CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK DALAM DEMOKRATISASI di INDONESIA∗ Aditya Perdana∗∗
1.
Pendahuluan Selama 11 tahun paska runtuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, politik Indonesia telah mengalami perubahan dan dinamika sosial politik yang dramatis. Di awal masa Reformasi, euphoria kebebasan politik telah memberi celah munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang selama masa Orde Baru tidak dimungkinkan terjadi. Pembatasan jumlah partai politik di era Orde Baru telah berubah menjadi era mulitpartai pada Pemilu 1999 dan pemilu-pemilu selanjutnya.1 Kekuatan organisasi masyarakat lainnya seperti LSM ataupun organisasi yang sejenis juga meningkat jumlahnya secara drastis bila dibandingkan dengan masa Orde Baru.2 Di samping itu, perubahan kelembagaan politik setelah Reformasi juga mengalami perubahan, seperti adanya penguatan lembaga-lembaga politik (eksekutif, legislative dan yudikatif) dalam peran-perannya dan juga mekanisme procedural seperti pemilihan umum yang lebih transparan dan adil bagi semua pihak. Aspek desentralisasi juga menjadi salah satu perubahan penting dalam tatanan kehidupan social politik di Indonesia karena kekuatan dan pergeseran politik di tingkat local pun menjadi lebih dinamis. Perubahan kelembagaan dan prosedur di dalam tatanan politik telah menjadi salah satu aspek penting yang terjadi dalam masa demokratisasi di Indonesia. Namun demikian, dalam beberapa hal perubahan tersebut juga membawa dinamika yang menarik untuk diperhatikan lebih dalam, semisal yang terjadi di civil society dan juga partai politik. Kedua elemen ini dianggap oleh kalangan ilmuwan politik sebagai kekuatan yang mendorong dan mengarahkan jalannya demokratisasi di sebuah Negara. ∗
Makalah ini disampaikan pada Seminar Internasional ke-10 “Representasi Kepentingan Rakyat pada Pemilu Legislatif 2009”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Percik, Salatiga – Jawa Tengah, pada tanggal 28 – 30 Juli 2009. ∗∗ Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI dan Peneliti Pusat Kajian Politik FISIP UI. Dapat dikontak di:
[email protected] 1 Peserta pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik. Sedangkan pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai local di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat mengakses www.kpu.go.id 2 Jumlah LSM ataupun organisasi kemasyarakatan tidak pernah jelas. Kalaupun ada terdapat peningkatan jumlah Ornop sekitar 12.000 di antara tengah tahun 1990-an. Dari sejumlah itu, hanya sekitar 10-20 persen yang bisa dikonfirmasi datanya. Lihat Yumiko Sakai, Indonesia Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalam Shinichi Shigetomi (ed), The State and NGOs, perspective from Asia, Singapore, ISEAS, 2002, hal.165.
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
2
Tumbuh dan kembangnya civil society setelah Orde Baru runtuh menimbulkan sebuah harapan baru yakni munculnya sebuah kekuatan yang penting dalam mendorong gerakan pembaharuan politik di Indonesia. Pada saat yang bersamaan, struktur politik yang lebih terbuka dan memberi kesempatan yang lebih luas adalah keuntungan yang dimanfaatkan oleh kelompok civil society di Indonesia. Akibatnya arena politik seperti negosiasi dan lobi dengan penguasa politik yang dulu dianggap sebagai sesuatu hal yang dihindari oleh para aktornya, menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan kembali. Maka tidaklah heran bila saat ini, beberapa aktor civil society lebih memilih bergabung dengan partai politik dan bersedia untuk dicalonkan sebagai anggota legislative dalam pemilu 2009 yang lalu. Sementara itu, keberadaan partai politik yang ada saat ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan. Pada satu sisi, kekuatan partai politik adalah sebuah keharusan sebagai instrumen penting dalam proses-proses politik. Namun di sisi lain, perilaku para politisi dan pengurus partai yang belum menunjukkan sikap profesionalitasnya dalam hubungan dengan konstituen ataupun dalam pembuatan kebijakan adalah persoalan serius yang masih dihadapi. Bahkan citra partai politik secara keseluruhan di mata masyarakat juga tidaklah baik karena para politisinya telah menodai dengan perilaku yang buruk. 3 Dalam konteks relasi pembuatan kebijakan publik, civil society dan partai politik di Indonesia mulai terbangun hubungan yang saling menghargai, menghormati dan memahami keberadaan akan perannya dalam kehidupan politik. Meski awalnya kalangan civil society menganggap bahwa para politisi di lembaga legislatif tidak mampu menghasilkan produk perundangan yang substansial, namun belakangan kalangan civil society menyadari bahwa keterbatasan peran dan aktivitasnya dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan tidak akan berarti tanpa kehadiran partai politik yang mengisi lembaga legislatif. Sebaliknya, partai politik juga memahami bahwa salah satu tugas civil society adalah memberi masukan yang konstruktif dalam proses tersebut. Namun demikian, hubungan ini tidaklah mudah dicapai karena proses politik yang penuh negosiasi adalah penghalang utama bagi terciptanya hubungan yang kondusif. Keterbatasan ruang dan peran yang dimiliki oleh aktor civil society dalam mendesakkan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi kepentingan rakyat, telah merubah pola gerakan yang diinginkan oleh para aktivis gerakan sosial. Awalnya gerakan ekstra parlemen adalah sebuah pilihan yang dilakukan oleh para aktor civil society. Namun belakangan, para aktor civil society menyadari bahwa salah satu ketidakefektifan gerakan ini dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh civil society yaitu hanya menjadi kelompok penekan bukan kelompok penentu dalam 3
Survey nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu 8-20 September 2008 mengkonfirmasi bahwa sebagian pemilih di Indonesia (42 persen) mengaku tidak ada partai yang bagus akan program-programnya. Bahkan sebanyak 63 persen responden tidak percaya bahwa partai bebas dari korupsi. Lihat www.lsi.or.id
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
3
lembaga legislatif. Oleh karenanya, beberapa aktor civil society merasa ada kebutuhan yang mendesak untuk menjadi bagian di dalam lembaga legislatif. Artinya perubahan peran dari civil society dengan fokus sebagai penekan menjadi peran kelompok yang menentukan dalam proses kebijakan yaitu partai politik. Maka, dalam dua pemilu terakhir (2004 dan 2009), terdapat banyak nama aktor civil society yang ikut bertarung dalam pemilu legislatif nasional (DPR dan DPD) ataupun DPRD. Dalam konteks itu, para aktor civil society yang ikut serta dalam pemilu DPR dan DPRD telah berpindah menjadi aktor partai politik. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi dalam pelembagaan politik di Indonesia adalah penguatan akan lembaga-lembaga itu sendiri, terutama di kalangan civil society dan partai politik. Partai politik di Indonesia masih lemah dalam konteks penguatan kelembagaan secara internal dan juga kapasitas dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sementara itu, civil society pun juga lemah dalam membangun kekuatan politik yang signifikan, baik di tingkat nasional ataupun di tingkat lokal. Fokus makalah ini adalah mendiskusikan kondisi civil society dan partai politik dalam era demokratisasi yang tengah dijalankan di Indonesia. Ada dua pertanyaan yang ingin diarahkan dalam makalah ini: pertama, dalam masa demokratisasi ini, peran civil society (terutama dari kalangan Organisasi Non Pemerintah) dan partai politik adalah penting. Namun demikian, relasi keduanya tidaklah semudah yang dibayangkan. Dilihat dari arena politik yaitu dalam proses pembuatan kebijakan publik dan pertarungan di dalam pilkada, bagaimana kondisi civil society dan partai politik? Kedua, bagaimana usaha pengembangan relasi yang konstruktif antara civil society dan partai politik ke depan? Dua hal inilah yang akan dibahas dalam makalah yang singkat ini. 2.
