Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal1 TB. Massa Djafar2
Pendahuluan Perubahan politik dari Orde Baru ke Orde Demokrasi membawa implikasi politis yang luas. Kekuasaan tidak lagi terpusat pada satu kelompok politik saja, yakni lembaga eksekutif (pemerintah), melainkan menyebar, terdistribusi secara proposional kepada berbagai kelompok strategis. Mekanisme politik mengarah pada perimbangan kekuasaan. Kekuasaan dan kewenangan terbagi setara pada lembaga-lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ini menunjukan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam proses kekuasaan semakin plural. Secara vertikal, perubahan kekuasaan menunjukkan bahwa politik tidak lagi didominasi pemerintah pusat. Melalui undang-undang otonomi daerah, kekuasaan dan kewenangan menyebar ke daerah (sebagai satuan politik). Ini sejalan yang dikemukakan Smith (1985:45) bahwa demokrasi sistem pemerintahan lokal bisa dimaknai melalui konsep desentralisasi, yaitu pendelegasian wewenang ke tingkat yang lebih rendah (dalam suatu hirarki territorial, hirarki pemerintahan dalam suatu negara, maupun bagian-bagian dan suatu organisasi besar). Realitas politik ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan negara dan pemerintahan melibatkan banyak aktor, baik langsung maupun tidak langsung. Perkembangan politik ini merupakan hasil demokratisasi, dimana perubahan politik sedang bergerak ke arah konsolidasi sistem politik demokratis (Linz dan Stepan, 1989). Dalam perspektif pembangunan politik, demokrasi pada hakikatnya adalah sebuah proses perubahan politik yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama, demokrasi sebagai kekuatan perubahan yang melahirkan kemajuan pada berbagai bidang pembangunan. Sisi kedua, demokratisasi juga dapat melahirkan kemunduran, bahkan kehancuran bagi sistem demokrasi itu sendiri. Permasalahannya adalah, bagaimana kedua kecenderungan tersebut mempengaruhi proses demokrasi yang sedang berjalan? Apa peran DPRD dalam memperkuat sistem politik dan mendorong demokratisasi politik lokal?
Demokrasi dan Demokratisasi Politik Lokal Pada tingkat lokal, adakalanya demokrasi hanya difokuskan pada institusi pemerintahan saja. Ted Robert Gurr (1996:5) misalnya sangat menekankan keberadaan institusi eksekutif. Menurut
Versi revisi dari makalah yang disampaikan pada Workshop Capacity Building anggota DPRD Tingkat II Sulawesi Selatan, 16 Juli 2007. 2 Pengajar FISIP dan Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional. 1
1
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Gurr, demokrasi mengandung empat unsur: 1) persaingan partisipasi politik, 2) persaingan rekruitmen politik, 3) keterbukaan rekruitmen eksekutif, dan 4) tantangan yang dihadapi eksekutif. Pendapat ini semestinya juga memasukkan dimensi lain, karena keberadaan eksekutif di daerah tidak bisa dilepaskan dari proses dan hasil pemilu yang melibatkan sejumlah aktor politik. Sebagai mekanisme sistem politik, sebagaimana dikemukakan Mitchell dan Simmons (1994:41), demokrasi terdiri dari empat kelompok pembuat keputusan: pemilih, parlemen, birokrat, dan kelompok kepentingan. Kelompok-kelompok ini bersaing memperebutkan posisi dan kekuasaan , baik pada level nasional maupun lokal. Demokrasi, menurut Dahl (1999), harus dilihat sebagai proses politik yang membuka peluang bagi partisipasi politik rakyat untuk secara efektif melakukan pengawasan terhadap agenda dan keputusan politik. Pendapat serupa juga dikemukakan Holden (1975:8), di dalam demokrasi rakyat diberikan hak membuat keputusan (dalam bentuk kebijakan publik) menyangkut masalah-masalah penting. Pendapat Dahl dan Holden sangat relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia baik pada tingkat nasional maupun lokal, yang memberikan peluang peranan atau partisipasi politik rakyat untuk mengawal agenda reformasi, karena, seperti dikemukakan Almond dan Nelson (1982), partisipasi politik rakyat merupakan salah satu tolok ukur penting untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratik, otoriter, atau bentuk sistem politik lainnya. Banyak pendekatan bisa digunakan untuk melihat model mana yang berlaku pada suatu negara dunia ketiga, walaupun tidak mencakup semua ciri pada suatu model. Chai Anand, misalnya , menggambarkan tiga model sistem politik di dunia ketiga (Tabel 1). Model ini sangat mempengaruhi sistem politik lokal. Tabel 1. Ciri utama degara dalam tiga dimensi Ciri Pembangunan
