Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB Subaidi ∗ Abstrak Ketokohan seseorang dalam suatu partai politik seperti Gus Dur dalam PKB telah mampu meraih suara rakyat baik pada pemilu 1999 maupun 2004, ia menjadi icon yang dapat dijual di kalangan masyarakat NU dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tetapi ketokohan dan dominasi ini telah membawa partai sebagai ”Partai Teater” yang hanya didominasi dan dimainkan oleh tokoh atau sekelompok elit dari tokoh itu tanpa adanya persaingan dan partisipasi dari bawah ke atas, bahkan hanya menjadi pemuas dan ambisi tokoh tersebut. Pemikiran dan perilaku politiknya mampu menyedot perhatian dan simpati yang besar dari penguasa maupun para intelektual luar dan dalam negeri. Hal itu, tidak terlepas dari pembangunan dan pemberdayaan pemikiran ideologis dua arah yang dilakukan Gus Dur selama 1970-1990-an telah mampu menggerakkan masyarakat komunalnya. Sayangnya, pembangunan pemikiran ideologi dua arah ini tidak dibarengi dengan penataan tata kelembagaan yang baik di NU maupun di PKB sehingga menyebabkan dominasi ketokohannya dalam PKB tidak dapat ”diotak-atik” dan membentuk sistem kepartaian dalam PKB menjadi ”sistem kepartaian teater”. Oleh karena itu, teori demokrasi sebagai tranformasi kelembagaan lumpuh dengan ketokohannya dan hanya menjadi banper dalam melanggengkan kekuasaan, sehingga sirkulasi elite dan persaingan antar elite menjadi mandeg dan demokrasi hanya menjadi wacana dalam partai. Kata kunci: partai teater, dominasi, demokratisasi, Gus Dur, PKB A. Pendahuluan Kepartaian di Indonesia masih dapat dikatakan sebagai partai teater karena hanya berkutat pada perorangan, yang lain hanya sebagai 1
∗
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1 Istilah “Partai teater” meminjam Istilah yang digunakan oleh Geertz dalam melihat sistem pemerintahan di Bali yang hanya didominasi oleh kalangan ningrat, sehingga dia menyebutnya dengan istilah “Negara Teater” Clifford Geertz, dalam bukunya Coek fighting, (Gluncue: The Free Press, 1960), menamai ”negara teater” untuk sebuah negara yang tidak diatur oleh sebuah birokrasi hidrolik atau pemerintahan, melainkan sebuah pertunjukan yang diorganisasir obsesi kelas yang berkuasa atas budaya Bali, ketimpangan sosial dan kebanggaan, maka demikian pula sebuah ”partai SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
976
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
penonton dari lakon tersebut. Kepartaian seperti itu cenderung lebih dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh pribadi-pribadi dalam kehidupan partai politik. Kharisma pemimpin menjadi taruhan dalam pengelolaan suatu partai politik di Indonesia. Semakin kuat dan kharismatik, semakin berpengaruh partai tersebut. Oleh karena popularitas seorang tokoh politik sering digunakan oleh suatu partai politik untuk menciptakan dukungan massa, dari pada kebagusan ideologi partai. Daya tarik dan pesona pribadi tokoh partai atau kharisma memang dapat mempermudah menggalang dukungan suara partai dalam pemilu dibandingkan dengan program partai. Di negara berkembang, pemanfaatan kharisma seorang tokoh yang berperan sangat besar akan mendorong tokoh tersebut memaksimalkan popularitasnya guna menggalang dukungan pribadi. Hubungan antara tokoh kharismatik2 dan para pendukungnya dalam hubungan personal akan berdampak jatuhnya posisi partai politik itu sebagai sarana pemuas ambisi dan kepentingan politik tokoh kharismatik yang cenderung bersifat individualistik, tergantung inspirasi pemimpinnya3. Seringkali kecendrungan semacam ini diikuti dengan diabaikannya kepentingan masyarakat umum yang jelas jauh lebih luas dan berguna. Di sisi lain, pelembagaan partai politik itu mandeg pada dominasi tokoh, bahkan hanya menjadi alat dan sarana para tokoh untuk melanggengakan dominasinya dalam parpol. Demokrasi sebagai proses transformasi kelembagaan dalam suatu sistem negara menuntut adanya nilai-nilai demokrasi dalam sebuah institusi negara. Tetapi nilai-nilai dan konsep demokrasi seringkali hanya dijadikan ambisi para elit atau tokoh dalam melanggengkan dominasi dalam partai politik. Tetapi persoalannya adalah bagaimana menginstall konsep dan teori demokrasi (reteorisasi proses demokrasi) dalam sebuah budaya politik masyarakat Indonesia yang primordialis dan berbasis ketokohan, sehingga melembagakan demokrasi berbasis ketokohan teater”. Hakikat partai teater adalah tiadanya partisipasi dari bawah ke atas sehingga ia tidak sesuai dengan hakikat demokrasi modern yang membutuhkan partisipasi. 2 Weber mendifinisikan istilah “kharismatik” : The term charisma will be appliead to centain quality of an individual personality by virtue of which supernatural, superhuman ar at least specifically axceptional powers or qualities, sedangkan Monte Palmer mendifinisikan pemimpin kharismatik sebagai pemimpin yang dapat memiliki pengikut dalam jumlah yang sangat besar. Tokoh-tokoh, antara lain, seperti Gandhi, Nehru, Sukarno, Khadafi adalah tokoh-tokoh kharismatik. Lihat Monthe Palmer, Dilemmas of Political Development: an Introduction to the Politics of the Developing Countries, (Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publishers Inc., 1989), p. 17. 3Anthony Gidden, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisa Karya Marx, Durkheim dan Max Weber, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), p. 20. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
977
