6 OPEC dan Diplomasi Energi
339
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
340
OPEC dan Diplomasi Energi
OPEC, Optimalisasi Diplomasi Energi dan Strategi Mendatang Penanganan Keanggotaan Indonesia Makalah dalam Pertemuan Kelompok Ahli “Diplomasi Energi Dalam Konstelasi Politik Kawasan”, Denpasar, Bali, 10-11 Juni 2005 dikombinasikan dengan tulisan sebagai penanggap Roundtable Discussion Lemhannas, mengenai ‘ Kebijakan Indonesia keluar dari Keanggotaan OPEC dan Strategi Indonesia Dalam Meningkatkan Ketahanan Energi Guna Mencapai Ketahanan Nasional’ . Jakarta, 12 Agustus 2008.
Tujuan dan Operasionalisasi OPEC OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) lahir sebagai reaksi terhadap tindakan International Oil Cartel (IOC, yang kemudian terkenal dengan nama Seven Sisters) yang dengan sepihak telah mengatur harga minyak secara sangat merugikan negara-negara produsen, yang notabene memiliki hak menentukan terhadap sumber daya alam mereka sendiri. Dalam perjalanannya, dengan susah payah, diwarnai berbagai krisis harga minyak dan konflik antar anggota, organisasi ini telah tumbuh menjadi pemain utama dunia yang disegani di bidang energi. Sejak berdirinya pada tahun 1960, OPEC, berbeda dengan IOC, menjaga stabilitas harga minyak berdasarkan pertimbangan kepentingan produsen, konsumen, investor dan kelanggengan kemajuan ekonomi dunia, yang telah dibuktikan dalam berbagai langkah-langkah OPEC menenangkan pasar dan harga minyak pada saat-saat kritis, yang kalau dibiarkan dapat menyebabkan melambungnya harga minyak. Tindakan-tindakan OPEC dijiwai oleh Anggaran Dasar (Statute) OPEC yang menyatakan tujuan OPEC sebagai berikut: • Mengkoordinasikan dan menyatukan kebijakan negara-negara anggota di bidang minyak dan menentukan cara-cara terbaik untuk melindungi kepentingan mereka secara individual maupun kelompok. • Menjaga stabilitas pasar dan harga minyak dengan sasaran menghilangkan fluktuasi yang membahayakan dan tidak menguntungkan.**
341
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
• Menjamin penerimaan yang layak dan stabil bagi negara-negara produsen. • Menjamin pasokan minyak yang cukup, efisien, teratur dan ekonomis bagi negara konsumen • Menjamin diperolehnya keuntungan yang wajar bagi investor ** Catatan : Diciptakannya sistem price band yang menstabilkan harga pada kisaran 22-28 dollar per barel, yang cukup berhasil di tahun 2000-2003 membuktikan organisasi ini lebih mengutamakan stabilitas daripada harga yang tinggi. Sistem tersebut kemudian tidak lagi efektif sejak tahun 2004 karena walaupun untuk meredam harga OPEC sudah menaikkan produksi beberapa kali sampai kapasitas maksimalnya, harga terus melonjak tidak tertahankan mendekati 150 dollar pada tahun 2008 ini. Ini menunjukkan bahwa azas OPEC yang berpegang pada pengendalian kesetimbangan pasokan dan permintaan dewasa ini sedang tidak berdaya menghadapi faktor-faktor non fundamental lain yang lebih dominan seperti geopolitik dan spekulasi.
Tujuan OPEC tersebut lebih jauh berkembang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (OPEC Summit ) ke 1 (tahun 1975 ) dan ke 2 (tahun 2000) serta ke 3 (tahun 2007) yang pada intinya menyatakan “solidaritas alami yang menyatukan negara-negara OPEC dengan negara-negara berkembang lainnya dalam memerangi keterbelakangan”. Jadi peran OPEC telah meluas ke arah masalah-masalah kemanusiaan seperti pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan dan memerangi kemiskinan, dengan penekanan pada kebutuhan negara-negara miskin. Salah satu perwujudan dari komitmen tersebut adalah dibentuknya OPEC Fund sekarang disebut OPEC Fund for International Development atau OFID, organisasi yang menyediakan dana untuk membantu negara-negara berkembang yang bukan anggota OPEC dalam kegiatan pembangunannya, terutama di bidang infra struktur, energi, pertanian, pendidikan dan kesehatan. Sampai saat ini telah disalurkan sebagian besar dari 9.5 milyar dolar komitmen dana pinjaman sangat lunak. Kontribusi Indonesia dalam OFID ini sangat kecil, sekitar 9 juta dollar. Di OFID ini Indonesia diwakili oleh Departemen Keuangan. Perlu dicatat bahwa OFID membantu negara-negara yang terkena bencana alam tanpa melihat keanggotaannya di OPEC. Misalnya pada waktu Aceh
342
OPEC dan Diplomasi Energi
dilanda tsunami, OFID juga langsung menyumbang sebesar setengah juta Euro melalui Palang Merah Internasional. Di samping itu secara terpisah, bantuan anggota-anggota OPEC sendiri ikut mendukung pembangunan di negara-negara yang paling miskin dengan jumlah komitmen mencapai sekitar 90 milyar dolar dan telah disalurkan separonya. Bantuan ini, dalam proporsi terhadap GNP, jauh lebih besar dari yang diberikan negara-negara donor kaya. Di dalam operasionalisasinya fungsi OPEC telah berkembang, yaitu di samping sebagai media komunikasi antar negara-negara anggota OPEC, juga dengan negara-negara produsen non-OPEC dan dengan negara-negara konsumen, terutama OECD, yang kemudian melahirkan IEF (International Energy Forum). IEF merupakan wadah komunikasi semua negara di bidang energi dan bermarkas di Ryad. Keamanan pasokan energi (Energy Security) dan keamanan permintaan ( demand security), stabilitas harga, dan ketertataan permintaan dan pasokan minyak dunia merupakan salah satu tema sentral IEF. Perjuangan OPEC ini juga membuahkan kesadaran bagi dunia akan nilai tak terbarukan energi fosil sehingga telah menghasilkan upaya efisiensi. Krisis-krisis yang terjadi juga sekaligus telah mendorong tumbuhnya produsen non-OPEC. Indonesia memasuki OPEC pada tahun 1962 karena melihat perjuangan OPEC merupakan suatu perjuangan negara ketiga, bahwa OPEC adalah kumpulan negara berkembang yang berjuang melawan kesewenangan negara-negara industri/perusahaan-perusahaan multinasional. Indonesia pada waktu itu sudah mulai mengekspor minyak sehingga memiliki kepentingan yang sama dengan negara-negara OPEC lainnya. Terjaminnya stabilitas harga pada tingkat yang layak selain memberikan sumber dana yang signifikan bagi anggaran belanja negara, juga untuk kestabilan anggaran itu sendiri. Sebagai ilustrasi, Indonesia sangat menikmati kenaikan harga dari 2 dollar per barel menjadi 12 dollar setelah embargo minyak perang Arab-Israel tahun 1974. Harga yang bagus tersebut sangat membantu pembangunan Indonesia.
343
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pemanfaatan OPEC untuk Kepentingan Indonesia Pengamanan Sumber Pasokan Minyak Indonesia Makin merosotnya produksi minyak negara-negara non-OPEC (suatu gejala global yang juga ikut melanda Indonesia), dan tidak ditemukannya lagi lapangan-lapangan minyak raksasa selama 20 tahun terakhir ini membuat OPEC akan menjadi lebih dominan di masa depan. Perkembangan cadangan minyak dunia menunjukkan bahwa pertambahan signifikan cadangan selama dua puluh tahun terakhir hanya terjadi di negara-negara OPEC Timur Tengah, yang meningkat 90 % (dari 475 milyar barel tahun 1983 menjadi 905 milyar barel pada akhir tahun 2006). Hanya Timur Tengah, Rusia serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya diandalkan kepada kekuatan dan mekanisme pasar, ini tercemin dari politik dan diplomasi energi mereka kepada negara-negara pemilik minyak tersebut. Selama sepuluh tahun terakhir Indonesia menghadapi penuaan lapangan minyak, penurunan produksi dan makin sukarnya ditemukan lapanganlapangan minyak baru di samping kurangnya kegiatan eksplorasi (yang terimbas oleh krisis politik dan ekonomi). Cadangan terbukti Indonesia sekarang sebesar 4.1 milyar barel hanya 0.3% dunia. Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1996, produksi Indonesia terus menurun sesuai karakter alamiahnya, sementara makin sukarnya kondisi wilayah eksplorasi baru. Belakangan ini kegiatan eksplorasi sudah makin ditingkatkan, namun hasil yang signifikan baru akan dirasakan dalam kurun waktu 6-8 tahun kedepan. Dari produksi minyak Indonesia kurang dari 1 juta bph (barel per hari) dewasa ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 60-70 persennya dan sisanya merupakan porsi biaya produksi dan hak mitra bagi hasil. Dengan konsumsi Indonesia yang lebih dari satu juta bph BBM, harus diimpor 300 ribu bph minyak mentah dan 400 ribu bph BBM, yang artinya secara keseluruhan Indonesia sudah benar-benar menjadi net importer.
344
OPEC dan Diplomasi Energi
Indonesia memiliki kepentingan jangka panjang dalam pengamanan sumbersumber minyak dan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Usaha yang dilakukan di dalam negeri adalah meningkatkan cadangan terbukti dan jumlah produksi melalui peningkatan investasi dan kegiatan eksplorasi dan produksi. Cetak biru Pengelolaan Energi Nasional (PEN) memprediksi bahwa selama 20 tahun ke depan Indonesia masih akan sangat tergantung kepada minyak sebagai sumber energi. Keadaan tersebut menuntut Indonesia mau tidak mau untuk mencari sumber-sumber minyak di luar negeri. Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara Asia yang lain sehingga akan terjadi kompetisi yang berat dalam kegiatan ini. China dan India, juga Malaysia sudah lebih dulu memulai insiatif ini sehingga mereka sudah banyak menguasasi wilayah kerja eksplorasi dan produksi minyak di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Ketergantungan dunia kepada minyak OPEC akan makin besar. Bilamana sebagai bukan anggota, status Indonesia akan sama dengan pembeli lainnya sehingga berkompetisi dalam mendapatkan pasokan. Membeli di pasar spot akan membayar lebih mahal dan membeli dari penjual non-OPEC juga sulit karena biasanya dikonsumsi sendiri, sudah terjual untuk jangka panjang atau diolah di kilang-kilang mereka sendiri. Karena itu negara-negara di dunia sekarang menempatkan bobot/kepentingan kerjasama bilateral energi dengan negara produsen di atas kerja sama lainnya. Untuk itu Indonesia perlu mengembangkan sumber-sumber minyak di luar negeri oleh perusahaan nasional kita. Hubungan baik dengan negaranegara OPEC dapat dijadikan aset yang baik dalam usaha ini. Contoh adalah diperolehnya konsesi lapangan minyak di Irak bagi Pertamina. Pertamina juga sudah memperoleh wilayah kerja di Libya dan Qatar dan sedang dijajaki di Equador. Kerjasama patungan juga sudah diperoleh dengan perusahaan Iran untuk mengelola produksi minyak di satu kawasan di negara tersebut. Menstabilkan dan Mempertahankan Harga Minyak, Gas dan Batu Bara yang layak. Walau jumlah ekspor minyak Indonesia saat ini tidak terlalu signifikan, di lain pihak Indonesia masih sebagai eksporter besar gas bumi dan batu bara, sehingga Indonesia masih berkepentingan atas stabilitas dan harga yang 345
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
layak minyak mentah yang secara langsung akan menentukan harga gas dan batu bara. Kerja sama ekonomi dan investasi Forum OPEC dapat didayagunakan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan investasi antar sesama anggota. Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar dan mengembangkan investasi mereka di negara-negara lain yang juga dapat dimanfaatkan untuk investasi di Indonesia. Untuk itu, Indonesia sebaiknya menawarkan proyek-proyek investasi menarik. Salah satu contoh adalah proyek pembangunan kilang di Banten bersama Iran serta rencana kilang baru di Tuban bersama Saudi Arabia. Contoh lain adalah pembangunan resort di Lombok dengan investasi dari Uni Emirat. Negara-negara OPEC di Timur Tengah sekarang menunjukkan minat untuk investasi di bidang produksi pangan. Hal mana Indonesia merupakan tempat yang cocok karena didukung ketersediaan lahan dan iklim. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga ada yang ikut kegiaran pembangunan infrastruktur di negara-negara OPEC. Demikian juga negara-negara OPEC juga merupakan pasar bagi produk-produk industri Indonesia. Indonesia juga memiliki peluang memasok tenaga kerja berkualitas di luar negeri. Sebagai contoh adalah dipakainya tenaga trampil dan ahli Indonesia di Qatar dan negara-negara Teluk lainnya. Indonesia harus dapat membina lebih banyak tenaga kerja berkualitas tersebut karena peluangnya masih luas. Dalam hal ini lembaga pelatihan milik pemerintah dan swasta dapat diberdayakan. Masuknya wisatawan dari negara-negara OPEC ke Indonesia juga merupakan potensi yang bagus (kunjungan wisatawan Timur Tengah sudah lama dinikmati Malaysia). Promosi Indonesia yang gencar serta fasilitasi pelaksanaannya perlu dilakukan. Dalam berbagai hal tersebut di atas, sektor atau departemen terkait (Perdagangan, Perindustrian, Tenaga Kerja, Pariwisata, KADIN, BKPM, DESDM) dihimbau untuk memanfaatkan peluang ini dengan merintis hubunganhubungan dengan instasi terkait di negara-negara anggota OPEC tersebut dan mengkoordinasikannya dengan pelaku bisnis di Indonesia.
346
OPEC dan Diplomasi Energi
Mendukung diplomasi luar negeri. Di bidang politik luar negeri sangat diperlukan adanya dukungan terhadap diplomasi Indonesia melalui kemitraan internasional. Keanggotaan Indonesia di OPEC meningkatkan posisi Indonesia di forum internasional karena OPEC merupakan organisasi yang sangat disegani di antara organisasi-organisasi negara berkembang. OPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi yang sering dimanfaatkan untuk diplomasi Indonesia, misalnya dalam menghadapi permasalahan nasional kita seperti HAM dan integritas nasional. Indonesia juga dapat memanfaatkan OPEC Fund untuk memperkuat diplomasi Indonesia. Misalnya membantu negara tetangga Indonesia untuk memperoleh dana OPEC Fund. Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Filipina, Myanmar, Papua Niugini adalah negara-negara sekitar Indonesia yang sudah menikmati dana tersebut. Karena itu yang dapat diusulkan Indonesia selanjutnya adalah bantuan untuk Timor Leste. Kerja sama pengembangan teknologi. OPEC sudah mulai membina kerjasama riset teknologi antar negara anggota yang hasilnya dapat dinikmati dengan biaya relatif murah karena ditanggung bersama. Dalam hal ini Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas ‘LEMIGAS’ sudah ikut berkoordinasi dengan Sekretariat OPEC. Pemanfaatan Hasil Kegiatan Sekretariat OPEC Sekretariat OPEC bertempat di Wina, Austria, yang menjalankan kegiatan riset energi dan riset pasar minyak untuk mendukung kebijakan dan strategi organisasi ini. Hampir 80% dari aktivitas Sekretariat OPEC merupakan kegiatan studi dan riset yang berwawasan global seperti riset pasar dan harga minyak yang bersifat jangka pendek dan menengah, dan kegiatan studi-studi energi, yang bersifat jangka menengah dan panjang. Untuk itu lebih dari 70 persen personil Sekretariat OPEC terdiri dari para peneliti. Tenaga-tenaga ahli Indonesia mendapat kesempatan untuk berkiprah di bidang profesional di Sekretariat OPEC. Indonesia saat ini menempatkan 4 tenaga ahlinya. Seluruh anggota OPEC mendapat akses penuh kepada semua hasil kegiatan riset dan studi sekretariat, baik berupa data dan informasi, maupun hasil
347
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
penelitian berupa laporan konfidensial maupun publikasi. Jenis informasi serta hasil studi dan riset tersebut relatif sama dengan yang mutlak diperlukan suatu negara. Indonesia tidak perlu melakukan kembali kegiatan yang sama, tapi dapat memanfaatkannya untuk keperluan Indonesia dalam melakukan kajian yang spesifik dengan kepentingan Indonesia namun yang terkait dengan aspek global. Pembiayaan lembaga ini diambil dari iuran anggota masing-masing sekitar 2 juta euro per tahun. Dilihat dari bobot kegiatan riset yang dilakukan yang hasilnya dapat dinikmati semua anggota, jumlah tersebut sangatlah wajar.
Manfaat bagi OPEC atas kehadiran Indonesia sebagai anggota Indonesia adalah salah satu anggota penuh OPEC yang terlama di luar anggota pendiri. Dalam sejarah perjalanan OPEC, Indonesia secara setia telah ikut dalam suka duka organisasi ini dan telah memainkan peran sebagai mediator yang menonjol dalam organisasi ini, baik ke dalam maupun ke luar. Sekretaris Jenderal OPEC dari Indonesia, Professor Subroto, dalam dua periode masa tugasnya (1988-1994) telah berhasil membawa OPEC untuk lebih terbuka dan merintis dialog konsumen dan produsen. Demikian juga Presiden OPEC dan Sekretaris Jenderal OPEC pada tahun 2004, Purnomo Yusgiantoro, dalam suasana harga minyak yang meningkat tinggi berhasil membawa OPEC untuk melakukan usaha menurunkan harga minyak dengan tiga kali menaikkan tingkat produksi. Indonesia, negara dengan penduduk 230 juta jiwa dan memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, pelopor dunia ketiga, dan satu-satunya negara Asia Timur jauh yang menjadi negara OPEC, merupakan aset penting bagi OPEC. Nilai politis ini dianggap jauh lebih besar dari sekadar permasalahan status ekspor minyak Indonesia.
Aspek Legal Keanggotaan Indonesia di OPEC Di dalam statuta OPEC dinyatakan secara tegas bahwa anggota penuh OPEC adalah yang sudah mendapat keanggotaan dengan persetujuan anggotaanggota penuh lainnya tanpa mempersoalkan apakah masih net exporter
348
OPEC dan Diplomasi Energi
atau tidak. Persyaratan net exporter minyak mentah (crude petroleum) hanya diterapkan bagi calon yang ingin menjadi anggota baru. Calon juga dapat menjadi Associate Member apabila hanya memenuhi kriteria net petroleum exporter, artinya sebagai eksportir gabungan gas dan produk minyak tapi tidak memenuhi kriteria sebagai net exporter minyak mentah. Associate Member tetap harus membayar sejumlah iuran keanggotaan, memiliki hak akses kepada seluruh fasilitas informasi dari Sekretariat, dapat diundang hadir di Sidang OPEC dan Sidang Gubernur tapi tidak memiliki hak pilih. Penerimaan keanggotaan baru harus disetujui oleh anggota OPEC sekarang ini. Observer hanya ada bila Sidang OPEC memutuskan untuk mengundang satu negara bukan anggota untuk menghadiri sidang. Observer tidak memiliki hak ataupun kewajiban. Jadi jelas Statuta OPEC tidak mengatur tentang penurunan status keanggotaan bagi anggota penuh. Bila Indonesia ingin menjadi Associate Member, harus menyatakan keluar dulu dari anggota OPEC dan kemudian mengajukan permohonan untuk jadi Associate Member. Kejadian ini dapat sangat disesalkan para anggota OPEC lainnya karena Indonesia sudah lebih 40 tahun sebagai salah satu penggerak organisasi tersebut. Di mata mereka, Indonesia tetap sebagai pemain penting dalam industri petroleum internasional, karena masih sebagai eksportir gas besar dan masih memiliki potensi cadangan minyak dan gas yang substansial, yang sewaktu-waktu dapat membawa kembali Indonesia sebagai eksportir. “ Why remain outside the club to which she already belongs?”. Tidak ada anggota OPEC sekarang termasuk anggota Pendiri yang menginginkan salah satu anggotanya berada di luar. Sebaliknya mereka sangat memahami dan sangat solider atas situasi negara anggota tersebut dan sangat menginginkan anggota tersebut tetap berada di dalam organisasi.
