DEMOKRATISASI DIPLOMASI Bima Arya Sugiarto
icholson,
seorang
pakar
diplomasi
modern,
pernah
menyatakan bahwa diplomasi merupakan alat untuk mencapai kebutuhan nasional. Jika kebijakan luar negeri merupakan substansi, maka diplomasi merupakan metode. Sejarah mencatat bahwa walaupun konsepsi kebutuhan nasional relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan, menariknya, setiap pemimpin mempunyai gaya tersendiri dalam melakukan diplomasi. Pada era Soekarno, kegiatan diplomasi kita sarat dengan nuansa retorika dan jargon-jargon yang membangkitkan sentimen nasionalisme, yang pada batas tertentu juga diimplementasikan lewat beberapa kebijakan yang fenomenal. Gaya tersebut agaknya bisa kita sebut dengan “heroic diplomacy”. Jaman kepresidenan Soeharto, karakter multilateral diplomacy atau conference diplomacy sangatlah menonjol melalui keaktifan Indonesia dalam berbagai forum multilateral seperti Non-Blok, OKI, APEC dan juga ASEAN. Warna baru diplomasi kita kemudian sangatlah terasa ketika Abdurrahman Wahid naik ke tampuk kekuasaan. Banyak pihak yang terkesima
ketika
menyaksikan
betapa
intensnya
Wahid
melakukan
kunjungan-kunjungan personal ke banyak pemimpin negara. Sampai dengan akhir masa kepresidenannya, praktis semua benua telah dikunjunginya. Saat itu Wahid agaknya percaya bahwa membangun kedekatan personal dengan gaya informal akan lebih efektif dalam mencapai tujuan ketimbang melalui forum dan lembaga formal. Gaya personal diplomacy inilah yang sangat menonjol di era kepresidenan Abdurrahman Wahid. Bagaimana dengan masa kepresidenan Megawati yang kini tengah berjalan? Sejak awal pemerintahannya, kita belumlah dapat menyimak suatu karakter yang kuat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 290-294
Bima Arya Sugiarto “Demokratisasi Diplomasi”
Megawati. Bahkan pada tingkatan tertentu, eskalasi politik domestik telah menciptakan kegamangan-kegamangan yang sebetulnya tidak perlu pada aspek diplomasi dan hubungan luar negeri, seperti pada kasus pemboman World Trade Center 11 September tahun lalu. Dinamika dan konfigurasi politik domestik telah mempengaruhi performa diplomasi Indonesia paska peristiwa pemboman WTC tersebut. Banyak pihak berharap bahwa Indonesia akan memainkan peran baru yang signifikan dalam percaturan politik internasional, ketika Megawati mendapat momentum emas sebagai kepala negara pertama yang diterima oleh Presiden Bush paska peristiwa 11
September. Namun kemudian publik
tidak dapat melihat hasil yang signifikan dari pertemuan tersebut. Menariknya, setelah mendapat tekanan yang luar biasa dari berbagai kelompok
Islam
di
tanah
air,
pemerintah
Indonesia
kemudian
memperbaharui pernyataan sikapnya dengan versi yang lebih keras. Sehingga terkesan pemerintah Indonesia tidak mempunyai konsep dan karakter diplomasi yang jelas dan terarah. Pengumuman restrukturisasi yang akan secara signifikan mengubah wajah Deplu, agaknya memberikan harapan baru atas kinerja diplomasi kita. Pada satu sisi, pengumuman tersebut terasa sangat prematur, mengingat seharusnya pemerintah terlebih dahulu menjelaskan substansi kebijakan luar negeri yang menyangkut visi dan misi daripada hal-hal yang bersifat teknis. Namun demikian, di sisi lain ada satu hal yang sangat menarik untuk dikaji dari pengumuman tersebut, yaitu penjelasan Menteri Luar Negeri mengenai faktor
yang
melatarbelakangi
restrukturisasi
tersebut.
