Mengaudit Demokratisasi Partai Di tengah riuhnya survei elektabilitas nama-nama yang dimungkinkan sebagai calon presiden RI 2014, kelembagaan partai politik tak ubahnya memiliki perwatakan yang sama: patriarkis (di tengah arus demokratisasi). Karena itu, calon-calon yang muncul dalam grafik survei akhirnya lahir dari rahim logika pengelolaan lembaga patron-klien. Posisi partai tak pernah naik tingkat dalam trajektori demokratisasi lembaga demokrasi. Dalam struktur budaya organisasi yang patriarkis tersebut, ada tiga tingkatan demokratisasi yang berlaku dalam beberapa proses politik (kandidasi, decision making, dan aktivitas elektoral). Tingkatan pertama adalah ketika terbukanya ruang kesempatan berpendapat dan adanya konsensus di dalamnya tanpa intervensi ‘hak veto’ seorang patron. Tingkatan kedua, adanya kesempatan berpendapat dengan keputusan tetap berada pada seorang patron. Dan tingkatan yang paling rendah adalah ketika patron partai tidak membuka ruang deliberasi dan diskusi dalam lembaga partai, sehingga otomatis tidak ada konsensus di dalamnya karena proses politik berada di bawah kendali patron. Demokratisasi yang pertama sering diformulasikan melalui terminologi ‘konvensi’ dalam demokrasi partai di Barat. Namun syarat penting tingkat pertama ini adalah elit partai benar-benar merepresentasikan preferensi politik dari konstituen di masing-masing daerahnya. Di Indonesia, partai politik statis berada pada tingkatan demokratisasi kedua sejak runtuhnya multi-dimensional authoritarianism orde baru. Bentuk konkritnya: terdapat proses saling mendengarkan dalam proses politik krusial (kandidasi) dengan keputusan final diserahkan kepada ketua umum atau pembina partai. Partai politik di negeri ini tidak mempunyai tradisi diseminasi kekuasaan, hanya membagi kekuasaan ke dalam elemen tertentu yang selanjutkan otoritas keputusan tetap berada di tangan seorang penguasa pemegang struktur oligarkhi partai. Alhasil, pengelolaan partai yang patrimonial (atau matrimonial) melahirkan pemimpin negara dengan watak oligarkhis. Keputusan cukup dengan mengkonsolidasikan kekuatan strategis hanya untuk memastikan posisi kursi tetap aman. Pemilu memang dijalankan, dan rekruitmen kabinet mendasarkan pada proporsi multi-dimensi (geopolitik, gender, dan proporsi kue koalisi), tetapi proses pengambilan keputusan dan kebijakan akan terus menggunakan konsolidasi anti-demokrasi. Padahal kita mahfum bahwa kandidasi hampir semua jabatan di lembaga negara strategis (presiden, anggota dewan) dan state auxiliary institutions (KPK, KY, KomnasHAM, dll) tersaring melalui tangan-tangan partai via fraksi di DPR. Dan juga praktek koruptif terjadi dalam trianggulasi politik kepartaian: parlemen, kabinet, dan personalisasi dalam faksi. Untuk memahami hal ini, ada tiga sebab penting mandegnya demokratisasi di lembaga partai politik. Pertama, tidak adanya audit demokrasi di partai politik. Kita begitu hirau dengan pelembagaan demokrasi melalui standar-standar elektoral. Dalam konteks kebijakan publik, kita juga disibukkan untuk mengukur mekanisme partisipatory policy seperti musrenbang (musayawarah rencana pembangunan). Akhirnya, partai politik sebagai lembaga yang secara konstitusional sangat kuat memegang otoritas di era demokratisasi, justru lepas dari perhatian atas pertanyaan: bagaimana sebenarnya partai politik dikelola dalam circumstance demokrasi? Lembaga audit demokrasi internasional seperti
Democracy Audit pimpinan teoritikus audit demokrasi Inggris David Beetham dan Freedom House yang telah banyak dikutip karena kajian-kajiannya dalam mengukur demokrasi negara-negara di dunia, tidak mampu menyentuh demokratisasi partai di Indonesia. Kedua, belum ada yang mampu menembus dan apalagi mengukur aspek transparansi dan akuntabilitas lembaga partai politik dan struktur teras pengurus partai. Kita mahfum dengan pengelolaan partai yang tertutup dan personal sementara struktur bendahara menjadi simbol pemenuhan regulasi kelembagaan karena akhirnya alur keluar masuk dana partai berada pada aktivitas personal yang terfragmentasi ke dalam faksi-faksi di tubuh partai. Seolah partai politik menjadi untouchable institution dalam ruang demokrasi sekalipun berstatus democratic institution. Kita bisa menyentuh parlemen, jajaran kabinet, dan imperium birokrasi, tetapi begitu sulit menembus kelembagaan partai yang juga sebagian sumber dananya berasal dari APBN. Pendekatan-pendekatan baru untuk mengukur demokrasi belum juga memasukkan aspek ini dalam mengaudit demokrasi di tubuh partai. Seperti Michael Stoiber and Heidrun Abromeit (2006) dalam A New Measurement of Democracy: The Inclusion of The Context belum mampu meletakkan akuntabilitas dan transparansi parpol sebagai sebuah pendekatan baru. Sementara Michael Coppendge and John Gering (2011) misalnya, dalam Conceptualizing and Measuring Democracy: A New Approach tidak memasukkan problema kedua ini ke dalam 33 indikator yang dikonseptualisasikannya. Ketiga, kalaupun kita sudah melakukan audit demokrasi terhadap partai politik, indikator dan standard yang