Strategi Penentuan Status Keanggotaan Indonesia Saat Ini Untuk sementara ini kepentingan Indonesia sudah bergeser dari net exporter menjadi net importer. Beberapa pendapat menyatakan bahwa dewasa ini status di luar OPEC dianggap lebih pas bagi Indonesia. Pertama, menghindari konflik kepentingan dalam forum OPEC. Dalam situasi sekarang Indonesia
349
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
merasa sangat canggung berada satu meja dengan para eksportir. Kedua, keluarnya dari keanggotaan OPEC diharapkan lebih menyadarkan masyarakat bahwa negara kita bukan lagi ‘kaya raya’ dengan minyak tapi sudah sebagai pengimpor, sehingga harus lebih terpacu untuk meningkatkan efisiensi serta mengembangkan energi alternatif yang cukup banyak di negeri ini. Manfaat atau keuntungan keanggotaan Indonesia di OPEC sudah di bahas di atas. Kerugiannya, disamping adanya konflik kepentingan Indonesia saat ini di forum OPEC, juga adalah dapat terkenanya Indonesia dalam masalah litigasi, terutama di Amerika, karena OPEC dituduh melakukan praktek kartel. Ancaman tersebut masih berupa potensi karena dalam perjalanannya selama ini masih dapat diatasi melalui jalur hukum dan selalu dapat ditepis dengan argumen bahwa kebijakan produksi OPEC merupakan kedaulatan masingmasing negara yang didukung konstitusi masing-masing. Identifikasi keuntungan dan kerugian keanggotaan di OPEC untuk Indonesia tersebut disajikan dalam matriks terlampir. Karena itu, jalan terbaik saat ini bagi Indonedia adalah status pembekuan sementara keanggotaan, bukan keluar. Dengan status ini antara Indonesia dan OPEC dapat memelihara ‘feeling sekeluarga’ dan itu memudahkan dalam hubungan bilateral dengan negara-negara anggota. Di samping itu, bila mengacu anggaran dasar OPEC, permintaan keanggotaan baru setelah keluar akan lebih rumit prosedurnya dibanding menghidupkan kembali keanggotaan yang sudah ada. Contoh kasus adalah Equador, yang setelah 15 tahun keluar, tahun lalu masuk lagi ke organisasi ini. Indonesia tentu dapat melakukan hal yang sama pada saat yang tepat dan diperlukan nantinya. Dalam status pembekuan keanggotaan nantinya, strategi Indonesia adalah memelihara persahabatan dengan negara-negara OPEC, yang sudah sangat baik secara bilateral maupun multilateral. Indonesia juga dapat menawarkan peran negara kita untuk membantu upaya OPEC dalam stabilisasi pasar minyak dunia, antara lain sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, khususnya negara-negara berkembang. Ke depan, Indonesia akan memerlukan tambahan impor minyak mentah yang tidak selalu dapat diperoleh hanya dengan pendekatan bisnis.
350
OPEC dan Diplomasi Energi
Kedekatan Indonesia dengan OPEC dapat merupakan posisi tawar Indonesia dalam berkompetisi dengan negara-negara konsumen lainnya yang dapat menawarkan lebih banyak seperti dana investasi, teknologi ataupun peralatan pertahanan untuk mendapatkan pasokan jangka panjang dari negara-negara OPEC. Jadi dengan banyaknya kepentingan kerja sama di bidang diplomasi, ekonomi dan investasi tersebut di atas, walaupun bukan lagi anggota, pemeliharaan dan peningkatan persahabatan Indonesia dengan negara-negara OPEC merupakan kemestian. Proses keluarnya Indonesia ini dapat dilakukan seelegan mungkin oleh kedua belah pihak. Perlu dicatat bahwa OPEC sendiri sudah menyatakan tidak menginginkan dan sangat menyayangkan keluarnya Indonesia karena Indonesia sudah merupakan ‘bagian sejarah OPEC’ dan secara de facto dianggap sejajar dengan anggota pendiri. Mengingat Indonesia masih memiliki hak anggota sampai akhir tahun 2008 (karena sudah membayar penuh iuran 2008) pembekuan keanggotaan tersebut tidak perlu tergesagesa tapi baru dieffektifkan terhitung mulai 1 Januari 2009.
351
1
NO
KEAMANAN PASOKAN MINYAK MENTAH
ASPEK
Besar
BOBOT
352 Negara-negara di dunia sekarang menempatkan bobot/kepentingan kerjasama bilateral energi dengan negara produsen di atas kerja sama lainnya.
Ketergantungan dunia kepada minyak OPEC akan makin besar. Bilamana sebagai bukan anggota, status sama dengan pembeli lainnya sehingga berkompetisi dalam mendapatkan pasokan. Membeli di pasar spot akan membayar lebih mahal yang jumlahnya jauh lebih besar dibanding iuran tahunan OPEC. Membeli dari penjual non-OPEC juga sulit karena biasanya dikonsumsi sendiri, sudah terjual untuk jangka panjang atau diolah di kilang-kilang mereka sendiri.
Sebagai contoh Cina dan Jepang yang memberikan pinjaman pembangunan jangka panjang dengan pengembalian pasokan minyak. Dewasa ini persetujuan pasokan kadang-kadang memerlukan kemauan politik dari negara pemasok. Kedekatan Indonesia di forum OPEC dapat dipakai/memudahkan dalam mencari tambahan pasokan dan menjamin kelanggengan komitmen pasokan yang sudah ada (seperti dari Saudi Arabia, Kuwait, Libya, Iran, Nigeria).
Indonesia memerlukan ke depan tambahan pasokan minyak mentah. Negara-negara konsumen/maju berkompetisi untuk mendapatkan pasokan jangka panjang ke negara-negara OPEC.
KEUNTUNGAN
TINJAUAN ASPEK-ASPEK KEANGGOTAAN INDONESIA DI OPEC KERUGIAN Status keuangan Indonesia harus diperkuat untuk mendapat kepercayaan penjual. Karena itu harus memelihara hubungan baik yang sudah terbina sebelumnya dengan negara-negara Opec.
JALAN KELUAR BILAMANA KELUAR DARI KEANGGOTAAN
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
4
KERJA SAMA EKONOMI
OPINI MAYARAKAT INDONESIA
3
Sedang
Besar
POLITIK Besar LUAR NEGERI
2
353
Masyarakat menilai keberadaan Indonesia di OPEC saat ini agak ironis/aneh karena posisi Indonesia sudah sebagai importir minyak. Forum OPEC dapat didayagunakan untuk me- . ningkatkan kerja sama ekonomi antar sesama anggota. Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk investasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga ada yang ikut kegiaran pembangunan infrastruktur di negara-negara OPEC.
Sebagai satu-satunya anggota dari Asia-Pasifik kehadiran Indonesia diperlukan OPEC.
Keanggotaan di OPEC meningkatkan posisi/le- OPEC sering dituduh verage Indonesia di forum internasional. sebagai kartel dan dianggap sebagai biOPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi ang keladi tingginya yang dapat dimanfaatkan untuk memperjuang- harga minyak. Citra ini ikut mengimbas ke kan kepentingan diplomasi Indonesia. Indonesia.
Indonesia kehilangan forum penting untuk pengembangan kerja sama ekonomi. Namun kerja sama tetap bisa dilakukan tanpa jadi anggota. Perlu dicatat bahwa sampai saati ini Indonesia kurang produktif dalam memanfaatkan potensi investasi dari negara-negara OPEC di Timur Tengah. Karena itu yang juga lebih penting adalah kesiapan industri dan kalangan bisnis Indonesia untuk mengisi kerja sama ekonomi. Untuk itu agar menyiapkan industri dan kalangan bisnis Indonesia.
Memelihara hubungan baik yang sudah terbina sebelumnya dengan negaranegara Opec. Mendayagunakan dan meningkatkan kerjasama/forum bilateral dan multilateral dengan anggota OPEC maupun dengan negara-negara lainnya seperti OKI, IEF, D8, Selatanselatan dll.
OPEC dan Diplomasi Energi
Sedang
Sedang
IURAN TAHU- Sedang NAN dan biaya perjalanan delegasiIndonesia menghadiri pertemuan.
HARGA MINYAK MENTAH
6
7
STUDI, DATA DAN INFORMASI, PELATIHAN
5
Iuran tahunan sekitar 2 juta euro atau hampir 30 milyar rupiah per tahun. Iuran ini cukup logis karena 80% dipakai untuk keperluan riset dan studi energi aktuil yang juga dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Sekitar 25 % iuran Indonesia diserab kembali oleh ahli2 Indonesia yang bekerja di sana. Iuran dapat dikompensasi bilamana mendapat pasokan minyak yang lebih murah daripada di pasar spot.
Dulu sebagai net eksporter Indonesia berkepentingan dengan harga minyak yang pantas. Selain itu ekspor batu bara dan gas Indonesia harganya terkait dengan minyak.
Iuran ini paling besar diantara semua keanggotaan Indonesia di organisasi Internasional. Masyarakat menilai dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Sebagai net importer minyak Indonesia tidak menginginkan harga yang terlalu tinggi karena terkait dengan beban subsidi di dalam negeri.
Hampir 80% dana dan kegiatan OPEC dicurah- . kan untuk melakukan riset, studi dan pengadaan data dan informasi yang mutakhir, yang juga dapat dimanfaatkan Indonesia untuk penentuan kebijakan energi Indonesia. Sekretariat OPEC menyelenggarakan berbagai pelatihan dan workshop bagi para ahli dari negara anggota.
.
Indonesia kehilangan sumber informasi yang handal. Indonesia harus meningkatkan partisipasi di organisasi energi lainnya seperti IEA, IEF, APECEC, ACE dan lainnya.
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
354
Pemasokan Kecil tenaga kerja ke negaranegara OPEC
10
Kecil
LITIGASI OPEC DI NEGARANEGARA KONSUMEN (terutama di USA)
9
Kecil
PENGARUH DI FORUM OPEC
8
Indonesia memasok tenaga kerja perminyakan terlatih ke negara-negara OPEC. Ada rencana menjadikan Pusdiklat Migas Cepu sebagai OPEC Center of excellence untuk pendidikan tenaga migas.
Dengan status sebagai net importer/pembeli minyak saat ini. Indonesia dapat memposisikan dirinya juga sebagai konsumen dan bisa memberikan masukan/pandangan ke forum OPEC dalam menentukan kebijakan OPEC.
OPEC dan NOC nya sering dituntut sebagai kartel yang menaikkan harga minyak. Indonesia dan Pertamina ikut terbawa dan harus ikut berjuang membela diri.
Posisi Indonesia minoritas dan tidak dapat memberikan pengaruh yang signifikan walau memiliki suara yang sama. Indonesia dengan negara-negara anggota lainnya akan berada pada suasana tidak nyaman kalau selalu berbeda pandangan.
Karena diperlukan oleh negara-negara OPEC, pasokan tenaga kerja tidak akan terganggu. Hubungan baik yang sudah terbina agar terus dipelihara dan ditingkatkan.
Di luar OPEC, sebagai konsumen Indonesia dapat lebih bebas memberikan masukan untuk stabilisasi pasar minyak dunia dan dapat sebagai mediator pihak konsumen dalam dialog konsumen-produsen.
OPEC dan Diplomasi Energi
355
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Acting for Secretary General OPEC tahun 2004, Maizar Rahman
356
OPEC dan Diplomasi Energi
OPEC, Jendela Indonesia Memandang “Halaman” Suara Karya, Minggu, 31 Juli 2005
T
idak disangkal lagi, saat ini semua bangsa di dunia, terutama China dan AS terus mencari sumber-sumber minyak, baik itu dalam bentuk pembelian produk BBM, atau penanaman investasi mereka di luar negeri. China adalah yang paling gencar melakukan hal itu karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat tadi. Di sinilah posisi Indonesia harus jelas, karena kalau Indonesia terus-menerus menjadi penonton dan tidak mengembangkan pencarian minyak, maka posisinya akan terus terjepit. Bahkan untuk membeli minyak pun nanti akan sulit karena semua yang ada di pasaran akan ditelan oleh China dan AS. Untuk lebih melihat apa yang mesti dilakukan oleh Indonesia dalam konstelasi pergumulan pencarian pasok minyak dunia di market maupun di lapanganlapangan minyak, dan bagaimana sebaiknya kiprah Indonesia di forum OPEC, berikut wawancara Sabpri Piliang dan fotografer Hedy Suryono dari Suara Karya dengan Gubernur Indonesia untuk OPEC, Dr Maizar Rahman. Secara historis, mengapa OPEC ini harus dibentuk, di mana salah satunya Indonesia menjadi negara yang turut mendeklarasikannya? Terbentuknya OPEC, lebih pada adanya perlawanan negara-negara berkembang terhadap bentuk kapitalisme. Sebab dulunya, sebelum ada OPEC, harga minyak dunia sangat ditentukan oleh perusahaan-perusahaan minyak yang berpusat di Eropa dan AS. Mereka yang disebut dengan seven sister ini sudah seperti kartel yang sangat menentukan harga minyak dunia. Alhasil, negara-negara yang mempunyai kedaulatan di sektor minyak, sangat sedikit menikmati hasil kekayaan alamnya. Apakah tantangan OPEC, sebagai satu-satunya organisasi negara-negara berkembang, yang paling berat saat itu dan saat ini? Tantangan OPEC dalam perjalanannya sangatlah berat, saat itu baik internal maupun eksternal OPEC mengalami masa-masa sulit. Di mana secara internal, terdapat konflik di dalam, dan dari luar. Sementara negara-negara industri besar juga menentang OPEC.
357
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Sebagai negara OPEC, Anda melihat cadangan minyak Indonesia ini hanya berapa persen dari cadangan minyak dunia? Satu hal yang mesti masuk dalam kerangka berpikir semua rakyat Indonesia, bahwa kita ini bukanlah negara minyak, karena cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,4 persen dari total sources dunia, yaitu 1.140 miliar barel. Artinya, minyak kita cuma ada 4 miliar barel. Bandingkan dengan Arab Saudi 250 miliar barel. Kalau begitu dengan sebegitu kecilnya cadangan kita, untuk apa Indonesia tetap ada di OPEC? Bukankah itu mubazir? Persoalannya bukan sesederhana itu. Memang dari sisi produksi kita ini nomor dua terkecil setelah Qatar. Namun, keberadaan Indonesia di OPEC akan banyak manfaatnya dalam hal -- salah satunya -- mempercepat koneksi untuk mendapatkan pasokan minyak di saat kita perlu. Artinya, Anda ingin mengatakan bahwa keberadaan Indonesia di OPEC untuk menjaga Indonesia dalam kompetisi percarian minyak besar-besaran seperti saat ini? Prinsipnya, hubungan dengan negara-negara OPEC tidak boleh kita lepaskan karena berkaitan dengan ketatnya kompetisi pencarian minyak di market antara China dan AS saat ini. Anda setuju, kalau keberadaan Indonesia di OPEC saat ini semata-mata karena faktor sejarah? Indonesia menjadi negara OPEC sejak tahun 1962, sehingga kalau dihitung sampai saat ini sudah sekitar 43 tahun, dan ini harus dipertimbangkan. Sehingga, adalah benar, kalau keanggotaan kita di OPEC tersebut sudah merupakan bagian dari sejarah OPEC itu sendiri. Sehingga, teman-teman OPEC lainnya menganggap Indonesia itu bukanlah sembarangan anggota. Indonesia adalah full founder, dan mereka meminta kita tetap berada di OPEC dalam keadaan produksi Indonesia saat ini. Melihat produksi minyak kita yang hanya sekitar 1.025.000 juta bph, dan cenderung sudah menjadi net oil importer, apakah ada suara-suara anggota OPEC untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan?
358
OPEC dan Diplomasi Energi
Dari segi legal dan diatur dalam statuta OPEC, Indonesia merupakan full member, yang dalam kondisi apa pun serta sampai kapan pun tidak akan bisa diutak-atik untuk dikeluarkan dari OPEC. Sebagai perbandingan, untuk menjadi anggota OPEC itu memiliki ketentuan dan syarat yang berat, yaitu harus net exporter dan di samping itu sebelumnya mereka harus disetujui oleh anggota yang full member. Setelah itu, baru dia diterima. Karena Indonesia sudah menjadi full member, dan tidak dikenai peraturan harus net exporter, maka Anda berasumsi tidak menjadi keharusan bagi Indonesia untuk keluar dari OPEC? Betul, kalau memang tidak ada keharusan, mengapa kita mesti keluar. Di samping itu, banyak manfaatnya kita untuk tetap berada di OPEC. Sebenarnya dari sisi OPEC, apakah tetap mempunyai kepentingan untuk mempertahankan Indonesia berada di forum tersebut? Indonesia selama ini dianggap banyak berperan dalam menjalankan fungsi mediasi terhadap negara-negara lain untuk kepentingan OPEC. Lebih-lebih ketika Subroto masih menjabat Sekjen OPEC. Di samping itu, Indonesia merupakan satu-satunya jembatan OPEC yang berada di Asia, dalam pengertian Asia di Timur Jauh. Selain itu, apalagi yang menjadi dasar pertimbangan strategis OPEC untuk tetap mempertahankan Indonesia dalam forum ini? Indonesia itu memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Muslim negara-negara OPEC lainnya, sehingga ini menjadi pertimbangan yang kokoh bagi seluruh anggota OPEC. Lagi pula, kalau Indonesia keluar, maka OPEC akan menjadi organisasi negaranegara Arab penghasil minyak (OAPEC-sambil bergurau-red). Jadi, kepentingan Indonesia tetap berada di OPEC sangat diperlukan oleh OPEC sebagai kepentingan politis dan menjaga keseimbangan? Saya pikir asumsi itu tidak salah, karena OPEC melihatnya tidak hanya dari sisi ekspor saja, namun juga menyangkut kepentingan diplomasi. Anda bisa memberikan alasan mendasar dan bisa diterima logika, mengenai pentingnya Indonesia tetap berada di OPEC?
359
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Karena, tidak semua pihak memahami kalau keberadaan Indonesia di sana semata-mata karena kepentingan historis dan diplomasi saja. Ya, sekalipun kita tidak berkepentingan lagi dengan ekspor minyak, namun kita sangat berkepentingan dengan harga minyak yang bagus karena Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor gas. Karena itu Indonesia masih tetap diperhitungkan banyak pihak? Keberadaan Indonesia di OPEC sekali lagi saya katakan sangat diperhitungkan oleh banyak orang di luar negara OPEC. Sebab, efek tersebut akan dibawa Indonesia dalam Asian Energy Meeting, misalnya. Selaku anggota OPEC, kita akan bisa menjalankan fungsi kepanjangan tangan OPEC dalam hal mediasi. Apalagi, masalah energi ini merupakan soal hidup, sehingga posisinya sangat penting bagi masyarakat luas. Melihat betapa pentingnya masalah energi, banyak negara yang mengesampingkan soal politik asal kepentingan energinya bisa dipecahkan? Itu sangat betul. Kita bisa mengambil contoh negara India dan Pakistan yang sudah lama bertikai soal Kashmir, jelas mengesampingkan masalah politik. Hal ini tampak dari kebutuhan India akan gas dari Irak, maka dia membuat saluran pipa dari India melewati Pakistan. Kesepakatan mereka capai, Pakistan membolehkan namun Pakistan mendapat bagian dari gas tersebut lewat investasi India. Itu berarti energi bisa jadi juru damai bagi bangsa-bangsa di dunia? Memang begitu, energi sangat dimungkinkan menjadi juru damai bagi bangsa-bangsa di dunia ini. Apalagi, 75 persen minyak dunia berasal dari OPEC. Jadi, mengapa Indonesia mesti meninggalkan OPEC? Tapi dengan membayar 2 juta dolar AS, tentu terlalu besar bagi Indonesia dalam keadaan seperti saat ini? Katakanlah, negara OPEC jumlahnya 11 dikalikan dua juta dolar. Sebanyak 80 persen dari 22 juta dolar tersebut dipakai untuk kepentingan riset energi dan riset oil market. Kalau kita melakukan riset sendiri maka Indonesia akan sangat berat.
