RUANG KAJIAN
KOMUNIKASI POLITIK DAN DEMOKRATISASI DI INDONESIA: DARI KONSOLIDASI MENUJU PEMATANGAN Idham Holik Abstract The term ‘political communication’ and ‘democracy’ are two sides of a coin. The freedom of political communication fosters democratization which there are check and balances mechanism. A key instrument of political communication is mass media. Media freedom should be guaranted by the law of Indonesia state. Media is a determinant factor for political decisions, for the example, voter turnout and a winner of the election is highly influenced by media. Media democracy has created celebrity politicians. So, in the internet era, the democracy is growing into electronic democracy which internet is a channel of political communication. Thus, better political communication is a way of empowering democracy consolidation and finally toward democracy maturation. Kata Kunci: Komunikasi, Politik, Demokrasi Latar Belakang Masalah Pemerintahan demokratis merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit, serta banyak ketegangan dan pertentangan. Demokrasi dirancang demi pertanggungjawaban politik (political accountability) kepada rakyat. Sekarang ini semua pihak, baik nasional ataupun internasional, telah mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara demokratis yang besar. Bagi bangsa Indonesia sistem politik demokratis merupakan sebuah keputusan final yang mesti tetap dipertahankan, bukan hanya saat ini tetapi juga untuk masa mendatang. Hampir dapat dipastikan
hanya dengan sistem tersebutlah Indonesia dapat mewujudkan per satuan dalam kebhinekaan bangsa ini (Bhineka Tunggal Ika) dalam rangka character building and nation building. Implementasi sistem demokrasi di negara Indonesia – sejak Orde Lama, Orde Baru, dan kini Orde Reformasi – telah mengalami pasang surut. Di zaman Orde Lama, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin (guided democracy system) dan hanya satu kali melaksanakan pemilu yaitu di tahun 1955. Selanjutnya di zaman orde Baru, selama 32 tahun di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia menerapkan sistem demokrasi Pancasila, tetapi pada praktiknya lebih mengarah pada pemerintahan yang otoriter. Ini bisa dibuktikan misalnya dengan pelak-
other bodies de jure” (Haris dalam Maruto et al, 2002. p.5).
sanaan program depolitisasi pada tahun 1972 dimana Pemerintah melakukan fusi paksa 10 partai politik – yang menjadi peserta Pemilu 19971 – menjadi 3 partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga partai tersebut menjadi peserta pemilu mulai Pemilu 1977 sampai dengan Pemilu 1997. Selama itu pula tidak ada kebebasan politik bagi rakyat. Kemudian sejak reformasi politik tahun 1998, tepatnya 20 Mei 2008 dimana Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri, Indonesia memasuki babak baru kehidupan politik yaitu sistem demokrasi yang sebenarnya – tanpa embel-embel nama dibelakangnya, tapi banyak juga kalangan yang menyatakan itu sebagai demokrasi liberal. Dalam pandangan Syamsudin Haris, seorang peneliti LIPI, menyatakan bahwa demokrasi bergerak dari pembusukan sebuah rezim otoriter, melewati masa transisi, menuju konsolidasi, dan akhirnya menuju pematangan. Mengenai transisi, Juan J. Linz dan Alfred Stepan menyatakan:
Mengenai hasil akhir dari transisi demokrasi, Larry Diamond secara kategoris membedakan munculnya dua kecenderungan utama, yaitu yang bermuara pada suatu konsolidasi demokrasi minimalis atau demokrasi pemilihan (electoral democracy) di satu pihak, dan konsolidasi demokrasi liberal (liberal democracy) di pihak lain. Bagi Diamond, demokrasi benar-benar terkonsolidasi apa bila ia mengarah pada demokrasi liberal. Lalu Diamond juga menegaskan bahwa konsolidasi demokrasi ditandai dengan terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elite maupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsipprinsip demokrasi (Haris dalam Maruto et al, 2002, p.6-7). Setelah fase konsolidasi demokrasi dapat dilalui, maka demokrasi selanjutnya memasuki fase pematangan demokrasi (democracy maturation), yang dicirikan dengan adanya keterbukaan atau transparansi publik, keadaan bebas dari kekerasan sewenangwenang, persamaan hak, keadilan, kesadaran politik yang tinggi, serta institusi-institusi demokrasi sudah mahir mengelola setiap krisis yang muncul akibat pertentangan politik (lihat juga Chaniago dalam Maruto et al, 2002, p.24). Banyak kalangan yang menyatakan bahwa masa transisi demokrasi di Indonesia itu telah dilalui, dimana telah sukses terselenggaranya Pemilu 1999 – pemilu demokratis pertama pasca Orde Baru. Kemudian bangsa Indonesia, setelah pemilu tersebut mulai memasuki tahapan konsolidasi demorasi, khusus dimulai
“A democratic transition is complete when sufficient agreement has been reached about political procedures to produce an elected government, when a government comes to power that is the direct result of a free and popular vote, when this government de facto has the authority to generate new policies, and when the executive, legislative and judicial power generated by the new democracy does not have to share power with 57
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
sejak menjelang Pemilu 2004 yang lalu. Dan sebentar lagi Indonesia akan menyongsong penyelenggaraan Pemilu 2009, selanjutnya muncullah pertanyaan apakah pada pemilu tersebut nanti bangsa Indonesia sudah bisa memasuki masa pematangan demokrasi. Pertanyaan tersebut saat ini agak sulit untuk dijawab karena jawaban tersebut kembali kepada perilaku politik bangsa ini. Dalam pemerintahan demokratis, menurut M. Alwi Dahlan (1999), komunikasi adalah unsur esensial bagi demokrasi, melekat pada konsep demokrasi itu sendiri. Banyak ilmuwan politik ataupun komunikolog yang menegaskan bahwa komunikasi memiliki peran vital dalam sistem politik demokrasi. Gabriel Almond (1960) menyatakan “All of the functions performed in the political system – political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication – are performed by means of communication” (Rauf, et al (Edts), 1993.p.22). Reed H. Blake dan Edwin O. Haroldsen (1975) mendeskripsikan “political communication is communication that has actual or potential effects on the functioning of a political state or other political entity” (p.4). Bahkan Dan Nimmo (1978) menegaskan “....small wonder that democracy – often called government by public opinion...”(p.8). Pada artikel ini penulis berusaha mendeskripsikan secara ringkas (brief description) dari luasnya kajian peran komunikasi politik dalam proses demokratisasi di Indonesia – fase transisi, konsolidasi, dan pematangan. Artikel dibagi ke dalam tiga sub
tema yaitu Media Massa dan Sistem Politik Demokratis, Komunikasi Politik dan Pemilu Demokratis, dan Demokrasi Elektronik. Media Massa dan Sistem Politik Demokratis 1.