Civil Society dan Partai Politik dalam Ranah teoritis Diskusi mengenai civil society terbagi dua pandangan. Ada sebagian yang berpandangan bahwa civil society memiliki keterikatan yang erat dengan Negara, termasuk dalam hal ini dengan partai politik.4 Negara, termasuk apparatus dan kebijakannya, merupakan bagian dari konsep sebuah masyarakat politik yang dicitacitakan. Sebaliknya, civil society merupakan sebuah ranah masyarakat yang terpisah dengan ranah Negara karena dalam peran dan fungsinya yang lebih bebas dan merdeka dari intervensi Negara.5 Civil society adalah kelompok masyarakat yang memiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan. Yang tidak kalah penting dalam konsep civil society adalah adanya partisipasi aktif dari 4
Pada masa Yunani Kuno, Civil society dan negara adalah berasal dari definisi yang sama yakni koinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhluk politik). Lihat Neera Chandhoke. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, ISTAWA, 2001, hal.115 5 Pandangan ini diwakili oleh Hegel dimana civil society adalah momentum dimana peran transisi dari keluarga menjadi organisasi sosial dan nantinya berujung pada terbentuknya negara. Ibid, hal.176
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
4
semua warga negara baik yang tergabung dalam berbagai perkumpulan, organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis di lembaga tersebut.6
Sementara itu, konsep partai politik sebagai sebuah kelompok atau organisasi di dalam masyarakat berbeda dengan apa yang telah disebutkan dalam civil society. Menurut Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, definisi partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu mampu menempatkan calon-calonmnya untuk menduduki jabatan publik7. Dalam pengertian itulah maka partai politik berbeda dengan civil society terutama dalam aspek usaha meraih kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum. Meski keduanya juga memiliki kesamaan dalam usaha untuk berkontribusi terhadap kepentingan publik. Dalam konteks kebijakan, partai politik memiliki fungsi untuk mengagregasikan atau merepresentasikan berbagai macam kepentingan dan menegosiasikan semua kepentingan tersebut menjadi sebuah kebijakan negara. Sebaliknya, civil society berperan untuk menuntut dan mengkritik terhadap kebijakan pemerintah, namun sayangnya kelompok ini tidak bisa mengimplementasikan kritik tersebut dalam hal yang kongkrit.8 relasi ini sebenarnya terbangun dalam membangun kepentingan akan lahirnya sebuah kebijakan publik. Sementara itu, dalam konteks yang lebih mikro, relasi para aktor civil society dan para politisi terlihat dalam berbagai kerjasama. Para politisi di DPR, misalkan, mendukung apa yang disampaikan oleh civil society mengenai satu isu tertentu. Dalam kesempatan yang berbeda, para aktor civil society juga mendorong partai politik untuk lebih terbuka, transparan dan membuka komunikasi yang intensif dengan berbagai kelompok masyarakat, terutama di daerah pemilihannya. Di belahan benua Eropa, partai politik juga mengalami situasi yang tidak menguntungkan yakni ketidakpercayaan ataupun alieanasi dari publik. Salah satu penyebabnya adalah makin melemahnya ikatan antara konstituen dengan partai politik, termasuk salah satunya adalah ikatan keagamaan ataupun kekeluargaan di dalam partai. Yang menarik adalah menguatnya isu-isu sosial kemasyarakatan di kalangan masyarakat yang kemudian mengikat kelompok-kelompok tersebut menjadi sebuah kepentingan bersama yang diperjuangkan. Dalam perjalanannya, kelompok ini dimungkinkan untuk menjelma sebagai partai politik seperti partai-partai Hijau di beberapa negara Eropa.9 Indikasi melemahnya partai politik dan menguatnya civil society juga ditemukan di Amerika Latin ataupun beberapa negara Asia, manakala civil society telah berkontribusi untuk memberi bantuan yang memadai bagi pengembangan dan 6
Cohen, Jean L. Dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, dalam Hodgkinson, Virginia A. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader. University Press of New England, 2003 7 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 404 8 Gwendolyn Bevis, Civil Society Groups and Political parties: supporting constructive relationships, Occasional Papers Series, USAID, 2004, hal. 7 9 Ibid hal. 8
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
5
penguatan kelembagaan partai politik, seperti pengembangan kader-kader partai terutama dalam berhubungan dengan konstituen atau merumuskan platform pembangunan yang akan diarahkan. Artinya, civil society juga memiliki kemampuan dalam memobilisasi dukungan publik menjadi sebuah kebijakan publik. Sayangnya,civil society memiliki keterbatasan, terutama untuk mengambil peran dalam politik yaitu berada di dalam arena pemutus kebijakan. Padahal dalam negara yang sedang mengalami transisi demokrasi, kehadiran partai politik dan civil society adalah bagian yang tidak bisa dianggap remeh. Linz dan Stepan menyatakan bahwa kehadiran civil society dan partai politik adalah bagian yang penting untuk menciptakan konsolidasi demokrasi, selain juga kehadiran birokrasi yang efektif, kehadiran masyarakat ekonomi yang juga kondusif dan taatnya aturan terhadap hukum secara bersama-sama.10 Kehadiran civil society yang dijamin kebebasannya juga menopang bagi keberlangsungan partai politik, terutama untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Tugas civil society adalah menghasilkan gagasan-gagasan yang konstruktif dalam pembangunan dan juga memonitor aparat negara serta kelompok-kelompok ekonomi. Sementara itu, tugas partai politik adalah menghasilkan dan membentuk konstitusi dan aturan-aturan perundang-undangan, mengontrol aparat birokrasi dan juga menghasilkan produkproduk kerangka kebijakan bagi semua pihak, termasuk kelompok ekonomi.11 3.