360
OPEC dan Diplomasi Energi
Kalau begitu singkatnya keberadaan kita di OPEC bagi kepentingan jangka panjang kita? OPEC merupakan jendela bagi Indonesia untuk memandang dunia lain di halaman dunia sekitarnya. OPEC juga menjadi acuan kita untuk melihat isuisu global yang ada di dunia. Sebab, kalau tidak, dari mana kita bisa dapat informasi? ***
Salah satu sidang Konferensi OPEC, 2004, dipimpin oleh Presiden OPEC, Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
361
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Keamanan, Kebijakan, dan Diplomasi Energi Warta Ekonomi No 11/XX/26 Mei 2008
S
etelah terdampar di pulau, Robinson Crusoe sibuk mencari kayu dan membuat api untuk memasak makanannya. Kisah klasik ini mengilustrasikan bahwa, di samping makanan, energi juga merupakan komoditas pokok manusia. Sejarah berbagai negeri maju serta berbagai peperangan menunjukkan bahwa energi merupakan mesin pertumbuhan ekonomi dan pendukung mesin perang yang menentukan harga diri suatu bangsa. Keamanan energi merupakan kondisi pokok yang harus dipunyai oleh setiap negara. Keamanan energi makin penting seiring kenaikan harga minyak yang di luar kemampuan negara kita untuk menyerapnya. Oleh karena itu, langkahlangkah ke kemandirian atas pengelolaan energi harus dipercepat, terutama dengan mengembangkan sumber-sumber sendiri, sambil juga mengamankan sumber-sumber impor energi. Tahun 2006, Presiden RI menetapkan Kebijakan Energi Nasional untuk mewujudkan keamanan pasokan di dalam negeri. Didasarkan pada sumbersumber yang kita miliki, kebijakan tersebut menetapkan sasaran energy mix tahun 2005 dengan porsi konsumsi minyak ditargetkan turun menjadi 20% (dari 54% dewasa ini), gas bumi naik menjadi 30%, batu bara naik menjadi 33%. Selain itu, bahan bakar nabati harus dapat berperan sebesar 5%, panas bumi 5%. Selain itu, dimanfaatkan juga energi lainnya, seperti nuklir, biomassa, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin, menjadi 5%. Bahan bakar minyak dari batu bara yang dicairkan harus dikembangkan sekurangkurangnya sebesar 2%. Ketersediaan cadangan minyak terbukti Indonesia hanya 4,3 miliar barel atau untuk 10 tahun konsumsi, masa yang cukup singkat. Sementara itu, pertambahan cadangan baru, seperti di banyak negara lainnya, juga sangat kecil. Dengan sumber minyak dalam negeri yang terbatas, Indonesia ke depan masih harus mencari sumber-sumber di luar negeri, baik dengan pengusahaan sendiri maupun impor.
362
OPEC dan Diplomasi Energi
Dunia sendiri kesulitan memperoleh sumber energi yang mudah. Penduduk dunia menjadi lebih dari 8 miliar jiwa pada tahun 2030 dari 6,5 miliar jiwa dewasa ini. Jika diikuti pertumbuhan ekonomi, maka ini akan menaikkan konsumsi energi menjadi 120 miliar ekuivalen barel minyak per tahun. Lebih dari 80% dari energi primer dunia masih akan berupa energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) dan porsi minyak masih tetap dominan. Pada tahun 2030, dunia akan memerlukan minyak sebesar 116 juta barel/hari, dibanding 87 juta barel/hari dewasa ini. Dengan cadangan terbukti minyak dunia hanya sekitar 1,2 triliun barel, tentu ketersediaan pasokan minyak hanya untuk 30 tahun. Ke mana mencari sumber-sumber baru? Dunia makin cemas karena, jika dipetakan, sebagian besar negara-negara dunia adalah pengimpor minyak. Hanya Timur Tengah, Rusia, serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan dan mekanisme pasar. Ini tercermin dari politik dan diplomasi mereka.
Diplomasi Energi Mancanegara India akan mengalirkan gas dari Iran, yang memiliki salah satu cadangan gas besar dunia. Iran akan mendapatkan pasar potensial bagi gasnya sekaligus “teman” di kancah politik internasional. Gas harus dialirkan melewati Pakistan dan negara ini, yang juga memerlukan gas, akan mendapat sewa tanah dan sewa ribuan kilometer pipa. Ketidaksenangan Washington dijawab India bahwa urusan bilateral mereka tidak boleh dicampuri siapa pun. Kerja sama ini menunjukkan bahwa energi memberikan prioritas paling atas kepada diplomasi suatu negara. Cina baru-baru ini memberikan pinjaman investasi sebesar US$40-50 miliar untuk pembangunan infrastruktur di Nigeria, yang tentu dengan harapan memperoleh akses ke lapangan-lapangan minyak di Nigeria. Hal ini mengingat ketergantungan Cina terhadap minyak impor akan lebih dari 60% pada 2010 dan akan terus membesar. Cina juga menetapkan Timur Tengah
363
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
sebagai kepentingan strategis utama sehingga harus mengedepankan perdagangan dan hubungan ekonomi yang terpusat pada minyak dengan kawasan tersebut. Jepang, Korea, dan negara-negara konsumen pada umumnya melakukan upaya diplomasi yang sama dengan mengandalkan kekuatan ekonomi, pendanaan, dan teknologi mereka. Sudah dua kali Presiden Amerika Serikat George Bush Jr. mengunjungi Arab Saudi, meminta negara tersebut menaikkan produksi. Bahkan, anggota Kongres Amerika Serikat sudah minta untuk mengaitkan pasokan senjata dengan produksi minyak kepada negara-negara Timur Tengah. Berbagai aliansi maupun kerja sama sudah tercipta, baik antarnegara produsen energi dalam rangka mengamankan harga energi, maupun antarnegara produsen dan konsumen dalam rangka mengamankan pasar dan pasokan energi dari masing-masingnya, dan antarnegara konsumen sendiri dalam rangka mengatasi krisis energi. Uni Eropa, misalnya, menciptakan kebijakan energi bersama yang menuju kepada pasar tunggal. Pasar tunggal akan menciptakan kompetisi yang menciptakan efisiensi dan harga energi yang lebih murah. Semua gerakan diplomasi tersebut menunjukkan bahwa komoditas minyak dan gas tidak telepas dari interaksi politik antarnegara dan setiap negara sudah menyusun strategi diplomasi energinya. Apa yang bisa ditawarkan Indonesia dalam kompetisi diplomasi energi tersebut? Undang-Undang Energi yang disahkan tahun 2007 menyatakan bahwa untuk menjamin ketahanan energi nasional dapat dilakukan kerja sama internasional di bidang energi. Namun, Indonesia tidak sekuat negara-negara maju dalam pendanaan, teknologi, serta kekuatan ekonomi lainnya sehingga harus mencari aspek-aspek lain yang dapat dipakai sebagai kekuatan tawar. Misalnya, memperbesar investasi negara eksportir minyak di Indonesia di berbagai sektor. Lalu, meningkatkan kerja sama energi ASEAN untuk ketahanan energi kawasan, memelihara solidaritas antarnegara berkembang seperti OKI dan
364
OPEC dan Diplomasi Energi
kesetiakawanan yang sudah terbina selama ini seperti dengan OPEC, dan kerja sama lainnya.
Para menteri OPEC sesudah sidang Konferensi OPEC di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 5 Desember 2007. Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.
365
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
OPEC dan Indonesia Suara Pembaruan 9 Juni 2008
O
rganisasi negara- negara pengekspor minyak (OPEC) didirikan pada 1960 dengan tujuan mengembalikan penguasaan sumber daya alam minyak kepada kedaulatan pemiliknya, yang umumnya negara berkembang. Organisasi ini, menurut anggaran dasarnya, bertujuan menyatukan kebijakan serta melindungi kepentingan anggotanya. Upaya organisasi ini adalah menstabilkan harga di pasar internasional dan mencegah fluktuasi, mengamankan penerimaan minyak yang tetap untuk anggota sambil menjamin pasokan yang teratur, efisien, dan ekonomis kepada negara-negara konsumen, serta memperhatikan keuntungan yang pantas bagi investor. Diciptakannya sistem price band yang menstabilkan harga pada kisaran 22-28 dolar per barel, yang cukup berhasil pada 2000-2003, membuktikan organisasi ini lebih mengutamakan stabilitas daripada harga yang tinggi. Sistem tersebut kemudian tidak lagi efektif sejak 2004 karena walaupun untuk meredam harga OPEC sudah menaikkan produksi beberapa kali sampai kapasitas maksimalnya, harga terus melonjak tidak tertahankan sampai sekitar 130 dolar sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa asas OPEC, yang berpegang pada pengendalian keseimbangan pasokan dan permintaan, tidak lagi berdaya oleh faktor-faktor non-fundamental lain yang lebih dominan seperti geopolitik dan spekulasi. OPEC sering dianggap sebagai kartel negara-negara penghasil minyak, yang pada kenyataannya jauh dari praktik kartel murni. Semangat solidaritas negara berkembang telah mendorong ‘kartel’ ini mendirikan OPEC Fund untuk membantu proyek-proyek ekonomi dan sosial negara-negara miskin yang terkena imbas tingginya harga minyak. Sampai saat ini sekitar US$ 9,5 miliar sudah disetujui dan sebagian besar sudah disalurkan. Walau bantuan lebih ditujukan kepada negara-negara di luar
366
OPEC dan Diplomasi Energi
OPEC, namun pada waktu Aceh dilanda tsunami OPEC Fund juga langsung menyumbang sebesar setengah juta euro melalui Palang Merah Internasional. Indonesia memasuki OPEC pada 1962 karena melihat perjuangan OPEC adalah perjuangan negara ketiga dan juga Indonesia pada waktu itu sudah mulai mengekspor minyak, sehingga memiliki kepentingan yang sama dengan negara-negara anggota OPEC lainnya. Indonesia menikmati kenaikan harga dari US$ 2 per barel menjadi US$ 12 setelah embargo minyak perang ArabIsrael, 1974. Harga yang bagus tersebut sangat membantu pembangunan Indonesia. Keanggotaan di OPEC meningkatkan posisi Indonesia di forum internasional, karena OPEC merupakan organisasi yang sangat disegani di antara organisasi- organisasi negara-negara berkembang. OPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi, yang sering dimanfaatkan untuk diplomasi Indonesia menghadapi permasa- lahan nasional, seperti HAM dan integritas nasional. Sekretariat OPEC bertempat di Wina, Austria, yang menjalankan kegiatan riset energi dan riset pasar minyak untuk mendukung kebijakan dan strategi organisasi ini. Indonesia saat ini menempatkan empat tenaga ahlinya. Pembiayaan lembaga ini diambil dari iuran anggota masing-masing sekitar 2 juta euro per tahun. Dilihat dari bobot kegiatan riset yang dilakukan, yang hasilnya dapat dinikmati semua anggota, jumlah tersebut sangatlah wajar. Makin merosotnya produksi minyak negara-negara non-OPEC (suatu gejala global yang juga ikut melanda Indonesia), dan tidak ditemukannya lagi lapangan-lapangan minyak raksasa selama 20 tahun terakhir ini, membuat OPEC akan menjadi lebih dominan di masa depan. Hanya Timur Tengah, Rusia, serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyak, sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya diandalkan kepada kekuatan dan mekanisme pasar. Ini tercemin dari politik dan diplomasi energi mereka kepada negara-negara pemilik minyak tersebut.
367
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Selama 10 tahun terakhir, Indonesia menghadapi penuaan lapangan minyak, penurunan produksi, dan makin sukarnya ditemukan lapangan minyak baru. Setelah mencapai puncaknya pada 1996, produksi Indonesia terus menurun sesuai karakter alamiah, sementara makin sukar mencari wilayah eksplorasi baru. Kegiatan eksplorasi makin ditingkatkan, namun hasil yang signifikan baru akan dirasakan dalam kurun waktu 5-7 tahun ke depan. Dari produksi minyak Indonesia kurang dari 1 juta bph (barel per hari), dewasa ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 60-70 persen dan sisanya porsi biaya produksi dan hak mitra bagi hasil. Dengan konsumsi Indonesia yang lebih dari satu juta bph BBM, harus diimpor 300.000 bph minyak mentah dan 400.000 bph BBM, yang artinya secara keseluruhan Indonesia sudah benarbenar menjadi net importer. Oleh karena itu, kepentingan Indonesia sudah bergeser dari net exporter menjadi net importer.
Konflik Kepentingan Berkaitan dengan itu, dewasa ini status di luar OPEC dianggap lebih pas bagi Indonesia. Pertama, menghindari konflik kepentingan dalam forum OPEC. Dalam situasi sekarang Indonesia merasa sangat canggung berada satu meja dengan para eksportir. Kedua, keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC diharapkan lebih menyadarkan masyarakat bahwa negara kita bukan lagi “kaya raya” dengan minyak, tapi sudah sebagai pengimpor, sehingga harus lebih terpacu untuk meningkatkan efisiensi serta mengembangkan energi alternatif yang cukup banyak di negeri ini. Dalam sejarah OPEC yang hampir mencapai 50 tahun, OPEC dan dunia mengakui peran penting Indonesia dalam masa-masa sulit organisasi ini, antara lain, dalam membina hubungan antara negara produsen dan konsumen demi mencari jalan stabilisasi pasar minyak dunia. Figur-figur Indonesia dikenal sebagai mediator yang tangguh. Sebagai negara besar dan satu-satunya anggota dari Asia Timur Jauh, OPEC menganggap posisi Indonesia sangat strategis di organisasi itu. Indonesia sudah dianggap sama seperti founding members karena di samping peran historisnya, negara kita juga salah satu anggota tertua. OPEC akan merasa sangat kehilangan salah
368
OPEC dan Diplomasi Energi
satu anggotanya yang terbaik, tapi tetap dapat memahami dan menghormati keputusan Indonesia. Keluar dari OPEC bukan kata mati, karena itu bergantung pada dinamika kepentingan kita. Misalnya Ekuador, setelah 15 tahun keluar, tahun lalu masuk lagi ke organisasi ini. Indonesia dapat saja melakukan hal yang sama pada saat yang tepat dan diperlukan. Yang penting, dalam status masih di luar OPEC, strategi Indonesia adalah memelihara persahabatan dengan negara-negara anggota OPEC, yang sudah sangat baik secara bilateral maupun multilateral. Indonesia tetap dapat menawarkan peran ke OPEC dalam stabilisasi pasar minyak dunia, antara lain, sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, khususnya negara-negara berkembang. Ke depan, Indonesia akan memerlukan tambahan impor minyak mentah yang tidak dapat diperoleh hanya dengan pendekatan bisnis. Kedekatan Indonesia dengan OPEC dapat merupakan posisi tawar dalam berkompetisi dengan negara-negara konsumen lainnya yang menawarkan dana investasi, teknologi ataupun peralatan pertahanan untuk mendapatkan pasokan minyak jangka panjang dari negara-negara OPEC. Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar yang juga sangat ingin berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga sudah mulai ikut kegiatan pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan pemasokan tenaga kerja ahli di negara-negara OPEC . Jadi, dengan banyaknya kepentingan kerja sama di bidang diplomasi, ekonomi, dan investasi, walaupun bukan lagi anggota, namun pemeliharaan dan peningkatan persahabatan Indonesia dengan negara-negara OPEC merupakan kemestian.
369
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Forecast Of The World Oil and Gas Market Development By Dr Maizar Rahman, Indonesian Governor for OPEC, Acting for the OPEC Secretary General on behalf of Dr Purnomo Yusgiantoro, OPEC President and Secretary General and Minister of Energy and Mineral Resources for Indonesia. The 4th Russian Oil and Gas Week, Moscow, Russia 26–28 October 2004
Excellency’s, ladies and gentlemen, I should like to begin by thanking the organizers for inviting me to address this opening plenary session of the 4th Russian Oil and Gas Week, here in Moscow. As this vast country’s petroleum sector continues to play a growing role on the world stage, so do the importance and relevance of this event establish themselves on the international energy calendar. At the present time, the eyes of the world are focused on the near-term outlook, due to the volatile state of the international oil market. This is understandable. However, as I am sure all of us here today appreciate, this constitutes only part of the challenge facing us. We are also committed to the future of the industry. And so, during this address, I shall be looking at both the present and future outlooks, which are, of course, linked. My remarks will focus on oil, because this is OPEC’s principal area of interest. The current market volatility and high prices have been a major cause for concern among OPEC’s Member Countries. Prices for OPEC’s Reference Basket of seven crudes have recently reached record levels, since this yardstick was introduced in January 1987. They rose above US $45 a barrel for the first time earlier this month; this compares with an average level of $25.8/b from the inception of the OPEC price band in 2000 through 2003. In other words, the average was close to the centre of the $22–28/b price band during that period, and this won wide acceptance among producers and consumers, as being both fair and reasonable. We see a combination of factors contributing to the rising price trend this year — even though, throughout, the market has remained well-supplied with crude and fundamentals have been sound: higher-than-expected oil demand growth, especially in China and the USA; refining and distribution
370
OPEC dan Diplomasi Energi
industry bottlenecks in some major consuming regions, coupled with more stringent product specifications and compounded by the recent hurricanes in the Americas; and the present geopolitical tensions and concern about adequacy of spare capacity to meet possible supply disruptions. Combined, these factors have led to fears about a possible future supply shortage of crude oil, which, in turn, have resulted in increased speculation in the futures markets, with substantial upward pressure on prices. To help restore order and stability, OPEC raised its production ceiling twice, at Meetings of our Ministerial Conference on 3 June and 15 September. The total rise for OPEC-10 (that is, OPEC excluding Iraq) was 3.5 million barrels a day, to take the ceiling to 27.0 mb/d, with the final increase of 1.0 mb/d coming into effect on 1 November. These decisions were taken, even though our assessments had indicated that there was sufficient crude already in the market and that Member Countries were already pumping out levels of crude well above previous ceilings. It was believed that, as well as the actual physical fact of agreeing to these big increases in supply, such actions, in themselves, would also send a powerful psychological signal that OPEC was ready to act in order to help stabilise prices. With regard to the ability to meet rising demand in the short-to-medium term, OPEC has spare production capacity of around 1.5–2.0 mb/d, which would allow for an immediate additional increase in production. Furthermore, in response to the expected demand growth in the near future, Member Countries have plans in place to further increase capacity by at least 1 mb/d towards the end of this year and through 2005. In addition, plans for additional capacity expansion are available and could be enacted soon; however, this capacity would, typically, become available around 18 months after commencement of this process. Nevertheless, in saying all this, it must be pointed out that our latest studies show that, for the third quarter, the market was over-supplied by nearly 2 mb/d and that this trend was being continued into the fourth quarter, although to a lesser extent, due to demand seasonality and other factors. A further Extraordinary Meeting of the Conference is scheduled for 10
371
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
December in Cairo, to review market developments and, if necessary, adjust the production ceiling agreement accordingly. OPEC keeps a close watch, at all times, on energy market developments, as part of its ongoing research activities, at its Vienna-based Secretariat. This covers all reasonable time-horizons — the short term, the medium term and the long term. The purpose is to provide the Organization’s Oil Ministers with the necessary high-quality support material for their decision-making on market issues, whether this be for their short-term production agreements or for their deliberations on important longer-term issues. The objective throughout is to achieve and maintain market order and stability, with reasonable prices, steady revenues, secure supply and fair returns for investors. Let us now look further into the future, to 2025. According to our projections, based on OPEC’s World Energy Model, “OWEM”, the early decades of the 21st century are expected to see fossil fuels account predominantly for increases in world energy demand, with oil continuing to maintain its major role. There is also a clear expectation that the oil resource base is sufficiently abundant to satisfy this demand growth. Our reference case sees average annual world economic growth of 3.6 per cent over the period 2003–25, with the most rapid rates being in the developing countries, particularly China, which has a projected figure of 6.4 per cent. The average annual rate of 5.0 per cent for the developing countries is double the OECD’s 2.5 per cent, for the period up to 2025. Global oil demand is projected to rise by 38 million barrels a day to 115 mb/d by 2025 — annual average growth of 1.6 mb/d, or 1.7 per cent, over the years 2002–25. OECD countries will continue to account for the largest share of oil demand. However, almost three-quarters of the increase in demand up to 2025 will come from developing countries, whose consumption will almost double. Asian countries will remain the key source of demand increase in the developing world, with China and India central to this growth. At the global level, the transportation sector accounts for about 60 per cent of the rise in demand in 2000–25. This will amount to nearly all the growth in transition economies, almost four-fifths of it in the OECD and close to half in
372
OPEC dan Diplomasi Energi
developing countries. The industrial and household/commercial/agriculture sectors will also be important sources of growth in the developing world. Turning to the oil supply outlook, in the short-to-medium term, overall non-OPEC supply is expected to continue to increase, reaching a plateau of 55–57 mb/d in the post-2010 period. This represents an increase of 7–9 mb/d from 2002, although the eventual scale of this future expansion is subject to considerable uncertainty. The key sources for the increase in non-OPEC supply will be Latin America, Africa, Russia and the Caspian. This will all result in OPEC being increasingly called upon to supply the incremental barrel. OPEC has both the capability and the will to do this. Around four-fifths of the world’s proven crude oil reserves are located in OPEC’s Member Countries, although these 11 states account for only about two-fifths of current world output. Moreover, these reserves are more accessible and cheaper to exploit than those in non-OPEC areas. In 2025, OPEC is projected to meet more than half the world’s oil demand, at 51 per cent, with 58 mb/d. Thus, one of the most basic challenges facing OPEC — as well as other oil producers — is to ensure that sufficient production capacity will be available at all times to help meet the forecast rise in oil demand in the coming years and decades. This brings us onto the subject of investment. However, before discussing this, I should like to say a few words about other energy sources, especially gas. Order and stability in the oil sector are essential not just for oil, but also for gas. This is because of the linkage between oil and gas prices in major consumer markets, with oil price movements in volatile markets likely to be followed, to some extent, by same-direction gas price movements. Therefore, the case for ensuring that a sound international oil price structure is in place at all times finds further valuable support. OPEC has a strong base in the gas industry, even though the focus of our Organization is on the oil market. Our Member Countries hold almost half the world’s proven natural gas reserves, with the Islamic Republic of Iran and Qatar being second and third, respectively, to Russia, in global rankings.