Peran Media Massa (Media Power) Komunikasi politik di dalam negara yang menganut sistem politik demokratis lebih menekankan pada peran media dalam setiap aktivitas politik. Bahkan para ahli komunikasi menyatakan bahwa media massa merupakan sebagai fourth estate, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif –dalam pemikiran politik Trias Politika. Hal ini juga ditegaskan oleh Thomas Carlyle (1907) yaitu “The press is a power, a branch of government with an inalienable weight in law-making, derived from the will of the people”. James Curren (2002), dalam buku Media and Power, menyatakan ada tiga peran media dalam sistem politik demokratis yaitu, pertama, watchdog role; media harus memonitor semua aktivitas negara, dan berani mengungkap penyalahgunaan kekuasaan. Agar peran ini optimal, maka dibutuhkan adannya free market dan deregulation untuk media. Kedua, information & debate; media mesti mampu memberikan saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Untuk hal itu, media harus membuat forum dialog (a forum of debate) dimana rakyat dapat mengidentifikasi masalah, mengajukan solusi, membuat kesepakatan dan memandu arah masyarakat (to guide the public 58
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
direction of society). Dan ketiga, voice of the people; media mengantarkan kepentingan rakyat kepada pemerintah, ini adalah kulminasi dari misi media. Media berbicara untuk rakyat, dan merepresentasikan pandangan dan kepentingan mereka dalam wilayah publik (the public domain) (p.217227). Media merupakan sarana masyarakat, pemerintah, partai politik, lembaga non-pemerintah, pressure group, dan lain sebagainya untuk saling berhubungan (atau
menurut pemikiran Brian McNair (1995) berikut. Selain peran penting media seperti yang telah dideskripsikan tersebut di atas, menurut Donald Shaw & Maxwell McComb bahwa media memiliki kemampuan mengarahkan agenda kebijakan suatu pemerintahan. Hal ini tergambar dalam fungsi agenda-setting media. Fungsi tersebut merupakan sebuah proses linear dari tiga bagian (a three-part linear process) yaitu pertama, media agenda merupakan prioritas isu-isu yang ditampilkan
Bagan 1: Hubungan Tiga Elemen Komunikasi Politik - Govenment - Political party Political Organization - Public organization
Reportage Editorials Commentary Anlaysis
Media
- Pressure group - Terrorist group Appeal Programmes Advertising Public Relations Opinon Polls Letters
Reportage Editorials Commentary Analysis
Audience/Citizen
Sumber : Harsono Suwardi (2003), Modul Mata Kuliah Komunikasi Politik, Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, tak diterbitkan.
berkomunikasi) satu sama lain, yang akhirnya mampu menciptakan kondisi demokrasi yang lebih baik. Untuk melihat posisi media dalam proses komunikasi politik, penulis menggunakan bagan hubungan elemen-elemen komunikasi politik
media mesti di-set; kedua, media agenda berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau ini disebut public agenda; dan ketiga, public agenda berpengaruh atau berinteraksi dengan apa yang dianggap penting oleh 59 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
media” (p.502). Jadi kualitas public sphere kembali pada media itu sendiri, sedangkan tidak lepas dari media owner’s interest. Inilah tantangan media di tengah arus demokratisasi, mampukah media menampilkan jati dirinya sebagai watchdog role and voice of the people. Ade Armando (2002) menyatakan bahwa public sphere merupakan wilayah vital bagi demokrasi yang mengasumsikan bahwa setiap warga negara terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan menyangkut kehidupan bersama, dan untuk itu warga negara membutuhkan informasi yang memadai. Jadi public sphere merupakan representasi dari partisipasi politik rakyat (the people’s political partisipation) dalam rangka mekanisme check and balances. Untuk mendukung konsep public sphere tersebut mesti adanya kebebasan media atau pers (media freedom). Kebebasan media menjadi indikator yang paling lazim untuk mengukur berlangsung tidaknya perlindungan hak-hak asasi manusia atau demokratis tidaknya sistem politik di sebuah negara. Tidak ada negara demokratis, tanpa kebebasan media. Kebebasan media di negara demokrasi, seperti Indonesia, sangat membantu proses perkembangan konsolidasi demokrasi menuju pematangan demokrasi. Dengan adanya kebebasan media telah mendatangkan manfaat publik yang besar seperti yang diungkapkan oleh Denis McQuail (2000) yaitu:
pembuatan kebijakan atau ini disebut policy agenda (Littlejohn, 2002. p.319-320). Rangkaian proses tersebut digambarkan sebagai berikut. Bagan 2: Fungsi Agenda-Setting Media Media Agenda → Public Agenda → Policy Agenda
Di Indonesia dengan jelas bisa kita lihat aplikasi fungsi agenda setting tersebut dimana misalnya media massa Indonesia senantiasa mengawal pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang pemberantasan korupsi – dengan cara terus meliput peristiwa kejahatan korupsi dan melakukan investigative report tentang hal tersebut seperti pada akhir Maret media memberitakan kasus aliran dana dari Bank Indonesia kepada anggota DPR sebesar Rp 2,5 milyar dan US$ 145 ribu. 2.
