DEMOKRATISASI PENDIDIKAN (Sebuah Analisis terhadap pendidikan pada masa sekarang dan menggagas pendidikan masa depan) Oleh: Atnawi Fakultas Agama Islam Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan Email:
[email protected] Abstrak Pendidikan merupakan suatu usaha untuk memanusiakan dalam rangka mencapai kecerdasan pribadi dan hubungan antar pribadi. Oleh karena itu, pendidikan dan manajemen baik, seperti halnya disiplin dan tanggung jawab tinggi ke arah pendidikan. Lebih dari itu disiplin dan tanggung jawab harus pula tanamkan sedini mungkin. Hal ini bertujuan untuk merealisir suatu paradigma dan sistem pendidikan demokratis yang mengarahkan untuk warga negara untuk bertindak kritis dan demokratis dapat dua berbagai hal: Pertama, demokrasi adalah suatu format hidup sosial yang paling menjamin hak warganegara yang manapun secara individu atau di dalam suatu kelompok, sehingga para siswa dapat memahami perbedaan tersebut. Kedua, demokrasi adalah suatu belajar proses, oleh karena itu para siswa tidak bisa diindoktrinasi, Oleh karena itu, kesinambungan pendidikan tergantung pada apa dan bagaimana pendidikan dapat mengubah bentuk nilai-nilai demokrasi, yang mengenali keberadaan pluralisme, kebebasan, persamaan, dan keadilan seperti halnya setia kepada sistem yang demokratis itu sendiri. Orientasi pendidikan dapat dilihat oleh yang empat dimensi pendidikan adalah keberadaan para siswa, dimensi para guru, dimensi pelajaran, dan manajemen masing-masing. Kata kunci: Pendidikan demokratis, Manajemen pendidikan dasar masyarakat. Abstract Education is basically an attempt to humanize in order to achieve intellectual, personal intelligence and interpersonal intelligence in self-students. Therefore, education and good management, as well as discipline and high responsibility towards education. Moreover discipline and responsibility must also be embedded in the self-learners. In this case to realize these goals required a paradigm and democratic education system that aims to prepare citizens to act in a democratic and critical thinking can be two things: First, democracy is a form of social life that most guarantees the rights of citizens either individually or in groups, so that students can understand the difference and pluralism. Second, democracy is a learning process, therefore students cannot be indoctrinated, manipulated by the lies ruling set aside in the subject matter. Because of the continuity of education depends on what and how education can transform the values of democracy, which recognizes the existence of pluralism, freedom, equality, and justice as well as loyal to the democratic system. Orientation of education can be seen by the four dimensions of education are the existence of students, teachers dimension, the dimension of lesson, and management that each of which management is well aligned and mutually determine. Keywords: Democratic education, management education.
1
Pendahuluan Perlunya
reorintasi
paradigma
pendidikan
akhir-akhir
ini
banyak
dibicarakan oleh para pakar pendidikan. Pembicaraan ini didasarkan atas realitas bahwa pendidikan tidak lagi menjadi wahana pembebasan terhadap anak didik. Bahkan pendidikan justru dijadikan indoktrinasi ideologi kekuasaan yang nota benenya termasuk pada kelompok kepentingan yang intoleran terhadap perubahan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran diri dalam memahami “makna pendidikan”. Realitas sejarah Indonesia membuktikan betapa institusi telah dijadikan “alat” melanggengkan kekuasaan,1 sebagai ajang indoktrinasi yang tertutup terhadap segala bentuk perubahan. Kenyataan demikian, menyebabkan situasi pendidikan semakin terpuruk dalam kondisi yang tidak karuan bahkan menyebabkan runtuhnya moralitas siswa. Dalam kaitan ini perlu dipahami secara seksama bahwa pendidikan acapkali ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya bertali temali dengan transfer of knowledge2 dan arena indoktrinasi juga merupakan media untuk membangun kedewasaan, kesadaran, dan kedirian peserta didik. Persoalan yang muncul, dapatkah pendidikan atau lebih spesifik sekolahsekolah kita melahirkan manusia
yang transformatif sehingga
mampu
memerankan dirinya sebagai agent of change dan agent of social control ? pendidikan yang diharapkan menjadi penyembuh penyakit masyarakat juga sudah terkontaminasi oleh kekuasaan. Rezim orde baru menjadikan pendidikan sebagai instrumen melanggengkan kekuasaan lewat indoktrinasi politik. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak lagi mendasarkan kerja mereka pada profesionalitas melainkan pada intruksi, petunjuk, dan pengarahan.3 Dengan kata lain, sekolah bukan lagi wahana yang bersifat demokratis melainkan merupakan lembaga birokratis. Dengan demikian maka yang terjadi adalah “elitisme pendidikan”. Elitisme pendidikan disini cenderung dipersepsikan bahwa pendidikan adalah proses social reproduction dan pendidikan adalah awal proses stratifikasi sosial dan merupakan alat bagi kelompok yang mampu agar anak-anaknya bisa