373
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Algeria and Indonesia also place a heavy emphasis on the gas sector, in their hydrocarbon activities. Gas producers share many of the basic challenges of oil producers. Demand for gas is forecast to rise faster than that of oil, although from a lower base. It is the source of commercial energy that is most favoured by environmentalists, as well as being a reliable and highly efficient source of power generation. Production costs are coming down too. But the transportation of gas remains expensive, in spite of the big advances that are being made with liquefied natural gas, which are expected to turn it from being a regional to a global fuel. Also, legislation to liberalise energy markets, particularly in the European Union, has been handled without due regard to longstanding agreements with gas suppliers. The share of gas in the world energy mix is around 23 per cent at the moment and this is expected to climb to 30 per cent by 2025. Even so, this will still be well below the share of oil, which will have dipped slightly from around 40 per cent now to 37 per cent share in 2025. The share of solids — mainly coal — will remain at around 25–26 per cent during this period, while that of hydro, nuclear and renewables, treated as one group in this analysis, will fall by more than two percentage points to eight per cent. This begs the question: What about the future contribution of renewables? While there is an understandable call to develop renewables, the fact remains that the technology is still in its infancy. Therefore, while the renewable energy industry is being developed, all other available resources, which are friendly to the environment, must also be accessed, enhanced and utilised to meet the energy needs of mankind and support sustainable development. Petroleum has a big role to play in this. This underlines the need for full and timely investment in oil production capacity. Investment is needed: to meet the forecast absolute increase in demand; to see that exhausted reserves are replaced, as and when necessary; and to ensure that oil-producing nations always have sufficient spare capacity available to cope with sudden, unexpected shortages in supply. Also, the oil
374
OPEC dan Diplomasi Energi
must be cleaner, safer and more efficient than ever before, to meet the very high expectations of the modern consumer. This investment will be large — although not necessarily different in magnitude to that observed in the past. However, the magnitude of the required capital injection is far from clear, even in the short and medium terms. This is partly due to the wide range of feasible demand growth scenarios, but it is also reinforced by contrasting views on the potential evolution of nonOPEC production. Uncertainties over future economic growth, government policies and the rate of development and diffusion of newer technologies are among the main factors that lie behind this. To appreciate the significance of this, one must consider investment lead times that are measured in years rather than months, as well as the importance of “getting it right” i.e. over-investment may result in excessive, costly, idle capacity and under-investment may lead to a shortage of crude and higher prices. In both cases, the losses and the broader collateral damage, such as to the world economy, can be huge. Producers, in particular, are very concerned about the risk of over-investment, which can prove extremely costly to them. Every effort must be made, therefore, to guard against this, by improving the effectiveness of forecasting and reducing the uncertainties that hinder this process. Moreover, it is important to note here that, while most people are all-toofamiliar with the concept of security of supply, there is also a flip-side to this coin — security of demand. Producers need assurances of stable, predictable markets just as much as consumers require certainty and consistency with supplies. Also worthy of our attention is the fact that much of the recent price volatility has resulted from problems and bottlenecks in the downstream sector. This is very much the preserve of consuming nations, even though, in recent years, oil producers have been gaining a bigger presence downstream, too. In short, the onus is on the oil community at large to ensure that the market is well-run. A collective approach is required. All responsible parties stand to gain from a stable, orderly market. After all, the starting-point for a sound
375
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
investment strategy is market order and stability today, with reasonable prices. All parties must contribute to this — OPEC and non-OPEC producers, consumers, oil companies, financial institutions, governments and so on. The challenges are too large, too complex and too important to be left to individual, concerned groups. Big advances in dialogue and cooperation have facilitated this process over the past couple of decades, from largescale international ministerial gatherings, such as the meetings of the nowinstitutionalised International Energy Forum, to bilateral or regional contacts that extend across national boundaries. Indeed, the establishment of the Forum’s Secretariat in an OPEC Member Country, Saudi Arabia, bears witness to OPEC’s commitment to dialogue and cooperation. Recent years have also witnessed the development of a closer working relationship between OPEC and the International Energy Agency, to exchange ideas and information. Cooperation is not confined to the oil industry, of course. The recent formation of the Gas Exporting Countries Forum recognises the need for discussion of issues of mutual interest to gas producers and its role is likely to grow in the future. Its membership includes seven OPEC Member Countries and Russia. The fact that these eight countries are also leading oil producers brings with it further important benefits, in terms of cooperation across the two closely related petroleum sectors. OPEC welcomes all of this. The oil and gas industries are much better-off if there is an underlying consensus on the means of handling, at least, the major issues that concern all parties — such as price stability, security of demand and supply, and investment. This should all be done in a framework of an increasingly globalised industry, where technology is enabling us to make remarkable advances in every field of activity and where the orderly, equitable provision of cleaner, safer energy services is seen as an integral part of sustainable development, the eradication of poverty and the general enhancement of mankind.
376
OPEC dan Diplomasi Energi
Sidang Konferensi OPEC tahun 2006 di Vienna, dipimpin oleh Presiden OPEC HE Dr Edmund Maduabebe Daukoru, didampingi Acting for Secretary General Mohammad Barkindo dan Chairman of The Board of OPEC Governor Maizar Rahman
377
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Oil and the Challenges of the 21St Century Delivered by Dr Maizar Rahman, Indonesian Governor for OPEC, Acting for the Secretary General. The 5th International Oil Summit Paris, France, 29 April 2004
Excellencies, ladies and gentlemen, Let me begin by expressing the regrets of the President and Secretary General of OPEC, HE Dr Purnomo Yusgiantoro, who is unable to attend the 5th International Oil Summit personally. Dr Purnomo, who is also Indonesia’s Minister of Energy and Mineral Resources, has asked me to speak to you on his behalf on the topic of “Oil and the challenges of the 21st century”. He has directed me to convey his thanks to the organisers for this kind invitation and wishes all those involved every success with the Summit. As we settle into the new century, we are beginning to get a clearer image of the challenges that will face the oil industry in the coming years and decades. There is broad consensus on the projection that energy demand will continue rising in an era of increasing globalisation, rapid communications and continued advances in technology, but that consumers will want this energy to be as clean and as safe as possible, as well as integrating itself fully into their plans for sustainable development and economic growth. There is also consensus on the contention that, of the world’s five main commercial energy sources, oil will maintain its present leading role well into the 21st century. Currently, oil accounts for around 40 per cent of the energy mix. This is because it is a unique commodity, with a combination of attributes which far exceeds that of any other energy source — sufficiency, accessibility, versatility, ease of transport and, in many areas, low costs. These have been complemented by a multitude of practical benefits that can be gained from decades of intensive exploitation and use in the industrial, commercial and domestic fields. Also, advances in technology continue to make oil a cleaner, safer fuel, so that it can meet increasingly tighter environmental regulations, as well as conforming to the broader demands of sustainable development.
378
OPEC dan Diplomasi Energi
The world’s proven crude oil reserves total around 1,100 billion barrels, which, in simplistic terms, will be enough to meet demand for around 45 years, at current production rates. Oil will remain the dominant energy source, in spite of the fact that, over the past decade or so, it has come under pressure on environmental grounds, particularly in the context of the UN-sponsored climate change negotiations. This has come on top of longer-standing efforts among some consuming nations to diversify energy sources away from it, on so-called “strategic grounds”. Projections from the reference case of OPEC’s World Energy Model, “OWEM”, suggest only a marginal dip to 38 per cent in oil’s market share in the period to 2020. In absolute terms, world oil demand is forecast to rise from 76 million barrels a day in 2000 to 106 mb/d in 2020 — that is, by around 39 per cent. The closest rival to oil during this period will be its fellow hydrocarbon, gas, which has a more favourable environmental profile. However, our reference case shows that, even though the use of gas will almost double in the period 2000–20 and its share in the global energy mix will rise from 23 per cent to 28 per cent, this will still be ten percentage points below the share of oil. So there is a very positive outlook for oil in the foreseeable future. It will be the task of the oil industry, therefore, to ensure that oil realises its full potential on world energy markets in the years and decades to come. While this is a task which should be handled on an equitable basis by all parties in the market, quite clearly a heavy burden will fall upon OPEC producers. This is partly because of our Member Countries’ strong resource base and partly because of our successful track record with market-stabilisation measures. Our Member Countries possess around 80 per cent of the world’s proven crude oil reserves — totalling nearly 850 billion barrels — and there is a reserves-to-production ratio of more than 80 years. These reserves are much more economic to access than those in other, high-cost regions of the world. Therefore, our Member Countries have the reserve strength to cope with the forecast rises in demand in the coming decades.
379
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
OPEC has demonstrated repeatedly its commitment to achieving order and stability in the international oil market. Our production policies seek to ensure that the market is well-supplied with crude at all times and that oil prices remain at levels that meet the contrasting needs of producers and consumers. The limits of our oil price band — US $22–28 per barrel for our Reference Basket — have been carefully calculated with this in mind. If we find that prices are beginning to settle outside this range, or if, at one of our Ministerial Conferences, we are convinced that this is very likely to occur in the coming months, then we will reassess our Organization’s production ceiling and adjust it accordingly. We take a great deal of care in doing this, and sometimes the conclusions we reach about a particular market situation are not immediately understood by all the other parties involved. A case in point has occurred over the past six months, at a time when average monthly prices have remained above our band. The fact that we have decided to implement a production cut of 1 mb/d, with effect from the beginning of this month, is due to our recognition, first, that the present high prices are not being caused by a shortage of crude and, secondly, that we are entering the second quarter of the year, when demand is traditionally low. Our concern has been that, in a market that is so easily influenced by psychological factors, we could suddenly find ourselves in a situation where there is the widespread realisation of substantial excess supply and that this dramatically drives down prices well below the minimum level of our band — as has occurred often in the past, a downward price trend can effectively feed on itself in a nervous, speculative market atmosphere and create its own damaging momentum. We would end up in a situation where prices would be well below fundamental levels, in just the same way that they are now above fundamental levels. The net result would be rampant volatility and this would be to no one’s ultimate advantage. It is, therefore, better to take preventive measures now, rather than wait until a major crisis occurs, when it would be much more difficult to remedy the situation. This is in line with the principal philosophy behind OPEC’s market-stabilisation measures. To illustrate the success of our market-stabilisation measures, one need only look at the relatively high degree of price stability that has existed in the market in the opening years of this century, bearing in mind the chequered
380
OPEC dan Diplomasi Energi
history of our industry. Early last year, for example, there was a three-pronged threat to price stability, with the crises that prevailed in Iraq, Nigeria and Venezuela, and yet, the market weathered the storm without major disruption and volatility, and this was very much due to the support it received from OPEC’s policies. Indeed, the first three full years in which OPEC’s price band policy was applied — 2001–03 — saw prices average $25.2/b, which was right in the middle of the band. Let us not forget that the international oil market is inherently unstable — as history has taught us repeatedly — and that some form of stabilising activity is required, due to the colossal negative repercussions that price volatility can have throughout the world economy. Witness the events of the 1970s, 1986, late 1998/early 1999. A sound global economy is dependent upon stable energy prices. Sound national economies are dependent upon stable energy prices. Sound company finances are dependent upon stable energy prices. Crude oil accounts for 40 per cent of the global energy mix. If oil is jittery, energy will be jittery! We have demonstrated in OPEC that it is possible to provide a high degree of stability in an inherently volatile environment. And the beauty of this — if it is done well — is that everybody gains! OPEC, non-OPEC, producers, consumers … This is why we have called upon other parties in the industry to cooperate with OPEC in our market-stabilisation measures. We have been fairly successful in this over the past decade or so, as other responsible members of the international petroleum community have come to realise the universal benefits of such actions. Indeed, the success of our production agreements has depended heavily upon the support they have received from elsewhere in the industry. Again, the situation is not a perfect one. There is still an element of crisis management about the willingness of some parties to cooperate with OPEC, when, in fact, there should also be a “sunny day” element, so that this very welcome and very necessary support remains even when the market is stable. This is because the market can quickly slip from stable to unstable, as we all
381
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
know, and the stronger the defence mechanisms — the sustained defence mechanisms — then the more effective we will be in handling such situations.
But there is also a bigger issue at stake. This is the fact that a stable, orderly oil market today provides the essential base for a stable, orderly oil market tomorrow — or, less poetically, in the years ahead. We believe, in OPEC, that it is the duty of all parties in the industry to ensure that the market meets not only today’s needs, but also copes in full measure with demand five or ten years ahead. In other words, I am talking about investment — investment in future production capacity. The startingpoint for a sound investment strategy is order and stability today. Investment in the oil industry has three elements to it. First, it must meet the forecast absolute increase in demand, which I outlined earlier. Secondly, it must see that exhausted reserves are replaced, as and when necessary. And thirdly — and this is a recently articulated concept, but, nevertheless, a very important concept — it must ensure that oil-producing nations always have sufficient spare capacity available to cope with sudden, unexpected shortages in supply. We are talking about enormous sums of money here. Our projections indicate that OPEC Member Countries may need to spend nearly $100 bn by 2010 and as much as $200 bn by 2020 to meet the future demand for oil in full. The estimates for non-OPEC producers are multiples of this. It will require a concerted effort by the industry at large to attract these sums. This is perhaps one of the biggest challenges facing us today. Here we find ourselves up against many obstacles. There are huge areas of uncertainty affecting the clarity and consistency of future world oil demand, and, clearly, the magnitude of these uncertainties increases as we venture further into the future. These uncertainties include changing regulations, fiscal regimes, strategic and political factors, evolving life-styles, natural disasters and, of course, human error. Countering these uncertainties requires transparency, consultation, meticulous planning and careful scheduling across the industry.
382
OPEC dan Diplomasi Energi
In conclusion, therefore, the challenges facing the oil industry in the 21st century are formidable and extend across all time-horizons. The world has enough crude oil to meet growing consumer needs throughout the early decades of the century, at least, and most of this resides within the borders of OPEC’s Member Countries. It is up to all of us to ensure that these finite resources are exploited in an efficient, effective and equitable manner both now and in the future, so that the world community at large can derive the maximum benefit from them.
Bersama Prof Dr Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi dan mantan Sekjen OPEC , di sela-sela Seminar OPEC (2004)
383
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
OPEC and Non-OPEC Delivered by Dr. Maizar Rahman, Acting for the Secretary General of OPEC on behalf of HE Dr Purnomo Yusgiantoro, President of the OPEC Conference, Minister of Energy and Mineral Resources of Indonesia, Secretary General of OPEC. The 9th Annual Asia Oil and Gas Conference: “Asia Oil and Gas: Rising to New Challenges” Kuala Lumpur, Malaysia - 13–15 June 2004 World oil demand is forecast to continue growing, to almost 50 per cent above the 2002 level in 2025. Asia has the fastest demand growth and will benefit increasingly from oil coming from outside the region. There are enough oil reserves, especially in OPEC, to meet rising world demand for decades ahead. The long-term picture points to the need for increased investment in production capacity, but the magnitude of this is very uncertain, with a wide range of feasible demand growth scenarios. Market stability is key to a sound base for investment. Dialogue and cooperation among producers — OPEC and non-OPEC — and consumers are required to ensure that the world’s rising demand is met in a full, timely and stable manner.