Menlu
Hasan
Wirayuda secara tegas menyatakan bahwa pembenahan tidak bisa dihindarkan karena terjadi perubahan besar dan mendasar tidak saja pada tingkat internasional tetapi juga pada tataran domestik. Menurut Menlu, proses reformasi dan demokratisasi yang dimulai sejak 1998 telah menambah jumlah aktor dalam aspek hubungan luar negeri. DPR, LSM, Media massa, dan pengamat politk kemudian menjadi semakin aktif dan kritis terhadap masalah hubungan luar negeri. Pertimbangan inilah yang Gejolak politik domestik telah menguras energi dan konsentrasi Presiden
291
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 290-294
kemudian mendasari dibentuknya direktorat diplomasi publik pada struktur Deplu yang baru.
Ekstensifikasi Aktor dan Jalur Diplomasi Sesungguhnya desakan untuk “mengakui” aktor lain selain Deplu dalam kegiatan diplomasi telah sejak lama muncul. Pada 1982 Joseph Montville mencetuskan gagasan mengenai “track two diplomacy” untuk menggambarkan kegiatan diplomasi yang dilakukan oleh unsur nonpemerintah. Asumsi dasarnya adalah untuk memuluskan kerjasama dan mengurangi konflik, maka berbagai kelompok non-negara harus berperan untuk menumbuhkan saling pengertian. Selain itu, negara ternyata juga mempunyai diplomasi. beberapa
keterbatasan-keterbatasan Keterbatasan-keterbatasan hal:
bagaimanapun
Pertama, juga
secara
masih
terikat
di itu
politis,
dalam
melakukan
umumnya para
secara
disebabkan
diplomat
formal
proses
dalam
dari
oleh Deplu
instrumen
kenegaraan, yang kemudian membawa konsekuensi-konsekuensi yang bersifat finansial dan prosedural. Kedua, beragamnya isu-su global paska perang dingin menuntut digunakannya pendekatan multidimensional untuk dapat lebih memahami hal-hal yang menjadi persoalan dalam hubungan antar bangsa. Itulah sebabnya interaksi antara Deplu dengan berbagai elemen non-pemerintah menjadi suatu kebutuhan utama. Selanjutnya ide yang lebih progresif muncul dari Dr. Louise Diamond dan Ambassador John McDonald, pada 1996. Mereka melansir suatu konsep yang lebih komprehensif dengan membagi jalur diplomasi secara lebih spesifik menjadi sembilan jalur, yaitu pemerintah, profesional nonpemerintah, bisnis, warga negara biasa, ilmiah, aktivis, agama, pendanaan dan informasi. Masing-masing jalur ini dianggap mempunyai potensi yang bisa dikembangkan guna membantu track pertama (pemerintah) dalam menciptakan perdamaian dunia.
292
Bima Arya Sugiarto “Demokratisasi Diplomasi”
tersebut. Pertama, adanya kesadaran bahwa struktur internasional yang ada sekarang tidak mampu untuk menyelesaikan konflik. Sistem Internasional dengan
negara
sebagai
unit-unitnya
tidak
bisa
diharapkan
untuk
menciptakan perdamaian karena adanya pluralitas kepentingan dan keterbatasan-keterbatasan lain. PBB sebagai lembaga formal yang paling legitimate juga tidak dapat terlalau diandalkan karena sarat dengan kepentingan negara-negara besar. Kedua, adanya tafsir baru mengenai konsepsi ‘keamanan” yang tidak hanya diartikan secara sempit sebatas military security misalnya menyangkut isu nuklir dan persenjataan, tetapi juga keamanan secara luas, atau kerap disebut “human security”. Ketika ancaman bagi manusia tidak hanya dipersepsikan timbul dari aspek militeristik tetapi juga dari ancaman kelaparan,
kebodohan,
kecenderungan
kemiskinan
peningkatan
minat
dan
lain-lain.
