Jurnal Komunikasi Massa Vol. 2 No. 2 Januari 2009 hal. 91-96
Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik Mursito BM Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak Radio dan televisi bersinergi dengan telepon, kemudian membangun sebuah institusi yang populer disebut “dialog interaktif”. Di bawah payung kebebasan, ketiganya menggerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi, yang di masa Orde Baru dibuat “diam”, kini dirangsang untuk aktif berbicara. Kebebasan dan telepon membuat akses publik ke media menjadi semakin besar, membuat orang yang kritis dan aktif menjadi semakin banyak. Jurnalisme publik mendapatkan ”tempatnya” dalam proses demokratisasi ini. Yakni membangun realitas berdasarkan agenda publik, yang berarti “mendekatkan jarak” antara realitas media dengan realitas empirik. Kata kunci: jurnalisme publik; bajir informasi; konstruksi realitas
Pendahuluan Masyarakat post-industrial adalah masyarakat yang sebagian besar warganya bekerja di sektor informasi. Seseorang mengungkapkan klaim ini dengan nada bangga, tetapi seseorang yang lain dengan rasa skeptis. Namun keduanya sama-sama merasakan adanya limpahan informasi yang demikian banyak ke masyarakat, hasil pasokan media. Situasi ini lazim diformulasikan sebagai “banjir informasi” segala macam informasi mengalir ke rumah kita, banyak sekali, menggenangi lingkungan kita. Mereka yang mendapat banyak manfaat dari banjir informasi ini membuat ilustrasi begini; Jika sekarang saya memerlukan informasi tentang model rumah dari pelbagai bangsa di seluruh dunia, dengan cepat akan saya dapatkan. Saya pergi ke perpustakan, atau membuka pel-bagai situs internet. Dalam waktu dua atau tiga jam informasi itu terkumpul, sekeranjang. Tetapi jika hal yang sama saya lakukan, katakanlah 100 tahun yang lalu, keadaannya akan
lain. Saya mungkin memerlukan waktu satu tahun atau lebih sebab saya harus pergi secara fisik keliling dunia, berjalan kaki bergantian dengan naik perahu layar. Neil Postman dalam bukunya “Menghibur Diri Sampai Mati” memberi catatan kritis tentang situasi banjir informasi ini. Ada fenomena yang ia sebut informasi bebas konteks bahwa nilai informasi tak perlu dikaitkan dengan fungsi apapun yang dapat dilayaninya dalam pengambilan keputusan sosial-politik. Nilai informasi tersebut dapat berupa aktualitas, daya tarik, dan rasa ingin tahu yang ditimbulkan. Informasi menjadi komoditas, sesuatu yang dapat dibeli dan dijual tanpa hubungan dengan kegunaan maupun maknanya (Postman, 1995:76). Ungkapan terkenal dari Coleridge, yang dikutip Postman, yakni “begitu banyak air di mana-mana tanpa ada yang bisa diminum”, dapat dijadikan metafor mengenai lingkungan informasi yang terdekontekstualisir: dalam lautan informasi, hanya sedikit yang dapat di-gunakan.