Excellencies, ladies and gentlemen, Let me begin by thanking the organiser, Petronas, for inviting me to be a panel member at this plenary session on OPEC and non-OPEC. It is essential for all producers — OPEC and non-OPEC — to play their part to the full in ensuring that the world’s growing thirst for oil is always met in a complete and timely manner. This involves a readiness to enter into dialogue and cooperation at all times on important major issues affecting the industry, both now and in the future. It is widely forecast that there will be a substantial rise in world oil demand in the coming years. However, the industry has the resource base to meet this demand. Projections from OPEC’s World Energy Model see world oil demand rising from 77 million barrels a day in 2002 to 115 mb/d in 2025 — an annual average growth rate of 1.7 per cent. The fastest growth will occur in Asia (in this analysis, Asia excludes the Middle East and OECD countries). Our figures show annual average growth of 3.1
384
OPEC dan Diplomasi Energi
per cent in South-East Asia, 4.4 per cent in China and an exceptional 5.5 per cent in South Asia during this period. However, this rapid growth in Asia and China is not matched by production. On the contrary, oil production in Asia, including China, actually falls, marginally, from 5.7 mb/d in 2002 to 5.6 mb/d in 2025. Asia, therefore, will benefit increasingly from supplies from outside the region. Our projections show an 18 per cent rise in world oil output from non-OPEC countries in 2002–25, mainly from Russia, the Caspian and Africa. But this is still around 30 percentage points less than the projected growth in demand. Therefore, there will be a substantial rise in the call on OPEC oil in the opening decades of the 21st century. We see this doubling, from 29 mb/d in 2002 to 58 mb/d in 2025. Our Member Countries have sufficient reserves to cope with the rising demand. Our proven crude oil reserves total nearly 850 billion barrels, which is almost 80 per cent of the world total, and these should be sufficient to see us well into the second half of the 21st century. What is more, OPEC’s reserves are low-cost and highly accessible. There is, therefore, a considerable challenge facing oil producers — OPEC and non-OPEC — to ensure that the oil requirement is constantly satisfied in a full and timely manner. Fortunately, much progress has been made in recent years in the area of dialogue and cooperation among producers and this has resulted in a very welcome, steadily growing sense of collective responsibility for the state of the market. The benefits of this can be felt throughout the industry, not only upstream, but also downstream, including transportation and distribution. Indeed, it has become widely acknowledged that the downstream industry should feature prominently in our assessments both now and in the future, so as to avoid it becoming a source of price volatility. Nevertheless, some shortcomings remain with the present environment for cooperation. For example, there is an element of crisis management about the willingness of some parties to cooperate with OPEC over its marketstabilisation measures, when, in fact, there should also be a “sunny day”
385
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
element, so that this very welcome and very necessary support remains even when the market is stable. This is because the market can quickly slip from stable to unstable, as we all know, and the stronger the sustained defence mechanisms, then the more effective we will be in handling such situations. The increased cooperation among OPEC and non-OPEC producers has been accompanied by important advances in producer-consumer dialogue since the early 1990s. This has found special expression in the meetings of the International Energy Forum, which has become an established institution during this period, with its secretariat situated in an OPEC Member Country, Saudi Arabia. There has also been the development of a closer working relationship between OPEC and the International Energy Agency, to exchange ideas and information. Last year, informal discussions between our two organisations helped stabilise the market at the time of the Iraq war. And, two months ago, we held our Second Joint Workshop on Oil Investment Prospects in Paris. At that workshop, one of the clear messages to emerge was that the startingpoint for a sound investment strategy is market order and stability today. This vindicates longstanding OPEC’s market-stabilisation measures and the support they have received from many non-OPEC producers. The state of today’s market will have an influence upon the state of tomorrow’s market. Stability today is conducive to stability tomorrow. However, in contrast with this requirement, considerable difficulty is created by the large areas of uncertainty that exist today. These are associated with, for example, future levels of oil demand, policy developments and technological advances. Clearly, their existence impedes efforts to make reasonable forecasts about the future oil requirement, especially in view of the long lead times that exist in the industry. Countering these uncertainties can only be done effectively by a collective approach from within the industry, since the challenges are too large, too complex and too important to be left to partial interests. This requires transparency, consultation, meticulous planning and careful scheduling by all parties.
386
OPEC dan Diplomasi Energi
However, all producers stand to gain from cooperation, on all time-horizons. But there must be reasonable burden-sharing among them. Also, the large oil companies, financial institutions and other intermediary bodies are an integral part of this process and their views and expertise make a major contribution to dialogue and the running of the industry. Effective dialogue and cooperation among all the major parties are of particular importance during the present period of high oil prices, which are occurring in spite of the the market remaining well-supplied with crude at all times and despite the continued efforts of our Member Countries to meet market requirements. A variety of factors is at work here, including: higher-than-expected oil demand growth, especially in China and the USA; geopolitical tensions; refining and distribution industry bottlenecks in some major consuming regions; and, as a consequence of this combination of factors, increased speculation in futures markets. At our Conference in Beirut on 3 June, we decided to give a clear signal of our commitment to market stability and to maintaining prices at acceptable levels for both producers and consumers, by raising the OPEC production ceiling by 2.5 mb/d, in a twostage move to be completed by 1 August. At the same time, we, once again, called on all other parties, including non-OPEC producers and consumers, to support our actions and to take appropriate measures to address the challenges facing the industry. Excellencies, ladies and gentlemen, Let me conclude with one general comment. The world cannot afford to behave irresponsibly and squander its finite petroleum reserves. OPEC and non-OPEC producers are, in effect, custodians of these God-given minerals and we have a duty to ensure that they are exploited in a responsible manner, to the benefit of the global community, today and in the years ahead. We are doing everything we can, in OPEC, to abide by this mandate.
387
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Room to room informal meeting antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Purnomo Yusgiantoro, dengan Menteri Perminyakan Saudi Arabia, Ali Naimi, di selang waktu Third OPEC Summit, Riyadh, Saudi Arabia, 17 November 2007
388
OPEC dan Diplomasi Energi
Fenomena Energi Bio Suara Karya, Selasa, 14 Februari 2006
P
residen George W Bush di depan Kongres Amerika Serikat (AS), 1 Februari lalu, menyatakan akan membebaskan AS dari ketergantungan impor minyak dari Timur Tengah dalam kurun 25 tahun ke depan. Sebagian besar pengamat energi di negeri Paman Sam skeptis dan menganggap pidato Bush itu sebagai upaya mencari popularitas. Toh pemikiran yang sama sudah dilontarkan Presiden Jimmie Carter, 25 tahun lalu, saat AS menghadapi krisis energi. Ketika itu, AS sudah mengimpor 30% minyak mentah dari kebutuhan mereka. Tapi, memang, sekarang angka itu sudah membengkak menjadi 60%. Bush ingin mempercepat penelitian tentang etanol selulosa sebagai bahan bakar bio pengganti bensin. Saat ini AS telah memroduksi lebih dari 270 ribu barel per hari (bph) etanol dari jagung. Itu akan ditingkatkan menjadi tiga kali lipat. Etanol selulosa dari serat kayu dan sampah tidak saja lebih murah, tetapi juga dapat menghasilkan 4 juta bph etanol. Pabrik mobil Ford dan General Motors telah memroduksi 3 juta mobil berbahan bakar jenis ini dan akan terus ditingkatkan dalam jumlah signifikan. Ide mengembangkan energi bio sesungguhnya cukup bermakna. Sejarah menunjukkan, berbagai diplomasi politik maupun aksi militer didorong oleh upaya pengamanan sumber minyak hingga melahirkan ketidakstabilan politik di kawasan Timur Tengah. Pengembangan bahan bakar minyak sintetis untuk transportasi akan banyak mengurangi “ketegangan” dan tekanan dalam negeri - juga mengamankan sumber-sumber di luar negara masing-masing. Bila AS - konsumen minyak terbesar di dunia - mampu mencapai “energitopia” itu, situasi politik di Timur Tengah niscaya banyak berubah. Indonesia juga patut merenungkan soal itu, meski saat ini kita hanya membutuhkan sekitar 260 ribu bph bensin dan 240 ribu bph solar. Dengan asumsi peningkatan 5% per tahun, tahun 2025 kebutuhan masing-masing bahan bakar menjadi 690 ribu dan 640 ribu bph. Itu masih jauh dibanding volume minyak yang diperlukan AS.
389
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Ketersediaan lahan yang sangat luas plus penerapan teknologi dan permodalan yang cukup, menjadikan target itu bukan utopia. Minyak bumi yang masih kita punyai dapat dialihkan menjadi bahan baku industri petrokimia, yang kini masih sangat ketinggalan. Bila gerakan itu diikuti banyak negara, konsumsi minyak dengan sendirinya bergeser ke energi bio dunia. Permintaan minyak mentah berkurang sehingga harga minyak dunia pun cenderung turun. Keseimbangan harga minyak dan energi bio harus saling mendukung. Tapi ini perlu kerja sama antarpihak. Pengembangan energi “hijau”, selain memperbaiki lingkungan, juga menciptakan perdamaian dunia.
08 Mar 2006 | The 140th (Ordinary) Meeting of the Conference of the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) convened in Vienna, Austria, on 8 March 2006, under the Chairmanship of its President, HE Dr. Edmund Daukoru, Minister of State for Petroleum Resources of Nigeria
390
OPEC dan Diplomasi Energi
Keamanan Energi Kawasan Suatu Keharusan Suara Karya, Senin, 10 Juli 2006
P
ertumbuhan ekonomi suatu negara akan rawan tanpa keberlanjutan di bidang pasokan energi. Terpusatnya sumber energi hanya di beberapa kawasan seperti Timur Tengah, Rusia, dan negara-negara di sekitar laut Kaspia, beberapa negara di Afrika, dan Amerika Latin menimbulkan kerawanan pasokan bagi dunia. Berulangnya krisis energi dan sangat berfluktuasinya harga yang dipengaruhi berbagai faktor, baik fundamental maupun nonfundamental, membuat setiap negara berpikir bagaimana menghadapi atau mencegah krisis energi. Karena itu, kerja sama ekonomi di dalam berbagai kawasan dunia sedang berkembang menuju penciptaan keamanan bersama pasokan energi. Kekhawatiran akan krisis energi membuat Uni Eropa terdorong menciptakan kebijakan energi bersama yang menuju kepada pasar tunggal energi Uni Eropa. Pasar tunggal melahirkan kompetisi yang menciptakan efisiensi dan harga energi lebih murah. Kebijakan energi bersama merupakan penggabungan kekuatan dalam menangani krisis energi, stabilitas pasokan energi, keragaman energi, juga harga energi. Masalah-masalah terkait lain akan terbawa dalam kerja sama ini, seperti perlindungan lingkungan, pencegahan pemanasan global, juga mengembangkan teknologi energi yang lebih efisien. Sudah dipahami semua bahwa neraca energi kawasan ASEAN adalah negatif, dalam artian lebih banyak impor energi daripada ekspor. Sumber impor terutama dari kawasan Timteng yang jaraknya cukup jauh. Kawasan ASEAN pun masih lemah dalam ketahanan stok energi. Misalnya Indonesia hanya memiliki 22-25 hari stok bahan bakar minyak. Bandingkan dengan negaranegara industri yang memiliki simpanan minyak mentah strategis dan BBM untuk 90 hari. Karena itu, energi sebaiknya bukan komoditas untuk dikompetisikan dalam pasar kawasan ASEAN, tapi untuk ditata bersama di dalam penanganan pasokan, permintaan, perdagangan, pengembangan, dan persediaan.
391
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Stabilitas pasokan energi dan pengurangan ketergantungan kawasan ini dari minyak dapat diciptakan melalui interkoneksi listrik dan gas, perdagangan energi, pengembangan bioenergi, dan manajemen bersama cadangan strategis. Kawasan ASEAN sangat potensial bagi pengembangan bioenergi, terutama karena ketersediaan lahan dan iklim tropis yang mendukung lebih seringnya panen. Namun tetap saja jenis energi ini masih rentan untuk jangka panjang mengingat biaya produksinya masih tinggi dan hanya layak komersial pada posisi harga minyak sekitar 60 dolar AS per barel. Karena itu, kawasan ini dapat bersama-sama mendanai, meneliti, dan mengembangkan teknologi penanaman yang lebih murah serta proses produksi yang lebih efisien. Apalagi sejauh ini kerja sama ASEAN di bidang energi sudah cukup erat, sehingga diharapkan keamanan energi di kawasan ini lebih konkret dalam menghadapi krisis energi.***
392
OPEC dan Diplomasi Energi
Harga Minyak dan Faktor Geopolitik Suara Karya Kamis, 27 April 2006
M
embubungnya harga minyak di luar normal membuat prihatin menteri-menteri energi di berbagai negara yang berkumpul di Doha, Qatar, dalam rangka menghadiri Forum Energi Internasional ke-10, akhir April ini. Mereka tidak menolak bahwa ketegangan geopolitik adalah asal-usul ketidakpastian situasi yang kemudian menjadi lahan subur bagi spekulasi perdagangan minyak. Penawaran minyak di pasar berjangka kini sudah mencapai lebih dari sejuta lot. Berarti, “minyak kertas” yang ditawarkan sudah melebihi semiliar barel - lebih dari 12 kali perdagangan fisik minyak. Sedangkan di lapangan, tanki dan tanker-tanker penuh berisi minyak justru kekurangan pembeli. Lebih dari 20 dolar AS per barel kenaikan harga minyak sekarang ini hanya disebabkan oleh faktor geopolitik. Para produsen minyak yang “sadar” tidak merasa nyaman dengan tingginya harga minyak sekarang ini. Kenapa? Karena kondisi tersebut di luar kemauan dan di luar kontrol mereka. Kalau negara maju masih mampu menyerap lonjakan harga minyak ini, maka bagi negara berkembang itu merupakan proses pemiskinan. Harga minyak sangat fluktuatif terhadap konflik, bencana alam, atau faktor nonfundamental lain. Di sisi lain, negara-negara produsen minyak mengatakan bahwa kapasitas cadangan adalah “kemewahan”. Ibarat mobil simpanan yang hanya dipakai sekali-sekali, dan itu tidak ada dalam dalil perekonomian yang sehat. Tersedianya cadangan OPEC di tahun 1990-an, umpamanya, lebih disebabkan oleh kapasitas yang telanjur dipakai terkait kompetisi produksi dengan nonOPEC. Karena itu, terjadi pengurangan produksi untuk memperbaiki harga yang waktu itu di bawah 20 dolar AS per barel. Kapasitas produksi minyak mentah saat ini sebenarnya mampu melayani proses pasokan dan permintaan dunia yang seimbang. Malahan OPEC masih
393
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
memiliki kapasitas cadangan sekitar 2 juta barel yang dapat dimobilisasi cepat, dan 1-2 juta barel lagi yang memerlukan waktu mobilisasi lebih lama. Namun kalangan Barat menganggap itu belum cukup untuk menanggulangi gangguan pasokan. Misalnya, terhentinya produksi minyak mentah di Iran. Dalam kaitan ini, seolah-olah OPEC harus mengakomodasi konflik. Agar konflik tidak mengganggu pasar, kapasitas cadangan harus dinaikkan. Pencegahan konflik adalah dengan menerapkan proses geopolitik yang damai. Pada kondisi tersebut akan tercipta stabilitas harga minyak sesuai mekanisme pasar yang berdasarkan keseimbangan permintaan dan pasokan.***
394
OPEC dan Diplomasi Energi
Geopolitik Perparah Harga Minyak Media Indonesia, 24 Januari 2006
D
unia mulai cemas lagi melihat harga minyak jenis WTI sudah mendekati $67 per barel pada tanggal 18 Januari, yang berarti kenaikan $8 atau 12 % dalam satu bulan terakhir ini. Penawaran harga di pasar berjangka New York yang kental dengan spekulasi, harga untuk satu bulan ke depan sudah mencapai $69, yang mengindikasikan bukan tidak mungkin akan terus bergerak melampaui $70. Ini memberi kabut suram khususnya bagi negara-negara berkembang pengimpor minyak karena masih sangat rentannya perekonomian mereka terhadap harga minyak tinggi. Bila dilihat dari faktor-faktor fundamental (permintaan dan pasokan) saja, harga minyak dunia akan menuju kepada kesetimbangan kepentingan antara produsen, konsumen dan investor. Harga diperkirakan tahun ini hanya akan berkisar $50-60 untuk jenis minyak WTI dan malah akan turun lagi pada tahun 2007. Sisi pasokan memang masih ketat, namun peningkatan produksi nonOPEC dan peningkatan kapasitas cadangan OPEC yang jauh di atas kenaikan permintaan diperkirakan akan melonggarkan pasokan minyak mentah tahun ini. Kendala yang masih ada adalah ketatnya pasokan bahan bakar minyak berhubung masih kurangnya kapasitas cadangan kilang-kilang dunia. Walaupun demikian pengalaman di tahun 2004 juga dapat terjadi di mana permintaan minyak ternyata naik dua kali dari yang diperkirakan. Di sini kelihatan kelemahan informasi perminyakan dunia, terutama dari sisi konsumsi. Perkembangan permintaan belum bisa diprediksi secara akurat untuk dijadikan acuan di sisi perencanaan negara produsen. Beberapa pengamat memang sudah memperkirakan peningkatan permintaan mencapai 2 juta barel per hari (bph), jauh di atas perkiraan umum, yaitu 1,6 juta bph. Di lain pihak geopolitik dapat mengubah kesetimbangan fundamental seperti ditunjukkan perkembangan terakhir ini. Dimulai perselisihan gas Rusia-Ukraina sehingga terganggunya pengiriman gas Rusia ke Eropa Barat, ancaman pemberontak bersenjata di Nigeria dan ketidaksepahaman
395
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
program nuklir Iran dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa telah mendorong kenaikan cepat harga minyak dalam sebulan terakhir ini. Kasus geopolitik bukan barang baru dalam sejarah pasar minyak dunia. Perang Perang Arab-Israel tahun 1973, revolusi Iran 1979 dan diikuti perang Irak-Iran tahun 1980-1988 merupakan contoh-contoh besar pengaruh geopolitik kepada harga. Cukup melimpahnya pasokan minyak pada era 1986-2000 telah mampu menahan krisis energi baru. Misalnya serangan Irak ke Kuwait dan diikuti perang Teluk pada tahun 1990 hanya berdampak beberapa bulan kepada harga. Namun pasar menyadari bahwa sumber minyak terbesar hanya berada di kawasan Timur Tengah sehingga peristiwa politik di kawasan ini selalu menimbulkan kecemasan akan timbulnya gangguan yang signifikan terhadap suplai. Pada tahun 2004-2005 tercatat sekurangnya 15 peristiwa politik yang berpengaruh kepada pergerakan harga minyak. Peristiwa yang menjurus kepada ketegangan langsung mendorong naik harga minyak. Aktivitas pasar berjangka yang dipengaruhi perkembangan geopolitik berperan besar dalam fluktuasi harga. Faktor kecemasan atau fear factor pasar minyak dapat menaikkan harga minyak $10-$15 di atas posisi fundamentalnya. Pengaruh geopolitik hanya bisa dilemahkan bilamana keamanan pasokan cukup terjamin, artinya kemampuan produksi dunia jauh di atas cukup, stok minyak lebih besar dari sekarang ini dan pangsa energi alternatif yang lebih besar. Salah satu contoh adalah tidak terpengaruhnya harga minyak waktu serangan Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 karena adanya jaminan pasokan tambahan dari negara-negara produsen Timur Tengah bilamana terjadi kelangkaan atau terhambatnya produksi di wilayah yang terkena dan karena masih cukupnya kapasitas cadangan produksi dunia. Namun situasi sekarang ini akan jauh lebih parah karena menyangkut produksi Iran yang sebesar hampir 4 juta bph dan Nigeria sebesar hampir 2,5 juta bph. Kapasitas cadangan OPEC yang terpusat di beberapa negara Teluk (Kuwait, Uni Arab Emirat dan terutama Saudi Arabia) tidak akan mampu
396
OPEC dan Diplomasi Energi
mengatasi kelangkaan yang dapat terjadi. Kondisi ekstrim adalah terhentinya atau terhambatnya pasokan dari Iran yang dapat membuat meroketnya harga. Semisalnya hal tersebut tidak terjadi, berlarutnya situasi ketidaksepahaman isu penelitian nuklir Iran yang tidak menentu tetap dapat membuat harga bertahan tinggi untuk jangka lama. Ini diperparah apabila negara maju sudah berasumsi, berdasarkan pengalaman tahun lalu, bahwa harga tinggi tidak akan banyak berpengaruh kepada perekonomian mereka dan menjadikan ini sebagai posisi tawar yang baru. Di lain pihak, cadangan devisa Iran yang cukup besar saat ini berkat widfall profit pada dua tahun belakangan ini menjadikan pula posisi tawar yang kuat bagi Iran dalam menghadapi sanksi. Bagi Indonesia, sebagai penyangga dalam hal terjadinya krisis-krisis geopolitik yang berpengaruh, pembangunan ketersediaan cadangan strategis milik pemerintah untuk periode konsumsi yang memadai, di luar cadangan komersial yang ada (yang hanya cukup untuk 22-28 hari), merupakan salah satu jalan keluar. Suatu hal yang sudah harus difikirkan. Sejak 2001, lebih banyaknya aset seperti dana investasi dan dana pensiun dialokasikan ke minyak, karena lebih menariknya relative returnnya, telah meningkatkan volume perdagangan minyak kertas ini. Perpindahan dana ini didorong oleh rendahnya bunga bank dan tidak jelasnya kondisi moneter di Eropa dan Amerika Serikat. Krisis kredit perumahan belakangan ini dan jatuhnya harga dollar membuat makin membanjirnya arus dana ke pasar berjangka ini. Volume kontrak berjangka yang ditawarkan tahun ini masih terus meningkat dan telah mencapai 1.3 milyard barel, 15 kali lebih besar dari volume produksi fisik minyak dunia. Psikologi dari pasar ini sangat sensitif dan ini terpantul dari sangat dinamisnya aktivitas pembelian, penjualan dan perubahan harga. Sentimen pasar tertentu dapat ‘menular’ sehingga suatu gerakan pembelian/penjualan dapat menjalar cepat yang mengakibatkan melonjak atau terjunnya harga, yang efeknya sangat buruk terhadap perdagangan fisik minyak. Observasi menunjukkan bahwa fluktuasi harga minyak terpengaruh perubahan posisi long (pembelian dengan antisipasi harga naik) dari noncommercial. Bertahannya harga tinggi meskipun suplai minyak cukup,
397
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
memperkuat argumen bahwa peningkatan harga sangat didorong oleh spekulasi. Geopolitik sering disebut sebagai penyebab naiknya harga. Perang Arab-Israel dan Irak-Iran memang membuat harga meroket. Namun dapat dicatat bahwa dalam kurun waktu 1985-2000, berbagai peristiwa geopolitik di negaranegara produsen hanya berpengaruh sebentar kepada harga minyak karena pasokan minyak cukup melimpah. Dewasa ini, kesetimbangan fundamental pasar minyak menjadi ketat kembali. Penurunan produksi di dunia menurun (tidak hanya di Indonesia), produksi non-OPEC tidak meningkat seperti yang diharapkan karena hanya terjadi di sedikit kawasan seperti bekas Uni Soviet, sedangkan kapasitas OPEC juga terbatas. Di lain pihak, permintaan minyak masih terus tinggi. Konsumen, terutama di negara maju dan negara yang sedang maju pesat seperti Cina dan India seperti tidak terpengaruh dengan kenaikan harga. Pada situasi ini, peristiwa geopolitik kembali menciptakan kecemasan pasar karena gangguan pasokan pasti akan membuat harga melonjak tinggi. Kecemasan inilah yang merupakan lahan subur bagi spekulan. Spekulasi akan mereda bilamana harga sudah stabil dan kembali ke kesetimbangan fundamentalnya yaitu pada saat kapasitas produksi dunia mampu memenuhi peningkatan permintaan dan mampu mengatasi adanya hambatan pasokan tak terduga. Cukup gencarnya kegiatan eksplorasi minyak diperkirakan dapat memenuhi permintaan minyak untuk lima tahun ke depan. Pembangunan kilang-kilang baru juga akan melepaskan kendala pasokan bahan bakar minyak. Namun situasi pasokan tidaklah akan melimpah seperti sebelumnya karena makin sulitnya diperoleh sumber-sumber minyak yang besar. Karena itu pasar masih memperkirakan harga tetap tinggi, sekitar $ 80 untuk rata-rata tahun 2008, lebih tinggi dari tahun 2007 yang sebesar $ 72. Walaupun geopolitik masih gencar dan produksi masih ketat harga minyak juga akan berhenti naik bilamana terjadi pelemahan ekonomi dunia ataupun perekonomian dunia mulai terhambat oleh tingginya harga, yang semuanya itu membuat melemahnya konsumsi minyak. Pasar memperkirakan harga akan berhenti naik pada $ 110-120 per barel.