digunakan adalah dengan mereplikasi pengalaman demokrasi Barat. Padahal jelas kita menganut asas penting dalam berdemokrasi di Indonesia: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Standar audit yang kita lakukan masih beragam dengan ukuran yang kadang dipesan dan terdiferensiasi dalam banyak studi dan perspektif demokrasi. Mengukur Demokrasi Banyak teori barat baik yang klasik maupun modern seperti Duverger (1954), Sartori (1976), Katz and Mair (1995), dan Held (2006) mengukur demokrasi dengan melihat derajat kualitas kompetisi yang terjadi antar elit dan partai politik. Sebagai misal, Robert Dahl (1994) menggariskan ukuran demokrasi (polyarchy) ke dalam dua dimensi: kompetisi (contestation) dan partisipasi (inclusiveness). Intinya sederhana untuk mengukur demokrasi, yaitu dengan mengajukan pertanyaan bagaimana partai politik berkompetisi dan cara negara membangun mekanisme partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Konsep yang berangkat dari pengalaman demokrasi barat ini diadopsi negara untuk mengukur demokrasi di Indonesia dalam Indeks Demokrasi Indonesia (2009) ke dalam tiga aspek pokok: kebebasan sipil (civil liberties), hak-hak politik (political rights), dan lembaga demokrasi (democratic institutions). Kita tidak akan menemukan musyawarah baik secara harfiah maupun terminologis dari 3 aspek, 11 variabel, dan 28 indikator yang dirumuskan dalam indeks tersebut. Publik akan mengalami mistreatment jika negara masih menganggapnya sebagai suara dalam pemilu dan angka dalam catatan statistik. Kita perlu standar tersendiri untuk memproyeksikan idealitas demokrasi bangsa dan demokrasi negara. Kegagalan dalam mengaudit demokrasi di tubuh partai akan berimbas pada pengelolaan negara
yang patrimonial dan oligarkis. Sehingga musyawarah (dan perwakilan) sebagai sebuah konsep adalah mekanisme sederhana untuk menegosiasikan kepentingan, daripada sekedar melakukan simplifikasi kepentingan melalui kesetaraan numerik dalam pemungutan suara. Artinya, melihat demokrasi di tubuh partai tidak terletak pada pertanyaan ada atau tidak adanya pemungutan suara. Tetapi pada: ada atau tidak adanya konseksus, deliberasi, dan aktivitas sederhana dalam bentuk musyawarah. Oleh karena itu, hal yang justru menjadi indakor penting untuk mengaudit demokratisasi di tubuh partai politik adalah dengan melihat mekanisme dan kualitas musyawarah yang terjadi. Mekanisme konvensi yang well-known dalam kandidasi di tubuh partai tentu hanya menjadi satu bagian dalam proses musyawarah tersebut. Demokrasi di Indonesia tidak bisa diukur dengan sejauh mana voter turnout di pemilu. Pemilu sebagai mekanisme pemungutan suara bukan merupakan formulasi musyawarah karena tidak ada semangat dialog di dalamnya. Musyawarah menghendaki adanya dialog untuk mencapai konsensus (mufakat), bukan terletak pada mayoritas sebagai sebuah mekanisme konsensus. Konsepsi organisasi multi-level yang dipakai oleh partai mampu memfasilitasi proses musyawarah dalam kandidasi elit partai seperti sebagai calon presiden misalnya. Partai politik perlu membangun proses politik melalui mekanisme budaya assembly-aggregation dari tingkat ranting sampai di tingkat pusat. Sebuah mekanisme budaya untuk membangun adanya konsolidasi musyawarah secara berjenjang. Artinya ada musyawarah bertingkat dari individu di ranting, terus dibawa dalam level daerah oleh pimpinan ranting/cabang, baru kesepakatan daerah dimusyawarahkan kembali di level pusat. Jika tidak demikian, corak demokrasi yang terjadi di partai politik sekarang akan tetap berada pada dua pilihan: mekanisme patrimonial yang dipegang oleh seorang patron partai, dan kuantifikasi aspirasi melalui replikasi demokrasi partai di barat seperti konvensi. Dalam konteks kuatnya partai politik dalam penyelenggaraan demokrasi saat ini, kita perlu membangun pemahaman bahwa untuk mengaudit demokrasi sebuah negara adalah dengan melihat bagaimana proses demokratisasi terjadi di tubuh partai politik. Dan semoga polity (masyarakat politik) mempunyai kesadaran yang sama atas hal ini. Arya Budi Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
Partai: Tantangan Lembaga Demokrasi ke Organisasi Demokratis Keputusan model kandidasi caleg di banyak partai politik menunjukkan kuatnya otoritas patron di dalam partai. Dasarnya sederhana: semua nama yang masuk daftar bakal calon harus berada di bawah persetujuan seorang pimpinan tertinggi baik secara struktural maupun kultural. Artinya, partai politik tidak mempunyai mekanisme organisatoris dan sistematis dalam proses kandidasi karena proses demokrasi dan berjalannya sistem diamputasi oleh kuasa veto satu orang di dalam partai. Namun demikian, patron di dalam partai politik sebenarnya berkepribadian politik ganda. Secara internal kepartaian, dia adalah political angel (malaikat), namun juga bisa menjadi political devil (iblis). Malaikat karena dia memjadi pemersatu yang mampu mendamaikan faksionaliasi di dalam partai, atau paling tidak mampu meredam faksionalisasi dari dampak destruktif yang ditimbulkannya. Iblis karena seorang