Dimensi Keamanan
Dimensi Partisipasi
Dimensi Pembangunan
Nilai dominan kemajuan
Persatuan, kestabilan
Persamaan, kebebasan
Moderinisasi
Kemakmuran, efesiensi
Tatanan, disiplin, penghargaan, keberanian
Kemerdekaan, keadilan, partisipasi
Kestabilan
Struktur kekuasaan dominan
Militer dan polisi
Institusi politik parpol, kelompok kepentingan, LSM
Birokrasi
Hubungan dengan masyarakat
Tertutup, mobilisasi, paksaan, kudeta
Terbuka, partisipasi, otonom
Dualistis (semi terbuka), kudeta
2
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Menurut model di atas, negara-negara dapat digolongkan ke dalam tiga dimensi, bergantung pada usaha pembangunan di setiap negara, apakah lebih memfokuskan/mengutamakan keamanan (Security) atau partisipasi (Participation), atau pembangunan (Development). Mengacu pada tiga tolok ukur itu, secara teoritis dapat diwujudkan empat pilihan corak yaitu: Security Participation Development (SPD), Development Security Participation (DSP), Development Participation Security (DPS), dan Participation Security Development (PSD). SPD adalah model rejim autoritarian yang berlangsung pada masa pemerintahan Soeharto. Pada masa reformasi (pasca Orde Baru), corak pemerintahan Indonesia menerapkan pola ketiga yaitu PSD (participation, security, development), menafikan pola PSD yang dijalankan rajim Soeharto. Rejim demokrasi telah menumbuhkan ruang partisipasi politik, ditandai dengan kelahiran banyak partai politik, kelompok kepentingan, dan kelompok penekan; kebebasan media; pemilu yang bebas dan jujur; dan partisipasi politik. Pada satu sudut, suasana demokratik ini memberikan kegairahan politik bagi rakyat. Namun dari sudut lain , kebebesan tersebut kerap mengundang ketidakstabilan politik dan keamanan. Padahal, ketidakstabilan politik dan keamanan (pada tingkat lokal dan nasional) sangat dibutuhkan untuk memacu pembangunan ekonomi kestabilan politik.
Kemampuan DPRD dalam
merumuskan kebijakan bersama pemerintah daerah sangat menentukan dalam melahirkan kebijakan dan regulasi untuk menarik investasi. Bagaimana menjalankan pembangunan politik lokal dalam konteks demokratisasi? Tampaknya suatu generalisasi tentang demokratisasi, sebagaimana dikemukakan Huttington (1991), perlu dipertimbangkan. Demokratisasi yang terjadi pada gelombang ketiga demokratisasi disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks. Secara teoritis, pendemokrasian di Indonesia bersumber pada krisis legitimasi, kelas menengah, (pertumbuhan) ekonomi, budaya (agama), dan campur tangan negara luar (kebijakan AS dan sekutunya). Faktor-faktor tersebut menjadi pendukung sekaligus penghalang tumbuh dan berkembangnya demokrasi (Huttington, 1991). Tentu saja generalisasi ini harus dilihat secara kritis, dan dikaitkan dengan fenomena yang berkembang di daerah (sekarang dan masa datang). Kelas menengah, ekonomi, agama atau budaya adalah faktor-faktor yang banyak mempengaruhi demokratisasi di Indonesia. Faktor penting lain yang patut dipertimbangkan adalah peranan elit politik, dalam hal kemampuan secara tepat mengambil keputusan politik yang menjangkau masa depan dan mendisain kebijakankebijakan pendukung dari keputusan politik yang diambil tersebut. Seperti dikemukakan Linz dan Stepan (1978), peranan elit politik merupakan variabel penting, terutama terhadap keberhasilan demokratisasi dan demokrasi di suatu negara.
