GUS DUR DAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: Faur Rasid NIM: 1111032100022
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 M/1438 H
ABSTRAK
Faur Rasid Gus Dur Dan Agama Khonghucu Di Indonesia Tionghoa masuk ke Nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman Hindia-Belanda, keturunan Tionghoa mendapatkan berbagai diskriminasi dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa pemerintahan Orde Lama etnis Tionghoa dan umat Khonghucu sempat mendapat pengakuan dari Negara dengan Keppres No. 1 tahun 1965 tentang penodaan dan penyalahgunaan agama. Pada masa Orde Baru selama 32 tahun, agama Khonghucu mengalami diskriminasi karena adanya Inpres No. 14 tahun 1967. Ketika masa pemerintahan Gus Dur mencabut Inpres No. 6 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 tahun 2000, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh pemerintah. Maka pemikiran dan sikap Gur Dur ini menjadi menarik untuk diteliti. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif, dengan menggunakan pendekatan historis dan filosofis, pendekatan historis ini digunakan untuk mengkaji sejarah agama Khonghucu di Indonesia pada masa Hindia belanda sampai reformasi dan filosofis untuk merumuskan secara jelas hakikat yang mendasari konsep-konsep pemikiran Gus Dur. Kajian yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupaya menelusuri bagaimana peran Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu dan memahami pemikiran beliau terhadap keberagaman yang ada di Indonesia serta sejarah agama Khonghucu dari masa kemasa. Sebagai seorang presiden yang mewakili rakyatnya tentu Gus Dur harus mengakomodasi semua keperluan rakyatnya tanpa terkecuali termasuk masalah keyakinan yang dianut rakyatnya. Umat Khonghucu tentu sangat bersyukur jika urusan keagamaan mereka sudah dapat diakui dan diakomodasi segala keperluannya oleh pemerintah. Maka dari itu, hasil yang penulis dapatkan dalam penelitian ini yakni dihapusnya istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh pemerintahan Gus Dur dengan berlandaskan pada azas Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada masa Gus Dur ini juga menjadi keran kebijakan terhadap agama Khonghucu bagi pemerintahan selanjutnya, seperti ditetapkannya hari Libur Nasional di zaman presiden Megawati dan pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu pada masa presiden Susilo Bambang Yudoyono.
v
KATA PENGANTAR
“Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan tetapi hebat dalam tindakan” (Nabi Khonghucu) Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpahkan rahmat serta karunianya dalam segala hal, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Gus Dur dan Khonghucu di Indonesia”. Sholawat serta seaam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para Sahabatnya, serta kepada umatnya hingga akhir zaman. Amin ya rabb. Penulisan skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi Agama - Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak kesan dan pelajaran dalam setiap proses yang amat panjang dalam menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri. Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu sudah selayaknya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang turut membantu dalam setiap proses untuk menyelesaikan skripsi ini. Baik berupa dukungan, bantuan, serta ucapan semangat yang tiada henti hentinya kepada penulis. Oleh karena itu setelah rampungnya penulisan skripsi ini, penulis ingin menyebutkan beberapa nama yang teramat berkesan dihati penulis, yaitu:
vi
1.
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M, Si. selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, yang tidak pernah bosan memberikan motivasi, bimbingan, do’a, dan kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis.
2.
Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Dra. Halimah Mahmudy, MA, selaku ketua dan sekretaris jurusan Studi Agama - Agama, yang telah membantu dan memberikan masukan yang bermanfaat bagi penulis.
3.
Prof. Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama - Agama, Dr. Ahmad Ridho, DESA, Pros. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA, Dra. Hermawati, MA, Drs. M. Nuh Hasan, MA, Dr. Amin Nurdin, MA, Dr. Hamid Nasuhi, M,Ag, Dr. Abdul Muthalib, Syaiful Azmi, MA dan Dra. Siti Nadroh, MA, yang telah memberikan berbagai ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
5.
Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Utama Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Depok, dan Perpustakaan PBNU Pusat yang telah membantu menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.
6.
Litang Bio Tangerang terkhusus untuk Bapak Rudi, Engkong Tjin Enk, dan staf lainnya, juga kepada bapak Uung Sendana Selaku Ketua MATAKIN, serta kepada Bapak Bratayana Ongkowijaya, Bapak Masari Saputra Depok,
vii
yang telah memberikan banyak kontrinusinya kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir. 7.
Perpustakaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terkhusus buat Bapak H. Syatiri Ahmad HS. S. Ag. Selaku pengurus perpustakaan PBNU.
8.
Keluarga Besarku, Ayahanda tercinta Suhadi, Ibunda tercinta Muryati yang senantiasa memanjatkan do’a dan harapannya untuk anaknya tercinta. Kakakkakaku Eko Handoyo dan Istri, Ningsih dan Suami, Siti Nur Efiyah dan Suami, serta adikku tersayang Riski Nisa Khomisatin yang selalu membantu dan memberi dukungan. Tidak lupa juga untuk keluaraga besar Simbah Casmadi baik di kampung halaman maupun di Jakarta.
9.
Sahabat-sahabatkuImam Arifin, Andri Wijaya, Hendro Purwanto, Jaelani Habibi, dan Widia Nisa yang tiada bosan memberikan semangat dan menemani hari-hari penulis.
10. Teman-teman angkatan terkhusus Martia Awaliah, Rini Farida, Helmi Suhaimi, Arip Nurahman yang mengisi hari-hari ku di kampus, juga Mylinda Chaerunissa, Enis Chaerunisa, Anissa Khalida dan Nur Jaman yang selalu mememani untuk mencari referensi. 11. Teman-teman CURIOUS ( Community Of Religious Studies), yang memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba ilmu di jurusan Perbandingan Agama. 12. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Pelajar Pemalang - Jakarta (IMPP-J), yang sudah menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu di Jakarta, terkhusus untuk Zaenun Nu’man, Liliek Khanna Aisyah, Siti Nurhayati,
viii
Burhani Cokro Handoko, Faiqul Himam, Abdul Basyir, Teti Anggriani Dewi Tantu dan Ina Nur Hasanah. 13. Keluarga Besar Ikatan Remaja Masjid Fathullah (Irmafa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak pengalaman non akademis sebagai tambahan pengetahuan untuk bekal hidup di masyarakat. 14. Teman-teman KKN Kreatif, Inovatif, Totalitas, dan Aktif (KITA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 15. Dan yang terakhir untuk dua sahabatku yang selama ini selalu memberikan segalanya buat penulis yaitu Ade Eko Kurniawan yang dengan setianya menemani penulis dari semenjak SMK sampai sekarang, juga buat Fela Sufah Maulina yang mengenalkan dan mengantarkan penulis sampai dapat kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya, terutama bagi yang berminat di bidang Studi agama-agama lebih khusus tentang perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia. Kritik dan saran akan penulis terima dengan lapang dada. Jakarta, 17 April 2017
Faur Rasid
ix
DAFTAR ISI
Surat Pernyataan ............................................................................................... ii Lembar Persetujuan ......................................................................................... iii Lembar Pengesahan .......................................................................................... iv Abstrak ............................................................................................................... v Kata Pengantar ................................................................................................. vi Daftar Isi ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang ............................................................................................. 1 Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 10 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 11 Kajian Pustaka ............................................................................................ 12 Metode Penelitian ...................................................................................... 13 Sistematika Penulisan.................................................................................. 16
BAB II AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA ....................................... 17 A. Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia ..................................................... 17 1. Zaman Hindia-Belanda ........................................................................... 17 2. Zaman Kemerdekaan .............................................................................. 23 a. Masa Orde Lama................................................................................. 23 b. Masa Orde Baru .................................................................................. 25 c. Masa Reformasi .................................................................................. 26 B. Ajaran Agama Khonghucu .......................................................................... 28 1. Ajaran Tentang Tuhan ........................................................................... 28 2. Ajaran Tentang Keimanan ..................................................................... 31 3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati....................................................... 33
x
BAB III GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA .......................... 36 A. Gus Dur dan Kebebasan Beragama ............................................................. 36 1. Humanisme Gus Dur .............................................................................. 39 2. Pluralisme Gus Dur ................................................................................ 44 B. Gus Dur dan Agama Khonghucu ................................................................. 51 C. Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khonghucu ............... 56 1. Menegakkan Demokrasi ......................................................................... 56 2. Penerimaan Atas Ideologi Pancasila ....................................................... 59 3. Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur ............................................ 61 D. Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek ................................................... 69 E. Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP ................................................. 72 BAB VI PENUTUP .......................................................................................... 76 A. Kesimpulan ................................................................................................. 76 B. Saran........................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81
xi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Di
samping itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara kepulauan, karena memiliki 17.508 pulau yang membentang dari sabang sampai merauke.1 Sebagai negara kepulauan, Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari Indonesia itu sendiri maupun dari negeri lain yang sudah lama tinggal di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah suku bangsa Cina atau orang Tionghoa.2 Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Dari keempat masalah tersebut yang sangat menonjol adalah rasialisme antargolongan etnis Cina dengan mayoritas pribumi dan persoalan yang menyangkut agama, serta kehidupan beragama etnis Cina.3 Tidak ubahnya seperti suku bangsa lain di Indonesia, etnis Cina juga menganut agama yang berbeda-beda, baik yang secara resmi diakui oleh pemerintah ataupun tidak. Salah satu agama yang dianut oleh etnis Cina di Indonesia adalah agama Khonghucu (Konfusianisme). Agama ini, di zaman Orde
1
Budi Untung, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015), h.
238. 2
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005). 3 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv.
1
2
Baru, tidak diakui sebagai agama resmi oleh Pemerintah Indonesia.4 Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang larangan bagi WNI keturunan Cina untuk melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina
secara
terbuka
dan
Surat
Edaran
Menteri
Dalam
Negeri
No.
477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November tahun 19785 tentang lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.6 Selain itu, adanya penghapusan mata pelajaran agama Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku. Para penganut agama Khonghucu bahkan sering mengaku beragama lain dengan alasan karena pada saat itu Khonghucu bukan agama yang diakui. Hal ini mengakibatkan umat Khonghucu tidak diijinkan merayakan hari-hari sucinya di depan masyarakat umum. Di dalam Kartu Tanda Penduduk yang berfungsi sebagai identitas diri, umat Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan menyebut dirinya beragama Khonghucu tetapi harus mengakui beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian kartu penduduk hanya diberi tanda.7 Kebijakan semacam ini jelas sangat membatasi kebebasan manusia untuk memeluk suatu agama dan juga membatasi manusia untuk menggunakan hak-haknya sebagai seorang yang beragama. Padahal dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
4
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xiv. http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentangagama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017 Pukul 21.51 6 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi. 7 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002), h. 62. 5
3
Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.8 Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama, bukan Negara yang tidak beragama (atheis). Dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.9 Di tengah problem tersebut, keberadaan agama Khonghucu sebagai salah satu bentuk kebangkitan kehidupan beragama dikalangan etnis Cina di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara belum begitu jelas dan masih simpang siur. Hal ini dapat menimbulkan berbagai macam interpretasi, keraguan, dan dapat membuat kurang mantapnya pelaksanaan ajaran Khonghucu dalam kehidupan beragama dan masyarakat.10 Di satu pihak ajaran Khonghucu dianggap sebagai ajaran agama yang dapat disetarakan dengan agama yang sah yang diakui oleh pemerintah. Mereka yang beranggapan demikian berpendapat bahwa ajaran Khonghucu memiliki konsep tentang adanya Tuhan yang Maha Esa, nabi (Khonghucu), kitab suci (Su Si), rumah ibadah (Lithang), tata cara ibadah, dan konsep eskatologi. Di lain pihak agama Khonghucu ini tidak layak dianggap sebagai agama, karena Khonghucu tidak berbicara tetang hal-hal yang menyangkut kehidupan setelah mati, doa, atau
8
Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016) h. 24. 9 http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal-29-uud1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses 16 Maret 2016 Pukul 22.43 10 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xv.
4
komunikasi antara yang hidup dan yang mati, dan sarana untuk mempertahankan hubungan itu sepenuhnya walaupun seseorang telah meninggal.11 Perbincangan tentang Khonghucu sebagai suatu agama atau bukan, juga merambah di kalangan tokoh-tokoh Islam. Di antaranya adalah Gus Dur12, Cak Nur13 dan Dr. Tarmizi Taher (mantan Menteri Agama RI). Gus Dur dan Cak Nur sependapat bahwa Khonghucu dapat dikatakan sebagai agama, karena ia mempunyai umat dan diyakini umatnya sebagai suatu agama.14 Berbeda dengan pendapat Gus Dur dan Cak Nur di atas, Tarmizi Taher mengatakan bahwa sampai kapanpun pemerintah tidak akan mengakui Khonghucu sebagai agama, karena di Republik Rakyat Cina (RRC) sendiri Khonghucuisme tidak dianggap sebagai agama dan dipandang dari sudut apapun Khonghucu tidak baik disebut sebagai agama.15 Namun, hal tersebut tidak menciutkan jiwa umat Khonghucu yang begitu semangat walaupun banyak rintangan yang perlu dihadapinya. Hal ini bukan masalah bagi umat Khonghucu sehingga mereka tidak menyerah. Umat Khonghucu semakin semangat dengan adanya larangan kegiatan tersebut, sehingga
timbul
dalam
pikiran
mereka
untuk
menciptakan
misi
perkembangan agama Khonghucu.16
11
Leo Suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia (Terjemahan Dede Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), h. 48. 12 Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Gus Dur ketika menyebut nama Abdurahman Wahid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat. 13 Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kata Cak Nur ketika menyebut nama Nurcholish Majid, sebagai panggilan akrab yang lebih membumi dikalangan masyarakat. 14 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi. 15 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi. 16 Gunawan Saidi,Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2009), h. 3.
dan
5
Keinginan agar Khonghucu diakui sebagai agama di Indonesia tampaknya mulai mempunyai peluang ke arah yang lebih baik. Beberapa seminar yang menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia sudah mulai digelar. Salah satunya digelar di IAIN Jakarta pada Agustus 1998. Disamping itu, karyakarya tulis yang menyangkut agama Khonghucu juga sudah mulai bermunculan. Diantaranya adalah “Hak-Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu: Perspektif Sosial, Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998. Buku ini ditulis oleh beberapa tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai sudut.17 Di zaman pemerintahan presiden Gus Dur, agama Khonghucu mulai mendapat angin segar. Hal ini terlihat dari pertemuan Gus Dur dengan tokohtokoh agama di Bali (Oktober 1999), dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing (November 1999). Angin segar bagi Khonghucu ini, tidak saja datang dari Gus Dur tapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais, pada saat penutupan sidang umum MPR 1999, telah mengajak semua umat beragama termasuk yang beragama Khonghucu untuk berdoa atas keselamatan bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, sidang Tanwir Muhammadiyah yang dimulai pada 3 sampai 5 Desember 1999 di Bandung, medesak pemerintah untuk mengakui secara hukum keberadaan Khonghucuisme di Indonesia. Desakan ini didasarkan atas pertimbangan Hak Asasi Manusia (HAM), karena menurut Muhammadiyah Khonghucuisme juga bagian dari HAM.18
17
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia , h. 106.