patron partai sangat berpotensi merusak dan mengamputasi sistem pengorganisasi partai dan mekanisme demokratis yang sudah ditata dan disepakati bersama dalam internal partai. Kepribadian kedua inilah yang berimplikasi pada turbulensi politik di dalam internal partai. Sementara secara konstitusional, seorang tokoh hanya mampu menjadi presiden apalagi anggota dewan melalui satusatunya kanal gelap: partai politik Richard S.Katz (The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy, 2001) dalam bahasa yang lain menyatakan bahwa salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) adalah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang sederhana: partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi atau pemilihan kandidat akan absen dari refleksi perwajahan publik. Dan yang muncul adalah perwajahan elit partai karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasarkan pada selera elit partai. Muara atas hal ini fatal: kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campign (kampanye manipulative). Sementara, figur yang diterima publik gagal naik pentas karena tidak sesuai dengan elit/patron partai sebagai sutradara. Hal inilah yang menjelaskan turbulensi politik di beberapa partai saat ini sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Sehingga di titik inilah, wacana demokratisasi dalam proses kandidasi menjadi penting bagi pelembagaan demokrasi yang lebih baik. Dalam pengalaman pengorganisasian partai-partai di dunia, ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat. Pertama adalah konvensi atau kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai. Ada dua variasi, pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voters (anggota partai) hanya diwakili oleh delegasi atau selected voters seperti kantor cabang partai politik. Kedua adalah pemilihan tertutup, yaitu Partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang bisa diikuti oleh anggota partai di seluruh daerah. Dan terakhir adalah pemilihan terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan untuk menentukan kandidat yang akan diusungnya dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Kendala Kandidasi
Namun democratizing candidate selection di Indonesia, kita menemukan empat kendala pokok. Pertama, sistem multipartai sulit mengadopsi konvensi karena segmentasi sosial bersifat cair dan terpencar ke banyak kutub politik. Sehingga konvensi atau proses sleksi kandidat terbuka sebuah partai belum tentu menarik bagi kebanyakan publik karena kekuatan politik yang terbagi lebih dari tetra-polar akan saling bersahutan dalam publisitas media yang menjadikannya tak terdengar jelas. Konvensi partai yang kuat dalam tradisi politik di Amerika terjadi karena sistem kepartaian berada dalam skema oposisi biner. Artinya, dua kekuatan politik yang dominan di dalam struktur sosial akhirnya menimbulkan tuntutan publik untuk melakukan kandidasi secara terbuka karena kontestasi di dalam internal partai berbobot seimbang dengan kontestasi di luar dengan partai lawan. Kedua, politisi partai belum cukup siap untuk menghadapi munculnya faksionalisasi politik sebagai sebuah keniscayaan di dalam organisasi partai. Penolakan sejumlah elit politik untuk menyelenggarakan konvensi atau mekanisme demokratis di tubuh partai di media beberapa hari ini, lebih diakibatkan oleh kekhawatiran akan munculnya konflik internal. Ketiga, adanya eksklusifitas di dalam partai politik. Eksklusifitas ini menyangkut budaya politik di tubuh lembaga partai. Partai cenderung dikelola secara sentralistis sehingga keputusan politik dan penentuan kandidat partai berada di bawah satu atau beberapa tangan elit partai di level pusat. Eksklusivitas inilah yang menunculkan tradisi konstelasi politik nasional: ketua umum partai adalah tiket paling efektif untuk mendapatkan kuris calon presiden. Keempat, kita menemui public political disorder. Dengan kata lain, pemilih di Indonesia cenderung tidak mengekspos afiliasi politiknya secara terbuka, karena menjadi simpatisan partai masih banyak dilihat sebagai sebuah aib politik. Di sisi lain, menunjukkan preferensi politik secara terbuka masih dinilai sebagai ketabuan sosial. Alhasil, karena preferensi politik sangat berjarak dengan perilaku personal dan sosial, maka asumsi dasarnya adalah kandidasi terbuka menjadi kurang relevan di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga, eksperimentasi politik seperti kandidasi demokratis menjadi penting dalam roadmap demokratisasi di Indonesia. Paul Pennings dan Reuven Y.Hazan dalam Democratizing Candidate Selection: Causes and Consequences (2001) menegaskan bahwa ada banyak bentuk demokratisasi dalam metode seleksi kandidat, dan perbedaan bentuk tersebut sangat terkait dengan inklusivitas ruling elite dan derajat sentralitas dalam metode (struktur dan kultur) seleksi kandidat. Untuk menjernihakan hal ini, kita perlu mereview fakta politik kepartaian menjelang pemilu 2014. Dalam pemetaan probabilitas presidential candidacy saat ini, maka hanya ada dua partai yang seharusnya mempunyai struktur