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
91
Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik
Tesisnya adalah, informasi mendapatkan posisi pentingnya dari kemungkinan adanya tindak yang diambil berdasarkan informasi yang diterimanya. Dengan rumusan lain: ratio informasi - aksi. Dari sekian banyak informasi yang disampaikan media, informasi apa (saja) yang membuat kita bertindak? Beberapa di antaranya dapat kita catat. Berita tentang kenaikan harga bensin yang diberlakukan mulai nanti malam pukul 00.00, contohnya, membuat mobil-mobil, temasuk yang mewah, berkerumun di sekitar SPBU; berita tentang tsunami di Aceh dan gempa bumi di Yogya menggerakkan aksi kemanusiaan. Ada aksi setelah menerima informasi. Tetapi kita tahu, jauh lebih banyak informasi media yang tidak melahirkan tindakan. Selain banjir informasi, ada problem serius pada media, khususnya televisi, mengenai program informasinya. Jurnalisme memilahkan dengan tegas fakta dan opini, seperti yang masih kita lihat di koran. Tetapi infotainmen yang diklaim sebagai program jurnalisme mengaburkan batas keduanya. Jurnalisme bekerja berbasis fakta tetapi infotainmen membuat gosip diberlakukan sebagai fakta. Jurnalisme media cetak menggunakan simbol huruf-huruf tersusun sebagai media pengantar informasi, infotainmen memakai perempuan berpakaian “model tertentu” sebagai “media” informasinya. Jurnalisme menggunakan kata kunci obyektivitas, infotaimen menggunakan kata kunci menarik. Jurnalisme merangsang intelektualitas, infotainmen memprovokasi emosi dan nafsu. Jika kita melihat layar monitor televisi, akan terlihat hal yang menarik bagi seseorang, tetapi absurd bagi seseorang yang lain. Di bagian atas, di sudut kiri ada logo stasiun TV bersangkutan, sementara di sudut kanan ada informasi mengenai program yang ditawarkan. Di bagian bawah, tertayang news sticker, disusul di atasnya ada iklan; Di atasnya lagi adalah caption program berita, atau teks film asing. Maka, seseorang yang lain lagi mengibaratkan menonton televisi seperti menikmati makanan ringan: rasanya ramai-ramai. Deskripsi singkat situasi media televisi ini dimaksudkan sebagai pengantar, tetapi juga bahan pertimbangan, bagaimana kita memposisikan misi pendidikan pemilih melalui media elektronika. Kita akan berhadapan dengan kultur televisi kita yang karakter jurnalismenya sedikit terpapar di atas; kita dihadapkan pada situasi yang menempatkan program jurnalistik 92
tidak pada posisi dominan (tidak sebagaimana yang kita lihat di media cetak); kita melihat sebuah institusi media yang mereduksi hampir semua programnya menjadi bernuansa hiburan. Namun tidak berarti tidak ada peluang, meskipun sulit. Kita akan telisik fenomena-fenomena yang memungkinkan kita bisa mewujudkan misi pendidikan pemilih ini, kemudian kita diskusikan. Jurnalisme (dan Forum) Publik Radio dan televisi, kini, bersinergi dengan telepon, kemudian membangun sebuah institusi yang populer disebut “dialog interaktif”. Di bawah payung kebebasan, ketiganya menggerakkan demokrasi. Publik radio atau televisi, yang di masa Orde Baru dibuat “diam”, kini dirangsang untuk aktif berbicara. Seorang “rakyat biasa”, melalui telepon dari rumah, bisa berdebat dengan para pakar atau politisi dan disiarkan secara langsung media televisi atau radio. Ada semangat baru, ada greget untuk berpendapat dan berbeda pendapat. Dari sini wacana publik dibangun. Fenomena ini terjadi di mana-mana, dari pusat hingga ke daerah, dari topik resep masakan hingga ke topik politik yang panas. Di beberapa radio swasta dan radio Pemda di Solo, dialog interaktif mengambil waktu diantara pemutaran kaset wayang kulit. RRI, nasional dan lokal, secara rutin menyelenggarakan dialog interaktif, dengan pelbagai topik yang didasarkan pada berita media (news peg). Dialog interaktif telah menjadi “budaya media” baru di kalangan media penyiaran, baik radio maupun televisi. Kita sedang menyaksikan masyarakat yang sedang menggunakan haknya dan menjalankan sebuah peran penting: partisipasi (politik). Kebebasan dan telepon telah membuat media massa berubah, dari “searah” (one way) ke “dua arah” (two way) interaktif. Dari siaran tunda ke siaran langsung. Kebebasan dan telepon membuat akses publik ke media menjadi semakin besar, membuat orang yang kritis dan aktif menjadi semakin banyak. Tidak hanya dalam pengertian rakyat menjadi subyek berita, tetapi juga warga masyarakat “memberitakan dirinya” ke media. Yang pertama perlu digarisbawahi dari fenomena empirik di atas adalah peran teknologi telepon dan radio atau televisi yang ternyata menjadi lebih produktif ketika dioperasionalkan pada setting masyarakat bebas. Yang
