PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA ( Study Kasus di Masyarakat Cina Penganut Agama Khonghucu di Tangerang )
Skripsi
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Disusun Oleh : GUNAWAN SAIDI NIM. 104032100985
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARATA 2009 KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai ungkapkan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan manusia lainnya termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada : 1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyida, Ma; Sekretaris Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Ihksan Tanggok, Ma sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuasa keilmuan yang baru. 3. Bapak Asyuntapura selaku ketua MATAKIN serta Ibu Lili, Ceng Eng, Kak Rudiguna, Victor, Andri dan masyarakat umat Khonghucu yang telah memberikan banyak sumber utama skripsi ini serta meluangkan waktunya kepada penulis utnuk dapat berdiskusi secara langsung, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini. 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang dengan cinta dan kasih sayangnya telah membesarkan dan mendidik penulisa hingga sekarang ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan. 6. Kakanda Samini, Saidah, Saminah, Sahwan, Jamaludin, Dika, Aji, Husein, Ahmad, Ilyas, Nenih, Sar, Nadil yang telah memberikan dorongan waktu kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Keluarga Besar Beo Tek Bio yang selalu mendorong penulis untuk selalu mencintai, mencari dan manambah ilmu sampai akhir hayat. 8. Teman-teman mahasiswa Jurusan PA anggkatan 2004 (Ray, CIci, Sofyan, Dyah, Boim, Breh, Liha, Hesty, Iwenk, Hasby, Putra, Dely, Rina, Oby, Aji, Ahmad, Oji, Ayat, Aya, dll)
9. Keluarga besar kepala sekolah SDN Perigi Baru II beserta para staf dan guruguru yang selalu memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 10. Habib Taufik SPd, Ibu Tuti, Ibu Nenty, M. Nafis, Antala’lai dan Istri, Ika dan Atika, serta Rohim yang telah membantu penulis untuk berbagi pendapat dan tenaganya berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 11. Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
Jakarta,
Februari 2009 M Rabi’ul Awal 1430 H
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari beriburibu pulau dengan ke anekaragaman suku bangsa, bahasa, sosial budaya
dan
agama
yang
senantiasa
menjunjung
tinggi
serta
menghargai akan adanya perbedaan tersebut.Semboyang bangsa Indonesia “Bhineke Tunggal Ika” yang harus dihargai dan dihayati oleh segenap masyarakat Indonesia, dengan demikian terujudlah kedaulatan dan kesatuan bangsa Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kehidupan beragama di Indonesia secara konstitusi ditegasan dalam rumusan pancasila pada pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945 pasal 29, bahwa Negara Republik Indonesia yang bekedaulatan rakyat berdasarkan pada ketuhanan yang maha Esa, kemanusian yang adil dan beeadab, persatuan Indonesia dan kerakyataan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkansuatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan sisial dan budaya menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang riligius, bangsa yang agamis,bangsa yang percaya pada tuhan Maha Esa. Kehidupan Bangsa Indonesia tidak dapat di pisahkan
dari
kehadiran
dan
perkembangan
agama-agama
besar.Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Agama Khonghucu adalah salah satu agama besar di Indonesia yang memiliki umat tidak sedikit jumlahnya di berbagai peloksok dan pusat-pusat kota seperti halnya di Tangerang1 Ajaran-ajaran
Khonghucu
ternyata
berpengaruh
terhadap
masyarakat luas dari daratan Cina. Rakyat Cina sudah sejak lama telah melakukan imigrasi ke berbagai tempat dengan membawa budaya dan kepercayaannya termasuk ajaran-ajaran Khonghucu. Indonesia termasuk menjadi negara dengan warga pendatang Cina di berbagai wilayah Nusantara ini. Mereka tetap melaksanakan ajaran-ajaran Khonghucu dengan penuh khidmat. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 yang menghendaki agar adat, budaya dan kepercayaan yang bercirikan Cina dibatasi atau dipersempit ruang geraknya, sehingga agama Khonghucu tidak berkembang. Selain itu, pemerintah menghapus mata pelajaran agama Khonghucu dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar yang mengakibatkan para siswa anak-anak Khonghucu pada tahun 1977 dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi tuntunan kurikulum yang berlaku. Umat Khonghucu sering mengakui beragama lain dengan alasan bahwa pada saat itu Khonghucu bukan agama yang diakui, sehingga umat Khonghucu tidak diijinkan merayakan hari-hari
1
Wawancara peribadi dengan Ws Asyuntapura ( ketua Majlis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Tangerang 16 Maret 2009
sucinya di depan masyarakat umum. Umat Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan menyebut dirinya beragama Khonghucu tetapi harus mengakui beragama lain yang formal dan tercantum dalam daftar isian kartu tanda penduduk hanya diberi tanda (“ ”). Namun jiwa umat Khonghucu begitu semangat walaupun banyak rintangan yang perlu dihadapinya. Hal itu bukan masalah bagi umat Khonghucu sehingga mereka tidak mudah menyerah. Umat Khonghucu semakin semangat dengan adanya larangan kegiatan tersebut, sehingga timbul dalam pikiran mereka untuk menciptakan misi dan perkembangan agama Khonghucu. Keinginan tersebut terwujud pada masa reformasi, dan akhirnya semua
kegiatan
diperbolehkan
berkat
pemerintahan
Presiden
Abdurrahman Wahid. Pada masa ini dikeluarkan Inpres No. 27 tahun 1998 dan Kepres No. 6 tahun 2000. Inpres No. 14 tahun 1967 dinyatakan dicabut dan semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Inpres tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dewan Pengurus Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (DP. Matakin) melaksanakan arahan presiden tersebut dengan Surat Nomor 171/MATAKIN/SUI/0505 tanggal 3 Mei 2005 ditambah dengan surat Komnas HAM Nomor 090/TUA/II/2006 tanggal 26 Februari 2006 yang ditujukan kepada presiden sebagai berikut: “Dalam masalah hak-hak sipil umat agama Khonghucu, kami telah mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama (Surat Nomor 398/M. Seneg/6/2006 tanggal 27 Juni 2005 terlampir) untuk menyampaikan
arahan Presiden pada perayaan Tahun Baru Imlek 2556 tanggal 13 Februari 2005 antara lain mengemukakan bahwa dalam memasuki era baru, era reformasi, pemerintah telah mencabut berbagai peraturan yang mengandung unsur ketidaksetaraan antar warga negara. Pemerintah meminta segenap peraturan Pemerintah dari pusat hingga ke daerah-daerah agar dengan konsisten menjalankan kebijakan kesetaraan dan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya terhadap pemeluk agama Khonghucu. Presiden menegaskan bahwa pemerintah menjamin kemerdekaan pemeluk agama tersebut untuk menjalankan ibadah agamanya. 2
Hal
tersebut
telah membawa
angin segar
dan
memberikan
semangat baru bagi masyarakat Cina di Indonesia yang merupakan salah satu kelompok etnis yang mempunyai hak sama-sama sebagaimana kelompok etnis lainnya. Indonesia merupakan negara yang plural dalam berbagai hal; suku, etnis, golongan, budaya, dan agama. Pluralitas ini sangat disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa, sehingga muncul semboyan 'Bhineka Tunggal Ika' yang artinya meski berbeda-beda namun tetap satu jua yaitu sebagai bangsa Indonesia. Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara yang pluralisik, masalah pluraltistas biasanya menjadi pisau bermata ganda; di satu sisi bisa dimanfaatkan untuk menambah daya saing atau kekuatan bangsa itu, laksana indahnya irama orkes simfoni yang terdiri atas berbagai alat musik. Sedangkan di sisi lain bisa menjadi alat pemecahan belah yang sangat ampuh. Demikian juga dengan agama, apabila agama digunakan oleh
2
Yuzril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara, No. B229/M. Sesneg; 3/2006, Hak-Hak Sipil Umat Agama Khonghucu, (Jakarta: 29 Maret 2006), h. 1.
orang yang mempunyai tujuan negatif, ia bisa menjadi alat pemecah belah. Namun apabila agama benar dipelajari, dihayati, diamalkan dan diimani oleh para pemeluknya, maka agama merupakan sesuatu yang sangat ampuh untuk menyuburkan cinta kasih antara sesama umat manusia menuju persaudaraan sejati. Negara Indonesia merupakan negara beragama yang memberikan legitimasi kepada agama-agama yang berkembang di Indonesia melalui Undang-Undang Dasar 1945 dan
telah menjamin secara konstitusi bagi
agama yang berkembang. Jaminan itu dapat dilihat pada pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi : Ayat ( 1 ) ; Negara berdasar atas ke -Tuhan Yang Maha Esa Ayat ( 2 ) ; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya
dan
untuk
beribadah
menurut
agama
dan
kepercayaannya. Agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia ialah: Islam, Kristen, Hindu, Katholik, Budha, dan Khonghuchu. Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama–agama Indonesia karena ( 6 ) agama ini adalah agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Pada kenyataannya, agama Khonghucu yang dianut oleh minoritas masyarakat Cina Indonesia mengalami problematika yang membutuhkan dukungan dan rasa simpatik dari para ilmuwan khususnya ilmuwan
Perbandingan Agama, serta para penganut agama-agama lainnya untuk mengembangkan sikap toleransi dan kerukunan beragama. Problematika tersebut sudah menjadi rahasia umum yang terjadi pada umat Konghuchu dan aliran dan kepercayaan yang berkembang Indonesia di masa Orde Baru. Di era Reformasi, Khonghucu sebagai sebuah agama, tentunya mempunyai hak untuk berkembang dan menjalankan ibadah menurut kepercayaannya. Untuk
itu sesuai dengan latar belakang yang telah diungkapkan
diatas, penulis ingin mengembangkan kajian lebih mendalam melalui sebuah penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul : "Perkembangan Agama Khonghucu di Indonesia Pada Masa Reformasi( 1998-2007) (Studi Kasus pada Masyarakat China Penganut Agama Khonghucu di Tangerang)". B. Perumusan Masalah Di era Reformasi semua kegiatan keagamaan yang dilaksanakan oleh umat Khongcu diperbolehkan dan diakui di Departemen Agama, sehingga umat Khonghucu berkeinginan untuk mengembangkan misi Agama Khonghucu. Walaupun di masa Orde Baru umat Khonghucu tidak merasa nyaman, akan tetapi di masa reformasi merasa nyaman. Semangat ingin mengembangkan misi Agama Khonghucu terutama di Tangerang tetap tidak pudar. Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi satu permasalaan pokok yang akan penulis bahas melalui pertanyaan penelitian
di berikut ini: Bagaimana perkembangan umat dan misi agama Khonghucu di Tangerang pada masa Reformasi ?
C. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni sebuah metode yang menjelaskan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung, dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena.