bukan bersifat individual dan liberal. Karena selama ini proses yang ada, kenyataanya lumpuh oleh pembajakan berdasarkan basis ketokohan. Kaderisasi yang tidak berjalan dan pola rekrutmen yang bertumpu pada elite partai menyebabkan sumber daya partai politik terpusat di tangan figur yang dinisbatkan sebagai ikon partai. Pola ini melekatkan kekuatan partai pada figur, bukan pada mekanisme dan konstitusi parpol. Kebesaran figur kadang "mengangkangi" konstitusi parpol. Personifikasi kekuasan berjalan seiring dengan pengabaian sistem politik demokratis sehingga ikatan pemimpin dan pengikut dibangun lewat cara primordial. Oleh karena itu, partai politik sekedar sebagai alat penampung unsusr-unsur kontradiktif. Dorongan primordial ini bagaikan kanker yang menggerogoti partai dan sistem politik itu sendiri. Penempatan figur sebagai strategi mengikat konstituen menjadikan keluarga-penguasa sebagai kekuatan yang mengendalikan pendulum politik partai. Sedemikian pentingnya peran politik keluarga-penguasa, sehingga perhatian para pencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaan keluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai. Partai sulit memainkan perannya sebagai representasi kepentingan pengikut, melainkan hanya mengukuhkan dominasi kaukus yang dibentuk tokoh senior partai (gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkan keberlakuan hukum besi oligarki, di mana aristokrat tradisional—termasuk para sesepuh— berperan sebagai oligoi yang mengendalikan partai. Efektifitas suatu partai politik tidak lepas dari peran dan fungsi partai politik itu sendiri. Hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik perilaku politik anggotanya, baik secara individu maupun kolektif. Perilaku politik yang dimaksud sangat terkait dengan variabel budaya politik, yang diwarnai oleh nilai-nilai dan tradisi yang melingkupinya. Berhubungan dengan itu suatu kenyataan yang ditemui dalam PKB, adalah komposisi keanggotaannya yang mayoritas berasal dari masyarakat NU, yang masih memegang kuat tradisi dan tata aturan yang berkembang dalam NU, di samping itu tata kelembagan informal seperti pesantren, kyai dan santri dan imosional keagamaan lebih besar pengaruhnya dalam masyarakat NU dalam membangun tata kelembagaan modern seperti kepartaian. Karakteristik di atas membawa implikasi dinamika internal dan eksternal partai dari pelaksanaan peran dan fungsinya sebagai partai politik modern. Melihat demikian, maka PKB tidak ubahnya seperti partai teater yang dimainkan oleh seorang lakon di mana para anggotanya hanya sebagai penonton. Umumnya, hubungan elit-massa (wakil-terwakili) diakui turut mempengaruhi mekanisme partai politik. Namun, diakui pula bahwa jaringan hubungan yang dibangun antara elit itu sendiri, sangat dominan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
978
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
di dalam demokratisasi suatu partai politik, khususnya dalam pengambilan keputusan dan kebijakan partai politik itu. Hubungan elit sebagai interaksi antara sesama anggota dalam suatu komunitas partai mencerminkan bagaimana distribusi kekuasaan dalam komunitas politik itu berlangsung. Hal ini sangat terkait dengan sumber daya politik (political resources), baik bersifat material maupun non material yang dimiliki setiap anggota komunitas partai politik untuk mengimplementasikan demokrasi dalam internal partai politik. Profil hubungan yang dibangun antara elit itulah yang akan memberi warna terhadap mekanisme partai, termasuk bagaimana proses pengambilan keputusan, kebijakan dan proses rekrutmen terhadap para elit yang akan duduk dalam keanggotaaan partai baik pusat maupun daerah itu berlangsung. Yang menjadi problem dalam kepartaian di Indonesia adalah: pertama, interaksi politik seperti apa yang memungkinkan partai politik seperti partai kebangkitan bangsa (PKB) sebagai partai teater yang berada dalam bayang-bayang tokoh seorang tokoh?, kedua, bagaimanakah pelembagaan partai politik (PKB) sebagai intrumen demokrasi perwakilan dilakukan oleh seorang tokoh atau sekelompok elite?, dan ketiga, apa implikasi dari dominasi bagi proses demokratisasi di Indonesia? Berangkat dari persoalan di atas kontribusi bagi kita berkenaan dengan beberapa hal: pertama; partai teater yang didominasi tokoh ”dikepung” dalam electoralism dan electoral reform yang menjamin hak-hak politik yang sama bagi para elite dalam mengelola partai; baik dalam pengambilan kebijakan, keputusan serta rekrutman anggota. Di sisi lain, perilaku para tokoh politik dalam melanggengkan dominasinya dan bagaimana memformat partai politik sebagai organisasi dan alat dalam memelihara dominasinya dalam partai dan masyarakat. Yang menarik adalah bagaimana organisasi partai diformat dan bagaimana hubungan antara tanfidiyah dengan majlis syura serta isu-isu yang sensitif maupun yang tidak bagi para elit. Kedua, dominasi tokoh dibangun di atas institusi informal seperti tata nilai, pesantren, guru/kyai-murid/santri, solidaritas umat dan sebagainya. Sementara parpol adalah organisasi formal dalam tata kelembagan suatu negara, bagaimana keduanya dikelola secara bersamaan? Ketiga, implikasi bagi proses demokratisasi, adalah adanya kesalahan dalam installasi (cara meng-install) demokrasi nilai-nilai luar (liberalism, individualism bosed) diasumsikan dapat menggantikan (replace) nilai-nilai asli (paternalisme misalnya). Oleh karena itu, dibutuhkan SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
reteorisasi proses demokratisasi mengingat proses yang ada lumpuh oleh pembajakan berdasarkan basis ketokohan, tantangannya adalah bagaimana melembagakan demokrasi kolektivitas, di mana kyai mewakili komunitas keagamaan bukannya mewakili voters dalam suatu dapil.