3
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Masalah Penguatan Politik Lokal Demokratisasi, sebagai perubahan yang telah diperjuangkan sejak munculnya peradaban manusia, tidak selalu bisa digapai sesuai harapan. Negara-negara yang berhasil akan menjadi negara yang kuat dan berjaya. Tapi banyak negara melakukan demokratisasi dan reformasi dengan jalan yang berliku-liku penuh tantangan dan pengorbanan, bahkan berujung kehancuran. Uni Soviet, yang hancur terpecah menjadi negara-negara kecil, adalah contoh kegagalan negara dalam mereformasi dirinya. Demokrasi adalah peradaban yang tidak mungkin dielakkan pada abad 21 ini. Hampir tidak ada negara yang mampu mengisolasi diri dari pengaruh demokratisasi (Fukuyama, 1992). Kepercayaan terhadap sistem politik demokratis terus meningkat, seperti digambarkan Diamond (2002:7): pada 1997 terdapat 117 negara demokratis, tahun 2002 menjadi 121. Demokrasi menjadi nilai-nilai peradaban umat manusia, jika tidak, suatu negara tidak hanya tersisihkan dalam percaturan dunia, tetapi juga menjalani kemunduran bahkan kehancuran. Persoalannya adalah bagaimana merumuskan bentuk demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai tradisi, potensi sosial ekonomi, dan politik lokal. Model demokrasi pada hakikatnya tidak bisa di-fotocopy seratus persen dari pengalaman negara atau daerah lain. Karena setiap negara atau daerah (lokal) tidak seragam: mereka memiliki pengalaman sejarah dan menghadapi masalah yang berbeda. Palma (1990) mengemukakan bahwa bagaimana dan kapan demokrasi diberlakukan sangat tergantung situasi dan kondisi setempat. Para pakar politik telah banyak menyoroti keunikan suatu bangsa atau negara dalam hal kenyataan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, persamaan, dan pemerataan. Menurut Dahl (1971), persamaan mutlak tidak mungkin pernah ada. Pemaksaa oleh negara atau pemerintah, malah bukan menimbulkan persamaan dan keadilan yang dicita-citakan melainkan ketidaksamaan. Di negara-negara demokrasi yang maju ketidaksamaan tetap ada, namun ketidaksamaan ini bersifat relatif. Oleh karena itu, tumpuan utama negara-negara demokrasi maju adalah memusatkan perhatian pada mencari cara-cara mengurangi sumber-sumber ketidaksamaan (ketimbang berusaha melaksanakan persamaan dalam masyarakat). Berbagai cara dilakukan untuk mencapai persamaan, dengan jalan memperluas pendistribusian sumbersumber kekuasaan, ekonomi, dan kesempatan. Penyebaran nilai-nilai demokrasi bisa dilakukan dalam berbagai bentuk: undang-undang, pendapatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, perlindungan hukum, keadilan, dan lain-lain. Pelembagaan otonomi daerah, melalui undang-undang otonomi daerah, dapat ditafsirkan sebagai upaya mencapai persamaan dan keadilan sosial, ekonomi, dan politik antara wilayah
4
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 dan daerah dari Sabang sampai Marauke. Dalam konteks demokratisasi politik lokal, Indonesia telah melakukan reformasi kelembagaan politik lokal sebagai wujud pendistribusian kekuasaan dan kewenangan dalam konsep otonomi daerah. Sejak reformasi digulirkan, Indonesia telah memiliki undang-undang politik pemerintahan daerah. Sebut saja misalnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Tentang Pemerintah Daerah. Semangat undang-undang tersebut dapat dilihat dari klausul yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban otonomi daerah. Ini dilaksanakan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat malalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan daerah dalam sistem NKRI. Perubahan pada UU No. 32 Tahun 2004 mencakup pula substansi pembagian kekuasaan pusatdaerah: ‘kewenangan’ menjadi ‘urusan’ dan perubahan posisi pemerintah pusat (termasuk propinsi) dalam hubungan dengan pemerintah daerah otonom (kabupaten dan kota). Penggeseran nilai-nilai kekuasaan dan demokrasi dapat saja