Penulis
dalam
hal
ini
akan
menjelaskan
dan
menggambarkan serta menganalisa perkembangan agama Khonghucu di Indonesia khususnya di Tangerang pada masa Reformasi. Untuk pendekatan
mempermudah historis
(sejarah).
penelitian
ini,
Pendekatan
Penulis historis
menggunakan adalah
sebuah
pendekatan yang mengambil latar dari suatu peristiwa masa lalu yang merupakan sebuah fakta, perubahan dan perkembangannya, sehingga dengan sejarah dapat diketahui asal usul pemikiran, pendapat tertentu dari seorang tokoh. 3 Adapun data yang penulis peroleh adalah dari data di lapangan dan kepustakaan. Dalam penelitian lapangan penulis mendapatkan data melalui wawancara dan pengamatan langsung untuk memadukan atau 3
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), h. 65.
mencari informasi mengenai perkembangan Agama Khonghucu pada masa Reformasi. Sedangkan data kepustakaan, penulis peroleh dari beberapa buku primer yang membicarakan sejarah dan perkembangan agama Khonghucu di Indonesia pada umumnya dan di Tangerang secara khusus. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku "Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian analisis empirik yang bertujuan untuk Memberikan gambaran tentang perkembangan umat dan misi Agama Khonghuchu di Tangerang pada masa reformasi 1. Mencari jawaban dan memberikan gambaran yang rasional dan empirik (ilmiah) tentang analisis terhadap perkembangan Agama Khonghuchu di Tangerang pada masa Reformasi.
E. Sistematika Penulisan Skripsi ini penulis bagi menjadi empat Bab yaitu:
Bab I Pendahuluan
berisi latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Pembahasan Teoritis, Sejarah Agama Khonghucu; Sejarah Lahirnya Agama Khonghucu, Sejarah Perkembangan Agama Khonghucu, Sejarah Agama Khonghucu di Tangerang.. Bab III Perkembangan agama Khonghucu di Inddonesia pada masa repormasi, Pengertian reformasi dan kebebasan beragama di Indonesia, Kebijaan politik tentang agama dan Perkembangan Agama Khonghucu pada Masa Reformasi. Bab IV Penutup berisi Kesimpulan dan Saran.
BAB II PEMBAHASAN TEORITIS
A. Sejarah Agama Khonghucu 1. Sejarah Lahirnya Agama Khonghucu a. Sebelum Khonghucu lahir Sejarah
memberikan
gambaran
atau
lukisan
keadaan
perkembangan agama, bangsa, dan masyarakat, lembaga atau seseorang pada suatu zaman, yang dapat memahami sejarah, mengetahui tentang masa lampau dan perkembangannya. Kita tidak dapat mengetahui seperti apa alam pikiran Cina sebelum Khonghucu lahir. Kesulitan tersebut karena tidak ada tanda bukti atau peninggalan secara tertulis yang menceritakan kondisi pada saat itu. Oleh karena itu, kita hanya dapat meraba-raba alam pikiran orang Cina sebelum Khonghucu lahir. Banyak yang telah diketahui mengenai manusia zaman batu yang hidup di Cina, akan tetapi pengetahuan mengenai peradaban dan alam pikiran Bangsa Cina tidak begitu banyak diketahui oleh kebanyakan ilmuwan terutama pada periode kuno. Pada pusat kota pemerintahan raja-raja Shang sekitar 1.400 SM terdapat peninggalan inskrip-inskrip singkat tulang dan batu-batuan.
Kota ini merupakan pusat dari suatu peradaban yang cukup maju dan besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan yang besar, bejana perunggu yang indah, kain sutra yang ditenun sempurna, dan banyak lainnya. Mereka merupakan bangsa yang berbudaya tinggi, namun banyak kitab telah musnah, sehingga memberi
sedikit
pengetahuan
mengenai
upacara-upacara
keagamaan bangsa Cina yang berliku-liku selain organisasi politik yang luas. Akan tetapi tidak cukup untuk memperoleh banyak pengetahuan tentang filsafat mereka.4 Tidak banyak yang diketahui mengenai peradaban Bangsa Cina abad Neolitik/Mitikal (2000 SM) dan abad Dinasti Hsia (abad perunggu 2000-1600 SM). Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan Creel bahwa tulisan-tulisan mengenai bangsa Cina sekarang ini berasal dari kota-kota pusat pemerintahan raja-raja Dinasti Shang (1550-1030 SM/1766-1122 SM), dengan ibu kota Anyang sekitar 1.400 SM. Kota ini merupakan pusat peradaban yang sudah maju. Keadaan di zaman itu sangat makmur dan tentram serta menjadi buah tutur dan kenangan manis bagi generasi-generasi belakangan serta diwariskan secara lisan dari generasi-generasi, sampai kepada masa Khonghucu 551 SM.5
4
H.G.Creel, Alam Pikiran Cina, Terj. Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wancana 1990), h.
11. 5
M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indoensia (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 24.
Rakyat Shang yang berbudaya tinggi ditaklukan (pada tahun 1122 SM menurut penanggalan tradisional) oleh suku liar yang berasal dari Cina Barat. Para penakluknya ini dipimpin oleh suatu kelompok yang dikenal dengan nama Chou yang mendirikan Dinasti Chau yang termasyhur. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam menaklukkan rakyat Shang dengan kekuatan militer, namun mereka banyak mengalami hambatan ketika akan mempertahankan wilayahnya. Beberapa tahun setelah terjadinya penaklukan tersebut, Raja Chou meninggal. Putranya dinobatkan sebagai penggantinya, namun kondisi kerajaan menjadi lain. Ia terlampau muda untuk dapat memerintah secara tegas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh keadaan, maka kemaharajaan mulai terpecah-pecah. Akan tetapi kondisi yang tidak mengutungkan ini terselamatkan setelah diambil kekuasaannya oleh pamannya. Semula raja yang masih muda mengira bahwa dirinya akan dibunuh, tetapi rasa kehawatiran itu tidak terlaksana karena pamannya masih menaruh perhatian. Setelah kerajaan Chou kembali pada posisi normal, wali raja ini kembali lunak dan ia belaku arif serta mau diajak damai. Setelah tujuh tahun ia memerintah, ia mengembalikan kekuasaanya pada raja yang masih muda untuk memimpin kerajaan Chou.6 Meskipun
kerajan
Chou
hidup
berabab-abad
sebelum
Khonghucu, namun bangsa Cina sangat menghormatinya. Tidak hanya
6
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat., h. 1-2.
itu, sebagian orang Cina memandangnya lebih tinggi dari Khonghucu. Pada masa raja-raja Shang dan Chou kebudayaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan suku bangsa Cina.7 Suasana kemelut, kesewenangan pihak penguasa, kehidupan yang pahit, keamanan diri yang tidak terjamin di masa sesudah Dinasti Chou membuat orang mengenang kembali akan zaman silam yang aman dan makmur itu. Nilai-nilai yang berkembang pada zaman itu dipandang sebagai kebenaran-kebenaran yang mutlak yang harus dipulihkan. Kaum Bangsawan saling bersaing dan berbuat sekehendak hati mereka sendiri sehingga timbullah keadaan yang persis sama dengan keadaan di Palestina sewaktu zaman para hakim tidak ada raja di Israil dan setiap orang melakukan apa yang dipandangnya baik.8 Pada masa berkuasanya Dinasti Chou dan Shang, hampir setiap kehidupan dikuasai oleh kaum ningrat secara turun menurun. Menurut keluarga kerajaan, raja-raja Chou merupakan keturunan dari leluhur yang bernama Hoi Chi. Secara harfiah kata tersebut dapat diartikan sebagai "Miller Ruler" atau lebih tepat seorang dewa pertanian. Cerita rakyat Shang dan Chou yang menarik ini bukan hanya cerita tentang dewa
pertanian, namun
mereka
menganggap
bahwa
setelah
meninggal, para ningrat yang agung dipandang kembali ke surga dan
7
Joesoef Sou'yb, Agama-agama Besar Di Dunia (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996), Cet-ke
3, h. 175 8
Huston Smith, Agama-agama Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1990), h. 194.
dari sini mereka dapat mengawasi perjalanan anak cucu mereka di dunia. Tidak hanya itu, mereka juga dipandang dapat memberi kemakmuran dan kemenangan dalam peperangan. Dengan demikian bangsa
Cina
sebelum
lahirnya
Khonghucu
sudah
mengenal
kepercayaan kepada Ti (Tuhan atau Dewa tertinggi). Ti bagi masyarakat Cina pada waktu itu merupakan suatu kekuatan yang dapat menyatu dengan manusia yakni para kaisar (Raja). Dalam hal ini, Raja sangat dihormati dan bahkan ditakuti oleh rakyat sebab diyakini sebagai wakil Tuhan di Bumi. Pada akhirnya rajaraja purba sebelum lahirnya Khonghucu dianggap sebagai penguasa serta pembawa ajaran Tuhan. Tampak jelas kiranya bahwa sebelum lahirnya Khonghucu telah ada nabi-nabi atau raja-raja suci purba yang diturunkan oleh Tuhan untuk menjaga hubungan harmonis antara sesama manusia dan Tuhan. Di samping itu, mereka juga mencegah terjadinya penyelewengan yang menyebabkan tidak ada kedamaian dan menimbulkan stres serta menurunnya moralitas dan etika. Khonghucu lahir di kota Tsou, di negeri Lu. Menurut Yoesoef Soe'yb, lima belas tahun setelah peristiwa di negeri Lu, Khonghucu bersama muridnya terus mengembara untuk mengajarkan moral, namun tidak diterima di negeri manapun. Khonghucu merupakan seorang yang bermoral dan sangat menjujung tinggi nilai-nilai moral. Jika ia melihat seseorang yang tingkah lakunya melanggar norma-norma moral, maka ia tidak segan-segan
untuk
ikut memperbaikinya. Khonghucu
sangat
prihatin melihat
kehidupan masa itu, dimana mereka banyak yang senang berfoyafoya dan bermabuk-mabukan. Khonghucu
adalah
nabi
besar
dan
tokoh
yang
menyempurnakan ajaran leluhur Cina sebelumnya. Dia tidak sekedar membawa ajarannya sendiri, melainkan agama yang telah diturunkan Thian (Tuhan Yang Maha Esa). Setelah ia puas dengan kehidupan mengembara dan menyebarkan ajarannya, Konghucu wafat pada 479 SM. Ajarannya dilanjutkan oleh cucunya,Tzu-Szu serta tokoh-tokoh yang lain seperti Meng Tze (372-289). Meng Tze adalah seorang komentator pada masa itu. Dua setengah abad sepeningal Kung Fu Tze terbentuk dinasti Chin (221-207 SM), dengan ibu kota Hsien dan yang berkuasa adalah kaisar Shin Hwang Ti (221-210 SM) yang membangun tembok besar Cina (Geat Wall). Karena ia ingin melenyapkan kenangan kepada kebesaran masa silam dan memulai sejarah kebesaran Tiongkok, ia pun memerintahkan untuk mengumpulkan dan membakar seluruh karya Khonghucu pada setiap penjuru Tionghoa. Ia memerintah dengan tangan besi serta dengan kekuasaanya, ia menuruti ajaran legalitas di bawah pimpinan Li Szu. Dari dinasti Chin itulah bermula lahir sebutan: Cina (China). Sepeninggal
dinasti
Chin, ajaran Khonghucu berkembang
kembali di seluruh Tiongkok yang disebarkan oleh Men Tze. Men Tze menjabarkan lima asas susila berikut ini :
Jen (bersikap asih) yaitu hasrat untuk melakukan hal-
a.
hal yang membawa kebajikan bagi bawahan. /. (bersikap adil) yakni jangan melakukan perbuatan
b.
yang tidak disenangi bawahan atau untuk orang lain melainkan diri sendiri. /.i (bersikap ramah terhadap bawahan), yakni
c.
jangan bersikap angkuh sombong dan congkak. Chin (berikap bijaksana), yakni menetapkan sesuatu
d.
keputusan berdasarkan atas pengetahuan dan hikmah. Hsin, bersikap jujur, karena tanpa kejujuran pihak
e.
yang berkuasa akan rusak.9 Sedangkan di dalam buku Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghocu di Indonesia, Wu Chang (lima sifat yang mulia) terdiri dari: a.