dari
para
Karena
pengamat
itu
ada
hubungan
internasional dari yang tadinya bersifat security dan strategic studies menjadi peace studies, yaitu menyangkut upaya-upaya kerjasama untuk membangun struktur pemerintahan yang kondusif bagi terwujudnya kesejahteraan warganya. Meningkatnya interaksi antar elemen non-pemerintah dari lintas negara seperti akademisi, LSM dan bahkan juga agamawan kemudian menjadi efek dari kecenderungan tersebut. Paparan di atas merupakan landasan bagi suatu argumen mengenai keperluan untuk mengoptimalkan berbagai elemen non-pemerintah dalam kegiatan diplomasi. Secara struktural, konsep baru dari Deplu telah memberikan ruang bagi pelibatan aktor dan jalur-non pemerintah tersebut. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sejauh mana struktur baru tersebut dapat mengakomodasi elemen-elemen non-pemerintah tersebut? Apakah fungsi dari direktorat diplomasi publik dan direktorat informasi dan media hanya sebatas sosialisasi kebijakan luar negeri atau juga collecting opinion sebagai input bagi kebijakan luar negeri? Jika memang ada Beberapa perkembangan dalam hubungan antar negara pembatasan fungsi seperti itu, mutakhir maka jelas struktur baru tersebut belumlah telah menjadi latar belakang pemikiran jalur diplomasi menawarkan perspektif barubagi dalam kegiatanekstensifikasi diplomasi.
293
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 290-294
Sebagaimana paparan di atas, pelibatan elemen non-pemerintah dalam kegiatan diplomasi tidak saja sebagai objek atau sumber kebijakan tetapi juga sebagai subjek atau aktor dalam kegiatan diplomasi. Deplu sebagai aktor diplomasi yang paling konvensional dan legitimate juga harus mendorong keterlibatan aktif dari jalur-jalur lainnya. Fungsi kordinasi antar jalur hendaknya juga menjadi fokus utama dari direktorat diplomasi publik untuk menciptakan sinergi bagi keseluruhan kegiatan diplomasi Sebagai contoh, kerjasama aktif dapat dikembangkan dengan pihak media baik cetak ataupun film untuk memproduksi karya yang dapat sejalan dengan kepentingan Indonesia di forum internasional. Deplu juga dapat berkordinasi dengan para warga negara yang memiliki potensi untuk melakukan personal diplomacy seperti para musisi, aktor, atlet, seniman dan tokoh agama karena seringkali kalangan tersebut dapat berperan secara lebih efektif dalam membentuk opini publik. Banyak contoh yang menarik mengenai upaya diplomasi dari tokoh populer yang mendapat sambutan publik. Aktifnya Bono, vokalis dari kelompok musik populer U2 dalam mengkampanyekan penghapusan hutang negara-negara dunia ketiga, getolnya group musik Cranberries
dalam
mengkampanyekan
kemerdekaan
Irlandia
adalah
beberapa contoh yang sangat menarik. Saat ini, ketika tudingan bahwa Indonesia menjadi sarang teroris gencar disuarakan oleh berbagai pihak, adalah menjadi suatu kebutuhan untuk mendorong peran tokoh agama dan ilmuwan untuk menjelaskan kepada pihak-pihak asing mengenai posisi dan persepsi negara ini dalam menyikapi isu terorisme. Dalam hal ini Deplu dapat melakukan fungsi kordinatif dan fasilitatif dengan kalangan tersebut, ketimbang “bersolo karir” dan bersusah payah menangkis isu tersebut. Apabila perspektif ini kemudian dapat diimplementasikan melalui struktur
baru
Deplu,
maka
agaknya
pemerintahan
Megawati
akan
menambah khasanah baru dalam sejarah diplomasi Indonesia. Suatu gaya
294
diplomasi yang demokratis dan tidak sentralistis serta menempatkan banyak pihak sebagai aktor utama.