18
6
Pada akhirnya Pemerintah Presiden Gus Dur memperbolehkan semua kegiatan keagamaan Khonghucu dengan dikeluarkanya Inpres No. 27 1998 dan Kepres No. 6 tahun 2000. Dengan ini, Inpres No. 14 tahun 1967 dinyatakan dicabut dan semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Inpres tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada akhirnya umat Khonghucu dapat merayakan hari raya Implek 2551 (bertepatan dengan tahun 2000 Masehi) secara nasional, yang diadakan di Jakarta dan Surabaya pada bulan Februari 2000. Kemungkinan dengan
dicabutnya
Surat
Edaran
Menteri
Dalam
Negeri
No.477/74054/BA.01.2/4683/95 tahun 1978, kemungkinan besar tidak dijumpai lagi pelarangan bagi umat Khonghucu yang mau mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil.19 Sedangkan untuk murid-murid keturunan Tionghoa tidak perlu lagi meminta izin atau membolos di hari Implek, karena Gus Dur menetapkan hari itu sebagai hari libur fakultatif yaitu hari libur yang diperuntukan untuk orang yang merayakannya.20 Tentu dicabutnya Inpres No. 14 tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri tahun 1978 tersebut, maka di Indonesia sudah tidak ada lagi istilah agama yang diakui oleh pemerintah maupun agama yang tidak diakui oleh pemerintah. Gus Dur berpendapat sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia. Sehingga, menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551, tanggal 17 Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah 19
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. xvi-xvii. Damien Dematra, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h.264 20
7
Khonghucu itu agama atau filsafat hidup, adalah suatu pernyataan yang mudah untuk dijawab. Agama, kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemelukpemeluknya. Tanpa pengakuan negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya dalam hati manusia. Untuk menetapkan apakah agama betul-betul agama atau bukan, bukan urusan pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja sudah
merupakan suatu kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat
demikian, artinya pemerintah juga berbuat salah.21 Gus Dur yang dikenal dengan nilai 9 prisma pemikirannya yaitu: Ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, pembebasan, kesederhanaan, ksatria, dan kearifan lokal22 bahkan menurut Mahfud MD Gus Dur sebagai tokoh humanis dan pluralis berkelas dunia.23 Sebagai tokoh nasionalis beliau menerima asas tunggal pancasila. Dalam pandangan Gus Dur, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti negara Pancasila tidak membolehkan umat beragama menjalankan syariat agamanya masing-masing. Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari suatu agama., terutama karena Pancasila menjamin hak setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.24 Sementara itu sebagai tokoh pluralisme agama dalam pandangan Gus Dur adalah mengedepankan kecintaan, kasih sayang, penghargaan yang tulus kepada umat manusia, apapun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama
21
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107. http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur479610.html Diakses 23 April 2015 Pukul 22.05 23 Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute 2010), h. 26. 24 Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 101. 22
8
mengabdi kepada Tuhan. Hanya ajarannya yang berbeda.25 Dari pemikirannya yang demokratis, pluralis, inklusif dan egaliter inilah Beliau membela kaum minoritas dan yang tertindas. Perjuangan Beliau menegakan demokrasi dan keberagaman di Indonesia yang mempunyai semboyan “Bhineka Tunggal Ika” salah satunya dapat dilihat dari perjuangan Gus Dur saat menjabat presiden melegalkan agama Khonghucu di Indonesia. Yang kita tahu sejak zaman Orde Baru etnis Tionghoa ini tidak mendapat tempat untuk mengekspresikan keyakinannya. Hal inilah yang menarik untuk kemudian diangkat menjadi sebuah judul skripsi yang bertujuan seperti apa dan bagaimana kontribusi Gus Dur terhadap legalitas agama Khonghucu di Indonesia. Sebagai seorang humanis yang membela kaum minoritas dan menegakkan Hak Asasi Manusia Gus Dur mendapat banyak penghargaan dari berbagai agama, negara, organisasi dan universitas di berbagai negara. Karena Gus Dur dianggap sebagai individu sekaligus intelektual yang memperjuangkan terciptanya perdamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Kematian bukan akhir hayat bagi Gus Dur untuk menyuarakan pluralisme agama, karena perjuangan tersebut bakal dilanjutkan oleh generasi penerusnya yang mempelajari pemikiran Gus Dur. Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya ada tulisan: disinilah di kubur seorang humanis”26 dan terbukti setelah dirinya meninggal, gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan negara. Di tengah kontroversinya sosok Gus Dur sangatlah menarik jika kita mengaktualisasikan perspektif-perspektif pemikiran Gus Dur tentang pluralisme 25
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, h.202. Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
26
9
agama dalam konteks keindonesiaan. Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling hormatmenghormati, yang akan mendorong kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kezaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan atau agama dari keyakinan mayoritas, sejarah manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian yang melekat dari kehidupan manusia.27 Satu hal yang mungkin kita tidak dapat melupakan beliau sebagai salah satu anak bangsa terbaik adalah betapa pengabdian yang dilakukan oleh Gus Dur, dilandasi oleh sebuah keputusan yang konsisten walaupun keputusan itu mendapat banyak tantangan, disamping memang dukungan. Tantangan satu per satu sudah dilalui Gus Dur mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan beragama.28 Salah satu yang kontroversi adalah keputusan Gus Dur melegalkan Agama Khonghucu di Indonesia. Disinilah penulis bermaksud menggali bagaimana konsep legalitas agama dalam pemikiran Gus Dur yang terkait erat dengan kontribusi Gus Dur terhadap legalitas agama Khonghucu di Indonesia yang selama masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah saat itu.
27
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan (Jakarta: Wahid Institute, 2007), h. 5. 28 Abdul Fattah, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 46.
10
B.
Masalah dan Rumusan Masalah
1.
Masalah Pada masa Orde Lama agama Khonghucu sempat mendapat pengakuan
dari pemerintah sebagai agama resmi dengan dikeluarkannya Penpres No. 1/Pn.Ps/1965 yang menyebutkan salah satu agama resmi yang dipeluk penduduk Indonesia adalah agama Khonghucu. Namun, ketika masa Orde Baru agama Khonghucu menjadi terbelunggu akibat adanya Inpres No. 14 Tahun 1967. Keluarnya Inpres tersebut dikarenakan peristiwa G 30/S PKI, pemerintah pada saat itu menganggap etnis Tionghoa adalah etnis asing sehingga perlu adanya asimilasi untuk menjadi warga Indonesia. Gus Dur yang pada masa Orde Baru mendirikan LSM Forum Demokrasi selalu tampil memperjuangkan hak-hak umat Khonghucu yang terbelenggu. Mulai dari ikut sidang di PTUN Surabaya atas gugatan Bingky Irawan terhadap Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil pada masa Orde Baru, mengundang seluruh tokoh lintas agama termasuk Khonghucu di Bali pada masa Reformasi dan mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres No. 6 Tahun 2000 ketika menjabat sebagai presiden. 2.
Batasan Masalah Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, perlu adanya pembatasan
masalah dalam skripsi ini, yaitu, mengkaji pemikiran Gus Dur tentang legalitas agama Khonghucu.
11
3.
Rumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan kajian penelitian ini, diajukan beberapa
pertanyaan sebagai perumusan masalah yang akan diuraikan dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:
C.
1.
Seperti apa hubungan Gus Dur dan agama Khonghucu di Indonesia?
2.
Apa alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu di Indonesia?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan yaitu sebagai berikut:
D.
1.
Mengetahui perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.
2.
Mengetahui hubungan antara Gur Dur dan agama Khonghucu.
3.
Mengetahui alasan Gus Dur melegalkan agama Khonghucu.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Menambah wawasan sebagai bahan referensi untuk proses penelitian selanjutnya.
2.
Menambah wawasan tentang pemikiran Gus Dur terhadap legalitas agama Khonghucu di Indonesia.
3.
Menambah wawasan tentang perkembangan agama Khonghucu di Indonesia.
4.
Sebagai sumber informasi khususnya bagi calon sarjana jurusan studi agama-agama yang dituntut memiliki sikap arif dan bijaksana terhadap berbagai macam perbedaan agama yang ada khususnya di Indonesia.
12
E.
Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini peneliti memaparkan dua pokok bahasan.
Pertama mengkaji hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Sebagai intelektual sekaligus pemerhati masalah-masalah sosial menjadi hal wajar ketika banyak orang yang ingin meneliti sepak terjang Gus Dur dalam beberapa aspek. Mulai dari masalah sosial, politik, kebudayaan, keagamaan dan lain-lain. Inilah yang menarik untuk dijadikan sebuah penelitian ilmiah. Sebagai bahan perbandingan terhadap apa yang sekarang penulis teliti, ada beberapa karya ilmiah yang lebih dulu meneliti mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun agama Khonghucu. Pertama, Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi (Studi kasus Tangerang). Merupakan penelitian yang ditulis oleh Gunawan Saidi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama tahun 2009. Skripsi ini menjelaskan sejarah agama Khonghucu
dari
perkembangannya
masa setelah
Orde diakui
Baru
sampai
sebagai
Masa
agama
di
Reformasi
hingga
Indonesia
dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Kedua, Konsep Pendidikan Pluralisme menurut Abdurahman Wahid dalam perspektif Pendidikan Islam. Merupakan penelitian skripsi yang ditulis Ahmad Mustholih mahasiswa IAIN Semarang jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 2011. Skripsi ini menjelaskan konsep pluralisme Gus Dur dengan sudut pandang pendidikan Islam dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Ketiga, Pluralisme Agama Dalam Pandangan Abdurrahman Wahid. Merupakan skripsi yang ditulis oleh M. Bahrul Ulum mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Perbandingan Agama
13
tahun 2014. Skripsi ini menggunakan menggambarkan pandangan Gus Dur mengenai pluralisme agama khususnya di Indonesia. F.
Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1.
Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan penelitian deskriptif analisis, jadi peneliti melakukan penelitian lapangan untuk wawancara informan-informan seperti pemeluk agama Khonghucu dan mempelajari buku-buku “Gus Dur Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan”, “Gus Dur siapa sih Sampean? (tafsir teoritis atas tindakan dan pertanyaan Gus Dur)”, “Teologi Pemikiran Gus Dur”, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”. 2.
Pendekatan
Untuk mempertajam penelitian yang penulis lakukan, maka penulis menggunakan dua metode pendekatan yang bertujuan untuk menyesuaikan atas pesan yang ingin disampaikan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis dan historis. Istilah filsafat secara etimologi berarti cinta kebijakan atau
14
kebenaran.29 Filosofis adalah cara pandang berdasarkan filsafat30 atau cinta kebajikan dan kebenaran. Filsafat merupakan hasil proses berfikir dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis, menyeluruh, dan mendasar.31 Pendekatan filosofis digunakan untuk merumuskan secara jelas hakikat yang mendasari konsep-konsep pemikiran Gus Dur. Sedangkan historis adalah adalah hal-hal yang berkenaan dengan sejarah ; bertalian atau ada hubungannya dengan masa lampau.32 Jadi, pendekatan historis merupakan salah satu tipe dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk merekonstruksi kembali secara sistemis, akurat dan objektif kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi dimasa lampau.33 Pendekatan historis dimaksudkan untuk mengkaji, mengungkap latar belakang agama Khonghucu, perkembangan agama Khonghucu di Indonesia serta mengungkap latar belakang Gus Dur dan corak perkembangan pemikirannya dari kacamata kesejarahan, yakni dilihat dari kondisi sosial, politik, dan budaya pada masa itu. 3.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian atau informan dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah penganut agama Khonghucu.
29
Amsal, Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007), h.6. 30 Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 392. 31 Sirojuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Pt Raja Grafindon Persada, 2012), h. 2. 32 Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, h. 503. 33 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), h. 346.
15
4.
Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini tergolong penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dan pustaka yang bersifat kualitatif, maka data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari wawancara atau temuan-temuan di lapangan dan dokumendokumen atau transkip yang telah ada. Adapun data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: a.
Interview (wawancara)
Dalam hal ini penulis menggunakan wawancara dengan serentetan pertanyaan yang sudah terstruktur (sistematis), kemudian diperdalam untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Penulis melakukan wawancara dengan Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Kemenag, dan PBNU. b.
Dokumentasi
Sumber dokumen mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, rapat, agenda dan sebagainya yang berhubungan dengan penelitian. 5.
Teknik Penulisan
Dalam penyusunan teknik penulisan dan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dan dibukukan dalam pedoman penulisan Skripsi Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
16
G.
Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang materi yang
menjadi pokok penulisan dan memudahkan para pembaca dalam memahami tata aturan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: Pendahuluan, pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaaat penelitian, review studi terdahulu, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Kedua dalam bab ini berisi kajian teoritis tentang sejarah agama Khonghucu beserta ajarannya. Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang sejarah lahirnya agama Khonghucu dari sebelum lahir dan sesudah lahir sampai masuk ke Indonesia serta ajaran agama Khonghucu di Indonesia. Ketiga dalam bab ini berisi tentang Gus Dur dan Khonghucu di Indonesia. Dalam bab ini menjelaskan pandangan Gus Dur terhadap kebebasan beragama, pandangan Gus Dur terhadap Khonghucu dan regulasi politik Gus Dur terhadap legalitas
agama
Khonghucu
di
Indonesia
serta
bagaimana
kelanjutan
keberagamaan umat Khonghucu di Indonesia pasca pemerintahan Gus Dur seperti masuknya agama Khonghucu dalam kolom agama di KTP dan ditetapkannya hari libur Nasional tahun baru Imlek. Keempat dalam bab ini merupakan penutup, pada bab penutup ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan. Penulis juga melampirkan daftar pustaka.
BAB II PEMBAHASAN TEORITIS
A.
Sejarah Agama Khonghucu di Indonesia
1.
Agama Khonghucu Zaman Hindia-Belanda Pada dasarnya kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara jauh sebelum
zaman Hindia-Belanda, akan tetapi keberadaannya kurang jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar dari Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat maupun yang disimpan di berbagai Keraton. Demikian juga dengan temuan berbagai kapak batu yang dipoles dari zaman Neolithikum yang mempunyai persamaan dengan kapak batu giok atau zamrud yang ditemukan di Tiongkok dan berasal dari zaman yang sama.1 Oleh karena itu, penulis memulai masuknya etnis Tionghoa ke Nusantara dari zaman Hindia-Belanda. Agama Khonghucu mengalami perkembangan dari masa ke masa, diawali oleh para perantau Tionghoa yang merantau ke negeri Samudra Selatan, dari negeri leluhurnya yang sedang dilanda kekacauan, membangun rumah ibadah yang dinamakan klenteng untuk meneruskan ketenangan batin akan leluhur dan tanah air yang ditinggalkan.2
1
Benny G. Setiopno, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Trans Media Pusaka, 2008), h. 19. 2 Ws. Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya (Jakarta: Matakin, 2010), h. 2.