Model Relasi Partai Politik dan Civil Society Untuk memahami relasi yang terjadi antara partai politik dan civil society, Beavis melihat ada tiga hal mendasar yaitu (1) tipe dari aktivitas yang menghubungkan partai politik dan civil society; (2) kekuatan dari hubungan tersebut, terlebih dalam konteks seberapa dekat dan eksklusif hubungan tersebut dibangun; dan (3) arah dari pengaruh dalam relasi tersebut.12 Dalam model-model ini yang nantinya akan menarik akan didiskusikan secara lebih mendalam. Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh civil society dan partai politik secara bersama-sama, dimana lebih banyak fokus dalam konteks pembuatan kebijakan publik seperti advokasi atau lobi terhadap suatu isu yang sedang dibahas dalam proses pembuatan undang-undang. Dalam konteks ini, civil society sebagai kelompok kepentingan yang akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendorong dan mendiskusikan kepentingan yang mereka ajukan. Sebagai organisasi yang independen dari kepentingan politik, civil society juga memiliki peran untuk memonitor janji-janji kampanye para kandidat dan partai dalam masa kampanye serta juga perilaku para politisi di DPR. Dalam kesempatan yang berbeda, civil society 10
Linz dan Stepan menyebutkan partai politik sebagai masyarakat politik. Lihat Juan J.Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and Post-Communist Europe, Baltimore, The John Hopkins University Press, 1996, hal.7-8. 11 Ibid, hal. 14 12 Beavis, op.cit., hal.9-13
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
6
juga dianggap sebagai wadah untuk berdiskusi tentang berbagai hal-hal penting terkait dengan isu-isu yang mereka (anggota DPR) butuhkan saat itu. Dalam konteks kebutuhan partai politik, civil society juga berperan dalam meningkatkan kapasitas organisasi partai dalam menjalankan fungsinya, melalui berbagai bentuk pelatihan pengembangan kapasitas. Sebagai lembaga yang memiliki sumber daya manusia yang diakui eksistensi dalam pembangunan, civil society juga menyediakan para aktor dan pimpinannya sebagai kandidat yang mumpuni dalam ajang pemilihan umum, baik untuk legislatif ataupun eksekutif. Pada saat yang bersamaan, civil society juga dapat berperan dalam mobilisasi para pemilih untuk dapat memilih pemimpin partai politik yang sesuai dengan arah dan kepentingan mereka sebagai pemilih. Sementara itu, bila kita memperhatikan hubungan kedua institusi ini dalam aspek kedekatannya, maka, Beavis menyebutkan terdapat empat arah relasi yang terkait satu sama lain. Dari perspektif civil society, paling tidak di kalangan civil society terhadap tiga pandangan relasi tersebut dilihat: (1) menghindari kontak dengan partai politik; dimana civil society berusaha untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik sehingga mereka tidak diklaim memiliki aktivitas yang partisan. (2) mendukung partai politik secara menyeluruh, tanpa ada keberpihakan; hal ini dilihat dari komitmen civil society untuk mendukung partai politik berdasarkan agenda serta isu yang sama dengan kepentingan kelompok civil society tersebut. (3) beraliansi dengan satu partai politik; dalam konteks ini sebuah kelompok civil society atau lebih menyediakan bergagai informasi dan bentuk pelatihan hanya kepada satu partai politik, dan biasanya mereka memiliki ikatan yang kuat seperti kelompok buruh. Dari perspektif partai politik, terdapat empat pandangan yang dapat dilakukan oleh partai politik: (1) memiliki jarak jauh dengan civil society; situasi ini mengindikasikan bahwa partai tidak memiliki hubungan dengan civil society atau adanya kompetisi yang keras satu sama lain sehingga tidak memiliki relasi yang dekat. (2) mendapat dukungan dari banyak kelompok masyarakat dalam jangka waktu yang singkat; hal ini disebabkan tergantung dari kepentingan seperti apa yang menjadi titik temu dari relasi tersebut. (3) memiliki hubungan jangka panjang dengan satu atau beberapa kelompok civil society; hal ini diindikasi dari adanya dukungan serius dan permanen dari satu kelompok civil society kepada satu partai politik, seperti kelompok think thank, kelompok serikat pekerja dan lain-lainnya. Dan (4) relasi yang terputus dengan kelompok civil society; hal ini dimungkinkan manakala salah satu organ partai memutuskan keluar dari partai dan bertransformasi menjadi kelompok civil society dengan pertimbangan efektivitas kerja dibandingkan berada di dalam partai politik. Sementara itu dari arah pengaruhnya, relasi partai politik dan civil society tergantung dari konteks bagaimana kepentingan tersebut berhasil diolah dan dikelola. Ada yang berpandangan bahwa partai politik sebenarnya juga memiliki kelompokkelompok civil society yang punya pengaruh di dalam konstituen sehingga partai memiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya, kelompok civil society juga memiliki
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
7
tingkat independensi yang tinggi ketimbang partai politik karena dipengaruhi situasi dan lingkungan sosial politik di negara yang bersangkutan. Secara keseluruhan model yang diungkapkan oleh Beavis ini merupakan bentuk relasi yang diasumsikan berada dalam konteks negara yang tengah mengalami transisi demokrasi. Artinya, konteks relasi ini tidaklah tunggal dan satu arah melainkan kondisi yang memiliki ketergantungan dengan apa yang terjadi dalam negara yang bersangkutan. Gambar 1: Relasi Civil Society dan Partai Politik (1) Relasi yang berjarak jauh dengan satu partai P1
C1
(2)
civil
society
beraliansi
P1
C2 P2
C3
C2 P2
C4 P3
C5
C1
C3 C4
P3
C6
C5 C6
(3) civil society menyebar dukungan kepada banyak partai ; dan partai politik yang mendapat dukungan dari banyak civil society
P1
P2
C1
(4) civil society menjelma menjadi partai
C2
(sebaliknya partai menjadi civil society)
C3
P1
C4 P3
C5
C1 C2
P2
C6
C3 C4
P3
C5 C6
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
8
4.