1
Ma’arif, Dalam Pendidikan untuk Demokrasi (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001), 9. Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 8. 3 Darmaningtyas, Pendidikan pada dan setelah Krisis (Yogyakarta: Pustaka Peelajar, 1999), 137. 2
2
mengganti kedudukan mereka dan menikmati fasilitas kekuasaannya. Pendek kata pendidikan lebih banyak dilihat sebagai lembaga yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi baru pada dunia kerja, dengan meningkatkan aspek ketrampilan hidup.4 Diakui sadar atau tidak, porsi tuntutan tugas ini lebih dominan dibandingkan dengan tugas dan hakekat pendidikan itu sendiri yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Akibatnya, kegagalan transformasi dari dunia pendidikan kedunia kerja, dengan indikator semakin besarnya angka pengangguran akan ditimpakan kepada dunia pendidikan. Belum lagi fungsi pendidikan untuk meratakan pendapatan juga masih mengalami kegagalan. Paulo Freire mengandaikan sebuah pendidikan populis yaitu praktek pendidikan pembebasan yakni pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi dan mampu mengarahkan serta mengendalikan perubahan itu. Dengan demikian, manusia dituntut untuk berfikir kritis transformatif dalam rangka menciptakan gagasan-gagasan otentik dan original. Dalam konteks ini yang amat kita perlukan adalah independensi institusional (sekolah) yang dapat mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dan pluralitas yang berpusat pada standart nasional juga lokal. Oleh sebab itulah, sistem dan orientasi pendidikan yang telah berjalan mapan perlu kita telaah ulang secara kritis melalui berbagai perspektif yang bisa mendukung analisa tersebut. Salah satunya kita perlu menggunakan kritik ideologi pendidikan yang sarat dengan doktrin-doktrin yang menindas; serta serangkaian kajian teoritis yang mendukung terjadinya hegemoni dan praktek pendidikan yang tidak sehat. Elitisme dan Populisme Pendidikan Dewasa ini manusia telah memasuki milenium ketiga yang ditandai dengan semakin menguatnya aset kapitalisme dan arena globalisasi pasar bebas. Tradisi manusia untuk mempertahankan eksistensi mereka melalui pendidikan mendapat tantangan yang sangat dahsyat. Karena pendidikan bagi sebagian manusia telah direduksi dan digunakan untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pendidikan yang selama ini mempunyai peranan strategis untuk memanusiakan manusia telah direduksi oleh kekuasaan, 4
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan menuju Civil Society (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001)
3
pendidikan dijadikan alat untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme, juga dijadikan komoditi yang dapat diperjual belikan.5 Dalam artian, pendidikan hanya dijadikan alat untuk memperoleh gelar akademis belaka. Dibanyak negara dewasa ini dominasi politik pada lembaga pendidikan semakin kuat. Hal ini dicerminkan dengan adanya kecenderungan pergeseran fungsi sekolah sebagai media sosialisasi nilai kearah indoktrinasi nilai-nilai yang berpihak pada kekuasaan.6 Semakin dominannya pengaruh birokrasi terhadap lembaga pendidikan dapat kita buktikan dengan adanya kecenderungan pendidikan yang bersifat sentralistik. Hal ini kita lihat dengan semakin berkembangnya birokrasi untuk menopang proses pengajaran tradisional yang semua mengarah pada regiditas (menghafal, mengingat, dan meniru). Birokrasi pusat cenderung menekankan proses pendidikan secara klasikal dan mikanistis.7 Akibatnya guru dan murid sebagai individu yang memiliki kepribadian tidak banyak mendapat perhatian. Kurikulum, guru, murid, serta prosedur pelaksanaan pengajaran disekolah ditentukan dari pusat dengan segala wewenangnya. Yang menghasilkan manusiamanusia dengan mentalitas “juklak” dan “juknis” yang siap diberlakukan secara seragam berdasarkan petunjuk pusat. Dalam konteks ini kita tidak bisa memandang sebelah mata terhadap sentralisasi pendidikan. Jika dilihat dari konteks tertentu telah menunjukkan hasil yang
menggembirakan
seperti
percepatan
pencapaian
target
kuantitatif
pendidikan. Namun demikian, dalam perspektif lain banyak pula hasil negatif yang dilahirkan dari sentralisasi pendidikan. Matinya produktifitas, matinya inisiatif, dan hilangnya kritisisme serta berbagai pengaruh negatif lainnya telah lahir dari praktek pendidikan yang sentralistik. Sebagai konsekwensi dari sentralisasi pendidikan yang berjalan selama Orde Baru, maka pendidikan selain mendapat tekanan dari kungkungan politik, juga mendapat tekanan yang sangat berlebihan dari lingkungan ekonomi, dengan menempatkan pendidikan (sekolah) sebagai instrumen dalam pembangunan, khususnya untuk menyediakan tenaga kerja produktif (social reproduction). 5