peluang politik atau political opportunity structure (OPS), katakanlah untuk melakukan konvensi calon presiden 2014. Dua partai tersebut adalah Partai Demokrat dan Partai Nasional Demokrat. Secara eksternal, dalam kalkulasi politik, pemilu 2014 maksimal hanya akan melahirkan 10 partai di parlemen. Studi kuantitatif seperti survei menunjukkan Partai Demokrat, sekalipun turun, tetap berada di atas 10 persen, sementara Partai NasDem mulai menyodok partai-partai menengah di parlemen. Di sisi lain, tiga partai besar (elektabilitas di atas 10%) hanya PD yang belum menentukan capresnya, karena Golkar tetap bersikeras dengan Ical, dan PDIP menyerahkannya pada satu tangan Megawati. Sementara itu, partai menengah di parlemen (elektabilitas di bawah atau berkisar 5%)
mempunyai kecenderungan coalition behavior, dan Partai Nasional Demokrat adalah partai baru yang berpotensi menggeser posisi partai menengah. Secara internal, kedua partai tersebut belum mempunyai patron kuat menjelang pemilu 2014 yang dirasa pantas untuk dicalonkan. Di sisi lain, kini pengelolaan organisasi partai cenderung tidak menyerahkan pada otoritas veto politik satu tangan karena faksionalisasi yang ada di dalam Demokrat dan bagi Partai Nasional Demokrat karena kebaruan partai yang menghimpun banyak kekuatan politik yang sbelumnya sudah ada. Demokratisasi partai dalam proses kandidasi berpotensi untuk mengamputasi otoritas veto ruling elite dalam partai,dan lambat laun akan menumbangkan postulat klasik Robert Mitchels (1911) iron law of oligarchy bahwa dalam setiap organisasi khususnya politik, selalu ada oligarchy di dalamnya. Dan jelas bahwa oligarkhi adalah political disease di dalam organisasi partai karena berimplikasi pada malcandidacy. Publik memerlukan partisipasi politik yang lebih adil di luar tanggal pemungutan suara. Arya Budi Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
(BUKAN) JABAR IDOL Setelah Pilkada DKI selesai, kini giliran masyarakat Jawa Barat (Jabar) memilih pemimpinnya. Proses pemilihan yang akan digelar 24 Februari 2013 nanti menjadi menarik, karena diramaikan oleh para artis. Dari lima pasangan yang mendaftar resmi di KPUD Jabar, tercatat tiga pasangan yang melibatkan artis, mereka di antaranya, Deddy Mizwar (calon wakil gubernur) berpasangan dengan Ahmad Heryawan (incumbent), Dede Yusuf (incumbent) berpasangan dengan Lex Laksamana (Sekda Jabar), dan Rieke Diah Pitaloka (calon gubernur) berpasangan dengan Teten Masduki (Sekjen TII & Pendiri ICW). Kehadiran para artis ini menjadi wajar karena terbukti ampuh memenangkan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf pada periode sebelumnya. Menjagokan artis menduduki jabatan publik tak salah dan bukan hal baru. Di ranah legislatif, bahkan jumlah artis yang menjadi anggota DPD, DPR maupun DPRD cukup signifikan. Sedangkan di ranah eksekutif, tercatat baru Basofi Sudirman (Gubernur Jawa Timur periode 1993-1998 dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 1987-1993), Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jabar 2008-2013), Rano Karno (Wakil Bupati Tangerang periode 2008-2013 dan Wakil Gubernur Banten periode 2012-2017), dan Zumi Zola (Bupati Jabung Timur 2011-2016) yang berhasil menduduki kursi ini. Peluang para artis berkiprah di panggung politik semakin terbuka, selain didukung sistem Pemilu langsung (one man one vote), juga karena citra partai yang semakin menurun akibat berbagai kasus yang menjerat kader-kadernya. Di sisi lain, tren perilaku pemilih (voting behavior) turut berpengaruh, karena perilaku pemilih yang mulai mudah jenuh. Kejenuhan ini menjadi sinyal semakin baiknya rasionalitas pemilih dalam memilih kandidat. Bila seorang incumbent tak terlalu signifikan melakukan perubahan atau kandidat yang hadir tak memiliki rekam jejak kepemimpinan yang jelas, maka penghukuman politik oleh elit dan publik menjadi mudah terjadi. Nama-nama baru yang muncul, bila dikenal, akhirnya memberi peluang hadirnya harapan baru bagi publik. Para artis bisa menjadi solusi jangka pendek, untuk memperbaiki citra partai sekaligus mengakomodasi aspirasi masyarakat terhadap perubahan. Namun sebaliknya, bila partai tak serius mempersiapkan kualitas para artis ini, maka, berikutnya akan menjadi blunder baru yang semakin menjauhkan partai dari rakyat. Fungsi Partai Hampir di setiap negara demokrasi, terlihat situasi politik yang paradoks. Di satu sisi terdapat konsensus besar bahwa demokrasi masih menjadi sistem dan bentuk pemerintahan terbaik, namun di saat yang bersamaan, masyarakat masih banyak yang ‘menggugat’ eksistensi partai sebagai pilar utama demokrasi. Gugatan ini terjadi, akibat partai belum berfungsi. Hadirnya para artis sebenarnya dalam jangka panjang mengafirmasi bahwa partai belum berfungsi. Pertama, tak berjalannya proses kaderisasi di tubuh partai. Partai ingin mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan popularitas artis untuk mendongkrak elektabilitas pasangan kandidat atau meraih suara tanpa mempertimbangkan dimensi-dimensi vital lainnya seperti integritas dan kapasitas.