Civil Society di era Pemerintahan Orde Baru Pada masa pemerintahan Orde Baru, peran civil society dalam pembuatan kebijakan tidaklah signifikan. Bahkan partai politik pun tidak mendapat peran yang penting. Kalaupun ada hanya partai politik yang berkuasa penuh memiliki pengaruh dalam pembuatan undang-undang di DPR seperti Golkar. Artinya proses pembuatan kebijakan bukanlah sarana yang mempertemukan berbagai kelompok kepentingan dengan kelompok politik di DPR, melainkan dominasi kelompok yang berkuasa. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga berkeinginan untuk mendominasi berbagai hal, termasuk urusan internal organisasi kemasyarakatan dan partai politik. Namun demikian, pertumbuhan kelompok oposisi yang memiliki pengaruh besar terjadi di akhir masa pemerintahan Orde Baru. Munculnya partai politik alternatif seperti PUDI dan PRD yang kemudian dilarang oleh pemerintahan Orde Baru di tahun 1996-1997 dan perlawanan dari PDI pimpinan Megawati atas upaya pemerintah ikut campur dalam konflik internal PDI, adalah fakta kekuatan politik oposisi semakin menguat. Pada saat yang bersamaan kelompok-kelompok LSM, mahasiswa ataupun kelompok buruh juga semakin keras terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru yang semakin represif.13 Kasus-kasus pelanggaran HAM yang kontroversial disorot pula oleh komunitas internasional karena pada saat itu Indonesia memiliki ketergantungan dana pembangunan dari IGGI.14 Secara khusus, bila kita melihat perkembangan kekuatan civil society pada masa Orde Baru terdapat tiga kategori civil society menurut Edward Aspinall yaitu:15 pertama, organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari kelompok fungsional pada masa awal pemerintahan Orde Baru seperti HKTI. Model kelompok civil society yang seperti ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru bahkan menjadi bagian dari kekuatan Golongan Karya. Kedua, organisasi yang semi korporatis terhadap negara, dimana kelompok ini memiliki independensi dalam ide dan gagasannya namun dapat berkompromi terhadap kebijakan negara agar mereka dapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam lembaga legislatif atau eksekutif. Kelompok seperti NU dan Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk di dalamnya karena mereka sadar bahwa mereka memiliki kekuatan jaringan serta pendukung yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik penguasa. Ketiga, kelompok civil society yang berkembang menjadi kelompok oposisi. Kelompok ini memiliki keotonoman yang kuat terhadap kekuasaan negara bahkan cenderung 13
Dalam hal ini kasus-kasus pelanggaran HAM serius dilakukan oleh pemerintah Orde Baru seperti kasus Kedung Ombo, pembunuhan aktivis buruh Marsinah dan banyak kasus lainnya. Lihat Nor Hikmah, dkk Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi di tingkat Lokal, Jakarta, YAPPIKA, 2008, hal.5-6. 14 Kasus yang menghebohkan dan controversial antara Negara dan civil society diantaranya adalah pembantaian Dili dan juga pembangunan KedungOmbo. Lihat Yumiko Sakai, op.cit, hal.164. 15 Edward Aspinall, Indonesia Transformation of Civil Society and Democratic Breakthrough dalam Muthiah Alagappa, Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space, Palo Alto, Stanford University Press, 2004, hal.71-72
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
9
mengkritik berbagai kebijakan dan tindakan dari negara. Tidaklah heran bila kemudian aparat negara juga bersikap represif terhadap kelompok ini seperti YLBHI ataupun WALHI.16 Maka kekuatan civil society pada masa Orde Baru tidaklah signifikan karena sebagian kelompok civil society juga memiliki aliansi dengan kekuatan di lingkaran kekuasaan. Dalam konteks itulah terlihat bahwa kelompok civil society dan partai politik pada masa Orde Baru memiliki relasi yang sulit dideskripsikan menurut model yang diajukan oleh Beavis. Alasannya adalah pada satu sisi, kelompok civil society merupakan bagian tak terpisahkan dengan partai politik atau bahkan civil society yang memiliki keotonoman juga merasa ada ketergantungan untuk bisa hidup dari usaha mendukung negara. Sementara di sisi lain, civil society juga merasakan perlu kehadiran akan kekuatan politik. Sayangnya keterbasan ruang politik serta wadah politik yang diberlakukan oleh negara mengakibatkan kelompok civil society tidak leluasa untuk dapat berkontribusi terhadap proses pembuatan kebijakan, termasuk pembuatan undang-undang. 5.
Dinamika Relasi dalam Pembuatan Kebijakan Paska Orde Baru, relasi antara partai politik dan civil society di Indonesia mulai terlihat dalam bentuk yang lebih konstruktif dikarenakan adanya keterbukaan politik serta ruang kebebasan untuk berekspresi. Partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan dan civil society pun mengalami hal yang sama. Meski tumbuh dalam ruang politik yang terbuka, namun keduanya tidak serta merta dapat dengan mudah menjalin komunikasi yang harmonis di arena pembuatan kebijakan. Di lembaga legislatif seperti DPR, diskusi yang panas antara para pembuat undang-undang dengan kelompok masyarakat seperti LSM ataupun universitas kerap terjadi.17 Dinamika inilah yang menjadi menarik untuk dilihat dalam konteks relasi yang nyata antara kelompok civil society dengan partai politik yang berada di DPR. Terdapat dua kasus nasional yang akan didiskusikan dalam bagian selanjutnya yaitu mengenai keberhasilan Undang-undang Pembentukan Peraturan perundang-undangan No.10/2004 yang didorong oleh berbagai kelompok civil society18 dan dinamika dari pembahasan paket UU politik tahun 2009 yang dikawal oleh Koalisi NGO untuk 16
Studi yang khusus mendiskusikan peran dan aksi YLBHI dan WALHI dilakukan oleh Adi Suryadi Culla manakala kehadiran kedua Ornop ini berkontribusi terhadap gerakan advokasi masyarakat dalam berbagai isu lingkungan ataupun isu kemasyarakatan lainnya. Ihat Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2006. 17 Salah satunya adalah tudingan dari anggota DPR mengenai aktivitas kelompok LSM yang dibiayai oleh Negara asing dan disinyalir akan mengganggu keamanan. Lihat Budiman Tanuredjo, Ketika ‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalam HCB Dharmawan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta, Kompas, 2004, hal.165 18 Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri, Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik, Jakarta, YAPPIKA, 2006.