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik
kedua, dialog interaktif tercipta karena topik yang ditetapkan menarik minat publik. Ia diminati berkat isu yang dipilih dalam pemberitaan media sesuai dengan minat publik. Dengan kata lain, agenda media sesuai dengan agenda publik, atau agenda media mencerminkan ageda publik. Ketiga, dialog interaktif adalah bukti bahwa kalau ada akses langsung ke media, publik akan “masuk” memanfaatkannya. Ketika media ditekan, seperti yang terjadi di era Orde Baru, media akan berfikir seribu kali untuk memberikan akses langsung ke publik. Media terpaksa menyeleksi dan mengedit dengan ketat setiap opini yang dijadikan berita. Meluasnya akses langsung publik ke media elektronika juga kita saksikan melalui apa yang di media cetak dikenal sebagai “surat pembaca”, katakanlah “suara pemirsa”, bisa lewat telepon kabel, short message service (SMS) telepon seluler, atau e-mail. Berita-berita tentang pemilihan gubernur harus bisa menciptakan suasana di mana publik aktif berakses langsung ke media, menggunakan “forum” yang media wajib menyediakan. Fenomena ini, fenomena dibukanya akses langsung media, sungguh sesuai benar dengan “anjuran” Bill Kovach (2001: 172) bahwa media harus menciptakan dan menjadikan dirinya sebagai forum publik. Berita-beritanya harus merangsang publik untuk berdialog, berdiskusi, baik di forum-forum masyarakat maupun di forum yang ada dan diciptakan media. Kovach memaparkan proses terbentuknya forum publik begini; Ini dimulai dari laporan awal yang di dalamnya wartawan mengingatkan publik akan sesuatu peristiwa atau kondisi di komunitas misalnya ada keributan antar pendukung kandidat gubenur. Laporan ini bisa saja berisi analisis yang menyebutkan dampak yang mungkin timbul. Konteks mungkin dihadirkan untuk perbandingan atau kontras, dan editorial yang membarenginya bisa saja mengevaluasi informasi tersebut. Kolumnis mungkin menghadirkan komentar pribadi untuk persoalan ini. Semua bentuk medium yang dipakai wartawan sehari-hari bisa berfungsi untuk menciptakan forum di mana publik diingatkan akan masalah-masalah penting mereka sedemikian rupa sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Rasa ingin tahu membuat orang bertanya-tanya sesudah
membaca liputan acara-acara yang sudah terjadwal, pembeberan penyimpangan, atau reportase tentang suatu kecenderungan yang berkembang. Saat publik mulai beraksi terhadap pembeberan ini, suara publik pun mengisi komunitasdi acara radio yang menyiarkan telepon dari pemirsa, acara bincang-bincang televisi, opini pada halaman op-ed (opinion and editorial page). Saat suara-suara itu terdengar oleh yang berwenang, mereka menaruh perhatian untuk memahami perkembangan opini publik seputar suatu subyek. Persoalannya adalah, ada “prinsip” dalam jurnalisme yang bisa jadi kurang mendukung kehendak untuk membangun forum publik ini. Dalam memproduksi berita, media akan memilih peristiwa berdasarkan kriteria yang dikenal sebagai news value. Salah satu yang masuk dalam kriteria ini adalah prominence (berhubungan dengan ketenaran). Dalam pilkada, para balon dan calon kepala daerah tentu lebih banyak diberitakan karena lebih prominence ketimbang anggota publik. Di sisi lain, media bekerja untuk kepentingan publik. Bahkan ketika ada konflik antara elit dan publik, media harus “berfihak” untuk “membela” kepentingan publik. Keberfihakan kepada publik harus diperjuangkan dengan menyuarakan kepentingan publik melalui beritaberitanya. Inilah salah satu argumen pentingnya kita mengembangkan jurnalisme publik (public journalism). Di sini ada paradoks antara berita yang hanya berdasarkan kriteria news value dan prinsip jurnalisme publik. Pada berita yang mendasarkan pada news value, pers seakan-akan “berfihak” kepada elit. Ia hanya memberitakan tokoh-tokoh yang masuk dalam