Freire, Politik Pendidikan, 175. Harefa, Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 62. 7 Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, 37. 6
4
Sehingga iklim yang ditanamkan dalam dunia pendidikan adalah untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan hasil yang melimpah. Selain itu tekanan kemiskinan dikalangan masyarakat telah merubah obsesi generasi muda bahwa kekayaan merupakan obat yang harus diperoleh dengan segala cara bahkan dengan biaya mahal sekalipun. Menurut mereka tujuan pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja yang menghasilkan keuntungan yang melimpah. Pendidikan hanya mempunyai tanggung jawaab untuk mencetak tenaga kerja, bukan lembaga yang menghasilkan the whole person.8 Pola pikir yang demikian pragmatis tersebut, akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil (out put) tanpa menikmati prosesnya. Sekolah hanya dijalani untuk memperoleh ijazah untuk bekerja. Akibat dari mentalitas tersebut, maka dalam dunia pendidikan muncullah generasi terdidik yang berwatak materialistik dan individualistik serta memiliki mentalitas pragmatis reduksionisyakni semangat dan keinginan mendapatkan sesuatu dengan cara yang sangat sederhana dan gampang. Pendek kata, pendidikan merupakan barang langka yang diperjual belikan untuk menghasilkan manusia-manusia yang serba elitis, materialistis, dan individualistis. Secara konseptual elitisme pendidikan akan bermuara pada sebuah konsep sebagaimana tabel berikut :
No 1 2
3
4
Paradigma Pendidikan Elitis Perencanaan Top Down Aspek
Indikator
Sentralisasi pengelolaan, sentralisasi kurikulum dan seragam Pelaksanaan Didasarkan intruksi Guru sebagai indoktrinator, sedangkan dan petunjuk murid sebagai obyek yang diperintah oleh guru, dan guru oleh murid Standar Nasional makro Segala kegiatan persekolahan yang berkaitan dengan kurikulum diatur GBPP Pemahaman Didasarkan atas Guru dilatih penataran, buku panduan tujuan dan pedoman dan pengajaran. Sedangkan murid diajari target petunjuk pusat P4, upacara, pakaian seragam.
8
The whole person (manusia yang utuh disini) berarti mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya yaitu iman, taqwa, budi pekerti yang luhur, penguasaan pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab dan kebangsaan, Dalam Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta: Renika Cipta, 2001), 137.
5
5
6
7
8
9
Evaluasi
Dilaksanakan pada wak-tu-waktu tertentu secara serempak Target Out Social reproduction Put yang melahirkan manusia-manusia reproduksionis dan pragmatis Orientasi Pengembangan intelek-tual yang diukur dengan standar angka (NIM) Kontrol Oleh atasan Sekolah
Hubungan dengan masyarakat
Terbatas pembangunan dana
Sekolah hanya menyediakan tempat untuk melaksanakan THB, UAN, dan UMPTN Sekolah diperjual belikan sesuai dengan tuntutan kapitalistik dan rawan manipulasi. Pemalsuan ijazah, persamaan, ekstensi dll
Siswa tidak bisa kreatif, inovatif, dan kritis serta mampu merefleksikan masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat Sekolah terus mendapat tekanan dari atasan dalam melaksanakan segala kegiatan, dan tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan yang merugikan negara pada Sekolah tidak pernah dan mempertimbangkan kebutuhan publik yang berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, social, dan budaya. Sekolah bersifat a-historis dan apolitik
Bangsa Indonesia yang telah dilanda krisis multidimensi ini, merupakan salah satu bentuk kegagalan pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai pengetahuan dan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa menuju masyarakat adil dan berperadaban tinggi. Indikasi ini bisa kita lihat perjalanan pendidikan selama orde baru berkuasa. Pendidikan dijadikan sarana indoktrinasi kekuasaan yang membatasi kebudayaan hanya pada pencapaian target kognitif an sich. Yang mengarahkan sumber daya manusia pada kebutuhan perkembangan industrialisasi (kapitalisme). Sementara nilai moral, nilai-nilai kebudayaan yang pluralistik diabaikan. Spektrum pengembangan inteligensi manusia hanya terbatas pada pengembangan intelektual dengan cara mengingat, menghafal, dan meniru yang pada nantinya akan usang ditelan masa. Sementara inteligensi emosional, inteligensi personal dan interpersonal juga mereka abaikan. Hasilnya hanya membentuk manusia-manusia yang dikuasai oleh keserakahan, kekerasan, dan tumpulnya rasa kemanusiaan.