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
10
Penyempurnaan Paket UU Politik.19 Sementara ada satu kasus di tingkat lokal yakni keberhasilan mendorong Peraturan Daerah terkait dengan peran dan partisipasi kelompok perempuan dalam Badan Perwakilan Desa di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.20 Undang-undang Pembentukan Peraturan perundang-undangan (P3) No.10/2004 lahir atas dorongan dan inisiatif dari anggota DPR dan juga dukungan dari kelmpok civil society. Salah satu pertimbangan yang penting adalah ketiadaan ruang partisipasi publik dalam proses pembuatan kebijakan yang tidak terdapat dalam aturan di atasnya. Artinya, selain ada kebutuhan partisipasi warga namun yang juga penting adalah proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberi ruang adanya hal tersebut. Dari kalangan civil society terdapat satu koalisi yang berperan sebagai pengawal dan juga pemberi informasi serta masukan yang konstruktif kepada para anggota DPR yaitu Koalisi Kebijakan partisipatif yang didirikan tahun 2002. Meski dalam proses pembentukan UU P3 terbilang a lot karena beberapa partai politik menganggap adanya kekhawatiran akan bentuk partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang, namun atas desakan dan pengawalan yang konsisten, undang-undang tersebut berhasil disahkan pada tahun 2004. Sementara itu, dalam pembahasan paket revisi UU Politik tahun 2009 (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pilpres dan UU Susduk MPR/DPR/DPRD), ada benturan kepentingan-kepentingan dalam diskusi pembahasan di antara anggota DPR yang notabene adalah partai politik dengan kalangan civil society yang tidak memiliki kepentingan politik apapun. Dalam pembahasan sistem pemilu saja ada dua pandangan serius di kalangan DPR yaitu sistem proporsional dengan daftar terbuka terbatas atau sistem proporsional dengan daftar terbuka murni. Dalam pandangan Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik sebaiknya adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka murni karena pemilih tidak akan dirugikan untuk memilih yang terbaik. Sebaliknya pandangan yang memilih sistem terbuka terbatas beranggapan bahwa partai tetap memerlukan mekanisme internal untuk memberi kesempatan bagi kader-kadernya untuk dapat terpilih dengan mudah. Namun pembahasan sistem pemilu yang penting ini dimenangkan oleh pilihan sistem proporsional daftar terbuka terbatas, meski akhirnya keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan tentang pasal ini yang mengakibatkan sistem pemilu adalah proporsional terbuka murni.21 Dalam kasus lokal seperti di Donggala, lahirnya Peraturan Daerah yang memberi kesempatan istimewa kepada perempuan untuk berpartisipasi di dalam forum Badan Perwakilan Desa merupakan perjuangan dari kelompok civil society 19
Lihat Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009. dapat diakses di www.parlemen.net. 20 Nor Hikmah, Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru di Sulawesi Tengah dalam Nor Hikmah, dkk, Gerakan Ekstra Parlementer Baru: Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal, Jakarta, YAPPIKA, 2008. 21 MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008. dapat diakses di www.hukumonline.com
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
11
yang bergerak di isu pemberdayaan perempuan. Salah satu pertimbangan adanya perda ini adalah mendesaknya kebutuhan keterwakilan perempuan yang nyata dalam tingkat desa, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski terdapat hambatan kultural dan sosial yaitu masih kuatnya hukum adat yang patrilineal, namun dukungan nyata dari para anggota DPRD, termasuk yang laki-laki, terhadap perda ini terlihat dalam pengesahannya. Salah satu poin yang menjadi sukses dalam mendorong perda ini adalah kemampuan mobilisasi sumber daya serta lobi-lobi untuk meyakinkan bahwa perda ini penting untuk segera dilahirkan di Donggala. Apa yang bisa dipelajari dalam kasus-kasus tersebut? Pertama, aktivitas yang terbangun antara civil society dan partai politik masih dalam kerangka membangun kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Maka tidaklah heran bila kelompok civil society masih kerap melakukan lobi dan advokasi kepada para pembuat kebijakan untuk mendorong serta mengawal isu-isu yang ingin mereka tekankan. Kedua, pada saat yang bersamaan, para politisi di DPR merasa bahwa mereka memiliki asupan informasi serta bahan yang memadai mengenai isu-isu yang sedang mereka bahas sehingga kebutuhan merespon tuntutan serta dukungan dari kelompok civil society adalah penting. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa civil society dan partai politik sama-sama menyebarkan dukungan secara keseluruhan, tidak hanya satu atau dua partai atau kelompok civil society. Sebaran dukungan ataupun tuntutan tergantung dari isu dan kepentingan apa yang ingin mereka raih nantinya sehingga ikatan dalam relasi tersebut tidaklah permanen dan bersifat sementara. 6.
Dinamika Relasi dalam Pemilihan Umum dan Pilkada Selain bertarung di luar arena pembuatan kebijakan, kelompok civil society juga memikirkan strategi lain yang jauh lebih efektif yaitu menjadi bagian dari proses pembuatan kebijakan. Maka, bergabung atau menjelma sebagai aktivis partai politik yang sudah ada dan mapan adalah pilihan dari berbagai arena pertarungan politik lainnya.22 Tidaklah heran bila kemudian beberapa aktor dan pimpinan kelompok civil society yang memiliki pengaruh kuat di tingkat nasional dan daerah memutuskan untuk mengambil langkah ini, yaitu masuk ke dalam partai dan berharap menjadi anggota legislatif. Pada Pemilu 2004, telah muncul beberapa aktor civil society yang memutuskan menjadi calon anggota legislatif seperti Nursyahbani Kantjasungkana23 22
Dalam berbagai diskusi dan aksi politik yang nyata, ada beberapa pilihan langkah strategis yang dilakukan oleh beberapa kelompok civil society, seperti WALHI pernah mengusulkan untuk menjelma menjadi Partai Hijau, namun gagal diwujudkan. DEMOS dengan berbagai risetnya mengusulkan dibentuknya sebuah Blok Politik Demokratik yang menjadi lembaga perantara kekuatan politik yang terorganisir dengan kekuatan non politik seperti gerakan sosial dan gerakan rakyat. Lihat Syafatun Kariyadi dan Willy Purna Samadhi, Blok Politik Demokratik, Panduan Pelatihan, Jakarta, Demos, 2008. 23 Aktivis Ornop yang banyak bergerak dalam isu perempuan dan gender.