Ren/Jin:
cinta
kasih,
rasa
kebenaran,
kebajikan, tahu diri, halus budi pekerti (sopan santun) rasa tepo seliro serta dapat menyelami kebenaran. b.
I
/
Gi,
yaitu;
rasa
solidaritas,
senasib,
sepenanggungan dan rasa menyelami kebenaran. c.
Li atau Lee: yaitu sopan santun, tata karma, dan budi pekerti.
d.
Ce
atau
Ti,
yaitu:
kebijaksanaan (wisdom), pengertian dan kearifan.
9
Sou'yb, Agama-agama Besar di Dunia, h. 177.
Bijaksana
atau
e.
Sin:
kepercayaan,
rasa
untuk
dapat
dipercaya oleh orang lain serta dapat memegang janji.10 Walaupun
Khonghucu
telah
meninggal,
ajarannya
masih
berkembang dan dirasakan masyarakat Cina hingga sekarang. Namanya dikenal didunia dan ajarannya pun tetap dipraktekkan. Ia adalah seorang guru yang bijaksana
yang mengajarkan kepada
murid-muridnya tentang arti kehidupan, serta mampu merubah pola pikir masyarakat Cina. Dalam hidupnya, ia lebih menekankan belajar, karena dengan belajar seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang banyak dan bisa mengikuti perkembangan zaman.11 Bagi Khonghucu,
keberhasilan
seorang
pemimpin
bukan
diukur
dari
kekuasaan tetapi yang lebih penting adalah akhlak yang mulia.
2. Sejarah
Perkembangan
Agama
Khonghucu
di
Indonesia Pendekatan sejarah kiranya merupakan pendekatan terbaik untuk
membicarakan
serta
menyoroti
"masalah
Cina",
karena
menempatkannya pada tempat serta proporsi yang sebenarnya. Dengan melihat masa lampau dimana masalah ini timbul dan
10 11
Tanggok, Mengenal lebih Dekat, h. 68. Tanggok, Mengenal lebih Dekat, h. 21-24.
berkembang kepada masa yang akan datang, masalah ini sudah harus diselesaikan sesuai dengan cita-cita tentang kebangsaan, yaitu kesatuan dan persatuan bangsa yang bersifat Bhineka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila. Para sarjana menemukan bahwa pada zaman akhir pra sejarah terdapat sejenis bangsa Melayu purba di Indo Cina (300 M). Bangsa tersebut
berkebudayaan
Neolithicum.
Inilah
yang
kemudian
dikembangkan mereka hingga menjadi satu kebudayaan sendiri, yang oleh
para
ahli
prasejarah
dinamakan
kebudayaan
Dongson
(Thongson/Tengswa). Di Indonesia kedatangan agama Khonghucu diperkirakan sejak zaman akhir prasejarah dengan diketemukannya benda prasejarah seperti kapak sepatu yang terdapat di Indo Cina, dan tidak terdapat di Indonesia dan Asia kecil. Hal ini menunjukan telah terjadi hubungan antara kerajaan-kerajaan yang terdapat di daratan yang kini disebut Tiongkok dengan Indonesia. Namun dengan proses akulturasi yang terjadi dengan lancar menunjukan bahwa kedatangan bangsa Tiongkok dapat diterima tanpa hambatan. Di Tiongkok sejak tahun 136 SM, Khonghucu ditetapkan di sebagai agama resmi, maka dengan demikian orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia membawa sistem dan nilai-nilai religius agama Khonghucu yang mempunyai arti : yang taat yang lembut hatinya. Di Indonesia
kita menyebut ji, dikarenakan mengikuti
istilah yang
digunakan para sajana barat. Pada abad ke -17 sebutan resmi bagi agama Kong Fu ji adalah agama Ru (Ru jiao). Kong Fu Zi diambil dari ejaan pin yin yang merupakan ejaan baku bahasa Mandarin. Agama Kong Fu Ji atau Khonghucu sangat dikenal di Indonesia yang diambil dari dialek Hokkian (Fujian). Dialek Hokkian berkembang di kalangan orang Indonesia yang keturunan Cina di pulau Jawa. Agama Khonghucu pernah diakui sebagai salah satu agama yang
diikuti
pemerintah
oleh
penduduk
nyatakan.
Kondisi
bangsa politik
Indonesia pada
sebagaimana
saat
itu
tidak
menguntungkan bagi orang Cina, karena kuatnya pemerintah pada masa Orde Baru. Keluarnya surat Edaran Menteri dalam Negeri No. 477/74054/BA.2/4683/95 tanggal 18 November 1978 mengakibatkan agama Khonghucu tidak jelas statusnya di Indonesia. Banyak penganut Khonghucu pindah ke agama lain seperti Kristen, Katolik dan Buddha, padahal
kedatangan orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak
menimbulkan kesukaran fisik dan mental.12 Telah terjadi proses tukar menukar nilai-nilai budaya, sehingga tercapai satu tingkat akulturasi yang sempurna. Selain itu telah terjadi peraturan dan penyesuaian unsur-unsur religius dan aspek-aspek seremoni di antara agama. Dari masa ke masa sebelum masa Orde Baru, ajaran Khonghucu tumbuh dan berkembang dengan berdirinya tempat peribadan agama Khonghucu, seperti rumah abu untuk menghormati arwah
12
Tanggok, Mengenal Lebih Dekat., h. 1.
leluhur dan kelenteng-kelenteng yang terdapat di berbagai penjuru tanah air. Hal ini memberi bukti adanya perkembangan Khonghucu di Indonesia sejak tahun 1688. Kelenteng Thian Ho Kiong dibangun di Ujung Pandang pada tahun 1819 dan kelenteng Ban Hing Kiong didirikan di Manado. Sedangkan rumah abu Kong Tik Su di Manado didirikan pada 1839. Kelenteng tua lainnya antara lain terdapat di Ancol Jakarta, Tuban, Rembang dan Lasem. Pada 1883 di Surabaya dibangun klenteng Khonghucu dan dibina oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Surabaya. Kurang lebih tahun 1729 terdapat pula sebuah lembaga Khonghucu yaitu semacam pesantren yang terletak di Jakarta dengan nama Bing Sing Su Wan, artinya kitab/ Taman pendidikan. Kemudian pada tahun 1886 di Jakarta diterbitkan Kitab Hikayat Khonghucu yang disusun oleh Lie Kim Hok. Pada tahun 1900 di Sukabumi diterbitkan Kitab Thay Hak (ajaran Besar) dan Tiong Yong (tegak sempurna) yang disusun oleh Tan Bing Tiong. Kedua kitab tersebut dicetak dalam bahasa lama (orang Belanda menyebutnya waktu itu 'Bahasa Melayoe'). Buku ini adalah upaya pertama dalam memperkenalkan Khonghucu di kalangan para pembaca bahasa Melayu. Bahkan yang lebih tua lagi adalah pada tahun 1897 di Ambon, Maluku, telah dicetak kitab Suci Thai Hak, Tiong
Yong dan
Ziaojing (kitab Haww King) yang
diterjemahkan dalam bahasa Melayu.
Dalam
perkembangan
lebih
lanjut,
untuk
mengokohkan
organisasi yang bersifat lembaga agama, maka didirikan Khong Khauw Hwee-Khong Khauw Hwee atau Majelis-majelis Agama Khonghucu. Di Solo diresmikan pada tahun 1918, juga di tempat-tempat lain seperti Bandung, Bogor, Malang, Ciamis dan lain-lain. Kemudian pada Tanggal 12 April tahun 1923 diselenggarakan Kongres di Yogyakarta, pada saat itulah diadakan musyawarah dalam rangka membentuk Badan pusat Khong Kauw Hwee di Bandung. Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung, diadakan kongres dengan tujuan untuk menyempurnakan tata agama dan peribadatan yang dahulu pernah dirintis Tiong Hwa Hwee Koan. Kegiatan Khong Khauw Tjong Hwee menjadi beku, baru pada zaman pendudukan Jepang peranan Khong Khauw Tjong Hwee sebagai pusat lembaga agama Khonghucu bangkit kembali pada tahun 50-an dan lahir kembali dengan wajah baru pada konferensi di Solo pada tanggal 16 April 1955 dengan nama perserikatan Khonghucu Chiao Hui Indonesia. Sejak tahun 1967 sampai kini berganti nama menjadi MATAKIN atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. Kemudian pada tanggal 2023 diadakan Konferensi di Tangerang untuk membicarakan mengenai tata agama, tata cara ibadah dan merealisasikan UU perkawinan. Pada saat itu ketua Matakin di Tangerang, Suryo Utomo.13
13
Wawancara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Tangerang, 25 September 2008.
Pada tanggal 25 September 1938 di Solo diadakan konferensi pengembangan Khong Kauw Hwee di seluruh Jawa. Dua bulan setelah diadakan konferensi Khong Kauw Hwee di Solo pada tanggal 1939, diadakan perayaan bersama dalam rangka ulang tahun Khong Kauw Hwee di Jawa. Pada tanggal 24 April 1940 kembali digelar konferensi dan menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya: pertama harus berdasarkan kitab suci dan semua murid di sekolah Khong Kauw Hwee supaya diberikan pelajaran agama dari kitab suci; kedua, hal-hal yang berhubungan dengan upacara perkawinan dan kematian agar disesuaikan dengan budaya Indonesia. Ada sebagian orang yang kurang mendorong perkembangan agama Khonghucu di Indonesia antara lain adalah, pertama orang Cina tidak mampu bahasa Cina. Kedua, gerakan Islam mengalami kemajuan di kalangan warga keturunan Cina. Ketiga, orang Cina totok kurang tertarik dengan ajaran Khonghucu. Keempat, iklim politik di Indonesia
kurang
menguntungkan
bagi
perkembangan
agama
Khonghucu. Kelima, orang Cina tidak dapat memperoleh pendidikan di sekolah, karena sekolah Cina ditutup pada saat itu. Pemerintah terpaksa tidak mengakui agama Khonghucu sebagai agama pada tanggal 27 Januari 1979 dan pernyataan ini diperkuat dengan ucapan H. Tarmizi Taher.14 Namun pada zaman reformasi tampaknya agama Khonghucu mempunyai peluang yang lebih baik, bahkan Departemen
14
202-203.
Mely G. Tan, Etnis Tionghoa Di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.
