminimalisasi dampak bencana adalah penataan ruang. Muatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) seharusnya sudah disesuaikan dengan kondisi daya dukung alam termasuk potensi kebencanaan daerah. Dalam upaya mengintegrasikan faktor kebencanaan dalam penataan ruang tidak hanya terletak pada memasukkan data/informasi rawan bencana saja ke dalam tahapan perencanaannya, tetapi juga meliputi aspek pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus memperhitungkan manajemen bencana tersebut. Oleh karena itu penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan faktor kebencanaan geologi, dan dalam menghadapi berbagai bencana sebagai akibat dari negara kepulauan (archipelagic state), diperlukan suatu strategi sinergis birokratis dan teknokratis yang mampu mengatasi masalah kebencanaan tersebut. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam keterpaduan perencanaan dan aksi terkait kebencanaan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Lebih lanjut, pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat mengontrol penerapan prinsip-prinsip pembangunan dan pengembangan wilayah daerah rawan bencana. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Dhyan Purwaty, S.Kom
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:
[email protected] dan redaksi
[email protected]
2
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
dari redaksi
daftar isi
PROFIL TOKOH
PROFIL WILAYAH Menata Aceh
Salam hangat bagi pembaca setia
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK UTAMA
Dr. Ir, Subandono Diposantono
Salah seorang Ahli Bencana di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk karakter bangsa yang mampu merespons bencana dengan benar. Sifat-sifat kearifan lokal yang terjadi secara turun temurun juga harus dipertahankan dalam upaya menuju harmonisasi dengan bencana. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama diantara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta serta masyarakat. Untuk bersama-sama berkolaborasi memformulasikan dan mengimplementasikan rencana tindak (action plan).
TOPIK UTAMA
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu memuat substansi tentang pentingnya instrument pencegahan resiko dan mitigasi bencana alam, terutama dalam mendukung elemen-elemen dalam manajemen bencana seperti antara lain Early Warning System (EWS), Pemetaan dan Penilaian Resiko, Prevensi dan Reduksi, Manajemen Resiko, dan Rekonstruksi. Lebih lanjut, pemetaan rawan bencana menjadi mutlak untuk diperlukan dalam merumuskan rencana struktur dan pola ruang. Namun kiranya perlu dipertimbangkan kajian-kajian kebencanaan, seperti misalnya: kajian kerentanan bencana, yang menilai perbedaan suatu wilayah dengan kriteria indeks kerentanan tertentu sehingga intensitas kegiatan di dalam kawasan tersebut akan diatur sedemikian rupa untuk meminimalisasi biaya resiko yang muncul dari bencana yang datang. Profil Wilayah pada edisi ini menampilkan Kota Aceh dan wilayah sekitarnya yang didalam perencanaan tata ruang wilayah maupun program pembangunannya telah mengintegrasikan muatan bencana. Buletin ini juga mengangkat tulisan Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, KKP, Dr. Ir, Subandono Diposantono, yang menguraikan tentang bencana tsunami dan strategi serta rencana tindak dengan pengembangan sabuk hijau pantai (greenbelt). Profil tokoh kali ini menampilkan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana zSyamsul Maarif yang akan mengungkapkan berbagai pemahaman dan gagasan beliau dalam terwujudnya penanganan bencana yang tangguh. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan terkait perlunya pemahaman semua pihak terutama masyarakat bahwa bangsa Indonesia hidup di wilayah rawan bencana. Sehingga kebijakan dan upaya mitigasi, penyelamatan dan evakuasi harus disusun bersama-sama. Akhir kata, tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dan dibidangnya, sehingga diharapkan dapat memperkaya wawasan pembaca .
12
Mitigasi Bencana Tsunami
Setidaknya ada 3 (tiga) kelompok ancaman bencana alam yang dapat menyerang wilayah Indonesia, antara lain: bencana geologis yang disebabkan lokasi Indonesia terletak di daerah cincin api (ring of fire) sehingga sangat rentan terhadap gempa bumi dan letusan gunung berapi; bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan oleh rezim curah hujan yang tinggi, dimana bencana ini diindikasikan dari berulangnya bencana banjir dan kekeringan ; kemudian bencana deforestasi dan kebakaran yang diakibatkan oleh terjadinya penggundulan hutan baik untuk keperluan ekonomi maupun industri.
Redaksi
08
dengan Harapan Baru
Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-lima. Pada edisi kali ini Butaru mengangkat tema Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Bencana dan Upaya Adaptssi dan Mitigasi.
Selamat membaca
04
Dr. Syamsul Maarif
TOPIK UTAMA
Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalam
15
Penyusunan Rencana Tata Wilayah Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dan Danau Toba
19
Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana Oleh: Ir. Iman Soedrajat MPM
TOPIK LAIN
Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim
24
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Ketika Ijin Usaha PerkebunanPertambangan (IUP)
26
Bersinggungan Kawasan Hutan Oleh: Sri Sultarini Rahayu
TOPIK LAIN
Reklamasi Wilayah Pesisir
30
dan Pulau-pulau Kecil Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
32
Jelang Deadline
Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Penentuan Pusat-pusat Pengembangan di Wilayah Pesisir dan Laut
34
Oleh: Ir. Kartika Listriana
WACANA
Posisi Indonesia
40
dan Kerentanan Terhadap Bencana Oleh: Redaksi Butaru
AGENDA
Agenda Kerja BKPRN September - Oktober 2011
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
43
3
profil tokoh
Dr. Syamsul Maarif Hidup Harmoni
Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
kunci penting dalam manajemen kebencanaan adalah pendekatan M to M artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia dan berakhir (hilir) manusia pula.
dengan Resiko Bencana
Mungkin jika ada sosok yang begitu identik dengan bencana di Indonesia saat ini adalah Mayjen Purn. Syamsul Ma’arif, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Kinerja BNPB selama di bawah kepemimpinan Syamsul Ma’arif memang cukup menonjol dalam memberikan bantuan kepada warga bangsa yang tertimpa bencana alam. Misalnya, BNPB berperan aktif dan konstruktif dalam manajemen kebencanaan erupsi Gunung Merapi, erupsi Gunung Bromo di Jatim, bencana gempa bumi di Sumbar, dan bencana lainnya. Menurutnya, kendati Indonesia sebagai negara dilingkupi lingkungan alam yang rawan bencana, namun hakikatnya bencana itu tak ada. Yang ada adalah hazard (bahaya). Karenanya, strategi mempersiapkan warga yang rawan bencana itu jauh lebih penting dibanding pemberian bantuan dalam kondisi darurat. Kepala BNPB ini adalah putera kelahiran Kediri, Jawa Timur. Jabatan kepala BNPB dianggapnya seperti karir ke dua, sementara karir pertamanya adalah di jalur militer. Setelah lulus dari Akmil Magelang tahun 1973, Syamsul pernah meniti sejumlah jabatan penting di lingkungan TNI AD maupun Mabes TNI. Syamsul yang juga dikenal sebagai jenderal santri ini pernah menjabat Danrem Bhaskara Jaya Surabaya, Kasdam V/Brawijaya, Kapuspen TNI di era reformasi, dan jabatan lainnya. Setelah pensiun dari militer, Syamsul dipercaya memangku jabatan kepala BNPB. Beberapa kali menerima penghargaan antara lain Bintang Mahaputera Utama dari pemerintah yang disematkan Presiden SBY di Istana Negara dan Nusa Reksa Pratama dari civitas akademika Universitas Gadjah Mada yang diserahkan oleh rektor UGM, tidak mengubah sifat beliau yang rendah hati dan ingin selalu berbuat yang terbaik. Syamsul yang meraih gelar doktor (S3) Sosiologi Militer dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta ini, menjelaskan, kunci penting dalam manajemen kebencanaan adalah pendekatan M to M artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia dan berakhir (hilir) manusia pula. Berikut hasil wawancara terkait kinerja BNPB dan apa yang harus dilakukan BNPB bersama-sama stakeholder lainnya terutama masyarakat yang terkena risiko langsung oleh bencana.
4
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Tugas apa yang diamanatkan Presiden ?
Saat kejadian tsunami tahun 2005, ada inisiatif dari DPR untuk membuat undang-undang yang menyatakan perlunya ada satu badan menangani masalah bencana. Apa aktivitas Anda sebelum menjabat Kepala BNPB, serta bagaimana latar belakang bergabungnya di BNPB ? Latar belakang saya militer, pangkat terakhir saya Mayor Jenderal, dan jabatan saya yang terakhir adalah Aster Kasum TNI. Pada saat kejadian bencana di Aceh, saya sudah menjabat di sana dan tentu saja institusi saya terlibat untuk penanganan tsunami. Begitu pula di Jogja. Kemudian pada tahun 2006 ketika ada kebakaran hutan, institusi saya membantu untuk mengendalikan bencana asap pada waktu itu di Kalimantan maupun di Sumatera. Dan akhirnya pada saat menjelang pensiun, saya diperintahkan Bapak Presiden untuk menangani jabatan yang kosong, yaitu Kepala Pelaksana Harian Bakornas, yang waktu itu ketuanya Bapak Wapres. Nampaknya pada tahun 2005, masyarakat yang diwakili oleh DPR menganggap bahwa sistem penanggulangan bencana itu kurang komprehensif atau belum punya sistem penanggulangan bencana. Saat kejadian tsunami tahun 2005, ada inisiatif dari DPR untuk membuat undang-undang yang di menyatakan perlunya ada satu badan menangani masalah bencana. Maka dalam UU tersebut diamanatkan bahwa pemerintah pusat membentuk
BNPB, dan pemerintah daerah membentuk BPBD. Maka kebencanaan adalah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) itu diatur di bawah gubernur dan bupati, bukan lembaga vertikal di bawah BNPB (pusat).
Perintah Presiden tentang penanggulangan bencana secara komprehensif, ya, yang tadi itu, setiap bencana harus ditangani oleh Pemda, baik Pemda Kabupaten maupun Kota. Pemerintah Provinsi juga mendapat tugas untuk merapat ke kabupaten dengan mengerahkan sumber daya yang ada di provinsi termasuk kabupaten dan kabupaten tengga untuk dikerahkan dalam membantu kabupaten yang terkena bencana. Kemudian pusat mendapat tugas untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ekstrim, yang tidak dapat mereka penuhi. Katakanlah misalnya dana mereka terbatas atau peralatannya terbatas. Jadi dalam konteks ini hubungannya bukan vertikal, karena tiap instansi pemerintah diberi tugas yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Jadi walau Pemda yang diberi tugas mengatasi masalah kebencanaan, provinsi juga jangan diam saja, karena dia juga punya tugas.
Artinya? Sepertinya kata-kata itu perlu dinyatakan secara eksplisit. Dengan otonomi daerah maka ada kabupaten, juga provinsi. Jadi bila ada penanganan yang dirasa kurang tegas dan sebagainya, itu tergantung kepala daerahnya, jadi bupati misalnya yang seharusnya mengendalikan. Bahkan perjalanan UU ini membutuhkan waktu yang sangat lama menurut saya. Sejak tahun 2005 UU disusun, baru dua tahun kemudian UU itu diterbitkan/disahkan. Sebagai konsekuensinya, baru satu tahun kemudian, yaitu pada 2008, BNPB ini dibentuk. Jadi saya itu hanya tinggal pindah saja, yang tadinya Kepala Pelaksana Harian sebagai eselon I, lalu saya menjadi Kepala BNPB yaitu setingkat Menteri sesuai yang diamanatkan dalam UU tersebut. Itu pengalaman saya dari sebelum menjabat sampai saat menjabat dengan serangkaian kegiatan yang dialihstatuskan dari militer menjadi sipil.
Contohnya pada bencana di Pesisir Selatan-Sumatera Barat. Pemerintah pusat datang untuk mengemban amanat Presiden, yakni untuk menyelesaikan hal ekstrim yang tidak bisa diatasi daerah yang bersangkutan. Jadi konkritnya, jika terjadi bencana kami akan datang, tapi tidak untuk memimpin, yang memimpin tetap bupati. Kalau instansi ini bersifat vertikal, maka begitu datang kami akan langsung ambil alih. Tapi ini tidak. Tim kami berada di sana untuk mengikuti rapat bupati dan mendengarkan apa keperluan mereka. Jadi apa yang bisa diatasi kabupaten, diatasi kabupaten dan apa yang bisa diatasi provinsi, akan diambil provinsi. Makanya saya katakan konteksnya tidak vertikal. Kami semua memiliki tugas. Misalnya untuk menyalurkan logistik ke tempat-tempat yang terputus itu membutuhkan helikopter. Maka kami akan membawakan helikopter, seperti yang kami lakukan di Pesisir Selatan kemarin.
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
5
profil tokoh
Saya menuju ke visi itu, karena visi kebencanaan kita adalah ‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi Bencana’. Artinya seluruh wilayah tanah air harus tangguh. Apa visi dan misi BNPB, berikut Tupoksinya? Berdasarkan pengalaman membantu korban bencana, misalnya di MukoMuko, daerah tersebut kehabisan tenda sehingga terpaksa membeli dari Bandung. Kami yang membeli tetapi yang membagikan tetap Bupati. Pada saat kejadian gempa di Padang tahun 2007/2009, mie instan menjadi langka sehingga kami terpaksa mendatangkan dari Palembang dan sekitarnya. Dari sini kami simpulkan, penanganannya tidak bisa sentralistik. Jadi ide besar reformasi bahwa pemerintah daerah bertanggungjawab melindungi masyarakatnya benar-benar diwujudkan di sini, karena memenuhi kebutuhan dasar masyarakat adalah tanggung jawab mereka, kecuali kalau dia ‘jatuh’. Contohnya waktu gempa bumi tahun 2006 di Jogja. Bupati Bantul sudah pasrah, karena semuanya hancur termasuk keluarganya seperti halnya di Aceh. Saat itu barulah kami benar-benar ambil alih sampai mereka mampu mengurusnya sendiri. Sebenarnya strategi dan ideologi kemerdekaan Indonesia sangat bagus. Kita tidak akan menghilangkan kewibawaan pemerintah daerah yang dipilih rakyatnya. Kalau semuanya dari pusat dan bupatinya diam saja, lalu bupati melindungi apa? Ketika suatu provinsi terkena bencana bukan berarti seluruh provinsi terkena, pasti ada kabupaten-kabupaten yang selamat. Misalnya bencana tsunami Aceh yang memakan korban sekitar 200 ribu orang meninggal. Ternyata kabupaten yang sebelah tengah dan timur masih survive. Begitu juga apabila kabupaten terkena bencana. Pasti tidak seluruh kabupaten
6
menderita langsung, ada beberapa kecamatan yang tidak kena. Seperti pada bencana di Wasior. Sebenarnya hanya kecamatan di Teluk Wondama yang terkena bencana, bukan seluruh kabupaten, tapi ributnya ga ketulungan. Dalam wawancara ini saya ingin meluruskan agar tiap kabupaten diberdayakan. Bahwa dalam pemberdayaannya kami mengintervensi itu benar, tetapi hanya pada dosis tertentu. Karena Indonesia, khan, penuh bencana. Kalau selalu diurusi pusat, kapan mereka kuat? Saya menuju ke visi itu, karena visi kebencanaan kita adalah ‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi Bencana’. Artinya seluruh wilayah tanah air harus tangguh. Strategi untuk mewujudkan Visi seperti apa? Salah satu strategi untuk menuju ketangguhan bangsa adalah membuat masyarakat di daerah menjadi tangguh. Ketangguhan itu kami definisikan paling tidak dalam empat elemen: Pertama, masyarakat dibilang tangguh apabila memiliki daya antisipasi. Tentu tetap kami bantu, misalnya BMKG memberikan informasi; Ke dua, masyarakat harus punya daya pengurangan risiko dengan cara menghindari maupun menolak. Misalkan kalau sudah tahu daerah mereka akan terkena limpahan air jika tanggul jebol. Maka langkah penolakan bencananya adalah menyiapkan bronjong atau pasir yang ditumbuk, atau menyiapkan pompa air kalau terjadi banjir. Bisa juga melakukan pengurangan risiko dengan menghindar kalau sudah tau banjir
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Ketua BNPB dalam kunjungan meninjau korban gempa di Sumatera Barat
akan menerobos ke permukiman; Ke tiga, adaptasi. Misalnya masyarakat 10 kabupaten yang dilewati Sungai Bengawan Solo sudah paham bahwa setiap tahun wilayahnya terkena banjir. Mereka sudah tau apa adaptasinya. Selain itu juga ada early warning system yang dibuat untuk adaptasi aliran lahar dingin sekarang ini; Ke empat, masyarakat mempunya daya lenting atau ‘Bounce Back’. Untuk mendukung masyarakat untuk mempunyai daya lenting kita harus bertanya, bantuanbantuan itu membuat dia memiliki daya lenting atau bergantung? Kalau seandainya ada intervensi – katakanlah dengan alasan solidaritas bangsa – itu bagus dan tetap kita pelihara. Tapi jangan sampai solidaritas itu menjadi suatu ketergantungan yang merendahkan atau mengurangi daya ‘bounce back’ mereka. Visi itu harus kita wujudkan dalam hal yang konkrit. Jadi saya juga menghimbau untuk menerima bantuan melalui satu pintu, BPBD setempat atau BNPB. Terkadang orang ingin memberikan bantuan sendiri karena tidak percaya. Sebaiknya tetap ditunjuk satu tempat supaya tidak terjadi seperti yang terjadi di Jogja – bantuan banyak datang lewat kereta api dan menumpuk di sana. Posko ingin mengambil tidak berani karena tidak ada alamatnya. Akhirnya bantuan menumpuk dan masyarakat saling menyalahkan. Harusnya bantuan dialamatkan ke posko BNPB atau BPBD karena undangundang mengatakan seperti itu.
akses, dan sebagainya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemerintah, masyarakat dan para pemangku kepentingan terkait di Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi bencana sehingga mengakibatkan tingginya korban jiwa maupun kerugian material yang ditimbulkan oleh bencana. Upaya pengurangan resiko bencana dikembangkan melalui usaha-usaha peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Lebih konkritnya? Jadi misalnya ada BUMN mau membantu, maka tolong bantuannya dikoordinasikan dengan kami BNPB dan kalau bisa bantuan itu berdasarkan kebutuhan permintaan daerah. Terkadang bantuan menjadi mubazir karena tidak butuh. Saya mengerti itu merupakan solidaritas, tapi mari bekerjasama dengan BNPB. Kalau tidak percaya bantuan akan sampai silakan membuat posko sendiri, tetapi di bawah pengendalian kami supaya perhatian kepada masyarakat merata. Itu supaya tidak menimbulkan kesenjangan. UU memang mengamanatkan kepada kami untuk menghitung dana yang disumbangkan. BUMN pun hendaknya tetap melapor kepada kami. Ini tidak berarti kami mengambil domain kementerian lain, tetapi UU yang mengamanatkan hal itu. Salah satu tupoksi BNPB adalah menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat. Dalam bentuk apa? Salah satu isu yang dihadapi dalam penanggulangan bencana adalah tingkat kerentanan (vulnerability) masyarakat dalam menghadapi bencana masih tinggi. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain: kemiskinan, tingkat pendidikan, pengetahuan, kesadaran dan infrastruktur penunjang dan ketersediaan informasi yang mudah di
Berbagai kebijakan dan implementasi penanggulangan bencana telah dilakukan. Misalnya, di bidang ilmu pengentahuan dan teknologi telah dikembangan berbagai teknologi peringatan dini, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) yang mampu menyampaikan informasi peringatan dini delapan menit setelah gempa bumi. Demikian pula peringatan dini banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem dan sebagainya. Iptek tersebut dilakukan bersamaan dengan sosialisasi dan pengembangan kapasitas. Namun ternyata jumlah korban bencana tetap banyak seperti yang terjadi tsunami di Mentawai pada Oktober 2010, erupsi Merapi di Yogyakarta dan di Jawa Tengah pada Oktober-November 2010 dan sebagainya.