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
12
yang mewakili PKB atau Muspani24 yang bertarung di jalur DPD untuk daerah pemilihan Bengkulu. Berkat perjuangan yang gigih dan tak kenal lelah mereka berhasil memenangkan pertarungan tersebut. Namun kisah kegagalan juga dialami oleh banyak aktor civil society, seperti salah satunya adalah Sarah Larry Mboeik yang gagal memenangkan kursi DPD dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur.25 Ada beberapa pelajaran menarik yang diperoleh dari perjuangan para aktor civil society yang bertarung di kancah pemilu 2004 yang kemudian menjadi bahan refleksi dalam perjuangan politik lainnya: pertama, para aktivis civil society lebih memutuskan untuk bertarung di DPD ketimbang DPR karena bila menjadi caleg di DPR maka mereka harus menjadi anggota partai politik. Artinya menjadi anggota partai mengindikasikan bahwa mereka memiliki kepentingan yang partisan sedangkan bila menjadi anggota DPD yang notabene adalah calon perseorangan dan independen, tidak ada indikasi partisan tersebut. Dalam memilih jalur DPD, para aktivis juga beranggapan mereka memiliki keleluasaan untuk mengatur strategi pemenangan berdasarkan kekuatan mereka sendiri. Kedua, pilihan untuk bergabung dengan partai politik lebih disebabkan alasan yang emosional yaitu berdasarkan kedekatan, baik secara etnisitas ataupun secara garis perjuangan. Maka tidaklah heran bila beberapa aktor civil society yang dikenal dekat dengan kelompok masyarakat di desa/kampung lebih memilih partai yang juga dikenal memiliki kedekatan tersebut.26 Dalam Pemilu 2009, para aktivis yang menjadi anggota partai dan tercatat sebagai caleg DPR RI semakin semarak. Diantaranya terdapat nama Ratna Bantara Mukti (aktivis perempuan-PDIP), Apong Herlina (aktivis perempuan-PDIP), Indra Jaya Piliang (akademisi/peneliti-Golkar), Hetifah Sj Sumarto (aktivis planologiGolkar), ataupun Binny Buchori (aktivis perempuan-Golkar), yang resmi bertarung dalam sebagai caleg di masing-masing daerah pemilihannya. Namun demikian, diantara nama-nama tersebut hanyalah Hetifah SJ Sumarto yang sukses memperoleh kursi di Senayan dalam periode 2009-2014 nanti.27 Sementara itu, nama-nama para 24
Aktivis pembela hukum bagi kelompok masyarakat miskin di Bengkulu. Sarah Larry Mboeik adalah aktivis PIAR di NTT. Dalam pemilu 2009 Sarah kembali bertarung dalam arena DPD, dan kali ini berhasil mendapatkan kursi mewakili NTT. Beka Ulung Hapsara, Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, Membangun Kembali tradisi Demokrasi dari Akar Rumput, Kasus Lerry Mboek, Muspani dan Imam Azis, dalam Darmawan Triwibowo (ed). Gerakan Sosial: wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta, LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006. hal.33-90 26 Seperti anggota DPRD perempuan yang dikisahkan oleh IRI dan PUSKAPOL UI yaitu Andi Mariattang (DPRD Provinsi Sulsel-PPP), Isti'anah ZA (DPRD Provinsi Yogyakarta-PAN), Esti Wijayanti (DPRD Provinsi Yogyakarta-PDIP) dan Eva Nurna Karmila (DPRD Kota Padang-PKS). Mereka ini adalah aktivis kelompok civil society yang dekat dengan basis konstituen dan juga secara emosional kekeluargaan. Seperti bapaknya Andi Mariattang yang juga mantan petinggi PPP di Wajo, sementara Isti'anah dekat dengan kalangan Muhammadiyah di yogyakarta. Lihat PUSKAPOL FISIP UI, Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI dan IRI, 2008, hal.105-109. 27 Hetifah berhasil memperoleh suara sebanyak 23.413 di Kalimantan Timur dan berada di nomor urut 2 dari perolehan suara Partai Golkar di dapil tersebut. 25
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
13
aktivis yang bertarung di DPD pun juga tidak jauh berbeda dengan pemilu 2004, namun kali ini Muspani gagal dan Sarah Larry berhasil. Salah satu alasan partai politik merekrut para aktivis Ornop menjadi caleg adalah untuk memperkuat dan membuka peluang bagi non-kader partai untuk bisa bersaing dan memenangkan suara partai dalam pemilu 2009. Syarat ini pun diterima dengan catatan agar mereka sebagai tokoh Ornop yang berpengaruh ditempatkan dalam nomor yang memiliki peluang yang besar keterpilihannya.28 Meski pilihan ini menegasikan kepentingan partai politik dalam pengembangan internalnya dengan memberi kesempatan kepada kader terbaiknya, namun pilihan ini menjadi sesuatu yang penting diambil partai manakala citra partai tengah menurun.29 Dalam konteks pemilu 2009, pelajaran yang menarik diangkat adalah peluang politik yang terbuka bagi aktor civil society untuk terlibat dalam arena pemilu. Sayangnya, partai politik masih beranggapan bahwa keterlibatan para tokoh civil society ini tidaklah didukung secara nyata dalam mobilisasi para pemilih lantaran kompetisi diantara caleg di masing-masing partai juga bersaing ketat. Pada saat yang bersamaan, meski peluang tersebut ada dalam waktu yang relatif sempit untuk bersosialisasi, namun para aktor civil society dengan kekuatan jaringannya tidak dapat memperoleh dukungan secara penuh dari kawan seprofesinya. Inilah yang masih menjadi masalah yang belum tertuntaskan manakala komitmen politik dari para aktor Ornop yang ingin terjun di ranah pemilu tidak mendapat dukungan yang memadai dari koleganya. Padahal salah satu titik lemah keterlibatan para aktor civil society dalam politik adalah ketiadaan sumber daya finansial untuk dapat bersosialisasi dan memperkenalkan diri di hadapan para konstituen. Dalam arena pertarungan di lembaga eksekutif di tingkat lokal yaitu pilkada, keterlibatan aktor civil society sebagai kandidat, baik sebagai gubernur/wakil gubernur hingga bupati/wakil bupati, tidaklah signifikan karena memang belum ada keberhasilan para aktor tersebut memenangkan pilkada. Sebagian besar pemenang pilkada merupakan figur yang populer karena aktivitasnya di dalam birokrasi pemerintahan, baik sebagai pejabat daerah atau pusat, atau tokoh yang memiliki keterikatan yang kuat dengan jalur kekuasaan di tingkat lokal seperti jawara di Banten.30 28
Pernyataan ini disampaikan dalam forum berbagai diskusi terbatas PUSKAPOL UI yang mengundang beberapa orang tokoh Ornop yang bersedia bergabung dan dicalonkan sebagai caleg dengan syarat mereka ditempatkan dalam urut jadi (sekitar nomor 1-3) di dapil masing-masing. Namun sayangnya, akibat keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai perubahan sistem pemilu mengubah arah dan strategi gerakan para caleg untuk memobilisasi dukungannya. 29 Aditya Perdana, Aktor Civil Society dan Pemilu 2009, ALIANSI No.49/September-November 2008. 30 Sebagai contoh yang menarik, berdasarkan penelitian Siti Zuhro dan kawan-kawan di empat daerah: Solok (Sumbar), Bojonegoro (Jatim), Gianyar (Bali) dan Bone (Sulsel), para aktor yang berperan dalam pilkada merupakan tokoh-tokoh politisi dan birokrat, baik di pemda ataupun dalam militer. Lihat R.Siti Zuhro, dkk, Demokrasi Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi, Yogyakarta, Ombak, 2009. hal.225. Sementara itu, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid menyebutkan kekuatan jawara
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
14
Salah satu yang menyebabkan keberatan kandidat yang berasal dari kalangan civil society adalah adanya proses transaksi ekonomi yang cukup mahal untuk “membeli” perahu politik dalam pilkada. Disebutkan dalam regulasi tentang pilkada sebelum munculnya calon perseorangan, bahwa kandidat dalam pilkada diajukan oleh partai politk atau gabungan partai politik dengan kriteria tertentu. Akibatnya, hanya kandidat yang memiliki kemauan besar dan modal yang cukup besar untuk bisa bertarung dalam pilkada. Meski tidak ada gambaran yang komprehensif mengenai jumlah uang yang dikeluarkan oleh seorang kandidat dalam pemenangan pilkada, namun Syarif Hidayat menyatakan bahwa ada banyak transaksi politik uang yang diberikan oleh kandidat kepada banyak pihak untuk memuluskan jalan kemenangannya.31 Dalam konteks itulah penulis meyakini bahwa mundurnya banyak aktor civil society yang potensial menjadi calon bupati ataupun walikota dikarenakan faktor finansial. Pelajaran yang menarik dari keterlibatan civil society di arena pilkada adalah menyangkut kelemahan dalam hal mobilisasi dukungan sumber daya finansial untuk memaksimalkan upaya pemenangan politik. Padahal di kalangan civil society sendiri, persoalan finansial bagi berlangsungnya jalan organisasi dan juga keberlanjutan program bagi kepentingan masyarakat adalah masalah yang juga tidak kalah peliknya. Dilema inilah yang menjadi pertimbangan sulit bagi para aktor civil society untuk bertarung dalam berbagai arena pemilu, termasuk pilkada. 7.