17
18
Pada masa kolonial di Indonesia terdapat tiga orientasi sosio-politik yang besar diantaranya Pertama, Tionghoa lokal, yaitu yang berorientasi pada Tiongkok (Kelompok Sin Po), yang percaya bahwa orang Tionghoa lokal adalah anggota bangsa Cina. Kedua, mereka yang berorientasi ke Hindia Belanda (Chung Hwa Hui), yang memahami posisi mereka mereka sebagai kawula Belanda sambil melanjutkan kehidupan sebagai Tionghoa peranakan. Dan yang ketiga, mereka yang menyebut sebagai anggota bangsa Indonesia yang akan datang (Partai Tionghoa Indonesia). Sebagian besar para pemimpin Tionghoa di masa kolonial Indonesia., khususnya para imigran baru, berorientasi ke Tiongkok, tetapi kelompok yang kedua dan ketiga kebanyakan terdiri dari orang Tionghoa peranakan.3 Masyarakat Tionghoa di Jawa sebelum akhir abad ke 19 pada dasarnya adalah masyarakat peranakan.4 Para anggota masyarakat ini telah kehilangan kemampuannya berbahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasinya. Orang-orang Tionghoa peranakan ini, sebelum abad ke-20 umumnya buta huruf dan hanya berminat mencari uang. Beberapa orang mampu menggaji guru pribadi untuk mengajar anak-anak laki-lakinya aksara Tionghoa dan kadang-kadang diberikan pelajaran tentang kitab-kitab klasik Khonghucu. Akan tetapi pendidikan anak perempuan tidak diperhatikan. Anak perempuan dibesarkan ibunya menurut kebiasaan dan pola orang-orang pribumi. Waktu anak
3
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia 2002),
h. 19. 4
Tionghoa Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Lihat Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia 2002), h. 17.
19
perempuan menikah dan menjadi ibu sendiri, anak-anaknya dibesarkannya dengan cara yang sama.5 Tentu saja adat, kepercayaan, dan agama orang-orang Tionghoa di Jawa menjadi sangat bercampur. Dari ayah kelahiran Tiongkok, orang Tionghoa mewarisi kebiasaan-kebiasaan dari Tiongkok tetapi dari ibunya, kebiasaan dan adat pribumi. Kwee Tek Hoay, dan seorang yang ikut serta dalam pergerakan pembaharuan Tionghoa sendiri berkomentar. “[Upacara Pernikahan], adat perkabung[an] dan upacara pemakaman telah begitu banyak berubah sehingga anak-anak membebani diri dengan tambahan segala macam adat dari berbagai sumber”.6 Namun demikian, keadaan itu telah berubah pada tahun 1800-an, Belanida mengeluarkan peraturan yang berisi larangan kelompok keturunan Tionghoa masuk agama Islam dan larangan bagi kelompok pribumi menikah dengan kelompok Tionghoa. Belanda tampaknya takut melihat Tionghoa dan Muslim bersatu. Peraturan ini memiliki dampak pada kehidupan masyarakat Nusantara dalam memandang keturunan Tionghoa. Keturunan Tionghoa menjadi kelompok yang terpinggirkan, dikucilkan dan dibenci oleh kelompok masyarakat yang lain karena hubungan dengan mereka berarti malapetaka yang dating dari pemerintahan Kolonial Belanda. Belum lagi, Belanda dengan para sarjananya dan juga para sarjana pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda,, juga ikut serta
5
Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia (Ithaca: Cornel Modern in Indonesia Project 1969), h. 9-10. 6 Kwee Tek Hoay (terj. Lea E. Williams), The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia, h. 11.
20
menyampaikan sastra dan ajaran yang semakin memojokkan kelompok keturunan Tionghoa.7 Menjelang akhir abad ke-19 dengan munculnya para pemimpin Tionghoa peranakan berpendidikan Barat di Hindia, bersama dengan timbulnya kebijakankebijakan anti Tionghoa dari pemerintah kolonial Belanda.8 Orang Tionghoa Hindia dibatasi geraknya dan sumber penghasilannya yang penting yaitu sistem Pacht Percukaian, dihapuskan.9 Akan tetapi, Tionghoa peranakan berpendidikan Barat yang membenci kebijakan-kebijakan Belanda, sama kritisnya akan adat yang berlaku di masyarakatnya, teristimewa kebiasaan pernikahan dan pemakaman. Karenanya mereka memprakasai suatu pergerakan pembaruan untuk memperbaiki kondisi budaya dan nasionalnya.10 Sementara itu, Khonghucuisme sedang dihidupkan kembali oleh para pembaharu Tionghoa di Tiongkok. Salah satu darinya yang paling terkemuka adalah Kang Youwei. Gagasan-gagasan penbaharuan ini juga tersebar ke Asia Tenggara dan sebuah masyarakat penganut Khonghucu didirikan di Singapura, yang digunakan oleh Kang youwei sebagai pangkalan ketika pergerakan pembaharuan itu gagal di Tiongkok. Kehadiran Kang Youwei di Singapura
7
MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang 2012), h. 62. 8 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159. 9 Suatu sistem yang menggunakan orang-orang Tionghoa sebagai apa yang dinamakan Pachter, yaitu pemegang izin resmi untuk mengoperasikan beraneka ragam monopoli sebagai penghasilan pajak negara. Untuk suatu uraian yang lebih lengkap mengenai sistem Pacht pajak dan orang Tionghoa di Jwa, lihat, Lea E. Williams, “The Ethical Program and the chinese of Indonesia”, Journal of Southeast Asian History, Thn. II, No. 2 (1961), h. 35-42. 10 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159.
21
berdampak besar pada orang-orang Tionghoa perantauan dan sejak waktu itu pengaruhnya terasa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Hindia.11 Tanggal 1900, Gubernur General Hindia Belanda menyetujui berdirinya THHK (Tiong Hoa hwee Koan) di Jakarta12 dengan tujuan utama untuk memperbaharui adat dan kebiasaan orang Tionghoa di Jawa, yang masih merupakan penganjur ajaran khonghucu.13 Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang diusahakan oleh Tiong Hua Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah dari ajaran pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasional. Perubahan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada agama Khonghucu meninggalkan THHK, kemudian membentuk Kong-jiou Hui (Khong Kauw Hwe) yang mandiri.14 Tahun 1923, para wakil-wakil Khong Kauw Hwe berkumpul di Jogja membentuk Khong Kauw Tjong Hwe atau pusat perkumpulan Khong Kauw (Agama Khonghucu) yang memilih pengurus pusatnya di Bandung dengan ketua Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), Sekretaris Tjia Tjip Ling (Cilacap), sayang Khong Kauw Tjong Hwe ini hanya beberapa tahun aktif selanjutnya pasif dan Khong Kauw Hwe-Khong Kauw Hwe berjalan sendiri-
11
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 159-160. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebijakan 2005), h. 89 13 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, h. 161 14 Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 3. 12
22
sendiri. Laporan rapat dimuat di Khong Kauw Goat Po atau Bulanan Khong Kauw yang diterbitkan pada 8 Desember 1923.15 Dari tahun 1928-1954 banyak bermunculan organisasi sosial ekonomi dan politik di Indonesia, namun kehadiran banyaknya organisasi ini telah membuat para penganut Khonghucu Khawatir. Berdasarkan kekhawatiran tersebut, maka para pengikut Khonghucu mencoba memurnikan ajaran Khonghucu dengan jalan menciptakan Dewan Agama Khonghucu. untuk mewujudkan pemikiran tersebut, pada Agustus 1967 diselenggarakanlah konggres Agama Khonghucu ke-6 di Solo. Dalam konggres tersebut, ditentukan sifat dan upacara keagamaan Khonghucu.16 Walaupun posisi etnis Tionghoa dalam kesejarahan Indonesia pada masa penjajahan Belanda tidak begitu terlihat dalam teks sejarah, namun sebenarnya mereka ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Diantara etnis Tionghoa yang ikut aktif dalam pergerakan dan perjuangan adalah John Lie alias Jahya Daniel Dharma seorang keturunan Tionghoa yang menjadi perwira angkatan laut RI. Dengan kapal kecil cepat bernama The Outlow, ia rutin melakukan operasi melawan blokade Belanda dengan membawa hasil bumi Indonesia ke Singapura untuk barter dengan senjata. Senjata yang diperoleh kemudian diserahkan ke pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.17 Adanya organisasi Khonghucu pada masa penjajahan menunjukan eksistensi agama Khonghucu jauh sebelum Indonesia merdeka. Tidak dapat 15
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 3. 16 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 86 17 Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 67-68.
23
dipungkiri juga dengan eksistensi tersebut banyak etnis Tionghoa yang ikut berjuang untuk memerdekakan Indonesia dari jerat penjajah yang terjadi di bumi pertiwi. Meskipun ajaran dan tradisi yang mereka amalkan berasal dari nenek moyangnya tetapi mereka juga menganggap Indonesia adalah tanah air dan negaranya karena mereka lahir di Indonesia.18 2.
Agama Khonghucu Zaman Kemerdekaan
a.
Masa Orde Lama Semenjak Desember1923 sudah ada niat membentuk Pusat Perkumpulan
Khong Kauw Hwe atau Khong Kauw Tjong Hwe. Tujuannya menyatukan seluruh kegiatan keagamaan dalam keseragaman. Dengan catatan setiap cabang khong Kauw Hwe mandiri tidak berada dalam satu komando, meski memiliki kedaulatan tersendiri tetapi satu dalam Keimanan., tetapi pusat majelis ini beku pada zaman pendudukan Jepang.19 Tahun 1954 bulan Desember, beberapa tokoh Khong Kauw Hwe mengadakan pertemuan di Solo membahas kemungkinan dibentuknya Khong Kauw Hwe Pusat. Selanjutnya, tanggal 16 April 1955 di solo terbentuklah Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI) yang bersifat federasi meski tetap dalam satu Keimanan.. PKCHI mengadakan konggres I di Solo pada tanggal 6-7 Juli 1956 dengan Dr. Kwik Tjie Tiok sebagai ketua pertamanya.20
18
Wawancara dengan pemeluk agama Khonghucu Oesman Arif, Sabtu 14 Mei 2016 Pukul 14.30 19 Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 5-6. 20 Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 6.
24
Konggres nasional I, II, dan III diadakan pada tahun 1956, 1957, dan 1959, musyawarah ke IV yang diadakan di Solo pada Tahun 1961 mengganti nama “Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia” menjadi “Lembaga Ajaran Sang Khonghucu Indonesia ((LASKI)”. Pada tanggal 22-23 Desember 1963 diadakan konfrensi dengan keputusannya antara lain mengubah nama LASKI menjadi “Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)”. Konggres ke V di Tasikmalaya pada tanggal 5-6 Desember 1964 mengganti “Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se-Indonesia (GAPAKSI)” diganti dengan
“Gabungan
Perhimpunan
Agama
Khonghucu
se-Indonesia
(GAPAKSI)”.21 Pada tahun 1965 Presiden Soekarna mengeluarkan Penetapan Presiden No.1/Pn.ps/1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan Agama,22 yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarah ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Menurut Eka Dharmaputra, seperti yang dikutip Lasiyo dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh Chandra Setiawan, menyebutkan bahwa pemilihan keenam agama diatas berdasarkan pada definisi agama seperti yang diusulkan menteri agama pada masa itu adalah minimal memiliki: Kitab Suci, Nabi, kepercayaan akan satu Tuhan, dan tata ibadah bagi pengikutnya.23
21
Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 6. 22 Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 65. 23 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104.
25
b.
Zaman Orde Baru Pada dasarnya masa Orde Baru, pemerintahan Indonesia sedikit berpihak
pada etnis Tionghoa. Terutama dalam bidang ekonomi dan budaya, karena pemerintahan Orde Baru mengininkan adanya legitimasi terhadap keberhasilan dalam bidang pembangunan ekonomi. Pemerintahan Orde Baru lebih memilih merangkul dalam bidang ekonomi, namun tetap mencurigai dan mengawasi mereka dalam bidang politik.24 Namun demikian, umat Khonghucu mulai mengalami tugas yang berat. Pada periode 1965-1967 terjadi tragedi nasional peristiwa G. 30S PKI, yang terjadi pada tahun 1965 yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi Masa Orde Baru. Disini pengurus GAPAKSI berkewajiban meningkatkan pembinaan mental dan moral beragama serta mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh Indonesia.25 Pada 23-27 Agustus 1967 diadakan konggres VI GAPAKSI di Solo yang dihadiri utusan dari 17 daerah. Keputusan yang diambil dalam konggres tersebut antara lain: 1.
Pejabat Presiden RI, Jendral Soeharto berkenan memberikan sambutan
tertulis,
yang
antara
lain
menyampaikan,”Agama
Khonghucu mendapat tempat yang layak dalam negara kita yang berlandaskan Pancasila ini.”
24
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 69-70. Indarto, Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 6. 25
26
2.
Nama Gabungan Agama Khonghucu disempurnakan menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).26
Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala terbitan yang berhuruf Tionghoa, kecuali satu Koran pemerintah yang menggunakan aksara, yang lain dilarang beredar di bumi Indonesia. Desember 1967, semua kegiatan agama dan adat istiadat yang bernuansa tradisi Tionghoa dilarang diselenggarakan di depan umum. Hal ini karena dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina oleh presiden Soeharto. Tanggal 14 Juli 1978 agama Khonghucu tidak boleh dicantumkan lagi pada kolom „agama‟ dalam KTP dan Sidang Kabinet tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas mengatakan, “Khonghucu bukan Agama”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi tidak jelas.27 c.
Masa Reformasi Ketika zaman reformasi ini nampaknya agama Khonghucu mempunyai
peluang kearah yang lebih baik. Presiden Habibie telah menghapuskan istilah pribumi dan non pribumi (Inpres No. 26/1998),28 beberapa seminar juga diadakan menyangkut keberadaan agama Khonghucu di Indonesia, salah satunya di IAIN Jakarta tahun 1998. Ada juga karya tulis yang menyangkut agama Khonghucu, diantaranya “Hak-Hak Beragama dan Perkawinan Khonghucu: Persfektif Sosial,
26
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 104. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. 28 E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang: Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 134. 27
27
Legal, dan Teologi” yang diterbitkan oleh PT. Gramedia 1998. Buku ini ditulis oleh berbagai tokoh yang memandang Khonghucu dari berbagai sudut.29 Ketika
Gus
Dur
menjabat
sebagai
presiden
dengan
wawasan
kebangsaannya, dan adanya kesempatan dan kekuatan selaku presiden, kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berisi apapun bentuk ekspresi keagamaan dan adat istiadat Tionghoa di muka umum, dan termasuk pelarangan bagi semua tempat usaha kelompok etnis Tionghoa, seperti toko, pabrik dan sebagainya untuk tutup pada hari raya Imlek, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2000. Gus Dur juga mengeluarkan pengumuman bahwa tahun baru Imlek juga menjadi hari libur fakultatif yaitu hari libur untuk penganut agama yang sedang merayakan hari raya.30 Pengumuman Gus Dur atas hari libur fakultatif pada tahun baru Imlek ditindak lanjuti oleh megawati dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional berlaku sejak Imlek tahun 2003.31 Sebagaimana dua presiden sebelumnya, presiden Susilo Bambang Yudoyono, juga mengeluarkan kebijakan yang membela etnis Tionghoa, berupa UU. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, yang salah satu poin pentingnya adalah etnis Tionghoa yang lahir di negeri ini termasuk orang Indonesia asli. Bukan hanya itu saja, sejumlah kebijakanpun dikeluarkan oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pasal-pasal yang telah diambil
29
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 81-82. 31 Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135. 30
28
untuk diimplementasikan demi mengembangkan hak-hak sipil terhadap umat Khonghucu dan etnis Tionghoa.32
B.
Ajaran Agama Khonghucu Ajaran-ajaran yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan konsep
metafisika, tidak terlalu banyak disinggung dalam kitab Su Si. Ajaran tentang metafisika ini justru lebih banyak bersumber pada kitab klasik yang memang sudah ada sejak sebelum kelahiran Khonghucu. Adapun yang dimaksud dengan ajaran metafisika ialah ajaran yang mencangkup tentang Tuhan, manuasia, alam semesta dan konsep tentang hidup setelah mati atau eskatologi.33 1.