Agama mengakui 6 agama, yaitu agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu.15 Kemudian diadakan seminar yang menyangkut keberadaan Khonghucu di Indonesia terutama di IAIN pada pada tahun 1998 di Jakarta. Pada
masa
pemerintahan
Presiden
Abdurrahman
Wahid
(Gusdur), Agama Khonghucu mulai mendapat angin segar. Hal ini dapat dilihat dari pertemuan Gusdur dengan tokoh-tokoh agama di Bali (Oktober 1999), dan dalam pertemuannya dengan Masyarakat Cina di Beijing (November 1999). Khususnya di kota Tangerang, semua kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik, seperti Kompetisi Barongsai ASEAN di Junction, BSD City yang diikuti oleh beberapa negara di antaranya Malaysia, Indonesia, dan Hongkong. Jadi sudah jelas bahwa pada masa Reformasi sudah tidak ada larangan dari pihak manapun.16 Angin segar bagi agama Khonghucu ini tidak pernah dijumpai pada masa Orde Baru, namun pada masa Reformasi umat Khonghucu dapat memanfaatkan hak-haknya hingga sekarang. Satu hal yang membuat umat Khonghucu di Indonesia ini mempunyai harapan besar terhadap masa depan agamanya adalah dengan dicabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 oleh pemerintah Gusdur yang pada akhirnya umat Khonghucu berlega hati. Sebelum
15 13
pencabutan
Inpres
tersebut,
umat
Khonghucu
Seri Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman ( Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113-115. “ Kompetisi Barongsai, '' Radar Serpong, Rabu,10 Desember 2008, h. 3.
tidak
merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan di rumah atau lingkungan masing-masing. Namun ketika Inpres tersebut dicabut umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat merasakan tahun baru Imlek secara terbuka dan tidak ada batasan dalam lingkungan sendiri.17 Setelah dicabut Inpres No. 14 tahun 1967 (pada bulan Februari 2000), Menteri Dalam Negeri mencabut Surat Edaran tahun 1978 tentang agama yang lima, sehingga tidak ada lagi dokumen resmi pemerintah yang mengatakan agama yang diakui hanya lima. Oleh karena itu pemerintah sudah mengakui 6 Agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Khonghucu. Setelah dicabutnya surat Edaran Menteri
Dalam
Negeri ini, maka pemerintah tidak mempunyai
kewenangan apapun untuk menentukan mana agama yang resmi dan mana yang tidak resmi.18 Pada perayaan Tahun baru Imlek Nasional 2557 di Jakarta Convention Center, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya telah menegaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini tidak ingin bersikap diskriminasi. Oleh karena itu presiden dalam sambutannya mengingatkan kembali penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 yang diundang-undangkan melalui undang-undang Nomor 5
17
Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Tangerang, 29 September 2008. 18 Chandra Setiwan, “Hak-Hak Sipil Pengalaman Agama Khonghucu,” dalam Martin L Sinaga (ed.), Bincang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme, Peran Publik Agama (Jakarta: Radio Pelita Kasih, 2005), h. 277.
Tahun 1969 bahwa agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu merupakan agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Dengan perkembangan ini warga Tionghoa penganut Khonghucu menyambut gembira. Umat Khonghucu menyatakan kegembiraannya dengan memasang iklan ucapan terima kasih di beberapa koran. Umat Khonghucu sudah bosan dengan aneka bentuk diskriminasi dan merindukan sebuah harmoni sehingga semua etnis di negeri ini bisa hidup rukun, saling menghormati keberadaan masing-masing dan bebas memeluk agama yang dianut. Selain itu yang lebih penting adalah permintaan Presiden kepada kantor catatan sipil di Indonesia untuk
mencatat
perkawinan
bagi
pemeluk
Khonghucu
seperti
pencatatan perkawinan agama lainnya.
3.Sejarah Agama Khonghucu di Tangerang Presiden sudah menetapkan No. 01/1965 yang dengan jelas menyatakan bahwa agama yang dianut oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi pada kenyataannya Agama Khonghucu yang dianut oleh minoritas masyarakat Cina mengalami problematika. Pada saat itu sangat membutuhkan perhatian dan rasa simpatik dari para ilmuan, namun setelah masuk masa reformasi, keinginan untuk mengembangkan agama Khonghucu tercapai dengan adanya mahasiswa, khususnya
Jurusan Perbandingan Agama yang sangat membantu Perkembangan Agama yaitu Khonghucu. Menurut Dewan Kerohanian Matakin, hampir tiga puluh dua tahun umat Khonghucu Indonesia merasa terbuang dari saudarasaudaranya pemeluk agama lain. Sejak tiga puluh dua tahun umat Khonghucu harus mengalami berbagai kenyataan pahit yang sangat memperihatinkan pada saat itu. Di antaranya peristiwa pengapusan mata pelajaran agama Khonghucu sejak dikeluarkannya kurikulum pendidikan Sekolah Dasar. Peristiwa ini mengakibatkan para siswa dipaksa mengikuti pelajaran pendidikan agama lain demi memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku, bahkan sering dipaksa mengaku beragama lain dengan alasan bahwa Khonghucu bukan agama atau agama yang tidak diakui atau agama tidak resmi dan sebagainya. Agama Khonghucu dikait-kaitkan dengan Inpres No.14/1967 yang pada akhirnya
tidak
diijinkan
merayakan
hari-hari
sucinya
di
depan
masyarakat umum. Lembaga atau majelis-majelis agama Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diizinkan menyelenggarakan kegiatan yang bersifat formal. Penyelenggaraan kongres atau konferensi dan pertemuan yang sejenispun dibatalkan izinnya atau tidak diberi izin sama sekali. Di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berfungsi sebagai identitas diri. Umat Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diizinkan menyebutkan dirinya beragama Khonghucu tetapi diharuskan mengaku beragama lain yang
formal dan tercantum dalam daftar isian permohonan kartu penduduk, atau hanya diberi tanda ("_") seolah-olah tidak memeluk sesuatu agama. Bahkan ada salah satu perguruan tinggi yang memaksa seorang calon dokter yang memeluk agama Khonghucu agar bersedia melakukan sumpah jabatannya dengan memilih salah satu agama yang dianggap resmi. Untungnya tidak semua, bahkan sebagian besar perguruan tinggi tidak berbuat hal demikian. Hal yang lebih memprihatinkan adalah bahwa Kantor Catatan Sipil
yang
bertugas
mencatat
perkawinan
sebagaimana
yang
ditentukan dalam Undang–undang RI No. 01/1974 tentang perkawinan, ternyata tidak bersedia dan menolak mencatat perkawinan menurut tata cara/hukum
bagi
umat Khonghucu. Kalau
tidak bersedia
melakukannya maka dikategorikan "kumpul kebo" atau melanggar undang-undang perkawinan. Maka untuk mendapatkan pelayanan di Kantor Catatan Sipil, mereka harus bersedia mengaku beragama lain dan menikah menurut agama yang formal atau resmi, atau mohon belas 'kasihan' lembaga agama yang resmi agar mau menerangkan bahwa kedua mempelai tersebut sudah melakukan perkawinan menurut agama tersebut. Terakhir yang tidak kurang memperhatikan bagi umat Khonghucu adalah mereka yang masih berstatus asing bila
ingin
mengikuti
kemudahan
kewarganegaraannya,
diwajibkan
mengaku beragama salah satu agama yang dianggap formal.19 Agama
Khonghucu
telah
memasuki
babak
baru
dalam
kehidupan ini dengan penuh harapan. Akan tetapi kebahagiaan ini agak terusik dengan penolakan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk mencatat perkawinan yang telah sah menurut Agama Khonghucu sesuai dengan syarat dalam UU perkawinan No. 01/1974. Hal ini diketahui saat mendaftarkan pernikahan dengan membawa surat-surat yang telah disyaratkan pada tanggal 1 Agustus 1995. Penolakan ini dengan alasan bahwa agama Khonghucu dianggap bukan agama yang diakui dan dibina Departmen Agama. KCS mengajukan dua alternatif yaitu mengganti surat nikah dengan agama lain dan mengaku beragama salah satu agama "resmi" pemerintah. Alternatif ini ditolak oleh umat Khonghucu mengingat harus mengikuti dan mengulangi lagi ritual agama lain yang tidak dimengerti dan diyakini sama sekali. Sedangkan anjuran kedua adalah MAKIN (Majelis Agama Khonghucu) mengeluarkan surat agar menghilangkan kata "Agama" dalam
stempel
MAKIN dan
supaya tertulis
"Majelis
Khonghucu
Indonesia" tanpa agama di depan kata “Khonghucu”, jadi stempel dan kop surat nikah harus diganti.20
19 20
Wawancara pribadi dengan Andri (umat Khonghucu), Tangerang, 9 Februari 2009. Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura.
Untuk memberi gambaran mengenai sejarah agama Khonghucu di Tangerang, pada tahun 1910, di Solo didirikan Khong Kaw Hwee sebagai lembaga Agama Khonghucu pertama. Pada tanggal 12 April tahun 1923, diadakan kongres pertama Khong Kaw Hwee (lembaga pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai pusat kegiatan seluruh umat Khonghucu Indonesia pra-kemerdekaan. Pada tanggal 25-26 September 1924, di Bandung
diadakan
kongres
kedua
yang
membahas
tentang
penyeragaman tata agama Khonghucu di seluruh nusantara. Pada tanggal 16 April, di Solo diadakan kongres ketiga. Pada saat itu lembaga Khong Kaw Hwee berubah namanya menjadi MATAKIN, kemudian pada Tahun 1963 diselenggarakan kongres yang keempat di Ciamis yang membahas tentang kerohaniwan, namun pada saat itu belum ada keputusan tentang kerohaniwan, sehingga baru ada pada tanggal 5-6 Desember pada tahun 1964 dan diresmikan di Tasikmalaya. Pada tanggal 20-23 Desember pada tahun 1975 diadakan MUKERSIN (Musyawarah kerja Nasional seluruh Indonesia) di Tangerang yang membahas mengenai kerohaniwan dengan tujuan menyempurnakan tata agama, tata cara ibadah, mengatur mengenai keimanan dan pengajaran
Khonghucu,
kebatinan
perkawinan.21
21
Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura.
dan
tentang
perealisasian
Jelaslah bahwa keberadaan Agama Khonghucu di Tangerang, jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka. Akan tetapi perkembangan Agama Khonghucu resmi melembaga di Tangerang baru terbentuk pada tanggal 20 Desember tahun 1975, dengan nama MAKIN (Majelis Agama Khonghucu) sebagai penggantian nama lembaga pusat agama Khonghucu dan sekarang menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia). Tanggal 20 Desember 1975 adalah tanggal yang bermakna ganda bagi umat Khonghucu di kota Tangerang yang berarti ajaran Khonghucu tidak abstrak dan berpencar-pencar. Tanggal ini adalah rentan waktu 35 tahun yang memiliki bobot istimewa dan sarat prestasi (kendati organisasi agama Khonghucu di Tangerang tidak terlepas Kong kauw Hwee). Bukan hanya tanggal yang bermakna ganda namun tiap tokoh yang berkecimpung dalam kelembagaan ini diperingatkan bahwa peranan adalah ambivalensi antara kepentingan sosial verus keluarga yang merupakan tanggung jawab pribadi.22 Lepas dari masalah pribadi, Jl. Kisamaun No. 145 Tangerang adalah panggung sejarah semua rasa pahit, getir, dan manis. Di sinilah tokoh-tokoh lahir kembali, generasi satu hilang namun generasi berikutnya datang sehingga sekarang banyak generasi pemuda yang belajar tentang agama Khonghucu. Bagi umat Khonghucu, Gusdur dianggap sebagai Dewa penyalamat karena mencabut Instruksi
22
Wawancara Pribadi dengan Victor (driver), Tangerang, 10 Februari 2009.
Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin hingga berlangsung sampai masa sekarang. Hal ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2000. Kemudian Amin Rais, pada saat penutupan sidang umum MPR 1999, telah mengajak semua umat beragama termasuk yang beragama Khonghucu untuk berdoa atas keselamatan bangsa Indonesia. Umat Khonghucu telah merasakan hak-haknya setelah masuk masa Reformasi hingga sekarang. Namun umat Khonghucu tidak pernah merasakan hak-hak sipilnya pada masa Orde baru, oleh karena itu umat Khonghucu menganggap Gusdur sebagai Dewa penyalamat bagi umat Khonghucu. Pada masa Reformasi tidak ada diskriminasi di pemerintah pusat atau daerah, karena elemen masyarakat dan pemerintah sudah mengakui agama Khonghucu di Indonesia. Pada tahun 70-an ada peraturan yang menimbulkan diskriminasi tentang agama, terutama agama Khonghucu yaitu dengan munculnya Inpres Nomor 14 Tanun 1967. Bagi umat Khonghucu inilah akar masalahnya. Sebetulnya dalam Inpres itu tidak ada satu kata pun mengenai Khonghucu, tetapi implementasinya pada akhirnya penekan ditujukan kepada umat Khonghucu. Oleh karena itu bagi umat Khonghucu Gusdur sebagai dewa penyelamat, karena mencabut Inpres tersebut. Pada masa
pemerintahan Gusdur hingga sekarang, umat Khonghucu khususnya di Tangerang merasa berlega hati dan semua kegiatan diperbolehkan dari masa Reformasi hingga sekarang.23 Pemerintah Tangerang sudah mencatat pernikahan pemeluk agama Khonghucu yang berdasarkan undang-undang Nomor 5 Tahun 1965 yang diperkuat oleh peraturan Presiden Tahun 1969 bahwa agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang diakui oleh pemerintah hingga sekarang. Menurut Asyuntapura, di dalam kartu keluarga
dan
kartu
pendudukpun
agama
Khonghucu
sudah
dicantumkan oleh warga Tangerang.24
B. Agama Khonghucu Pada Masa Reformasi 1. Pengertian Reformasi Reformasi secara bahasa adalah perubahan pada proses bergulirnya sejarah perpolitikan Indonesia. Masa reformasi di Indonesia terjadi setelah bergulirnya pemerintahan Orde Baru oleh Presiden Suharto. Presiden Suharto telah memimpin bangsa Indonesia selama 32 tahun dan telah banyak mengeluarkan keputusan yang sangat menyakitkan bagi warga etnis Tionghoa. Setelah masa pemerintahan Suharto, Orde Baru berubah menjadi masa Reformasi. Masa ini mulai
23
Wawancara Pribadi dengan Ws, Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) Tangerang, 25 September 2008 24 Wawancara Pribadi dengan Ceng Eng (Pengamat Budaya Tangerang) Tangerang, 26 Desember 2008.
dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie dan diteruskan oleh Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan yang sekarang Susilo Bambang Yudhoyono. Sebutan Khonghucu merupakan istilah pengikut ajaran Kong Fu Tse di Indonesia terutama orang-orang Tionghoa yang telah melakukan migrasi keluar Negara Cina. Tapi di negara barat dikenal dengan istilah Confucianisme yang berarti faham yang mengikuti ajaran Kun Fu Tse. Tapi kalau dilihat dari aspek teologi ternyata ajaran yang dibawa oleh Kong Fu Tse belum bisa dikategorikan sebagai agama, karena tokohnya tidak banyak mengungkap masalah ketuhanan, melainkan fokus pada misi moralnya yakni masalah budi perkerti tentang tata susila atau tata krama dalam kehidupan sosial.25 Ajaran Khonghucu sangat diterima oleh penduduk Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mitologi dan tata cara peribadatan kelompok keagamaan yang dilengkapi para pengikutnya. Menurut Asyuntapura, ajarannya menyangkut mempercayai terhadap hal gaib, yakni mempercayai nenek moyang/leluhur dan sangat menjujung tinggi etika
serta
upacara
dalam
hidup
masyarakat,
serta
sangat
mementingkan kehidupan mental. Hal ini selaras dengan ajaran etika dalam setiap agama.
25
Bahri Ghajali, Studi Agama-Agama Dunia Bagian Agama Non Semitik (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 60.
Masa reformasi memberikan keberanian umat Khonghucu untuk mengembangkan diri. Surat edaran yang mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 membuat umat Khonghucu berlega hati. Pemerintah daerah, Kantor Catatan Sipil sejak dari kecamatan, mulai timbul keberanian. KTP dan
perkawinan
sudah
berstatus
Khonghucu.
Di
samping
itu,
Departemen Agama setempat kooperatif, dalam arti, mereka sudah diakui keberadaannya bahkan mereka ikut membina forum komunikasi antar umat beragama yang berjumlah enam agama.26 Namun hal ini berbeda dengan Orde Baru yang mana semua kegiatan umat Khonghucu terbatas seperti kita ketahui bahwa pada tahun 1967 muncul Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Inpres ini menurut umat Khonghucu yang menjadi akar masalahnya. Walaupun begitu peninggalan bersejarah seperti bangunan kuno masih yang berarsitek Cina yang sudah berusia 400 tahun bisa dijumpai di Tangerang. Meski sangat tua, namun bangunan ini masih berdiri kokoh di atas lahan seluas 2,5 hektar dengan luas satu hektar. Di sekeliling bangunan itu berdiri rumah-rumah kopel atau asrama mantan tentara komando Distrik militer. Pada zaman dulu rumah itu dimiliki oleh Jho Peng, seorang mandor keturunan Cina yang mendapatkan kepercayaan
26
Wawancara Pribadi dengan Ceng Eng (Pengamat Budaya) Kamis 24 September 2008.
penuh mengurusi pabrik dan pohon karet oleh pemerintah, dan kini diisi oleh keluarga Jho Peng27, Pada masa Orde Baru masyarakat keturunan Tionghoa lebih suka berwiraswasta dibandingkan menjadi birokrat. Menurut pemerhati kebudayaan Tionghoa di Tangerang Oey Tjin Eng, selama ini masyarakat Tionghoa tidak mempunyai kesempatan untuk bergabung ke dalam Birokrasi, mulai dari pemerintahan sampai kepolisian. Kondisi ini jauh berbeda ketika sebelum Orde Baru, karena banyak warga keturunan yang ikut kegiatan birokrasi, seperti menjadi polisi hingga sampai duduk di pemerintahan bisa diperkirakan 50 persen. Sekarang hampir tidak ada satupun warga keturunan Tionghoa yang ikut kegiatan birokrasi.28 Pada tanggal 21 Mei 1998, akhirnya sang penguasa otoriter Orde Baru yaitu Presiden Suharo berhasil dipaksa lengser.29 Dengan lengsernya Soeharto itu pula, maka sejarah bangsa Indonesia pun bergerak menuju proses perubahan dengan keluarnya kepres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres 14 tahun 1967. Menteri dalam Negeri sendiri mencabut surat edaran tahun 1978 tentang agama yang lima, sehingga tidak ada lagi dokumen resmi pemerintah yang mengatakan agama yang diakui hanya lima. Oleh karena itu pemerintah sudah mengakui 6 agama yaitu: Islam,
27
Kristen,
Katolik
Buddha,
Hindu,
dan
Khonghucu.
Setelah
Metro, Tangerang Tribun, Senin, 28 Juni 2008, h. 2. "Pilih Usaha Tangerang Jadi Birokrat" Tangerang Tribun, Rabu, 30 Juni 2008, h. 2. 29 Abdul Wahib Situmorang, Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 59. 28
dicabutnya surat Edaran Menteri dalam Negeri ini, maka pemerintah tidak mempunyai kewenangan apapun untuk menentukan mana agama yang resmi dan mana yang tidak resmi. Di era Reformasi, pemerintah dibawah kepemimpinan Prof. Dr. Ing Burhanuddin Joesoef Habibi, telah mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998 yang berisi bahwa pemerintah akan memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia, dan meniadakan perbedaan dalam segala bentuk, baik ras, suku, agama, maupun asal usul. Dalam penyelenggaraan layanan tesebut, tidak ada diskriminasi. Harus dijaga sebaik-baiknya agar jangan ada
sebagian
atau sekelompok umat beragama yang merasa
diperlakukan tidak wajar sudah dirasakan bagi umat Khonghucu dan menyambut gembira penyataan tersebut. Kemudian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diadakan Kongres Nasional oleh FKUB I yang dibuka secara langsung oleh Menteri Agama M. Mafftuh Basuni yang membicarakan tentang keberadaan agama Khonghucu di Indonesia pada tanggal 6 s/d 10 Desember 2007 di Hotel Delaga biru, Cipanas, Jawa Barat. Kongres ini sejalan dengan visi dan misi agama yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, cerdas serta saling menghormati sesama pemeluk agama sebangsa dan senegara dalam persatuan Republik Indonesia. Umat Khonghucu merasa lega dengan diadakan kongres tersebut, karena diakui hingga sekarang. Bahkan
Presiden menegaskan kembali untuk tidak lagi bersifat diskriminasi khususnya status agama Khonghucu di Indonesia. Ada beberapa isu yang berkembang akhir-akhir ini yang senantiasa dapat memicu konflik di antara umat beragama, oleh karena itu perlu diwaspadai dan direspon secara arif. Maka, forum kerukunan umat beragama selaku wadah pembina dan pemelihara kerukunan umat beragama melakukan pendekatkan sebagai berikut: a.
Pendekatkan sosiologis dalam menangani konflik secara tuntas dalam
b.
kehidupan masyarakat.
Pendekatan Theologis-Elitis artinya para pembuka agama jangan memposisikan diri sebagai kaum elit, tetapi harus menunjukan keteladanan secara aqidah pengamanan ajaran agama secara baik benar
c.
Pendekatan sosialnya harus mempunyai jiwa semangat juang tinggi sekalipun harus banyak pengorbankan energi. Tujuan dari kongres FKUB adalah untuk melakukan silaturahmi
nasional antara pengurus forum umat agama dan para tokoh antar umat beragama. Hal ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan merespon persoalan yang tengah dihadapi agama, menciptakan suasana
konduksif
dalam
rangka
pemeliharaan
kerukunan
dan
pemberdayaan umat beragama, merumuskan agenda dan program
bersama forum kerukunan umat beragama, serta merespon positif terhadap persoalan-persoalan umat beragama.30 2. Kebebasan beragama Di Indonesia Indonesia sebagai negara yang pluralis agama dan etnik, dalam konstitusinya telah mengatur secara tegas kebebasan beragama. Dengan berdasarkan kepada ketuhanan, maka Indonesia mengakui dan percaya kepada adanya Tuhan. Sila ketuhanan yang Maha Esa mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan yang Maha Esa. Hal ini tergambar dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ketiga yang berbunyi: ''Atas berkat rahmat yang Maha Kuasa dan dengan didorong keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya''. Dilihat dari undang-undang sudah ada kebebasan,31 tetapi sila Ketuhanan Yang maha Esa, dapat dijabarkan mengandung makna 4 (empat) butir nilai luhur yang terdiri atas : Percaya dan taqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa
a.
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab.
30
Jimmy J. Ranpengan, Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat beragama FKUB'', diakses Tanggal 23 Desember 2008 Dari http:/www.kekuskupanbogor.org/mekar/12008/news7.htm 31 Yunianto, Pendidikan Kewarganagaraan (Bojonegoro: CV Pustaka Manggala, 2006), h. 3.