398
OPEC dan Diplomasi Energi
Sidang Economic Comission Board tahun 2004 di Sekretariat OPEC, Vienna, diikuti oleh wakilwakil peserta dari negara-negara anggota OPEC, dengan pimpinan sidang oleh Acting for Secretary General Maizar Rahman
399
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Krisis Iran dan Energi Dunia Suara Karya, 27 Februari 2007
E
nergi sebagai mesin ekonomi menuntut pengamanan jangka panjang, baik pasokan maupun konsumsinya. Bagi Indonesia, karena terbatasnya migas, pembangkit listrik tenaga nuklir pertama sudah harus beroperasi tahun 2016. Nuklir juga merupakan pilihan bagi negara minyak seperti Iran. Saudi Arabia juga berminat. Jauh lebih murahnya nuklir menyebabkan minyak diarahkan sebagai sumber devisa daripada untuk listrik. Dukungan Presiden RI dan Ketua DPR baru-baru ini kepada Iran untuk pemakaian nuklir yang damai merupakan politik bebas aktif Indonesia dan pengakuan akan hak setiap negara untuk menentukan pilihan energi mereka. Pemimpin tertinggi Ayatullah Khameini telah berfatwa bahwa nuklir Iran hanya untuk maksud damai. Iran, seperti juga Indonesia, termasuk penandatangan NPT (Non Proliferation Treaty), untuk tidak menyalahgunakan nuklir. Namun, India dan Pakistan, yang sudah memiliki kemampuan nuklir, bukan anggota pakta tersebut. Kecurigaan dan ketidaksetujuan Barat terhadap pengayaan nuklir Iran merupakan akar pertikaian dewasa ini. Sanksi ekonomi kepada Iran nampaknya akan lebih keras. Dunia tidak mengharapkan sanksi militer, namun media sudah berspekulasi serangan Amerika dan Israel, walau ragu akan mampu menyapu seluruh pusat nuklir Iran. Israel menghancurkan reaktor nuklir Irak di Osirak tahun 1981. Pasokan minyak terbesar hanya dari Timur Tengah dan pasar cemas akan gangguan besar terhadap suplai. Kapasitas cadangan produksi OPEC di beberapa negara Teluk tidak akan mampu mengatasi terputusnya ekspor Iran sekitar 3 juta barel per hari (bph). Akan lebih parah lagi bila bersamaan terjadi hambatan suplai dari Nigeria dan Irak. Harga minyak akan meroket kembali. Ada pendapat minyak Iran dapat diganti dengan cadangan strategis negara-negara industri yang sebesar 500 hari ekspor Iran. Namun, embargo
400
OPEC dan Diplomasi Energi
lalu lintas minyak melalui selat Hormutz, yang jumlahnya lebih dari 15 juta bph, akan lebih parah. Fasilitas produksi minyak di kawasan tersebut juga dapat dijangkau rudal Iran. Serangan militer juga akan sangat mengganggu kepentingan ekonomi Cina dan Rusia di Iran. Selain itu, cadangan devisa Iran berkat windfall profit merupakan posisi tawar yang kuat terhadap sanksi. Negara-negara berkembang akan sangat menderita karena selain tidak memiliki cadangan strategis yang memadai, harga minyak yang tinggi dan lama akan menghantam perekonomian mereka. Perundingan adalah jalan yang terbaik, penghilangan kecurigaan Barat di satu pihak dan pencabutan sanksi di lain pihak merupakan langkah-langkah yang dapat menuju penyelesaian pertikaian. Terganggunya pasokan akan parah bagi Indonesia karena setiap hari diimpor 600 ribu barel minyak mentah dan BBM. Sudah diperlukan dimilikinya cadangan strategis untuk mengatasi kelangkaan akibat krisis-krisis geopolitik.
401
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Peta Gas Dunia Dan Kebijakan Indonesia Suara Karya, Selasa, 10 April 2007
P
ernyataan Iran dan Rusia baru-baru ini tentang pembentukan organisasi negara pengekspor gas sejenis OPEC menyentak kekhawatiran negaranegara konsumen. Cadangan gas terbesar dunia terdapat di Rusia (30%), Iran (15%), Qatar(9%), diikuti Arab Saudi, Aljazair, Nigeria, dan lain-lain. Eropa Utara hanya memiliki cadangan 3,5% di Norwegia, Belanda, dan Inggris. Empat puluh persen impor gas Uni Eropa berasal dari negara-negara bekas Uni Soviet. China dan Jepang pun berebut gas dari Rusia. Posisi geografis Rusia sangat menunjang. Namun Eropa tidak nyaman atas ketergantungan tersebut, sehingga mereka akan melihat Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai alternatif. Produsen tentu juga menginginkan stabilitas harga dan pasar gas. Untuk itu, sejak tahun 2001 mereka memprakarsai Gas Exporting Countries Forum (GECF). Lima kali pertemuan dihadiri secara fluktuatif oleh 16 negara; yaitu Aljazair, Brunei, Iran, Indonesia, Libya, Malaysia, Mesir, Nigeria, Norwegia, Oman, Qatar, Rusia, Trinidad dan Tobago, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Turkmenistan. Kini sudah terbentuk biro eksekutif. Berkembangnya GECF menjadi seperti OPEC masih diragukan. Kontrakkontrak gas biasanya berjangka panjang dan umumnya beroperasi pada tataran regional. Di samping itu, peran Rusia dan Qatar sangat menentukan karena cadangan gas mereka sangat besar dan belum pasti apakah mereka lebih mengutamakan harga dibanding volume penjualan. Globalisasi pasar gas terus berkembang dengan makin besarnya volume gas yang diperdagangkan dan makin maraknya liberalisasi sektor gas. Seperti minyak, kontrak-kontrak gas yang baru lebih fleksibel dan sudah ada pasar berjangka, opsi, dan swaps (misalnya Henry Hubs di AS). Makin besarnya impor gas AS dan berkembangnya instrumen keuangan dapat mendorong Henry Hubs menjadi acuan harga gas internasional, seperti WTI untuk minyak. Kini sedang muncul pasar gas internasional yang terintegrasi.
402
OPEC dan Diplomasi Energi
Inovasi teknologi telah banyak menurunkan biaya produksi gas, termasuk ekspor gas alam cair (LNG). Dengan sendirinya itu akan meningkatkan pemakaian gas dan menciptakan permintaan gas. Diperkirakan 20 tahun ke depan, setelah gas menjadi komoditas perdagangan global, baru produsen memerlukan organisasi yang berperan dalam soal volume pasokan dan harga. Indonesia, dengan cadangan 1,7% dunia -- sejak 30 tahun dikenal sebagai pengekspor LNG terbesar dunia -- mulai mengalihkan kebijakan gas. Walau masih memerlukan devisa, Indonesia lebih mengutamakan gas untuk keperluan domestik sehingga kontrak baru ekspor gas mulai lebih diseleksi. Apabila dapat ditemukan cadangan baru atau cadangan coal bed methanegas lebih dari 300 triliun kaki kubik, maka ekspor gas dapat ditingkatkan kembali. Keikutsertaan aktif Indonesia di GECF tentu juga dipertimbangkan.
403
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
OPEC, Pendidikan, dan Hutan Suara Karya, Rabu, 21 Nopember 2007
U
sulan Wapres Jusuf Kalla mengenai minyak untuk pendidikan dan untuk hutan yang dilontarkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) III OPEC di Riyadh, Arab Saudi, merupakan sentuhan segar terhadap forum tersebut. Deklarasi KTT kali ini dipengaruhi harga minyak yang tidak menentu, pencegahan perubahan iklim, dan masih tingginya jumlah penduduk miskin di dunia. Ini berbeda dengan KTT OPEC I pada 1975 di Algiers yang merupakan reaksi terhadap krisis dan ketimpangan ekonomi dunia saat itu serta ancaman atas kedaulatan anggota-anggota OPEC terhadap sumber daya alam mereka. Berbeda juga dengan deklarasi OPEC II tahun 2000 di Caracas yang harus mulai mengakomodasi globalisasi dan kerja sama antarprodusen OPEC dan non-OPEC, serta mulai meruaknya masalah pemanasan global. Sebagai solidaritas terhadap “penderitaan” negara-negara berkembang pengimpor minyak atas lonjakan harga minyak, pada 1975 didirikan OPEC Fund for International Development. Lebih dari 7 miliar dolar disalurkan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di berbagai negara berkembang nonpenghasil minyak. Negara-negara OPEC tertentu yang kebanjiran dolar juga memberikan bantuan secara bilateral. Gagasan Wapres Jusuf Kalla sejalan dengan strategi jangka panjang OPEC untuk mempertahankan pangsa minyak dalam energi dunia. Pencerdasan lewat pendidikan akan mendorong pembangunan ekonomi. Pembanguan ekonomi akan meningkatkan konsumsi minyak dunia. Dan, hutan akan memulihkan paru-paru dunia, meningkatkan penyerapan emisi gas karbon dioksida, mencegah perubahan iklim. Karena itu, keberadaan hutan lebih melanggengkan pemakaian minyak. Program-program itu tentu akan meningkatkan citra OPEC yang kadang-kadang sangat prominyak. Implementasi gagasan memerlukan restrukturisasi statuta OPEC Fund karena saat ini hanya negara-negara non-OPEC yang dapat menikmatinya. Atau bisa
404
OPEC dan Diplomasi Energi
pula diciptakan institusi baru di lingkungan OPEC dengan cakupan lebih spesifik kepada pendidikan dan pemulihan hutan. Gagasan lain yang muncul dari simposium yang mendahului KTT OPEC di Riyadh ini adalah investasi OPEC di bidang energi terbarukan. Paradigma ini akan memperkuat posisi OPEC dalam konteks pasokan energi dunia. Dunia sendiri sedang dilanda kekhawatiran besar akan masa depan ketersediaan energi, karena sudah tidak ditemukannya lagi jebakan-jebakan besar minyak, dan di sisi lain kapasitas produksi non-OPEC juga menurun. Dengan kemampuan dana yang dimiliki, OPEC dapat memperoleh keuntungan ganda, yaitu menguasai produksi energi terbarukan dunia sebagai diversifikasi kegiatan ekonomi atau penerimaan mereka, sekaligus melanggengkan cadangan dan pemakaian minyak dengan terbantunya kesetimbangan emisi karbon dioksida. Dalam hal ini, Indonesia dapat menawarkan lebih banyak kepada investor di negara-negara OPEC untuk mengembangkan energi terbarukan di dalam negeri.
Para kepala negara dari negara-negara OPEC berfoto seusai OPEC Summit 3 di Ryadh, Nopember 2007. Indonesia diwakili Wakil Presiden RI, Bapak Jusuf Kalla.
405
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Indonesia Pasca-OPEC Suara Karya, 16 September 2008
E
nam Mei 2008, media internasional menayangkan berita “Presiden RI sedang mempertimbangkan keluar dari Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC)”. Masyarakat dunia pun bertanya-tanya: ada apa dengan organisasi besar dunia ini? Status Indonesia yang sudah menjadi net importer minyak merupakan alasan utama karena kepentingan Indonesia telah bergeser dari produsen menjadi konsumen. Sekretaris Jenderal OPEC yang saya temui di Wina tidak banyak berkomentar mengenai keluarnya Indonesia dari organisasi tersebut, kecuali berkata: “Saya sangat sedih Anda keluar dari OPEC. Indonesia sudah merupakan bagian penting sejarah OPEC.” Dia juga menceritakan menonjolnya peran Indonesia dalam penyelesaian berbagai kemelut perjalanan organisasi yang hampir berumur setengah abad ini. Setelah itu, Presiden OPEC berkunjung kepada Presiden dan Wakil Presiden RI untuk mencari jalan terbaik. Akhirnya Indonesia melayangkan surat pernyataan resmi ke OPEC untuk tidak lagi aktif di organisasi tersebut sampai statusnya kembali menjadi net exporter. Surat tersebut diedarkan sebelum sidang para menteri OPEC pada 9 September 2008 yang lalu di Wina. Dengan berat hati, forum menyatakan memahami situasi Indonesia dan menerima suspensi sementara keanggotaan Indonesia ini. Status suspensi adalah jalan tengah, karena bukan berarti withdrawal atau keluar sepenuhnya. Dengan demikian, citra keutuhan OPEC masih tetap terpelihara. Di lain pihak, cara ini terbaik bagi Indonesia untuk tetap memelihara friendship dengan anggota OPEC yang notabene adalah pemilik 70 persen cadangan minyak dunia. Ke depan, OPEC masih tetap menjadi sasaran utama diplomasi energi Indonesia. Kita ingin mendapatkan sumber-sumber minyak dari negaranegara tersebut yang hasilnya dapat dibawa ke Indonesia. Pertamina dan
406
OPEC dan Diplomasi Energi
Medco sudah menggarap beberapa wilayah kerja di kawasan mereka. Selain itu, kilang-kilang baru di Indonesia hanya bisa dibangun bila tersedia pasokan minyak mentah dari negara-negara tersebut. Indonesia juga masih berkepentingan dengan harga minyak yang layak, karena secara keseluruhan Indonesia masih pengekspor energi fosil--terutama gas dan batu bara--yang harganya terkait dengan harga minyak. Karena itu, stabilitas harga minyak pada harga yang memadai tetap merupakan kepentingan Indonesia sehingga perlu memberikan dukungan kepada kebijakan organisasi ini. Di domestik sendiri, momentum keluar dari OPEC harus dapat dimanfaatkan untuk lebih menyadarkan masyarakat bahwa kita tidak lagi kaya minyak. Karena itu, kita harus menggalakkan efisiensi pemakaian energi dan mendayagunakan semua sumber daya energi lain yang kita punyai. Ke depan, Indonesia harus lebih aktif dalam forum energi lain, seperti International Energy Forum (IEF) bekerja sama dengan lembaga-lembaga energi seperti International Energy Agency (IEA) maupun dengan OPEC sendiri. Indonesia perlu melakukan kerja sama energi kawasan dalam ASEAN dan APEC demi memperkuat keamanan energi negara kita.
407
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Rivalitas Pengamanan Sumber Energi Suara Karya,Senin, 22 Nopember 2010
P
ertemuan puncak negara-negara Kelompok 20 (G-20) minggu lalu di Seoul merekomendasikan penghapusan subsidi energi sebelum tahun 2020. Dengan demikian, pemborosan energi dapat ditekan, sambil mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, G-20 juga merekomendasikan upaya mengendalikan fluktuasi harga minyak dan dialog yang lebih gencar antara negara produsen dan konsumen minyak. Sebetulnya, masalah mendasar adalah bagaimana mencapai keamanan energi dunia secara damai. Negara minim energi seakan-akan lumpuh tak berdaya. Daya saing ekonomi sangat ditentukan oleh ketersediaan energi murah. Karena itu, keamanan energi merupakan prioritas negara mana pun. Akibatnya, konflik perebutan sumber energi sering tidak terhindarkan. Isu keamanan energi makin meruncing karena meningkatnya kekhawatiran terhadap beberapa hal. Di antaranya, menipisnya cadangan bahan bakar fosil, meningkatnya ketergantungan terhadap sumber energi nondomestik, geopolitik yang menghambat pasokan energi, dan meningkatnya pemakaian energi di negara berkembang. Selain itu, juga karena jumlah penduduk yang terus bertambah, lingkungan dan perubahan iklim yang makin mengancam, dan belum signifikannya peran energi terbarukan serta energi alternatif lain. Perkembangan selama 20 tahun terakhir memang menunjukkan jumlah minyak yang dikuras dunia lebih besar dari yang ditemukan. Ini berarti, makin berkurangnya cadangan terbukti. Jumlahnya hanya sekitar 1,3 triliun barel. Maka, dikatakan bahwa dunia dalam waktu dekat akan sampai pada peak oil, yakni akan menurunnya produksi minyak dunia. Hal yang sama juga akan terjadi pada gas dan batu bara. Jumlah penduduk dunia yang hanya 3,7 miliar pada tahun 1971 menjadi 6,7 miliar pada tahun 2008 dan diperkirakan menjadi 8,5 miliar pada 2035. Konsumsi energi tahun 2008 sekitar 12,2 miliar ton setara minyak akan menjadi 18 miliar ton pada 2035. Dari mana sumbernya nanti?