Ajaran Tentang Tuhan
Tidaklah benar jika mengatakan bahwa umat Khonghucu tidak mengakui adanya Tuhan. Dalam agama Khonghucu istilah Tuhan disebut dengan Thian dan bukan allah seperti yang terdapat dalam agama kristen dan Islam. Dalam kitabkitab agama Khonghucu terdapat banyak berbicara tentang Thian atau Tuhan Yang Maha Esa, diantaranya terdapat dalam kitab She Cing (kitab puisi). Dalam kitab ini banyak bicara tentang Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai Thien dan Shang Ti. Syair-syair tersebut sebagai berikut.34
32
Ibad, Bapak Tionghoa Indonesia, h. 82. M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: Diva Press, 2015), h. 249. 34 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 33
29
“Kekuasaan dan bimbingan dari Thian (Tuhan Yang Maha Esa) sangat luas dan dalam hal ini di luar jangkauan suara, sentuhan, atau penciuman” (She Cing IV Wen Wang 1/7)35 “Oh, betapa besarnya kekuasaan Shang Ti (Tuhan Yang Maha Kuasa) yang memerintah dan membimbing seluruh umat manusia” (She Cing IV Thang 1/1)36 Syair-syair di atas, ditulis jauh sebelum Khonghucu lahir, menurut perkiraan para ahli, syair-syair tersebut ditulis kira-kira 1000 tahun sebelum kelahiran Khonghucu atau sekitar tahun 1550 SM. Dari syair-syair di atas, dapat dikatakan karya-karya klasik di atas yang ditulis 1000 tahun sebelum kelahiran Khonghucu tersebut, sudah mengenal konsep Tuhan yang diistilahkan dengan Thian dan Shang Ti.37 Disamping konsep Tuhan yang banyak dibicarakan dalam kitab She Cing dan Su Cing di atas, istilah Tuhan (Thien) juga banyak dijumpai dalam kitab Lun Yu (Lun Gi) atau Analects Confucius atau ujar-ujar Khonghucu dan muridmuridnya. Berikut ini dapat dilihat ungkapan-ungkapan Khonghucu yang terdapat dalam kitab Lun Yu (Lun Gi) yang ada kaitannya dengan konsep Tuhan (Thian).38
35
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 37 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 44. 38 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45. 36
30
“Dia yang telah berdosa pada Thien, berdoapun tidak akan bermanfaat” (Lun Gi III:13)39 “Aku tidak menggerutu pada Thien, tidak pula menyesali manusia. Aku hanya belajar dari tempat terendah ini, terus maju menuju tempat yang tinggi. Thien-lah yang mengenal diriku” (Lun Gi XIV:35)40 Tentunya masih banyak lagi kitab suci agama Khonghucu yang berbicara banyak tentang Tuhan, seperti dalam kitab Tai Hak (Ajaran Besar), yang terdapat satu kali (satu ayat), dalam kitab Tiong Yong (Tengah Sempurna) juga ada ayatayatnya yang berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa dan juga terdapat dalam kitab Bingcu yaitu kitab keempat dari kitab suci Su Si. Selain istilah Thien atau Thian yang banyak dijumpai dalam kitab-kitab Khonghucu, kita juga mengenal istilah Thian Li dan Than Ming. Istilah Thian Li itu sendiri sebenarnya bersumber pada pengertian Thian yang mengalami perluasan pada masa Neo-Konfusianisme. Jadi, Thian Li itu sendiri bukanlah nama lain dari Thian, tetapi lebih dekat dengan firman Thian atau hukam-hukum dan peraturan yang bersumber pada Thian. Thian Ming sendiri dapat diartikan sesuatu yang telah dijadikan atau sesuatu yang telah terjadi. Pangeran Chou pernah mengajarkan Thien Ming (The mandate of Heaven) yang isinya bahwa Thien memberikan dekrit (ketetapan) kepada seseorang yang memimpin bangsa dan negara. Oleh karena itu seseorang
39
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 45.
40
31
atau manusia harus menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kehendak Tuhan atau Thian.41 Dengan adanya kepercayaan kepada Thian yang oleh pemeluknya diterjemahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, maka agama Khonghucu dapat dikategorikan ke dalam kepercayaan monoteis. Kepercayaan dalam agama ini bersifat dogmatik, yang diyakini umatnya berdasarkan wahyu (agama langit). Selain itu, agama tersebut juga mempercayai dewa-dewa, roh-roh suci dan para nabi.42 Dalam Khonghucuisme, Thian selalu hadir, melihat, dan mendengar segala sesuatu, mencintai kebaikan, memberi pahala serta menghukum kejahatan. Gambaran khonghucu tentang Tuhan adalah imanen atau Thian (Tuhan/langit) itu dekat pada makhluk dan bukan transenden (jauh dari makhluknya).43 2. Ajaran Tentang Keimanan Selain memiliki ajaran tentang Thian, Khonghucu juga memiliki ajaran tentang keimanan yang terdapat dalam kitab Su Si. Oleh umat Khonghucu di Indonesia yang berhubungan dengan keimanan dijadikan landasan utama dalam menetapkan konsep keimanan umat Khonghucu di Indonesia.44 Pengertian keimanan menurut Hs. Tjhie Tjay Ing, rohaniawan agama Khonghucu di Indonesia, bahwa istilah iman yang sering dipakai dalam agama Khonghucu selama ini diambil dari kata “Sing”. Kata “Sing” ini menurut asalnya 41
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 46-48. Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, h. 249. 43 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 50. 44 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51. 42
32
terdiri
dari
rangkaian
akar
kata
“gan”
dan
“sing”.
Gan
berarti
berbicara/sabda/kalam, dan “sing” berarti “sempurna atau jadi”. Oleh karena itu, pengertian “sing” mengandung makna “sempurna kata, batin dan perbuatan.” Menurut Hs, Tjhie Tjay Ing, umat Khonghucu wajib memiliki sing (iman) terhadap kebenaran ajaran agama yang mereka anut.45 Iman menurut Khonghucu dari beberapa ayat kitab suci Su Si adalah sebagai berikut: a. Iman adalah jalan suci Thian. b. Iman berfungsi menggerakkan hati manusia ke arah yang lebih baik. c. Iman itu dapat diperoleh kalau manusia dapat berbuat hal-hal yang baik. d. Untuk dapat menggembirakan orang tua, manusia terlebih dahulu memenuhi dirinya dengan iman.46 Dalam agama Khonghucu di Indonesia , konsep keimanan tersebut dikembangkan lagi menjadi delapan (Pat sing). Delapan keimanan tersebut adalah: a. Adanya Thian. b. Adanya nilai mutlak pentingnya kebijakan. c. Adanya firman/takdir/watak sejati. d. Adanya Roh (Sien) dan Nyawa (Kwi) e. Adanya perwalian orang tua atas anak-anaknya. f. Adanya Thian menjadikan nabi Khonghucu sebagai genta rohani. 45
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 51. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 52.
46
33
g. Adanya kebenaran kitab suci Su Si. h. Adanya jalan suci yang agung.47 Demikian itulah delapan keimanan yang wajib diimani oleh penganut agama Khonghucu. 3. Ajaran Tentang Hidup Setelah Mati Menurut Lie Kim Hok,48 Khonghucu tidak banyak bicara tentang hidup setelah mati, tetapi ia percaya akan keberadaan roh-roh dan roh-roh yang berhubungan dengan keluarga, maka anggota keluarga yang hidup harus mempersembahkan korban kepadanya.49 Dalam tradisi masyarakat Cina di Indonesia khususnya dalam kehidupan sehari-hari, setiap keluarga memiliki meja sembahyang atau altar untuk keluarga. Meja sembahyang inilah yang mereka gunakan sebagai media atau sarana untuk menghormati atau menyembah roh leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh leluhur mereka dapat mengawasi kehidupanm keluarga dalam rumah tangga.50 Dalam kitab Su Si tidak banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan Khonghucu tentang roh-roh. Meskipun demikian, bukan berarti Khonghucu tidak percaya tentang dunia setelah kematian, namun bagi dia dunia setelah kematian itu dapat diketahui kalau manusia sudah mengenal kehidupan. Bagi Khonghucu,
47
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 53. Lie Kim Hok adalah seorang penulis Indonesia, perintis sastra Melayu Tionghoa yakni masa rintisan (1875-1895), pada periode ini telah ditulis karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah baik oleh orang-orang Belanda maupun Tionghoa peranakan. 49 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 54. 50 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55. 48
34
mengenal arti kehidupan itu lebih penting untuk diketahui sebelum kita mengenal arti kematian.51 Di samping itu, Khonghucu juga percaya bahwa perbuatan baik itu akan mendapat balasan (Tai Hak Bab X:11). Namun Khonghucu tidak berbicara tentang surga sebagai ganjaran bagi orang yang berbuat baik dan neraka bagi orang yang berbuat jahat.52 Jelas sekali, sebelum Khonghucu lahir masyarakat Cina sudah mempunyai peradaban yang maju dan juga mempunyai sistem kepercayaan dengan percaya kepada roh leluhur yang sangat mereka hormati. Roh leluhur disini adalah para raja yang sudah wafat dan kembali yang dipercaya mengawasi anak cucunya yang masih hidup di dunia. Khonghucu sendiri semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi yang baik dan sangat bermoral. Khonghucu sebagai nabi yang agung tidak hanya menyebarkan ajaran agamanya saja melainkan juga menyempurnakan ajaran dari nenek moyangnya. Hal tersebut yang membuat ajarannya masih digunakan sampai sekarang. Karena ajaran-ajarannya yang sangat berpengaruh di Tiongkok bahkan seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan banyak keturunan Tionghoa menetap di Indonesia. Meskipun hidup di Indonesia, mereka masih memegang teguh ajaran dan tradisi Khonghucu.
51
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 55. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 56.
52
35
Eksistensi agama Khonghucu di Indonesia pun mengalami naik turun dari awal kedatangan mereka sampai sekarang. Misalnya ketika awal kemerdekaan Indonesia, sebenarnya agama Khonghucu mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia. Tetapi pada zaman Orde Baru, eksistensi agama Khonghucu mulai redup karena berbagai peristiwa dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, sejak bergantinya masa Orde baru ke masa reformasi sampai sekarang, agama Khonghucu menemukan eksistensinya kembali. Dengan ajaran mengenai konsep tentang Thian (Tuhan Yang Maha Esa), keimanan dan kehidupan setelah mati serta mempunyai kitab suci sebagai pedoman para penganutnya, maka Khonghucu pantas disebut sebagai agama.
BAB III GUS DUR DAN KHONGHUCU DI INDONESIA
A.
Gus Dur dan Kebebasan Beragama K.H Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa dengan Gus Dur
mempunyai ciri khas untuk mencari ilmu yang mendalam demi disumbangkan untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Selain itu juga pemikiran Gus Dur dicurahkan untuk membela nilai-nilai atau ajaran agama dan tradisi setempat. Nilai-nilai ajaran agama ditafsirkan kembali untuk dijadikan sebagai sumber inspirasi perubahan sosial yang ditopang oleh semangat toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap kemanusiaan. Bahkan tidak jarang Gus Dur sering mendapat hujatan baik dari kalangan umat muslim sendiri atau umat agama lain karena pemikirannya yang kontroversial.1 Dalam beragama Gus Dur memiliki sikap yang inklusif, ia sangat terbuka dengan berbagai agama. Banyak sekali gagasan-gagasan kebebasan beragama yang ia sampaikan dalam berbagai kesempatan seperti dialaog antar agama, kunjungannya ke berbagai negara maupun melalui undangan-undangan seminar. Salah satu perjuangan yang dilakukan Gus Dur adalah dalam relasi nilai ajaran agama dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Lebih khusus dalam hal ini yaitu tentang perlindungan kebebasan beragama yang sebenarnya sudah ada di 1
Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005), h. 160.
36
37
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948, artikel 18 yang menyebutkan “setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi”.2 Di dalam isi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tentunya ada hal yang kontradiksi dengan ajaran setiap agama termasuk Islam, yaitu hak mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan. Dalam ajaran Islam ganti atau pindah agama disebut murtad dan termasuk perbuatan dosa besar. Mengenai hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan tersendiri dalam tulisannya “Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam” 2002. Ada dua hal yang dikemukakan oleh Gus Dur. Pertama, dengan mencari kejelasan dan reinterpretasi terhadap hukum kanonik Islam (fiqh) tentang pindah agama yang di dalam Islam disebut murtad3 atau riddah4 yang hukumannya adalah hukuman mati. Kalau hukuman ini diterapkan dalam negara yang mayoritas muslim, maka akan banyak
2
http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragama._Mus dah_Mulia.pdf dan lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004), h. 9 di akses pada tanggal 25 Juni 2016. 3 Murtad adalah berpindahnya agama Islam dengan agama yang lain. Lihat : http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukum-islam.html diakses tanggal 25 Juni 2016. 4 Riddah adalah keluar dari Islam baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan keyakinan. Misalnya, enggan membayar zakat, puasa atau haji karena dianggap tidak wajib atau meyakini Muhammad dusta. Tapi keyakinan yang tidak disertai perbuatan, belum dianggap murtad. Lihat : http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukumislam.html diakses tanggal 25 Juni 2016.
38
sekali orang yang di hukum mati karena pindah agama. Dengan demikian, hal ini sangat bertentang dengan DUHAM yang sebagian besar negara-negara telah menandatangani dan memverifikasi beserta protokolnya, yang memberikan kebebasan hak beragama termasuk ganti atau pindah agama secara sukarela. Menurut Gus Dur, kaum muslimin harus mengakhiri kontradiksi seperti ini supaya terlihat lebih dewasa. Kedua, banyaknya intelektual muda Islam yang mencari ilmu di Barat dengan bidang ilmu teknologi dan sains dan merangkumnya dengan pengetahuan dan penghayatan agama. Sayang, di bidang agama para intelektual muda Islam ini hanya mempelajari al-qur’an dan hadist secara tekstual tanpa ada pemahaman yang mendalam dengan menggunakan ilmu tafsir melainkan hanya sebatas harfiah saja. Pada akhirnya, yang muncul kepermukaan adalah sikap defensif kaum muslim di seluruh dunia, yang berintikan kepada ketidakmampuan kaum intelektual muda untuk menafsirkan permasalahan di era modern ini. Padahal menurut Gus Dur, sejarah membuktikan hanya pihak-pihak yang mampu beradaptasi yang diperlukan, tanpa meninggalkan nilai-nilai esensial bagi sebuah kaum, dapat dicari sebuah penyelesaian yang memuaskan.5 Dari pemaparan yang dikemukakan oleh Gus Dur dapat kita pelajari mengapa sikap intoleran dan kebebasan beragama sangat susah dijumpai baik sesama muslim maupun beda agama. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pemahaman dan metode dalam belajar agama. Pada dasarnya kekeliruan dalam
5
M. Imam , Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta, ELKiS 2002), h. 145-148.
39
memahami suatu teks agama tidak dapat disalahkan teks ajaran tersebut, melainkan cara memahaminya yang keliru. Oleh karena itu, cara memahami teks ajaran harus menafsirkan dari segi historisitas dan juga perkembangan jaman manusia. Demikian juga metode pemahaman teks ajaran yang melulu harfiah, ikut bertanggungjawab dalam proses produksi makna dan praksis tertentu. Praksis intoleransi dan kekerasan terhadap umat lain dan kelompok sempalan di dalam Islam sendiri, merupakan hasil dari sebuah proses berfikir dan pemahaman tertentu yang menafikan kontekstualitas dan kesejarahan.6 Berikut sikap Gus Dur dalam memandang kebebasan beragama 1.