Public Sphere dan Kebebasan Media (Pers) Menurut Edward S. Herman dan Robert W. McChensey (1997), public sphere ialah segenap tempat dan forum dimana segala isu yang memiliki makna penting bagi komunitas politik didiskusikan dan diperdebatkan, dan dimana arus informasi yang esensial bagi partisipasi warga dalam kehidupan kemasyarakatan disajikan (Armando, 2002, p. 215). Dalam sistem politik demokrasi, media massa memainkan peran yang sangat penting sebagai instrumen public sphere. Denis McQuail (2000) menegaskan “....The media are now probably the key institution of the public sphere, and its ‘quality’ will depend on the quality of
“Main public benefits of media freedom are systematic and independent public scrutiny of 60
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
those in power and an adequate supply of reliable information about their activities (this refer to the ‘watchdog’ or critical role of the press); stimulation of an active and informed democratic system and social life; the change to express ideas, beliefs and views about the world; continued renewal and change of culture and society; and increase in the amount and variety of freedom available” (p.168).
kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi (Pasal 4 ayat 3); dan keempat, “dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum” (Pasal 8). Tetapi pada perkembangan selanjutnya, mulai tahun 2002, kebebasan pers di Indonesia mulai terancam yaitu pertama, dengan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, dimana dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi – termasuk karya jurnalistik – bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 milyar rupiah. Kedua, pada tanggal 25 Maret 2008, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik telah ditetapkan. Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 UU Informasi Transaksi Eletronik tersebut dapat dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu milyar rupiah. Ketiga, pada tanggal 3 April 2008, RUU Keterbukaan dan Informasi Publik telah ditetapkan. Pasal 51 UU KIP menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 juta rupiah. Judulnya keterbukaan, isinya ancaman penjara. UU tersebut mengatur informasi rahasia dan informasi publik. Informasi publik mestinya
Kebebasan media (pers) bisa terwujud setidak-tidaknya dengan tidak adanya pensensoran berita dan opini media massa yang dilakukan oleh pemerintah dan adanya kebebasan bagi warga negara dalam mengakses berita media massa. Negara Indonesia termasuk negara yang menganut a social responsibility paradigm dimana kebebasan yang dimiliki pers tetap saja mengedepankan pertanggungjawaban sosial atas isi pemberitaannya. Selanjutnya, hal yang terpenting dalam prinsip kebebasan pers adalah dimana negara menjamin secara hukum kebebasan pers tersebut. Di Indonesia, praktik kebebasan media (pers) di awal reformasi dijamin oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang tidak lagi menganut politik hukum kriminalisasi pers. UU tersebut menyatakan bahwa pertama, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” (Pasal 4 ayat 1); kedua, “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi” (Pasal 4 ayat 2); ketiga, “untuk menjamin 61
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
terbuka untuk publik, tetapi masih dengan ancaman. Pasal dalam UU tersebut dimaksudkan untuk menghambat efektivitas jurnalisme investigasi untuk menggunakan informasi publik dalam mengungkap kebobrokan birokrasi dan BUMN. Dan terakhir, keempat, Menteri hukum dan HAM Kabinet SBY-JK telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintah kolonial Belanda (1917). KUHP – berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan pers ke penjara Digul – selama 63 tahun ini masih digunakan untuk memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan. Di Indonesia sejak pasca reformasi hingga kini telah terjadi banyak kasus kriminalisasi terhadap media atau pers di Indonesia misalnya pada tanggal 28 Agustus 2007 Majelis Hakim Mahkamah Agung memvonis Majalah Time Asia membayar ganti rugi satu trilyun rupiah kepada mantan Presiden Soeharto. Ini disebabkan atas laporan investigasi Time edisi 24 Mei 1999 tentang bagaimana mantan Presiden Soeharto membangun kekayaan keluarga dinilai mencemarkan nama baik Soeharto. Sedangkan, menurut Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers Indonesia), berdasarkan UU pers, pemberitaan Time itu adalah karya jurnalistik dan kalaupun divonis mencemarkan nama baik, hukumannya maksimum lima ratus juta rupiah.
Kebijakan pemerintah yang semakin kurang berpihak pada kebebasan pers tersebut akan membahayakan proses demokratisasi dan dikhawatirkan akan mengarah pada pemerintahan yang tak demokratis. Kini sudah saat ini Pemerintah coba melihat kembali kepada esensi tujuan reformasi di Indonesia, yaitu memberikan kebasan politik bagi rakyat dan media massa. 3.
Jurnalisme Publik Jurnalisme bukan persoalan praksis pemberitaan saja, tetapi juga merupakan manifestasi komunikasi politik. Kovach & Rosentiel (2001) menyatakan bahwa salah satu prinsip jurnalisme yaitu jurnalisme harus menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik. Selanjutnya juga mereka menegaskan bahwa jurnalisme ada untuk membangun kewargaan (citizenship) dimana hakhak warga negara terpenuhi. Jadi, jurnalisme ada untuk demokrasi. Dewasa ini kajian jurnalisme sudah berkembang menjadi jurnalisme publik. Dengan adanya penambahan kata publik pada jurnalisme diharapkan dapat lebih memfokuskan konsep bahwa aktivitas jurnalisme adalah milik publik, bukan hanya milik industri media (jurnalisme berbasis pasar), pemerintah, bahkan bukan milik profesi jurnalis itu sendiri. Arthur Charity (1995) membedakan antara jurnalisme konvensional dengan jurnalisme publik sebagai berikut:
62 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
T ab e l 1 : P erb ed a a n a ntara Jurn a lism e P u blik d eng an Ju rn alism e K o nven sion a l
P u b lic jo u rn alists b elieve
C o n ve n tio n a l jo u n a lists b e lieve
S o m e th in g b a s ic h a s to c h a n g e , b e c a u s e jo u n a lis m is n ’t w o rk in g n o w . In s u c h a c lim a te , e x p re m e n ta tio n a n d c re a tiv ity a re im p e ra tiv e : o ld h a b its , h o w e v e r “s a c re d ” m a y h a v e to g o ...th o u g h c h a n g e m u s t a lw a ys b e g u id e d by e th ic a l c o re v a lu e s and an u n d e rs ta n d in g o f h o w d e m o c ra c y w o rk s . C itiz e n s m a y w e ll w a n t to p a rtic ip a te m o re in te llig e n tly in p u b lic life , b u t th e y fin d to o m a n y h u rd le s in th e ir w a y. C itiz e n s d e s e rve a b ig g e r p la c e in th e n e w s p a p e r its e lf. P a p e rs s h o u ld n e v e r “d u m b d o w n ”, b u t m us t re o rie n t th e m s e lv e s a ro u n d c itize n s ’ c o n c e rn s .
T h e tra d itio n s o f jo u rn a lis m a re fin e ; if a n yth in g n e e d s to im p ro v e . It’s th e p ra c tic e . E x p re m e n ta tio n th re a te n s to c ro s s th e lin e in to u n e th ic a l b e h a v io r, b ia s , a n d c a re le s s n e s s a b o u t s ta n d a rd s . B e s id e s , e x p re m e n ta tio n is u s u a lly a s yn o n ym fo r fa d .
P u b lic life s h o u ld w o rk , a n d jo u rn a lis m h a s a ro le in m a k in g it w o rk .