6
Ilustrasi diatas merupakan sebuah refleksi kritis terhadap kegagalan pendidikan yang direncanakan secara mapan dan sentralistis birokratis. Oleh karena itu, kita perlu melakukan reorientasi paradigma pendidikan elitis menuju pendidikan populis demokratis. Dalam konteks ini Paulo Freire merumuskan pendidikan populis yaitu praktek pendidikan pembebasan yakni pendidikan yang mampu menetapkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi dan mempu mengarahkan serta mengendalikan perubahan itu. Dengan demikian, manusia dituntut untuk berfikir kritis transformatif dalam rangka menciptakan gagasangagasan otentik dan original.9 Dalam konteks ini yang amat kita perlukan adalah independensi institusional (sekolah) yang dapat mentransformasikan nilai-nilai demokrasi dan pluralitas yang berpusat pada standar nasional juga lokal. Sejalan dengan proses demokratisasi, kita juga perlu merubah menejemen pendidikan yang sentralistik kearah desentalistik pendidikan yang bertumpuh pada tiga pilar penting, yaitu reformasi aspek regulator (berkaitan dengan kurikulum), reformasi aspek profesi ( berkaitan dengan posisi guru dan murid), dan reformasi aspek manajemen (perbaikan menejemen pendidikan, merubah manejemen pendidikan pada manajemen berbasis sekolah). 10 Untuk mempertegas paradigma pendidikan populis yang berorientasi demokratis ini, kita bisa lihat table berikut ini :
1
Paradigma Pendidikan Populis Perencanaan Bottom Up
2
Pelaksanaan
3
Standar
4
Target
5
Evaluasi
No
Aspek
Indikator
Desentralisasi pendidikan yang mengarah pada school based management. Didasarkan azas Guru dan murid sebagai obyek profesionalitas yang utuh Out put nasional makro, Segala kegiatan persekolahan proses lokal mikro yang berkaitan dengan kurikulum diatur GBPP Sesuai dengan kebutuhan Lebih mengutamakan kebutuhan dan kemampuan sekolah publik sebagai stick holder Dilaksanakan pada waktu Selain THB, EBTANAS/UAN, tertentu dengan berpusat dan UMPTN ditambah dengan pada siswa ujian lokal.
9
Ma’arif, Dalam Pendidikan, 23. Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, 11.
10
7
6 7
8 9
Target Out Educeted and civilized Put human being Orientasi Pengembangan aspek intelektual, personal dan sosial. Kontrol Oleh orang tua, peserta Sekolah didik, dan masyarakat. Peran orang Terlibat dalam proses tua siswa pendidikan, kecuali dan menentukan nilai. masyarakat
Siswa menjadi sosok yang kritis, kreatif dan populis Siswa mempunyai kepekaan sosial yang berjiwa demokratis transformatif Terjadi komunikasi interaktif antara sekolah dan masyarakat. Orang tua murid atau masyarakat bersikap pro aktif terhadap segala kebijakan, sehingga tercipta community based school
Menggagas Pendidikan Masa Depan Pendidikan Transformatif Dengan dikeluarkannya undang-undang No. 22 th 1999 tentang otonomi daerah, maka dimulailah salah satu rentetan proses demokratisasi untuk merubah sistem yang sentralistik menjadi desentralisasi. Yakni suatu perubahan wawasan baik dalam pemerintahan maupun pembangunan. Dalam bidang pembangunan terjadi perubahan wawasan, dari wawasan yang bersifat top down berubah menjadi bottom up.11 Begitu juga disektor pendidikan, peningkatan akses pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan diberikan secara otonom terhadap lembaga pendidikan. Berpijak dari Undang-undang No. 22 th 1999 tersebut, otonomi pendidikan paling tidak mengandung dua hal penting : Pertama, menyangkut substansi filosofis pendidikan yang berkaitan dengan tujuan pendidikan.
Kedua,
menyangkut dimensi politis. Dimana iklim politik harus dapat mendukung terciptanya inisiatif warga untuk mengembangkan pendidikan alternatif yang tidak memiliki ketergantungan yang berlebihan dengan pemerintah pusat serta mampu mereformasi sistem dan teknik operasionalnya yang betul-betul up to date. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan. Dengan demikian dalam pembahasan ini, peneliti merumuskan beberapa kajian tentang pendidikan transformatif yaitu: Demokratisasi pendidikan; desentralisasi pendidikan; perbaikan kurikulum; dan paradigma yang berorientasi demokrasi.
11
Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, 12.