979
ternyata sehingga berbasis tertentu,
B. Interaksi Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dalam sebuah demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu negara. Dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung meningkatkan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan. Sistem kepartaian dalam PKB berbeda dengan sistem kepartaian di dalam dunia demokrasi yag dikenal selama ini. PKB lahir dalam suatu masyarakat yang menganut sistem feodalisme dan ideologi tertentu sehingga yang lahir adalah suatu sistem kepartaian yang monolitik dengan sistem kepartaian didominasi oleh ketokohan seseorang yang dinilai mempunyai kelebihan dibangdingkan dengan masyarakat lain. Oleh karena itu, berikut ini akan menjawab bagaimana dominasi tokoh dalam PKB itu terjadi sehingga menjadikan PKB sebagai ”Partai Teater”?. Hal ini tidak terlepas dari gerakan pemikiran Gus Dur dalam membangun wacana pemikiran baik di kalangan masyarakat NU itu sendiri maupun di Indonesia pada umumnya. Wacana pemikiran ini merupakan gerakan ideologis Gus Dur dalam membangun tatanan dalam masyarakat NU maupun di Indonesia. a. Ideologi dan Struktur Politik PKB Wacana pemikiran adalah sebuah teks, dan teks kata Aart van Zoest, tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.4 Ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini dikarenakan simbol pemikiran sebagai teks dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.5 4 Aart van Zoest, "Interpretasi dan Semiotika", dalam Sudjiman P. dan Aart van Zoest (ed), Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), pp. 1-25. 5 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2002), p. 13.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
980
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
Perkembangan teori komunikasi dan budaya yang kritis pada tahun-tahun terakhir ini telah membawa serta perhatian pada ideologi, kesadaran dan hemogeni. Ideologi adalah sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi baik bersifat simbolis atau empiris; kesadaran adalah esensi atau totalitas dari sikap, pendapat dan perasaan yang dimiliki oleh individu-individu atau kelompok-kelompok; dan hemogeni adalah proses di mana ideologi “dominan” disampaikan, kesadaran dibentuk, dan kuasa sosial dijalankan.6 Konsep-konsep ideologi, kesadaran, dan hemogeni ini saling berkaitan dan tumpang tindih, meski masing-masing mempunyai penekanan dan peran yang unik. Secara sederhana, ideologi bagi masyarakat modern ini digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah. Ideologi, menurut Sargent, memberikan suatu gambaran mengenai dunia, baik sekarang maupun dimasa depan serta bagaimana menyusun kompleksitas dunia menjadi sederhana dan dapat dipahami.7 Dalam sosiologi, misalnya oleh Vilfredo Pareto (1848-1923), citacita luhur dikritik sebagai sekadar alat perjuangan politik dan sosial, yang dalam kenyataannya tidak lebih dari pada rasionalisasi belakangan klaimklaim kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan emosi-emosi. Sosiologi pengetahuan Karl Mannheim (1893-1947) merelatifkan kritik Pareto yang radikal. Baginya sudah wajarlah kalau seluruh pemikiran mengenai realitas sosial tergantung pada konteks sosial dan ditentukan oleh harapan-harapan, kepentingan-kepentingan dan cita-cita masing-masing golongan sosial. Ideologi berwawasan ke belakang, utopi ke depan. Kritik ideologi positivisme bertolak dari anggapan Theodor Geiger (1891-1952) yang menegaskan bahwa penilaian-penilaian, karena tidak dapat dicek pada realitas, tidak dapat benar atau salah, melainkan hanya mengungkapkan perasaan. Kalau penilaian dikemukakan dengan klaim atas kebenaran, dia mesti ideologis. Menurut positivisme etika, filsafat sejarah dan metafisika sejauh dipergunakan untuk membenarkan norma-norma secara objektif merupakan ideologi. Gerakan pemikiran Gus Dur yang disimbolkan sebagai kyai, intelektual, budayawan dan tokoh gerakan itu sarat dengan nilai, moralitas dan interpretasi dunia. Hal ini dalam kalangan ilmuwan sosial adalah “ideologi” karena ideologi sebagai istilah bagi segala macam 6 JamesLull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), p. 1. 7 Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak, (Semarang: Kerjasama Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya Ikapi serta Ford Foundation, 2001), p. 34.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
981
sistem nilai, moralitas, interpretasi dunia, pokoknya terhadap apa saja yang berupa “nilai” dan berlawanan dengan “pengamatan” tanpa nada pejoratif, jadi netral. Raymon Williams menamakan ideologi “himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu atau, secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu”.8 John B. Thomson menyatakan bahwa ideologi hanya dapat dipahami dengan tepat sebagai “ideologi dominan” di mana bentuk-bentuk simbolis dipakai oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk “membangun dan melestarikan hubungan dominasi (masyarakat yang timpang)”.9 Menurut Mannheim, konsep “ideologi” mencerminkan satu penemuan yang timbul dari konflik politis, yakni bahwa kelompok-kelompok yang berkuasa dalam pikiran mereka menjadi sedemikian intensif terbelenggu pada kepentingan suatu situasi sehingga mereka tak dapat dengan mudah lagi melihat fakta-fakta tertentu yang akan menghancurkan rasa penguasaan mereka. Di dalam kata “ideologi” implisit terdapat penerangan bahwa dalam situasi-situasi tertentu ketidaksadaran kolektif kelompokkelompok tertentu menggelapkan kondisi real dari suatu masyarakat, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi kelompok-kelompok lain dan dengan jalan itu menstabilkan kondisi masyarakat itu.10 James Lull berpendapat bahwa ideologi merupakan ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan politik, organisasi bisnis, sekolah, serikat buruh, bahkan regu olah raga profesional dan orkes rock. Tetapi menurut Lull, istilah itu paling sering menunjukkan hubungan antara informasi dan kekuasaan politik–ekonomi berskala besar. Dalam berbagai macam saluran oleh mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi dalam masyarakat.11 Bagi Gramsci, ideologi lebih dari sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitrary systems) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosuf tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis (historically organic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu: “sejauh ideologi itu secara historis diperlukan, ia mempunyai keabsahan yang bersifat psikologis: 8
JamesLull, Media, p. 3. John B.Thomson, dalam James Lull, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi, (Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 1998), p. 3. 10 Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, terj. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 42. 11 JamesLull, Media, p. 2. 9