T h e m e d ia a n d p o litic a l life p ro vid e a m p le o p p o rtu n ity to p a rtic ip a te ; if p e o p le s ta y o u t o r m e re ly c o m p la in , it’s th e ir o w n c h o ic e . News is a p ro fe s s io n ; jo u rn a lis ts w rite n e w s p a p e rs , re a d e rs d o n ’t. In v itin g c itiz e n s to ju d g e w h a t’s n e w s , m a k in g th e m th e s u b je c t o f c o v e ra g e a n d th e lik e a re in h e re n tly d u m b in g d o w n – a fo rm o f p a n d e rin g . It w o u ld b e n ic e if p u b lic life w o rk e d , b u t it’s b e yo n d o u r ro le to m a k e it w o rk a n d it’s d a n g e ro u s to th in k w e c a n .
S um b er: A rth ur C h ari ty (19 95 ). D oin g P u blic J ou rna lism . N e w Y o rk: G u ilfo rd P res s, p.1 0. d a lam W is nu M a rth a A d ipu tra (2 00 6 ). M e ny o al K o m u n ik asi M e m b e rd a ya ka n M asya rak at. Y o gya ka rta: P e ne rbit F is ip o l U G M , C etak an P e rtam a, p.9 8.
Jurnalisme publik bersumber dari publik untuk publik. Ini memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik. Peran tersebut yaitu jurnalisme publik mampu meningkatkan proses demokratisasi seperti yang diungkapkan oleh Charity (1995.p.6-7) sebagai berikut “reducing issues to choices, plumbing to core values, spelling out the costs and consequences of each choice, bridging the expert-public gap, facilitating deliberation, and promoting civility” (dalam Adiputra 2006.p.99). John Dewey menyatakan tujuan sejati demokrasi yaitu kebebasan manusia dimana memungkinkan orang mengembangkan potensi mereka sepenuhnya (Kovach & Rosentiel, 2001.p.24). Ini sangat compatible dengan konsep jurnalisme publik Dengan dukungan kemajuan ICT atau kamera digital yang canggih dan massif, dewasa ini konsep jurnalisme publik semakin diberikan ruang luas oleh industri media di Indonesia, baik media siaran ataupun cetak. Misalnya sudah lama banyak stasiun radio
siaran memberikan ruang bagi publik untuk menyampaikan reportasenya tentang suatu peristiwa, misalnya radio FM Elshinta. Selanjutnya juga saat ini stasiun televisi Metro TV tahun mulai Maret 2008 menayangkan program i-Witness, dimana publik indonesia dapat mengirimkan news strory ke program tersebut untuk ditayangkan. Komunikasi Demokratis
Politik
dan
Pemilu
1.
Pemilu sebagai Bentuk Kedaulatan Rakyat Dalam sistem politik demokratis, pemilihan umum (election) merupakan prasyarat utama. Dalam konstitusi Indonesia dinyatakan bahwa pemilu secara langsung oleh rakyat merupakan kedaulatan rakyat guna menghasikan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya Josep Schumpeter, seorang ahli ilmu politik, menyatakan: 63 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
“Democracy is not just a system in which elites acquire the power to rule through a competitive struggle for the people’s vote. It is also a political system in which government must be held accountable to the people, and in which mechanisms must exist for making it responsive to their passions, preference, and interests” (dalam Chaniago, 2002,p.33).
dapat memilih langsung calon angota legislatif (DPR dan DPD) saja, tetapi juga calon presiden. Pemilu legislatif ini diikuti oleh 24 partai politik peserta pemilu dengan sistem proporsional daftar calon terbuka (untuk DPR) dan sistem milih langsung (untuk DPD). Selanjutnya untuk pemilu presiden diikuti oleh 5 pasang calon presiden. Menurut Ignas Kleden (2004), pemilu tersebut dianggap amat penting dan mungkin lebih penting daripada pemilu-pemilu sebelumnya, karena pertama kalinya diadakan pemilu secara langsung pada berbagai tingkatan pemilihan, mulai dari pemilu legislatif 5 April 2004 sampai pemilu presiden putaran I 5 Juli 2004 dan putaran II 20 September 2004. Diawali pada Pemilu 2004 yang lalu, berdasarkan UU No. 30 tahun 2003 tentang Partai Politik dan UU No.12 tahun 2004 tentang Pemilu, Indonesia mulai menerapkan affirmative action yaitu dimana kepengurusan partai politik atau komposisi calon legislatif minimal sekurang-kurangnya terdiri dari 30 persen perempuan. Terobosan baru keadilan gender dalam politik tersebut, sayangnya, tidak diiringi kemampuan persuasi politik partai politik dan calon legislatif perempuan, sehingga tidak mendapat dukungan dari kalangan pemilih perempuan – terbukti dengan sedikitnya caleg perempuan terpilih, padahal prosentase perempuan Indonesia lebih dari 51 persen. Ini membuktikan pada kita bahwa komunikasi politik di Indonesia masih bias gender dan didominasi budaya patriarki. Selama ini di Indonesia, dalam praktik demokrasi, belum ada partai politik yang memposisikan dirinya sebagai partai oposisi pemerintah,
Jadi dalam konteks komunikasi politik, pemilu merupakan bentuk komunikasi dua arah antara partai dan kandidat politik dengan rakyat (pemilih). Kedua entitas tersebut mempersuasi para calon pemilih dengan cara menawarkan program politik bahwa mereka sangat layak dipilih untuk memimpin pemerintahan ke depan. Pasca Reformasi 1998, p emilu di Indonesia menggunakan sistem multipartai. Pemilu demokratis tersebut diselenggarakan pada tahun 1999 dan 2004. Pasca pemilu nasional 2004 tersebut, pada tahun 2005, Indonesia mulai melaksanakan pemilihan kepada daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) untuk gubernur dan wakil gubernur dan bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota. Sebentar lagi tahun 2009 Indonesia akan menyelenggarakan pemilu yang ketiga kalinya. Pemilu yang pertama, tahun 1999, diikuti sebanyak 48 partai politik peserta pemilu dan diselenggarakan dengan sistem proporsional daftar calon tertutup. Selanjutnya pada pemilu kedua, tahun 2004, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan yaitu, bukan hanya 64 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
2.