8
a. Demokratisasi Pendidikan, untuk mewujudkan demokratisasi pendidikan harus dimulai dari struktur masyarakat yang juga bisa memahami arti demokrasi.12 Dalam kaitan ini Syafi’ie Ma’arif merumuskan bahwa demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola pikir, atau prilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi. Demokrasi adalah proses yang masyarakat dan negara berperan didalamnya untuk
membangun
kultur
dan
sistem
kehidupan
guna
menciptakan
kesejahteraan, menegakkan keadilan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, demokrasi terbentuk melalui struktur masyarakat yang mengakui perbedaan, mengakui pluralisme, dan kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebagai prinsip dasar demokrasi adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia dari segala aspek kehidupannya. Dalam konteks ini Tilaar merumuskan tahapan-tahapan menuju kehidupan demokrasi. Pertama, dalam bidang politik berarti semua anggotanya mempunyai hak dan kewajiban politik yang sama tanpa memandang SARA. Kedua, bidang ekonomi berarti semua anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan kehidupan ekonomi. Ketiga, bidang pendidikan semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik juga mempunyai kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan yang berkualitas.13 Oleh karena itu perwujudan sistem yang demokratis merupakan keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat didalamnya (pemerintah, guru, murid, dan masyarakat). Demokrasi pendidikan lebih memandang kesejajaran antara guru dan murid. Guru bukanlah segala-galanya yang bisa memberikan segudang pengetahuan yang tidak bisa dibantah, begitu juga siswa, siswa adalah manusia aktif yang harus mendapatkan medan gerak, medan ekspresi, dan apresiasi.14 Untuk itu, keberlangsungan dan
keberhasilan
pendidikan demokrasi
memerlukan
reformasi dibidang pendidikan. Reformasi yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebebasan akademik dengan kata lain otonomi pendidikan.
12
Dalam konteka ke Indonesiaan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam perkmbangan lebih lanjut, demokrasi menunjukkan makna yang universal tetapi tumbuh berkembang secara dinamis. Misalnya demokrasi liberal, demokrasi sosialis, demokrasi terpimpin juga demokrasi pancasila. Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, 28. 13 Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, 11. 14 Supeno, Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan (Magelang: Pustaka Paramedia, t.t.), 35.
9
Wewenang yang semula ditangani oleh pemerintah pusat mulai ditangani oleh daerah. Kewenangan itu antara lain menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan dan pengelolaan sekolah, penetapan kurikulum lokal yang mengacu pada kurikulum nasional, serta wewenang melaksanakan evaluasi yang bermuara pada school based management, pengadaan buku pelajaran serta mengadakan akreditasi sekolah yang ada diwilayahnya. Begitu juga dalam administrasi, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat memberhentikan tenaga kependidikan, mengatur gaji dan tunjangan serta kesejahteraan dan pengembangan profesionalitasnya.15 Hal tersebut diatas, mengutip apa yang dikemukakan John Dewey menegaskan bahwa “Sosialisasi nilai-nilai demokrasi harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis…”16 secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebasan akademik diperlukan untuk mengembangkan prinsip demokrasi. b. Desentralisasi
Pendidikan,
reformasi
total
yang
melanda
kehidupan
bermasyarakat bernegara dewasa ini telah banyak memberikan perubahanperubahan yang mendasar didalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, hukum, serta pendidikan. Salah satu hasil dari gelombang reformasi total ialah lahirnya undang-undang RI No. 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah dan undang-undang RI No. 25 tahun 2000 tentang perimbangan pusat antara pemerintah pusat dan daerah.17 Hal ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk melakukan reformasi sistem pendidikan nasional yang selama ini sangat sentralistik dan cenderung totalisme. Sehingga banyak mematikan kreatifitas baik secara institusional (sekolah) maupun secara personal yang melekat pada diri siswa. Secara konseptual, otonomi daerah sudah tidak bisa kita ragukan lagi sebagai wacana tanding dari sistem pemerintahan yang sentralistik. Akan tetapi praksisnya otonomi daerah juga otonomi pendidikan yang masih menghasilkan asumsi pro-kontra. Disatu sisi, otonomi daerah atau otonomi pendidikan hanya akan melahirkan wajah-wajah baru pemerintahan yang lebih menindas. Dengan kata lain, otonomi itu dapat ditafsirkan sebagai kesempatan yang berbuat semaunya sendiri, sesuka hati, bahkan cenderung 15