Upaya pengurangan resiko bencana dikembangkan melalui usaha-usaha peningkatan ketahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Bagaimana bentuk kelembagaan BNPB dengan BPBD, tugas-tugas apa saja yang membedakan kewenangan masing-masing (pusat dan daerah)? Sama seperti instansi lain (misalnya KemenPU dengan dinas ke-PU-an di daerah), tetapi tidak vertikal. BNPB berkoordinasi terkait permasalahan teknis sementara BPDB bekerja langsung di lapangan. Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa BNPB dan BPBD tidak vertikal. Baik buruknya kinerja BPBD itu tergantung kepada pimpinan daerahnya masing-masing, misalnya bupati.
Bagaimana koordinasi penanggulangan bencana bersama pihak-pihak lain ? Kami sering bertanya kepada kementerian dan institusi lain, “Anda mempunyai potensi apa di sini?” Jadi kita bisa melihat potensi dan keahliannya apa. Karena kita tahu, misalnya, tidak semua pihak punya keahlian SAR. Yang mempunyai standarnya tentu Tim SAR. Dari situ dalam penanggulangan bencana kami membuat struktur organisasi yang disebut “Komando Tanggap Darurat”, dimana di dalamnya ada cluster-cluster. Misalnya cluster logistik, siapa yang termasuk di cluster itu? Sementara itu di cluster SAR ada TNI, POLRI dan relawan-relawan tapi tetap di bawah koordinasi Tim SAR. Alhamdulillah sewaktu di Yogyakarta hal itu sudah terwujud lebih bagus. Waktu di Padang sudah mulai terwujud, tapi masih kurang bagus. Apa harapan Bapak terkait penanggulangan bencana yang terjadi di Indonesia untuk masa yang akan datang ? BNPB masih banyak kekurangan, namanya juga organisasi baru dan peralatan juga belum lengkap. Misalnya belum maksimalnya koordinasi penyaluran bantuan bagi korban banjir di Pesisir Selatan yang banyak dikeluhkan, karena terjadi penumpukan bantuan hanya pada lokasi tertentu. Hal itu terjadi karena memang belum semua lokasi bencana terpetakan dengan baik. Karena itu mari kita sama-sama melengkapinya. Dengan adanya leadership di BNPB. UU mengatakan, pada saat ada bencana kami mempunyai fungsi komando. Dan pada saat sebelum dan sesudah bencana kami punya fungsi koordinasi. Dan sekali lagi kami berharap kita kerja bersamasama. Di dalam kegiatan bencana ini, antara komando dengan konsensus itu dekat. Maka kami berharap dalam melakukan kegiatan bersama itu antar konsensus harus saling mengisi.
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
7
profil wilayah
Menata Aceh Dengan Harapan Baru Oleh: Redaksi Butaru
Indonesia dan dunia pernah berduka untuk Aceh. Kini, saat bangkit, Aceh justru mempersatukan berbagai profesi, pemerintah Nasional, Pemda dan luar negeri, serta masyarakatnya. Pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 08.20 WIB, gempa bumi berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang Aceh, yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah. Gempa bumi tersebut disusul gelombang tsunami yang menyapu sekitar 70% wilayah besar Aceh Darusalam, satu pertiga infrastruktur kota rusak total, dengan kerusakan berat terjadi di Meulaboh. Pusat gempa ini terletak di Samudera Hindia, lepas Pantai Barat Aceh atau kurang lebih sekitar 160 km sebelah Barat Aceh. Namun getarannya tidak hanya dirasakan di Aceh, tapi juga berdampak kepada tujuh negara seperti Sri lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia. Sudah dapat dipastikan bencana ini menelan korban jiwa, harta benda, dan mengakibatkan kerusakan infrastruktur. Sebanyak hampir 230.000 penduduk meninggal dunia, 600.000 penduduk kehilangan tempat tinggal, 1.644 kantor pemerintah, 270 pasar, 239 pertokoan hancur, 2.732 tempat peribadatan rusak, lebih dari 1.151 sekolah dan pesantren hancur, 33 rumah sakit dan rumah bersalin musnah, 58 Puskesmas dan poliklinik ikut hancur. Selain itu diperkirakan 82% jalan dan 499 jembatan rusak total, termasuk 49 pelabuhan. Dari kejadian tersebut terdapat daerah-daerah yang mengalami kerusakan total di antaranya yang berlokasi di Kecamatan Kuta Raja, Meuraxa, dan Jaya Baru. Kemudian Kecamatan Syiah Kuala, Kuta Alam, Baiturrahman hancur
8
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
sebagian. Sementara adapula kecamatan yang masih dalam kondisi baik terdapat seperti Kecamatan Ulee Kareng, Lueng Bata, dan Banda Raya. Tidak berlama-lama dalam kesedihan dan keterpurukan – dengan bantuan dari dalam maupun luar negeri, tekad dan semangat gotong royong –, masyarakat Aceh bangkit kembali dengan harapan baru, walapun akan selalu ada trauma yang menghantui masyarakat Aceh. Hal ini wajar, karena bencana saat itu merupakan bencana terdasyat sepanjang sejarah yang dicatat oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS). Dilihat dari letak geologisnya, Aceh berada pada zona pertemuan dua lempeng goetektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Benua Eurasia (bergerak ke tenggara dengan kecepatan sekitar 0,4 cm/tahun) dan Lempeng Samudra Indo-Australia (bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun). Gerakan lempeng tersebut telah menghasilkan bentuk gabungan yang membentang sepanjang Pulau
Kerusakan Yang Terjadi Pada Saat Tsunami 26 Desember 2004
Sumatera. Untuk daerah Aceh, patahan tersebut ditemui di Lembah Alas, Lembah Tangse, dan Lembah Krueng Aceh, yaitu daerah yang tidak lepas dari ancaman gempa bumi dan tanah longsor. Kondisi ini tentunya tidak membuat Pemerintah Nasional dan Pemerintah Daerah berdiam diri. Ancaman bencana tersebut memicu Pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat, mengambil keputusan untuk menyelamatkan Aceh dari ancaman bencana yang akan terjadi dengan waktu yang tidak dapat dipastikan.
RTRW Aceh Berbasis Bencana Pemda bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana.
Penyusunan RTRW yang berbasis rawan bencana sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan di dalam RTRW Aceh. Kata aman dan nyaman tersebut identik dengan makna bebas dari ancaman bencana. Selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana. Terdapat perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami. Saat ini konsentrasi pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai yaitu ke bagian selatan Kota Banda Aceh. Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan pemukiman di sekitar pantai tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke arah selatan Kota Banda Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai buffer pantai direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh berikut. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
9
profil wilayah
Peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh
Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di bidang kebencanaan. Sudah saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan, seperti halnya di Negara-negara maju dan berkembang seperti Jepang yang memiliki tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan telah menyediakan informasi berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat. Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan terjadinya, akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk mengurangi dampak bencana. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dilopori dari Universitas Syah Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi Donor Thrust Fund (MDF), dan BAPPEDA Aceh bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk Aceh Disaster Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction Aceh (DRR-A). Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan Dokumen ADRM yang siap untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk dijadikan panduan dan referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir peta rawan bencana tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
Aceh paska tsunami
10
Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepang yang telah menciptakan berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Akan tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contoh dan referensi bagi Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti Aceh.
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Bangunan Penyelamat
Escape Building Aceh Jaya - Calang
Gedung TDMRC Kota Banda Aceh – Gampong Pie
Selain menyebarluaskan informasi mengenai kawasan rawan bencana dan penyusunan RTRW yang berbasis kebencanaan, Pemda bersama stakeholder terkait juga telah mendirikan prasarana berupa bangungan pelindung dari gelombang tsunami dan gempa yang dikenal dengan sebutan escape building (gedung penyelamatan) yang dapat dijadikan sebagai bangunan pelindung dan tempat evakuasi jika terjadi bencana. Saat ini terdapat 11 escape building berkualitas yang dibangun dengan konstruksi tahan gempa sampai dengan kekuatan 9,0 skala Richter. Bangunan dibuat berketinggian 18 meter agar tidak dijangkau gelombang tsunami dan terdapat sudut yang berupa pilar besar pelindung untuk melindungi korban dari hempasan ombak tsunami. Satu escape building ini dapat menampung sekitar 500 pengungsi. Escape building ini tidak hanya dipergunakan jika terjadi bencana saja, akan tetapi kesehariannya gedung ini juga berfungsi sebagai kantor TDMRC, pusat kegiatan masyarakat yang menyediakan ruang pertemuan, dan fasilitas olahraga.
Escape Building Kota Banda Aceh - Meuraxa
Bangunan penyelamat tersebut tersebar di Aceh, di antaranya di Deah Glumpang, Deah Lambung, Deah Teungoh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireun, Kota Lhoksuemawe, dan Pidie. Selain itu ada juga Tsunami Memorial Building di Kota Sigli, Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh, dan Gedung Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dikelola oleh Universitas Syiah Kuala, yang sehariharinya berfungsi sebagai perkantoran.
Escape Building Museum Tsunami
Mengutip sambutan Kepala Bappeda Aceh di dalam dokumen ADRM, perubahan paradigma juga merupakan suatu hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan pembangunan Aceh ke depannya. Penanganan kebencanaan di Aceh yang cenderung masih bersifat tanggap darurat diharapkan menjadi kesiapsiagaan, sehingga Aceh menjadi wilayah yang tangguh dengan memahami ancaman yang ada dan mau berperan aktif berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengambil langkah di dalam pengurangan resiko bencana.
Hikmah Tsunami Walaupun meninggalkan duka yang sangat mendalam, akan tetapi kejadian tsunami telah menjadikan Aceh sebagai salah satu kunjungan wisata yang dilirik para calon wisatawan di nusantara, bahkan mancanegara. Selain tujuan wisata religi, banyak orang yang ingin mengunjungi Aceh karena ingin ikut merasakan detik-detik terjadinya tsunami dengan mengunjungi beberapa situs tsunami. Salah satunya adalah Kapal Tsunami Aceh yang tersangkut di atap rumah penduduk – yang pada saat itu menyelamatkan 59 orang di atasnya. Ada juga PLTD Apung milik PERTAMINA (salah satu pembangkit listrik untuk Banda Aceh, Aceh Besar, dan sekitarnya) dengan berat 2.600 ton yang terseret sekitar ± 4 km dari Pelabuhan Ulee Lheue. Kuburan Massal Siron dan Museum Tsunami pun tidak luput dari kunjungan wisatawan yang ingin banyak belajar dan mengenang kejadian tsunami saat itu. Situs-situs tsunami merupakan situs resmi yang dikelola oleh Pemda, bahkan Pemerintah Pusat seperti Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengelola Situs Kapal Tsunami Aceh.
Kapal tsunami Aceh
Namun hikmah dan pelajaran terbesar yang diperoleh dari kejadian Tsunami 26 Desember 2004 lalu adalah bersatu dan bangkit kembalinya seluruh masyarakat Aceh, walaupun saat itu masih terjadi konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu berbagai ahli kebencanaan, khususnya di bidang tsunami dan gempa bumi, bersatu untuk memberikan langkah yang tepat untuk Aceh dalam menghadapi ancaman kebencanaan untuk ke depannya. (mpb) September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
11
topik utama
mitigasi bencana tsunami Oleh: Dr. Ir, Subandono Diposantono Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia selain menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi bencana yang besar. Beberapa tahun belakangan ini wilayah pesisir Indonesia didera bencana gempa bumi dan tsunami, antara lain terjadi di Garut, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan lain-lain. Setahun yang lalu, Indonesia kembali berduka dengan terjadinya bencana tsunami di Kepulauan Mentawai, yang menelan 509 korban jiwa meninggal. Tsunami Jepang pada 11 Maret yang lalu pun bahkan menimbulkan kerusakan rumah dan sarana prasarana di kawasan Jayapura, Papua. Berdasarkan data, tercatat 110 kali tsunami di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1600 sampai dengan September 2011. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai kejadian bencana tersebut tidaklah sederhana mengingat konsentrasi
Negara sudah memiliki komitmen yang jelas dalam penanggulangan bencana dengan dimasukkannya lingkungan hidup dan pengelolaan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN II.
12
pembangunan yang tinggi, berbagai sumberdaya dan jasa lingkungan di wilayah pesisir yang berkontribusi penting bagi penghidupan masyarakat, serta terbatasnya akses transportasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dapat menghambat upaya pencapaian visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015 dan misinya yaitu mensejahterakan kehidupan nelayan. Di sisi lain, pengembangan minapolitan sebagai upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan di sentra-sentra produksi perikanan yang potensial menjadi tidak optimal manakala tidak dipersiapkan untuk menghadapi bencana, seperti bencana tsunami.
Kebijakan Kementerian KKP dalam Mitigasi Bencana Tsunami Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia merupakan kawasan pesisir dan kepulauan, maka pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana kebijakan dan komitmen Indonesia dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Menjawab pertanyaan ini, kita bisa berlega hati mengingat negara sudah memiliki komitmen yang jelas dalam penanggulangan bencana, yaitu dengan dimasukkannya lingkungan hidup dan pengelolaan bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN II. Lebih lanjut, respon penanggulangan bencana di tingkat nasional mulai dilakukan dengan disahkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sejalan dengan komitmen internasional Hyogo Framework for Action bagi pengurangan risiko bencana masyarakat dunia 2005 - 2015.
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Pesisir Rawan Tsunami di Indonesia
Upaya mitigasi bencana merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Selain itu, kebijakan dan program mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil telah diwujudkan dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengaturan lebih rinci tentang mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berperan penting dalam mendorong upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya mitigasi yang dimaksud antara lain berupa: pemetaan potensi bahaya, kerentanan, dan risiko bencana di wilayah pesisir; penyusunan rencana strategis, rencana zonasi; rencana pengelolaan dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat aspek mitigasi bencana; pembangunan rumah ramah bencana bagi masyarakat pesisir; konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, peningkatan kapasitas aparatur baik pusat maupun daerah serta masyarakat melalui sosialisasi, penyadaran dan pelatihan mitigasi bencana.
Upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi salah satu penekanan dalam UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP-3-K) yaitu dalam pasal 56 Bab X, yaitu “Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya”. Lebih lanjut, sebagai aturan pelaksanaan UU tersebut telah diterbitkan PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) tertentu. Pemerintah provinsi menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/ kota. Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan kabupaten/kota.
RENCANA AKSI PENGELOLAAN (RAPWP-3-K) Tujuan, Cakupan Kegiatan, Tatanan Pelaksanaan, Manfaat, dll
RENCANA PENGELOLAAN (RPWP-3-K) Rencana kerja, Pengaturan koordinasi, Paket terpadu kegiatan, Public campaign RENCANA ZONASI (RZWP-3-K) Alokasi ruang, Pemilihan & penempatan kegiatan, Alokasi SDA RENCANA STRATEGIS PENG. WILAYAH PESISIR (RSWP-3-K) Isu, VISI, MISI, Target kinerja, Organisasi/lembaga, Rencana kerja, Koordinasi Perencanaan pengelolaan WP-3-K wajib memuat Mitigasi Bencana
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
13
topik utama Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami
Sebagian wilayah pesisir Indonesia yang rawan tsunami mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, sebagian Sulawesi, dan Papua memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi. Kondisi ini kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S., 2008). Padahal hutan mangrove merupakan greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut. Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami dapat disimpulkan sebagai berikut: (Tanaka [2007]; Shuto [1987]) yaitu : 1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya (perahu, dll); 2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air; 3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada cabang-cabang pohon; 4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah atau dari suatu bangunan; 5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/ bukit, yang bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.
Kerusakan akibat tsunami di pesisir
Hutan mangrove merupakan greenbelt yang menjadi benteng pertahanan dari gelombang pasang, tsunami atau ancaman lain.
Contoh Greenbelt di lahan reklamasi untuk meredam tsunami
Sayangnya, kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008). Sesungguhnya, pantai-pantai yang kurang cocok ditanami mangrove tetap bisa memiliki sabuk pantai. Beberapa wilayah pantainya lebih cocok untuk vegetasi non mangrove, seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan konfigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Penelitian lebih lanjut terhadap perilaku berbagai jenis pohon pantai dalam mitigasi bencana tsunami masih dibutuhkan. Namun sumber pengetahuan yang menjelaskan kinerja sabuk pantai dalam menghadapi gelombang tsunami saat ini sebagian besar didasarkan pada hasil eksperimen empiris dan laboratorium. Jika didukung penyelidikan lapangan
14
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
pasca bencana tsunami, tentu pengetahuan yang ada saat ini dapat digunakan sebagai panduan aplikasi sabuk pantai sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana tsunami. Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, berdasarkan kondisi faktual yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, menyusun Pedoman Pengelolaan Sabuk Pantai untuk Mitigasi Tsunami, untuk memberikan panduan mengenai perencanaan, teknis penanaman, serta monitoring sabuk pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai dengan pengetahuan yang tersedia saat ini. Yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi bahaya dan/ atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.
Mempertimbangkan Faktor-faktor Geologi dalam Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UPN “Veteran” Jogjakarta
Hampir tak ada wilayah di Indonesia yang bebas dari ancaman bencana. Maka faktor geologi sudah selayaknya menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan rencana tata ruang.