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
982
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
ideologi ‘mengatur’ manusia, dan memberikan tempat bagi mereka untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya”.12 Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Di sini, Gramsci merujuk pada pendapat Marx tentang ‘solidaritas keyakinan masyarakat’. Karena itu, menurut Gramsci, ideologi bukanlah sesuatu yang berada di awang-awang dan berada di luar aktivitas politik atau aktivitas praktis manusia lainnya. Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas praktis tersebut. Ia memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia, dan ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya, yaitu menyatunya pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku.13 Ramlan Surbakti mengklasifikasikan ideologi tersebut ke dalam dua pengertian, yaitu ideologi secara fungsional dan struktural.14 Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama, atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedang ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa suatu kelompok. Gerakan pemikiran Gus Dur sebagai ideologi secara fungsional bagi masyarakat NU telah banyak menghasilkan keputusan-keputusan politik baik pada masa orde baru dan reformasi, sedangkan sebagai ideologi secara struktural segala keputusan politik sebagai gagasan dan formula politik telah diaplikasikan dalam perilaku poltik para tokoh NU. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Gus Dur tidak terlepas dari pembangunan ideologi di dalam masyarakat NU maupun bangsa Indonesia. Pembangunan ideologi yang dilakukan Gus Dur selama ini dapat dilihat dari berbagai pendekatan-pendekatan antara lain: 1. Ideologi sebagai pemikiran politik; 2. Ideologi sebagai kepercayaan clan norma; 3. Ideologi sebagai bahasa, simbol, dan mitos serta; 4. Ideologi sebagai kekuasaan elite. Penting untuk ditekankan bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak terpisah satu sama lain. Hal ini dalam rangka membangun masyarakat NU yang egaliter, moderat dan toleran. 12 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baihaqi, (Yogyakarta: INSIST bekerja sama dengan Pustaka Belajar, 2000), p. 83. 13 Ibid., p. 84. 14 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), pp. 32-33.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
983
b. Ideologi Kyaisme dan Santrisme: Dua Pandangan Alternlatif Ideologi kyaisme dan santrisme. Sudah merupakan keyakinan yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia bahwa masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dilihat sebagai dosa masa lalu. Ketidakstabilan politik yang menyebabkan kehancuran ekonomi terutama dianggap sebagai akibat dari konflik tentang ideologi yang tak kunjung berakhir. Jadi, bersamaan dengan slogan "ekonomi sebagai panglima", para intelektual Orde Baru mengajukan argumen tentang perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari ideologi. Argumen ini mungkin disebabkan oleh salah-pengertian tentang ideologi. Seperti dinyatakan William. "memandang suatu kehidupan politik tanpa ideologi adalah (sama dengan) memandang suatu masyarakat tanpa konflik dan suatu bangsa tanpa harapan: suatu keadaan yang tidak akan ditemukan dalam masyarakat kontemporer mana pun, apalagi dalam suatu negara baru seperti Indonesia."15 Bahkan, ideologi menjalankan banyak fungsi di dalam masyarakat. Ideologi dapat juga dimanfaatkan oleh penguasa maupun yang ingin memperoleh kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah mereka tetapkan. Tentang kegunaan ideologi, William menyatakan dalam gaya Geertz bahwa: "Ideologi menghasilkan suatu peta realitas sosial, memisahkan penentu tingkah laku manusia yang penting dari yang tidak penting, menjelaskan bagaimana masa lalu membentuk masa sekarang dan bagaimana masa sekarang dapat membentuk masa depan; sejauh penjelasannya tentang masa lampau dan masa sckarang aerta visinya tentang masa depan sesuai dengan aspirasiaspirasi segolongan besar masyarakat yang aktif berpolitik (dapat digerakkan untuk berpolitik), ideologi memberi legitimasi pada para perumus dan pendukungnya; ideologi memuat atau dapat mrnganjurkan arah tindakan yang dirancang untuk meraih masa depan yang diinginkan; dan tentu saja, ideogi, dalazn kadar yang berbeda-beda dan secara sadar atau tidak, dapai merupakan
15
Howard L. William I., Consepts of Ideology, (Brighton: Harvester, 1973), p. 177. Pembandingan ringkas yang sangat bermanfaat terutama untuk pandangan Marx, Mannheim dan oakeshott. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
984
topeng bagi suatu kepentingan politik dan ambisi pribadi atau kelompok".16 Ringkasnya, ideologi memuat suatu konsepsi tentang tujuan yang perlu diraih dan tentang sarana-sarana untuk meraihnya. Menurut pengetian ini, di dalam setiap masyarakat pasti terdapat satu atau bahkan beberapa idelogi. Sejak lama di Indonesia telah muncul sekelompok intelektual longgar yang mempromosikan sejenis ideologi yang didasarkan pada “nilai-nilai modernitas sekuler”, seperti pragmatosme, rasionalisme dan internasionalisme di Indonesia. Akar intelektual dari ideologi tersebut dapat ditemukan dalam gagasan kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat pertama pada dasawarsa awal abad ini, yang banyak dipengaruhi pemikiran sosialis Eropa. 17 Selama 1950-an dan awal 1960-an, kaum intelektual tersebut secara informal mengelompok di sekitar pemimpin-peminpin yang oleh Herbert Feith disebut bertipe administrator, seperti wakil preseden Mohammad Hatta atau sultan Hamengku Buwono IX, tetapi yang paling penting adalah yang ada di sekitar politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI). 18 Banyak di antara mereka barangkali bukan anggota partai tersebut, tetapi kegiatan intelektual dan pendekatan ideologis membuat mereka lebih dekat ke kalangan sosialis, karena partai kecil itu adalah satu-satunya tempat di mana kaum intelektual beraliran liberal secara aktif melibatkan diri dalam perdebatan dan pertukaran gagasan maupun literatur tentang berbagai masalah kontemporer. C. Munculnya Ideologi Kyaisme dan Santrisme Dinamika politik selama Orde Baru, karir politik dan kesempatan politik masyarakat NU, khususnya para kyai dan santri terpinggirkan dalam pencaturan politik, walaupun peran masyarakat NU dalam membangun pemerintahan di Indonesia pada Orde Baru sangat besar. Hal ini dapat dilihat dalam merumuskan dan menetapkan pancasila sebagai lambang negara yang sudah final, bahkan yang menyetujui Pancasila sebagai satu-satunya ideologi pada masa itu. Tetapi peran dan keterlibatan kyai pada masa itu sangat minim di dalam pemerinthan.