Kartono, Menembus Pendidikan yang Tergadaikan (Yogyakarta: Galang Press, 2002), 50. Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, 58. 17 Harefa, Pendidikan Di Era Serba Otonomi (Jakarta: Kompas, 2001), 24. 16
10
sangat menonjolkan sikap egosentrisme. Pada sisi yang lain otonomi daerah telah memberikan angin segar terhadap berlangsungnya demokratisasi dalam kehidupan manusia yang menyangkut kebutuhan sosial, dan segala hal yang baik bagi masyarakat tertentu. Gelombang demokratisasi juga mempunyai konsekwensi lebih dalam desentralisasi pendidikan. Dalam artian, otonomi disini akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal untuk mencapai hasrat yang lebih produktif dalam pengelolaan pendidikan (sekolah). Dengan demikian desentralisasi pendidikan akan memberikan dampak terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan yang efisien.18 Oleh karena itu, arah dari desentralisasi pendidikan adalah reformasi sistem pendidikan nasional yang bertumpu pada tiga aspek dasar yaitu :reformasi aspek regulator, reformasi aspek profesi dan reformasi aspek manajemen. Jadi, diera otonomi ini, pendidikan bergantung pada daerah dan masyarakat sebagai lembaga pengelola pendidikan, Oleh karena itu kualitas sekolah masa depan bergantung pada komitmen daerah masing-masing untuk merumuskan visi dan misinya. Perbaikan Kurikulum Kritik yang sangat tajam terhadap kurikulum pendidikan nasional adalah karena terlalu sentralistik dan tidak kontekstual. Dan ternyata kurikulum tersebut terbukti gagal karena tidak bisa menciptakan manusia secara individual maupun bangsa yang mandiri. Oleh karena itu kurikulum yang sekarang dan yang akan dating harus disusun berdasarkan semangat desentralisasi. Semangat dsentralisasi yang mengarah manajemen berbasis sekolah dan pendidikan yang berbasis mesyarakat. Jelas menuntut banyak perubahanperubahan yang betul-betul sesuai dengan kondisi obyektif masyuarakat. Perbaikan-perbaikan tersebut antara lain : a. Kurikulum Yang Berbasis Masyarakat, penyusunan kurikulum hendaknya mempertimbangkan segala potensi alam, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana yang tersedia didaerah. Atau minimal terjadi perimbangan muatan kurikulum yang sekarang mulai dilaksanakan. Dalam artian, 40 persen kurikulum lokal, 60 kurikulum nasional. Dengan demikian 18
Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, 87.
11
kurikulum tidak hanya mendasarkan pada kebijakan pusat yang sangat sentralistis, tetapi berbasis pada kebutuhan dasar dan potensi masyarakat. Sehingga dapat meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antara yang dikota dengan yang didesa. Selain dari pada itu, desentralisasi kurikulum yang berbasis masyarakat agar berjalan efektif juga harus diikuti dengan desentralisasi sistem evaluasi, artinya setiap daerah dapat menentukan sistem evaluasi sendiri yang lebih memadai serta sesuai dengan konteks kemampuan kognitif siswa, efektif, dan psikimotoriknya. Oleh karena itu, sistem evaluasi nasional mulai THB, UAN, sampai UMPTN harus diganti atau minimal diperbaharui.19 b. Kurikulum Yang Berorientasi Demokrasi, belajar dari pengalaman masa lalu, pendidikan telah terbukti gagal membentuk kehidupan yang demokrasi, karena
pendidikan
telah
dijadikan
alat
politik
penguasa
untuk
mempertahankan status qua dan ideologi militeristik. Selain itu, pendidikan berjalan secara monoton dan tidak pernah ada kompromi terhadap perubahan. Diera otonomi ini, seiring dengan semangat desentralisasi pendidikan, maka pendidikan harus banyak melakukan perubahan yang dinamis, agar tercipta dialektika antara sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan pada masa yang akan dating harus melakukan peran mendemokratisasikan masyarakat agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Untuk itu, diperlukan institusi yang mandiri dan dan latar belakang kehidupan dan penghidupan masyarakat. Misalnya masyarakat agraris akrab berbeda dengan masyarakat metropolitan dan modern dan sebagainya.20 Oleh Karena itu, dalam konteks masyarakat Indonesia pendidikan demokrasi harus banyak menanamkan prinsip pluralisme sebagai manifestasi dari “Bhineka Tunggal Ika”. Dengan kata lain pendidikan demokrasi disini harus mampu menumbuhkan kesadaran, pemahaman, dan penghargaan bahwa perbedaan dalam masyarakat adalah sesuatu yang alami semakin diperlukan. Mengingat kemajuan komunikasi dan informasi menjadikan perbedaan semakin terbuka
19 20
Buchori, Pendidikan Antisipatoris (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 59. Djumbransyah, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994), 118.