terjadi akibat tarik-menarik
kepentingan berbagai aktor, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun antara kelompok partai politik dan kelompok kepentingan. Apakah tarik-menarik kekuasaan ini tidak akan mengorbankan kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan sejati? Padahal, semangat pelembagaan otonomi daerah adalah menolak dominasi pemerintah pusat, menghindari pembengkakan birokrasi, dan mendorong parsitipasi rakyat dalam menentukan nasib dirinya sendiri dan keberhasilan pembangunan daerah. Pada tahap dini, nampak sedang terjadi pergeseran kekuasaan di mana kekuasaan lokal mulai ditarik lagi oleh pemerintah pusat, proses demokratisasi di tingkat lokal menunjukan adanya kontroversi antara legitimasi dan kewenangan yang sejatinya dimiliki oleh pemimpin daerah yang memenangi pilkada. Legitimasi politik yang diperoleh kepala daerah terpilih tidak sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya, karena penyelenggaraan ‘urusan’ pemerintah daerah masih berada dalam ‘pembinaan dan pengawasan’ pemerintah pusat. Menurut peneliti LIPI Syamsuddin Haris (2005), pemerintahan lokal era pilkada langsung tidak memiliki otonomi penuh atas urusan rumah tangga daerahnya karena setiap saat berada dalam kontrol dan kendali pemerintah pusat. Dalam konteks ini Haris menunjukan ada 4 (empat) implikasi yang timbul. Pertama, penurunan derajat otonomi daerah melalui perubahan konsep
5
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 kewewenangan menjadi urusan menggeser konsep otonomi daerah dari desentralisasi politik menjadi desentralisasi administratif. Kedua, perluasan peranan pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan daerah. Ketiga, menguatnya birokrasi dalam demokrasi di tingkat lokal. Penciptaan mekanisme konsultasi antara DPRD kabupaten dan kota dengan gubernur mendistrosi kedaulatan DPRD yang dipilih rakyat melalui pemilu yang demokratis dan kedaulatan kepala-kepala daerah hasil pemilihan langsung oleh rakyat dalam pilkada. Keempat, distrosi hakikat pemerintah daerah dan DPRD sebagai lembaga demokrasi hasil pemilu demokratis. Fenomena ini dapat dibaca sebagai gejala awal menempatkan kembali kepala daerah di bawah pengaruh pemerintah pusat atau kepanjangan tangan pemerintah pusat, seperti masa Orde Baru. DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap kepala daerah, memposisikan kepala daerah sebagai penguasa kuat di daerah sebagai ‘penguasa tunggal’ (Isbodroini, 2000:23). Fenomena yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa proses demokratisasi tidak selamanya berjalan linier, dan sangat bergantung pada aktor-aktor politik yang menjalankan fungsi kelembagaan politik dan pemerintahan: pemerintah, anggota legislatif, dan kelompok masyarakat. Proses-proses politik lebih banyak bermuatan kepentingan kekuasaan, ketimbang menguatkan kedaulatan rakyat sebagai esensi otonomi. Proses politik pada era demokrasi seharusnya menguatkan sandi-sandi kedaulatan rakyat. Proses politik seharusnya mendorong desentralisasi kekuasaan kepada daerah, bukan sebaliknya seperti yang terjadi yakni sentralisasi kekuasaan, sebagai titik balik demokratisasi (Huttington, 1991). Jika ini terjadi, demokrasi menjadi proses penghancuran terhadap sistem politik: kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi pada oligarki pemerintahan atau partai politik. Format politik seperti ini tidak mungkin menciptakan kemandirian politik daerah dan kemajuan dalam berbagai bidang. Proses reduksi kekuasaan lokal oleh pemerintah pusat ini membuka ruang sekaligus menyamai potensi konflik pemerintah pusat dan daerah sebagai penyakit akut warisan sejarah masa lalu yang justru melemahkan integrasi nasional (Praktikno, 2002:34-35).