16
Ibid., p. 177. Ibid., pp. 178-79. 18 Robert J. Myers, Partai Politk: Kecendrungan Oligarkis dalam Demokrasi, (Jakarta: PT. RajawaliMacridis, 1959). 17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
985
Dalam kondisi seperti itu, pada awal 1970-an sampai 1990-an Gus Dur membangun suatu pemikiran dalam media massa tentang kyai dan santri dalam kultur masyarakat Indonesia khususnya NU. Ia banyak membahasakan dunia kyai dan perilaku serta sepak terjangnya dalam kultur masyarakat Indonesia dalam kancah pemikiran di Indonesia. Di sisi lain, ia membangun suatu pemikiran dalam masyarakat NU yang notabene masyarakat pesantren dan masyarakat yang mayoritas tinggal di desa agar supaya bangkit dalam ranah intelektual dan perpolitikan di Indonesia, sehingga mereka mampu membangun suatu budaya masyarakat yang modern, Islami dan masyarakat yang membawa rahmatan lil alamin. Di dalam gerakan itu, ia membangun ideologi “kyai”, perilaku serta sepak terjangnya dalam kehidupan mereka dalam membangun masyarakat Islam sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mereka dapat dipahami oleh masyarakat luas khususnya para pemegang kekuasaan di negeri ini. Di sisi lain, ia membangun suatu gerakan bagaimana membangun masyarakat NU yang dikenal dengan masyarakat “tradisonal” itu mampu menangkap dan membangun suatu budaya yang intelek dan modern dalam kehidupan modern ini. Dua bahasa gerakan yang dibangun oleh Gus Dur ini (ke atas) di dunia intelektual, akademis dan pemegang kekuasan ia memperkenalkan ideologi kyaisme, perilaku dan sepak terjangnya dalam membangun masyarakat muslim Indonesia disebut sebagai ideologi kyaime, sedangkan dalam membangun masyarakat NU yang intetelek dan modern, ia memberdayakan para santri agar aktif dalam pemikiran dan aktifitas politik, sosial kemasyarakatan agar supaya mereka punya andil dalam membangun bangsa Indonesia. D. Struktur Sosial-Politik PKB Masyarakat adalah laksana organisme hidup menurut Auguste Comte Tokoh yang dikenal sebagai pelopor paham fungsional-struktur. Hal ini dijelaskan lebih jauh oleh Herbert Spencer dalam bukunya synthetic philosophy.19 Spencer mengatakan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lainnya. Senada dengan hal itu yang dikemukakan E. Durkheim bahwa masyarakat modern dilihat sebagai keseluruhan organisme yang memiliki realitas sendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi 19
Herbert Spencer, Synthetic Philosophy, (Colombias University Buriu of Upplied Social Science, 1895), pp. 436-506. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
986
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Apabila tidak terpenuhi, maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis”. Pemikiran E. Durkheim ini (yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup) dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown dengan menyumbangkan buah fikiran mereka tentang hakikat analisa fungsional yang dibangun di atas model organisme.20 Oleh karena kepribadian seseorang merupakan produk struktural, maka hal ini yang dikemukakan oleh tokoh paham fungsionalisme struktural seperti Robert K. Merton yang pemikirannya dipengaruhi oleh penulis-penulis seperti Max Weber, William I. Thomas dan E. Durkheim sebagai dasar bagi karyanya.21 Hal itu terjadi atas usaha gurunya, yaitu Talcott Parson yang juga tokoh sosiolog Amerika dalam paham fungsionalisme-struktural. Struktur menunjuk pada “seperangkat unitunit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau “suatu sistem dengan pola-pola yang relatif abadi”. Lembaga sosial keagamaan seperti NU atau lembaga politik seperti PKB adalah contoh dari struktur atau sistem sosial yang demikian itu. Masing-masing merupakan bagian yang saling bergantung (norma-norma mengatur status dan peranan) menurut beberapa pola tertentu. Pengaruh lembaga atau orgnisasi terhadap perilaku seseorang atau masyarakatnya merupakan tema yang merasuk ke dalam karya-karya Merton. Tema ini kemudian diilustrasikan oleh Merton dengan istilah “ramalan yang terpenuhi karena kekuatannya sendiri (The self fulfilling prophecy)", yang merupakan penyempurnaan dari pernyataan klasik dari W. I. Thomas: “bila orang menganggap situasi yang ia hadapi sebagai hal yang riil, maka konsekuensinya akan menjadi riil pula”. Merton mengatakan, “pada mulanya the self fulfilling prophecy adalah merupakan anggapan yang keliru tentang definisi sesuatu yang kemudian menimbulkan perilaku baru dengan akibat konsepsi yang pada mulanya
20 A. R. Radcliffe-Brown, "On the Concept of Function in Social Science", dalam Lewis A. Coser & Bernan Rosenberg (Ed), Sociological Theory: A Book of Readings (edisi ke 4), (New York: Macmilan Publishing Co. Inc., t.t.), pp. 503-511. 21 Mengenai pembahasan Merton yang bersandar pada ahli sosiologi Erofa Klasik, lihat Merton Coser, Social Theory and Social Structure, p. 422. Coser mengomentari usaha Merton, mengingat banyak suara yang membicarakannya tetapi secara eksklusif tidak pernah menghargai….Merton berhasil mewariskan kepada kita bangunan ide-ide Eropa dan Amerika yang memiliki banyak segi dan penuh warna; yang dicoba untuk digabungkan ke dalam karya-karyanya dengan memanfaatkan ide-ide tersebut bagi tujuan kreatifnya sendiri.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
987
keliru itu akhirnya menjadi kenyatan,22 maka strukturlah yang bertanggungjawab atas perilaku anggotanya. Dampak lembaga terhadap kehidupan anggotanya juga dikemukakan oleh Merton dalam bukunya” Social Structure and Anomie.23 Menurut pandangan yang dipelopori oleh Charles H. Cooley, William Isaac Thomas, George Herbert Mead dan muridnya Herbert Blumer, manusia tidak dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif (lembaga) sebagaimana paham fungsionalisstruktural (manusia dipengaruhi oleh situasi obyektif (lembaga) di mana ia berada), tetapi paling tidak sebagian merupakan aktor-aktor yang bebas. Oleh karena itu, perlu memperhatikan definisi dan interpretasi subyektif yang dilakukan oleh aktor terhadap stimulus obyektif; bukan melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Maka, di samping mengakui realitas dunia obyektif dan peranannya dalam perkembangan manusia, G.H. Mead dan Blumer juga mengakui kedudukan interpretasi dunia obyektif secara subyektif, yaitu oleh individu yang ada di dalamnya. Realitas sosial yang ada seperti pemahaman keagamaan dan realitas politik masyarakat NU