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Selama sepuluh tahun terakhir, berbagai bencana alam terjadi di Indonesia. Mulai dari gempa 7,2 SR di Aceh dan Sumatra Utara yang diikuti tsunami pada 26 Desember 2004, gempa 6,2 SR di SelatanYogyakarta dan Klaten, 25 Mei 2006, letusan Merapi 14 Juni 2006, gempa dan tsunami 17 Juni di Pangandaran Jawa Barat, banjir di Wasior Papua, serta letusan Merapi 26 Oktober dan 5 November 2010. Jumlah korban dari semua bencana tersebut mencapai ratusan ribu jiwa manusia, belum lagi kerusakan infra struktur dan harta benda lainnya. Yang baru-baru ini terjadi adalah guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR), di Nusa Dua, Bali pada Kamis, 13 Oktober 2011 lalu. Masyarakat Bali yang selama ini tenang pun heboh. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia harus waspada dan siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu tiba. Karena tak dapat dipungkiri, sebagian besar tempat di Indonesia selalu terancam bencana alam seperti gempa, letusan gunungapi, tanah longsor, dan banjir. Hal ini merupakan dampak dari kondisi geologis dan tectonic setting, yang membangun Kepulauan Nusantara.
Tatanan Tektonik Indonesia Bumi itu dinamis, dengan proses-proses internal dan eksternal yang kompleks. Proses-proses internal bertanggung jawab atas bergeraknya lempeng-lempeng besar litosfera. Interaksi antar lempeng-lempeng ini membangkitkan tekanan internal yang dapat mengakibatkan deformasi batuan, menghasilkan gempa, kegiatan gunung berapi, dan gerakangerakan tektonik secara perlahan (creep) sepanjang jalur-jalur sesar (patahan). Proses-proses ini memicu berbagai kejadian eksternal seperti tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami. Menurut teori tektonik lempeng, lapisan kulit bumi yang terdiri dari litosfer dan kerak, berbentuk lempengan-lempengan yang terpecah-pecah, yang mengapung-apung di atas lapisan cair-liat yang disebut astenosfer. Berdasarkan komposisi dan berat-jenisnya, lempeng-lempeng litosfer dapat dibedakan menjadi lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng benua disusun terutama oleh unsur-unsur Si (silikon) dan Al (aluminium), yang pada umumnya berketebalan 30 - 70 km dengan berat jenis + 2,6- 2,7. Sedangkan lempeng samudra tersusun oleh unrus-unsur Si dan Mg (magnesium), biasanya tipis (+ 8 km) dengan berat jenis + 3 (Zumberge & Nelson, 1976). Potongan-potongan lempeng ini bergerak, ada yang
saling menjauh, ada yang saling bertemu dan bertumbukan, serta ada yang saling bergeseran. Bila dua lempeng saling bertumbukan, maka gejala-gejala geologi yang ditimbulkan adalah vulkanisme (pembentukan gunung-api), pembentukan pegunungan lipatan, pengangkatan, dan persesaran. Bila dua lempeng saling menjauh, akan terjadi pembentukan palung, atau pembentukan pematang tengah samudra. Pada pematang tengah samudra, dierupsikan magma secara terus-menerus dari astenosfer ke permukaan, yang kemudian membentuk morfologi seperti “zebra cross” di tengah-tengah samudra. Bila dua lempeng saling bergeseran akan terbentuk sesar transformal. Kepulauan Indonesia terbentuk akibat pertemuan antara Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia Australia, dan Lempeng Samudra Pasifik. Lempeng Hindia - Australia mendesak Lempeng Eurasia dari arah selatan, dan Lempeng Pasifik mendesak dari arah timur. Implikasi pertemuan lempeng-lepeng ini di Indonesia adalah terbentuknya sirkumsirkum gunungapi aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesarsesar aktif, dan zona-zona gempa tektonik. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
15
topik utama
Ketersediaan air bersih perlu diperhatikan selain faktor-faktor geologi untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap ancaman bahaya alam. Tataan Tektonik Kepulauan Indonesia.
Bencana Geologi Sebagian besar bencana alam merupakan bencana geologi. Bencana geologi meliputi semua bencana yang timbul akibat atau mengikuti suatu proses geologi. Proses-proses geologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses eksogenik (eksternal) berasal dari luar bumi, dan proses endogenik (internal) yang berasal dari dalam bumi. Proses eksogenik antara lain: pelapukan dan erosi. Proses endogenik, antara lain: orogenesis, epirogenesis, pengangkatan, vulkanisme, dan tektonisasi.
Dalam peristiwa ini lempeng yang berat jenisnya lebih besar akan menyusup di bawah yang lain (subduksi). Oleh tekanan dan temperatur yang besar, maka pada kedalaman antara 75 km - 175 km, sebagian litosfer yang menyusup, akan melebur membentuk magma. Karena tekanan diapirisme, magma ini membubung naik, dan berusaha meraih permukaan bumi. Bila magma tersebut dapat mencapai permukaan bumi, maka terjadilah vulkanisme yang dapat menimbulkan kegiatan gunung api.
Gempa bumi dihasilkan oleh proses-proses magmatisme dan tektonisasi, letusan gunung api dihasilkan oleh proses magmatisme (vulkanisme), tanah longsor dihasilkan oleh proses-proses erosi, pelapukan, hidrologis, dan tektonik, serta banjir lebih diakibatkan oleh proses erosi dan hasil kerja manusia.
Kegiatan gunung api bisa berupa erupsi yang efusif (leleran lava) dan erupsi yang eksplosif (letusan). Letusan eksplosif dapat menghasilkan semburan debu dan abu, semburan bebatuan, awan panas beracun, dan sebagainya. Di samping ancaman bahaya primer kegiatan gunung api di atas, ada ancaman sekunder berupa lahar, yaitu aliran lumpur dan bebatuan yang terjadi karena rempah vulkanik yang bertimbun pada lereng disiram hujan hingga jenuh, dan akhirnya longsor karena gaya berat.
Sebagaimana diketahui, litosfer terpecah-pecah menjadi beberapa lempeng besar dan banyak lempeng kecil yang relatif saling bergerak satu sama lain. Pada saat dua atau lebih lempeng saling bertemu atau berpapasan, maka mereka akan saling berdesakan atau bergesekan. Apabila pada saat berdesakan atau bergesekan, tegangan yang diderita batuan melebihi kekuatan/ketahanannya, maka batuan tersebut akan patah. Pada saat dua lapisan litosfer saling bergesekan atau yang satu menggerus yang lain pada suatu sesar (patahan), karena adanya tekanan (stress) dari kedua belah pihak, maka akan terjadi akumulasi energi di sepanjang batas sesar tersebut. Bila suatu saat kekuatan batuan tidak mampu lagi menahan akumulasi energi, bagian-bagian yang lemah akan bergeser, dan energi yang terlepas pada saat batuan bergeser menimbulkan gelombang seismik yang dikenal sebagai gempa. Berdasarkan pusat kejadiannya, gempa dapat diklasifikasikan sebagai gempa dalam, sedang, dan dangkal. Yang paling sering menelan korban justru gempa dangkal, seperti yang terjadi di Liwa, Bengkulu, Bantul Yogyakarta, dan Nusa Dua Bali. Letusan gunung api pada umumnya berkaitan dengan dua lempeng litosfer yang saling bertemu dan berdesakan.
16
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Gunung Bromo, Jawa Timur
penahan). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian longsoran antara lain faktor yang bersifat pasif yaitu iklim, topografi, litologi, stratigrafi. struktur geologi, dan vegetasi, serta faktor yang bersifat aktif yaitu: lereng yang curam, erosi, pembebanan (misal oleh air atau bangunan), dan aktivitas manusia.
Erupsi eksplosif anak Gunung Krakatau
Tanah longsor, merupakan kejadian alam yang acap kali melibatkan ulah manusia. Ulah dan kepentingan manusia yang keliru sering sekali memicu kejadian ini. Pada umumnya gerakan tanah terjadi karena gaya gravitasi massa tanah melebihi gaya yang menahannya (baik karena kekuatan dan kohesi bahan, friksi antara bahan sekitarnya, dan unsur
Dinamika air di permukaan dipengaruhi oleh bentuk bentang alam. Sungai mengerosi lereng pegunungan, membentuk lembah, akhirnya menghasilkan sistem pengeringan (drainage system), yang sensitif terhadap keseimbangan iklim, topografi, batuan, dan soil. Disamping itu sungai juga melakukan pengendapan material yang dierosinya di bagian hulu. Pengendapan terjadi di bagian sisisisi dan hilir sungai, yang menyebabkan pendangkalan, dan pada akhirnya daya tampung lembah menjadi berkurang. Apabila daya tampung lembah sungai tidak mampu lagi menampung debit aliran sungai, maka sebagian arah aliran akan berubah lateral. Migrasi arah aliran secara lateral inilah yang dapat menimbulkan banjir. Berbagai bencana tersebut atas terkadang tidak diakibatkan oleh hanya satu proses saja, melainkan dua atau lebih, yang bekerja secara stimulan.
Tata Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Tata ruang berbasis mitigasi bencana mutlak diperlukan di daerah yang rawan bencana. Dalam perencanaannya, tentu perlu dimulai dari pemetaan yang baik terhadap potensi geologis baik yang manfaat maupun yang merusak.
Tata ruang berbasis mitigasi bencana mutlak diperlukan di daerah yang rawan bencana. Dalam perencanaannya, tentu perlu dimulai dari pemetaan yang baik terhadap potensi geologis baik yang manfaat maupun yang merusak. Zona-zona rawan bencana perlu ditentukan dan ditarik batas-batasnya. Selanjutnya dilakukan klasifikasi terhadap zona rawan bencana tersebut, diberi bobot mulai dari yang paling beresiko (resiko terbesar) hingga yang resiko 0 (jika ada). Dalam pemetaan zona rawan bencana, perlu dipilah-pilah dan dipisah-pisahkan, antara jenis bencana yang satu dengan bencana lainnya. Peta rawan bencana gempa tentu saja berbeda dengan peta rawan bencana gunungapi, bencana tanah longsor, bencana banjir, dan sebagainya. Sehingga sebuah kawasan perlu memiliki semua jenis peta kerawanan bencana tersebut. Berdasarkan peta-peta tersebutlah, penataan, pembangunan, dan pengembangan sebuah kawasan sebaiknya dilakukan. Berdasarkan peta-peta tersebut pula, dapat ditentukan berbagai tata-guna lahan antara lain kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan budidaya, kawasan pariwisata, kawasan pengambilan sumberdaya alam, dan kawasan konservasi. Untuk menentukan zonasi rawan bencana, maka setiap parameter yang digunakan dalam pemetaan perlu diberi bobot dan nilai untuk memperoleh nilai total kawasan. Penilaian ini dilakukan guna melihat peruntukan yang paling tepat bagi suatu kawasan. Sebagai contoh, kawasan untuk permukiman tentu saja harus bebas dari semua jenis ancaman bencana. Daerah rawan bencana mungkin hanya cocok untuk kawasan budidaya tanaman atau kawasan lindung yang harus dikonservasi. Selain mempertimbangkan faktor-faktor geologi untuk menentukan tingkat kerawanan terhadap ancaman bahaya alam, dalam penataan ruang berbasis mitigasi bencana, perlu memperhatikan ketersediaan sumber air bersih. Untuk itu keberadaan sumber air baik yang berada di permukaan maupun di bawah permukaan perlu dipetakan dan dinilai pula. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
17
topik utama Memberdayakan Masyarakat Bencana alam seperti gempabumi, letusan gunungapi, lahar, tanah longsor, gelombang pasang, dan banjir seringkali kekuatannya luar biasa, dan waktu terjadinya sulit ditentukan secara tepat. Namun demikian, manusia memiliki kemampuan untuk mengenali dan memahami peristiwa tersebut. Pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan bencana merupakan suatu alternatif penanggulangan yang murah, efektif, namun bermanfaat dan menguntungkan. Masyarakat diuntungkan karena mereka diberdayakan dan dicerdaskan. Dalam konsep ini masyarakat dilibatkan langsung untuk turut mengetahui dan memahami karakteristik, gejala-gejala awal bencana, mengetahui cara mencegah, menghindari, serta menanggulanginya. Dalam hal ini, penanggulangan bencana ditekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat, khususnya yang tinggal di kawasan rawan bencana secara partisipatoris, bersama, oleh dan untuk masyarakat, bukan sekedar oleh para ahli dan aparat pemerintah. Dalam melakukan manajemen bencana, khususnya terhadap bantuan darurat, dikenal dua model pendekatan yaitu “konvensional” dan “pemberdayaan”. (Anderson & Woodrow, 1989, dikutip dari Paripurno, 2000). Perbedaan paling mencolok di antara keduanya terutama terletak kepada cara melihat: kondisi korban dan target akhir. Dalam manajemen konvensional, korban dianggap tidak berdaya dan membutuhkan batuan, sedangkan dalam manajemen pemberdayaan, korban dianggap sebagai manusia yang aktif, berkemampuan, dan berkapasitas. Target manajemen konvensional adalah agar keadaan kembali normal. Sedangkan target manajemen pemberdayaan adalah mengurangi kerentanan dalam jangka panjang. Di sisi lain, mekanisme dalam penanggulangan bencana dikenal secara internal dan eksternal. Mekanisme internal dalam penanggulangan bencana dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana; baik oleh keluarga, organisasi sosial, maupun masyarakat lokal. Mekanisme ini dikenal sebagai penanggulangan bencana secara alamiah (Paripurno, 2000). Sebaliknya dalam mekanisme eksternal, penangulangan bencana dilakukan oleh pihak-pihak di luar unsur-unsur mekanisme internal tersebut. Untuk mewujudkan tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, perlu keterlibatan dan dukungan semua pihak, antara lain dari para akademisi, lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat. Demikian pula dalam proses pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. Maka dengan demikian tata ruang berbasis mitigasi bencana adalah sebuah keniscayaan.
Relawan yang bekerja pasca letusan gunung Merapi, Yogyakarta 2010 lalu
Pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan bencana merupakan suatu alternatif penanggulangan yang murah, efektif, namun bermanfaat dan menguntungkan.
Pustaka Hamilton, W. (1979), Tectonics of the Indonesian Region, U. S. Government Printing Office Howard, A. D. & I. Remson (1979), Geology in Environmental Planning, McGraw Hill Book Company Kusumayudha, S. B. (1993), Asia Tenggara Daerah Rentan Longsoran, Kasus Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand, Wimaya, No. 16 Tahun X, hal 1-11 -------- (1996), Analisis Kinematika ketidakstabilan Lereng di Sekitar Bendungan Sermo, Kulonprogo, Buletin Teknologi Mineral, No 02, Tahun I, hal 2-9 -------- (2000), Menghadapi Masalah Klasik Bencana Tanah Longsor, Kedaulatan Rakyat, 9 November 2000 -------- (2007), Yogyakarta dan Periode Ramai Gempa, Kedaulatan Rakyat, Februari 2007 -------- (2010), Letusan Merapi Kali Ini, Kedaulatan Rakyat, Desember 2010 Paripurno, E. T. (2000), Penanggulangan bencana berbasis masyarakat: Seperti apa?, Materi Lokalatih Pengelolaan Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Kulonprogo Zumberge, J. H. & C. A. Nelson (1976), Elements of Physical Geology, John Wiley & Sons
18
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Kawasan Strategis Nasional (KSN) BOROBUDUR dan DANAU TOBA
Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana Kawasan Candi Borobudur dan Danau Toba merupakan warisan yang memiliki peranan sangat penting secara Nasional.
Oleh: Ir. Iman Soedrajat MPM, Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional Ditjen Penataan Ruang, Kemen PU
Seluruh dunia mengakui Indonesia memiliki kekayaan dan potensi alam yang sangat kaya dan beranekaragam. Adalah tanggung jawab bersama Bangsa Indonesia untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam yang merupakan warisan nenek moyang dan anugerah dari Tuhan YME tersebut. Sebagai bentuk kepedulian terhadap warisan ini, Pemerintah sebagai decision maker menuangkannya di dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan PP 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Lewat peraturan ini, pemerintah merencanakan, mengatur, serta mengendalikan sumber daya dan warisan Indonesia yang telah di masukkan ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), yang kemudian diimplementasikan bersama masyarakat. Berdasarkan landasan hukum di atas, pengertian KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Di dalam RTRWN, terdapat 76 KSN yang tersebar di seluruh
Indonesia, di antaranya adalah Kawasan Candi Borobudur dan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Kedua kawasan ini merupakan warisan budaya yang memiliki peranan sangat penting secara Nasional. Candi Borobudur merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan, begitu juga dengan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, terlebih karena memiliki fungsi lingkungan. Untuk mendukung pelestarian wilayah-wilayah yang termasuk dalam KSN, khususnya Kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya juga Kawasan Danau Toba dan sekitarnya maka dibuatlah Raperpres. Raperpres KSN yang sedang disusun saat ini diharapkan dapat menjawab isu kesiapan pemerintah baik pusat dan daerah dalam mengatasi bencana, baik letusan gunung api, gempa tektonik, maupun bencana lingkungan lainnya, serta isu belum adanya perangkat yang memadai, termasuk payung hukum berupa peraturan-peraturan.
Kawasan Strategis Nasional Borobudur dan Sekitarnya
Candi Borobudur merupakan candi terbesar di Indonesia, yang terletak di Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, atau berada kurang lebih 100 Km di sebelah barat daya Semarang dan 40 Km di sebelah Barat Laut Yogyakarta. Candi yang didirikan oleh para penganut Agama Buddha sekitar tahun 824 M ini memikat wisatawan seluruh dunia dengan konstruksi bangunan candi yang unik, serta 1.460 relief tentang rangkaian cerita pada masa pembangunannya yang mengelilinginya.
Candi Borobudur memikat wisatawan seluruh dunia dengan konstruksi bangunan candi yang unik serta rangkaian cerita yang mengelilinginya.