12
dan transparan,
21
atau secara normatif, perbedaan dimasyarakat merupakan
rahmat yang dapat melahirkan kehidupan yang dinamis. Sejalan dengan itu, dalam pendidikan pluralistik dan demokratis, siswa tidak hanya belajar bagaimana harus berprilaku sebagaimana aturan kemauan penguasa yang ada, tetapi juga harus belajar bagaimana berfikir kritis terhadap aturan penguasa yang ada. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang pluralistic dan demokratis, pendidikan harus mampu mengembangkan critical thingking terhadap realitas. Dengan kata lain, paradigma pendidikan yang berorientasi demokrasi serta dapat mengembalikan arah pendidikan kepada enam konsep dasar yang telah dirumuskan oleh UNESCO yaitu: Learning to Know, Learning to Do, Learning to Be, Learning to Live Together, Learn How to Learn, Learning Throughout Life.22 Dengan demikian, pendidikan tidak hanya dipandang simbolnya saja, apakah sekolah negeri atau swasta. Akan tetapi bagaimana sekolah mampu mentransformasikan manusia menjadi manusia yang utuh. Kurikulum yang berorientasi demokratis lebih identik dengan karakterisitik kurikulum humanis. Menurut para humanis kurikulum berfungsi menyediakan pengalaman (pengetahuan) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhdap diri sendiri, orang lain, dan dan belajar. Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, juga mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Guru harus mampu memberikan dorongan kepada murid atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru tetapi juga murid. Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disenangi murid. Dalam 21
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi, 77. Mastuhu, Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), 132. 22
13
evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang biasa terutama subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik tidak ada kriteria. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri.23 Menuju Pendidikan yang Populis Demokratis Membentuk masyarakat Indonesia baru, yakni masyarakat yang yang berperadaban tinggi (civil society) tentunya memerlukan berbagai paradigma baru dan menghapus paradigma lama yang sudah gagal. Masyarakat yang ekslusif, sentralistik, dan yang mematikan inisiatif berfikir bangsa bukanlah merupakan paradigma yang kita inginkan. Paradigma baru pendidikan nasional harus dapat mengembangkan tingkah laku manusia yang mampu menjawab tantangan masyarakat yang semakin terancam disintegrasi. Paradigma tersebut haruslah mengarah pada suatu bangsa bersatu serta demokratis dengan mengedepankan “Bhinneka tunggal Ika”. Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik baik dalam manajemen maupun dalam penyusunan kurikulum harus diubah dan disesuaikan pada kepentingan masyarakat sebagai bagian dari demokrasi. Demikian pula dalam menghadapi kehidupan global yang kompotitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi didalam kerjasama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas dengan mengacu pada prinsip “Link and Match”.24 Masyarakat Indonesia yang akan kita wujudkan adalah masyarakat dengan sistem politik yang berkedaulatan rakyat. Sistem ekonomi yang bertumpuh pada kekuatan ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan SDA yang ada disekitarnya. Lebih dari itu, kita menginginkan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma agama yang menghormati pluralisme. Oleh karena itu pendidikan demokrasi juga harus menanamkan nilai-nilai kebudayaan untuk melahirkan kembali manusia-manusia yang berbudaya yang diwujudkan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan kehidupan hukum didalam masyarakat. Meminjam 23
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 90. 24 Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan, 5.
14
istilahnya Tilaar, pendidikan demokrasi dapat melahirkan manusia yang berpendidikan dan berperadaban tinggi. Yaitu terciptanya kehidupan yang kondusif dan dinamis dalam koridor norma-norma serta nilai-nilai fundamental yang ada dimasyarakat sehingga masyarakat tersebut memiliki identitas diri yang kuat, yakni terciptanya masyarakat madani (civil society).25 Dalam konteks ke Indonesiaan masyarakat madani akan selalu berkorelasi dan sangat relevan dengan adanya pluralisme dan asaz kebhinnekaan bangsa Indonesia dalam membangun kehidupan yang ideal memasuki mellenium ketiga. Dengan demikian, masyarakat madani yang kita cita-citakan adalah masyarakat yang mengakui akan harkat dan martabat manusia. Sejalan dengan itu Hikam merumuskan masyarakat madani yaitu masayarakat yang mengakui akan kebebasan individu untuk berkarya terlepas dari hegemoni negara dan menekankan kebebasan individu yang bertanggung jawab. Dalam kaitan ini, mengambil pemikiran de Tocqueville, Hikam merumuskan empat ciri utama civil society yaitu, kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadap dengan negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Oleh karena itu, dalam mengembangkan pendidikan demokrasi, pendidikan harus mampu membangun sistem nasional yang terbuka, mengakomodir potensi budaya yang plural serta menormalisasikan hukum ketatanegaraan yang berlaku dengan menjunjung tinggi supremasi hukum. Pendek kata, masyarakat demokrasi adalah masyarakat yang sistem pemerintahannya bersih, bermoral, dan bertanggung jawab. Salah satu konsep pendidikan demokrasi, sebagaimana telah dipopulerkan oleh Paulo Freire adalah pendidikan pembebasan (emancipatory)26 yang menjelaskan adanya relasi sosial yang timpang, menindas, mendominasi dan mengeksploitasi. Relasi-relasi itu perlu diubah agar menjadi setara saling menghargai dan memiliki kepekaan sosial. Itulah salah satu inti dari tujuan pendidikan pembebasan (demokrasi). Begitu juga dalam sistem pendidikan yang sentralistik harus dirubah pada sistem desentralisasi sebagai manifestasi dari paradigma pendidikan populis demokratis. 25 26
Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1999), 3. Freire, Politik Pendidikan, 2.