Tantangan Penguatan Demokrasi Politik Lokal Konstitusi, sebagai landasan politik yang sementara ini dapat
digunakan untuk
memaksimalkan pencapaian demokratisasi, harus dipegang sebagai strategi perubahan politik agar hasil yang dicapai dapat memperkuat sistem pemerintahan lokal dan percepatan pembangunan daerah. Lebih jauh, domoktratisasi harus dipandang sebagai transformasi nilainilai demokratis dan bukan hanya perkara perlembagaan atau perundangan yang bersifat statik. Ini berarti demokrasi difahami sebagai nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok masyarakat untuk mengatur arah penyelenggaraan pemerintahan yang demokratik: demokrasi
6
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 akan membangkitkan potensi masyarakat lokal. Sejalan dengan pemikiran itu, Riswandha (2002:46) berpendapat bahwa demokratisasi juga membawa pengaruh pada penguatan dan pengembangan masyarakat lokal, terutama dalam aspek pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan politik, peningkatan rasa tanggungjawab, mempengaruhi kebijakan, dan meningkatkan kemampuan pemerintah melayani keinginan rakyat. Landasan teoritis di atas tidak akan bermakna jika proses politik empirik tidak memperkuat demokratisasi dan politik lokal. Dari gejala yang tampak, ada beberapa kendala yang menghadang penguatan politik lokal, antara lain : 1.
Paradigma NKRI sebagai paradigma politik dan pemerintah ditafsirkan secara doktrinal, ketimbang sebagai konsep yang dinamis dan demokratis. Konsep NKRI justru diarahkan pada strategi integrasi politik bangsa yang cenderung mengabaikan pluralitas aspirasi bangsa. Secara sistematis jargon NKRI dijadikan alat pemukul bagi kelompok berkuasa, baik itu pihak pemerintah pusat maupun oligarki partai politik, untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan.
2. Sistem kepartaian tidak membuka ruang dan efektifitas politik dalam upaya menguatkan politik lokal. Orientasi politik lebih kuat kepada nilai-nilai dan struktur kekuasaan parpol di tingkat pusat, ketimbang menyerap realitas politik lokal dan komitmen pembangunan daerah. 3. Pemilu, sebagai mekanisme rekruitmen politik, belum mampu menjaring elit politik lokal yang berkualitas, karena beberapa sebab seperti menguatnya pengaruh politik uang (money politics) dan rendahnya pendidikan dan kesejahteraan rakyat pemilih. 4. Interaksi
elit politik di daerah mudah teperangkap pada kepentingan kelompok atau
pribadi ketimbang kepentingan mengelola hak-hak otonomi daerah sebagai wilayah kedaulatan dengan visi jauh ke depan untuk membangun masyarakat lokal yang lebih maju dan pemerintahan lokal yang modern dan demokratik. 5. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sebagai katalisator kepentingan politik belum mampu berperan menjadi ‘integrator’ dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Disamping itu, akibat keterbatasan kewenangannya, DPD tidak memberi pengaruh signifikan terhadap mekanisme cheks and balances antara pemerintah pusat dan daerah. Celakanya, terbatasnya otoritas kekuasaan dan kewenangan DPD diikuti dengan pembatasan peran DPRD. Ketika krisis ekonomi dan moneter melanda sebagian dunia pada tahun 1997, khususnya negara-negara dunia ketiga, Indonesia merupakan negara yang paling lamban mengalami pemulihan ekonomi. Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan ekonominya sudah kembali normal dalam waktu tiga tahun. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia masih dirasakan hingga kini: pengangguran meningkat,
7
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 mikro ekonomi sangat lambat bergerak, dan tingginya biaya hidup. Struktur APBN masih dibebani beban hutang, sedangkan belanja daerah masih kecil, hanya 30%. Ini tentu tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah yang sedang dibangun. Celakanya, di tengah pembangunan sistem demokrasi yang memerlukan biaya besar, tidak bisa dipungkiri mendirikan parpol dan menyelenggarakan pemilu yang fair memerlukan biaya yang tidak sedikit, padahal Indonesia masih terjerat krisis ekonomi dan kemiskinan. Juga perlu biaya yang besar untuk membangun prasyarat demokrasi, terutama meningkatkan pendidikan dan pembangunan ekonomi. Sebab demokratiasi harus berjalan seiring dengan pembangunan pendidikan dan ekonomi rakyat, untuk menopang sistem demokrasi yang stabil. Paling tidak, harus dicapai tingkat pendidikan rata-rata SLTP dan GNP 2500 USD sebagai prasyarat demokrasi. Standar sosial ekonomi ini adalah prasyarat minimal yang harus dimiliki setiap negara demokrasi baru, agar demokrasi berjalan menghasilkan demokrasi yang berkualitas. Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah praktek demokrasi yang paling spektakuler dalam tradisi demokrasi di Indonesia. Demokratisasi merupakan peluang untuk merekrut elit politik yang berkualitas dan menentukan kebijakan pembangunan sendiri, walaupun kenyataannya berkata lain. Salah satu masalah yang dihadapi demokratisasi di Indonesia adalah proses ‘pembusukan politik’ yang dilakukan aktor-aktor politik dan ekonomi justru dalam rezim demokrasi. Demokrasi tidak menguatkan kedaulatan politik rakyat, yang lebih mengemuka adalah ‘politik uang’ (money politics). Kekuasaan menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Fenomena money politics mereduksi makna kekuasaan dan substansi demokrasi. Uang menjadi penentu dalam proses politik, menabrak etika politik, mengalahkan rasionalitas politik, dan melemahkan proses pembentukan sendi-sendi hukum dan demokrasi. Gejala ini memperkuat mata rantai korupsi, menyuburkan praktek korupsi melebihi era Orde Baru. Indonesia termasuk salah satu negara mendapat rangking lima besar terkorup di dunia, justru terjadi era demokrasi. Seakan penyebaran pusat-pusat kekuasaan atas prinsip-prinsip demokrasi hanya melahirkan peluang bagi elit yang memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan korupsi, sebagaimana ungkapan “dimana ada kekuasaan disitu ada korupsi”. Tidak heran jika banyak pihak menilai bahwa demokrasi hanya membuahkan kekacauan baru. Macpherson membenarkan pernyataan ini: demokrasi memang sering mengecewakan (1972:1). Nampaknya ekses dari perubahan politik di Indonesia, kekuatan uang, yang semula tidak diperhitungkan, telah mewarnai orientasi politik masyarakat. Faktor ekonomi memberikan sumbangan yang positif bagi pertumbuhan demokrasi (Lipset, 1963), yang kita hadapi adalah perkembangan ekonomi yang merosot kurang mendukung tumbuhnya demokrasi yang sehat., Pengaruh yang terjadi dari sisi nilai ekonomi dalam arti negatif adalah money politics: uang menjadi alat kekuasaan, di tengah kesejahteraan masyarakat yang melemah dan ekonomi negara yang terpuruk.
8
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Realitas politik di Indonesia membawa dua dampak: positif dan negatif. Faktor-faktor pendemokrasian tidak berlaku secara berkelanjutan, sebagaimana negara-negara maju atau negara-negara Eropa Barat. Beberapa faktor seperti faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada setiap daerah berbeda, dan dapat memiliki makna terbalik (bahkan mengundang kontroversi) yang menghambat demokratisasi dan reformasi.
Kepemimpinan Politik dan Fungsi DPRD Perubahan-perubahan pola dalam pendemokrasian dapat dijelaskan dengan memberikan perhatian pada peranan signifikan elit politik. Ini mengisyaratkan interaksi dan dinamika peranan elit, serta konflik kepentingan yang tinggi. Pola demokratisasi yang berlangsung di Indonesia menunjukkan pola perubahan yang tidak berjalan secara teratur mengacu pada suatu pola yang stabil, yang terjadi adalah bentuk kombinasi antara satu pola dengan pola lain. Kombinasi pola ini terbentuk tidak lain adalah hasil perilaku elit politik. Pola perubahan atau demokratisasi tidak menjurus kepada satu pola perubahan yang stabil., Dalam kasus di Indonesia pola-pola perubahan kemungkinan tidak mengarah kepada suatu pola yang baku, seperti yang dikemukakan Huttington. Dinamika politik mengisyaratkan polapola perubahan tersebut dapat berlaku bersamaan, membentuk kombinasi pola perubahan. Bentuk pertama, berlaku pola transformation, perubahan ini dipimpin oleh elit politik. Pola kedua transplacement adalah pola perubahan melalui proses bargaining antara kekuatan elit politik dengan kekuatan arus bawah. Ketiga, replacement, pola perubahan dari bawah. Keempat adalah
kombinasi
pola
perubahan
transformation-transplacement.