Hormat-menghormati dan berkerja sama antara
b.
pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. Saling
c.
menghormati
kebebasan
menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Dalam
perjalanan sejarah
agama-agama
besar
di
dunia,
terutama Islam dan Kristen, maupun berbagai ajaran Buddha, Hindu, Shinto, Taoisme, Zarathustra dan Confucianisme, setiap negara mengatur dan menjamin hak dan kebebabasan beragama yang dicantumkan dalam konstitusinya. Indonesia sebagai bangsa pluralis, dalam konstitusinya mengatur masalah kehidupan beragama. Dengan rumusan sila ketuhanan atau suatu kepercayaan yang Maha Esa bahwa negara tidak memaksa agama atau suatu kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Sebab kepercayaan dan agama itu berdasarkan keyakinan, jadi tidak dapat dipaksakan dan memang kepercayaan dan agama terhadap Tuhan yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa manusia untuk memeluknya. Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu dan perjuangan bangsa Indonesia menuju cita-cita nasional terus berjalan. Hasil-hasil
perjuangan
satu
persatu
tercapai
di
berbagai
sektor
kehidupan. Pada masa Orde Baru lahirlah Penetapan Presiden No. 01 tahun 1965 yang menjadi undang-undang No. 01 tahun 1969 yang merupakan satu produk di sektor hukum. Di dalam undang-undang tersebut pemerintah menjamin ketertiban dan kelancaran rumah ibadah agama oleh pemeluknya. Namun pada perayaan Imlek Presiden Susilo Bambang Yodono kembali menegaskan untuk memberikan hak pemeluk agama Khonghucu untuk mencatatkan identitas agamanya pada KTP dan mengakui perkawinan, sebagai perkawinan yang sah dan berhak untuk dicatat kantor catatan sipil. Selain itu Menteri Dalam Negeri, Muhammad Ma’arup melalui surat edarannya ke seluruh daerah di Indonesia keterangan
yang
memantau
agama
Kantor
Khonghucu
Catatan pada
Sipil
menambahkan
dokumen
administrasi
kependudukan umat beragama.32 Penjelasan penetapan presiden ini dengan jelas mengatakan: ''Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Kristen dan Khonghucu”. Undangan-undang ini berlaku di era reformasi pada tahun 2000. Warga Indonesia yang beragama Khonghucu khususunya di Banten berjumlah 90.053 ada1ah, 11%.33 Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu bersumber langsung kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
32
Jimmy J. Ranpengan, “Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat beragama
FKUB.'' 33
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia Etis Dan Agama Dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 23.
Akan tetapi kebebasan beragama bukan pemberian negara atau bukan pemberian golongan.34 Bagi kerukunan antar agama, kita harus sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa adalah menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya,
maka
kebebasan
menjalankan
kepercayaannya
dikembangankanlah sikap
dan
ibadah
tidak
sesuai
memaksakan
saling menghormati
dengan
agama
dan
suatu
agama
dan
kepercayaannya itu kepada orang lain Agama adalah masalah keyakinan dan tidak ada satu kekuasaan duniawi yang mampu dah berhak mencampuri keyakinan hati seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah melayani hajat kehidupan beragama bangsa kita dengan sebaik-sebaiknya dan seadil-adilnya. Kita ingin kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan sehingga tidak ada golongan agama betapapun kecil jumlah mereka terdiskriminasi. Hal ini secara jelas diungkapkan Presiden Soeharto yang menyetujui tentang hak kebebasan beragama di Indonesia. Secara jelas pula beliau menyatakan bahwa "Agama adalah masalah keyakinan, dan tidak satu kekuasan duniawi yang mampu berhak mencampuri keyakinan hati seseorang".
34
Depertamen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundangan-Undang Kerukunan hidup Umat Agama ( Jakarta: Depag 2003), h. 7-11.
Kebebasan kehidupan beragama dalam Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 adalah jaminan konstitusional yang humanistik terhadap kehidupan
beragama
di
Indonesia.
Patut
disayangkan
jaminan
konstitusional yang humanistik tersebut pada pelaksanaan bertolak belakang. Jika keyakinan seorang kita arahkan untuk memilih agama yang dikehendaki oleh pemerintah, berarti kita telah melanggar hak kebebasan seorang untuk memeluk agama yang sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD 1945. Pada masa Reformasi agama Khonghucu lebih berkembang di tengah-tengah masyarakat di Indonesia, karena hak mereka sudah bisa difungsikan dan UUD 1945 sudah dirasakan hingga sekarang. Umat Khonghucu di Indonesia sudah dapat memanfaatkan hak-haknya yang selama Orde Baru dibatasi. Semua sudah dialami oleh umat Khonghucu seperti kepahitan selama orde baru, namun masa reformasi membawa rasa gembira karena sistem pendidikan serta perkawinan sudah dicatat di Kator Catatan Sipil yang berdasarkan UU No 1/1974 tentang perkawinan. Departemen Agama juga akan memfasilitas penyediaan guru agama Khonghucu untuk mengajarkan agamanya.35
35
Tomy Su, Koordinatot Masyarakat Pencita Indonesia diakses tanggal 22 Desember 2008 dari Http://www2.kopas.com/kompas-cetak/0602/24/opini/2441409.htm
BAB III PERKEMBANGAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA MASA REFORMASI
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan, dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia,36 maka tanpa kecuali mereka dapat jaminan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat 2. selain itu mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.37 Sebagian peraturan pemerintah mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina sangatlah memojokkan mereka (Etinis Cina) yang merasa terbuang dari saudara-saudarnya pemeluk agama lain. Oleh sebab itu berbagai fenomenapun muncul dan menjadi sebuah kajian terhadap peraturan pemerintah yang berkaitan dengan umat Khonghucu mengenai pengakuan kebebasan beragama serta masalah sosial yang ditimbulkan. Hal ini berlaku tidak hanya di Tangerang melainkan seluruh Indonesia. Seperti digambarkan WS Asyuntapura, umat Khonghucu harus mengalami berbagai kenyatan pahit yang sangat memprihatikan, di antaranya
36
Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 113. Muhaimin, Damai Di Dunia Damai Untuk Semua, Prespektif Berbagai Agama (Jakarta: Pengkajian kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004), h. 19. 37
peristiwa penghapusan mata pelajaran agama Khonghucu di sekolahsekolah sejak dikeluarkannya kurikulum sekolah dasar pada tahun 1975. Peristiwa ini mengakibatkan para siswa dari anak-anak umat Khonghucu pada 1977 dipaksa mengikuti pendidikan agama lain untuk memenuhi tuntunan agama yang berlaku, bahkan sering dipaksa mengaku beragama lain dengan alasan Khonghucu bukan agama yang diakui dan tidak resmi.38 Inpres No. 14 tahun 1967 menyebutkan bahwa umat Khonghucu tidak diijinkan merayakan hari-hari sucinya di depan masyarakat umum. Lembaga atau majelis-majelis agama Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan menyelenggarakan
kegiatan
apapun
yang
bersifat
formal.
Penyelenggaraan kongres dan pertemuan yang sejenis dibatalkan ijinnya atau tidak atau tidak diberi ijin sama sekali.39 Namun menurut Asyuntapura (Bungsu), kegiatan tetap berjalan secara intern dengan sangat sederhana, dan dilaksanakan di tempat yang sederhana. Walaupun demikian, untuk sementara ini yang terpenting adalah makna dari berbagai kegiatan keagamaan itu sendiri.40 Di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang berfungsi sebagai identitas diri, umat Khonghucu tidak dibenarkan dan tidak diijinkan menyebut dirinya agama Khonghucu tetapi terus mengaku beragama lain yang
formal.
38
Pencantuman
ini
juga
termasuk
dalam
daftar
isian
Wawancara Pribadi dengan WS. Asyuntapura, (Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Tangerang, 29 September 2008. 39 Wawancara Pribadi dengan Rudi Guna Wijaya (Sekretaris MAKIN), Tangerang, 10 Februari 2009. 40 Wawancara Pribadi dengan WS. Asyuntapura, Tangerang, 29 September 2009.
permohonan kartu penduduk. Hal yang paling memperhatinkan adalah pencatatan perkawinan umat Khonghucu, sebagaimana yang sudah ditentukan dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Ternyata Kantor Catatan Sipil yang bertugas mencatat perkawinan tidak bersedia dan menolak pencatatan perkawinan mempelai umat Khonghucu sekalipun telah melakukan perkawinan menurut tata cara/hukum
agama
dan lembaga agamanya. Bila tidak
bersedia
melakukannya, maka dikatakan ‘kumpul kebo’ atau melanggar undangundang perkawinan. Untuk mendapat pelayanan di kantor catatan sipil, mereka harus bersedia mengaku beragama lain dan mau menikah menurut agama yang formal atau resmi. Jika tidak, mereka harus mohon belas kasih lembaga agama yang resmi agar mau menerangkan bahwa mempelai tersebut sudah melakukan perkawinan menurut agama tersebut. Terakhir yang tidak kurang memperhatinkan, umat Khonghucu yang masih berstatus asing
bila ingin mengikuti kemudahan kewarganegaraannya, wajib
mengakui beragama salah satu agama yang dianggap formal. Kemudian Keputusan Presiden Kabinet Republik Indonesia Nomor 127/u/Kep/12/1996 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina terjadi pula bagi umat Khonghucu di Tangerang.41 Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur), agama Khonghucu mulai mendapat angin segar. Karena mempunyai harapan besar terhadap masa depan agamanya di Indonesia, dengan
41
Wawancara Pribadi dengan Lili (TU MAKIN), Tangerang, 10 Februari 2009.
dicabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 oleh pemerintah Gusdur, umat Khonghucu boleh berlega hati. Sebelum pencabutan Inpres tersebut, umat Khonghucu tidak merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan hanya diperbolehkan di rumah atau lingkungan masing-masing. Namun ketika Inpres tersebut dicabut umat Khonghucu di Indonesia dengan lega dapat merayakan tahun baru Imlek secara terbuka dan tidak ada batasan dalam lingkungan sendiri.42 Seteleh dicabut Inpres No. 14 tahun 1967 (pada bulan Februari 2000). Menteri dalam Negeri sendiri mencabut Surat Edaran tahun 1978 tentang agama yang lima, sehingga tidak ada lagi dokumen resmi pemerintah yang mengatakan agama yang diakui hanya lima.
A. Kebijakan Politik Tentang Agama Beberapa kebijakan politik tentang agama Khonghucu (etnis Tionghoa) di Indonesia selama masa Orde Baru adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang
No.
I/pn.Ps/1965
tentang
pencegahan
dan
penyalagunakan dan/atau penodaan agama Pasal 1 bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
atau
mengusahakan
dukungan
umum
untuk
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
42
Wawancara Pribadi dengan Budi (Masyarakat Tionghoa) Tangerang, 29 September 2008.
menyerupai keagamaan dari agama itu dan penafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok agama itu. 2. Resolusi
MPRS
No.
III/RES/MPRS/1966.
yang
pada
pokoknya
menandaskan: percepatan proses integrasi melalui asimilasi warga negara keturunan asing dengan menghapuskan segala hambatan yang tidak harmonis dengan warga asli. 3. Keputusan
Presidium
Kabinet
Republik
Indonesia
No.
127/U/Kep/12/1966, tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina. 4. Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. 5. Undang-undang Republik Indonesia No. 01 tahun 1974 tentang perkawinan, adanya penolakan pencatatan perkawinan umat Khonghucu oleh petugas Kantor Catatan Sipil. 6. Dikeluarkannya Kurikulum pendidikan Sekolah Dasar dan Lanjutan tahun
1975,
tentang
penghapusan
mata
pelajaran
agama
Khonghucu, mengakibatkan para siswa anak-anak umat agama Khonghucu mulai tahun 1977 dipaksa mengikuti pendidikan agama lain. 7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa hanya ada 5 agama di Indonesia. Beberapa kebijakan politik tentang agama di Indonesia selama masa reformasi adalah sebagai berikut:
1.
Intruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang pengapusan istilah pribumi dan non pribumi.
2.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14/1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat China.
3.
Keputusan Menteri Agama Nomor 13 tahun 2001, tentang penetapan Imlek sebagai hari libur fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan.
4.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang ditetapkannya hari tahun baru Imlek sebagai hari Nasional.
5.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, dan Departemen Agama memfasilitasi penyediaan guru agama Khonghucu.
6.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas Kepala Daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama.
7.
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 tanggal 25 Januari 2006 tentang penjelasan mengenai status Perkawinan umat Khonghucu.
8.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
9.
Keputusan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 470/336/sj tanggal
24
Februari
2006
tentang
Pelayanaan
Kependudukan penganut Agama khonghucu.
Administrasi
10. Surat
keputusan
Departeman
Agama
Dalam
Negeri
Republik
Indonesia Nomor 470/3553/M tanggal 30 Agustus 2007 tentang daftar isian penduduk.43
B. Trauma Politik dan Perkembangan Agama Ketika
bangsa
Indonesa
memasuki
gerbang
kemerdekaan,
segalanya tidak lagi dimulai dari awal. Dengan kata lain mereka sama sekali tidak berada dalam situasi vakum, melainkan telah mewarisi situasi sosial yang telah tercipta sebelumnya. Polarisasi antara pribumi dan warga asing khususnya
keturunan
Cina-
misalnya
telah
tercipta
ratusan
tahun
sebelumnya.44 Perbedaan orientasi ideologis, agama, politik, sosial dan budayanya juga telah terbentuk jauh sebelum masyarakat Indonesia memproklamasikan
diri
sebagai
sebuah
bangsa.
Akibatnya,
selain
disebabkan oleh kekurangan pengalaman bangsa Indonesia menghadapi berbagai kesulitan dalam menyatukan misi, bangsa Indonesia harus mencari kerangka berpikir yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut. Demikian, dalam situasi yang serba sulit itu bangsa Indonesia ternyata mampu mengatasi beberapa agenda kebangsaan yang paling mendasar setelah melalui liku-liku panjang serta perdebatan sengit, mereka sepakat untuk bersama-sama berada dalam suatu negara dan indetitas bangsa. Mereka berhasil merumuskan Pancasila dan UUD 1945 yang dipandang
43
Depertamen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundangan-Undang Kerukunan hidup Umat Agama ( Jakarta: Depag 2003), h. 191-196. 44 Tarmizi Tahir, Masyarakat Cina Ketahanan Nasional Dan Integrasi Bangsa Di Indonesia (Jakarta: Pusat kajian Islam Masyarakat, 1997), h. 7.
dapat menjadi acuan kehidupan bersama. Sayangnya, semangat dan ketulusan
tersebut
tidak
serta
merta
menjamin
kelancaran
proses
implementasi cita-cita kemerdekaan. Sistem kehidupan politik yang kemudian muncul misalnya, belum sanggup mengakomodasikan keinginan-keinginan dan tuntunan-tuntunan berbagai kelompok dan golongan. Setiap golongan menawarkan konsep ideal dan berusaha memenuhi kepentingannya masing-masing. Akibatnya, situasi sosial di masa Orde Lama lebih banyak diwarnai oleh proses negosiasi, tawar menawar, friksi dan konflik antara kelompok. Ada kalanya perbedaan tersebut dapat diatasi dengan baik sebagaimana yang tercermin dalam perumusan dan ideologi dan landasan negara, tetapi tidak jarang perbedaan itu berkembang menjadi konflik yang kemudian menyebabkan munculnya fraksi dan perpecahan. Kecenderungan ini akhirnya memuncak ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melancarkan kudeta tahun 1965 yang sekaligus mengakhiri pemerintahan Orde Lama. Kudeta yang dilancarkan PKI, memaksa pemerintah Orde Lama untuk menyerahkan kekuasaan penuh kepada kekuatan baru yang menamakan diri "Orde Baru". Orde baru tampil di panggung kepemimpinan nasional dalam situasi politik bangsa Indonesia terancam ambruk. Maka tugas utama pemerintahan Orde Baru adalah memulihkan stabilitas keamanan nasional. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintahan Orde Baru mulai menata masalah-masalah sosial budaya dan keagamaan. Perkembangan
Etnis Cina yang notabene beragama Khonghucu mulai mendapat sorotan negatif pemerintah, karena selalu dijadikan kambing hitam dan korban diskriminasi rasial. Ini berhubungan dengan Cina di Indonesia yang pantas menjadi sasaran amarah dan kebencian. Mereka dicap buruk : tidak patriotis, eksklusif, tidak sosial, memupuk kekayaan, pemakan babi, dan selalu berorientasi ke negeri Cina. Untuk mengatasinya pemerintah mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tersebut, maka perkembangan Etnis Cina (umat agama Khonghucu) resmi dipasung oleh kebijakan pemerintah Orde Baru.45 Akibat gencarnya penekanan terhadap keturunan Cina berimbas pada perkembangan agama Khonghucu. Jangankan untuk menambah kualitas, bahkan umat yang telah adapun berbondong-bondong pindah ke agama lain, dengan alasan agar tidak menghadapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang sangat singnifikan. Semua agama di Indonesia sudah disetarakan setelah zaman reformasi, Khonghucu sudah mulai mendapatkan pengakuannya kembali oleh pemerintah pada tahun 2000 yang diawali oleh Presiden Abdurrahman Wahid.46
C. Perkembagan Agama Khonghucu Pada masa Reformasi
45 46
Wawacara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura. Budi Santoso Tanuwibowo, Genta Harmoni (Surakarta 2006), h. 7.
Semenjak
bergulirnya
masa
reformasi, perkembangan
agama
Konghucu mulai mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan dicabutnya Inpres No. 14 Tahun 1967, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Khonghucu diberi hak yang sama dengan masyarakat pribumi yang berbeda-beda agama, ras, dan adat istiadat. Warga Tionghoa khususnya di Tangerang menyambut gembira dan merasakan nafas kebebasan yang terpasung selama 32 Tahun. Kegiatan keagamaan umat Khonghucu menyambut kebebasan yang diraihnya diawali dengan penyelenggaraan hari besar keagamaan umat Khonghucu, yaitu peringatan hari lahir Khonghucu di Tangerang yang merupakan kegiatan keagamaan pertama di muka umum dan terbuka bagi seluruh elemen masyarakat. Peringatan ini diiringi pula dengan hadirnya budaya bernuansa Cina yaitu tarian barongsai, yang di masa Orde Baru dilarang. Penyelenggaran kegiatan keagamaan dan peringatan hari-hari besar keagamaan yang dulu dilaksanakan hanya di lingkungan sendiri dan bersifat tertutup serta harus memperoleh ijin dari Mabes POLRI, kini dapat dilaksanakan secara terbuka. Contohnya adalah perayaan Imlek yang diselenggarakan pada tahun 2001 dan tahun 2009. Umat Khonghucu diberikan kebebasan oleh pemerintah hingga sekarang dan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur. Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, yang menghadiri peringatan Tahun Imlek di Jakarta pada 17 Febuari 2002, menetapkan tahun baru Imlek sebagai libur nasional menjelang tahun 2003.
Pada
saat orde baru, proses
mengenai
pengajaran agama
Khonghucu di sekolah dasar dan lanjutkan yang dibekukan sejak tahun 1977, kini mulai diajukan dan menunggu proses dari Depertamen Agama dan Pendidikan Nasional. Dalam sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2557 di Jakarta Convention Center berapa waktu lalu, beliau menegaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini tidak ada diskriminasi. Depertemen Agama juga akan memfasilitas penyediaan guru agama Khonghucu untuk mengajarkan agamanya. Hal diatas menunjukkan bahwa perkembangan agama Konghucu di era reformasi sedang melalui proses perbaikan yang dilandasi ketulusan, sikap rendah hati, lebih bersemangat dan saling berbagi. perkembangan ini dibangun di atas norma-norma luhur, kebijaksanaan, cinta kasih dan keberanian. Selain perbaikan kualitas umat, peningkatanpun sudah mulai dirasakan pada kuantitas umat di Tangerang. Terkait pada pasal 12 A UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, Departemen Pendidikan memfasilitasi penyediaan guru agama Khonghucu untuk mengajarkan agama Khonghucu bagi murid-muridnya yang
menganutnya.47
Masyarakat
Tionghoa
Tangerang
menyambut
gembira tentang undang-undang tersebut, dan pada akhirnya mereka memperkenalkan kembali dan mengajarkan agama Khonghucu kepada
47
Tomy Su, “Presiden, Khonghucu, dan Diskriminasi”, diakses tanggal 24 Desember 2008 dari http://wwwr.kompas.com/kompas-cetak/0602/24/opini/2441409.htm
anak-anaknya setelah reformasi. Pada umumnya tujuan ajaran Khonghucu adalah mengembangkan manusia, untuk itu umat Khonghucu menekankan tentang pentingnya pendidikan dan belajar di Tangerang. Belajar dikonsepsikan oleh penganut Khonghucu sebagai proses yang holistik dari upaya membangun karakter agar terwujud umat yang menegakkan firman Thian di muka bumi. Selain itu, belajar bagi mereka adalah untuk menggemilangkan kebajikan yang bercahaya yaitu berprilaku cinta kasih, teguh pendirian dan menjunjung tinggi keadilan, mempunyai keberanian yang dilandasi kebenaran dan harmoni, mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi, hidup penuh dengan kesusilaan, menjunjung tinggi moral etika, serta bijaksana dan selalu dapat dipercaya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Selain masalah pendidikan, hal yang sangat penting adalah pencantuman
agama
Khonghucu bagi
masyarakat Tionghoa
yang
beragama Khonghucu. Kepala Pemerintah Daerah khususnya Tangerang Wahidin Halim menegaskan kepada penduduk Tionghoa (Khonghucu) untuk mencantumkan agamanya. Jika masyarakat Tionghoa yang masih merasa didiskriminasi soal KTP serta kegiatan sosial, kebudayaan dan keagamaannya dilarang, maka mereka bisa melapor kepada kepala daerahnya. Kepala daerah itu akan memberikan sanksi kepada pejabat yang bersangkutan. Aktivitas-aktivitas agama Khonghucu berkembang sangat pesat, seperti kegiatan donor darah, santunan, pentas seni serta perkawinan dan
pendidikan. Semuanya sudah diakui oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Menurut
Asyuntapura,
negara
berkewajiban
melayani
hajat
beragama warganya secara adil tanpa diskriminasi, harus dijaga sebaikbaiknya agar jangan ada sebagian atau sekolompok umat beragama yang merasa diperlakukan tidak wajar dan tidak adil. "Kami bersyukur ke hadirat Thian, Tuhan yang Maha Esa, atas bimbingan Nabi Khonghucu kami dapat melalui hal tersulit dalam pengembangan agama Khonghucu. Ini terbukti dengan dicabutnya Inpres No 14 Tahun 1967 oleh Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 yang berdampak baik bagi kualitas dan kuantitas umat Khonghucu di Tangerang yang mengalami peningkatan 60% atau 50 menjadi 73 dari jumlah yang aktif sekarang.”48 Tabel perkembangan agama Khonghucu di MAKIN Tangerang
150 130 110 90 70 50 30 10 -10 1998-2002 2003-2005 2006-2009 48
Wawancara pribadi dengan WS. Asyuntapura
Patut disyukuri, hak asasi manusia di era reformasi mulai membaik hingga sekarang. Seiring dengan itu, menurut Asyuntapura agama Khonghucu di Tangerang mulai ditata kembali. Perbaikan-perbaikan di segala bidang yang ditindaklanjuti dengan mempersiapkan kader-kader handal untuk mewujudkan misi-misi perdamaian. Di Tangerang ada beberapa misi program kerja menyambut pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 oleh Keppres Nomor tahun 2000 : 1. Membimbing, membina dan memberikan penyuluhan kepada umat Khonghucu agar dapat hidup dalam jalan suci, biasanya dilakukan pada malam Jumat dan Minggu pagi yang mengajarkan kasih sayang terhadap manusia. 2. Membina umat Khonghucu mengamalkan ‘Susi’ (kitab Kempat), dan ‘Ngo King’ (Kitab yang Lima); agar senantiasa dapat menjadi insan pembaharu yang selalu tanggap dan senantiasa ikut serta aktif dalam memberikan kontribusi nyata dan positif pada setiap dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Membimbing
dan
membina
umat
Khonghucu
agar
selalu
menghormati orang tua, bersikap dapat dipercaya oleh kawan dan sahabat, mencintai dan membimbing generasi muda dan senantiasa menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik dan berwawasan kebangsaan. Program kerja yang selama ini dilakukan oleh umat Khonghucu di Tangerang diantaranya adalah:
1. Memberdayakan rohaniawan agama Khonghucu dalam rangka memperkuat
pondasi
keimanan
umat
Khonghucu
menuju
terciptanya, dialog spiritual yang lebih intens dan kokoh antara umat Khonghucu dengan Tuhan yang Maha Esa. 2. Memberdayakan umat lewat penanaman dan pengembangan nilai agama Khonghucu pada setiap individu, sehingga dapat tercapai dialog internal dalam diri setiap umat, dalam rangka meningkatkan daya tahan keimanan setiap umat Khonghucu, yang pada akhirnya mampu membangun jatidiri yang sejati. 3. Meningkatkan dialog institusional dan saling pengertian yang lebih mendalam dengan semua institusi formal, informal, sosial keagamaan dan kemasyarakatan; lewat berbagai teknik dan media komunikasi, dengan tujuan akhir terwujudnya legalitas institusi dalam artian maupun praktis. 4. Memberdayakan umat Khonghucu di setiap lapisan dan setara masyarakat agar dapat menjadi insan Khonghucu yang bermoral dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, sehingga dapat menciptakan dialog sosial yang nyata dan inklusif. 5. Secara sitematis, terencana dan terus menerus melakukan berbagai kegiatan publikatif, dengan tujuan utama untuk menanamkan pemahaman
yang
lebih
mendalam
akan
hakikat
dan
nilai
Khonghucu, sehingga dapat terjadi dialog kultural yang efektif dengan seluruh lapisan dan anggota masyarakat.49 Selama ini, program kerja tersebut telah dijalankan dengan baik dan terus menerus oleh umat Khonghucu di Tangerang.