Amerikanisasi Kampanye dan Selebritisasi Politik Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, kampanye politik di Indonesia dominan diisi oleh bentuk-bentuk pengerahan massa dan terbatasnya penggunaan media massa sebagai alat kampanye. Tapi dewasa ini, sistem politik demokrasi telah merubah strategi kampanye partai politik Indonesia dalam mengikuti pemilu yaitu menggunakan konsultan komunikasi profesional dan media massa. Inilah yang disebut sebagai americanization of political campaign. Dedy N. Hidayat (2004) menyatakan bahwa the third wave of democratization dimanfaatkan para electioneer atau konsultan kampanye profesional dari Amerika untuk melakukan ekspansi global, mengekspor jasa konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan pemilu ke berbagai negara demokrasi baru. Di Indonesia, menjelang Pemilu 2004, mulai bermunculan industri kampanye pemilu, atau bisnis the selling of the president, dan sekarang semakin pesat berkembang. Ratusan mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi Indonesia telah direkrut sebagai tenaga profesional nonpartisan dalam berbagai tim kampanye partai politik, calon presiden, atau calon anggota legislatif, serta sejumlah agen periklanan dan kehumasan (domestik dan asing) juga telah menerima kontrak pelaksanaan kampanye. Fenomena amerikanisasi kampanye politik telah melahirkan beberapa kecenderungan, yaitu pertama, peran media massa dalam kampanye terus meningkat dan memainkan peran kunci (key role). Peran ini
tetapi mulai tahun 2005, PDI Perjuangan dengan tegas memposisikan dirinya sebagai partai oposisi. Ini menunjukan bahwa komunikasi politik di Indonesia semakin baik dalam mekanisme check and balances, dimana ada pihak yang mendukung kebijakan pemerintah dan sebaliknya juga ada pihak yang selalu mengkritisi kebijakan tersebut. Konsep oposisi tersebut juga ditegaskan oleh Megawati Soekarnoputri, yaitu bertujuan menegakan kehidupan demokrasi yang sehat, memperjuangkan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan sekaligus juga memberikan solusi-solusi alternatif bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Untuk Pemilu 2009 nanti, banyak kalangan memprediksi jumlah partai politik peserta pemilu akan melebihi Pemilu 2004, seperti misalnya M. Alfan Alfian (2008), Direktur Akbar Tanjung Institute memprediksi jumlahnya bisa 30-an partai politik. Pada pendaftaran peserta Pemilu 2009, sampai pada tanggal 12 April 2008, sudah 69 partai yang mendaftar, diketahui 7 diantaranya memiliki kepengurusan ganda. Bagi Alfian ini merupakan ekspresi antipartai yang anomalik, yakni tatkala ketidaksukaan pada partai politik justru direspon dengan pendirian partai-partai tandingan. Banyaknya partai politik, bagi penulis, ini tidak menguntungkan bagi proses demokrasi di Indonesia yang sedang mau beranjak dari konsolidasi menuju pematangan, karena berpotensi memunculkan fragmentasi politik. Partai semakin jauh dari kepentingan rakyat, hanya mengedepankan kepentingan elit-elit partai untuk berkuasa. 65
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
menggantikan jenis kampanye pertemuan terbuka seperti apel akbar atau bentuk-bentuk pengerahan massa lainnya dan pertemuan tertutup seperti dialog dengan para pemilih. Keberhasilan kegiatan kampanye sangat ditentukan oleh rekayasa dan kemasan penampilan partai atau kandidat di media massa termasuk pendanaan kampanye yang besar – sangat sulit bagi partai atau kandidat yang minim permodalan dapat memenangkan pemilu. Kecenderungan kedua, peran konsultan profesional (professional electioneer) dari luar partai (Thurber dan Nelson, 2000), dan semakin menggeser peran para "amatir" dari kalangan kader partai sendiri (Johnson, 2000). Kecenderungan ketiga, kian terfokusnya kampanye pada individu kandidat atau tokoh wakil partai. Hal ini membuat pemilu seolah kontes antarindividu, bukan lagi antarpartai (Mughan, 2000). Pada hakikatnya wacana “amerikanisasi” tidak hanya berhubungan dengan kampanye saja melainkan juga dengan perkembangan umum komunikasi politik yang terkait dengan istilah “demokrasi media”. Inti dari demokrasi media adalah analisa bahwa seluruh komunikasi politik sebuah negara tunduk kepada aturan-aturan yang ditetapkan media massa menyangkut langkah-langkah penyeleksian dan menarik perhatian pemirsa. Praktik komunikasi politik berbasiskan media ini telah menciptakan selebritisasi politik. John Street (2004) ataupun West & Orman (2002) pada umumnya menyatakan bahwa selebritisasi politik bukan sekedar mengarah pada artis yang masuk bidang politik, melainkan politisi yang
diberi kesempatan banyak muncul di media khususnya televisi (Gazali, 2008). Inilah yang disebut sebagai politisi selebriti. Politisi ini biasanya dibantu oleh spin doctor yang bekerja dalam bidang rekaman (record company) dan film, serta yang terpenting adalah tugasnya mengelola citra politisi tersebut. Pada akhirnya, politisi selebriti selalu berada dalam wilayah popular culture. Pemilu Presiden 2004 bisa kita sebut sebagai awal politisi selibriti dimana ditandai dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden. Kemudian dipertegas lagi dengan kemenangan Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tange rang pada Pilkada Kabupaten Tangerang 2007 ataupun Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat dalam Pilkada Provinsi Jawa Barat. 3.