Humanisme Gus Dur
Humanisme
adalah
paham
yang
bertujuan
menghidupkan
rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan yang lebih baik.7 Jadi, manusia sebagai makhluk yang bermartabat mempunyai hak yang sama dengan manusia lainnya tanpa memandang suku, agama maupun ras yang berbeda. Sebagai warga negara Indonesia, tentu hak-hak kita sudah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Setiap manusia hidup dalam ruang sosial, tempat dan waktu tertentu. Disinilah manusia memperoleh pengetahuan tentang apa yang berharga dalam hidup individu dan sosialnya, atau apa yang tidak berharga. Berdasarkan
6
Aziz, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser, h. 145-148. 7 Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) h. 152.
40
pengetahuan tentang nilai-nilai tersebut, setiap manusia dapat hidup bersama dengan yang lainnya.8 Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya sebagai pemeluk agama tertentu, tetapi karena didasari pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. Apalagi bangsa Indonesia yang majemuk ini memang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Menurut Drs. H. Kamilun Muhtadin, M.Si, Indonesia sejak awal sejarahnya telah bersinggungan dengan budaya-budaya luar. Orang-orang Cina, India, Persia, Arab, Asia Tenggara dan Eropa masuk ke perairan Indonesia berinteraksi di kota-kota niaga Indonesia dan meninggalkan jejak-jejak budayanya, entah terbatas atau luas. Pluralisme budaya primordial Indonesia, mengakibatkan perkenalan dengan budaya-budaya
luar itu membangun
transformasi budayanya masing-masing. Dan budaya-budaya transformatif
di
wilayah-wilayah primordial ini juga saling berinteraksi serta menghasilkan bentuk-bentuk budaya transformasi baru di masing-masing wilayah dan semua kini menyatu dalam wilayah kesatuan yang bernama Indonesia.9 Kiranya hal di atas itulah yang kemudian menyemangati sosok Gus Dur memiliki tanggung jawab personal-nasional maupun universal. Bagi kebanyakan rakyat Indonesia Gus Dur ialah seorang yang humanis yang ingin menegakkan demokrasi dan hak asasi manusia dalam hal yang sebenar-benarnya. Apa yang
8
Mahmudi Muhith, M. Latif, Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme (Malang 2010),
h. 77. 9
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 78.
41
diperjuangkan Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang unsurunsur primordial. Gus Dur sangat sadar bahwa humanisme yang masih dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme hanya akan menjadi ancaman bagi objektifitas perjuangan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.10 Menurut Mahfud MD, bagi Gus Dur penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut dunia akan dipengaruhi berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada pemahaman seperti ini semakin mengokohkan sikap humanisme yang hendak dibangunnya.11 Dalam berpikir dan bertindak, Gus Dur bahkan melampaui batas-batas agama yang sempit. Islam bagi Gus Dur, sebagaimana agama lain, adalah doktrin yang menjangkau nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan menyeluruh. Dengan demikian, doktrin agama yang di dalamnya menyangkut ajaran-ajaran tentang toleransi dan harmonisasi sosial, seharusnya mendorong seorang muslim untuk tidak takut terhadap perbedaan.12 Jadi keterbukaan (inklusif) dalam beragama sangatlah penting, apalagi hidup di negara yang beranekaragam agama dan kepercayaan yang berbeda. Sikap merasa paling benar (eksklusif) dengan ajaran dan kepercayaannya hanya akan merugikan diri sendiri, orang lain dan negara. Karena sikap tersebut dapat
10
Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur (Jakarta: Erlangga 2010), h.
119. 11
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120. Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h. 120.
12
42
menimbulkan konflik dan ketidakstabilan keamanan negara yang berakibat pada terhambatnya pembangunan negara. Disimak dari dimensi sejarah, tidak banyak pemimpin di kancah Internasional yang menerapkan prinsip humanisme. Tentunya Gus Dur merupakan salah satu diantara sedikitnya pemimpin di dunia yang menerapkan prinsip humanis dalam gaya dan pola kepemimpinannya. Prinsip humanis yang diterapkan Gus Dur, diakui oleh segenap lapisan sosial. Baik warga dikalangan Islam maupun non Islam, mengakui gaya humanis yang dipraktikkan Gus Dur. Dalam hal ini KH Hasyim Muzadi pernah mengatakan, “humanisme Gus Dur berangkat dari nilai-nilai Islam yang paling dalam. Tetapi, humanismenya itu melintasi agama, etnis, teritorial, dan negara.” Karena itu tidak perlu heran apabila Gus Dur menerima banyak penghargaan dalam bidang perdamaian di kancah Internasional. Lewat pendekatan yang humanis, Gus Dur mengetahui persis apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan apa yang diinginkan masyarakat.13 Gus Dur yang seorang humanis ini juga dapat dibuktikan ketika beliau menjadi presiden. Untuk membuktikan komitmennya terhadap HAM, tercatat Gus Dur telah membubarkan Bakorstranas (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional), sebuah lembaga ekstra yudisial penerus Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang memiliki kewenangan luas dan berpeluang menindas. Gus Dur juga menghapus penelitian khusus 13
H. Muhammad Zen, Gus Dur Kiai Super Unik (Malang:Cakrawala Media Publisher 2010), h. 125-126.
43
(litsus), yang “menakuti” pegawai negeri agar jangan bersikap kritis. Gus Dur juga mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1996 soal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pelanggaran penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme. Begitu juga, Gus Dur mengakhiri perlakuan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, melalui Keppres No. 6/2000 dan mencabut Inpres No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.14 Intinya, Gus Dur membuka paradigma baru agar setiap orang mendapat perlakuan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama ataupun ideologinya. Ini bagian dari cita-cita Gus Dur yang ingin membangun Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang damai tanpa prasangka dan bebas dari segala kebencian.15 Humanisme Gus Dur adalah sebuah wujud dari penghargaan yang tinggi terhadap nilai kemanusiaan dan kecintaannya terhadap bangsa dan negara yang majemuk ini. Sebelum meninggal Gus Dur berpesan “saya ingin di kuburan saya ada tulisan: disinilah di kubur seorang humanis”16 dan terbukti setelah dirinya meninggal, gelombang pujian mengalir dari berbagai agama, ras, organisasi, dan negara. Hal tersebut menunjukan konsistensi Gus Dur terhadap kesetaraan hak asasi manusia tidak ada yang sia-sia dan menunjukan kebesarannya sebagai Guru Bangsa.
14
Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 27-28. 15 Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Kelas Dunia dalam buku Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa h. 28. 16 Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h. 69.
44
2.
Pluralisme Gus Dur
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).17 Jadi pluralisme bisa dikatakan paham atau pandangan hidup yang mengakui adanya kemajemukan atau keberagaman yang ada ditengah-tengah masyarakat. Keragaman ini dilihat tidak sebagai penghambat pembangunan suatu bangsa tetapi justru dilihat sebagai anugrah dari Tuhan yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia. Di sebuah negara yang pluralistik seperti Indonesia ini, sikap toleransi dan rendah hati dalam beragama merupakan suatu keniscayaan. Dengan sikap seperti itulah, pluralitas akan menjadi nilai dan kekuatan yang memungkinkan masyarakat bergerak maju secara dinamis. Sebaliknya, tanpa sikap demikian, pluralitas yang ada hanya akan menjadi hambatan bagi perubahan yang dicitacitakan oleh para pejuang bangsa.18 Sikap pluralisme juga merupakan tolak ukur untuk pembangunan bangsa. Tanpa adanya sikap pluralisme niscaya pembangunan negara menjadi terhambat, karena membangun negara yang besar dan beragam yang berazas “Bhinneka Tunggal Ika” tidak hanya dari segi infrastruktur saja tetapi juga dari segi suprastruktur juga. Dimana masyarakat bisa saling menghargai dan menerima perbedaan untuk mengisi negara ini.
1717
Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama), h. 1086. 18 M. Hanif Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 117.
45
Pluralitas atau kemajemukan masyarakat Indonesia sendiri sekurangkurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Pertama, pluralitas suku, agama dan budaya serta berbagai turunannya. Berbagai suku, agama dan budaya yang ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lampau merupakan fakta sejarah masyarakat yang tidak bisa diabaikan. Kedua, pluralitas di internal suku, agama dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, ada berbagai aliran yang secara formal seringkali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain.19 Kesadaran terhadap pluralisme sebagai fakta sejarah yang tidak bisa dihindarkan dan sekaligus merupakan kekuatan bangsa dan komitmen untuk tidak melakukan pemaksaan terhadap kehendak guna melakukan penyeragaman merupakan modal dasar untuk membangun toleransi. Dan kesadaran seperti ini merupakan cermin dari sebuah sikap dewasa, arif dan rendah hati, sebagaimana yang diajarkan oleh agama itu sendiri.20 Oleh sebagian tokoh-tokoh agama, toleransi sejauh ini disosialisasikan sebatas hidup berdampingan secara damai. Menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, itulah yang menjadi pakem ajaran tentang toleransi selama ini. Termasuk dalam pakem ini adalah ajaran tentang tri kerukunan yang sering disosialisasikan oleh pemerintah masa lalu. Padahal dalam kontek Indonesia yang sangat beragam ini tidak hanya diperlukan saling menghormati dan menghargai keyakinan orang lain, tetapi kita 19
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118. Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 118.
20
46
bisa melakukan lebih dari sekedar hal tersebut. Seperti halnya membantu warga masyarakat yang terkena bencana secara bersama tanpa memandang suku, agama atau budayanya. Saling bersilaturahmi antar warga dan terlibat aktif dalam kegiatan sosial lainnya. Jadi toleransi tidak hanya dibatasi tentang keyakinan saja tetapi juga bentuk sosial masyarakat lain yang lebih luas. Dalam hal menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur ternyata lebih maju beberapa langkah daripada tokoh agama dan intelektual muslim yang lain. Karena itu tidak heran jika ia mendapat gelar sebagai Bapak Pluralisme dan Pembela Toleransi oleh bangsa dan negara.21 Menurut Gus Dur, tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya pola hidup berdampingan secara damai, karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu dapat menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima.22 Dari pandangan agama, sebagai sistem keyakinan yang memuat dimensi ketuhanan, agama merupakan faktor tunggal yang menyatukan umat pemeluknya dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya. Namun sebagai dimensi budaya, agama dipahami memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi budaya ini dapat dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran agama yang 21
Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119. Dhakiri, 41 Warisan Kebesan Gus Dur, h. 119-120.
22
47
ada dalam dimensi keyakinan. Dimensi budaya dalam hal ini akan sangat tergantung pada pola penafsiran dan derajat peradaban masyarakat dalam memahami dan menerjemahkan ajaran agama yang diyakini.23 Jelaslah dengan demikian, upaya penafsiran kembali ajaran agama adalah kegiatan untuk memahami keimanan dalam konteks kehidupan yang senantiasa berubah-ubah. Kehidupan beragama dalam kompleksitas seperti itu memadukan dalam dirinya pengetahuan akan ajaran agama, nilai-nilai keagamaan yang membentuk perilaku pemeluk agama dan lingkungannya. Kombinasi antara pengetahuan, nilai dan relasi sosial itu membentuk pola yang membedakan seorang atau sekelompok pemeluk dari pemeluk lain. Sehingga, menjadi tak terhindarkan lagi adanya perbedaan.24 Pandangan Gus Dur ini menyiratkan bahwa meski agama mengandung ajaran tunggal, namun karena ia dipahami oleh umat yang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan kepentingan yang berbeda, maka dalam pelaksanaan dan prakteknya menjadi berbeda dan plural. Di samping itu, Gus Dur berpikir bahwa tidak semua simbol dan ritus itu sebagai sesuatu yang baku yang bisa dianggap sebagai suatu ajaran yang harus dijaga dan dipertahankan, di dalam agama ada dimensi kebudayaan yang kadang juga menjelma dalam bentuk simbol dan ritus.25
23
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 267. 24 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur, h. 267. 25 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur, h. 267.
48
Sebenarnya umat beragama memiliki kebebasan untuk mengubah simbol dan ritus yang menjadi bagian dari dimensi kebudayaan agama. Inilah yang dilakukan Gus Dur selama ini. Untuk mendinamisir agama, agar nilai-nilai agama tetap relevan dengan realitas zamannya, dan agar agama memiliki fungsi yang maksimal dalam menjawab problem kehidupan, Gus Dur mencoba melakukan pembaharuan penafsiran dan pembongkaran simbol-simbol agama yang mengalami stagnasi tanpa mengubah esensi ajaran agama.26 Atas dasar ini juga, Gus Dur bersikap tegas menjadi pembela pluralisme dalam beragama. Gus Dur tidak menginginkan agama hanya sebagai simbol, jargon dan menawarkan janji-janji yang serba akhirat sementara realitas kehidupan yang ada dibiarkan tidak tersentuh. Sikap demikian memang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi mereka yang mengedepankan simbol-simbol dan ritus-ritus formal.27 Menurut Prof. Dr. H. M. Bashori Muhsin, Pluralisme yang dipahami Gus Dur adalah dalam masyarakat yang majemuk tidak boleh ada perlakuan yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Dalam masyarakat yang majemuk dalam konsep kenegaraan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak boleh ada dominasi mayoritas atau minoritas dalam kelompok yang berkuasa. Keterbukaan dalam wacana pluralisme Gus Dur ibarat sebuah masjid yang dapat digunakan oleh siapa saja tanpa melihat pangkat dan derajat. Masjid tidak boleh diklaim
26
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur, h. 268-269 27 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur, h. 269.
49
milik salah satu kelompok orang tertentu yang akibatnya ada dominasi dan membatasi partisipasi orang lain. Filosofi masjid yang terbuka bebas untuk digunakan ibadah sesuai dengan asas kemaslahatannya dan ketentuan yang berlaku. Yang demikian ini contoh pluralisme religius ditinjau dari kesamaan untuk dapat beribadah tanpa ada perbedaan.28 Pluralisme struktur yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden merupakan bukti ketegaran yang prima dalam merubah secara radikal dari birokrasi yang sakral menjadi keterbukaan. Pilar-pilar kekuasaan Orde Baru yang masih ada pada kabinet Presiden Gus Dur dilakukan perombakan hingga pemberhentian. Secara institusional, departemen yang menjadi corong pemerintah saat Orde Baru berkuasa dibubarkan seperti Departemen Penerangan RI. Departemen Pertahanan Keamanan yang dulu dipimpin seorang militer diganti dengan perjabat sipil.29 Secara
kultural
pluralisme
tanpa
kompromi
diberlakukan
dalam
pemerintahannya. Teman sealiran dalam organisasi NU juga dikenakan kebijakan yang sama yaitu pemecatan dari jabatan seperti Hamza Haz dari Menteri. Faham nepotisme tidak ada dalam kamus perilaku pluralisme Gus Dur dalam hal yang prinsip. Pemikiran pluralisme yang dilakukan oleh Gus Dur dalam praktek pemerintahannya adalah perubahan-perubahan menuju demokrasi diawali dengan terjangan reformasi. Keberanian untuk melakukan perubahan dalam pemerintahan 28
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 63. Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64.