49
Wawancara Pribadi dengan Ws. Asyuntapura
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Perkembangan agama Khonghucu di Tangerang pada masa reformasi Dalam
tidak terlepas dari peranan umat dan misi ajaran Khonghucu.
perkembanganya
agama
Khonghucu
meliputi
kualitas
dan
kuantititas umat Khonghucu yang tidak dibatasi oleh peraturan pemerintah. Dalam pada itu, umat Khonghucu sangat berterima kasih kepada pemerintah karena perkembangan kualitas serta kuantitas berkembang serta penyebaran dan pembinaan agama Khonghucu dilakukan secara umum. Pemerintah tidak membatasi ruang gerak umat Khonghucu pada masa reformasi yang terjadi di Tangerang, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Beberapa peraturan pada masa Orde Baru merupakan pelarangan, serta pembatasan beragama bagi umat Khonghucu yang pada akhirnya memicu diskriminasi terhadap agama. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak konsisten terhadap pelaksanaan hukum yang telah ditetapkan. Akan tetapi peraturan itu sudah tidak berlaku di era reformasi. Keadaan umat Khonghucu di masa reformasi sangat membaik dan berkembangan. Mulai ada proses perbaikan yang dilandasi ketulusan, sikap
rendah hati dan semangat untuk saling membagi yang dibangun diatas nilai-nilai kebijaksanaan, cinta kasih dan keberanian. Keadaan ini diawali dengan keputusan Presiden No.6 tahun 2000 dan diteruskan oleh Menteri dalam Negeri tanggal 31 Maret 2000 mengenai pencabutan Intruksi presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan istiadat Cina. Dengan sekejap kualitas umat Khonghucu di Tangerang bahkan seluruh Indonesia berkembang. Umat Khonghucu di Tangerang sudah merasakan angin segar dan tidak lagi diskriminasi. Presiden Megawati mengumumkan mulai tanggal 2003 Imlek sebagai hari Raya Ethis Tionghua menjadi hari nasional. Kemudian, Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono pada perayaan Imlek Nasional di Jakarta Convention Center menegaskan kepada bangsa Indonesia saat ini tidak ingin adanya diskriminasi. Departemen Agama telah mencatatkan perkawinan bagi pemeluk umat Khonghucu serta memberi fasilitas
penyediaan
guru
agama
Khonghucu
untuk
mengajarkan
agamanya kepada murid-murid yang menganutnya. Beberapa peraturan di masa reformasi tersebut benar-benar dijalankan di Tangerang. Kehidupan keberagamaan umat Khonghucu di Tangerang banyak mengalami kebebasan terutama kegiatan yang berbau keagamaan. MAKIN Tangerang merupakan pusat penggerak lembaga keagamaan umat Khonghucu.
Menurut pandangan penulis, umat Khonghucu di Tangerang sudah dapat memanfaatkan hak-haknya, sehingga mereka merasakan nyaman, lega hati dan tidak ada rasa kekhawatiran. Pemerintah Tangerang telah menginstruksikan pada seluruh dinas kependudukan agar umat Khonghucu mencantumkan agamanya di KTP. Berdasarkan keputusan Surat Edaran Menteri Agama tanggal 26 Januari 2006 yang berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1965 yang diperkuat oleh peraturan Presiden tahun 1969 bahwa agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, sehingga masalah perkawinan dan pendidikan bagi umat Khonghucu dimudahkan. Dalam kartu kelurga dan kartu penduduk agama Khonghucu dicamtumkan agama yang dipeluk oleh warga Tangerang. Pemerintah Tangerang melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh presiden Megawati tersebut. Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali tidak ada diskriminasi, sehingga umat Khonghucu di Tangerang
berkembang. Etnis Tionghoa Tangerang merasa bebas dari
penjara yang selama ini mengurungnya. Dengan
demikian
umat
Khonghucu
di
Tangerang
dapat
melaksanakan kegiatan pemberian sembako, donor darah, pengobatan garatis
yang dilaksanakan seminggu sebelum Imlek, bahkan berbagai
festival-festival Cina di Tangerang. Hal tersebut membuat lega hati warga Khonghucu di Tangerang maupun di tingkat atas dan bawah, karena arti sesungguhnya reformasi dilaksanakan oleh pemerintah.
Menurut analisis penulis di Tangerang tidak ada lagi diskriminasi dari kalangan bawah dan atas. Sehingga segala bentuk kegiatan di Tangerang dapat dilaksanakan seperti hal tersebut di atas.
B. Saran-saran Semua agama berasal dari Tuhan, dan manusia yang plural itu pun adalah umat manusia yang satu juga, karena berasal dari satu sejarah dan keturunan yang sama. penulis berharap kepada rekan-rekan mahasiswa, khususnya
yang
mendalami
Ilmu
Perbandingan
Agama,
untuk
meningkatkan kajian tentang agama-agama di dunia. Metode efektif untuk mempelajari agama-agama adalah dengan cara melakukan dialog antara umat beragama, dengan maksud menghindari adanya penelitian dan pemahaman–pemahaman yang keliru disebabkan adanya kesenjangan hubungan antara umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
“Pilih Usaha Tangerang Jadi Birokrat.” Tangerang Tribun, Rabu, 30 Juni 2008. “Kompetisi Barongsai,” Radar Serpong, Rabu, 10 Desember 2008. Cahyawan, Pajar. Pendidikan Pancasila dan Kewargangeraan. Jakarta: Depdikbud, 1999 Departemen Agama RI. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Agama. Jakarta: Depag 2003. Ghajali, Bahri. Studi Agama-Agama Dunia Bagian Agama Non Semitik. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Mahendra, Yuzril Ihza Menteri. Sekretaris Negara, No. B229M. Sesneg; 3/2006, “Hak-Hak Sipil Umat Agama Khonghucu”. Jakarta: 29 Maret 2006. Metro, Tangerang Tribun, Senin, 28 Juni 2008. Muhaimin. Damai Di Dunia Damai Untuk Semua, Prespektif Berbagai Agama. Jakarta: Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, 2004. Prisma, Agama Dan Tantangan Zaman. Jakarta: LP3ES, 1985. Ranpengan, Jimmy J. Memelihara Kerukunan Dan Memberdayakan Umat Beragama FKUB.” Diakses Tanggal 23 Desember 2008 Dari http:/www.kekuskupanbogor.org/mekar/1-2008/news7.htm. Setiawan, Chandra. “Hak-Hak Sipil Pengalaman Agama Khonghucu.” Dalam Martin L Sinaga (ed), Bincang Agama di Udara, Fundamentalisme, Pluralisme, Peran Publik Agama, Jakarta: Radio pelita kasih, 2005. Situmorang, Abdul Wahib. Gerakan Sosial Studi Kasus Beberapa Perlawanan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Sou’yb, Joesoef. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1996. Su, Tomy. “Koordinator Mayarakat Pecinta Indonesia.” Diakses tanggal 22 Desember 2008 dari Http:/www2.Kopas.com/Kompascetak/0602/24/opini/2441409.htm.
Suprayogo, Imam dan tobroni, Metodologi Penelitian Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003 Suryadinata, Leo, Penduduk Indonesia Etis dan Agama dlam Era Perubahan politk. Jakarta: LP3ES, 2003. Tahir, Tarmizi. Masyarakat Cina Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia (Jakarta: Pusat Kajian Islam Masyarakat, 1997). Tan, mely G. Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat Agama Khonghucu di Indonesia Jakarta: pelita Kebajikan, 2005. Tanuwibo, Budi Santoso. Genta Harmoni. Surakarta: 2006. Wawancara Pribadi dengan Ws. Asuntapura (Ketua Majelis Tiggi Agama Khonghucu Indonesia) Tangerang, tanggal 25 September 2008. Wawancara Pribadi dengan Eng Eng (Penganut Budaya Tangerang) Tangerang, Tanggal 26 Desember 2008. Wawancara Pribadi dengan Rudi Guna Wijaya (Sekretaris MAKIN), Tangerang, 10 Februari 2009. Wawancara Pribadi dengan lili (TU MAKIN), Tangerang, 10 februari 2009. Wawancara Pribadi dengan Budi (Masyarakat Tionghoa) Tangerang, 29 September. Wawancara Pribadi dengan Andri (Umat Khonghucu), Tangerang, 9 Februari 2009. Wawancara Pribadi dengan Victor (driver), Tangerang, 10 Februari 2009. Yunianto. Pendidikan Kewarganegaraan. Bojonegoro: CV Pustaka Manggala, 2006.