dalam PKB sebagai proses ketimbang sebagai sesuatu yang statis. Manusia maupun aturan sosial berada dalam proses akan jadi bukan merupakan fakta yang sudah lengkap.24 Bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi yang disebut dengan masyarakat. Diri seseorang atau self menjalani internalisasi atau interpretasi subyektif atas realitas (obyektif) struktur yang lebih luas. Diri (self) benarbenar merupakan internalisasi seseorang atas apa yang telah “dianalisir orang lain”, atau kebiasaan-kebiasaan sosial komunitas yang lebih luas. Dia merupakan produk dialektis dari “saya” atau impulsive dari diri, dan “aku”. atau sisi sosial manusia. Karena itu, setiap diri seseorang terdiri dari biologis dan psikologis “saya” dan sosiologi “aku”. Diri ini berkembang ketika orang masuk dalam sebuah game dalam suatu komunitas masyarakat.25 Dengan demikian, orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain tetapi juga dengan dirinya sendiri. Interaksi-simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, isyarat dan 22Robert
K. Merton, Social Theory and Social Structure, (London: The Free Press of Glencoe, 1975), pp. 422-3. 23 Robert K. Merton, "Sosial Structure and Anomie", American Sosiological Review 3, 1938, pp. 672-682. 24 Blumer, "Sociological Implication of the Thought of George Herbert Meat", The American Journal of Sosiologi 71, Maret, 1996, pp. 535-544. 25 Ibid. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
988
juga lambang. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, symbol berada dalam proses yang kontinyu. Proses penyampaian Makna inilah yang merupakan subject matter dari sejumlah analisa kaum intraksionis–simbolis.26 Bagi Blumer dalam bukunya Simbolic Intractionism: Perspective and Method, perilaku seseorang bertumpu pada tiga premis, yaitu: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka”. 2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain atau kelompok atau organisasi” 3. Ketiga makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksisosial berlangsung.27 Tidak ada yang inheren dalam suatu obyek sehingga ia menyediakan makna bagi manusia. Makna-makna tersebut berasal dari interaksi dengan orang lain, kelompok atau organisasi dima na ia bernaung. Sebagaimana dinyatakan oleh Blumer, bagi seorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu.28 Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batas dan sesuatu bagi orang lain. Manusia memilih, memeriksa, berfikir, mengelompokkan dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Sebenarnya, interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai penerapan makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai proses pembentukan di mana makna yang dipakai dan disempurnakan sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan. Tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa “kekuatan luar” (sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum fungsionalis-struktural) dan tidak pula disebabkan “kekuatan dalam” (seperti yang dikemukakan oleh kaum redaksionis-psikologis). Blumer mengatakan individu bukan dikelilingi oleh obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan membentuk perilakunya, tetapi setiap individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengmbil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol. Dengan demikian, manusia merupakan aktor yang sadar, refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang 26
Blumer, "Sociological, pp. 535-544. Blumer, Symbolic Intractionism: Perspective and Method, (Englewood Cliff, N.J: Prentice-Hall Inc., 1969), p. 2. 28 Ibid., pp. 4-5. 27
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
989
disebut Blumer sebagai proses self–indication.29 Self–indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan di mana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self–indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mencoba” mengantisipasi” tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu. Tindakan manusia penuh dengan penafsiran dan pengertian. Tindakan-tindakan tersebut saling diselaraskan dan menjadi apa yang disebut kaum fungsionlis sebagai struktur sosial. Blumer lebih senang menyebut fenomena ini sebagai tindakan bersama, atau pengorganisasian secara sosial tindakan-tindakan yang berbeda dari partisipan yang berbeda pula.30 Setiap tindakan berjalan dalam bentuk prosesual, dan masing-masing saling berkaitan dengan tindakan-tindakan prosesual dari orang lain. Mereka berkembang dalam konteks struktur masyarakat atau organisasi yang tetap berubah-rubah dan memberikan tanggapan pada intraksi-intraksi simbolis dalam unit masyarakat atau organisasi.31 Normanorma, seperti yang dibahas oleh kaum fungsionalis struktural, tidak menentukan perilaku individu; individu bertindak selaras demi menyangga norma-norma atau aturan-aturan perilaku. Kaum fungsionalis struktural menekankan bahwa manusia merupakan produk dari masingmasing masyarakatnya, sementara kaum intraksionis–simbolis menekankan sisi yang lain, yaitu struktur sosial merupakan hasil interaksi manusia. Pandangan yang dikemukakan oleh Blumer mengandung beberapa root images, antara lain: 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuain melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. 2. Interaksi terdiri dari berbagai tindakan dan kegiatan manusia yang berhubungan dengan tindakan dan kegiatan manusia lain. Interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan. 3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih merupakan produk interaksi–simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: obyek fisik, seperti pesantren, ma’had atau lainnya; obyek sosial seperti kyai, syaikh, ulama, atau tuan guru atau gus; serta obyek abstrak, seperti lambang organisasi. 29
Ibid., p. 81. Ibid., p. 17. 31 Ibid., p. 19. 30
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
990