29
50
masa transisi Gus Dur ini adalah menuju pada supremasi sipil. Negara demokrasi yang maju dimana kekuasaan dipegang oleh rakyat melalui pemilihan umum yang jujur, kedaulatan di tangan rakyat maka supremasi sipil harus cepat ditegakkan.30 Atas sikapnya yang humanis, pluralis dan demokratis itulah Gus Dur mendapatkan banyak penghargaan salah satunya, pada tahun 1993, Gus Dur menerima hadiah “Nobel” Asia, yaitu Roman Magsaysay Award dari pemerintah Filipina karena Gus Dur dinilai berhasil memimpin organisasi Islam terbesar di Asia Tenggara, yaitu Nahdlatul Ulama, sebagai kekuatan toleransi agama, pemerataan pembangunan dan demokrasi di Indonesia.31 Ketika
menerima
penghargaan
tersebut,
Gus
Dur
menyatakan,
“penghargaan ini bukan hanya kehormatan bagi saya dan keluarga saya, tetapi juga pengakuan atas upaya-upaya yang dilakukan oleh komunitas Islam di Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Dengan demikian ini juga pengakuan terhadap fakta bahwa Indonesia sebagai bangsa telah menunjukan secara nyata kemampuan untuk menjaga pluralitas tanpa harus mengorbankan perubahanperubahan penting yang diperlukan.32 Oleh karena itu, mengembangkan toleransi jangan sampai memicu intoleransi. Gerakan pluralisme di Indonesia perlu mencontoh Gus Dur, yang berkumpul lintas agama, tidak murni dalam rangka titik temu teologis, melainkan gerakan publik agama demi perjuangan di luar agama yaitu lintas agama demi 30
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 64. Mitsuo Nakamura, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford university Press,1995), I:14. 32 Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas EtnisKeagamaan, h. 159. 31
51
demokratisasi politik, lintas agama demi struktur ekonomi berkeadilan. Karena pancasila tidak hanya berisi tentang sila kemajemukan, namun juga berkelindan dengan sila keadilan sosial dan demokrasi. Dengan cara seperti ini, gerakan toleransi antar agama tidak memicu intoleransi antar agama. B.
Gus Dur dan Agama Khonghucu Sebagai seorang yang dikenal humanis, pluralis, demokratis dan pembela
hak-hak kaum minoritas, tentunya Gus Dur juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama Khonghucu di Indonesia. Banyak peristiwa yang terjadi terhadap umat Khonghucu di Indonesia yang secara langsung maupun tidak langsung melibatkan Gus Dur. Bahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap agama Khonghucu di Indonesia yang melibatkan Gus Dur sampai berpengaruh terhadap dunia internasional. Gus Dur sendiri mengaku bahwa para Walisongo adalah keturunan Tionghoa dan ia sendiri adalah keturunan Tan Kim Han. Tan Kim Han menurut Gus Dur menikah dengan Tan A Lok yang merupakan saudara kandung Raden Pattah (Tan Eng Hwa), dan keduanya adalah anak dari Putri Cempa (Putri Tiongkok)yang merupakan selir dari Rden Brawijaya V. Tan Kim Han ini dalam tradisi Islam dikenal sebagai Syaikh Abdul Qadir ash-Shiniyang makamnya terdapat di Trowulan Mojokerto di samping makam Syaikh Jumadil Kubro.33 Diceritakan oleh Bingky Irawan, Kedekatan Gus Dur dengan Khonghucu di Indonesia sudah terlihat ketika ia mendengar berita Bingky Irawan menggugat 33
MN. Ibad, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang 2012), h. 62.
52
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena ada etnis Tionghoa yang mau menikah dipersulit administrasinya hanya karena ia adalah etnis Tionghoa. Gus Dur yang saat itu masih aktif di LSM Forum Demokrasi (Fordem) langsung menelpon Bingky untuk dijemput di Bandara untuk ikut sidang di PTUN.34 Kedatangan Gus Dur di PTUN Surabaya tentu menjadi sorotan publik. Masyarakat menganggap upaya Gus Dur itu sia-sia, karena kekuatan rezim Soeharto sangat kuat, termasuk dalam urusan pengadilan. Namun, sikap pesimistis masyarakat tidak mengendurkan semangat Gus Dur untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di bumi pertiwi ini. Kedatangan Gus Dur yang berkaitan dengan etnis Tionghoa dan agama Khonghucu ini menjadi titik awal yang berdampak panjang.35 Sebelum peristiwa Bingky Irawan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ke PTUN, menurut Gatot Seger Santoso ada juga peristiwa Kapasan akibat penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga sekitar tahun 1970 yang menimbulkan atmosfer anti-Tionghoa. Ketika itu Gus Dur juga tampil membela warga Tionghoa dan bahkan menyatakan dirinya sebagai keturunan Tionghoa. Sementara sejumlah keturunan Tionghoa yang saat itu duduk di jajaran birokrat justru diam, tidak berbuat apa-apa untuk meredam gejolak anti-Tionghoa.36 Pembelaan Gus Dur terhadap etnis Tionghoa dan agama Khonghucu di era Orde Baru merupakan bentuk eksistensi perjuangan hak asasi manusia dan
34
Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87. Muhith, Gus Dur Bapak Pluralisme, h. 87. 36 Zen, Gus Dur Kiai Super Unik, h. 35. 35
53
penegakan keadilan. Diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa dan agama Khonghucu tidak mencerminkan negara Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” juga adanya keniscayaan terhadap Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara. Ketika menjabat sebagai presiden, pada bulan Oktober 1999 Gus Dur mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari Khonghucu dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina di Beijing.37 Pertemuan tersebut merupakan sinyal positif untuk umat Khonghucu di Indonesia. Harapan umat Khonghucu terhadap pemerintahan Gus Dur sangat besar di masa mendatang karena pada masa itu Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dirasa oleh warga negara Indonesia yang beretnis Tionghoa telah dibatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadatnya, dan langsung diganti dengan Keppres No. 6 Tahun 2000.38 Ada kejadian menarik ketika Gus Dur mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 dan menggantinya dengan Keppres No 6 Tahun 2000. Pada waktu itu, menurut Budi Tanuwibowo39 yang merupakan teman dekat Gus Dur meminta untuk merayakan Tahun Baru Imlek secara nasional. Tanggapan Gus Dur pada waktu itu
37
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105. Emma Nurmawati Hadian, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013), h. 6. 39 Budi Tanuwibowo adalah Sekretaris Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). 38
54
langsung mengiyakan, bahkan Gus Dur menyarankan Imlek digelar dua kali, di Jakarta dan Surabaya untuk Cap Go Meh.40 Namun, ada Inpres No 14 Tahun 1967 yang menghalangi perayaan Imlek, Gus Dur dengan spontan berkata “gampang Inpres saya cabut”. Gus Dur lantas memanggil Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet untuk membahas rancangan Keppres tentang pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967. Beberapa waktu kemudian Gus Dur memanggil Menteri Dalam Negeri untuk mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud tahun 1978 tantang agama yang diakui oleh negara.41 Mulai saat itulah, Imlek dirayakan dengan riang dan meriah di sudut-sudut negeri, Imlek yang menandai hari lahirnya nabi Khonghucu itu menjadi bagian penting perayaan hari besar keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Bukan saja tentang Imlek, pencabutan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 juga berdampak signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Agam Khonghucu saat ini sudah dapat ditulis dalam kolom agama di KTP, pernikahan secara Khonghucu dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan siswa Khonghucu dapat mengikuti pelajaran agama sesuai dengan imannya. Pada tahun 2001, presiden Gus Dur menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis Tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh 40
IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016. IVV, Gus Dur dan Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
41
55
pengganti Gus Dur yaitu presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keppres No 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek.42 Dengan berbagai perjuangan untuk membebaskan belenggu etnis Tionghoa dan agama Khonghucu pada masa Orde Baru, Gus Dur ditasbihkan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang, di Klenteng Tay Kak Sie, di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 10 Maret 2004. 43 Umat Khonghucu juga mengusulkan agar Gus Dur mendapatkan Nobel atas jasanya tersebut. Budi S. Tanuwibowo dalam pengantarnya di buku Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya. Ketika Gus Dur wafat dalam hitungan kurang dari dua jam, tempat-tempat ibadah Khonghucu telah disesaki umat yang langsung mengadakan doa bersama untuk beliau. Bahkan menyimpang dari kebiasaan, ditampilkan barongsai bisu, yaitu permainan barongsai tanpa iringan musik, sebagai tanda duka cita yang amat mendalam.44 Begitu besarnya dukungan dan simpati terhadap wafatnya Gus Dur yang mengalir dari rakyat Indonesia termasuk umat Khonghucu dari berbagai penjuru negeri. Hal tersebut menandakan betapa dekatnya dan dicintainya sosok Gus Dur oleh umat Khonghucu di Indonesia.
42
Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 9. Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas EtnisKeagamaan, h. 157. 44 Ws. Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. x. 43
56
C.
Regulasi Politik Gus Dur Terhadap Legalitas Agama Khanghucu Akar pemikiran politik Gus Dur sesungguhnya didasarkan pada komitmen
kemanusiaan dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komitmen kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam di dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial.45 Dalam kasus Indonesia, negara yang demikian majemuk susunan warga negara dan situasi geografisnya telah menempatkan Islam bukan satu-satunya agama yang ada. Dengan kata lain negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada semua agama yang diakui.46 Berikut pandangan Gus Dur dalam melegalkan agama Khonghucu di Indonesia. 1.
Menegakkan Demokrasi
Negara Indonesia juga menganut konsep negara-bangsa, sebagai konsekuensi logis dari segenap pluralitas di dalamnya.47 Oleh karena itu, sebagai negara yang heterogen ini Gus Dur sangat mencintai demokrasi agar dapat diimplementasikan oleh segenap warga negara.
45
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 87. Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur h, 103. 47 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta 2004), h. 46
195.
57
Di dalam demokrasi sendiri terdapat tiga prinsip, yaitu pertama, prinsip kebebasan mengandung makna bahwa negara memperbolehkan pengamalan agama apapun, sekalipun dalam batasan-batasan tertentu. Prinsip ini merupakan suatu prinsip mengenai toleransi dan mungkin juga tentang pluralisme. Prinsip tersebut tidak berpengaruh terhadap munculnya agama-agama yang lain. Prinsip tersebut secara sederhana mengakui pentingnya warga negara untuk diberi kebebasan dalam beribadah sesuai dengan agamanya dan pada sisi negatif campur tangan terhadap kebebasan itu oleh institusi-institusi negara, apabila dalam negara adalah tidak cocok.48 Oleh karena itu, kebebasan dalam beragama dengan campur tangan institusi-institusi negara bertolak belakang dengan demokrasi yang dianut oleh Indonesia. Apalagi undang-undang juga mengatur tentang kebebasan setiap individu untuk melaksanakan kepercayaan dan agamanya masing-masing. Sementara prinsip yang kedua, prinsip kesetaraan, berupaya untuk menjelaskan bahwa negara tidak boleh memberikan pilihan kepada suatu agama atas pihak lainnya. Hal ini merupakan prinsip tentang tidak memihak. Negara yang demokratis tidak boleh berdiri di atas kepentingan golongan yang satu dengan meminggirkan golongan yang lain. Setiap golongan atau agama mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Prinsip yang ketiga, prinsip netralitas yang lebih banyak menegaskan, bahkan juga memiliki peluang untuk menjadi dasar demokrasi, utamanya
48
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190.
58
demokrasi liberal dengan membuat pemisahan antara negara dan agama. Prinsip ketiga ini lebih ditekankan kepada posisi negara untuk selalu menghindarkan diri dari sikap tidak suka atau suka terhadap agama (keberagaman)49 Hak-hak tersebut di atas harus dilakukan secara adil kepada seluruh warga negara tanpa harus memandang asal usulnya. Bagi Gus Dur heterogenitas adalah kenyataan bangsa Indonesia yang melekat pada eksistensi manusia dan masyarakat. Wacana dan perilaku politik dalam suatu negara harus menjadi medan untuk menyerap heterogenitas politik rakyat. Karena itu sektarianisme dan penyekatan politik atas nama agama dan etnis tertentu ditolaknya. Sikap penolakan terhadap ICMI misalnya, lalu ia mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).50 Gus
Dur
selalu
mengkritik
ICMI
dengan
alasan
tidak
setuju
memformalkan Islam dalam politik. Ia mengatakan ICMI diberikan tempat dan fasilitas dengan Habibie membangun kekuatan dengan menghimpun para intelektual muslim dalam suatu wadah dalam bendera Islam demi tujuan mendominasi lembaga politik.51 Dalam hal ini Gus Dur menunjukkan kecintaan terhadap demokrasi dan pengetahuan tentang kebangsaan yang luas. Dalam pandangan Masykuri Abdillah, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa mendukung demokrasi tanpa adanya Islamisasi bukan berarti menolak Islam. Tetapi, agama baginya adalah kesadaran individu dan tidak perlu diformalkan.
49
Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 189-190. Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 98-99. 51 Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 110. 50
59
Bahkan sewaktu ditanya oleh beberapa kyai, Gus Dur memberikan alasan bahwa kalau agama itu dibesarkan oleh negara, maka sesungguhnya agama itu lemah. Tetapi, yang diinginkan adalah agama yang berkembang tanpa turut campur negara, yang sesungguhnya itulah kekuatan agama.52 2.
Penerimaan Atas Ideologi Pancasila
Indonesia sebagai negara yang majemuk tentu formalisasi agama sangat ditolak oleh Dus Dur. Salah satu konsekuensi logis dari penolakan formalisasi agama dalam konsep negara bangsa Indonesia tersebut, Gus Dur berkeyakinan bahwa Pancasila merupakan negara damai yang harus dipertahankan. Penerimaan atas pemerintahan yang berideologi Pancasila, menurut Gus Dur, karena syariah dalam bentuk hukum agama/fiqih atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang-undang negara.53 Ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari agama Islam atau agama lainnya, terutama karena Pancasila menjamin hak setiap agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing. Agama berperan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ideologi negara dan pandangan hidup negara bersumber pada sejumlah nilai luhur yang ada dalam
52
A. Malik Harmain, Mohammad Badi’ Zamas, Eko Darwanto, Gus Dur: Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing 2001), h. 74-75. 53 Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 251.
60
agama. Namun, pada saat yang sama Ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya.54 Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup bangsa. Dalam hal ini, menurut Gus Dur, karena dalam negara yang begitu majemuk susunan warga negara dan letak geografisnya, maka Islam ternyata bukan satu-satunya agama yang ada. Dengan kata lain, negara harus memberikan pelayanan yang adil kepada semua agama yang diakui. Ini berarti negara harus menjamin pola pergaulan yang serasi dan berimbang antara sesama umat beragama. Dominasi satu kelompok atas kelompok yang lainnya dalam pluralitas tersebut berakibat pada pereduksian konsep negara bangsa yang di dalamnya berisi berbagai agama, suku, dan bahasa. Karenanya, penerimaan Pancasila dalam keadaan seperti itu konsekuensi logis dan tidak dapat ditolak. Bagi Gus Dur, penerimaan itu bukanlah untuk menggantikan posisi agama dalam kehidupan bermasyarakat, melainkan hanya pola relasi antar berbagai elemen yang ada.55 Atas pertimbangan tersebut dan setelah berkonsultasi dengan banyak orang dan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai referensi pembenaran, pada Oktober 1983 Gus Dur menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara.56
54
Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 90. Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 254. 56 Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h 11. 55
61
Penerimaan Pancasila sebagai Ideologi negara memiliki makna sebagai bentuk pengakuan bahwa negara ini harus dijalankan berdasarkan konsensus bersama secara berkeadilan, tanpa harus melebihkan satu kelompok atau agama tertentu.57 Atas dasar itulah, penerimaan dan pengakuan terhadap Pancasila sebagai Ideologi negara bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh warga negara. Pada perjalanannya, Gus Dur menganggap pemerintah Orde Baru belum konsisten melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, melainkan sekedar untuk mendapatkan legitimasi untuk kekuasaannya. Karena kalau pemerintah Orde Baru konsisten mengamalkan Pancasila ini, pemerintah pasti akan berbuat adil serta melindungi
kebebasan
menyatakan
pendapat,
bergerak,
berkumpul
dan
berserikat.58 Hal tersebut dibuktikan dengan terbelenggunya agama khonghucu pada masa Orde Baru. Dimana kegiatan ritual keagamaan umat khonghucu dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa adanya perayaan secara terbuka di depan umum seperti perayaan Imlek dan Cap Gomeh. 3.