Kelima,
pola
tranplacement-replacement, sebagai bentuk perubahan yang sangat dinamis dan tidak stabil. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kestabilan politik di Indonesia sangat diperlukan karena pemerintah yang berkuasa perlu memusatkan perhatian untuk memecahkan berbagai problematik masalah-masalah yang sangat kompleks, khususnya masalah ekonomi. Demokrasi diharapkan berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang sehat, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat mengenyam kesejahteraan, bukan sebaliknya. Demokrasi juga berkorelasi dengan ketertiban dan tegaknya hukum, sehingga tercapai stabilitas politik dan pemerintahan. Proses demokratisasi yang ingin dicapai adalah terbentuknya suatu sistem demokrasi. Ketidakpercayaan bangsa ini terhadap demokrasi tercatat dalam sejarah negara Indonesia, tangan para elit politik tidak berhasil membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, sehingga menggugat sistem demokrasi konstitusional (1945-1959), lalu beralih kepada sistemsistem Demokrasi Terpimpin dan Pancasila yang autoritarian.
9
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Melihat pengalaman demokrasi di Indonesia, Afan Gafar (1995) mengatakan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara-negara berkembang adalah ‘demokrasi tidak lazim’ (uncommon democracy). Dari segi persyaratan demokrasi sebenarnya negara-negara demokrasi baru tidak layak menjadi sebuah negara demokrasi, sebagaimana pengalaman negara-negara barat. Namun pada abad 21 banyak muncul negara-negara demokrasi baru yang secara perlahanlahan memenuhi standar demokrasi negara-negara lama, khususnya pencapaian dalam bidang ekonomi. ‘Demokrasi tak lazim’ ini membuka peluang dan tantangan bagi para elit politik untuk mendesain model-model demokrasi yang memiliki akar budaya dan sesuai potensi sosial dan ekonomi rakyatnya tanpa mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan pencapaian kualitas demokrasi. Ini dapat dilakukan para elit politik dengan menggunakan berbagi instrumen demokrasi, seperti lembaga pemilu, parpol, pemerintahan, dan parlemen. Keberhasilan upaya ini akan sangat ditentukan oleh political will dan capacity building elit politik. Salah satu perubahan politik pasca Orde Baru yang sangat signifikan adalah penguatan politik lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Lembaga perwakilan rakyat merupakan representasi rakyat melalui mekanisme partai politik dan pemilu. Pada era reformasi ini boleh dikatakan kedaulatan rakyat eksis melalui peranan DPRD, karena DPRD memiliki bargaining position yang signifikan. Masalahnya adalah apakah dengan penguatan peran DPRD secara otomatis mampu meningkatkan kualitas demokrasi. Peranan yang dimainkan oleh DPRD dapat dilihat dari fungsi yang dimilikinya: legislasi, budgeting, pengawasan, dan fungsi-fungsi lainnya. Melalui fungsi-fungsi legislatif yang dimiliki, kekuasaan yang dimiliki DPRD dapat diarahkan untuk mempengaruhi proses penyusunan rencana pembangunan dan anggaran sehingga dapat membawa perubahan signifikan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, kinerja pemerintahan, dan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan apakah fungsi-fungsi yang dijalankan DPRD sudah mengarah kepada peningkatan kualitas demokrasi, dapat diukur dari: a.
Pencapaian kesejahteraan masyarakat dalam berbagai sektor secara terukur dengan standar yang telah ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah.
b. Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan profesional, dan kemampuan pemerintah mencapai target pembangunan dalam berbagai sektor. c.
Meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam proses pemilihan para pemimpin, pengambilan keputusan, dan keikutsertaan mengawal agenda pembangunan.
d. Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dan aparatur pemerintahan. e.
Derajat otonomi yang semakin meningkat, baik dalam pemerintahan, pembangunan, ekonomi, dan sumber daya manusia.