4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan obyek, lahir di saat proses interaksi-simbolis. 5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggotaanggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.32 Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut para sosiolog sebagai “kebudayaan atau aturan sosial”. Dengan demikian, struktur sosial dan politik PKB itu dapat dikatagoriakan dalam beberapa macam: 1. Birokrasi organisasi dan kepartaian PKB terkendali Salah satu masalah terbesar yang dihadapi Gus Dur dalam memajukan masyarakat tradisional adalah membuat program-program yang bisa diterapkan secara efektif dan tidak diselewengkan oleh birokrasi. Supaya gerakannya baik ke atas maupun ke bawah itu berjalan diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap terhadap eksekutif puncah. Tidak diragukan lagi bahwa para pemimpin khususnya gusdur bertekad untuk menjadikan organisasi NU yang kemudian melahirkan PKB itu sebagai “primun mobile” bagi program gerakannya. Namun, birokrasi yang diwarisi sebelumnya adalah birokrasi yang kacau, tidak efektif dan dengan kapasitas pengetahuan yang minim dan yang paling merepotkan sangat terpolitisir. Bahkan, birokrasi tersebut menjadi arena adu pengaruh bagi para kyai di NU maupun kemudian berimbas pada para politisi Partai Kebangkitan Bangsa. Jadi, masuk akal ketika Gus Dur memandang reformasi terhadap birokrasi sebagai prioritas utama. 2. Peranan santri akademis yang terpadu NU sebagai organisasi pada awalnya kepemimpinan dipegang oleh para kyai pemimpin pesantren, tetapi setelah Gus Dur naik dalam kepemimpinan, peranan kyai pesantren dikurangi dan digantikan oleh para kyai dan santri intelektual dan terjun di akademisi. Hal ini didorong oleh perlu adanya reformasi dalam kepengurusan NU baik di lingkungan administratif maupun pemikiran. Gerakan ini merembet ke dalam kepengurusan PKB yang hanya dipegang oleh para anak muda yang intelek dan akademis, sedangkan para kyai hanya menjadi back up dan memberikan restu di dalam gerakannya. 3. Para politisi dan anggota dewan yang lebih tanggap 32
Ibid., p. 17.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
991
PKB sebagai partai yang direstui oleh PBNU, maka para politisi dan wakil rakyatnya lebih tanggap di dalam merespon berbagai persoalan masyarakat, sehingga ketika Gus Dur melahirkan berbagai kebijakan di dalam pemerintahannya seperti pencabutan Tap MPR No. 25/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme, pembubaran MPR dan DPR dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, para politisi PKB dan aparat anggota dewannya berada di belakang kebijakan itu. Gagasan itu menjadikan para politisi PKB terjebak dalam kecenderungan utopianisme terhadap Gus Dur. 4. Politik Kepartaian yang Inklusif dan Moderat Berdirinya PKB yang kemudian dinyatakan sebagai wadah satusatunya penyalur aspirasi politik warga NU bukan merupakan ideologi kepartaian yang selama ini dipegangi oleh NU, tetapi lebih menganut asas dan ideologi inklusif dan pluralis, sehingga partai ini memberikan kesempatan tidak hanya pada warga NU, tetapi juga umat Islam pada umumnya, bahkan umat non muslim. Walaupun hal ini mendapat banyak tantangan di kalangan para kyai seperti KH Yusuf Hasyim, Salahudin Wahid dan KH. Alawi Muhammad dan lain sebagainya. Menanggapi berbagai tantangan itu, Gus Dur mengatakan bahwa PKB mengutamakan kepentingan nasional. PKB senantiasa mengutamakan substansi hukum Islam melalui hukum nasional dan bukan mengutamakan simbol-simbol formal keagamaan. Karena RI adalah sebuah negara dengan kepentingan-kepentingan nasional dan bukan sebuah negara agama.33 Hal ini juga dipertegas oleh perkataan Mathori Abdul Djalil bahwa PKB lahir dari gua garba NU, secara otomatis mewarisi watak inklusifnya NU dalam beragama. Ketika PKB lahir sebagai partai yang inklusif dan terbuka, orang tentu saja tidak terkejut, sebab inklusifisme memang sudah mendarah daging di batang tubuh NU. PKB menjadi semacam “pelembagaan inklusifisme NU”, terutama pada arah politik. Sebagai “pelembagaan inklusifisme NU” pemahaman keagamaan yang ada dalam diri PKB diarahkan pada penerimaan terhadap realitas pluralisme agama secara optimis. Dengan demikian, hal itu menumbuhkan sikap keterbukaan yang menjadi salah satu prasyarat demokrasi. PKB percaya bahwa masa depan bangsa yang baik dicapai dengan berbagai bentuk akomodasi dan kerja sama antarkomponen bangsa yang bertumpu pada kepercayaan (trust), penghargaan (honor), kesetaraan (equality), dan solidaritas sosial (social solidarity), untuk meneguhkan kerukunan 33
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo, 1999), pp. 352-53. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
992
antarumat beragama dan melegitimasi friksi-friksi antar agama, PKB menumbuhkan dan mengembangkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran melalui bentuk-bentuk dialog antariman secara otentik. Inklusifisme dan toleransi sejati sebagai semangat berdemokrasi dan mempertinggi derajat kemanusian.34 5. Kantor PBNU sebagai Inti Inti dari proses pembinaan gerakan yang dilakukan Gus Dur di dalam NU yang akhirnya melahirkan PKB, baik gerakan yang ”ke atas” maupun yang ”ke bawah” adalah memperkuat kantor PBNU sebagai pusat dominasinya dalam keagamaan maupun sosial politik dalam masyarakat NU maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Proses pembinaan ini merupakan suatu mekanisme yang memungkinkan Gus Dur untuk mengendalikan, dan-jika dipandang perlu, melewati saja birokrasi yang ada. Hal ini telah dibuktikannya dalam beberapa hal: pertama, memanfaatkan wewenang khusus yang diperolehnya dari Muktamar sebagai ketua PBNU. Kedua, membina sumber-sumber yang ada seperti kyai, santri dan pesantren untuk tujuan-tujuan patronase. Gerakan pemikiran yang dibangun oleh Gus Dur dalam membangun masyarakat NU sejak 1970-an sampai dengan 1990-an, ”ke atas” ideologi kyaisme dan santrisme itu mampu menarik banyak pemerhati dalam kajian keislaman baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga kepercayaan pada NU sebagai organisasi keagamaan maupun Gus Dur itu semakin banyak dan tinggi. Hal ini terbukti banyaknya lembaga swadaya luar negeri memberikan bantuan dan perhatian terhadap NU dan Gus Dur pada khususnya. Di sisi lain, gerakan yang bersifat ”ke Bawah” dalam membudidayakan masyarakat NU yang dikenal sebagai organisasi dengan masyarakat tradisional mampu bergerak ke level masyarakat yang dinamis dalam dunia pemikiran maupun ekonomi. Walaupun gerakan ini banyak mendapat tantangan di lingkungan para kyai sepuh seperti RKH. As’ad dan sebagainya. Gerakan ini juga merambah ke dunia politik, ketika mendirikan PKB sebagai wahana politik, masyarakat NU mendapat banyak tantangan dari berbagai kalangan di lingkungan para kyai dan sanak keluarganya. Tetapi hal itu tidak menyurutkan keinginan Gus Dur dalam tujuan-tujaunnya. Seperti yang diungkapkan oleh oleh KH. Salahuddin Wahid:
34
Marzuki Wahid dkk., Geger di Republik NU: Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna, (Jakarta: Kompas- Lakpesdam, 1999), pp. 136-7. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
993
“Berdirinya PKB yang kemudian dinyatakan sebagai wadah satusatunya penyalur aspirasi politik warga NU adalah sebagai ekperimen Gus Dur. Partai yang didirikan dan dinyatakan sebagai autorized party oleh PBNU itu ternyata tidak memiliki kesamaan asas dan tujuan dengan jam’iyah NU, bahkan Gus Dur dan Mathori Abdul Djalil menyatakan PKB bukan partai Islam dan merupakan partai yang menginginkan negara sekuler, sedangkan Jam’iyah NU menyatakan bahwa tujuannya adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahl al Sunnah wa al-Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab yang empat, di dalam wadah negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.35 Demikian pula yang dikatakan oleh KH Yusuf Hasyim dan KH Alawi Muhammad.36 Hal ini menunjukkan keberhasilan Gus Dur dalam pembangunan ideologi kyaisme dan santrisme itu tidak hanya di level organisasi, tetapi juga dalam sistem kepartaian seperti PKB, sehingga dominasi terjadi dan mengakar di lembaga formal maupun informal. E. Penutup Gerakan Pemikian Gus Dur dalam dasawarsa 1970-1990 telah mampu membangun ideologi kyaisme dan santrisme yang telah banyak mempengaruhi masyarakat Indonesia baik lapisan atas maupun bawah. Hal ini menempat Gus Dur pada posisi tokoh yang sangat disegani di laingkungan cendekiawan dan penguasa lebih-lebih di lingkunagn masyarakat NU yang notabene masyarakat pesantren. Posisi ini membentuk struktur kepemimpinan yang dominan dalam NU bahkan merambat dalam lembaga politik seperti PKB. Hal tersebut terjadi dikarenakan Gus Dur sendiri tidak mampu membangun tata kelembagaan di dalam NU maupun PKB, sehingga organisasi yang ia pimpin tidak hanya menjadi sarana pengembangan pemikirannya tetapi juga dijadikan sebagai alat dominasi dalam lembaga yang ia pimpin sehingga menjadikan partai yang ia dirikan bersama para tokoh NU lainnya hanya menjadi sebuah ”Partai Teater”. Konsep demokrasi dan demokratisasi hanya menjadi wacana yang dikembangkan di dalam pikiran para pengikutnya tanpa dibarengi oleh pelaksanaan dalam kepemimpinannya. Bahkan terjadi dalam hal ini pembajakan
35 Agus Sudibyo, Menelusuri Liberalisme Islam di NU, (Jakarta: Lakpesdam-Taf, edisi N0.9, 2000), p. 73 dan Bahrul ’Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, (Semarang: ar Ruzz Press, 2002), p. 178. 36 Ibid.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
994
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
konsep demokrasi dan demokratisasi dalam melanggengakan ketokohan, dominasi dan kekuasaannya dalam partai. Pembangunan pemikiran ideologis dalam suatu masyarakat yang tidak dibarengi oleh tata kelembagaan akan melahirkan sistem kepemimpinan yang dominan dan oteriter. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakannya dalam partai, baik mengenai keputusan politik, rekrutmen anggota dan pendistribusian kekuasan dan kompetisi antarelit tidak ada dalam sistem yang demikian itu. Hal ini secara tidak langsung merupakan perlawanan terhadap sistem demokrasi dan demokratisasi itu sendiri. Kalau sistem kepemimpinan suatu bangsa baik dalam sebuah organisasi seperti kepartaian maupun negara itu tidak terlepas dari budaya yang dianut, maka perlu adanya reteorisasi dalam sistem demokrasi dan kepemimpinan ala Indonesia tanpa dipengaruhi oleh sistem yang datang dari luar, sehingga diperlukan meng-install kembali konsep-konsep kepemimpinan yang ada. Hal ini penting dilihat dari berbagai pengalaman kepemimpinan di Indonesia baik pemimpin negara maupun partai pengaruh budaya lokal dan pemahamn keagaamaan menjadi andil dalam kepemimpinan. Daftar Pustaka Blumer, "Sociological Implication of the Thought of George Herbert Meat", The American Journal of Sosiologi 71, Maret, 1996. _______, Symbolic Intractionism: Perspective and Method, Englewood Cliff, N.J: Prentice-Hall Inc., 1969. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2002. Geertz, Clifford, Coek figthing, Gluncue: The Free Press, 1960. Gidden, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisa Karya Marx, Durkheim dan Max Weber, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Lull, James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Terj. F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Subaidi: Partai Teater: Bayang-bayang Gus Durisme dalam PKB
995
Merton, Robert K., "Sosial Structure and Anomie", American Sosiological Review 3, 1938. _______, Social Theory and Social Structure, London: The Free Press of Glencoe, 1975. Myers, Robert J., Partai Politk: Kecendrungan Oligarkis dalam Demokrasi, Jakarta: PT. RajawaliMacridis, 1959. Palmer, Monthe, Dilemmas of Political Development: an Introduction to the Politics of the Developing Countries, Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publishers, Inc., 1989. Radcliffe-Brown, A. R., "On the Concept of Function in Social Science", dalam Lewis A. Coser & Bernan Rosenberg (Ed), Sociological Theory: A Book of Readings (edisi ke 4), New York: Macmilan Publishing Co. Inc., t.t. Simon, Roger, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, terj. Kamdani dan Imam Baihaqi, Yogyakarta: INSIST - Pustaka Belajar, 2000. Spencer, Herbert, Synthetic Philosophy, Colombias University Buriu of Upplied Social Science, 1895. Sudibyo, Agus, Menelusuri Liberalisme Islam di NU, Jakarta: LakpesdamTaf, edisi N0.9, 2000. Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak, Semarang: Kerjasama Penerbit Mimbar dan Yayasan Adikarya Ikapi serta Ford Foundation, 2001. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992. Thomson, John B., Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, terj. A. Setiawan Abadi, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 1998. Ulum, Bahrul, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi, Semarang: ar Ruzz Press, 2002. Wahid, Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo, 1999. Wahid, Marzuki dkk., Geger di Republik Nu: Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna, Jakarta: Kompas- Lakpesdam, 1999. William I., Howard L., Consepts of Ideology, Brighton: Harvester, 1973. Zoest, Aart van, "Interpretasi dan Semiotika", dalam Sudjiman P. dan Aart van Zoest (ed). Serba-Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010