Ongkos politik memang menjadi lebih hemat, karena kandidat tak butuh banyak biaya untuk mengenalkannya, namun, dikhawatirkan kandidat ini terputus dari akar dan radar internal kepartaian. Kedua, belum terlaksananya pendidikan politik kepada publik karena para artis yang telah terpilih, belum tentu terseleksi dari segi kualitas. Dalam konteks ini partai terbawa arus popularitas atau sekedar memanfaatkan ini, sehingga, gagal memberi pemahaman publik apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang kandidat. Pada sisi yang lain, popularitas akhirnya menjadi penanda, bahwa artis hadir dalam sirkulasi elit (rulling elite) di negeri ini. Ketiga, rekrutmen politik, merupakan fungsi penting lainnya bagi partai. Schattschneider bahkan menyatakan, jika partai gagal melakukan fungsi ini, maka ia berhenti menjadi partai (Field dan Siavellis, 2008). Proses rekrutmen politik ini menunjukkan banyak hal, apakah partai bersifat oligarkis atau demokratis, bagaimana proses perjuangan kandidat menghadapi faksi-faksi politik yang hadir di internal kepartaian, serta wajah partai sesungguhnya. Rekrutmen politik para artis semakin memastikan bahwa oligarki partai menguat dan partai masih belum berpihak kepada kader-kader potensialnya. Rekrutmen politik ini tak jarang juga diikuti oleh kesepakatan jasa maupun tanda lainnya yang dapat membantu logistik partai. Di titik inilah, artis unggul kesekian kalinya dari kader partai. (Bukan) Jabar Idol (Bukan) Jabar Idol hanya sebuah istilah yang penulis hadirkan untuk memotret perjalanan figur artis di Pilkada Jabar yang berpotensi melanjutkan kiprahnya di pentas nasional. Artis-artis yang dijagokan dalam Pilkada Jabar kali ini memiliki rekam jejak (track record) yang baik. Bila ini diteruskan dengan kerja-kerja publik yang monumental maka kans mereka untuk melanjutkan karir politiknya akan semakin besar. Modal popularitas dalam politik memang tak cukup, karena selain dikenal, mereka harus mampu membuat publik suka dan akhirnya dipilih. Banyak contoh para artis yang harus menunda keterlibatan dirinya di dunia politik karena hanya bermodalkan popularitas, publik bukannya suka, namun malah balik mencemooh karena begitu oportunis. Pengalaman kepemimpinan Presiden di Filipina, melalui Joseph Estrada (Presiden Filipina ke-13) atau Ronald Reagan (Presiden Amerika ke-40), dapat menjadi pembelajaran (lesson learned) bagi para artis yang sedang mengawali karir politiknya. Bahkan Reagan sekalipun, sebelum duduk di kursi eksekutif baik sebagai gubernur maupun presiden, merintis karirnya sebagai kader partai dan sempat sukses terlibat dalam sebuah komite rahasia partai untuk menyelidiki pengaruh komunis di Hollywood. Kerja-kerja politiknya inilah yang kemudian hari dipublikasi ke khalayak sebagai bukti ia pantas untuk dipilih. Para pemimpin berproses dan dibesarkan oleh masalah serta amanah (tanggung jawab). Tidak ada yang instan, apalagi dibangun dalam semalam, sekedar jualan popularitas. Oleh karenanya sudah seharusnya kebutuhan publik terhadap figur-figur baru dan alternatif di panggung politik dibaca dengan baik oleh para artis dengan bersiap dan terus mempersiapkan diri menjadi yang terbaik. Agung Baskoro Peneliti & Analis Politik Pol-Tracking Institute
Dilema Elektabilitas JK dan Mahfud MD Kekhawatiran beberapa calon presiden (capres) dan beberapa partai politik mulai mengemuka dengan meningkatnya elektabilitas beberapa figur alternatif dalam waktu singkat. Ada dua figur yang secara statistik dianggap mengalami peningkatan sugnifikan atas elektabilitas, dari berbagai rilis survei yang ada. Figur tersebut adalah Jusuf Kalla (JK) dan Mahfud MD. Sejauh ini terdapat 12 hasil survei yang dihadirkan ke publik mengenai elektabilitas capres di tengah puluhan survei yang dirilis ke publik antara rentang Desember 2011-Desember 2012. Beberapa lembaga survei melakukan hingga dua-tiga kali rilis survei dalam setahun ini, sehingga bisa hadir perbandingan dari dinamika pergerakan elektabilitas oleh satu lembaga survei yang sama. Beberapa survei elektabilitas dilakukan Lembaga Survei Indonesia (Desember 2011, Februari 2012, dan Survei Opinion Leader Januari-Mei 2012, di luar empat survei Top of Mind), CSIS (Februari dan Agustus 2012), Lembaga Survei Nasional (Juni dan Oktober 2012), Puskaptis (Februari 2012 dan November 2012), dan Lingkaran Survei Indonesia (Juni dan Oktober 2012). Sementara beberapa lembaga survei lainnya melakukan satu kali, antara lain DSCS (Januari 2012), Soegeng Sarjadi (Juni 2012), Saiful Mujani Research and Consulting (September 2012), INES (November 2012), dan API (Desember 2012). Dari semua survei yang ada, tiga figur yaitu Prabowo, Megawati, dan Aburizal Bakrie (ARB) selalu hadir dalam tiap hasil survei dan hampir dominan menempati tiga teratas. Namun, dalam lima bulan terakhir, elektabilitas JK dan Mahfud MD harus diakui melesat signifikan jika dibandingkan elektabilitas keduanya diawal tahun, dan dibandingkan pergerakan elektabilitas figur potensial capres lainnya. Termasuk jika dibandingkan dengan tiga kandidat capres terkuat saat ini, yaitu Prabowo, Megawati, dan ARB itu sendiri. JK sebetulnya tidak terlalu mendapat elektabilitas signifikan di berbagai survei awal tahun. Hal ini bisa jadi karena di awal tahun, amat kecil peluang JK mencapreskan diri. Juga fakta bahwa Partai Golkar memastikan ARB sebagai capres, membuat beberapa lembaga survey sengaja tak memasukkan nama JK dalam pilihan figur saat melakukan survei ke responden. JK nyaris tidak dirilik sama sekali dan jikapun ada hanya mencatat rata-rata kurang dari lima persen dalam enam bulan awal. Namun, dalam lima bulan terakhir (Juli-Desember 2012), survei terkait JK meningkat drastis. Di mana rata-rata elektabilitas yang didapat JK kini mencapai 10,3 persen. Hal ini berbeda dengan yang dialami ARB. Dalam kurun enam bulan pertama (sejak Desember 2011), ARB bisa mencatat rata-rata 14,5 persen. Tapi setelah diakumulasi keseluruhan survei, rata-rata elektabilitas ARB tinggal 11,6 persen. Bisa dikatakan, dalam lima bulan terakhir (Juli-Desember 2012) justru perolehan elektabilitas ARB stagnan dan cenderung merosot. Megawati meraih 14,5 persen dalam rata-rata elektabilitas survei enam bulan pertama, dan setelah mengakumulasi semua survei hingga Desember 2012, rata-rata elektabilitas Megawati tidak jauh berbeda, yaitu 13,8 persen. Sementara perolehan elektabilitas Prabowo juga tidak jauh berbeda antara rata-rata enam bulan pertama (19,4 persen) dan saat diakumulasi dengan semua survei hingga Desember 2012, dengan angka 17,8 persen.