408
OPEC dan Diplomasi Energi
Kerisauan lainnya adalah tidak meratanya penyebaran sumber energi. Lebih banyak negara pengimpor daripada pengekspor, sehingga akan menimbulkan kompetisi antarnegara pengimpor. Masuknya China, India dan negara berkembang lain sebagai importir minyak yang besar akan meramaikan rivalitas pengamanan suplai minyak untuk masing-masing. Situasi itu diperparah oleh kondisi politik negara-negara pengekspor yang tidak terlalu stabil. Sejarah membuktikan bahwa geopolitik energi abad 20 tidak lebih damai dibanding abad sebelumnya. Dan, pada awal abad ini, invasi ke Afghanistan dan Irak menunjukkan belum terjaminnya pendekatan damai dalam masalah energi. Rivalitas juga ditunjukkan oleh perlombaan menawarkan bantuan pembangunan ekonomi, teknologi, bahkan persenjataan modern, kepada negara-negara pengekspor energi dengan imbalan suplai minyak jangka panjang. Rivalitas damai yang menyeluruh tampaknya masih jauh. Indonesia, yang energi fosilnya terbatas dibanding jumlah penduduk, akan terpaksa masuk dalam rivalitas itu. Namun, kita jelas belum mampu menawarkan yang sama dengan negara-negara kaya, apalagi untuk terjun pada konflik senjata. Karena itu, pendayagunaan maksimal semua sumber energi dalam negeri untuk domestik adalah suatu keharusan.
409
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
HE Dr Edmund Maduabebe Daukoru, OPEC Conference President & Minister of State for Petroleum Resources of Nigeria, didampingi Menteri Perminyakan Iran, HE Zanganeh, dan Dr Maizar Rahman, Chairman of OPEC Board of Governor, sesudah Konferensi OPEC di Vienna 2006
410
OPEC dan Diplomasi Energi
Diplomasi Energi Untuk Ketahanan Nasional Ceramah di FISIP UGM 20 Februari 2009
Pendahuluan Energi adalah mesin pertumbuhan ekonomi. Karena itu keamanan energi merupakan prioritas utama setiap negara untuk dipenuhi selama mungkin. Tidak semua negara memiliki sumberdaya energi sehingga harus mengimpornya. Negara produsenpun tidak selalu memiliki modal dan teknologi untuk mengekslploitasi sumber-sumber energinya dan juga memerlukan kepastian pasar atas energi yang akan dijualnya. Karena itu semua negara mengembangkan diplomasi energinya sesuai dengan situasi dan kepentingan masing-masing. Keamanan energi, pengertiannya sudah meluas dari keamanan pasokan (yang biasanya dinyatakan konsumen energi) kepada juga keamanan permintaan (yang disuarakan produsen). Produsen tidak akan selalu dapat memenuhi permintaan yang meningkat karena peningkatan produksi memerlukan investasi yang besar tapi berisiko tinggi bila karena keadaan tertentu (krisis ekonomi dsb) pasar ternyata tidak mampu menyerap seluruh produk. Keamanan energi juga mencakup ketersediaan infrastruktur seluruh mata rantai pasokan untuk menjamin sampainya produk ke konsumen. Makin sulitnya wilayah produksi dan transportasi memerlukan pengembangan teknologi termutakhir dalam kegiatan ini. Demikian juga perlindungan lingkungan yang harus memenuhi standar yang tinggi. Globalisasi telah membawa dunia menjadi saling terkait dan saling tergantung. Situasi dan lingkungannya lebih luas dan universal, meninggalkan paradigma lama yang hanya memikirkan kepentingan sendiri. Ini ditunjukkan oleh makin terintegrasinya industri energi global yang harus dikembangkan bersama melalui dialog dan kerjasama.
411
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Status energi global Ketersediaan minyak bumi mendorong perekonomian dan pada gilirannya berbalik meningkatkan permintaan minyak. Sebelum 1970 suplai minyak yang melimpah ke negara Barat dan Jepang dengan harga hanya sekitar $2/barel telah mendorong pertumbuhan spektakuler perekonomian negara-negara industri ini, dan membawa pertumbuhan GDP dunia sekitar 6.8% pada tahun 1973. Keseluruhan konsumsi minyak mereka antara 1945-1970 lebih banyak dari konsumsi kumulatif dunia berabad-abad sebelum itu. Kenaikan harga menjadi 12 dollar pada tahun 1974, telah membuat pertumbuhan ekonomi dunia turun di bawah 2 %. Demikian juga harga yang mencapai $34/barel pada awal tahun 80’an juga membuat perekonomian dunia mencapai titik terendah sebesar 1,1%. Permintaan minyak dunia seirama dengan pertumbuhan ekonomi dunia. Permintaan sangat rendah terjadi tahun 1998 karena melemahnya ekonomi dunia akibat krisis ekonomi Asia. Permintaan melambung pada tahun 2004 seiring membaiknya perekonomian dunia yang mencapai pertumbuhan 5%, terutama terutama didorong China, India dan Amerika. Krisis tahun 2008 membuat peningkatan permintaan turun drastis menjadi hanya 120 ribu barel/hari. Pada negara maju, konsumsi minyak dunia sudah tinggi karena GDP (gross domestic product) nya yang juga sudah tinggi, sedangkan peningkatannya tidak besar karena industri mereka lebih berbasis industri teknologi dan jasa. Pada negara berkembang, konsumsi masih rendah karena GDPnya masih rendah namun peningkatannya tinggi karena masih berbasis industri manufaktur yang padat energi. Karena itu, harga minyak yang tinggi berdampak lebih parah kepada negara-negara berkembang. Di sisi permintaan sesungguhnya konsumsi negara berkembang masih sangat jauh dari negara maju sehingga potensi peningkatan konsumsi minyak dunia, terutama berasal dari negara-negara berkembang tersebut, akan besar. Sampai tahun 2025 peningkatan permintaan minyak diperkirakan sekitar 27 juta barel/hari, hampir 70% nya berasal dari negara berkembang. Karena itu bilamana perekonomian dunia membaik pada tahun 2010 ke atas maka permintaan kembali meningkat. Namun bilamana kapasitas produksi minyak kurang memadai kesetimbangan pasokan-permintaan menjadi ketat dan mendorong kenaikan harga.
412
OPEC dan Diplomasi Energi
Asia merupakan kumpulan negaraa-negara pengimpor minyak besar seperti Jepang, Tiongkok, India, Korea, Taiwan dan lain-lainya. Masing-masing juga memahami kerawanan pasokan minyak di masa depan, apalagi mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yang tentu akan sangat haus akan energi.
Diplomasi Energi dan Geopolitik Geopolitik dan Harga Minyak Konflik atau ketegangan politik ikut berpengaruh kepada fluktuasi harga minyak dunia, yang pada gilirannya akan mempengaruhi stabilitas ekonomi dunia. Embargo minyak pada waktu perang Arab-Israel di tahun 1974 menimbulkan krisis minyak pertama dan merupakan satu-satunya pemakaian minyak sebagai senjata politik. Revolusi Iran tahun 1979 yang diikuti perang Irak-Iran menciptakan krisis minyak ke dua. Walau kekurangan ekspor Iran diatasi oleh negara-negara OPEC lainnya kepanikan tetap melanda dan harga tetap melejit. Pengaruh geopolitik terhadap harga berkurang bila pasokan minyak dunia melimpah. Dengan banjirnya minyak non-OPEC, harga minyak tergerogoti dan kemudian jatuh drastis ke bawah 10 dollar pada tahun 1986. Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 sempat membuat harga minyak meroket kembali namun tidak berlangsung lama karena OPEC menyetujui menambah pasokan bila diperlukan. Terbebaskannya Kuwait beberapa bulan kemudian memulihkan produksi di kawasan tersebut, melegakan pasar dan harga kembali turun. Serangan teroris 11 September 2001 telah memperburuk resesi ekonomi Amerika Serikat sehingga permintaan minyak makin menurun dan membuat harga jatuh ke bawah 20 dollar. Di awal 2003, invasi ke Irak, krisis politik di Venezuela dan Nigeria terjadi hampir bersamaan yang menyebabkan dunia dapat kekurangan suplai minyak lebih dari 4 juta barel per hari. Kesiapan OPEC untuk mengatasi kekurangan pasokan ternyata berhasil meredam keresahan pasar.
413
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Sejak tahun 2004 ketegangan geopolitik mulai dirasakan lagi berpengaruh kepada harga. Berbagai ketegangan politik dan konflik masih terjadi di kawasan produsen minyak seperti ketegangan nuklir Iran, perang saudara di Nigeria, konflik sekte di Irak, maupun ketegangan antara Rusia dan negaranegara Eropa sehubungan suplai gas Rusia ke kawasan Eropa. Diplomasi Energi Kepentingan ekonomi dalam negeri adalah prioritas utama dalam kebijakan diplomasi banyak negara, mengatasi kepentingan ideologi atau kebijakan lainnya. Tiongkok misalnya melakukan kerja sama dengan Sudan walau negeri ini sudah mendapat sanksi dan ultimatum dari PBB karena tindakan represifnya di dalam negeri. Begitu juga kerja sama Tiongkok dengan Iran dan India dengan Iran, walau ada protes dari negara-negara Barat dalam perselisihan masalah pengembangan nuklir Iran. Tiongkok sangat aktif dalam diplomasi untuk ketahanan energinya. Negara ini melakukan kontrak-kontrak energi dengan negara-negara penghasil energi seperti Nigeria, Myanmar dan Kazakhstan dengan komitmen melakukan investasi untuk pengembangan ekonomi negara-negara tersebut. Malah Saudi Arabia sudah memberikan komitmen langsung kepada presiden Hu Jin Tao sendiri di Riyadh untuk mengirim sekurangnya 1 juta bph ke Tiongkok mulai tahun 2010 dengan ditukar investasi Tiongkok di negara tersebut. Korea Selatan juga menggantungkan 97% energinya dari impor, maka negara ini sangat mementingkan kerja sama ekonomi berlandaskan sumber daya alam /energi dengan negara-negara produsen. Di samping ke Timur Tengah, Afrika dan Rusia, Korea Selatan membina hubungan erat dengan negaranegara Amerika Latin karena kawasan ini memproduksi sekitar 7 juta bph minyak dan cadangan minyak sebesar 100 milyar barel. Jepang juga sangat khawatir akan keamanan energinya di masa depan. Negara ini memiliki sangat sedikit sumberdaya energi sehingga mengimpor hampir 80% dari kebutuhan energinya. Wilayahnya juga terpisah dari daratan Asia yang makin menyulitkan untuk masuk dalam jaring listrik maupun gas Asia. Sementara itu negara-negara tetangganya di Asia Timur Laut seperti Tiongkok, Korea Selatan dan Taiwan makin meningkat impor energinya
414
OPEC dan Diplomasi Energi
sehingga menjadi pesaing berat dalam mencari sumber-sumber impor energi. Negara ini juga untuk masa lama ke depan akan tergantung kepada minyak yang saat ini mengisi 50% energinya. Karena itu diplomasi energi Jepang sangat menekankan kepada kerjasama regional dan global. Negara ini menawarkan cadangan minyaknya yang cukup untuk 120 hari impor untuk kerja sama cadangan emergensi, artinya apabila semua negara bertetangga memiliki cadangan darurat, adanya gangguan pasokan yang besar dapat diatasi dan pembelian panik dapat dicegah. Juga diusulkan membangun infrastruktur transportasi energi lintas batas negara, misalnya jaring pemipaan gas dan minyak serta jaring tenaga listrik. Jepang merupakan pula pelopor aktif dialog konsumen-produsen energi dalam rangka menciptakan adanya aliran energi yang stabil pada tingkat harga yang terjangkau dan untuk mendorong industri masing-masing untuk investasi di negara-negara produsen energi, apakah di sektor energi ataupun di sektor industri lainnya seperti petrokimia, yang pada gilirannya akan meningkatkan stabilitas negara-negara produsen yang sampai saat ini masih dikenal masih labil. Dari sisi produsen, kerja sama berbasis energi juga dianggap sangat penting. Di samping untuk kepastian pasar produk energi mereka, diversifikasi pasar juga sangat penting untuk menjamin stabilitas penyaluran produk mereka. Diplomasi energi juga dipakai untuk kepentingan politik seperti yang dilakukan presiden Venezuela, Hugo chavez. Negara ini memasok minyak untuk negara-negara miskin sekitar laut Karibia dengan harga potongan. Baru-baru ini Venezuela juga membeli obligasi Argentina seharga 1 milyar dollar untuk pembangunan ekonomi Argentina dan dibayar dengan minyak. Sebagai kompensasinya Chavez menghimbau persatuan Amerika Latin untuk melawan Amerika Serikat. Saudi Arabia sangat berkepentingan atas keberlanjutan penerimaan mereka dari minyak sehingga mereka tidak terlalu sepakat dengan pengembangan energi alternatif seperti biofuel. Mereka selalu mengatakan sumber minyak masih berlimpah dan yang diperlukan adalah kepastian permintaan minyak di masa datang agar mereka dapat menyiapkan investasi sekarang. Arab
415
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Saudi menggalang sahabat-sahabat nya di jazirah Arab ( Kuwait, Emirat dan Qatar) dalam strategi tersebut, termasuk berusaha juga membawa para anggota OPEC. Karena itu Arab Saudi dan teman-tamannya ini berusaha agar harga minyak dunia tidak terlalu tinggi agar kompetisinya terhadap energi alternatif dapat dipertahankan. Di samping itu mereka juga mendukung pengembangan teknologi penyerapan dan penyimpanan CO2 karena ini akan ikut melestarikan pemakaian minyak sebagai energi. Rusia adalah produsen non-OPEC terbesar dan produksinya hampir menyaingi Saudi Arabia sekitar 9.5 juta bph. Negara ini juga penghasil gas terbesar di dunia. Negara ini ke barat memasok negara-negara eropa Timur dan Barat dan ke timur merupakan pemasok penting untuk Tiongkok dan Jepang. Minyak dan gas merupakan salah satu sumber penerimaan utama Rusia. Negara ini berkeinginan pula ikut menguasai kepemilikan perusahaan-perusahaan energi di Eropa yang ternyata tidak disetujui oleh negara-negara yang dituju. Kebijakan energi Rusia termasuk menguasai kembali perusahaan-perusahaan minyak dan gas swasta di Rusia. Beberapa kasus penghentian pasokan gas Rusia sangat merisaukan negara-negara di Eropa Barat sehingga mereka harus berpikir untuk mengurangi ketergantungan dari Rusia. Iran juga menggunakan minyak dan gasnya untuk keluar dari isolasi yang ditimpakan Amerika Serikat. Iran-Pakistan-India merencanakan pembangunan pipa gas dari Iran menuju India dan melintasi Pakistan untuk mengalirkan gas Iran sebanyak 2 milyar kaki kubik per hari untuk Pakistan dan India. Walau diperingati dan dibujuk oleh Amerika, India nampaknya tidak mau urusannya dengan Iran dicampuri. Apalagi Iran mungkin akan mengalihkan gasnya ke Tiongkok bilamana India membatalkan, hal mana dianggap lebih buruk oleh India karena Tiongkok adalah rival sejak lama. Iran juga menggunakan petrodollar untuk membantu pembangunan proyek kilang dan bendungan di Srilangka. Dengan Indonesia, Iran berkerja sama investasi untuk pembangunan kilang dengan minyak mentah didatangkan dari Iran. Amerika adalah negara konsumen energi dan minyak terbesar di dunia. Penduduknya hanya 5 % dunia tapi mengkonsumsi 20% energi dunia. Tidak dapat dibayangkan apakah dunia mampu menyediakan energi
416
OPEC dan Diplomasi Energi
apabila konsumsinya sama dengan Amerika sekaran ini. Walau negara ini juga produsen minyak ke tiga terbesar dunia, dari 20 juta barel/hari yang dikonsumsi mereka harus mengimpor 13,5 juta barel/hari. Untuk keamanan daruratnya, negara ini memiliki cadangan minyak strategis tebesar, cunnskup untuk 90 hari impor minyak. Untuk mengamankan sumber-sumber energi di luar negerinya, Amerika Serikat melakukan kerja sama intensif dengan negara-negara produsen minyak, baik di bidang ekonomi maupunn pertahanan. Memperbaiki politik luar negeri ke arah stabilisasi politik dan keamanan dunia dan meningkatkan keseimbangan antara keamanan energi dengan keamanan nasional, keamanan ekonomi dan lingkungan. Negara ini juga memanfaatkan kerja sama NAFTA ( North America Free Trade Agreement) untuk kerja sama energi kawasan tersebut. Amerika Serikat juga berusaha menggalakkan mencari sumber-sumber energi fosil di dalam negerinya. Negara ini sebetulnya memiliki sumber energi tersebut dalam jumlah besar namun memerlukan biaya produksi yang masih mahal. Di samping itu karena memiliki luasan tanah yang sangat besar, negara ini juga menggalakkan produksi bahan bakar nabati seperti etanol dan biodiesel. Dewasa ini sudah dirasakan keterbatasan produksi minyak dunia untuk memenuhi permintaan minyak dunia yang terus naik. Kurangnya investasi minyak dunia selama ini menyebabkan rendahnya peningkatan kapasitas produksi. Penemuan baru juga lebih rendah dari tingkat produksi. Kemampuan negara-negara produsen non-OPEC juga menurun kecuali adanya terobosan teknologi terutama untuk wilayah-wilayah yang sulit. Jadi sumber minyak akan banyak terpusat di negara-negara Timur Tengah, yang kenaikan produksinya juga belum tentu mencukupi permintaan dunia karena kurangnya investasi. Makin merosotnya produksi minyak negara-negara non-OPEC (suatu gejala global yang juga ikut melanda Indonesia), dan tidak ditemukannya lagi lapangan-lapangan minyak raksasa selama 20 tahun terakhir ini, membuat OPEC akan menjadi lebih dominan di masa depan. Hanya Timur Tengah, Rusia, serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias
417
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
eksportir. Kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyak, sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya diandalkan kepada kekuatan dan mekanisme pasar. Ini tercemin dari politik dan diplomasi energi mereka kepada negara-negara pemilik minyak tersebut. Karena itu persaingan negara –negara konsumen untuk mendapatkan alokasi impor minyak dari negaranegara Timur Tengah akan sangat ketat.
OPEC dan Indonesia Organisasi negara- negara pengekspor minyak (OPEC) didirikan pada 1960 dengan tujuan mengembalikan penguasaan sumber daya alam minyak kepada kedaulatan pemiliknya, yang umumnya negara berkembang. Organisasi ini, menurut anggaran dasarnya, bertujuan menyatukan kebijakan serta melindungi kepentingan anggotanya. Upaya organisasi ini adalah menstabilkan harga di pasar internasional dan mencegah fluktuasi, mengamankan penerimaan minyak yang tetap untuk anggota sambil menjamin pasokan yang teratur, efisien, dan ekonomis kepada negara-negara konsumen, serta memperhatikan keuntungan yang pantas bagi investor. Semangat solidaritas negara berkembang telah mendorong organisasi ini mendirikan OPEC Fund untuk membantu proyek-proyek ekonomi dan sosial negara-negara miskin yang terkena imbas tingginya harga minyak. Indonesia memasuki OPEC pada 1962 karena melihat perjuangan OPEC adalah perjuangan negara ketiga dan juga Indonesia pada waktu itu sudah mulai mengekspor minyak, sehingga memiliki kepentingan yang sama dengan negara-negara anggota OPEC lainnya. Indonesia menikmati kenaikan harga dari US$ 2 per barel menjadi US$ 12 setelah embargo minyak perang ArabIsrael, 1974. Harga yang bagus tersebut sangat membantu pembangunan Indonesia.