15
Kesimpulan dan Saran Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa gagasan tentang paradigma pendidikan sebagai berikut: a. Rezim Orde Baru menjadikan sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan mereka lewat indoktrinasi politik. Yang mengakibatkan kepala sekolah, guru serta murid tidak lagi mendasarkan pada profesionalitas, melainkan pada intruksi, petunjuk, dan pengarahan dari atasan. b. Sejalan dengan fungsinya sekolah sebagai media indoktrinasi nilai-nilai yang pro status quo maka kegiatan yang berbau ideologi negara mendapatkan porsi waktu yang berlebihan. Misalnya mata pelajaran yang diberikan (PPKN, PSPB, P4). c. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk memanusiakan manusia agar mencapai kecerdasan intelektual, kecerdasan personal, dan kecerdasan interpersonal pada diri anak didik. Oleh karena itu, pendidikan memerlukan pengelolaan dan menejemen yang baik, serta disiplin dan tanggung jawab yang tinggi terhadap pendidikan. Lebih dari itu disiplin dan tanggung jawab tersebut juga harus ditanamkan pada diri peserta didik. Dalam hal ini untuk mewujudkan cita-cita tersebut dibutuhkan sebuah paradigma dan sistem pendidikan demokratis yang bertujuan mempersiapkan warga masyarakat untuk bertindak demokratis serta dapat berfikir kritis akan dua hal : Pertama, demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hakhak warga masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok, sehingga peserta didik bisa memahami adanya perbedaan dan pluralisme. Kedua, demokrasi adalah proses pembelajaran (learning process), oleh karena itu peserta didik tidak dapat didoktrin, dimanipulasi oleh kebohongan-kebohongan penguasa yang disisihkan dalam materi pelajaran. Karena kelangsungan pendidikan
tergantung
pada
apa
dan
bagaimana
pendidikan
dapat
mentransformasikan nilai-nilai demokrasi, yakni mengakui adanya pluralisme, kebebasan, persamaan hak, dan keadilan serta loyal pada sistem yang bersifat demokratis. Sebagaimana yang diinginkan oleh Alexis de Toqueville dalam masyarakat madani (civil Society)
16
d. Tujuan jangka panjang pendidikan adalah bagaimana pendidikan betul-betul bertanggung jawab terhadap out put pendidikan itu sendiri, serta mampu meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkannya agar dapat berbuat banyak bagi kemandirian dan kemajuan bangsa baik bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Orientasi seperti ini dapat dilihat berdasarkan empat dimensi pendidikan, yakni dimensi status siswa, dimensi guru, dimensi materi pengajaran, dimensi manajemen yang masing-masing memiliki keterkaitan yang erat dan saling menentukan. Oleh karena itu keberadaan sekolah yang otonom senantiasa memerlukan partisipasi segenap masyarakat khususnya guru, siswa, orang tua, dan masyarakat. Agar terbentuk apa yang kita kenal “school based management dan community based educational management”. Oleh karena itu, pada masa sekarang dan yang akan dating pendidikan harus mampu mendemokratisasikan masyarakat. Agar masyarakat dan bangsa Indonesia mampu melakukan penalaran kritis serta terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan didalam pendidikan. Disinilah sebenarnya pentingnya pendidikan dalam mewujudkan anggota masyarakat sebagai warga negara yang demokratis egaliter, mandiri, menghargai pluralisme, dan apresiatif terhadap kelompok minoritas.
17
DAFTAR PUSTAKA Buchori, Mochtar. Pendidikan antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Darmaningtyas. Pendidikan pada dan setelah Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Djati, Sidi Indra. Menuju Masyarakat Balajar. Jakarta: Paramadima, 2001. Freire, Paulo. Politik Pendidikan Kebudayaa, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. F, O’neil William. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Hikam, AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1999. Harefa, Andrias. Pendidikan Di Era Serba Otonomi. Jakarta: Kompas, 2001. . Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Indar, Djumbransyah. Filsafat Pendidikan. Surabaya: Karya Abdi Tama, 1994. Kartono, ST. Menembus Pendidikan yang Tergadaikan. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Ma’arif, Syafi’i. Dalam Pendidikan untuk Demokrasi. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001. Mastuhu, Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003. Supeno, Hadi. Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan. Magelang: Pustaka Paramedia, t.t. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Tilaar, H. A. R. Paradigma Baru Pendidikan Nasiona. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001. Usa, Ed. Muslih. Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. Zamroni. Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan menuju Civil Society Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001.
18