Legalitas Agama Khonghucu oleh Gus Dur
Dari segi geografis, Indonesia terletak di dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik). Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi jalur perdagangan dari berbagai negara termasuk Tiongkok. Banyak dari para
57
Santoso, Teologi Politik Gus Dur h. 261. Masykuri Abdillah, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan Pemuda Ansor 1999), h. 193. 58
62
pedagang ini bersosialisasi, menetap bahkan menikah dengan pribumi. Seiring berjalannya waktu maka banyak tersebarlah keturunan Tionghoa di berbagai wilayah nusantara, baik yang berdarah asli Tionghoa maupun yang campuran darah pribumi. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para perantau Tionghoa ini membentuk organisasi yang bernama Bing Sing Su Wan, sebuah lembaga yang menyebarkan ajaran Khonghucu. Tahun 1919 di Nusantara sudah ada 200 lebih sekolah yang diusahakan oleh Tiong Hua Kauw Hwe Koan. Arah perjuangan THHK berubah dari pendidikan ajaran Khonghucu menjadi sekolah umum bersifat nasionalis. Perubahan haluan ini menyebabkan orang-orang yang berorientasi pada agama Khonghucu meninggalkan Tiong Hua Hwe Koan, kemudian membentuk perkumpulan Kong-jiao Hui (Khong Kauw Hwe) yang mandiri, misalnya Khong Kauw Hwe Solo, Surabaya, Bandung, Sumenep, Kediri, Semarang, Blora, Purbalingga, Cicalengka, Wonogiri, Jogjakarta, Kartasura, Pekalongan dan lainlain.59 Tahun 1923, muncul organisasi Khong Kauw Tjong Hwee atau Himpunan Pusat Umat Penganut Konghucu yang didirikan di Yogyakarta. Pada tahun ini juga diadakan musyawarah dalam rangka membentuk Badan Pusat Khong Kauw Tjong Hwee di Bandung. Dalam musyawarah tersebut diputuskan bahwa kota Bandung lah yang tepat untuk dijadikan pusat Khong Kauw Tjong Hwee.60 Para
59
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 3. 60 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 98.
63
wali Khong Kauw Tjong Hwee juga memilih pengurus pusatnya dengan ketua Poey Kok Gwan (Bandung), wakil ketua Tjiook Khe Bing (Jogja), sekretaris Tjia Tjip Ling (Cilacap).61 Ketika Indonesia merdeka, umat Khonghucu masih bebas mengekpresikan kepercayaannya. Hal ini terlihat dengan seringnya umat Khonghucu mengadakan konggres dan juga pada tahun 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, yang di dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa agamaagama yang dipeluk penduduk Indonesia berdasarkan sejarahnya ada 6 (enam), yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu (Confucius). Pada periode 1965-1967 umat Khonghucu menghadapi tugas berat yaitu terjadinya tragedi nasional peristiwa G. 30S. PKI, yang terjadi pada tahun 1965 yang mengakhiri masa Orde Lama menjadi masa Orde Baru. Pengurus berkewajiban meningkatkan pembinaan mental dan moral beragama serta mengintensifkan pembinaan kebaktian di seluruh Indonesia.62 Tanggal 5 Mei 1966 semua sekolah berbahasa Tionghoa ditutup, segala terbitan yang berbahasa Tionghoa, kecuali satu koran pemerintah boleh menggunakan aksara Tionghoa, yang lain dilarang di bumi Indonesia. Desember 1967, semua kegiatan agama yang bernuansa tradisi Tionghoa dilarang diselenggarakan di depan umum. Para pimpinan BAKOM-PKB (Badan Kordinasi 61
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 3. 62 Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 6.
64
Masalah Persatuan dan Kesatuan Bangsa) menyerukan agar keturunan Tionghoa meninggalkan agama leluhurnya (Khonghucu dan Tao) untuk pindah ke agama Islam, Kristen atau Katolik.63 Keterbelengguan
umat
Khonghucu
karena
presiden
Soeharto
mengeluarkan Inpres Nomer 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat
Cina
dicabut
dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya.64 Kondisi politik pada saat masa pemerintahan Orde Baru kebudayaan Cina dianggap sebagai bentuk afenitas kultur masyarakat Tionghoa terhadap negeri leluhurnya (Tiongkok) yang asing dan menjadi penghambat atas proses asimilasi.65 Meskipun pemerintah Orde Baru menganggap kebudayaan Cina adalah bukan asli dari Indonesia tetapi dengan dikeluarkannya Inpres tersebut berarti pemerintah telah melanggar kontitusi negara yaitu Pancasila terutama sila pertama dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Angin segar mulai dirasakan umat Khonghucu ketika masa Reformasi. Pada masa presiden Habibie telah menghapus istilah pribumi dan non pribumi dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua
63
Indarto, Selayang Pandang Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, h. 7. 64 Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 6. 65 Agus N. Cahyo, Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), h. 135.
65
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.66 Tentu saja kebijakan itu menguntungkan etnis Tionghoa dan umat Khonghucu, apalagi selama era Orde Baru mereka dianggap sebagai non pribumi sehingga harus melakukan proses asimilasi salah satunya dengan mengganti nama Tionghoanya menjadi mana pribumi dan mengganti agamanya dari Khonghucu menjadi salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah. Puncaknnya pada pemerintahan Gus Dur, sikap politik Gus Dur yang dikenal sangat pluralis, humanis, pejuang HAM dan penegak demokrasi sejati menjadi anugrah tersendiri bagi umat Khonghucu. Gus Dur yang mempunyai wawasan kebangsaan yang luas mengerti akan heterogennya Indonesia. Hal ini terbukti dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara. Gus Dur berpandangan bahwa ideologi Pancasila tidak berada pada kedudukan lebih tinggi dari agama Islam dan yang lainnya, terutama karena Pancasila menjamin hak setiap pemeluk agama untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing.67 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 yaitu:Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
66
E. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa (Semarang: Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012), h. 135. 67 Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, h. 101.
66
Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut keimanan. Dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia. Dalam penjelasan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 juga bahwa negara Indonesia hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya masing-masing tanpa harus campur tangan negara. Menurut Masykuri Abdillah, Gus Dur memberikan alasan bahwa kalau agama itu dibesarkan oleh negara, maka sesungguhnya agama itu lemah. Tetapi, yang diinginkan adalah agama yang berkembang tanpa turut campur negara, yang sesungguhnya itulah kekuatan agama.68 Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah mulai mendapatkan pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datang dari Gus Dur. Menurut Gus Dur sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia. Sehingga menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan suatu kekeliruan. Dalam kesempatan perayaan tahun baru Imlek 2551, tanggal 17 Februari 2000 di Jakarta, Gus Dur juga mengatakan bahwa apakah Khonghucu agama atau fisafat hidup, adalah suatu pertanyaan yang mudah dijawab. Agama, kata Gus Dur, manakala itu diyakini oleh pemeluk-pemeluknya. Tanpa pengakuan 68
Harmain, Gus Dur: Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis, h. 74-75.
67
negara, agama itu akan tetap hidup karena adanya dalam hati manusia. Untuk menetapkan apakah agama itu betul-betul agama atau bukan, bukan urusan pemerintah atau negara. Tidak hanya itu, mengakui saja sudah merupakan kekeliruan. Menurutnya, kalau pemerintah berbuat demikian, artinya pemerintah juga berbuat salah.69 Atas dasar pemikiran Gus Dur yang inklusif dan sikap politik Gus Dur tentang kehidupan berbangsa dan bernegara seperti pluralisme, demokrasi, dan hak asasi manusia70 begitu juga dengan penerimaannya terhadap Pancasila yang menegaskan kalau Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Akhirnya dengan langkah politiknya, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000. Dengan dicabutnya Inpres Nomor 14 Tahun 1967 maka umat Khonghucu dapat dengan bebas mengekspresikan agama, kepercayaan dan adat istiadatnya.71 Setelah mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000, Gus Dur juga memeritahkan Menteri Dalam Negeri Letjen Suryadi Sudirja untuk mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud era Orde Baru No. 477/74054 tanggal 18 November tahun 1978 tantang agama yang diakui oleh negara.72 Dengan dicabutnya Inpres tersebut menunjukkan bahwa sebagai presiden yang memimpin suatu negara dan juga seorang ulama Gus Dur mempraktekkan 69
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 106-107. Mahfud MD, Gus Dur Tokoh Humanis dan Pluralis Berkelas Dunia dalam buku Aryanto Nugroho, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010), h. 26. 71 Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108. 72 IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016 70
68
prinsip agama Islam yang rahmatan lil alamin, karena sebagai presiden Gus Dur adalah pemimpin buat warganya yang beragam agamanya tidak hanya dari satu agama. Hal ini menunjukan kalau Gus Dur mempunyai wawasan kebangsaan dan agama yang luas. Sebelum dicabutnya Inpres tersebut, umat Khonghucu tidak dapat merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan merayakannya diingkungan keluarga saja. Namun, ketika Inpres tersebut dicabut umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat melaksanakan tahun baru Imlek dengan terbuka dan tidak lagi terbatas dengan lingkungan sendiri.73 Pada masa ini juga, Gus Dur menetapkan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya) dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tertanggal 9 April 2001.74 Dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur fakultatif maka umat Khonghucu tidak perlu meminta izin libur kerja maupun sekolah karena sudah otomatis libur untuk merayakan Imlek. Meskipun hanya menjabat 2 tahun 9 bulan Gus Dur mendapat tempat istimewa bagi umat Khonghucu, karena dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000 yang menjadi kran untuk memulihkan kembali hak-hak sipil umat Khonghucu dan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia yang sebelumnya terbelunggu selama 32 tahun pada masa pemerintahan Orde baru.
73
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia, h. 108. Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
74
69
Dikeluarkannya keppres tersebut juga menjadi salah satu bentuk tolak ukur pembangunan negara. Karena Gus Dur sadar membangun negara yang sangat pluralistik ini tidak hanya melulu soal infrastruktur saja tetapi juga dari segi suprastruktur. Dimana kebebasan berfikir, berpendapat dan berkeyakinan harus ditegakan agar meminimalisir terjadinya diskriminasi dan konflik di masyarakat. Jadi masyarakatnya hidup rukun dan bahagia karena majunya infrastruktur dan suprastruktur di Indonesia. Ketika pemerintahan Gus Dur juga terlihat ueforia budaya Tionghoa yang yang dipertunjukan dimuka umum. Masyarakat dapat melihat Tarian Naga dan Barongsai di jalan-jalan yang sangat meriah, tergantung lampiaon merah dan spanduk bertuliskan “Selamat Tahun Baru Imlek......Gong Xi Fat Cai” yang dipadukan dengan kebudayaan daerah setempat. Hal tersebut tidak terjadi di zaman pemerintahan sebelumnya.75 D.
Ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek Tahun baru Imlek sebenarnya bukan perayaan tahun baru yang asing bagi
masyarakat Indonesia. Dulu ketika masa pemerintahan Soekarno atau yang biasa dikenal dengan masa Orde Lama perayaan tahun baru Imlek diadakan rutin setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu agama Khonghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia merujuk pada Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965. Namun, ketika masa Orde Baru perayaan tahun baru Imlek 75
Tesis Sugiandi Surya Atmaja Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Agama Khonghucu Program Studi Perbandingan Agama dengan judul Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014), h. 124.
70
tidak dapat ditampilkan lagi di depan publik. Hal ini terjadi ketika presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Inpres tersebut secara tidak langsung mengekang ekspresi agama, kebudayaan dan adat istiadat umat Khoghucu karena tidak bisa dipungkiri agama Khonghucu sendiri berasal dari Cina atau Tiongkok.76 Dengan adanya Inpres tersebut etnis Tionghoa dan umat Khonghucu tidak dapat lagi menggunakan bahasa Mandarin, hak-hak sipil yang tidak terpenuhi oleh negara termasuk perayaan tahun baru Imlek yang tidak dapat lagi dirayakan secara terbuka di depan publik. Umat Khonghucu hanya dapat merayakannya di lingkungan keluarga saja. Pada masa Reformasi tepatnya pemerintahan Gus Dur tahun baru Imlek dapat dirayakan secara terbuka kembali di depan publik. Dilatar belakangi dengan pertemuan antara Gus Dur dan Budi Tanuwibowo di Istana. Ketika itu Gus Dur yang dikenal sangat terbuka dan berpegang teguh terhadap Hak Asasi Manusia menerima permintaan Budi Tanuwibowo untuk menggelar tahun baru Imlek secara nasional dengan mengeluarkan Keppres Nomer 6 Tahun 2000.77 Namun, pada masa Gus Dur tahun baru Imlek masih ditetapka sebagai hari libur fakultatif. Ketika Gus Dur dilengser sebagai presiden setelah adanya sidang istimewa MPR, tanggal 23 Juli 2001 dan digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati, tahun baru Imlek tetap diadakan secara terbuka dan meriah. Semangat presiden
76
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 124. 77 IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek, Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016.
71
Megawati untuk meneruskan estafet reformasi terutama rasa simpati terhadap umat Khonghucu sangat besar.78 Sebagai presiden yang menggantikan Gus Dur, Megawati masih meneruskan program pemulihan hak sipil Agama Khonghucu dengan menetapkan Hari Raya Tahun Bharu Imlek sebagai Hari Libur Nasional pada tanggal 9 April 2002 dengan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002. Keputusan presiden ini ditindaklanjuti oleh menteri Agama dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 331 Tahun 2002 tertanggal 25 Juni 2002 Tentang Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.79 Penetapan Imlek sebagai hari Libur Nasional disampaikan presiden Megawati dalam perayaan Tahun Baru Imlek 2553 di Pekan Raya Jakarta. Pada kesempata tersebut dihadiri oleh Gus Dur dan sekitar 1.000 orang. menurut Megawati, keputusan menetapkan Imlek sebagai Hari Libur Nasional sebagai bentuk kebersamaan bangsa Indonesia yang terbangun dari berbagai asal-usul, etnis, suku dan agama yang berbeda.80 Ditetapkannya Imlek sebagai Hari Libur Nasional juga semakin mengukuhkan eksistensi agama Khonghucu di Indonesia. Jadi tidak hanya umat Khonghucu saja yang menikmati Tarian Naga, Barongsai, dan Lampion tetapi
78
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformas, (1967-2014), h. 125. 79 Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi, h. 125. 80 http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional Diakses pada 22 Agustus 2016 pukul 22.30
72
juga seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan Indonesia yang menjadi sangat beragam. E.