Partisipasi Pemiih Partisipasi politik dalam pemilu sangat menentukan kualitas demokrasi dan pemerintahan suatu negara di masa mendatang. Perihal perilaku memilih (voting behavior) seorang individu itu sangatlah unik, karena banyak variabel yang mempengaruhinya. Bisa dikatakan juga perilaku memilih dipengaruhi oleh kelompok, karena memilih merupakan bukan hanya sebagai an individual activity tetapi lebih pada sebagai a collective activity (Evan, 2004). Sekarang di Indonesia, kencen derungan perilaku pemilih itu dapat dilihat dari hasil survei opini publik (public opinion poll) dan survei pascamemilih (exit poll) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei seperti Lembaga Survei Indonesia, Danareksa, Lingkaran Survei Indonesia, LP3ES, dll, dan bahkan hampir setiap 66
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
institusi media penerbitan/penyiaran melakukan polling (real-time poll), seperti misalnya Kompas Online, Tempo Interaktif, dll. M. Harrop dan W. Miller (1987), dalam Elections and Voters: A Comparative Introduction, menggambarkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih (Evan, 2004). Hal tersebut mereka konseptualisasikan dalam bagan berikut ini. Bagan tersebut menggambarkan bahwa identifikasi partai politik (party identification) yang dilakukan oleh pemilih, itu bersumber pada keanggotaan kelompok (group membership) dan pengaruh keluarga (family influence). Kemudian identifikasi partai tersebut akan mengarahkan pada tiga jenis sikap yaitu, sikap terhadap kebijakan partai (attitude to policies), sikap terhadap manfaat kelompok (attitude to group benefits); dan sikap terhadapt kandidat (attitude to candidates). Hasil identifikasi tersebutlah yang akan menentukan pilihan politik seorang pemilih dalam pemilu. Banyak juga pemilih di Indonesia melakukan split ticketing dalam memilih. Perilaku memilih tersebut dilakukan dengan cara membagi
pilihan politik untuk partai atau kandidat yang berbeda. Misalnya dalam pemilu legislatif, untuk DPR-RI pilihan dijatuhkan pada partai politik A, untuk DPR Provinsi pilihan dijatuhkan pada partai politik B, dan untuk DPRD Kab/Kota pilihan dijatuhkan pada partai politik C. Selain itu juga banyak dari pemilih Indonesia tergolong swinging voter, yaitu berganti-ganti pilihan politik pada saat pemilu yang berbeda, dan ini sering juga dikenal sebagai protest voter (pemilih protes) yaitu pemilih yang tak puas dengan kebijakan politik pemerintah sebelumnya. Misalnya kemenangan PDI Perjuangan pada Pemilu 1999 dengan perolehan suara 33,7 persen, yang selama Orde Baru partai tersebut belum pernah memenangkan pemilu, karena PDI Perjuangan sebagai simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Perilaku split ticketing dan swinging voting ini merepresentasikan perilaku dari floating mass. Ini disebabkan rendahnya kualitas civic or poltical education. Partisipasi pemilih pada pemilu pertama, tahun 1999, sebesar 93,3 persen. Ini merupakan prosentase yang luar biasa, dimana animo politik masyarakat Indonesia menaruh Attitudes to policies
Group membership
Attitude to group benefits
Party identification
Family influence
VOTE
Attitudes to candidates
67 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
harapan yang besar terhadap perubahan politik pasca Orde Baru yang telah mengarah pada rezim otoriter. Kemudian pada Pemilu Legislatif 2004, partisipasi pemilih turun menjadi 84,1 persen dan pemilu dimenangkan oleh Partai Golkar dengan perolehan suara 21,58 persen. Lalu untuk partisipasi Pemilu Presiden (Pilpres) juga terus turun yaitu pada Pilpres I sebesar 78,5 persen dan semakin turun pada Pilpres II menjadi 76,7 persen. Selanjutnya untuk Pilkada tahun 2005, partisipasi pemilih hanya 73,1 persen. Ini bersumber dari hasil riset yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia pada saat pemilihan Pilkada di 176 provinsi/kabupaten/kota. Lalu berdasarkan pengamatan penulis, untuk tahun 2006-2008, partispasi pemilih pada pilkada berkisar sekitar 60-an persen, semakin terus merosot. Rendahnya partisipasi atau tingginya fenomena golput dalam setiap pemilu di Indonesia seolah menguatkan pertanyaan Anthony Giddens, dalam Runaway World, How Globalization is Reshaping Our Lives (1999), haruskah kita menerima, lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik di mana demokrasi justru marak? Sebenarnya fenomena apatisme masyarakat terhadap pemilu bukan hanya khas Indonesia. Di negara-negara yang jauh lebih matang demokrasinya terjadi penurunan antusiasme politik yang lebih besar. Giddens menyebutnya sebagai paradoks demokrasi. Ketika demokrasi menyebar ke seluruh dunia, justru di negara-negara yang demokrasinya sudah maju timbul kekecewaan atas proses demokrasi. Kepercayaan
terhadap politisi menurun. Orang yang menggunakan hak pilih dalam pemilu menyurut. Semakin banyak orang yang tidak tertarik pada politik parlemen, terutama dari kelompok muda. Untuk fenomena di Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Marijan, menyatakan apatisme masyarakat timbul akibat kekecewaan karena tidak adanya perubahan signifikan yang dirasakan rakyat. Saat reformasi digulirkan, harapan masyarakat luar biasa besar. Namun, elite yang berkuasa tidak membawa perubahan yang lebih nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat lalu kehilangan kepercayaan pada politisi dan prosedur demokratik. Partai politik sebagai salah satu pemegang kunci untuk membangun kepercayaan konstituennya harusnya bisa menumbuhkan harapan perubahan. Namun, seperti yang diungkap Kacung, kepercayaan masyarakat pada partai atau pejabat politik justru terus merosot. Mayoritas parpol terbukti hanya menyentuh konstituennya di saat-saat menjelang pemilu, dengan tujuan pragmatis mengumpulkan suara. Setelah pesta usai, peran parpol seperti hilang begitu saja. Ini menujukkan pada kita bahwa partai atau pejabat politik di Indonesia selalu mengambaikan permanent campign, yaitu tidak mau atau mampu melaksanakan programprogram politik yang ditawarkan pada saat kampanye. Misalnya Pemerintahan SBY-JK yang menjanjikan perubahan pada saat kampanye Pemilu 2004, tapi kenyataannya rakyat hidupnya semakin sulit, karena 68
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
sebagai piranti (tools) untuk reformasi demokrasi (Cf. Kruach 1972; Etzioni et al. 1975). Hal itu telah merubah karakter demokrasi hingga saat ini. Menurut Thomas Zittel (2002), sekarang ini demokrasi digunakan sebagai sebuah konsep analitisempiris yang membawa asumsi dalam media digital baru pada umumnya dan jaringan komputer pada khususnya dalam proses perubahan ranah (the nature) komunikasi politik dan pemerintahan demokratis. Selanjutnya Zittel mengungkapkan “the term electronic democracy is being associated with phenomena such as party web sites, electronic voting, sending e-mails to political representatitves, political discussion fora, and even with administrative services provided over internet”.
pemerintah tak mampu memberikan solusi yang tepat sasaran. Jika perilaku partai dan penjabat politik tak berubah, boleh jadi apatisme masyarakat pada Pemilu 2009 akan meningkat lebih jauh, terutama di kelompok pemilih muda. Padahal, sebagai kelompok pemegang jumlah terbanyak, kelompok muda ini merupakan sasaran paling potensial untuk dibidik pada Pemilu 2009. Demokrasi Elektronik Konsep demokrasi elektronik merupakan perkembangan ilmu sosial dalam dekade terakhir ini. Konsep ini berawal pada tahun 1970an ketika teoritisi demokrasi menggunakan media digital baru seperti telepon dan jaringan komputer
Tabel 2 : Peta Konseptual Demokrasi Elektronik Jurisdictional Dimension Constitutional Level Institutional Level
Behavioral Level
Informal and formalized opportunities for horizontal, decentralized, and interactive communication and participation within established political association using the internet.