Membangun Relasi yang Konstruktif Relasi dan dinamika yang terbangun diantara dua kelembagaan ini, civil society dan partai politik, sedang berusaha menemukan arah yang konstruktif. Dahulu pada masa Orde Baru, kelompok civil society yang cenderung beroposisi dengan pemerintah, tidak mendapat tempat dalam konstelasi politik nasional. Pada saat yang bersamaan, hegemoni Golkar yang didukung oleh penguasa Orde Baru telah mematikan langkah dan strategi partai politik lainnya seperti PPP dan PDI. Dalam konteks ini kita tidak mampu mendiskusikan secara jelas arah relasi civil society dan partai politik. Dalam era paska reformasi, kedua institusi ini sebenarnya telah sepakat bahwa membangun demokrasi tentu memerlukan relasi yang konstruktif, terutama demi menghasilkan kebijakan-kebijakan public yang menguntungkan masyarakat luas. Hanya saja yang perlu didiskusikan secara intensif menyangkut perbedaan perspektif yang memiliki pengaruh dalam pertarungan politik di provinsi Banten. Lihat, Okamoto Masaaki dan Abdul Hamid, Jawara in Power 1999-2007, Indonesia, No.86, Oktober 2008, hal.109-138. 31 Syarif Hidayat menyebutkan berdasarkan data yang dikumpulkan oleh ICW pada periode pilkada tahun 2005, ada sumbangan pembangunan mesjid senilai Rp.5 juta, atau pembayaran untuk fungsionaris partai yang mendukung kandidat sebesar Rp.30 juta per orang. Lihat Syarif Hidayat, Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance” Practices, dalam Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (ed), Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada), Singapore, ISEAS, 2009, hal.130-131
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
15
mengenai hal tersebut. Bagi kelompok civil society, kebutuhan untuk terlibat dalam arena pembuatan kebijakan adalah penting. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana mengkoneksikan kebutuhan tersebut menjadi sebuah kenyataan manakala terdapat kendala yang masih dihadapi, semisal mobilisasi dukungan financial yang dibutuhkan dalam pemenangan pemilu. Hal ini bisa terjadi karena partai politik besar di Indonesia masih menghadapi persoalan serius dalam pembenahan internal organisasi, semisal dalam urusan rekrutmen yang belum tertata dengan baik. 32 Padahal salah satu usaha untuk memenangkan pemilu adalah menyangkut mekanisme rekrutmen yang dikaitkan dengan cara pemenangan tersebut. Artinya para aktor civil society yang berkeinginan untuk menjadi anggota partai politik tertentu dan menjadi caleg partai tersebut akan mempertimbangkan kembali manakala partai belum memikirkan secara serius terkait dengan aspek pemenangan tersebut. Sementara itu, partai politik juga berpandangan bahwa memenangkan pemilu ataupun memutuskan sebuah perundang-undangan tanpa dukungan nyata dari kelompok atau organisasi kemasyarakatan adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Maka tidak heran bila partai politik memiliki organ dan sayap kelompok masyarakat yang berkoneksi langsung dengan kebutuhan mereka.33 Dalam konteks itu kelompok civil society dan partai politik memiliki kedekatan yang jelas, namun masih memiliki permasalahan yang harus dicari penyelesaiannya. Apakah mengajak dan meminta aktor civil society ke dalam partai untuk membantu penyelesaian hal tersebut dan mendorong agar terjadi hubungan yang permanen dan saling menguntungkan di kemudian hari? Ataukah yang bersifat sementara, dimana kehadiran aktor civil society hanya menjadi pelengkap bagi usaha meningkatkan suara partai? Maka diskusi tentang hal ini menjadi agenda yang menarik agar tidak menimbulkan rasa curiga. Gagasan Blok Politik Demokratik yang disampaikan oleh DEMOS merupakan sebuah hal yang menarik.34 Gagasan ini sebenarnya ingin memberi 32
Selain persoalan rekrutmen dan kaderisasi, persoalan serius yang dihadapi partai adalah menyangkut keberadaan platform yang tidak dilihat secara serius. Di samping juga persoalan kohesifitas konflik dalam partai yang perlu diagendakan. Lihat Lili Romli, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin dan Miftah Sabri, Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia, Depok, PUSKAPOL UI dan Kemitraan, 2008, hal.19-26 33 Sebagai contoh dalam konteks Amerika Serikat, hubungan antara kelompok warga dengan partai politik bisa saling melengkapi dengan syarat salah satunya ada kedekatan secara ideologis. Meski dalam konteks ini ideology bukanlah aspek yang penting namun menjadi pengikat yang memadai. Lihat Marjonie Randon Hershey, Citizens’ Group and Political Parties in the United States, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.528, Citizens, Protest and Democracy, July 1993, hal.149 34 Olle Tornqueist, Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses di http://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327. Makalah yang disampaikan oleh tim peneliti Demos dalam seminar berjudul Satu Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Dapat diakses di: http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_ Satu_Dekade_Reformasi-Presentasi.pdf
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
16
penekanan adanya lembaga perantara diantara dua kekuatan yaitu organisasi partai politik yang punya tujuan politis dengan organisasi civil society seperti organisasi gerakan social dan organisasi kerakyatan lainnya. Harapannya model blok seperti ini akan mampu menjelma sebagai sarana yang efektif untuk menjembatani kepentingan politik dari organisasi civil society dengan keterbatasan yang mereka miliki. Namun demikian, catatan yang perlu didiskusikan adalah bagaimana blok ini mampu secara efektif bekerja dalam mengarahkan kepentingan politik dari kelompok civil society manakala komitmen diantara para aktor (baik di dalam partai dan civil society) belum terbangun dengan utuh. Pada saat yang bersamaan, kesiapan infrastruktur baik menyangkut mobilisasi sumber daya untuk mengarahkan tujuan politik masih menghadapi persoalan serius di partai politik dan civil society. Sebagai contoh, dalam persoalan sumber daya, partai politik dan civil society masih mengandalkan mobilisasi dari pihak luar untuk menjalankan organisasinya. Parahnya, partai politik memiliki kelemahan dalam mengelola sumber daya secara baik, terutama dalam urusan pendanaan. Artinya untuk menciptakan sebuah bangunan blok yang baik dibutuhkan kedua organ penopangnya yaitu civil society dan partai politik yang juga memiliki kesiapan yang memadai untuk menciptakan sebuah blok yang efektif. Oleh karena itu, salah satu hal yang bisa dilakukan segera adalah membangun komitmen diantara para aktor civil society dan pimpinan partai politik untuk mendesakkan agenda pembangunan blok politik demokratik. Hal yang positif pada saat ini adalah adanya kawan-kawan Ornop yang sudah bergabung di partai menjadi penghubung dalam upaya menciptakan komitmen bersama ini. Bila ini bisa dilakukan dan mendapat dukungan luas dan nyata dalam bentuk kesamaan komitmen terhadap blok-blok ini maka akan terbuka kemungkinan kerjasama ini bisa diwujudkan. 8.