Selain sebagai tempat wisata, candi ini juga menjadi pusat ibadah penganut Agama Buddha, khususnya pada saat perayaan Hari Waisak. Candi Borobudur ini merupakan candi terbesar ke dua setelah Candi Ankor Wat yang terletak di Kamboja. Candi Borobudur yang memiliki luas bangunan 15.129 m2 ini tersusun dari 55.000 m3 batu. Dua juta potongan batu-batuan inilah yang menjadikannya sumberdaya pusaka (heritage) yang sangat besar nilainya dan tidak dimiliki candi September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
19
topik utama lain. Hal ini pula yang membuat Candi Borobudur terdaftar di UNESCO sejak tahun 1991 dengan nomor 592 sebagai salah satu dari 851 bangunan kuno di dunia yang mendapatkan perhatian khusus. Candi Borobudur berlokasi sekitar 30 km dari Gunung Merapi. Walaupun terbebas dari gempa, akan tetapi kawasan ini terkena dampak awal erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 lalu. Abu vulkanik setebal 2 cm yang mengandung sulfur menempel pada stupa-stupa candi. Dibutuhkan waktu satu bulan untuk membersihkan tumpukan debu-debu yang berpotensi melapukan candi tersebut. Kondisi bukanlah yang pertama kali terjadi, tapi yang ke tiga kali setelah kejadian tahun 1996 dan 2006. Bencana ini menyebabkan penurunan kunjungan wisatawan. Target kunjungan PT. Taman Wisata Candi Borobudur yaitu dua miliyar orang per tahun tidak terpenuhi. Dalam kondisi normal, jumlah pengunjung kurang lebih sebesar 2 juta wisatawan. Besarnya nilai sejarah dan perhatian dunia terhadap Candi Borobudur juga menjadi salah satu kepedulian Pemerintah Indonesia dalam menjaga dan melestarikan heritage ini, maka dimasukkanlah Kawasan Candi Borobudur dan sekitarnya ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) melalui PP No 26 Tahun 2008 tentang RTRWN, yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap budaya, lingkungan, dan termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Amanat di dalam PP 26 Tahun 2008 ini juga tertuang di dalam RTRW Propinsi Jawa Tengah sebagai turunan PP tersebut. Candi Borobudur dijadikan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dan ditetapkan sebagai salah satu kawasan cagar budaya, ilmu pengetahuan, dan pusat pariwisata. RTRW Propinsi Jawa Tengah ini juga mengarahkan peraturan zonasi untuk kegiatan penelitian, pendidikan, pariwisata dan prasarana pendukung pariwisata (gardu pemandangan, restoran, pasar, fasilitas parkir) dengan izin bersyarat dan terbatas. Budaya dan pemanfaatan potensi alam lainnya di sekitar kawasan candi juga tetap memperhatikan daya tampung lingkungan.
Lokasi Borobudur
Besarnya nilai sejarah dan perhatian dunia terhadap Candi Borobudur juga menjadi salah satu kepedulian Pemerintah Indonesia dalam menjaga dan melestarikan heritage ini.
Perhatian pemerintah terhadap Candi Borobudur tidak berhenti di sini. Pengelolaan situs ini disepakati untuk dijadikan Peraturan Presiden pada 2007. Pada tahun 2008 dilakukan penyusunan materi teknis Raperpres Candi tersebut dan dilanjutkan dengan fasilitasi penyelesaian Raperpres tahun 2009. Saat ini, Raperpres RTR KSN Candi Borobudur telah mendapatkan kesepakatan pemerintah daerah terkait.
Mengapa Perlu Peraturan Presiden Untuk Candi Borobudur?
Candi Borobudur dipenuhi oleh wisatawan dalam dan luar negeri 20
Ada beberapa alasan yang mendasari dibuatnya Perpres tentang pengelolaan Candi Borobudur, antara lain adalah belum jelasnya visi tematik dan masterplan pelestarian kawasan candi, perubahan paradigma pelestarian dari Static Conservation menjadi Dynamic Conservation, penurunan kualitas fisik lingkungan akibat tidak jelasnya landasan pengaturan perijinan, lemahnya kontrol pedagang formal dan informal, dan tidak jelasnya koordinasi antara Pemerintah Nasional dengan Pemda, lemahnya keterlibatan masyarakat, serta tidak adanya payung hukum yang jelas yang dapat menjamin pelestarian cagar budaya dunia Candi Borobudur. Lebih jauh, ketidakjelasan fokus Keppres No.1/1992 dalam menjamin kelestarian Candi Borobudur, karena keputusan tersebut hanya berorientasi pada Candi Borobudur semata, sehingga ekosistemnya terabaikan – lahan persawahan dan pedesaan mulai menghilang – seiring dengan munculnya lahan kritis akibat penambangan dan penumpukan tanah yang berlebihan. Batas yang ditentukan dan dibatasi di dalam zona telah membaik karena perubahan fungsi lahan maupun perencanaanya lebih bertumpu kepada kondisi eksisting situs, sehingga mempertahankan kondisi biogesik dan sosial ekonomi budaya masyarakat.
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Muatan Penataan Ruang dalam Raperpres Tujuan Penataan Ruang Kawasan Candi Borobudur di dalam Raperpres adalah untuk mengendalikan pemanfaatan ruang di Kawasan Borobudur dalam rangka menjamin terciptanya keselarasan antara upaya pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya dunia. Kebijakan ini dibuat untuk memastikan perlindungan terhadap karakter kawasan pedesaan dari dampak negatif pembangunan perkotaan, mewujudkan keterpaduan pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan candi dengan mengembangkan kelembagaan lintas wilayah dan lintas sektoral dalam rangka pelestarian dan pengembangan kawasan candi.
Rencana struktur dan pola didesain untuk mendukung upaya pelestarian dan pengembangan kawasan Candi Borobudur.
Strategi yang digunakan dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah dengan mempertahankan kawasan hijau, membatasi perkembangan kawasan pembangunan perkotaan dan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengancam kerusakan candi dan fitur geologi. Sebagaimana yang telah ditulis di atas, Raperpres ini tidak hanya terkonsentrasi pada bangunan Candi Borobudur saja, melainkan kawasan di sekitarnya yang berjarak 5 Km dari pusat candi dan sebagian Koridor Palbapang yang berada di luar radius 5 Km dari pusat candi.
Untuk mendukung upaya pelestarian dan pengembangan kawasan Candi Borobudur, rencana struktur dan pola pun didesain dengan merencanakan dan mengembangan jaringan transportasi menuju kawasan candi. Terdapat keunikan di dalam rencana Pola Ruang Kawasan Borobudur. Di dalam rencana pola ini terdapat rencana Pola Ruang Taman Purbakala yang berfungsi sebagai zona penyangga, di antaranya mencakup Taman Purbakala Borobudur, Pawon, dan Mendut. Pembangun di sekitar taman ini dikendalikan di dalam arahan peraturan zonasi. Aturan kegiatan dan penggunaan lahan di zona penyangga ini diizinkan untuk kegiatan Tourist Information Centre, pembibitan, penjualan tanaman/bunga, prasarana transportasi jalan lokal, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berupa jalur hijau dan pulau jalan, pekarangan, sempadan/penyangga.
Terdapat dua pembagian kawasan ini, yaitu: Sub Kawasan Pelestarian (SP) 1 yang merupakan kawasan pelestarian utama situs-situs cagar budaya yang harus dikendalikan pertumbuhan kawasan terbangunnya dalam untuk menjaga
kelestarian Candi Borobudur, Candi Pawon, dan Candi Mendut; dan SP 2 yang merupakan kawasan pengamanan sebaran situs yang belum tergali, yang pertumbuhan kawasan terbangunnya harus dikendalikan dalam rangka menjaga keberadaan potensi sebaran cagar budaya yang belum tergali dan kelayakan pandang.
Membangun Kelembagaan Langkah selanjutnya setelah perencanaan yang tak kalah penting adalah mekanisme pengelolaan tentang siapa yang akan bertanggung jawab. Gubernur selaku pemerintah daerah mendapat tugas dari menteri untuk mengelola Kawasan Borobudur melalui tugas dekonsentrasi dengan membentuk Badan Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Borobudur yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur Pemerintah Nasional dan Pemda. Badan ini memiliki tugas pokok: menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan arahan peraturan zonasi yang termuat dalam peraturan presiden; melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang, yang pedoman pelaksanaannya disiapkan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang; memberikan arahan pelaksanaan pembangunan kepada wilayah dan sektor; membina pengembangan potensi kawasan secara ekonomi yang selaras dengan upaya dengan pelestarian; melaksanakan pemantauan kinerja pemanfaatan ruang yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat yang pedoman pelaksanaannya disiapkan oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang penataan ruang; melaporkan kinerja perwujudan rencana tata ruang kepada Presiden secara berkala melalui menteri; dan, menjamin pelaksanaan pelestarian dan pengelolaan kawasan situs dan taman purbakala yang secara teknis berada di bawah tanggung jawab kementerian yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan. Badan Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Borobudur ini bertanggung jawab penuh kepada presiden melalui menteri. Sumber pendanaan Badan Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Borobudur dibebankan kepada Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian diharapkan pengelolaan Candi Borobudur dapat berjalan dan kelestarian candi akan tetap terjaga. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
21
topik utama
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Danau Toba Sebagaimana yang telah dituliskan di awal wacana, Danau Toba juga merupakan salah satu KSN yang terdapat di dalam RTRWN dengan kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati, memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air, yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara karena rawan bencana vulkanik. Tak hanya itu, Kawasan Danau Toba juga memiliki kepentingan sosial dan budaya, karena merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional dan merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan. Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Danau ini merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 74.000 tahun lalu yang melepas sekitar 800 kilometer kubik abu (supervolcano atau gunung berapi super) ke atmosfer yang menyelimuti langit dan menghalangi sinar matahari selama enam tahun. Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas (vulkanik) inilah yang menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Kejadian ini telah memakan korban jutaan manusia dan pada menyebabkan beberapa spesies punah. Secara administratif Kawasan Danau Toba berada di Provinsi Sumatera Utara dan secara geografis terletak di antara koordinat 2°10’3°00’ Lintang Utara dan 98°24’ Bujur Timur. Kawasan Danau Toba merupakan kawasan yang berada di sekitar Danau Toba dengan deliniasi batas kawasan didasarkan atas Delineasi Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) yang memiliki luas sekitar 369.854 Ha. Kawasan ini meliputi tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Bencana Lingkungan
Tiadanya aktivitas Gunung Toba setelah letusan terakhir puluhan ribu tahun lalu menjadikan wilayah ini relatif aman dihuni. Masyarakat umumnya tidak khawatir akan tertimpa bencana meskipun hidup di atas sumbu bumi yang pernah meledak hebat. Bagi masyarakat Batak Toba belakangan ini, pengertian bencana lebih dikaitkan dengan persoalan kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Perubahan sosial yang mengarah pada kendurnya ikatan sosial tradisional menjadi kekhawatiran yang kerap dilontarkan.
Wilayah administrasi Kawasan Danau Toba dan sekitarnya 22
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Kawasan Danau Toba
Namun, perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba yang paling drastis terjadi ketika masuknya perusahaan pengolahan bubur kertas dan serat rayon di Porsea. Setelah perusahaan itu beroperasi dalam skala besar pada tahun 1989, perubahan pun segera terjadi. Polusi air Sungai Asahan dan udara sekitar pabrik, longsor dan banjir kerap terjadi di sekitar Danau Toba. Perubahan ekosistem hutan pun terjadi lebih besar daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa. Masalah lain lingkungan Danau Toba adalah menurunnya kualitas air danau. Hasil pengukuran yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan pH air sudah berada di level 8.2 (dalam skala 6-9). Hasil pemantauan juga menunjukkan adanya kandungan fosfor dan nitrogen dari pakan ikan yang ditebar di keramba jaring apung. Keindahan Kawasan Danau Toba dan sekitarnya tidak akan bertahan lama jika tidak mendapat perhatian khusus. Saat ini keindahan tersebut telah terancam dengan adanya beberapa lahan kritis di sekitar kawasan. Berdasarkan hasil analisis lahan kritis yang dilakukan oleh BPDAS Asahan Barumun tahun 2006, terdapat 377.834,81 Ha lahan yang berpotensi kritis hingga sangat kritis akibat klimatologi dan faktor kesengajaan manusia. Kebakaran hutan dan laju penebangan pohon di Daerah Tangkapan Air (DTA) sulit dihindari tanpa pemantauan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Muatan Penataan Ruang dalam Raperpres KSN Danau Toba
Berbagai kebijakan Penataan Ruang Kawasan Danau Toba telah disusun sejak tahun 1990 dengan penerbitan Perda Propinsi Dati I Sumatera Utara No. 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba. Kini, kebijakan dilanjutkan dengan penyusunan Raperpres yang telah ditandatangani Gubernur Propinsi Sumatera Utara. Penetapan kawasan lindung merupakan salah satu elemen di dalam RTR. Kawasan Lindung yang dimaksud terdiri dari Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya, Kawasan Lindung Setempat, Kawasan Hutan Suaka Alam. Rencana kegiatan reboisasi yaitu penanaman pohon trembesi oleh Presiden RI dan Dinas Kehutanan pada awal tahun 2011 merupakan langkah untuk menepis ancaman lingkungan yang terjadi di Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, mengembalikan keseimbangan ekosistem di dalamnya, dan tentunya mengendalikan pemanfaatan ruang di sekitarnya, seperti aktivitas perkebunan, pertanian, tambak, dan permukiman masyarakat. Arahan yang terdapat di dalam Raperpres ini antara lain menjadikan Kawasan Danau Toba menjadi tujuan wisata internasional dan nasional, terjaganya ekosistem danau Toba secara berkelanjutan, menjadikan Danau Toba sebagai sumber air kehidupan ‘Aek Natio’ yang berkelanjutan bagi masyarakat, pelestarian Suku Batak dan Kampung Adat Masyarakat Suku Batak, keterkaitan antar wilayah yang semakin intentif dengan terjalinnya kerjasama antar wilayah yang saling menguntungkan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan swasembada pangan yang berkelanjutan.
Penetapan kawasan lindung merupakan salah satu elemen di dalam RTR yang terdiri dari Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya, Kawasan Lindung Setempat, Kawasan Hutan Suaka Alam.
Lebih lanjut, penyelenggaraan penataan ruang di kawasan ini bertujuan: terwujudnya Kawasan Danau Toba sebagai daerah tujuan wisata internasional dan nasional; terwujudnya Danau Toba sebagai sumber air kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat; terwujudnya ekosistem danau yang berkelanjutan; terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan swasembada pangan yang berkeanjutan; terwujudnya kelestarian kampung masyarakat adat dan budaya suku bangsa Batak; serta terwujudnya kerjasama antar wilayah yang saling menguntungkan
Penguatan Kelembagaan
Untuk mewujudkan keterpaduan, kelancaran dan efektivitas pelestarian dan pengembangan Kawasan Danau Toba, seperti halnya di Kawasan Candi Borobudur, maka dibentuklah suatu lembaga yaitu Dewan Kawasan Danau Toba (DKDT), Badan Pengelola KDT (BP-KDT) dan Unit Pelaksanaan Teknis Kawasan Danau Toba (UPT-KDT). Dewan Kawasan Danau Toba bertugas merumuskan kebijakan umum pelestarian
dan pengembangan Kawasan Danau Toba dan menyusun Rencana Tindak Pelestarian dan pengembangan Kawasan Danau Toba secara lintas kabupaten. Badan Pengelola Kawasan Danau Toba (BP-KDT) bertugas membantu gubernur dan para Bupati untuk mengimplementasikan Rencana Tindak Pelestarian dan Pengembangan Kawasan Danau Toba dan membantu terlaksananya koordinasi antar kabupaten.
DKDT, BP-KDT, dan UPT-KDT dibentuk untuk mewujudkan keterpaduan, kelancaran dan efektivitas pelestarian dan pengembangan Kawasan Danau Toba.
Terkait upaya pembinaan dan pengawasan, perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan penataan ruang kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dewan kawasan, badan pengelola dan masyarakat. Selanjutnya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten bersama Dewan Kawasan dan Badan Pengelola menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan penataan ruang sesuai kewenangan masing-masing. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
23
topik lain
Respon hijau terhadap perubahan iklim
Oleh: Redaksi Butaru
Saat tantangan pembangunan kota semakin berat, gagasan yang ramah lingkungan pun menjadi solusinya. Perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (yang antara lain dipicu oleh tingginya angka urbanisasi dan tingginya emisi karbon atau gas rumah kaca), bukan lagi sebuah wacana, namun secara nyata telah terjadi dan kita alami. Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, yaitu dari 1970 hingga tahun 2010, telah terjadi peningkatan jumlah kota otonom dua kali lipat yaitu dari 45 kota menjadi 98 kota, yang rata-rata penduduknya berjumlah 533 jiwa/kota. Peningkatan jumlah kota ini lalu diikuti oleh jumlah penduduk yaitu dari 21 juta jiwa menjadi 123 Juta jiwa, atau sekitar enam kali lipat lebih besar. Fenomena Urbanisasi memicu berbagai persoalan perkotaan, khususnya di saat ini dimana 52,03 % penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Kontribusi Kawasan Perkotaan terhadap Perubahan iklim antara lain adalah urbanisasi, pemanfaatan SDA dan Emisi Karbon (GRK). Akibat dari halhal tersebut adalah penurunan lahan hijau produktif dan penurunan kualitas ruang yang terindikasi dari terjadinya banjir, kemacetan, polusi, krisis infrastruktur, dan bencana. Lebih lanjut lagi, perubahan iklim di Indonesia berdampak pada terjadinya kekeringan, peningkatan jumlah hari panas, badai tropis, tingginya frekuensi curah hujan, dan kenaikan muka air laut. Salah satu contoh nyata adalah amblasnya Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, akibat intrusi air laut dan ROB. Tantangan pembangunan perkotaan yang semakin berat dengan hadirnya parameter perubahan iklim, menuntut kita untuk berpikir lebih seksama juga mengembangkan gagasan yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif dan realistis, sekaligus melakukan aksi konkrit sebagai solusi perubahan iklim. Kota hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip keberlanjutan. Kota hijau sendiri dapat diidentifikasi dari delapan atribut meliputi: perencanaan dan perancangan kota ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien, pengelolaan air, pengelolaan limbah dengan prinsip 3R, bangunan hemat energi, penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan, dan peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau.
24
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Green
Green
Community
kepekaan, kepedulian, dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan atribut Kota Hijau
Green
Planning and design
perencanaan dan perlindungan yang beradaptasi pada biofisik kawasan
Green
Openspace mewujudkan jejaring ruang terbuka hijau kota
Green
Kota Hijau
Building bangunan hemat energi
Green
Waste
usaha untuk melaksanakan prinsip 3R
Green
Transportation
Energy
pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan
Green Water
efisiensi pemanfaatan sumberdaya air
pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan misal: transportasi publik, jalur sepeda, dsb
8 (delapan) Atribut Kota Hijau
Berkaitan dengan salah satu atribut kota hijau, UndangUndang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) telah mensyaratkan setiap kota untuk menyediakan RTH minimal sebesar 30% dari luas wilayah kota, dengan rincian RTH Publik 20% dan RTH Privat 10%. Ketentuan preskriptif mengenai RTH tersebut harus secara eksplisit termuat dalam setiap Perda RTRW. Selain diamanatkan dalam UUPR, perwujudan kota hijau melalui penyediaan RTH didasarkan pula pada 10 Prakarsa Bali yang dicanangkan oleh Sustainable Urban Development Forum Indonesia (SUD-FI) pada peringatan puncak Hari Tata Ruang pada tahun 2010 di Sanur, Bali. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan RTH sangat penting untuk menjamin keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, mikroklimat maupun ekologis lainnya. Bila pembangunan terus berkembang secara masif dengan mengorbankan luasan RTH, maka ekosistem kota dapat menjadi terganggu. Inilah yang mengakibatkan banjir, kekeringan dan kelangkaan air, pencemaran udara serta peningkatan iklim mikro.