Masuknya Agama Khonghucu dalam KTP Masa Reformasi bisa dikatan sebagai kebangkitan etnis Tionghoa dan
Umat Khonghucu di Indonesia, karena banyak peraturan dan kebijakan di era Orde Baru yang bersifat diskriminasi terhadap kaum minoritas sedikit demi sedikit mengalami perubahan atau penghapusan kebijakan tersebut. Mulai dari kebijkan presiden Habibie yang menghapus istilah pribumi dan non pribumi dengan mengeluarkan Intruksi Presiden No. 26. Tahun 1998 tentang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggara pemerintah Indonesia.81 Keluarnya Keppres Nomor 6 Tahun 2000 untuk mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang menjadikan etnis Tionghoa dan umat Khonghucu terbebas dari belenggu pada masa Orde Baru. Keppres tersebut seakan menjadi pintu masuk bagi pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada Hak Asasi Manusia. Selain Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002 yang dikeluarkan presiden Megawati tentang Hari Libur Nasional Imlek, pemerintah selanjutnya pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tetap konsisten menghapus kebijakan yang dirasa diskriminasi.pada masa ini etnis Tionghoa benar-benar diterima 81
Setiawan, Tahun Baru Imlek, Marga dan Silsilah Warga Tionghoa, h. 135.
73
sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Bukti dari keseriusan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu dengan banyak kebijakan hukum yang dikeluarkan terhadap masyarakat Khonghucu, terutama dalam pemulihan hak-hak sipil umat Khonghucu.82 Kebijakan yang penting dengan mengeluarkan Intruksi Menteri Agama sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006, tentang penjelasan mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu.83 Namun, surat menteri agama itu tidak serta merta memudahkan umat Khonghucu mendaftarkan perkawinannya dengan cara Khonghucu karena masih terhambat oleh administrasi kependudukan. Akhirnya dengan mengacu dan menindaklanjuti surat menteri agama tersebut, keluarlah kebijakan Menteri Dalam Negeri Nomor 470/336/SJ tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu. Surat tersebut ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota untuk disosialisasikan kepada masyarakat.84 Dengan dikeluarkannya surat menteri dalam negeri tersebut, maka umat Khonghucu dapat terpenuhi hak-hak sipilnya seperti memasukkan agama Khonghucu dalam kolom di KTP, mendaftarkan perkawinannya secara Khonghucu dan dilayani oleh negara, dalam bidang pendidikan para siswa yang
82
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 126. 83 Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 107. 84 Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 105.
74
beragama Khonghucu dapat kembali belajar agama Khonghucu serta bahasa Mandarin di sekolahnya. Selain administrasi tersebut, umat Khonghucu juga dapat menggunakan nama aslinya (Tionghoa) di dalam KTP, tetapi hal tersebut tidak lantas membuat mereka langsung menggati namanya kembali lantara beberapa merasa sudah nyaman dan banyak yag kenal dengan nama Indonesianya. Ada juga yang malas mengurus administrasinya lantara merasa repot. Mengenai peraturan pendidikan agama dan keagamaan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, tanggal 5 Oktober tahun 2007. PP 55 ini ditandatangani langsung oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang aturan main Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan masing-masing agama dan agama Khonghucu masuk dalam peraturan tersebut. Untuk mempercepat pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, maka presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum habis masa jabatannya, memberikan hadiah kepada umat Khonghucu berupa peraturan Nomer 135 Tahun 2014, tertanggal 17 Oktober Tahun 20014, tentang pembukaan struktur baru Direktorat Jendral Khonghucu di Kementrian Agama RI dalam pasal 475 bagian I ditulis bahwa susunan organisasi eselon I Kementrian Agama terdiri Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Khonghucu.85
85
Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi, (1967-2014), h. 128
75
Dengan adanya pemulihan hak-hak sipil agama Khonghucu, juga berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini bahasa mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Kebudayaan Tionghoa dan agama Khonghucu juga sudah mulai secara bebas dipertunjukan di Indonesia. Kebudayaan seperti Barongsai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan Imlek, saat ini mudah ditemui di Indonesia. Hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis Tionghoa dan umat Khonghucu, mulai didapatkan kembali. Hal ini cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia pasca Reformasi mengalami peningkatan secara signifikan terutama di bidang kebebasan beragama bagi kaum minoritas.86 Terutama bagi umat Khonghucu sendiri setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 6 Tahun 2000.
86
Hadian dan Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 10
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Perkembangan agama khonghucu sebenarnya terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka, banyak orang Tionghoa bermukim dan menetap di Indonesia. Meski hidup di Indonesia tetapi tidak serta merta membuat mereka meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Agama Khonghucu tetap dipegang teguh dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semakin banyaknya keturunan Tionghoa
di
Indonesia
maka
semakin
banyak
juga
penganut
agama
Khonghucunya. Pada perkembangannya di Indonesia, agama Khonghucu mengalami berbagai dinamika. Ketika pemerintahan Orde Lama, presiden Soekarno mengeluarkan
ketetapan
Nomor
1
Tahun
1965,
tentang
pencegahan
penyalahgunaan dan atau penodaan agama, yang di dalamnya menjelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Masa
pemerintahan
Orde
Baru,
agama
Khonghucu
mengalami
diskriminasi. Hal ini terjadi karena presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, tentang larangan bagi WNI keturunan Cina untuk melakukan perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina secara terbuka dan Surat
76
77
Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November tahun 1978 tentang lima agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu: Isalm, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Adanya kebijakan tersebut, membuat kebebasan dan hak-hak umat Khonghucu menjadi terbelenggu. Masa diskriminasi tersebut terjadi kurang lebih selama 32 tahun atau pada masa berkuasanya Orde Baru. Kemudian di masa reformasi, umat Khonghucu terbebas dari diskriminasi, karena pemerintah pada zaman Gus Dur membuka pintu lebar-lebar atas eksistensi agama Khonghucu di Indonesia sampai sekarang. Kedekatan Gus Dur dengan agama Khonghucu seperti halnya dengan agama atau etnis lain yang minoritas dan tertindas. Kedekatan Gus Dur dengan agama Khonghucu bukan berawal ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, melainkan jauh sebelum itu, yaitu terjadi pada masa Orde Baru berlangsung. Banyak sekali kejadian yang melibatkan Gus Dur dengan agama Khonghucu pada saat itu. Gus Dur tidak serta merta membela begitu saja melainkan ada alasan yang memang mengharuskan agama Khonghucu untuk dibela. Dilatar belakangi dengan menegakkan dan memperjuangkan Hak Asasi Manusia, Gus Dur tampil membela dan memperjuangkan umat Khonghucu dari diskriminasi yang mereka alami. Seperti halnya ketika Gus Dur menghadiri sidang di PTUN Surabaya ketika umat Khonghucu menggugat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk masalah administrasi perkawinan. Dukungan tersebut menandakan Gus Dur sangat memperhatikan kaum tertidas yang minoritas. Gus Dur juga mengadakan
78
pertemuan dengan tokoh-tokoh agama di Bali termasuk tokoh dari Khonghucu dan November 1999 mengadakan pertemuan dengan masyarakat Cina di Beijing. Tidak hanya dengan lembaga keagamaan Khonghucu saja, Gus Dur juga menjalin persahabatan dengan tokoh-tokoh agama Khonghucu seperti Bingky Irawan dan Budi Santoso Tanuwibowo. Jadi kedekatan Gus Dur dengan agama Khonghucu sama seperti dengan agama atau etnis lain yang tertindas tanpa membeda-bedakan latar belakang baik suku, agama, ras maupun etnisnya. Pancasila dan UUD 1945 secara tegas menjamin hak-hak warga negaranya termasuk agama dan kepercayaan yang dianutnya seperti dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan alasan ingin menegakkan Ideologi Pancasila, UUD 1945 dan juga negara yang benar-benar demokratis tanpa ada diskriminasi yang dialami oleh setiap warga negara. Akhirnya Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang selama 32 tahun membelunggu umat Khonghucu dengan mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Selain itu Gus Dur juga beralasan, sebuah agama dapat dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupkan agama bukan jaminan pemerintah tapi hati manusia. Sehingga, menurut Gus Dur, pengakuan negara terhadap suatu agama merupakan kekeliruan. Justru pemerintahlah yang harusnya mengayomi dan memfasilitasi kebutuhan setiap
79
warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing, seperti yang sudah diatur oleh Pancasila dan UUD 1945. Melalui Keppres presiden Gus Dur No. 6 tahun 2000 tersebut, maka umat Khonghucu dapat mengekspresikan kembali ajaran agama yang selama masa Orde Baru terbelenggu. Hak-hak sipil sebagai warga negara Indonesia juga mulai pulih dengan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintahan selanjutnya setelah Gus Dur. Dari ditetapkannya Hari Libur Nasional Imlek pada masa pemerintahan Megawati, dicatat dan dilayaninya perkawinan secara Khonghucu, pendidikan agama Khonghucu, hingga masuknya Khonghucu dalam kolom agama di KTP. Imlek yang diperingati setiap Tahun oleh umat Khonghucu pada khususnya dan warga Indonesia pada umumnya menambah kekayaan kebudayaan bagi bangsa Indonesia, karena budaya Tionghoa dan local bercampur. Hal ini menjadikan peringatan Imlek tidak sama persis seperti di Tiongkok melainkan punya identitas tersendiri karena percampuran budaya tersebut. B.
Saran Berdasarkan penelitian yang penulis kerjakan, maka ada beberapa saran
dari penulis baik untuk umat Khonghucu, peneliti selanjutnya dan lembaga Matakin maupun fakultas Ushuluddin lebih khusus program studi agama-agama. 1.
Umat Khonghucu a.
Sebagai agama yang baru dilegalkan pada masa reformasi, semoga tetap menjaga tradisi yang selama ini dipraktekkan.
80
b. Meskipun dibeberapa kejadian atau peristiwa keagamaan masih sikap intoleransi terhadap umat Khonghucu di Indonesia, tetapi hal tersebut semoga tidak menyurutkan sikap cinta terhadap negara Indonesia. 2.
Peneliti selanjutnya a.
Masih banyak aspek-aspek dalam agama Khonghucu yang belum diteliti. Jadi bisa menjadi bahan penelitian selanjutnya, agar dapat menjadi wawasan keilmuan terutama prodi studi agama-agama.
b.
Carilah referensi yang berkaitan dengan Khonghucu seperti ke Majelis Tinggi Agama Khonghucu atau Litang Bio Tangerang, disana terdapat banyak referensi mengenai agama Khonghucu.
3.
Fakultas Ushuluddin dan Jurusan Studi Agama-Agama Perbanyak referensi buku untuk penelitian agama Khonghucu, karena
untuk referensi agama Khonghucu terbilang masih sedikit.
Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri, Berguru Kepada Bapak Bangsa (Jakarta: PP Gerakan Pemuda Ansor 1999) Atmaja, Sugiandi Surya, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014) (Tesis S2 Konsentrasi Agama Khonghucu, Program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia (Jakarta: PT Raja Grafindo Oersada, 2007) Cahyo, Agus N., Salah Apakah Gus Dur? Misteri di Balik Pelengserannya (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014) Creel, H.G, Alam Pikiran Cina, Terj. Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana 1990) Aziz, M. Imam, Culture Of Peace: Sebuah Pendekatan Islam, dalam kumpulan kolom dan artikel Abdurrahman Wahid selama era lengser (Yogyakarta, ELKiS 2002) Dhakiri, M. Hanif, 41 Warisan Kebesan Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2010) Darwanto, Eko dan A. Malik Harmain dan Mohammad Badi’ Zamas ,Gus Dur: Goro-Goro Dalam Lakon Multi Krisis (Jakarta: Bumi Selamat Printing 2001) Dematra, Damien, Sejuta Hati untuk Gus Dur (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika, UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Jakarta: Sinar Grafika 2016) Fattah, Abdul, Jejak Langkah Guru Bangsa (Semarang: Ein Institute, 2010) Hadian, Emma Nurmawati, Swia Asto, Buku Saku Pembinaan dan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013) Ibad, MN, Akhmad Fikri AF, Bapak Tionghoa Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang 2012)
81
82
Imron, M. Ali, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: Diva Press, 2015) Indarto, Ws., Selayang Pandang Lembaga Agama Khonghucu Indonesia Dahulu, Sekarang dan Masa Depannya, (Jakarta: Matakin, 2010) IVV, Gus Dur dan Tahun Baru Imlek (Media Cetak Kompas, Minggu, 7 Februari 2016) Masdar, Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Jalan, Pembela Minoritas Etnis-Keagamaan, (Jakarta: DPP PKB dan KLIK.R, 2005) Milles, M.B. dan Huberman, AM, Analisa Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: UI Press, 1992) Muhith, Mahmudi dan M. Latif dan Imam Muslich, Gus Dur Bapak Pluralisme, (Malang, 2010) Musa, Ali Masykur, Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 2010) Nakamura, Mitsuo, Abdurrahman Wahid, dalam John I. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Muslim World (New York, Oxford university Press,1995) Ng, Al-Zastrauw, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pertanyaan Gus Dur, (Jakarta: Erlangga, 1999) Nugroho, Aryanto, Jejak Langkah Guru Bangsa, (Semarang: Ein Institute, 2010) Rumadi, ed., Damai Bersama Gus Dur, (Jakarta: Buku Kompas,2010) Saidi, Gunawan, Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2009) Santoso, Listiyono, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Jogjakarta 2004) Setiawan, E., Tahun Baru Imlek, Marga Dan Silsilah Warga Tionghoa, (Semarang: Yayasan Widya Manggala Indonesia, 2012) Setiopno, Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Trans Media Pusaka, 2008) Smith, Huston, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990)
83
Sugono, Dendi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cetakan Pertama Edisi IV (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama) Sumodiningrat, Gunawan dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, (Jakarta: 2004) Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa Indonesia, (Terjemahan Dede Oetomo), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988) Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2002) Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005) Untung Budi, Buku Pintar BimbelSD Kelas 4, 5, 6 (Jakarta: Lembar Langit 2015) Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: Wahid Institute, 2007) Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Yusuf , A. Muri, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014) Zen, H. Muhammad, Gus Dur Kiai Super Unik, (Malang: Cakrawala Media Publisher 2010) Zar, Sirojuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Pt Raja Grafindon Persada, 2012)
84
Website http://filsafat.kompasiana.com/2012/08/15/9-nilai-prisma-pemikiran-gus-dur479610.html Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 http://hukum.kompasiana.com/2012/08/29/norma-yang-terkandung-dalam-pasal29-uud-1945-dan-peraturan-nomor-ipnps1965-482817.html Diakses pada tanggal 21 Maret 2016 http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukumislam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016 http://www.islamcendekia.com/2014/02/pengertian-riddah-murtad-dalam-hukumislam.html Diakses tanggal 25 Juni 2016 http://lama.elsam.or.id/downloads/1363164069_HAM_dan_Kebebasan_Beragam a._Musdah_Mulia.pdf Diakses pada tanggal 25 Juni 2016 http://news.liputan6.com/read/29279/imlek-resmi-menjadi-hari-libur-nasional Diakses pada tanggal 22 Agustus 2016 http://www.spocjournal.com/hukum/372-berbagai-keputusan-pemerintah-tentangagama-khonghucu.html Diakses pada 23 April 2017