418
OPEC dan Diplomasi Energi
Keanggotaan di OPEC meningkatkan posisi Indonesia di forum internasional, karena OPEC merupakan organisasi yang sangat disegani di antara organisasi- organisasi negara-negara berkembang. OPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi, yang sering dimanfaatkan untuk diplomasi Indonesia menghadapi permasa- lahan nasional, seperti HAM dan integritas nasional. Sekretariat OPEC bertempat di Wina, Austria, yang menjalankan kegiatan riset energi dan riset pasar minyak untuk mendukung kebijakan dan strategi organisasi ini. Indonesia saat ini menempatkan empat tenaga ahlinya. Dalam sejarah OPEC yang hampir mencapai 50 tahun, OPEC dan dunia mengakui peran penting Indonesia dalam masa-masa sulit organisasi ini, antara lain, dalam membina hubungan antara negara produsen dan konsumen demi mencari jalan stabilisasi pasar minyak dunia. Figur-figur Indonesia dikenal sebagai mediator yang tangguh. Sebagai negara besar dan satu-satunya anggota dari Asia Timur Jauh, OPEC menganggap posisi Indonesia sangat strategis di organisasi itu. Indonesia sudah dianggap sama seperti founding members karena di samping peran historisnya, negara kita juga salah satu anggota tertua. OPEC akan merasa sangat kehilangan salah satu anggotanya yang terbaik, tapi tetap dapat memahami dan menghormati keputusan Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, Indonesia menghadapi penuaan lapangan minyak, penurunan produksi, dan makin sukarnya ditemukan lapangan minyak baru. Dengan konsumsi Indonesia yang lebih dari satu juta bph BBM, harus diimpor 300.000 bph minyak mentah dan 400.000 bph BBM, yang artinya secara keseluruhan Indonesia sudah benar-benar menjadi net importer. Oleh karena itu, kepentingan Indonesia sudah bergeser dari net exporter menjadi net importer. Berkaitan dengan itu, dewasa ini status di luar OPEC dianggap lebih pas bagi Indonesia. Pertama, menghindari konflik kepentingan dalam forum OPEC. Dalam situasi sekarang Indonesia merasa sangat canggung berada satu meja dengan para eksportir. Kedua, keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC diharapkan lebih menyadarkan masyarakat bahwa negara kita bukan lagi “kaya raya” dengan minyak, tapi sudah sebagai pengimpor, sehingga harus
419
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
lebih terpacu untuk meningkatkan efisiensi serta mengembangkan energi alternatif yang cukup banyak di negeri ini. Keluar dari OPEC bukan kata mati, karena itu bergantung pada dinamika kepentingan kita. Misalnya Ekuador, setelah 15 tahun keluar, tahun lalu masuk lagi ke organisasi ini. Indonesia dapat saja melakukan hal yang sama pada saat yang tepat dan diperlukan. Yang penting, dalam status masih di luar OPEC, strategi Indonesia adalah memelihara persahabatan dengan negara-negara anggota OPEC, yang sudah sangat baik secara bilateral maupun multilateral. Indonesia tetap dapat menawarkan peran ke OPEC dalam stabilisasi pasar minyak dunia, antara lain, sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, khususnya negara-negara berkembang. Ke depan, Indonesia akan memerlukan tambahan impor minyak mentah yang tidak dapat diperoleh hanya dengan pendekatan bisnis. Kedekatan Indonesia dengan OPEC dapat merupakan posisi tawar dalam berkompetisi dengan negara-negara konsumen lainnya yang menawarkan dana investasi, teknologi ataupun peralatan pertahanan untuk mendapatkan pasokan minyak jangka panjang dari negara-negara OPEC. Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar yang juga sangat ingin berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga sudah mulai ikut kegiatan pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan pemasokan tenaga kerja ahli di negara-negara OPEC . Jadi, dengan banyaknya kepentingan kerja sama di bidang diplomasi, ekonomi, dan investasi, walaupun bukan lagi anggota, namun pemeliharaan dan peningkatan persahabatan Indonesia dengan negara-negara OPEC merupakan kemestian.
Kerja Sama Energi Internasional Dan Kawasan Kerja sama ekonomi di dalam berbagai kawasan dunia sedang berkembang menuju penciptaan keamanan bersama pasokan energi. Kekhawatiran akan krisis energi membuat Uni Eropa terdorong menciptakan kebijakan energi bersama yang menuju kepada pasar tunggal energi Uni Eropa. Pasar tunggal melahirkan kompetisi yang menciptakan efisiensi dan harga energi lebih murah.
420
OPEC dan Diplomasi Energi
Kebijakan energi bersama merupakan penggabungan kekuatan dalam menangani krisis energi, stabilitas pasokan energi, keragaman energi, juga harga energi. Masalah-masalah terkait lain akan terbawa dalam kerja sama ini, seperti perlindungan lingkungan, pencegahan pemanasan global, juga mengembangkan teknologi energi yang lebih efisien. Sudah dipahami semua bahwa neraca energi kawasan ASEAN adalah negatif, dalam artian lebih banyak impor energi daripada ekspor. Sumber impor terutama dari kawasan Timteng yang jaraknya cukup jauh. Kawasan ASEAN pun masih lemah dalam ketahanan stok energi. Misalnya Indonesia hanya memiliki 22-25 hari stok bahan bakar minyak. Bandingkan dengan negaranegara industri yang memiliki simpanan minyak mentah strategis dan BBM untuk 90 hari. Karena itu, energi sebaiknya bukan komoditas untuk dikompetisikan dalam pasar kawasan ASEAN, tapi untuk ditata bersama di dalam penanganan pasokan, permintaan, perdagangan, pengembangan, dan persediaan. Stabilitas pasokan energi dan pengurangan ketergantungan kawasan ini dari minyak dapat diciptakan melalui interkoneksi listrik dan gas, perdagangan energi, pengembangan bioenergi, dan manajemen bersama cadangan strategis. Kawasan ASEAN sangat potensial bagi pengembangan bioenergi, terutama karena ketersediaan lahan dan iklim tropis yang mendukung lebih seringnya panen. Namun tetap saja jenis energi ini masih rentan untuk jangka panjang mengingat biaya produksinya masih tinggi dan hanya layak komersial pada posisi harga minyak sekitar 60 dolar AS per barel. Karena itu, kawasan ini dapat bersama-sama mendanai, meneliti, dan mengembangkan teknologi penanaman yang lebih murah serta proses produksi yang lebih efisien. Apalagi sejauh ini kerja sama ASEAN di bidang energi sudah cukup erat, sehingga diharapkan keamanan energi di kawasan ini lebih konkret dalam menghadapi krisis energiTujuan, historis, Manfaat, efektivtas, apk dpt diandalkan, saran strategi,
421
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Ketahanan dan Diplomasi energi Indonesia Selama tiga dekade sebelum tahun 2000 Indonesia masih dikenal sebagai eksporter minyak dan gas. Karena minyak dan gas penyumbang terbesar penerimaan negara, tujuan diplomasi energi Indonesia pada waktu itu adalah mendapatkan harga minyak yang pantas, yang diperjuangkan melalui OPEC. Di samping itu juga berjuang mencari pasar gas atau LNG karena gas domestik belum berkembang waktu itu disebabkan tidak kompetitif dengan harga minyak yang murah. Dewasa ini Indonesia sudah menjadi net importer yang mencapai sekitar 400 ribu barel per hati. Dengan pertumbuhan konsumsi BBM sekitar 3.5% per tahun maka ketergantungan akan minyak impor makin membesar yang di tahun 2020 dapat mencapai 900 ribu bph. Sementara ini belum ada tandatanda peningkatan produksi minyak Indonesia di masa depan. Indonesia sampai saat ini juga belum memiliki cadangan strategis. Karena itu Indonesia akan dihadapkan kepada kerawanan dalam ketahanan energinya terutama dalam penyediaan minyak mentah. Kita sudah menyaksikan beberapa contoh-contoh di dalam negeri akibat parah dari kelangkaan BBM, yang bisa berlanjut kepada masalah sosial-politik. Langkah-langkah yang dapat dilakukan Indonesia adalah meningkatkan produksi BBM alternatif seperti bahan bakar nabati. Peluang ini dimiliki negara ini karena masih ada lahan yang dapat didayagunakan, terutama lahan kritis, yang didukung oleh sinar matahari sepanjang tahun yang memungkinkan peningkatan panen. Langkah lain adalah mengubah batu bara jadi BBM yang dimungkinkan ketersediaan cadangan batubara yang cukup memadai. Semuanya itu juga memerlukan kebijakan khusus energi, antara lain kebijakan harga, agar energi alternatif dapat hidup dan berkembang. Namun hasil kajian prediksi permintaan pasokan ke depan menunjukkan bahwa ini tidak dapat memenuh seluruh permintaan BBM. Jalan impor akan masih diperlukan. Di bidang diplomasi energi Indonesia harus terus memelihara persahabatan dengan OPEC, kerja sama energi kawasan ASEAN dan ASEAN+3 terus ditingkatkan, dan aktif dalam kegiatan kerja sama energi multilateral seperti International Energy Forum, International ‘Energy Agency, APEC Energy, dan berbagai forum lainnya.
422
OPEC dan Diplomasi Energi
Para menteri OPEC seusai sidang tertutup pada Konferensi OPEC, 2008, di Vienna, Austria. Menteri ESDM Indonesia diwakili oleh Gubernur OPEC untuk Indonesia, Maizar Rahman.
423
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Bapak Subroto, OPEC dan Pendidikan Ditulis dalam buku: “Pendidikan Untuk Indonesia Raya, Belajar Dari Sekolah Lengkong”,Yayasan Bangun Bina Anak Indonesia, Tanggerang Selatan, September 2013
W
aktu saya bertugas sebagai Gubernur OPEC pada tahun 2008, sekali waktu Sekretaris Jenderal OPEC waktu itu, El Badri, bertanya kepada saya bagaimana kabarnya Prof Subroto, yang sudah berumur 85 tahun waktu itu. Saya jawab Pak Subroto masih sehat dan aktif. “ He is a great man”, gumam beliau. Ekspressi yang sama juga muncul di mata para menteri OPEC yang lain, yang juga sering menanyakan kabar Pak Broto. Peran Pak Subroto di masa tugas beliau tahun 1988-1994 masih jernih di ingatan mereka. Saya merasa bangga mengenal warga Indonesia seperti beliau yang dikagumi dan dihormati dunia internasional. Waktu OPEC International Seminar tahun 2004, saya bertugas sebagai Acting For OPEC Secretary General, Pak Subroto juga diundang sebagai mantan menteri dan mantan sekjen OPEC. Di seling acara beliau melihat hadir Gubernur OPEC Kuwait, Miss Razzouqi, yang sudah lama beliau kenal sejak jadi Sekjen OPEC. Miss Razzouqi sedang duduk di kursi. Pak Broto datang, jongkok dan menyalami beliau dengan senyum lebar. Inilah salah satu karakter terpuji Pak Broto, beliau sangat rendah hati, santun, dan ramah, sikap yang juga selalu dikenang oleh staf sekretariat jenderal OPEC. Saya tidak mengalami waktu Bapak Subroto bertugas sebagai Sekjen OPEC selama 2 periode, tahun 1998-2004, jadi saya tidak bisa bercerita tentang masa-masa tersebut. Tapi dari forum rapat menteri yang saya hadiri waktu saya bertugas sepuluh tahun sesudah itu, saya dapat menangkap nuansa sidang OPEC, yang bisa menjadi keras dan sulit, khususnya bila ada perbedaan kepentingan dan pendapat antar menteri/negara OPEC. Dan itulah yang dialami Pak Broto, karena pada era beliau harga minyak sangat rendah, sedangkan negara-negara OPEC sedang “haus” dana. Di satu pihak diinginkan harga tinggi sehingga kuota harus dipotong, di lain pihak negara-negara anggota ingin menjual lebih banyak dan tidak mau kehilangan pangsa pasar. Namun dunia mengakui bahwa Pak Subroto berhasil menyelamatkan OPEC
424
OPEC dan Diplomasi Energi
dengan mengubah sistem penetapan harga ke penetapan tingkat produksi. Demikian juga waktu Pak Broto menjabat presiden OPEC di tahun 1980, dua anggota OPEC, yaitu Irak dan Iran, sedang berperang. Dengan penuh kebijakan, serta kemampuan komunikasi dan negosiasi dan kesabaran yang tinggi, ternyata Pak Broto dapat meliwati masa-masa tersebut dengan menciptakan kerukunan di internal sidang OPEC . Ke dunia internasional Bapak Subroto berhasil menciptakan era strategi baru OPEC, yaitu dialog antara produsen dan konsumen, dan dialog antara produsen OPEC dan non-OPEC, yang berlanjut sampai sekarang ini. Dengan demikian Pak Broto berhasil membawa OPEC menjadi organisasi internasional yang disegani, dan Indonesia dianggap negara-negara anggota OPEC sebagai negara yang sangat besar kontribusinya kepada OPEC. Waktu Indonesia diberitakan keluar dari OPEC, realitanya oleh OPEC tidak dianggap demikian, Indonesia tetap dianggap sebagai anggota, cuma dibekukan untuk sementara, sampai saatnya Indonesia kembali sebagai eksporter, maka Indonesia dapat otomatis sebagai anggota aktif kembali. Hal yang serupa terjadi dengan Equador, yang juga membekukan keanggotaannya dari tahun 1996-2007. Selama setahun bertugas sebagai Acting for Secretary General, saya memahami betapa sibuknya tugas Bapak Subroto waktu beliau bertugas sebagai sekjen dulu. Sepanjang tahun penuh dengan sidang-sidang, yaitu sidang Economic Commission Board , sidang Dewan Gubernur, sidang Ministerial Monitoring Sub Commitee dan ujungnya sidang Menteri OPEC, baik sidang tertutup maupun terbuka. Jumlah sidang-sidang tersebut minimal dua kali dalam setahun. Dan sekali lima tahun sidang OPEC Summit yang dihadiri kepala-kepala negara negara anggota. Di samping itu ada pula pertemuan rutin OPEC dan Non OPEC Producing Country, pertemuan dengan organisasi konsumen energi seperti IEA (International Energy Agency), organisasi energi IEF (International Energy Forum) dan banyak lagi kunjungan-kunjungan dan pertemuan lainnya. Sekali dua tahun dilakukan pula International OPEC Seminar, suatu event yang melibatkan negara-negara produsen, konsumen, perusahaan dan investor dunia di bidang migas dan energi. Sekjen OPEC juga bertindak sebagai corong
425
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
OPEC sehingga sering mengadakan Konferensi pers untuk menginformasikan kebijakan, posisi dan keputusan OPEC terkait dengan peran OPEC dalam pasar minyak internasional. Selain itu, sebagai pimpinan organisasi internasional, Sekjen OPEC juga harus hadir dalam acara-acara diplomatik di kota Wina, yang penuh dengan berbagai organisasi internasional. Misi OPEC adalah mengkoordinasikan kebijakan bersama OPEC untuk melindungi kepentingan anggota, menstabilkan pasar minyak global, melindungi kepentingan produsen, menjamin pasokan yang teratur, ekonomis dan efisien untuk negara konsumen dan menjamin keuntungan yang layak bagi investor. Berdasarkan misi tersebut Sekretariat OPEC menyiapkan bahan untuk sidang menteri OPEC. Bahan rapat berupa studi dan kajian yang dihasilkan Sekretariat dibahas lebih dulu dalam Sidang Economic Commission Board yang dihadiri oleh perwakilan nasional dari seluruh negara anggota. Sidang ini, dua kali dalam setahun, kemudian merumuskan status energi dan pasar minyak dunia baik yang yang sedang berjalan maupun perkiraan ke depannya. Sekretaris Jenderal, yang merupakan eksekutif puncak dari Sekretariat, bertanggung jawab kepada sidang menteri, yang dalam pelaksanaannya dilakukan melalui Dewan Gubernur OPEC. Bila analoginya para menteri adalah pemegang saham, maka Dewan Gubernur adalah dewan komisaris. Dewan Gubernur bertugas memberikan arahan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan Sekretariat, menerima laporan-laporan dari Sekjen, menentukan agenda sidang Menteri, menyetujui program dan anggaran dan mengawasinya auditnya, dan menyetujui pengangkatan anggota manajemen inti dari Sekretariat. Dari apa yang saya alami, Dewan Gubernur, dengan kewenangannya yang cukup besar, kadang-kadang cukup strict terhadap Sekjen. Saya membayangkan dulu bagaimana Bapak Subroto dengan sabar dan santun serta piawai dapat menghadapi Dewan Gubernur yang cukup “cerewet’ itu. Untuk melaksanakan tugas Sekretariat di atas, inti organisasi ini terdiri dari Divisi Riset yang didukung oleh tenaga ahli dari berbagai bidang keilmuan, terutama ahli energi, ahli data, ahli statistik dan ahli pasar minyak. Pegawainya yang berjumlah sekitar 150 orang terdiri dari sekitar 30 kebangsaan.
426
OPEC dan Diplomasi Energi
Komposisi yang multi kultural ini juga memerlukan penanganan khusus agar jajaran pegawai itu dapat berkerja sama dengan baik tanpa konflik apapun. Kepribadian dan karakter Bapak Subroto yang rendah hati, komunikatif, jernih, disiplin dan tegas banyak memberi warna kepada kinerja sekretariat OPEC tersebut. Salah satu cara silaturahim yang diterapkan Bapak Subroto adalah open house waktu idul fitri. Saya sendiri, begitu diinstruksikan harus ke Wina sebagai akting sekjen, saya merasa akan masuk kandang harimau, karena inilah penugasan internasional saya yang pertama dan pada posisi yang “puncak” lagi. Alhamdulillah pengalaman saya memimpin lembaga riset di Lemigas banyak membekali saya dalam menangani sekretariat OPEC ini, yang intinya juga riset. Saya juga meniru langkah Bapak Subroto dengan mengadakan open house idul fitri yang ternyata sangat diapresiasi para staf sekretariat, karena suasananya penuh rileks dan kerukunan, berbeda dari suasana pekerjaan sehari-hari yang penuh keseriusan. Gedung sekretariat OPEC pada waktu itu berlokasi di tepi sungai Danube dan kelihatan dari seberang sungai, yang merupakan pusat kota. Foto- foto gedung ini selalu menghiasi media dunia sehingga logo OPEC seolah-olah menjadi salah satu ikon kota Wina. Karena terbatasnya ruangan dengan pertambahan kegiatan, gedung Sekretariat dipindahkan dan sekarang berada di suatu bangunan klasik yang juga indah yang terletak di tengah kota Wina. Selepas dari tugas OPEC, saya ikut dalam mendukung kegiatan Yayasan Bangun Bina Anak Indonesia dengan Ketua Dewan Pembina Bapak Subroto, dan Ketua Umum Bapak Dr Nafrizal Sikumbang. Yayasan ini, berhasil membina sekolah TK, SMP, SMK di Lengkong Wetan, Serpong, dengan biaya sangat murah untuk anak-anak desa sekitar yang umumnya kurang mampu. Sekolah ini berhasil membuat reputasi tidak kalah dari sekolah swasta yang mahal yang bertebaran di sekitar Serpong. Sekolah Pak Broto ini, dengan keberhasilan tersebut diusulkan untuk dijadikan suatu model pengembangan “sekolah bagus tidak perlu mahal” (SBTPM) untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Pak Broto memberikan perhatian sepenuhnya kepada sekolah ini dan selalu aktif memberikan pencerahan bagi para murid dan guru. Di sini saya melihat sebagai sosok yang sangat cinta akan kemajuan generasi
427
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
muda bangsa ini. Beliau sangat ingin agar demography devident yang akan dialami Indonesia pada tahun 2030 an ke atas hendaklah diisi oleh sumber daya manusia berkualitas agar Indonesia menjadi salah satu negara besar dan kuat di dunia, dan “sekolah pinter yang tidak perlu mahal” adalah suatu solusi.
Professor Dr Subroto dalam wawancara dengan media di sela-sela sidang Konferensi OPEC di tahun 1998.
428