Dalam rangka green cities, indeks rata-rata RTH untuk negaranegara Asia sudah melampaui 15 m2/orang. Hal ini sudah diterapkan di Kota Hongkong, Nanjing, Beijing, Singapura, Taipei, Kuala Lumpur, Seoul, Delhi, Karachi, dan Shanghai. Selanjutnya, indeks RTH dunia dalam rangka liveable cities,
berkisar pada 11-134 m2/orang, sedangkan indeks RTH kota seperti Jakarta, pada saat ini masih berkisar 6 m2/orang. Maka jelaslah bahwa tantangan ke depan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan aksesibilitas terhadap RTH tidak ringan.
Program Pengembangan Kota Hijau Pemerintah Pusat:
Pemerintah Kota:
- Bantuan Teknis - Bimbingan Teknis - Dukungan Program - Pelatihan - Kampanye Publik
- Implementasi Fisik - Sosialisasi - Penjaringan Prakarsa Masyarakat - Replikasi
Masyarakat/ Dunia Usaha: - Implementasi - Replikasi -Advokasi
Program Pengembangan Kota Hijau
P2KH bertujuan untuk meningkatkan kualitas tata ruang kota yang responsif perubahan iklim.
Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang diiniasi Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, bertujuan untuk meningkatkan kualitas ruang kota yang responsif terhadap perubahan iklim. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Ir. Imam S. Ernawi, MSc., MCM, menyatakan inisiatif ini dapat diletakkan dalam konteks implementasi RTRW Kota/Kabupaten serta peningkatan peran aktif para pemangku kepentingan pada aras lokal. Pada tahap inisiasi P2KH tahun 2011 ini, akan ada tiga atribut yang difokuskan, yaitu: perencanaan dan perancangan ramah lingkungan; perwujudan ruang terbuka hijau 30%; dan peningkatan peran masyarakat melalui komunitas hijau. Namun pada tahap berikutnya P2KH diharapkan lebih luas cakupan wilayahnya (kota/ kabupaten) dan memiliki program yang lebih komprehensif dan inklusif. Berita baiknya adalah saat ini sudah ada 32 kota dan 48 kabupaten yang menyampaikan minatnya untuk mengikuti prakarsa P2KH yang dimulai dengan bersama-sama menyusun Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH). Penanganan dampak perubahan iklim ini memerlukan upaya bersama dan peran serta stakeholder secara sinergis dan konsisten. Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Joko Kirmanto, dalam arahannya mengharapkan Pogram P2KH ini menjadi media belajar yang positif bagi semua pihak, memberikan wawasan yang utuh mengenai kota hijau sebagai solusi perubahan iklim, serta melahirkan rencana aksi daerah yang terukur dan implementatif untuk diwujudkan mulai tahun 2012. Selain itu, perlu pula ditumbuhkan kesadaran dan perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih ramah lingkungan, dimana pendidikan lingkungan mesti dilaksanakan sejak usia dini. (mem)
Referensi:
RTH di Taman Menteng, Jakarta
-Paparan Menteri PU pada acara Lokakarya “Perubahan Iklim Dan Kota Hijau : Dari Konsep Menuju Rencana Aksi”, 26 September 2011. -“Perubahan Iklim dalam Pembangunan Nasional dan Perkotaan”, Prof.(Hon.) Ir. Rachmat Witoelar, September 2011.
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
25
topik lain
KETIKA IJIN USAHA PERKEBUNANPERTAMBANGAN (IUP)
BERSINGGUNGAN KAWASAN HUTAN Oleh: Sri Sultarini Rahayu Auditor pada Inspektorat IV Kementerian Kehutanan)
Kisruh Kawasan Tingginya produksi sawit dan batubara menggambarkan keberhasilan perusahaan-perusahaan perkebunan maupun pertambangan memberi kotribusi devisa pada negara. Namun, tidak seirama dengan dengungnya devisa yang dihasilkan, kasus tumpang tindih kawasan oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan terus terdengar di wilayah Indonesia dengan modus bervariasi. Sebagian kasus mencuat dengan alasan belum dilakukannya proses paduserasi Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten (RTRWP/K) dengan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), sebagian lainnya karena tidak adanya koordinasi antara bupati dengan UPT Kementerian Kehutanan di daerah.
Perkebunan merupakan salah satu penghasil devisa yang sangat besar. Indonesia dengan luas kebun sawit mencapai 7,2 juta ha menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) sebagai salah satu produk unggulan perkebunan dari komoditi kelapa sawit. Produksinya yang mencapai 19 juta ton per tahun telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, yaitu sebesar 44,5 % dari seluruh produksi di dunia (Transtoto Handadhari, Kompas 9 Oktober, Hal 7). Penghasil devisa lain adalah pertambangan, dengan batubara sebagai salah satu produk andalannya. Batubara berperan strategis dalam penyediaan dan pengembangan energi nasional. Peran dan kontribusinya semakin penting di masa depan dan akan terus meningkat, antara lain karena batubara dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk seperti briket baturbara, Cyrude Synthetic Oil (CSO) dan gasifikasi batubara. Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara (2002) memaparkan produksi batubara pada tahun 1999 sebanyak 73,68 juta ton, kemudian meningkat sebanyak 80,94 juta ton. Angka tersebut terus meroket hingga pada akhir tahun 2010 diprediksi mencapai 320 juta ton.
26
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Modus terakhir ini lebih kerap terjadi dan distimulasi oleh euforia desentralisasi. Pemerintah Daerah (bupati) ingin memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) semaksimal mungkin. Instansi di bawah kewenangan bupati, seperti Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, dan Dinas Pertambangan tentu saja membantu kelancaran pengurusan izin perkebunan (izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan) maupun izin pertambangan (Izin Lokasi, Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat). Ironisnya, UPT Kementerian Kehutanan di daerah sering tidak dilibatkan dalam pengurusan izin perkebunan dan pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan. Di sinilah awal munculnya kisruh kawasan. Polemik selalu mewarnai pengurusan izin perkebunan maupun pertambangan, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten, kota atau antar sesama pemerintah kabupaten/kota dalam hal kewenangan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam di dalamnya. Tidak hanya karena aspek kewenangan pengelolaan kawasan yang membuat diperlukannya izin penggunaan kawasan, namun juga kekhawatiran terhadap dampak terkeruknya sumber
daya hutan dan berkurangnya luas kawasan hutan. Perlunya koordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan (Lintas Sektoral) didasari terdapatnya skala ekonomis pengusahaan perkebunan maupun pertambangan. Usaha perkebunan harus memiliki jumlah luas areal efektif sedangkan usaha pertambangan harus memiliki sejumlah nilai tertentu deposit mineral atau batubara. Perusahaan perkebunan dengan komoditi terbaharukan cenderung berorientasi pada ekspansi areal, sedangkan perusahaan pertambangan dengan komoditi tak terbaharukan berkonsentrasi pada pencarian potensi maksimal sumber daya mineral dan batubara yang terkandung didalam lapisan permukaan bumi. Perusahaan perkebunan bisa saja memperoleh calon areal perkebunan pada Areal Penggunaan Lain (APL) atau pada areal berstatus kawasan hutan yang dapat dilakukan pelepasan kawasan (Hutan Produksi yang dapat Dikonversi sesuai Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010). Sedangkan perusahaan pertambangan yang mengincar calon areal potensial sangat sulit untuk membiarkan areal berkandungan mineral dan batubaranya tinggi yang mungkin berstatus kawasan Hutan Produksi (HP) atau Hutan Lindung (HL). Untuk kasus semacam ini maka harus menempuh proses pinjam pakai kawasan (pasal 5 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2008). Budaya koordinasi dalam penerbitan izin perkebunan maupun pertambangan telah diupayakan Kementerian Kehutanan melalui berbagai peraturan. Sayangnya, upaya berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan belum tercermin dalam peraturan yang diterbitkan instansi terkait. Undang-Undang Pertambangan Nomor 4 Tahun 2009 tidak menyebutkan tentang keperluan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan jika calon areal tambang bersinggungan dengan kawasan hutan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, juga tidak menyebutkan perlunya rekomendasi Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin pertambangan. Demikian pula UndangUndang Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 yang hanya mengatur status tanah areal perkebunan (Pasal 9). Tercermin perlunya kearifan instansi terkait untuk mengupayakan regulasi yang mengatur koordinasi dengan Kementerian Kehutanan dalam hal menghindari terjadinya tumpang tindih izin perkebunan maupun pertambangan dalam kawasan. Kesulitan lainnya, setelah terbit UndangUndang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pemda
Aktifitas pertambangan di Kawasan Hutan
(bupati) untuk menerbitkan kuasa pertambangan (KP). Pemerintah provinsi hanya menangani izin jika lokasi tambang berada di perbatasan dua kabupaten. Pemerintah pusat hanya mengeluarkan izin KP untuk lokasi tambang yang berada di perbatasan dua provinsi. Desentralisasi membuat eksploitasi dan ekspor bahan tambang semakin tidak terkontrol, terutama batubara. Ekspor batubara yang tidak jelas wilayah kuasa pertambangannya – terlebih data jumlahnya – semakin sulit dikontrol Pemerintah Pusat karena para bupati tidak mengirimkan laporan ke pusat. Fenomena ini jamak terjadi di berbagai daerah. Perusahaan perkebunan maupun pertambangan tidak mengindahkan meskipun calon areal kerjanya tumpang tindih dengan Izin Usaha Pengusahaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan atau dengan izin usaha lainnya. Masing-masing perusahaan, baik perusahaan perkebunan maupun pertambangan berkeyakinan dengan melakukan aktivitas di areal yang dimohon (perusahaan perkebunan membuka lahan dan melakukan penanaman sedangkan perusahaan pertambangan melakukan pengeboran titik-titik eksplorasi) maka hal itu menjadi tanda kepemilikan izin operasi terhadap areal yang dimaksud. Kalau saja pengurusan Izin Usaha Perkebunan dan Izin Usaha Pertambangan dilakukan secara lintas sektoral, gubernur/ bupati tidak hanya melibatkan instansi yang berada di bawah kewenangannya namun juga berkoordinasi dengan UPT Kementerian Kehutanan, sehingga prosedur yang ditempuh mengikuti ketentuan dan aturan yang berlaku di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Maka kasus izin perkebunan maupun pertambangan dalam kawasan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku tentu tidak terjadi lagi. Karena langkah koordinasi instansi-instansi terkait belum banyak dilakukan, maka Menteri Kehutanan berupaya mengurangi kasus tumpang tindih kawasan, di antaranya melalui surat Nomor S.31/Menhut-VI/2008 tanggal 23 Januari 2008 yang menyatakan Menteri Kehutanan meminta bantuan gubernur di seluruh Indonesia untuk memerintahkan para bupati untuk segera menutup/mencabut izin-izin usaha perkebunan dan kuasa pertambangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
27
topik lain
Masalah IU Perkebunan
Pengembangan usaha perkebunan yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/ Kpts/HK.350/5/2002. Di situ dijelaskan bahwa untuk memperoleh Izin Usaha (IU) Perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syarat-syarat antara lain pertimbangan teknis kesediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan (Pasal 10 butir f ). Kenyataannya, Balai Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH) sering tidak dimintai pertimbangan teknis oleh dinas kehutanan kabupaten dalam rangka penerbitan IU Perkebunan.
Untuk memperoleh Izin Usaha (IU) Perkebunan, perusahaan perkebunan wajib memenuhi syaratsyarat antara lain pertimbangan teknis kesediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan.
Selain itu, pengusaha perkebunan sering hanya dengan berbekal IU Perkebunan dari bupati – meskipun areal kerjanya sebagian berada dalam kawasan hutan (HPK) – telah memulai aktivitas, sedangkan proses pelepasan kawasan belum diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Perbedaan persepsi yang sering muncul di antara para pengusaha adalah apakah perusahaan sudah dapat mulai beroperasi jika IUP terbit atau setelah proses pelepasan kawasan disetujui? Dua hal ini bisa dianalogikan seperti mempertanyakan apa yang dibutuhkan untuk bisa membangun bangunan, sertifikat tanah atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebenarnya moratorium pelepasan kawasan hutan telah digelontorkan sejak 26 September 2001 melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 1712/MenhutVII/2001. Kemudian dipertegas kembali melalui surat Menteri Kehutanan Nomor S.51/Menhut-VII/2005 tanggal 11 Februari 2005, agar gubernur/bupati tidak menerbitkan IU Perkebunan yang lokasinya berada di kawasan hutan. Selain itu pemegang IU Perkebunan yang berlokasi di kawasan hutan diminta agar menghentikan pembukaan kawasan hutan sebelum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
Kelemahan IU Pertambangan
Kegiatan penyelidikan umum merupakan tahap awal untuk menentukan titik eksploitasi (pit). Penyelidikan umum sebagai bagian dari tahap eksplorasi dapat dimulai setelah terbit IUP Eksplorasi, sementara tahap eksploitasi dapat dimulai setelah terbit IUP Operasi Produksi. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, pertambangan pengolahan dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan (Pasal 36 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Biasanya pengusaha tambang tidak ingin membuang-buang waktu, begitu izin ekplorasi dari bupati diterbitkan, perusahaan langsung melakukan pengeboran di titik-titik eksplorasi yang dapat dimulai setelah izin pinjam pakai kawasan diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Kisruh kawasan sering mencuat karena para pengusaha mengartikan operasi pertambangan bisa dimulai sejak IU Pertambangan terbit. Seharusnya, operasi pertambangan di dalam kawasan hutan (HL atau HP) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan, meski benar, aktivitas di luar kawasan dapat dimulai sejak terbitnya IU Pertambangan. Masalah lainnya adalah meskipun penjelasan tentang status lahan calon lokasi pertambangan (berada di kawasan hutan atau bukan) kepada pemenang lelang WIUP telah diatur dalam PP 23 Tahun 2010 Pasal 14 ayat 2, namun jika proses penerbitan IUP oleh gubernur/bupati tidak melibatkan UPT
28
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Operasi pertambangan di dalam kawasan hutan (HL atau HP) baru bisa dimulai setelah terbit izin pinjam pakai kawasan. Kehutanan ada kemungkinan informasi status lahan tersebut tidak sesuai dengan peta TGHK yang menjadi acuan status kawasan hutan dan bukan hutan. Modus lainnya adalah seperti yang diilustrasikan berikut ini. Perusahaan B mengajukan IU Pertambangan (atau IU Pertambangan diterbitkan bupati untuk perusahaan B) pada areal yang telah mengantongi IU Pertambangan untuk perusahaan A, sehingga calon areal eksplorasi kedua perusahaan saling tumpang tindih. Secara tempos delicti, tentu perusahaan A berhak memperoleh Izin Eksplorasi pada areal tersebut. Namun jika perusahaan B lebih dahulu mengajukan permohonan pakai pinjam kawasan kepada Menteri Kehutanan, maka perusahaan B-lah yang lebih dahulu diproses permohonannya. Satu hal yang tidak dapat dihindari perusahaan pertambanga adalah pengeboran titik eksplorasi dalam kawasan hutan tidak dibenarkan sebelum terbitnya izin pakai pinjam kawasan. Seperti suatu aksioma, perusahaan pertambangan
sebelum mengajukan permohonan IU Pertambangan pasti telah melakukan deteksi geologi untuk mengetahui kandungan deposit mineral dan batubara, sehingga tidak perlu ada keraguan tentang ada atau tidaknya kandungan batubara/mineral pada titik tertentu. Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/ Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan Penerbitan, izin terkait usaha perkebunan maupun pertambangan yang di kemudian hari diketahui tumpang tindih dengan kawasan hutan dapat diselesaikan secara tempos delicti sesuai pasal 2 ayat (1) yang menyatakan kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila: a) telah ditunjuk dengan keputusan menteri; b) telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas; c) Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan telah disahkan oleh menteri; atau d) Kawasan hutan
Pengeboran titik eksplorasi dalam kawasan hutan tidak dibenarkan sebelum terbitnya izin pakai pinjam kawasan. telah ditetapkan dengan keputusan menteri, dan ayat (2) bahwa dalam hal penunjukan suatu areal dengan keputusan menteri, atau suatu areal telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas atau berita acara tata batas telah disahkan oleh Menteri Kehutanan atau tata batas telah ditetapkan oleh menteri atau kawasan hutan telah ditetapkan dengan keputusan menteri, maka yang digunakan sebagai acuan kawasan adalah status yang terakhir.