Dengan kata lain, saat gaung pencapresan Jusuf Kalla menguat sejak pertengahan tahun ini, dibanding saat dikomparasi dengan perolehan elektabilitas Mega dan Prabowo, elektabilitas ARB yang paling tergerus saat dilakukan survei. Sementara turunnya rata-rata elektabilitas Prabowo lebih karena minimnya pemberitaan Prabowo jika dibanding Megawati dan ARB, terlebih PDIP dan Golkar baru saja melakukan rapimnas hampir bersamaan Di satu sisi, JK berasal dari partai yang sudah memastikan pencapresan, yaitu Golkar, sehingga terkadang JK dianggap tak lagi punya “perahu” untuk pilpres 2014. Di sisi lain, dengan melihat tren positif pada elektabilitas JK, bukan mustahil tahun depan elektabilitasnya sudah berada di nomor satu atau dua dari semua survei. Polemik yang hadir, apakah tidak aneh jika Jusuf Kalla menjadi yang teratas dalam berbagai survei di 2013 nantinya, tapi malah menjadi sebatas calon wakil presiden di 2014? Bukankah dengan menghambat atau menghilangkan peluang beberapa figur potensial untuk pilpres 2014, hanya akan menambah potensi golput? Hal hampir serupa dengan JK juga dialami Mahfud MD. Mahfud bahkan nyaris tidak dilirik dalam enam bulan awal oleh berbagai lembaga survei. Jika pun ada nama Mahfud MD hanya mendapat elektabilitas 0,5 hingga 1 persen. Tapi dalam beberapa survei Juli-Desember 2012, elektabilitas Mahfud MD melonjak drastis hingga mencatat rata-rata 5,2 persen. Belum lagi dikaitkan survei Opinion Leader dari Lembaga Survei Indonesia, Mahfud MD menempati posisi teratas. Terlepas banyaknya kritik atas sistem atau mekanisme survei ini, bagaimanapun survei Opinion Leader ini yang kini menimbulkan kekhawatiran berbagai parpol. Hal ini karena semua figur ketua umum parpol mengalami peringkat yang tidak memuaskan, baik Megawati, Prabowo, maupun ARB. Apalagi media masih terus memperbincangkan hasil survei ini, yang secara tak langsung akan membuat nama Jusuf Kalla dan Mahfud MD terus menanjak popularitasnya dan mungkin juga potensi elektabilitasnya. Terus-menerusnya survei Opinion Leader dan atau survei-survei lain yang memberikan penilaian jauh lebih tinggi bagi Jusuf Kalla dan Mahfud MD dibanding survei-survei terdahulu yang malah diantaranya tak menganggap penting kandidasi keduanya. Pemberitaan dan Elektabilitas Mengapa tiba-tiba hampir semua survei dalam 5 bulan terakhir justru memberikan hasil positif bagi JK dan Mahfud MD? Mengapa justru bukan figur lainnya yang kemudian bisa bersaing terhadap tiga kandidasi terkuat? Apa yang sebenarnya terjadi? Bisa jadi karena dalam rentang yang sama, antara Juli-Desember 2012, kedua tokoh ini sering diceritakan dalam beberapa peristiwa dan atau pengambilan kebijakan krusial. JK sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), pada rentang Juli-Desember 2012 banyak terlibat dalam berbagai program PMI. Misalnya di Jakarta hadir keprihatinan amat besar atas maraknya kasus kebakaran, yang membuat PMI dan atau JK selaku ketua datang langsung ke berbagai tempat bencana. Belum lagi kejadian di luar negeri seperti di Rohingya hingga Palestina. Hal ini membuat pikiran publik terus terjaga lekat pada figur JK, sekalipun JK sendiri tidak sedang melakukan kegiatan kepartaian yang amat mencolok. Keadaan serupa juga dialami Mahfud MD. Beberapa pengajuan uji materi Undang-Undang dan atau keberadaan suatu lembaga, banyak ditangani Mahfud MD dalam rentang yang sama. Ditambah
beberapa pernyataannya bagi publik terhadap berbagai masalah hukum, beberapa diantaranya cukup berani mengkritik pemerintah itu sendiri, banyak dicuplik oleh media. Hal ini juga membuat nama Mahfud MD terjaga lekat dalam ingatan publik, dan kecenderungannya terus meningkat. Situasi yang paling mungkin menjadikan kedua tokoh ini mengalami peningkatan elektabilitas, yaitu karena publik melihat kapabilitas keduanya. Bahkan sebagian publik bisa jadi menilai keduanya bukan lagi “warga parpol”. Sekalipun terkait JK, yang menyatakan bahwa dirinya tak mungkin keluar sebagai kader partai. Bisa jadi bagi publik, karena Golkar sudah menetapkan ARB sebagai capres, maka publik justru melihat JK sebagai figur yang tak lagi lekat dengan Golkar, dan inilah yang menguntungkan bagi JK. Hal sama juga dilihat publik dalam menilai Mahfud MD. Sekalipun selama ini lekat dengan PKB dan sosok Gus Dur, namun publik melihat Mahfud MD tidak didasari sebagai politisi, tapi lebih kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara MK mampu mempertahankan kredibilitas sebagai lembaga yang tidak koruptif dan tidak mempan disogok. Ditambah keberanian Mahfud menyampaikan beberapa pernyataan kritik pada pemerintah, sehingga publik menjadi lebih menyukai Mahfud