Individual uses of new opportunities to communicate and to participate within established associatons. Individual uses of the internet to establish new types of organizations.
Representational Dimension Electronic Voting
Decisional Dimension Electronic Referenda
Informal and formalized opportunities for direct, decentralized, and interactive vertical communication and participation between parliaments and citizen using the internet. Institutionalized opportunities to participate using the internet in the parliamentary process. Individual uses of new opportunities to communicate with representative and to participate in parliamentary process.
Informal and fomalized opportunities to receive information related to e-referenda and to engage in comprehensive horizontal and vertical debates on this information.
Individual uses of new opportunities to learn about the issues, to deliberate, and to participate in ereferenda.
69 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Dalam pandangan Zittel ada tiga dimensi teoritis dari demokrasi untuk mendefiniskan demokrasi elektronik yaitu jurisdictional dimension, decisional dimension, dan representational dimension. Ketiga dimensi tersebut digambarkan dalam Tabel 2. Sejak akhir era tahun 1990-an, lembaga pemerintahan di Indonesia, baik tingkat nasional ataupun daerah, mulai mengimplementasikan konsep e-government dengan memiliki web site. Sebenarnya bukan hanya lembaga pemerintah saja, tetapi juga partai politik dan lembaga non pemerintah (NGO/LSM) sudah memiliki website. Implementasi e-government oleh pemerintahan di Indonesia masih terkesan sebagai media sosialisasi saja, tetapi belum digunakan sepenuhnya untuk public services, mungkin baru hanya Pemda Kab. Sragen Jawa Tengah yang sudah menerapkan one gate service. Selanjutnya juga untuk e-party itu pun sama, masih sedikit sekali anggota partai politik berinteraksi dengan para politisi partainya menggunakan internet. Lalu dalam konteks pemilu, mulai Pemilu 2004, Komisi Pemilihan Umum menggunakan Situng TI (Sistem Penghitungan Teknologi Informasi) yang online dari kantor Panitia Pemilihan Kecamatan seIndonesia, tetapi cukup disayangkan hasil tersebut tidak bisa dipakai sebagai landasan hukum penetapan suara, bahkan dalam prosesnya sempat di-hacking oleh para hacker yang tak bertanggung jawab. Deskripsi tersebut di atas menegaskan pada akan pentingnya program baik yang dilakukan pemerintah ataupun lembaga nonpemerintah untuk mendorong
penggunaan internet sebagai saluran komunikasi politik tanpa batas. Indonesia adalah salah satu negara yang pertumbuhan penggunaan internetnya sangat pesat. Ini bisa kita lihat berdasarkan data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, pada tahun 1998 baru ada 512.000 orang pengguna internet, tahun 2005 meningkat tajam menjadi 8.400.000 orang dan yang lebih fantastis lagi peningkatannya yaitu pada tahun 2007 menjadi 25.000.000 orang. Perkembangan tersebut diakibatkan karena semakin massifnya penjualan personal computer (PC) dan notebook serta semakin murahnya biaya atau tarif akses internet, apalagi sekarang Pemerintah Indonesia punya program internet masuk kampung. Ini menjadi modal yang sangat besar bagi bangsa Indonesia untuk memasuki era demokrasi elektronik, dimana sudah tak ada batasan lagi untuk rakyat berkomunikasi dengan pemerintah, (kandidat) pejabat publik, partai politik dan stakeholder lainnya. Jadi demokrasi elektronik mempermudah mekanisme checks and balances pemerintahan, sehingga cepat terwujud good and clean governance. Kesimpulan Reformasi politik Indonesia tahun 1998 telah melahirkan kebebasan komunikasi politik dan demokratisasi. Komunikasi politik dan demokrasi adalah dua sisi uang yang tak bisa dipisahkan. Tidak ada demokrasi, tanpa kebebasan komunikasi politik. Media massa merupakan instrumen atau saluran utama dalam proses komunikasi politik dimana 70
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
media telah menciptakan public sphere. Tanpa adanya kebebasan media (media freedom) yang dijamin oleh hukum atau konstitusi, maka sangat sulit terwujud public sphere bagi bangsa Indonesia. Dewasa ini kebebasan media semakin terancam dengan banyaknya regulasi yang dikeluarkan untuk mengatur media media itu, atau sering disebut ancaman kriminalisasi media, misalnya seperti UU Keterbukaan dan Informasi Publik. Judulnya keterbukaan, tetapi isinya adalah ancaman, sangat ironis. Selanjutnya di negara demokratis, media massa harus mampu memfasilitasi jurnalisme publik, dimana publik memungkinkan membuat news story untuk ditayangkan di media. Sekarang di Indonesia, jurnalisme publik sudah mulai menjadi trend pemberitaan di media massa. Dalam konteks pemilu, komunikasi politik Indonesia sudah banyak perubahan. Ini terbukti dengan adanya mekanisme memilih langsung para kandidat politik, di zaman Orde Baru hal ini tidak pernah terjadi. Bahkan komunikasi politik pemilu, khususnya kampanye politik, mengalami revolusi yaitu yang dahulu memakai cara-cara konvensional dalam mempersuasi pemilih, kini menggunakan konsep amerikanisasi kampanye politik, yang pada akhirnya menciptakan politisi selibiriti. Sangat disayangkan kemajuan tersebut ternyata tidak diiringi dengan kegiatan kampanye permanen oleh para kandidat politik terpilih atau partai politik, dimana belum terbuktinya janji-janji kampanye yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bahkan rakyat dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan ekonomi,
karena pejabat terpilih tidak berdaya terhadap mekanisme pasar (internasional). Inilah menjadi penyebab utama yang mengakibatkan semakin rendahnya partisipasi politik pemilih (rakyat). Jadi bisa disimpulkan bahwa di Indonesia demokrasi hanya sebatas prosedur saja. Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangatlah pesat, ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia memasuki era demokrasi elektronik, dimana diharapkan sudah tidak ada batasan komunikasi antara pejabat publik dengan rakyatnya dan proses pengambilan keputusan politik menggunakan internet. Dari deskripsi tiga sub tema tersebut di atas – Media Massa dan Sistem Politik Demokratis, Komunikasi Politik dan Pemilu Demokratis, dan Demokrasi Elektronik – memberikan catatan pada kita bahwa saat ini bangsa Indonesia masih sulit untuk beranjak dari fase konsolidasi menuju fase pematangan demokrasi, dikarenakan hampir terancamnya kebebasan media (pers) dan semakin rendahnya partisipasi politik rakyat dalam proses pemilu akibat tidak adanya kampanye permanen atau sudah tidak percaya lagi pada partai atau kandidat politik. Akhirnya dapat disimpulkan saat ini bangsa Indonesia tetap saja mesti memperkuat kembali fase konsolidasi demokrasi. Komitmen penguatan kembali tersebut akan mempermudah bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan impiannya, yaitu good and clean governance. Hal ini juga diperkuat dengan adanya jurnalisme publik, demokrasi elektronik, dan politik oposisi di Indonesia. Akhir kata dari penulis, “Go ahead my country for the people’s welfare”. 71 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Daftar Pustaka
Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: Penerbit LP3ES
Buku Adiputra, Wisnu Martha (2006). Menyoal Komunikasi Memberdayakan Masyarakat. Yogyakarta: Penerbit Fisipol UGM, Cetakan Pertama.