Tumpang Tindih Kawasan
Ringkasnya, permasalahan tumpang tindih kawasan dalam pembangunan usaha perkebunan dan usaha pertambangan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut: a. Perusahaan perkebunan/pertambangan tidak memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Izin Lokasi yang diterbitkan bupati b. Perusahaan perkebunan langsung melakukan pembukaan lahan dan penanaman padahal hanya memperoleh Izin Lokasi, sementara persetujuan prinsip belum terbit c. Perusahaan pertambangan telah melakukan eksploitasi begitu mereka memperoleh Izin KP, padahal persetujuan prinsip belum diterbitkan. d. Masih banyak daerah yang belum memiliki RTRWP/K yang telah dipaduserasikan dengan Peta TGHK e. Tidak dilibatkannya BPKH untuk memberikan pertimbangan teknis dalam rangka penerbitan IU Perkebunan maupun IU Pertambangan f. Tidak berperannya Dinas Kehutanan kabupaten sebagai pemangku kawasan hutan di wilayah kabupaten dalam proses penerbitan Izin Lokasi Perkebunan yakni dalam memberikan pertimbangan teknis ketersediaan lahan eks kawasan g. Lemahnya pengawasan dan pengendalian Dinas Kehutanan kabupaten terhadap pelaksanaan kegiatan perkebunan, pertambangan dan pengamanan hutan h. HPH/HPHTI menelantarkan arealnya (tidak melakukan aktivitas di lapangan) i. Lemahnya pengawasan dan pengendalian oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi terhadap pelaksanaan kegiatan HPH/HPHTI j. Belum adanya koordinas antara Dinas Kehutanan provinsi dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten, serta BPKH untuk melakukan rekonstruksi batas kawasan areal HPH/HPHTI Perluasan perkebunan yang merusak kelestarian hutan
Jika faktor-faktor tersebut tidak segera ditindaklanjuti oleh instansi-instansi terkait, dan tidak ada upaya penyadaran atau penyuluhan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, tentu saja kekisruhan kawasan dan permasalahan antar instansi takkan ada habisnya. Sampai kapan kita akan membiarkan faktorfaktor tersebut menjadi budaya kerja di bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan di negeri ini? Sementara hutan-hutan Indonesia yang merupakan sumber cadangan oksigen, air, dan keanekaragaman hayati dunia terus terancam punah, yang tentu saja akan membawa kita ke permasalahan ekologi yang lebih serius lagi. September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
29
topik lain
reklamasi wilayah persisir
dan Pulau-pulau Kecil Oleh: Redaksi Butaru
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 17,480 pulau dengan panjang garis pantai 95,181 km. Tidak heran jika sebanyak 440 kabupaten/kota dari total 495 kabupaten/ kota di seluruh Indonesia berada di wilayah pesisir (Data KKP 2008). Wilayah pesisir dan laut Indonesia ini – yang menyediakan jasa lingkungan (produktivitas hayati dan keanekaragaman hayati pesisir dan laut tropis), transportasi, dan komersial (pelabuhan, industri, permukiman, pariwisata/ rekreasi) – turut berkontribusi terhadap ekonomi nasional dari sektor kelautan dan perikanan. Dengan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015” dan misi “Menyejahterakan Masyarakat Kelautan dan Perikanan”, diharapkan pembangunan wilayah pesisir sektor kelautan dan perikanan dapat berkembang dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan ke arah yang lebih baik. Oleh karenanya, dalam rangka mewujudkan visi dan misi tersebut, maka dalam pelaksanaan program-program pembangunan kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengacu pada Grand Strategi yang antara lain adalah: 1) Memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia secara terintegrasi; 2) Mengelola umber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; 3) Meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan; dan, 4) Memperluas akses pasar domestik dan internasional. Pengejawantahan Grand Strategy tersebut direfleksikan dalam Blue Revolution (Revolusi Biru), yaitu perubahan mendasar cara berfikir mengenai konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dari daratan menjadi
Tak selalu negatif, tapi memerlukan kebijakan, dukungan dan pengawasan dari semua stake holder. maritim dengan tujuan meningkatkan produksi kelautan dan perikanan melalui Program Nasional Minapolitan yang intensif, efisien, dan terintegrasi. Pada akhirnya, revolusi ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rakyat yang adil, merata, dan layak. Akan tetapi, selain menerapkan strategi di atas, pencapaian visi dan misi KKP juga membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, serta sumber daya manusia yang berkualitas. Sayangnya, dukungan-dukungan tersebut belum maksimal, salah satunya disebabkan keterbatasan lahan dan status kepemilikan lahan yang sering memicu konflik. Untuk mengatasi keterbatasan lahan tadi, maka perlu dilakukan upaya pengembangan sumber daya lahan yang dapat meningkatkan manfaat sumber daya lahan itu sendiri. Salah satu upaya peningkatan sumber daya lahan adalah reklamasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Reklamasi pesisir dan pulau-pulau kecil diharapkan dapat memberikan manfaat sumber daya lahan baik secara lingkungan maupun sosial ekonomi budaya seperti: peningkatan ekonomi skala makro & mikro (investasi & peluang bisnis, lapangan kerja terbuka, aktivitas pariwisata meningkat, dan alternatif pendapatan terbuka); pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan; dan interaksi sosial budaya (akses ruang publik semakin luas, aktivitas pariwisata meningkat, ruang akselarasi budaya terbuka).
Reklamasi dengan mengintegrasikan RTRW, RPJP, RPJM dan KRP 30
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Saat ini dapat kita lihat dalam rangka pengembangan wilayah untuk berbagai kepentingan, banyak pemerintah, pemerintah daerah atau kalangan dunia usaha berlombalomba untuk melakukan reklamasi. Namun tidak jarang reklamasi yang dilakukan menimbulkan berbagai macam permasalahan, mulai dari permasalahan lingkungan hingga sosial ekonomi masyarakat. Reklamasi Teluk Jakarta dan reklamasi Kalasey merupakan contoh reklamasi yang menuai protes dari berbagai kalangan. Oleh karena itu diperlukan perangkat hukum yang dapat menjamin bahwa reklamasi yang dilakukan tidak merusak lingkungan atau merugikan masyarakat, tapi sebaliknya justru dapat meningkatkan manfaat sumber daya lahan. Seperti diketahui, sejak tahun 2007 Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu UU No 27 tahun 2007. Dalam undang-undang tersebut diatur bagaimana mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil mulai dari perencanaan, pemanfaatan hingga pengawasan. Salah satu pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah reklamasi. Undangundang No 27 tahun 2007 mengatur bahwa reklamasi harus dapat menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat, menjamin keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta menjamin bahwa teknis pengambilan, pengerukan dan penimbunan material dilakukan sesuai dengan persyaratan yang diperlukan. Reklamasi harus dapat menjamin keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat berarti bahwa upaya reklamasi harus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip pro job (pembukaan lapangan kerja), pro growth (pengembangan wilayah), dan pro poor (pengentasan kemiskinan). Reklamasi harus dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Artinya, reklamasi yang dilakukan harus berwawasan lingkungan sehingga dapat mendukung revolusi biru KKP yaitu konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Maka dapat disimpulkan jika reklamasi itu penting dan merupakan kebutuhan dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya dalam hal pemenuhan sarana dan prasarana pendukung. Dengan demikian, reklamasi tidak harus selalu direspon secara negatif. Sebagai contoh, reklamasi Pantai Losari yang dilakukan atas kerjasama KKP dengan pemerintah daerah yang telah berhasil membuat Pantai Losari menjadi kawasan yang lebih tertata dan bermanfaat bagi masyarakat. Pada tahun ini KKP beserta Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan juga mencoba untuk menginisiasi reklamasi di Teluk Painan. Reklamasi ini selain bertujuan untuk mitigasi Teluk Painan dari bencana pesisir – mengingat Teluk Painan merupakan daerah rawan bencana
Rencana Reklamasi di Pantai Carocok Painan-Pesisir Selatan
gempa dan tsunami yang padat penduduknya – sekaligus untuk meningkatkan manfaat pesisir dengan menjadikan area publik yang ke depannya tidak saja meningkatkan nilai lingkungan tapi juga ekonomi masyarakat di sekitarnya. Banyak sektor melakukan reklamasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain sektor pekerjaan umum, perhubungan, energi dan sumber daya, pariwisata, indutri, dan lain-lain. Banyak pula peraturan perundangan yang sudah dibuat oleh masing-masing sektor. Beberapa produk hukum yang mengatur reklamasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil antara lain adalah UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP 78 tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, dan PP 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Selain itu PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah mengatur kewenangan masing-masing sektor terkait dengan reklamasi agar dalam pelaksanaan reklamasi tidak menimbulkan konflik antar pemangku kepentingan. Namun kebijakan dan strategi pemerintah tak akan berhasil jika tidak didukung oleh seluruh stake holder termasuk masyarakat. Inilah mengapa Kementerian Kelautan dan Perikanan berusaha mengajak semua sektor yang terlibat dalam pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil untuk bersama-sama merumuskan arahan dan strategi reklamasi di wilayah pesisir yang bisa diadopsi baik di tingkat nasional maupun lokal. Tujuannya adalah satu: agar reklamasi dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam UU No. 27 tahun 2007, yaitu meningkatkan manfaat sumber daya lahan baik dari segi teknik, lingkungan maupun sosial ekonomi. (mem)
Referensi:
-Paparan Menteri KKP pada Workshop Nasional “Reklamasi Wilayah Pesisir dan Plau-pulau Kecil, 21 Oktober 2011, Jakarta -Amdal dalam Reklamasi Pesisir dan Pantai, oleh Ir, Ary Sudijanto, Msi, Asdep Kajian Lingk, Hidup, KLH
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
31
topik lain
Jelang
Deadline Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN
Strategi percepatan diprioritaskan. Namun pertimbangan aspek lain juga harus dituntaskan. Oleh: Redaksi Butaru
Kegiatan percepatan penyelesaian rencana tata ruang tidak hanya dilakukan pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten atau Kota, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum juga menargetkan RTR Pulau Kepulauan serta RTR Kawasan Strategis Nasional akan selesai pada akhir 2011 ini. Rencana Tata Ruang Pulau Kepulauan dan KSN adalah sebuah perangkat operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP No.26/2008) yang akan dilegalkan melalui sebuah Peraturan Presiden. Proses penyusunannya Raperpres sedikit berbeda dibandingkan dengan penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sebelum memperoleh penetapan Presiden, draft Raperpres tersebut harus melalui beberapa tahapan, karena itu alokasi waktu dan target penyelesaian dalam proses penyusunannya tidak sama dengan RTRW yang lain. Pada tahun 2011 ini terdapat kurang lebih 14 RTR Pulau, KSN (Kawasan Strategis Nasional) dan KAPET (Kawasan Pembangunan Terpadu) yang harus segera diselesaikan. Namun kenyataannya sampai saat ini baru tiga Perpres yang disahkan, antara lain adalah KSN Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar) melalui Perpres 55/2011, KSN Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) melalui Perpres 45/2011 dan KSN Mebidangro (Medan, Binjai, Deliserdang, Karo) melalui Perpres 62/2011. Raperpres RTR lainnya harus segera disahkan, khususnya yang berkaitan dengan Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun berdasarkan karakteristik dan potensi pengembangan pulau dan kepulauan di Indonesia yang sudah harus segera dijalankan.
32
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Dalam salah satu acara pembahasan Raperpres RTR Pulau, Direktur Penataan Ruang Wilayah Ruang, Ir. Iman Soedrajat, MPM mengatakan, “Di dalam Implikasinya, MP3EI ini memerlukan analisis yang diawali oleh kajian tata ruang dan pengembangan wilayah, dimana Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) adalah acuan di dalam melakukan identifikasi dan analisis potensi pengembangan wilayah tersebut. Dengan kata lain, implikasi dari program MP3EI tidak dapat berjalan dengan efektif apabila RTR Pulau, Kepulauan dan KSN belum disahkan. Sehingga apabila terjadi keterlambatan, akan berakibat langsung kepada tidak berjalannya program-program Pengembangan Koridor Ekonomi didalam MP3EI”. RTR Pulau, Kepulauan dan KSN yang harus selesai pada akhir tahun 2011 ini adalah RTR KSN Danau Toba, RTR KSN Merapi, RTR KAPET Sasamba, RTR KAPET Manado – Bitung, RTR KAPET Pare-Pare, RTR Perbatasan Riau – Kepri, RTR Perbatasan NAD – Sumut, RTR Perbatasan Sulut – Sulteng – Gorontalo, RTR Perbatasan Maluku, RTR Perbatasan Malut – Papua Barat, RTR Perbatasan NTT, RTR Pulau Papua, RTR Kepulauan Nusa Tenggara, dan RTR Kepulauan Maluku. Menanggapi hal itu, Direktorat Jenderal Penataan Ruang membutuhkan strategi untuk mempercepat penetapan Raperpres. Di antaranya adalah memperkuat kolaborasi lintas sektoral di dalam melakukan penyusunan draft Raperpres tersebut dan mempercepat proses atau tahapan penyusunan dengan cara meningkatkan kinerja setiap stakeholders yang terlibat di dalam proses penyusunannya.
Kegiatan percepatan harus tetap memperhatikan aspekaspek lain agar Rencana Tata Ruang tersebut dapat optimal diimplementasikan setelah menjadi Perpres.
Ir. Imam S Ernawi, Dirjen Penataan Ruang, Ir. Retno Pudji B A, Deputi Perekonomian, Setkab dan Ir. Luky Eko, Deputi Infrastuktur Kemenko pada acara Sosialisasi Perpres RTR KSN Perkotaan.
Di dalam manajemen internal Dirjen Penataan Ruang sendiri, pembahasan Raperpres pada forum Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) mendapat prioritas utama, sehingga di dalam pelaksanaan forum BKPRN, pembahasan Raperpres dapat dilakukan setiap hari selama tidak ada kegiatan sejenis yang berbenturan. Di luar hal-hal di atas, kegiatan percepatan ini harus tetap memperhatikan aspek-aspek lain agar Rencana Tata Ruang tersebut dapat optimal setelah menjadi Perpres. Pengaturan kelembagaan di dalamnya harus jelas apakah kelembagaan tersebut merupakan instansi vertikal atau daerah otonom, lembaga struktural atau fungsional, dan lembaga yang bersifat ad hoc atau permanen. Bentuk kelembagaan erat kaitannya dengan kewenangan pengelolaan dan pengembangan serta kepemilikan aset. Peran serta, fungsi dan posisi daerah juga harus jelas diatur di dalam Perpres tersebut, agar di dalam implikasinya Perpres ini akan mendapat dukungan penuh dari daerah-daerah terkait. Jika aspek-aspek tersebut sudah terpenuhi, diharapkan akan tercapai sinergi ketika melakukan pengelolaan kawasan, sehingga RTR yang ditetapkan tidak akan mubazir.
PETA RTRWN
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
33
topik lain
PENENTUAN PUSAT-PUSAT DI WILAYAH PENGEMBANGAN PESISIR DAN LAUT Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM Kementerian Kelautan dan Perikanan
Wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah daratan. Karakteristik khusus wilayah laut menyangkut sifat dinamis sumberdayanya yang relatif sukar untuk diprediksi eksistensinya, apalagi jika dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya keberadaan ikan, mangrove, terumbu karang, dll. Secara ekologis wilayah pesisir dan laut juga tidak bisa dibatasi secara administratif. Wilayah pesisir dan laut seyogyanya dapat diakses oleh masyarakat umum (open access) dan kepemilikannya tidak bisa secara mutlak dikuasai satu pihak tertentu (common property). Hal ini ternyata cenderung menimbulkan problematika yang cukup kompleks dalam pengelolaannya.
Perencanaan tata ruang ini dilakukan dengan klasifikasi wilayah administratif yakni wilayah nasional, provinsi, kabupaten dan kota.
Konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu isu negatif yang sering muncul akibat banyaknya sektor dan pihak yang saling memprioritaskan kepentingannya, seperti pariwisata, perhubungan laut, perikanan, pertambangan, masyarakat umum maupun swasta. Oleh karena itu, penataan ruang wilayah pesisir dan laut mutlak dilakukan. Mengikuti perkembangan ilmu perencanaan wilayah dan kota maupun praktek penerapan rencana wilayah dan kota yang berkembang di Indonesia, wilayah pesisir dan laut belum sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan yang mengakomodasi satu unit kerja yaitu Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil-Ditjen Pesisir dan PulauPulau Kecil ternyata cukup signifikan mengembangkan dan menerapkan konsepkonsep penataan ruang wilayah pesisir dan laut, sehingga saat ini banyak pihak yang mulai memperhatikan penataan ruang wilayah pesisir dan laut sebagai suatu hal yang penting. Penataan ruang wilayah pesisir dan laut termuat dalam suatu produk rencana tata ruang yang diharapkan menghasilkan tujuh materi pokok sebagai keluarannya, yaitu: (i) strategi pemanfaatan ruang; (ii) rencana struktur tata ruang; (iii) rencana kawasan lindung yang terdiri dari zona preservasi/zona inti, zona konservasi, dan zona penyangga ; (iv) rencana pola pemanfaatan ruang yaitu rencana zonasi pemanfaatan misalnya zona wisata bahari, permukiman,perikanan, dsb.; (v) rencana kawasan tertentu dan prioritas; (vi) rencana pembangunan sarana/ prasarana (infrastruktur); serta (vii) rencana investasi. Struktur Tata Ruang berfungsi memberi kerangka pengembangan bagi wilayah pesisir dan laut, dan merupakan suatu wujud struktural yang menggambarkan hirarki pusat pengembangan suatu kawasan, mulai dari penentuan pusat pengembangan primer, sekunder, tersier maupun lokal. Di dalam Tata Ruang juga tergambar interaksi antar zona yang ditunjukkan dengan penentuan jaringan transportasi misalnya rencana pengembangan jaringan transportasi darat dan laut, rencana pengembangan alur pelayaran, dan rencana pengembangan dermaga/ pelabuhan.
34
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Kawasan Pesisir di Kep. Karimata
Penentuan suatu pusat pengembangan ternyata memerlukan suatu kajian mendalam yang terkait dengan faktor-faktor pendukungnya serta kriteria-kriteria pusat pengembangan tersebut. Selama ini, pusat pengembangan suatu kawasan atau wilayah lebih berorientasi kepada kriteria atau indikator pusat pengembangan yang berorientasi di wilayah daratan. Penentuan pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut mempunyai kriteria atau indikator yang berbeda dengan wilayah daratan, karena perbedaan karakteristiknya. Perbedaan karakteristik utama yang sangat menonjol antara pusat pengembangan di wilayah daratan dengan pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut dapat ditunjukkan melalui sifat keterkaitan antara desa dengan kota sebagai karakteristik utama pembangunan di wilayah daratan. Di wilayah daratan, tumbuh dan kembangnya desa sangat tergantung pada kemampuan kotanya yang berperan sebagai pusat pengembangan. Sementara, wilayah laut dan pesisir dapat berkembang dan tumbuh tanpa melalui dorongan atau rangsangan dari kota. Penentuan faktor pusat pengembangan di kawasan pesisir akan didekati melalui pengembangan konsep pusat-pusat pelayanan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu Pusat Pertumbuhan dalam ruang ekonomi (Perroux), Pusat Pertumbuhan dalam dimensi geografis (Boudeville), Ukuran, lokasi, distribusi dan pengelompokkan kegiatan ekonomi (Christaller & Losch), spread-backwash effect (Myrdal), dan trickling down-polarization effect (Hirschman). Pusat-pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut dapat diindikasikan oleh berkembangnya suatu kawasan atau wilayah yang menjadi pusat-pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat pelayanan jasa dan pusat-pusat transportasi laut.