dibanding figur yang lekat dengan suatu parpol, yang kebetulan juga berpotensi sebagai capres. Diambilnya dua nama yaitu JK dan Mahfud MD tidak bermaksud mengeliminasi pemantauan atas figur kandidasi capres lainnya. Fakta yang hadir dalam perolehan elektabilitas, menunjukkan bahwa secara rata-rata, perolehan Anas Urbaningrum, Wiranto, Hatta Rajasa, Suryadharma Ali, dan berbagai figur kandidasi capres lainnya, cukup kecil secara persentase, dibawah empat persen. Kalau pun diklaim meningkat, secara data tidak signifikan meningkat, dan bahkan beberapa diantaranya turun. Malah, beberapa figur capres yang selama ini cukup rendah secara elektabilitas, akhirnya lebih dilirik sebagai cawapres, di mana saat figur-figur tersebut mungkin cukup bagus dalam elektabilitas sebagai cawapres saat disurvei. Hal ini berbeda dibanding yang dialami JK dan Mahfud MD. Sekalipun belum ada kepastian apakah keduanya akan bersaing sebagai calon terpisah dalam pencapresan atau sebatas cawapres, tapi tendensi yang hadir menunjukkan bahwa kedua figur mendapat elektabilitas tinggi saat disurvei dalam konteks capres dan bukan cawapres. Nasib ke Depan Salah satu cara meningkatkan elektabilitas figur capres ketua umum suatu partai sembari memanfaatkan elektabilitas JK atau Mahfud MD ialah sesegera mungkin memastikan keduanya mau menjadi cawapres. Padahal, bisa jadi keduanya berpeluang menjadi capres dari dua pasang caprescaapres terpisah. Hal ini yang mungkin membuat JK maupun Mahfud MD sengaja untuk baru akan memutukan sikap terkait pilpres jelang pertengahan 2013. Lumrah bagi keduanya untuk melihat perkembangan elektabilitas yang berjalan dan memilih untuk tidak terburu-buru mengambil sikap. Skenario lain yang bisa saja terjadi tiba-tiba, yaitu keduanya itu sendiri yang berpasangan. Dimana yang paling tinggi elektabilitasnya menjadi capres. Meski tantangannya, mencari partai yang bisa menembus presidential treshold dan legowo keduanya sebagai capres-cawapres dan tidak mencapreskan kader parpol itu sendiri. Ini yang menjadi problem bukan hanya tiap parpol yang berminat pada kedua figur ini, tapi juga problem bagi JK dan Mahfud sendiri. Revisi UU Pilpres baru akan
dibahas lagi diawal 2013, dan bisa jadi akan terus terjadi silang pendapat antara tetap memakai acuan presidential treshold seperti 2009, atau menurunkannya. Disatu sisi kedua figur mungkin akan mengulur sikap pencapresan, disisi lain revisi UU Pilpres juga terulur entah berapa lama, yang mungkin bukan sebatas dinamika persaingan antar fraksi yang berusaha saling berebut kesuksesan pemilu 2014. Tapi juga dinamika siapa saja figur-figur capres alternatif yang berkembang dan bagaimana taktik sejak satu tahun kebelakang bagi tiap partai yang mungkin akan melirik capres alternatif ketimbang capres dari kader partai mereka sendiri. Parpol menengah cenderung lebih leluasa melakukan perjudian pencapresan terhadap JK maupun Mahfud MD, di mana lebih mudah untuk menjalankan mekanisme menghambat kader mereka sendiri untuk dicapreskan. Tapi tentu keduanya bisa memilih partai manapun, utamanya partai yang lebih mungkin menembus presidential treshold yang dipakai pada pilpres 2009 jika kembali dipakai di 2014, jika keduanya terus meningkat elektabilitasnya. Keberanian dan perjudian tiap partai, baik partai besar, menengah, kecil, atau partai baru, untuk membuka wacana capres alternatif, bukan semata cawapres, sedang diuji. Salah menilai perkembangan elektabilitas tiap figur untuk dicapreskan, bukan semata menghilangkan potensi mengerek elektabilitas saat pemilu legislatif. Tapi menghilangkan peluang untuk berlaga di pilpres 2014. Adi Mulia Pradana Analis Politik dan Hubungan Internasional Pol-Tracking Institute
Sengkarut Bisnis dan Kandidasi Ical Konflik bisnis antara Grup Bakrie dengan Rothschild memasuki babak baru. Kelompok bisnis yang bulan ini memasuki umur 70 tahun dalam perjalanan bisnis di tanah air sedang mengajukan proposal ‘cerai’ kepada Rothschild. Awalnya, kedua tapain itu memulai kerjasama bisnis pada 2010 lalu, dengan melakukan tukar guling kepemilikan saham di perusahaan mereka, yaitu Vallar Plc (belakang menjadi Bumi Plc) dan Bumi Resources serta Berau Coal. Berdasarkan pemberitaan di Koran Tempo, 19 November 2012, setidaknya terdapat beberapa opsi yang ditawarkan oleh Grup Bakrie untuk berpisah. Pertama, dengan kembali melakukan tukar guling saham Bakrie yang ada di Bumi Plc sebesar 23,8% dengan 10% kepemilikan Bumi Plc di BUMI. Opsi kedua, yaitu Bakrie membeli 18,9% saham BUMI milik Bumi Plc dengan nilai mencapai Rp 2,6 triliun. Opsi terakhir adalah Bakrie membeli 85% saham BRAU milik Bumi Plc dengan nilai