Penutup Relasi yang terjadi antara civil society dan partai politik berada dalam kondisi yang dinamis. Pada masa Orde Baru, relasi tersebut tidak mudah dibayangkan karena memang kekuatan dan hegemoni penguasa Orde Baru mengakibatkan tidak adanya bangunan komunikasi diantara mereka. Namun pada masa paska Orde Baru, relasi tersebut mulai terlihat. Dari keterlibatan yang bersifat ekstra parlementer dimana peran civil society menjadi kelompok kritis terhadap lembaga-lembaga pemerintah hingga menjadi bagian dari parlementer, meski jumlahnya belum terlalu signifikan. Paling tidak ada perubahan yang lebih terlihat dalam bentuk perkawinan yan masih bersifat personal, bukan kelembaagaan. Berbagai gagasan untuk menjembatani kebutuhan ini sebenarnya sudah banyak didiskusikan. Ada yang berpendapat lebih baik masuk ke dalam partai dan terlibat langsung. Namun banyak pula yang menyatakan ketidaksetujuaanya dengan pertimbangan non-partisan. Gagasan Blok Politik demokratik yang berusaha menyeimbangkan perbedaan kedua pandangan tersebut juga tengah dilakukan. Artinya di kalangan civil society memang sudah ada kebutuhan untuk bergerak dan mengambil peran-peran politik secara langsung, sementara itu di kalangan partai politik juga tengah memikirkan hal yang sama. Persoalannya kemudian berada dalam Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
17
bagaimana menciptakan situasi yang menguntungkan tersebut. Padahal di kalangan internal civil society dan partai politik juga masih menyisakan banyak persoalan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Oleh karenanya, masa demokratisasi di Indonesia terlihat masih panjang karena elemen-elemennya pun masih perlu berbenah diri secara serius.
-oOo-
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
18
Daftar Pustaka Aspinall, Edward. Indonesia Transformation of Civil Society and Democratic Breakthrough dalam Muthiah Alagappa, Civil Society and Political Change in Asia: Expanding and Contracting Democratic Space. Palo Alto: Stanford University Press, 2004. Beavis, Gwendolyn. Civil Society Groups and Political parties: supporting constructive relationships, Occasional Papers Series. USAID, 2004. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2008. Chandhoke, Neera. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: ISTAWA, 2001. Cohen, Jean L. Dan Andrew Arato. Civil Society and Political Theory, dalam Hodgkinson, Virginia A. dan Michael W.Foley (ed.). The Civil Society Reader. University Press of New England, 2003 Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society, Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Demos. Satu Dekade reformasi: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Dapat diakses di: http://www.demosindonesia.org/downloads/1210760409_Satu_Dekade_ReformasiPresentasi.pdf
Hapsara, Beka Ulung, Sugeng Bahagijo dan Darmawan Triwibowo, Membangun Kembali tradisi Demokrasi dari Akar Rumput, Kasus Lerry Mboek, Muspani dan Imam Azis, dalam Darmawan Triwibowo (ed). Gerakan Sosial: wahana Civil Society bagi Demokratisasi, Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006. Hershey, Marjonie Randon. Citizens’ Group and Political Parties in the United States, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol.528, Citizens, Protest and Democracy, July 1993 Hidayat, Syarif, Pilkada, Money Politics and The Dangers of “Informal Governance” Practices, dalam Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto (ed). Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS, 2009. Hikmah, Nor, dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru, Mendorong Demokrasi di tingkat Lokal. Jakarta: YAPPIKA, 2008. Hikmah, Nor. Perda Keterwakilan Perempuan: Menciptakan Bulonggo Baru di Sulawesi Tengah dalam Nor Hikmah, dkk. Gerakan Ekstra Parlementer Baru: Mendorong Demokrasi di Tingkat Lokal. Jakarta: YAPPIKA, 2008. Ichwanuddin,Wawan, Aditya Perdana dan Fransisca Fitri. Masyarakat Sipil dan Kebijakan Publik: Studi Kasus Aktivitas Masyarakat Sipil dalam Mempengaruhi Kebijakan Publik. Jakarta: YAPPIKA, 2006. Kariyadi, Syafa'atun dan Willy Purna Samadhi. Blok Politik Demokratik, Panduan Pelatihan. Jakarta: Demos, 2008 Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009
19
Linz, Juan J.dan Alfred Stepan. Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and Post-Communist Europe. Baltimore: The John Hopkins University Press, 1996. Masaaki, Okamoto dan Abdul Hamid. Jawara in Power 1999-2007, Indonesia, No.86, Oktober 2008. Perdana , Aditya. Aktor Civil Society dan Pemilu 2009. ALIANSI No.49/SeptemberNovember 2008. PUSKAPOL FISIP UI. Studi Kasus dan Pembelajaran Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PUSKAPOL FISIP UI dan IRI, 2008. Romli, Lili, Aditya Perdana, Wawan Ichwanuddin dan Miftah Sabri. Kerangka Penguatan Partai Politik di Indonesia. Depok: PUSKAPOL UI dan Kemitraan, 2008. Sakai, Yumiko. Indonesia Flexible NGOs vs Inconsistent State Control dalam Shinichi Shigetomi (ed). The State and NGOs, perspective from Asia. Singapore: ISEAS, 2002. Tanuredjo, Budiman. Ketika ‘Serangan” Muncul dari Rapat Komisi I DPR, dalam HCB Dharmawan. Lembaga Swadaya Masyarakat, Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Kompas, 2004. Tornqueist, Olle. Apa dan Mengapa Blok Politik Demokratik, dapat diakses di http://www.demosindonesia.org/laput/article/article.php?id=327
Zuhro, R.Siti, dkk. Demokrasi Lokal, Peran Aktor dalam Demokratisasi. Yogyakarta: Ombak, 2009. Siaran Pers Koalisi Penyempurnaan Paket UU Politik tanggal 18 Januari 2008 tentang Pilihan Sistem Pemilu 2009. dapat diakses di www.parlemen.net. MK Putuskan Pemilu Gunakan Suara Terbanyak, hukumonline, 24 Desember 2008. dapat diakses di www.hukumonline.com .
Percik – Seminar Internasional: “Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 28 – 30 Juli 2009