Lokasi yang ditetapkan sebagai pusat pengembangan merupakan penggerak kegiatan bagi kawasan-kawasan lain di sekitarnya atau bahkan berpengaruh pada wilayah yang lebih luas. Karakteristik khusus dari pengembangan wilayah pesisir dan laut ternyata mempengaruhi dasar pemikiran untuk memformulasikan suatu mekanisme standar yang dapat diterapkan untuk menentukan suatu pusat pengembangan. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan suatu dasar teknis dalam memutuskan suatu arahan pengembangan yang mempertimbangkan perhitungan-perhitungan kuantitatif maupun kualitatif sehingga memberikan hasil yang dapat meminimalisasi dampak-dampak negatif yang biasanya muncul akibat suatu keputusan/kebijakan, misalnya degradasi lingkungan, banjir, dll. Penentuan pusat-pusat pengembangan bertujuan untuk menyusun suatu kebijakan dalam rangka mengambil keputusan untuk menetapkan suatu lokasi di wilayah pesisir dan laut yang berpotensi untuk dikembangkan dan diharapkan dapat memberikan ‘trickling down effect’ kepada wilayah di sekitarnya. Secara makro, penentuan pusat pengembangan ini dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penentuan pusat-pusat pengembangan memiliki beberapa sasaran, yaitu: mengidentifikasi faktor-faktor, variabel dan indikator yang mempengaruhi penentuan pusat pengembangan; merumuskan formulasi perhitungan analisis penentuan pusat pengembangan ; merumuskan kebijakan pengembangan suatu wilayah berdasarkan analisa kuantitatif ; menetapkan kriteria pusat pengembangan ; menentukan lokasilokasi yang potensial untuk dikembangkan; dan merumuskan keterkaitan fungsi antar pusat-pusat pengembangan .
Pemilihan Metode Analitic Hierarchy Process (AHP)
Seperti telah dipaparkan diatas bahwa penentuan pusat-pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut agak berbeda dengan penentuan pusat-pusat pengembangan di wilayah darat akibat perbedaan karakteristiknya. Oleh karena itu hirarki yang dikembangkan untuk pusat-pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hirarki di wilayah daratan. Ada suatu kemungkinan, sebuah desa dapat menjadi pusat pengembangan meski tidak mempunyai hirarki secara langsung dengan kota-kota besar lainnya, tetapi justru memiliki hirarki langsung dengan kota-kota di luar negeri. Sebagai contoh, misalnya Kep. Karimata di Kalimantan Barat yang mempunyai jalur ekspor hasil perikanan langsung ke Hongkong. Hal ini juga mempengaruhi kompleksitas faktor yang mempengaruhi penentuan suatu pusat pengembangan, terutama di wilayah pesisir dan laut. Melihat latar belakang tersebut, maka salah satu metode yang relevan untuk penentuan pusat pengembangan adalah menggunakan Analitic Hierarchy Process (AHP). Proses hirarki analitik adalah suatu model yang luwes yang memungkinkan kita mengambil keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Ada tiga prinsip dasar dari Proses Hirarki Analitik, yaitu: menggambarkan dan menguraikan secara hirarkis, yang kita sebut menyusun secara hirarkis yaitu memecah-mecah persoalan September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
35
topik lain menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah; pembedaan prioritas dan sintesis, yang kita sebut penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya ; dan konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. (sumber : Pengambilan Keputusan, Thomas L. Saaty) Hirarki merupakan alat mendasar dari pikiran manusia. Mereka melibatkan pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan, mengelompokkan elemen-elemen itu ke dalam beberapa kumpulan yang homogen, dan menata kumpulan-kumpulan ini pada tingkat-tingkat yang berbeda. Hirarki yang paling sederhana berbentuk linier, yang naik atau turun dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain. Sementara itu hirarki yang paling kompleks berupa jaringan (network) dengan berbagai bentuk elemen yang saling berinteraksi. Dalam penentuan pusat-pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut ini, AHP digunakan sebagai dasar untuk menentukan bobot dari masing-masing faktor, variabel, maupun indikator yang mempengaruhi keputusan untuk menentukan pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut ini.
Faktor Pendukung Kawasan
Berdasarkan analisa secara akademis, ada beberapa faktor yang dapat mendukung suatu kawasan, khususnya wilayah pesisir dan laut menjadi pusat pengembangan bagi kawasan lainnya. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu kawasan menjadi pusat pengembangan adalah struktur ekonomi, aksesibilitas, potensi sumber daya, infrastruktur, kebijakan pemerintah (political will), dan kondisi fisik Secara hirarki, faktor-faktor tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak variabel. Penjabaran variabel yang mendukung faktor tersebut tentunya sangat terkait pula dengan tujuan utama yaitu penentuan pusat pengembangan. Struktur ekonomi dipengaruhi oleh skala kegiatan, yaitu : pelayanan dan kapasitas produksi (stock assesment) ; dominasi kegiatan, yaitu variasi kegiatan dan jumlah tenaga kerja ; dan tenaga kerja, yaitu kualitas tenaga kerja dan ketersediaannya. Sementara
faktor aksesibilitas dipengaruhi oleh variabel : waktu (cepat atau lambat), dan jarak (jauh atau dekat). Faktor potensi ekonomi dipengaruhi oleh : pusat koleksi distribusi yang terdiri dari volume bongkar muat, besaran pasar (bisa layani daerah lain) dan pusat pengembangan, yaitu jumlah transaksi dan produksi eksisting. Faktor infrastruktur dipengaruhi oleh transportasi laut, darat dan udara (ketersediaan moda dan jalurnya, serta kualitasnya) ; infrastruktur penunjang (kelengkapan dan kualitas infrastruktur) ; dan jasa (fasilitas telekomunikasi, kualitas utilitas dan infrastruktur jasa). Faktor kebijakan pemerintah dipengaruhi oleh rencana investasi (stabilitas ekonomi dan konsistensi kebijakan) dan keputusan politik (keamanan dan legal sistem). Lalu faktor yang terakhir, yaitu kondisi fisik dipengaruhi oleh topografi (ketersediaan dan kepemilikan lahan), dan geologi (bencana dan kekuatan lahan).
Penentuan Pusat Pengembangan di Wilayah Pesisir (1.00)
Potensi Ekonomi (0.254) Pusat Koleksi Distribusi (0.127)
Pusat Perkembangan (0.127)
Aksesibilitas Kawasan (0.473)
Struktur Ekonomi (0.138)
Infrastruktur (0.072)
Kebijakan Pemerintah (0.039)
Waktu Jarak Skala Dominasi Ketersediaan Transport Prasarana Jasa Renc tempuh tempuh Keg Keg Tenaga Kerja Darat, laut, penunjang (0.007) Invest (0.294) (0.179) (0.036) (0.089) (0.005) (0.018) (0.016) udara (0.047)
Kondisi Fisik (0.024)
Keptsn Topografi Geologi Politik (0.01) (0.014)
Volume Bongkar Muat (0.031)
Jumlah Cepat Jauh Jangkauan Variasi Kualitas Ketersediaan Kelengkapan Fasilitas Stabilitas Legal Keterse- Bencana Transaksi (0.219) Moda Prasarana Teleko Ekonomi Sistem diaan (0.01) (0.045) Pelayanan Kegiatan Tng kerja (0.045) (0.036) (0.057) (0.009) (0.03) (0.013) munikasi (0.012) (0.017) Lahan (0.001) (0.008)
Besaran pasar (0.096)
Jumlah Dekat Produksi Lambat (0.082) (0.074) (0.135)
Kapasitas Jml Tng Ketersediaan Kualitas Kualitas Kualitas Konsistensi Keamanan Kepemilikan Kekuatan Produksi Kerja Tng Kerja (0.003) (0.004) Utilitas Kebijakan Lahan (0.006) Lahan (0.012) (0.031) (0.005) (0.002) (0.004) (0.003) (0.003) Ketersediaan Jalur (0.013)
Interval Skala Masing-masing Indikator
Pusat Pengembangan Primer
36
Pusat Pengembangan Sekunder
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Pusat Pengembangan Tersier
Pusat Pengembangan Kuarter
CONTOH ANALISIS PENENTUAN PUSAT PENGEMBANGAN DI WILAYAH PANTAI BARAT SUMATERA DENGAN METODE CLUSTERING Ruang lingkup wilayah studi adalah kawasan pesisir barat Sumatera yang terdiri dari 19 kota/kabupaten yang terdiri dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh selatan, Medan, Sibolga, Nias, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Padang, Padang PAriaman, Bengkulu, Bengkulu selatan, Bengkulu Utara, Bandar Lampung, Sabang, Pesisir Selatan, Lampung Barat, dan Tanggamus. Dalam membantu mengidentifikasikan kelompok pusat pengembangan dapat menggunakan metode clustering dengan teknik pengelompokkan melalui metode statistik sederhana yakni dengan menentukan interval kelas indeks. Tahapan yang dilakukan adalah: (1) Menginventarisasi data mentah dari berbagai sumber baik dari data sekunder ataupun dari data lapangan; (2) Melakukan penilaian data secara proporsional per masing-masing indikator yakni dengan membagi data mentah dari suatu faktor pada suatu wilayah dengan jumlah keseluruhan jumlah data mentah dari semua lokasi studi khusus untuk faktor tersebut. Hal yang sama dilakukan untuk penentuan data proporsional pada wilayah lain dan faktor-faktor yang lain pada masingmasing lokasi studi; (3) Menghitung data terbobot yakni dengan mengalikan data proporsional yang telah dihasilkan dengan bobot pada masing-masing faktor di masing-masing lokasi studi; (4) Menjumlahan seluruh data terbobot untuk
seluruh indikator pada masing-masing lokasi studi. Hasil total data terbobot tersebut merupakan skor indeks yang dimiliki oleh masing-masing lokasi; (5) Mengurutkan skor dari yang terendah sampai yang tertinggi; (6) Menjumlah seluruh data terbobot untuk seluruh indikator pada masingmasing lokasi studi. Hasil total data terbobot tersebut merupakan skor indeks yang dimiliki oleh masing-masing lokasi. (7) menyusun interval kelas untuk masing-masing cluster dan mengelompokkan lokasi-lokasi pada wilayah studi berdasarkan kesesuaian indeks masing-masing lokasi dengan interval kelas yang telah dibentuk. Pengelompokkan pusat pengembangan wilayah pesisir pada wilayah pesisir Sumatera ini merupakan contoh obyek kasus yang dijadikan sampel untuk menginformasikan bagaimana teknis penilaian dengan metode clustering melalui penilaian faktor-faktor pusat pengembangan yang telah dihasilkan dari metode AHP yang telah dilakukan pada analisis sebelumnya. Sehingga, apabila terdapat kejanggalan yang terlihat pada output adalah akibat adanya kesalahan dalam proses input data, karena data dan informasi yang diproses masih berupa hasil data dan informasi berdasarkan asumsi-asumsi yang dibangun oleh tim analisis karena adanya keterbatasan waktu dan kurangnya data yang diperoleh.
APLIKASI MODEL ANALISIS PENENTUAN PUSAT PENGEMBANGAN KABUPATEN KLUNGKUNG
Metode analisis penentuan pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut ini telah diterapkan pada analisis pekerjaan penyusunan rencana tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Klungkung-Bali. Berikut ilustrasi output yang dihasilkan pada wilayah studi: Interval Kelas
Jenis Kelas
Kelompok Desa
Fungsi
0.02286 - 0.04629
Orde 1
Jungut batu, lembongan, batununggul, kusamba
Pusat kegiatan pariwisata tingkat kabupaten/propinsi, Akomodasi kegiatan wisata, Pusat kegiatan budidaya rumput laut, Pusat kegiatan perdagangan dan jasa wilayah pesisir Kab. Klungkung, Pusat kegiatan perikanan tingkat kabupaten/propinsi
0.04630 - 0.06972
Orde 2
Ped, Takmung, Gelgel, Toyakapeh
Pusat kegiatan budidaya tanaman pangan tingkat kabupaten, pusat kegiatan wisata budaya tingkat kabupaten/propinsi, pusat kegiatan perdagangan dan jasa tingkat kecamatan, pusat kegiatan perikanan tingkat kecamatan
0.06973 - 0.09315
Orde 3
Gunaksa, Swana, Tojan, Nagari, Tangkas, Satar, Jumpai, Pesinggahan, Kutampi kales, Kampung Kusamba, Sakti, Pejukutan, Bunga Mekar, Batukandik, Batumadek, Tanglad, Sekartaji
Pusat kegiatan tanaman pangan tingkat desa, pusat kegiatan perikanan tingkat desa, kegiatan perdagangan dan jasa tingkat desa
Faktor kebijakan pemerintah dipengaruhi oleh rencana investasi (stabilitas ekonomi dan konsistensi kebijakan) dan keputusan politik (keamanan dan legal sistem).
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
37
topik lain
PULAU JAWA Metode analisis penentuan pusat pengembangan di wilayah pesisir dan laut ini telah pula diterapkan pada analisis pekerjaan penyusunan rencana tata ruang pesisir dan kelautan nasional (regional marine planning) wilayah Pulau Jawa. Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan merupakan suatu wilayah yang memiliki potensi sebagai stimulan pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, dengan kemampuan melayani kebutuhannya sendiri, bahkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi bagi daerah lain di sekitarnya. Tujuan penentuan Hirarki Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan adalah untuk meningkatkan keterkaitan (intra dan antar) wilayah dan keterkaitan ekonomi, sekaligus merangsang peningkatan dan pertumbuhan ekonomi kegiatan-kegiatan usaha pesisir. Dalam rangka penentuan Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan di Wilayah Pulau Jawa, maka digunakan sejumlah pertimbangan (asumsi) sebagai berikut: 1. Kabupaten/Kota yang memiliki tingkat keterhubungan (aksesibilitas) yang tinggi, baik secara internal (dalam kawasan), maupun terhadap wilayah-wilayah lain, khususnya dengan wilayah pesisir lainnya dan wilayah daratan melalui keberadaan Sistem Jaringan Jalan Darat. Dengan demikian Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan yang terpilih memiliki kemampuan yang baik dalam mendukung mobilitas dan distribusi manusia dan barang. 2. Kabupaten/Kota yang memiliki potensi ekonomi, dengan demikian dapat terjalin suatu keterpaduan antara kawasan yang berfungsi sebagai pusat produksi dengan kota sebagai pusat jasa dan pengolahan, sekaligus pusat distribusi hasil produksi dan pengolahan. 3. Kabupaten/Kota yang memiliki potensi sebagai inlet-oulet wilayah pesisir, baik dalam lingkup regional, nasional dan internasional melalui keberadaan dan kinerja Pelabuhan Laut yang berada pada kota bersangkutan. Dengan demikian Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan yang terpilih memiliki kemampuan yang tinggi sebagai gerbang keluar-masuk manusia dan barang dalam lingkup regional, nasional dan internasional. 4. Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan (PKN, PKW dan PKL) berdasarkan kebijakan penataan ruang nasional. Dengan demikian Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan yang terpilih memiliki keselarasan dan konsistensi dengan struktur ruang wilayah nasional dimasa yang akan datang. 5. Kabupaten/Kota dengan kondisi fisik dan lingkungan pesisir dan laut yang mendukung pengembangan aktivitas kegiatan usaha pada sektor kelautan dan perikanan. 6. Kabupaten/Kota dengan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya yang mendukung pengembangan wilayah pesisir dan laut.
38
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Salah satu pembangunan wilayah pesisir
Tujuan penentuan Hirarki Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan adalah untuk meningkatkan keterkaitan (intra dan antar) wilayah dan keterkaitan ekonomi, sekaligus merangsang peningkatan dan pertumbuhan ekonomi kegiatan-kegiatan usaha pesisir. Proses penentuan Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan di Wilayah Pulau Jawa dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan nominasi (daftar) pusat-pusat pengembangan yang akan dinilai kemampuannya sebagai Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan. Penentuan nominasi pusat-pusat pengembangan didekati berdasarkan satuan administrasi Kabupaten/kota di wilayah pesisir Pulau Jawa. Sehingga secara keseluruhan terdapat 60 Kabupaten/ Kota pesisir yang ditetapkan sebagai nominasi pusat-pusat pengembangan pesisir dan kelautan. Proses penilaian terhadap Kabupaten/Kota pesisir untuk ditentukan hirarkinya sebagai Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan di Wilayah Pulau Jawa yang terdiri dari ‘Pusat Primer’, ‘Pusat Sekunder’, ‘Pusat Tersier’ dan ‘Pusat Lokal’. Adapun proses penilaian tersebut dilakukan berdasarkan sejumlah variabel, indikator, dan kriteria serta parameter penilaian. Sehingga dihasilkan hasil akhir penilaian nominasi kotakota sebagai Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan di Wilayah Pulau Jawa adalah sebagai berikut:
No.
Propinsi/Kabupaten/ Kota
I
Banten
Total Bobot x Skor
Kategori
No.