Kavanagh, Dennis (1995). Election Campaigning, The New Marketing of Politics. Oxford, UK: Blackwell Publishers, Ltd.
Armando, Ade (2002). Independensi Media, Public Sphere, dan Demokrasi di Indonesia. dalam Maruto MD & Anwari WMK (Ed.). Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: Penerbit LP3ES
Kovach, Bill &Tom Rosenstiel (2001).The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. terjemahan Yusi A. Pareanom (2003). Elemenelemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan yang Diharapkan Publik. Jakarta: Institute Studi Arus Informasi & Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Chaniago, Andrinof A. (2002). Rintangan-rintangan Demokratisasi di Indonesia. dalam Maruto MD & Anwari WMK (Ed.). Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi. Jakarta: Penerbit LP3ES
McQuail, Denis (2000). McQuail’s Mass Communication Theory. Fourth Edition. London: SAGE Publication, Ltd.
Clack, George, et al (2001), Demokrasi, USA: Office of International Information Program, U.S. Departement of State, http://usinfo.state.gov
Nimmo, Dan (1978). Political Communication and Public Opinion in America. California: Goodyear Publishing Company. Rauf, Maswadi (1993). Komunikasi Politik: Masalah Sebuah Bidang Kajian dalam Ilmu Politik. dalam Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (Ed.). Indonesia dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Curran, James (2002). Media Power. London: Routledge. Evans, Jocelyn A.J. (2004). Voters & Voting: Introduction. London: SAGE Publications. Haris, Syamsudin (2002). Konflik Elite Sipil dan Dilema Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. dalam Maruto MD & Anwari WMK (Ed.). Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat,
Rogers, Everett M. (2004). Theoritical Diversity in Political Communication. in Lynda Lee Kain (Ed.). Handbook of Political Communication Research. New 72
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
Jersey: Lawrence Associates
Erlbaum
2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Sabirin, Tabrani, M.A. (2000). Mengantar Bangsa Menuju Demokrasi, Peran & Sumbangsih KPU dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KPU-LPSI, cetakan ke-1
Gazali, Effendi (2008). Mengapa Hade Syampurno?. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 18 April 2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Street, John (2003). The Celebrity Politician: Political Style and Popular Culture. in John Corner & Dick Pels (Edts.). Media and The Restyling of Politics: Consumerism, Celebrity and Cynicism. London: SAGE Publications.
Kleden, Ignas (2004). Partai Politik dan Politik Partai. dalam Majalah Berita Mingguan TEMPO. 2004: Ketika Presiden Dipilih Langsung. Edisi 29 Desember 2003 – 04 Januari 2004 (Edisi Khusus Akhir Tahun). Jakarta: PT. Tempo Inti media, Tbk. p.68-69.
Suwardi, Harsono (2003). Modul Mata Kuliah Komunikasi Politik. Jakarta: FISIP Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, makalah tak diterbitkan.
Sudibyo, Agus (2008), Transparansi Sepenuh Hati?. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 7 April 2008,. Jakarta: PT. Gramedia, p.6.
Zittel, Thomas (2004). Political Communication and Electronic Democracy, American Exceptionalism or Global Trend?. In Frank Esser & Barbara Pfetsch. Comparing Political Communication. UK: Cambridge University Press.
Wicaksono, Bayu (2008), Implementasi UU Informasi dan Transaksi Electronik. dalam Surat Kabar KORAN TEMPO. Jumat, 4 April 2008. Jakarta: PT. Tempo Inti Media Harian, p. A10. Sumber Web Site Hidayat, Dedy N (2004). Amerikanisasi Industri Kampanye Pemilu. Opini Kompas Rabu, 11 Februari 2004 dalam http://64.203.71.11/kompascetak/0402/11/opini/848378.htm
Surat Kabar/Majalah Alfian, M. Alfan (2008). Anomali Antipartai di Indonesia. dalam Surat Kabar KORAN TEMPO. Selasa, 1 April 2008. Jakarta: PT. Tempo Inti Media Harian, p. A10.
Politisi, Forum. Amerikanisasi” Komunikasi Politik?. dalam http://forumpolitisi.org/pusat_data/umum/arti cle.php?id=12&title=%E2%80%9
Batubara (2008). UU ITE Ancaman Kebebasan Pers. dalam Surat Kabar KOMPAS, Senin, 7 April 73
Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005
CAmerikanisasi%E2%80%9D%2 0Komunikasi%20Politik? Suwardiman (2007). Menakar Potensi Pemilih 2009. dalam http://www.kompas.com/kompascetak/0609/19/Politikhukum/2965 666.htm Tribun Jabar, Koran. Golput Pilkada Rata-rata 27,8 Persen. dalam http://www.tribunjabar.co.id/artike l_view.php?id=77&kategori=13
74 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2005