tawaran mencapai US$ 950 juta. Opsi ini baru akan terjawab pada Desember mendatang. Sejumlah opsi yang disodorkan Grup Bakrie kepada Rothschild memunculkan pertanyaan. Dari mana uang sebanyak itu akan didapatkan mereka?. Pertanyaan tersebut cukup berasalan, karena selama ini mereka sedang bergelut dengan lilitan utang. Lembaga analis independen, Kata Data, pada bulan September menemukan fakta merujuk laporan keuangan 10 perusahaan terafiliasi dengan Bakrie Brothers –induk usaha Grup Bakrie– hingga kuartal pertama 2012 mencapai Rp 21,4 triliun, dengan utang jatuh tempo pada 2012 sebesar Rp 7,1 triliun. Belum lagi, utang dalam denominasi dolar yang mencapai US$ 5,7 miliar dan jatuh tempo pada 2012 sebesar US$ 275 juta. Beban utang-utang itulah yang sebenarnya yang menjadi episentrum dari sengkarut bisnis Bakrie. Tak pelak, isu lilitan utang yang akut disertai dengan konflik dengan Rothschild berdampak pada tergerusnya saham perusahaan-perusahaan milik Grup Bakrie –selain faktor imbas krisis utang Eropa–. Namun, Grup Bakrie bukanlah kelompok bisnis ‘kemarin sore’. Mereka selama ini mampu mengelola utangnya dan selalu mendapatkan pinjaman dari para kreditur, meskipun resiko default ada di depan mata. Perhelatan Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) Partai Golkar, Oktober lalu, telah memutuskan, Aburizal Bakrie sebagai calon presiden 2014 dari partai berlambang pohon beringin itu. Sama halnya dengan dunia pasar modal yang volatilitasnya sangat sensitif terhadap rumor negatif. Dalam dunia politik, hal itu pun sejalan. Namun, seolah tidak terkena hembusan dari prahara bisnisnya, Ical –sapaan akrab Aburizal Bakrie–, orang nomor satu di Grup Bakrie itu dengan percaya diri siap melenggang dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Peluang kandidasi Ical dalam pilpres 2014 nanti tentunya sangat berkaitan erat dengan bisnis Grup Bakrie. Relasi politik dan dilema yang dihadapi kelompok bisnis itulah yang sebenarnya dikhawatirkan oleh sosiolog ekonomi dari Standford University, Mark Granovetter (2005). Dia menguraikan, jika kelompok bisnis sebagai jaringan sosial menguasai struktur politik dan pemerintahan, hal itu memungkinkan terjadinya penguasaan terhadap sumberdaya ekonomi dan regulasi demi
kepentingan bisnis kelompok tersebut. Hal itu dikarenakan, karena jejaring sosial delam mendominasi pengaruh atas ekonomi dan politik di sebuah institusi bernama Negara. Philippe C. Schmitter (1979) seperti yang dikutip Ramlan Surbakti (1992) juga menyinggung keterkaitan kelompok kepentingan dengan politik yang memicu munculnya korporatisme negara. Schmitter mengungkapkan, korporatisme negara adalah wujud dari sistem perwakilan kepentingan yang melibatkan pemerintah secara aktif dalam pengorganisasian kelompok kepentingan sehingga kelompok kepentingan itu terlibat dalam pembuatan regulasi. Hal itu tentunya memberikan bias kepada sistem demokrasi sekaligus membiarkan terjadinya biaya transaksi (transactional cost) yang bergerak senyap dalam perputaran ekonomi dan politik. Karena itu, penting kiranya meminta komitmen kepada siapapun yang mengajukan diri menjadi capres untuk tidak mencampuradukan ranah bisnis pribadi dan ranah regulasi. Selain itu, tentunya upaya penguatan kelembagaan ekonomi dan politik negara juga harus diperkuat dari sekarang. Elektabilitas Ical Persoalan lain yang dihadapi Ical adalah preferensi publik yang masih menginginkan sosok capres lain dari Golkar, yaitu Jusuf Kalla (JK). Hal tersebut disimpulkan dari delapan survey terakhir yang seluruhnya menempatkan elektabilitas dan popularitas JK diatas Ical (lihat tabel). 25 20 15 10 5 0
22.14
20.1
16.35
14.9
11 4.3
2.4
10.6
9.4 5.6 5.2
7.1
10
6.5
9.41
7.81
JK ARB
Potret perilaku pemilih itu tentunya harus menjadi pertimbangan penting bagi pimpinan Partai Golkar untuk mengatur taktik dalam pilpres mendatang. Apabila benar yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung 18 November lalu yang mengindikasikan tidak tertutup peluang bagi Golkar untuk merivisi calon presidennya, jika elektabilitas Ical masih tetap rendah. Tentunya hal itu layak dikaji secara serius oleh internal Partai Golkar. Partai Golkar dan Ical memiliki waktu kurang dari dua tahun untuk memutuskan itu semua. Selain persoalan elektabilitas, peluang kandidasi Ical juga sangat mungkin terganjal sejumlah beban bisnis yang dimilikinya. Tapi kita tahu, seorang politisi sekelas Ical tentunya tidak akan buru-buru menyerah, seperti dalam menjalankan bisnisnya, Ical selalu punya jalan keluar. Analis Ekonomi Politik Pol-Tracking Institute Agung Budiono (Pernah dimuat di kolom ‘Pendapat’ Koran Tempo 7 Desember 2012)