10
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Meskipun secara teoritis dan konstitusional DPRD memiliki peranan sendiri yang berbeda dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah, namun secara politik baik pemerintah daerah maupun DPRD memiliki tanggung jawab yang sama. Keduanya adalah representasi kekuatan masyarakat, memiliki kedaulatan yang didapat melalui prosedur demokrasi yang pada gilirannya harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pemilu. Dalam era demokrasi yang mendorong kompetisi, keberhasilan daerah tidak lain adalah keberhasilan kolektif suatu daerah atau masyarakat lokal yang diperbandingkan dengan masyarakat daerah lain. Pada satu tahap, demokrasi lokal merupakan persaingan kekuatan sosial politik atau elit politik lokal dalam memanfaatkan peluang politik yang tersedia, namun pada tahap kedua demokratisi lokal merupakan keberhasilan kolektif semua elemen politik suatu daerah dihadapkan pada sistem politik daerah lainnya. Keberhasilan demokrasi suatu negara dalam kaitan otonomi daerah sangat ditentukan oleh demokrasi lokal. Di masa yang akan datang, politik lokal akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekuatan politik domestik, dan menopang sistem politik nasional dalam percaturan politik internasional. Proses-proses politik yang berjalan seharusnya bermakna saling memperkuat, menuju kesederajatan antara pemerintah pusat dan lokal. Hakikat negara sesungguhnya ada pada level politik lokal, tanpa mengurangi konstribusi bagi kepentingan integrasi nasional (Smith 1985).
Penutup Demokrasi dan demokratisasi adalah bentuk perubahan multidimensi yang harus disikapi secara cerdas dan inovatif. Jika tidak, demokrasi dan demokratisasi menjadi malapetaka di tengah rendahnya pendidikan dan kemerosotan ekonomi. Demokrasi dan demokratisasi adalah model yang diadopsi dari dunia barat yang memiliki sejarah dan peradaban yang berbeda. Paradigma ketatanegaraan juga ikut menentukan dalam memilih solusi bentuk pelembagaan politik berupa undang-undang mekanisme pembagian kekuasaan dan kewenangan antara pusat-pusat kekuasaan, khususnya antara pemerintah pusat dan lokal. Termasuk di dalamnya tentang mekanisme rekruitmen politik, apakah mampu melahirkan elit-elit politik di pemerintah, parlemen (DPRD), dan parpol lokal yang berkualitas dan mempunyai integritas moral tinggi. Kemampuan para elit politik akan menentukan dalam mengelola demokrasi dan demokratisasi sebagai konsep dan strategi untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara ditengah persaingan global. Pilihan-pilihan strategis yang diambil oleh para elit politik sangat menentukan apakah suatu negara atau suatu daerah berhasil membangun sistem demokrasi yang stabil dan pencapaian kesejahteraan rakyatnya. Keberhasilan pembangunan politik di
11
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 tingkat lokal akan memberikan sumbangan terhadap pembangunan dan integrasi politik nasional.
Daftar Pustaka Gafar, Afan. 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Almond, Gabriel dan Bringham Powel, Jr. 1980. Comparative Politics: A Development Approach, Boston MA : Little Brown and CO. Macpherson, C.B (1972). The Real World of Democracy. New York: Oxford University Press. Dahl, Robert. 1999. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Jakarta: Yayasan Obor. _________ . 1996. On Democracy. Jakarta : Yayasan Obor. Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy, Toward Consolidation. Johns Hopkins University Press. Di Palma, Giuseppe. 1990. To Craft Democracies: An Essay on Democratic Transitions. Berkeley, CA: University of California Press. Fukuyama. Francis. 1992. The end of the last man. New York, NY: Free Press. Huntington, Samuel P. 1991. The Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press. Seymor, Martin Lipset. 1963. Political Man. London: Mercury Books. Smith, B.C. (1985), Decentraliztion, The Territorial Dimension of the State. London: Allen & Unwin. Haris, Syamsuddin. 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligharki Partai. Jakarta: Gramedia. Isbodroini. 2000. Dalam Syamsuddin Haris (Edt.). Desentralisasi. Demokratisasi dan Akuntanbilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia. Praktikno.2000. Dalam Syamsuddin Haris Edt.). Desentralisasi. Demokratisasi dan Akuntanbilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: Gramedia. Linz, Juan J. and Alfred Stepan. 1978. The Breakdown of Democratic Regimes. Baltimore: John Hopkins University Press.
12