Propinsi/Kabupaten/ Kota
Total Bobot x Skor
Kategori
5
Kabupaten Sidoarjo
2,161
Pusat Tersier
1
Kabupaten Tangerang
1,750
Pusat Lokal
6
Kabupaten Pasuruan
1,589
Pusat Lokal
2
Kabupaten Serang
3,117
Pusat Sekunder
7
Kabupaten Probolinggo
1,589
Pusat Lokal
3
Kabupaten Pandeglang
1,894
Pusat Tersier
8
Kabupaten Situbondo
1,684
Pusat Lokal
4
Kabupaten Lebak
1,771
Pusat Tersier
9
Kota Pasuruan
1,859
Pusat Tersier
5
Kota Cilegon
1,978
Pusat Tersier
10
Kota Probolinggo
2,074
Pusat Tersier
II
DKI Jakarta
11
Kabupaten Bangkalan
1,426
Pusat Lokal
1
Jakarta
3,940
Pusat Primer
12
Kabupaten Sampang
1,585
Pusat Lokal
2
Kab. Adm. Kepulauan Seribu
1,364
Pusat Lokal
13
Kabupaten Pamekasan
1,426
Pusat Lokal
14
Kabupaten Sumenep
1,889
Pusat Tersier
15
Kabupaten Banyuwangi
2,517
Pusat Sekunder
16
Kabupaten Jember
1,601
Pusat Lokal
17
Kabupaten Malang
1,832
Pusat Tersier
18
Kabupaten Blitar
1,467
Pusat Lokal
19
Kabupaten Tulungagung
1,560
Pusat Lokal
20
Kabupaten Trenggalek
2,554
Pusat Sekunder
21
Kabupaten Pacitan
1,237
Pusat Lokal
22
Kabupaten Lumajang
1,045
Pusat Lokal
III
Jawa Barat 1
Kabupaten Bekasi
1,593
Pusat Lokal
2
Kabupaten Karawang
1,572
Pusat Lokal
3
Kabupaten Subang
1,572
Pusat Lokal
4
Kabupaten Indramayu
2,164
Pusat Tersier
5
Kabupaten Cirebon
1,691
Pusat Lokal
6
Kota Cirebon
2,781
Pusat Sekunder
7
Kabupaten Sukabumi
2,646
Pusat Sekunder
8
Kabupaten Cianjur
1,517
Pusat Lokal
9
Kabupaten Garut
1,316
Pusat Lokal
Kabupaten Tasikmalaya
1,191
Pusat Lokal
Kabupaten Ciamis
1,767
Pusat Tersier
Kategori ditentukan berdasarkan selisih Nilai Total Bobot x Skor Tertinggi dengan Nilai Total Bobot x Skor Terendah dibagi 4 (terdiri dari Pusat Primer, Pusat Sekunder, Pusat Tersier dan Pusat Lokal), yang selanjutnya menghasilkan interval nilai dan kategori sebagai berikut:
10 11 IV
Jawa Tengah
Sumber : pekerjaan penyusunan rencana tata ruang pesisir dan kelautan nasional (regional marine planning) wilayah pulau Jawa, 2004 Keterangan
1
Kabupaten Brebes
1,699
Pusat Lokal
Interval
2
Kabupaten Tegal
1,505
Pusat Lokal
3,940
-
> 3,216
Pusat Primer
3
Kota Tegal
2,131
Pusat Tersier
3,216
-
>2,493
Pusat Sekunder
4
Kabupaten Pemalang
1,572
Pusat Lokal
2,493
-
>1,769
Pusat Tersier
5
Kabupaten Pekalongan
1,505
Pusat Lokal
1,769
-
1,045
Pusat Lokal
6
Kota Pekalongan
2,407
Pusat Tersier
7
Kabupaten Batang
1,664
Pusat Lokal
8
Kabupaten Kendal
1,540
Pusat Lokal
Kota Semarang
2,523
Pusat Sekunder
10
9
Kabupaten Demak
1,572
Pusat Lokal
11
Kabupaten Jepara
1,886
Pusat Tersier
12
Kabupaten Pati
1,581
Pusat Lokal
13
Kabupaten Rembang
1,606
Pusat Lokal
14
Kabupaten Cilacap
3,608
Pusat Primer
15
Kabupaten Kebumen
1,642
Pusat Lokal
16
Kabupaten Purworejo
1,360
Pusat Lokal
17
Kabupaten Wonogiri
1,319
Pusat Lokal
V
D. I. Yogyakarta 1
Kabupaten Gunung Kidul
1,211
Pusat Lokal
2
Kabupaten Bantul
1,444
Pusat Lokal
3
Kabupaten Kulonprogo
1,243
Pusat Lokal
VI
Kategori
Sebagai hasilnya, dari 60 Kabupaten/Kota pesisir yang dinominasikan sebagai Pusat Pengembangan Pesisir dan Kelautan di Wilayah Pulau Jawa terpilihlah tiga Pusat Primer yang terdiri dari Jakarta, Surabaya dan Cilacap, dan secara keseluruhan telah mewakili wilayah pesisir utara dan pesisir selatan Pulau Jawa. Sedangkan kabupaten/ kota yang terpilih sebagai Pusat Sekunder ada enam kota pesisir, yaitu Kabupaten Serang (Banten), Kota Cirebon, Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Trenggalek (Jawa Timur). selanjutnya, didapati pula 14 Kabupaten/Kota pesisir lainnya sebagai Pusat Tersier yang tersebar di pesisir utara dan pesisir selatan Pulau Jawa, dan 37 lainnya terpilih sebagai Pusat Lokal.
Jawa Timur 1
Kabupaten Tuban
1,496
Pusat Lokal
2
Kabupaten Lamongan
2,065
Pusat Tersier
3
Kabupaten Gresik
2,303
Pusat Tersier
4
Kota Surabaya
3,443
Pusat Primer
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
39
wacana
Posisi
Indonesia
Oleh: Redaksi Butaru
dan Kerentanan terhadap Bencana
Dilihat dari kondisi geografisnya, Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi. Banyaknya gunung aktif serta bentuknya yang berupa negara kepulauan adalah sebagian faktor yang mempengaruhi seringnya terjadi bencana di Indonesia. Tercatat sebanyak 17 bencana tsunami besar di Indonesia selama hampir satu abad, setelah kejadian tsunami besar Gunung Krakatau yang menewaskan sekitar 36.000 jiwa pada tahun 1883. Gempa dan tsunami besar yang terakhir adalah tsunami Aceh dan sebagian Sumatera Utara yang menewaskan kurang lebih 150.000 orang pada tahun 2004. Kemudian disusul gempa 2005 pada Pulau Nias dan sekitarnya yang menelan korban sekitar 1000 jiwa, serta gempa yang terjadi pada akhir 2006 yang menimpa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah yang menelan korban sekitar 5000 jiwa dan bencana Gunung Merapi dan tsunami Mentawai pada akhir 2010. Namun selain semua itu, terjadi banyak sekali gempa-gempa lain di Indonesia pada setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia yang dikepung oleh tiga lempeng tektonik dunia yakni Lempeng Indo-Australian, Eurasia dan Lempeng Pasific yang apabila bertemu dapat menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas tertentu. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pasific Ring Of Fire yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Catatan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsunami. Di antaranya NAD, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan DIY bagian selatan, Jatim bagian selatan, Bali, NTB dan NTT, kemudian Sulut, Sulteng, Sulsel, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kaltim.
40
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
Indonesia memiliki sejarah gempa bumi, tsunami dan gunung meletus yang panjang. Apa sebabsebabnya dan bagaimana mengantisipasinya?
Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan Lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng inilah terjadi akumulasi energi tabrakan hingga sampai suatu titik lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi dan akhirnya energi tersebut akan dilepas dalam bentuk gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan akibat percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal di antaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan. Indonesia juga merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada pada pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian timur laut. Hal ini mengakibatkan Indonesia mempunyai tatanan tektonik yang kompleks dari arah zona tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona tumbukan atau sering disebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat maupun di laut.
Ilustrasi Tsunami
Pada daerah ini, material batuan penyusun utama lingkungan juga sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam bahan tambang yang cukup besar. Volcanic arc merupakan jalur pegunungan aktif di Indonesia yang memiliki topografi khas dengan sumberdaya alam yang khas juga. Back arc merupakan bagian paling belakang dari rangkaian busur tektonik yang relatif paling stabil dengan topografi yang hampir seragam berfungsi sebagai tempat sedimentasi. Semua daerah tersebut memiliki kekhasan dan keunikan yang jarang ditemui di daerah lain baik keanegaragaman hayatinya maupun keanekaragaman geologinya.
Indonesia Merupakan Jalur Pasific Ring of Fire
Kegiatan Penambangan di Sekitar Gunung
Indonesia merupakan bagian dari jalur The Pasific Ring of Fire (Cincin Api Pasifik), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Cincin Api Pasifik ini membentang di antara subduksi maupun pemisahan Lempeng Pasifik dengan Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Lempeng Amerika Utara dan Lempeng Nazca yang bertabrakan dengan lempeng Amerika Selatan. Jalur ini membentang mulai dari pantai barat Amerika Selatan, terus ke pantai barat Amerika Utara, lalu melingkar ke Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, melewati Indonesia, Selandia baru dan kepulauan di Pasifik Selatan. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah kurang lebih 240 buah, dimana hampir 70 di antaranya masih aktif. Zona kegempaan dan gunung api aktif Circum Pasifik amat terkenal, karena setiap gempa hebat atau tsunami dahsyat di kawasan itu, dipastikan menelan korban jiwa manusia amat banyak.w Sekitar 90% dari gempa bumi di dunia dan 80% dari gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sepanjang Cincin Api. Berikutnya wilayah paling seismik (5-6% dari gempa bumi dan 17% dari gempa bumi terbesar di dunia) adalah sabuk Alpide, yang membentang dari Jawa ke Sumatera melalui Himalaya, Mediterania, dan keluar ke Atlantik. Mid-Atlantic Ridge adalah sabuk ketiga tempat sering terjadinya gempa. Indonesia terletak di antara Cincin Api sepanjang kepulauan timur laut berbatasan langsung dengan New Guinea dan di sepanjang sabuk Alpide Selatan dan barat dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, dan Timor yang terkenal dan sangat aktif. Gunung berapi di Indonesia adalah yang teraktif di antara tempat lainnya yang termasuk dalam Ring Api Pasifik. Mereka terbentuk dari daerah subbagian antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Beberapa gunung berapi yang tercatat September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
41
wacana
letusannya antara lain Krakatau yang memberikan efek global pada 1883, Danau Toba dengan letusan supervolcanic yang diperkirakan terjadi pada 74000SM yang bertanggung jawab atas enam tahun musim dingin, dan Gunung Tambora yang merupakan letusan tersadis yang tercatat dalam sejarah di tahun 1815. Gunung berapi paling aktif saat ini adalah Gunung Kelud dan Merapi di Pulau Jawa yang telah membunuh ribuan penduduk di sekitarnya. Sejak tahun 1000, Gunung Kelud telah meletus 30 kali, dengan letusan terbesar berskala lima dalam indeks Letusan Gunung Berapi, sementara itu Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali. The International Association of Volcanology and Chemistry menjuluki Merapi sebagai gunung berapi 10 tahunan sejak 1995 karena aktivitasnya yang tinggi dan banyaknya korban yang berjatuhan akibat letusan dengan intensitas kejadian yang cukup tinggi. Terakhir kali, Gunung Merapi meletus di Yogyakarta pada akhir 2010 lalu memakan cukup banyak korban.
Gunung berapi paling aktif saat ini adalah Gunung Kelud dan Merapi di Pulau Jawa yang telah membunuh ribuan penduduk di sekitarnya.
Membangun Masyarakat Tanggap Bencana
Kenyataannya keadaan geografis Indonesia ini tidak diantisipasi oleh masyarakatnya. Akibatnya, bencana selalu menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. Untuk menyiasati hal tersebut, yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun dan mendidik masyarakat yang sadar dan tanggap terhadap bencana yang akan dan yang sedang terjadi. Adapun beberapa hal yang dapat disosialisasikan dan dilatihkan ke masyarakat antara lain adalah :
1. Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Pemerintah sebaiknya menyediakan sistem peringatan dini (misalnya sirine, detektor, alat komunikasi, dan lain-lain) yang dapat diandalkan terutama di daerah rawan bencana. Sehingga saat bencana terjadi, masyarakat langsung tahu apa yang harus dilakukan. Hal ini sudah dilakukan pemerintah, khususnya yang terkait dengan bencana tsunami, melalui TEWS (Tsunami Early Warning System).
2. Penyelamatan diri/evakuasi Penyebab timbulnya korban dengan jumlah yang cukup banyak adalah ketidaksiapan saat terjadi bencana sehingga muncul kepanikan. Masyarakat perlu diberikan pelatihan mengenai caracara menyelamatkan diri saat bencana terjadi. Sebenarnya di Indonesia banyak perusahaan tambang dan minyak yang selalu menekankan pentingnya keselamatan pekerjanya. Tentu saja hal ini dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai mitra kerjasama.
3. Pengetahuan Medis Pengetahuan tentang teknik pertolongan pertama pada korban bencana (P3K/First Aid) juga perlu diberikan kepada masyarakat. Ketika bencana terjadi, tenaga medis adalah suatu kebutuhan yang bersifat mendesak. Sering kali ketika didapati korban dalam jumlah yang cukup besar dan butuh penanganan secepatnya, rumah sakit tidak mampu menampung dan merawat seluruhnya dengan cepat karena terbatasnya fasiltas dan tenaga medis disana. Hal ini pernah dirasakan saat gempa Yogyakarta tahun 2006 silam yang menelan korban lebih dari 5000 jiwa. Karena banyaknya korban yang membutuhkan pertolongan, semua rumah sakit menjadi overload sehingga banyak korban-korban tersebut yang terpaksa diletakkan di halaman sampai ke lapangan parkir rumah sakit. Maka dari itu, Jika masyarakat sudah terlatih untuk memberikan pertolongan pertama, diharapkan dapat meminimalisir jumlah korban meninggal, misalnya dengan menghentikan pendarahan yang terjadi dan sebagainya.
4. Tanggap darurat Ketika bencana terjadi, bantuan logistik pangan baru berdatangan sekitar 12 jam pasca bencana terjadi dan ini belum terdistribusi ke seluruh wilayah bencana. Ada baiknya jika setiap desa yang rentan bencana memiliki semacam tempat penyimpanan logistik bencana, yang dapat dipakai untuk bertahan ketika bencana terjadi, sambil menunggu datangnya bantuan logistik dari pemerintah. Gunung Merapi
5. Rehabilitasi pasca bencana Untuk meminimalisir kerusakan pasca terjadinya bencana, pengetahuan mengenai struktur bangunan tahan bencana juga perlu diberikan kepada masyarakat yang berada pada daerah rentan bencana. Harapan ke depan adalah menurunnya jumlah kerusakan bangunan dan korban jiwa akibat kerusakankerusakan tersebut. (eq)
42
buletin tata ruang | September - Oktober 2011
agenda
Agenda Kerja
BKPRN
SEPTEMBER - OKTOBER 2011
Pada bulan September dan Oktober, jadwal pembahasan substansi RTR dan RTRW pada Forum BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional ) memiliki intensitas yang cukup tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan jadwal pelaksanaan yang padat setiap harinya pada sesi pagi dan siang. Tercatat sekitar ± 103 Provinsi/Kabupaten/Kota yang melakukan rapat pembahasan substansi raperda tata ruang pada forum BKPRN. Selain itu, beberapa RTR (Rencana Tata Ruang) Kawasan Strategis Nasional sudah di sahkan menjadi Peraturan Presiden dan sisanya sudah mulai dilakukan pembahasan-pembahasan pada tahap tertentu. Intensitas yang cukup tinggi ini dapat membuktikan bahwa daerah semakin peduli akan Rencana Tata Ruang Wilayah masing-masing daerahnya. Keinginan daerah dalam melakukan pembangunan dan pengembangan wilayah menjadi dasar kuat akan dibutuhkannya Rencana Tata Ruang sebagai pedomannya dan harus segera dilegalkan melalui peraturan daerah masing-masing. Mengingat target dari Direktorat Jenderal Penataan Ruang pada tahun 2011 yakni diperolehnya persetujuan substansi oleh seluruh Provinsi/Kabupaten/Kota, intensitas pelaksanaan rapat persetujuan substansi pada dua bulan (September-Oktober) ini cukup menjanjikan. Diharapkan pada sisa waktu dua bulan ini, intensitas pelaksanaan rapat forum BKPRN ini dapat meningkat agar target yang diinginkan dapat tercapai. Tanggal Pelaksanaan
Prov/Kab/Kota
RAKERNAS BKPRN, Manado 28-30 November 2011 Terkait pelaksanaan Rakernas BKPRN, berdasarkan hasil pertemuan terakhir, pelaksanaan Rakernas BKPRN 2011 direncanakan pada tanggal 29-30 November 2011 pada lokasi yang telah ditetapkan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya yakni Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Forum BKPRN dalam pembahasan persetujuan substansi RTRW
Tanggal Pelaksanaan
Prov/Kab/Kota
29 Sept 2011
Kab. Bengkalis, Kab. Siak, Kab. Lingga
3 Okt 2011
Kab. Buleleng, Kab. Jembrana, Kab. Balangan, Kab. Katingan
4 Okt 2011
Kab. Kutai Barat, Kab. Kutakartanegara, Kab. Wajo, Kab. Pangkajene Kepulauan
5 Okt 2011
Kota Palembang, Kota Mobagu, Kota Tomohon
6 Okt 2011
Kab. Pelalawan
7 Okt 2011
Kab. Meranti, Kab. Kuantan Singigi, Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Mandailing
6 Sept 2011
Kab. Manggarai, Kab. Mimika Kab. Pegunungan Bintang
10 Okt 2011
Kab. Dompu, Kab. Klungkung
11 Okt 2011
Kab. Yapen, Kab. Sitaro, Kab. Minahasa Tenggara
7 Sept 2011
Kota Tanggerang Selatan, Kab. Gowa, Kab Maros
12 Okt 2011
Kota Pangkal Pinang
8 Sept 2011
Kab. Subang, Kab. Sumenep
13 Okt 2011
Kab. Oki, Kab. Blitar, Kab. Indra Giri Hulu, Kab. Kampar
9 Sept 2011
RTR, KSN Borobudur
17 Okt 2011
12 Sept 2011
Kab. Majene, Kab. Mamasa, Kab. Bolaang Mongondow, Kab. Morotai
Kab. Pontianak, Kab. Kayong Utara, Kab. Sambas, Kab. Kubu Raya
18 Okt 2011
13 Sept 2011
Kab. Sikka, Kab. Konawe Utara, Kab. Bengkayang
Kab. Konawe, Kab. Poso Kab. Toli-Toli, Kab. Minahasa, Kab. Minahasa Selatan
15 Sept 2011
Kab. Muara Enim, Kab. Limapuluh Koto
19 Okt 2011
Kota Prabumulih
16 Sept 2011
Kab. Toba Samosir, Kab. Samosir, Kab. Batubara, Kab. Tapanuli Tengah, Kab. Simalungun
20 Okt 2011
Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Labuhan Batu Selatan
21 Okt 2011
Kab. Lahat
24 Okt 2011
Kab. Bolaang Mongondow Utara, Kab. Pinrang, Kab. Sindenreng Rapang, Kab. Konawe Selatan, Kab. Kolaka
25 Okt 2011
Kab. Sukamara, Kab. Katingan Barito Timur, Kab. Intan Jaya
19 Sept 2011
Kab. Klungkung, Kab. Jembrana, Kab. Bolaang Mongondow Utara
20 Sept 2011
Kab. Dompu, Kab. Tabalong, Kab. Kupang
21 Sept 2011
Kota Singkawang, Kota Tanjung Balai
22 Sept 2011
Kab. Seluma, Kab. Kepahiang
26 Okt 2011
Kota Kotamobago, Kab. Pangkep, Kab. Wajo
23 Sept 2011
Kab. Padang Lawas Utara, Kab. Padang Lawas, Kab. Nias Utara, Kab. Manggarai
27 Okt 2011
Kab. Lahat, Kab. Banyuasin, Kab. Kaur, Kab. Muko Muko
26 Sept 2011
Kab. Pulau Morotai
28 Okt 2011
RTR KSN Danau Toba, Kab. Bangka Selatan, RTR Pulau Nusa Tenggara, RTR Pulau Maluku
27 Sept 2011
Kab. Jayawijaya, Kab. Dogiyai, Kab. Kepulauan Sitaro, Kab. Minahasa Tenggara
31 Okt 2011
28 Sept 2011
Kab. Balikpapan, Kota Pangkalpinang
Kab. Kitawaringin Timur, Kab. Barito Selatan, Kab. Lamandau, Kab. Kolaka Utara, Kab. Bombana, Kab. Klungkung
September - Oktober 2011 | buletin tata ruang
43
“It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.” (Charles Darwin)