kriteria prominence. Pada kampanye pilkada, berita-berita media akan dipenuhi oleh para kandidat kepala daerah beserta peristiwa yang “diciptakannya” jika prominence menjadi kriteria utamanya dalam kebijakan pemberitaannya. Artinya, media berfihak kepada elit. Kesan lain yang bisa muncul adalah, media bersifat “pasif” karena hanya memberitakan peristiwa yang sifatnya “given”. Ini berbeda dengan jurnalisme publik, yang menuntut aktif dalam “menggali” aspirasi publik. Dikatakan “menggali” karena aspirasi publik tidak semanifest aspirasi elit yang dengan mudah ditemukan. Maka, pers dituntut aktif mendorong warga negara untuk berpartisipasi dan terlibat da-
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
93
Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik
lam wacana mengenai public affair. Dengan jurnalisme publik, agenda media tidak ditentukan oleh para elit tetapi ditentukan oleh media berdasarkan public affair. Pada titik ini kita akan melihat aktualisasi media sebagai “kekuatan keempat”. Media akan menggunakan kekuatannya untuk mengembangkan iklim diskusi publik, yang bisa dimulai dengan menyediakan “ruang publik” di media itu sendiri. Rubrik-rubrik yang berhubungan dengan akses publik ke media diperluas, sehingga “suara publik” akan lebih dominan ketimbang suara elit. Pada tahapan lanjut, ketika ruang publik politis belum terbentuk di masyarakat, media mensponsori diskusi-diskusi publik. Dengan kata lain, medialah yang membantu menciptakan ruang publik politis di masyarakat. Jika ruang publik politis ini benar-benar memenuhi syarat inklusif, egaliter, dan bebas tekanan maka media mendapat bahan pemberitaan yang memungkinkannya menerapkan jurnalisme publik. Jurnalisme publik bisa strategis peranannya dalam memilih pemimpin (gubernur) yang tepat dalam Pilkada. Kenapa? Karena agenda media dalam jurnalisme publik berangkat dari agenda publik, yang didapatkannya dari diskusi publik di ruang publik politis, bukan “agenda kandidat kepala daerah.” Jika diskusi publik itu mengenai pilkada, maka agenda diskusi lebih ditekankan pada identifikasi permasalahan di daerah itu dan solusinya yang harus dikerjakan kepala daerah, serta kreteria kepala daerah seperti apa yang bisa menyelesaiakan permasalahan itu. Hasilnya adalah opini publik. Proses terciptanya opini publik ini selalu diberitakan media, sehingga publik juga tahu perkembangannya. Dengan opini publik berupa kriteria, maka rakyat akan mendapat “pegangan” untuk menentukan pilihannya. Para kandidat yang muncul akan dinilai berdasarkan kriteria opini publik itu. Dalam kondisi demikian, media menghadapi problem netralitas dalam pilkada. Melalui pemberitaan proses terbentuknya opini publik, tidak bisa tidak media akan “kelihatan” berfihak pada kandidat gubernur tertentu, yang sesuai dengan kriteria yang dibentuk oleh opini publik. Tetapi apa salahnya berfihak jika keberfihakan itu pada publik. Konstruksi Realitas Media memiliki fungsi pendidikan, tentu juga termasuk pendidikan untuk para pemilih.
94
Alat untuk menjalankan pendidikan itu adalah jurnalisme. Seperti diketahui, jurnalisme adalah kegiatan pengelolaan informasi mengumpulkan merumuskan, dan memformat peristiwa menjadi berita. Nilai-nilai, etika, dan kaidah, tentu menjadi pegangan. Persoalannya adalah, bagaimana jurnalisme bisa menjalankan fungsi pendidikan jika tugasnya hanya terbatas pada mengelola berita? Memang terbatas. Pendidikan yang dilakukan media terbatas pada upaya mengendalikan dan mengarahkan efek penyiaran informasi. Artinya, setiap informasi yang disiarkan media dipilih dan diformat demikian rupa sehingga menimbulkan efek seperti yang diharapkan. Pada umumnya yang diharapkan efek penyiaran informasi adalah pemahaman, kesadaran, dan tindakan. Informasi tentang pilkada, umpamanya, menimbulkan efek pemahaman, kesadaran, dan tindakan memilih; dapat menciptakan suasana persaingan yang sehat, meminimalisasi konflik dan tindak kekerasan. Dan, seperti dipaparkan di atas, berita-beritanya mampu merangsang publik untuk berwacana dalam forum-forum yang diciptakan media. Dalam praktik tentu tak sesederhana itu. Bagaimana jurnalisme dapat melakukan pekerjaan itu? Jawabnya ada pada esensi jurnalisme: bagaimana jurnalisme mengkonstruksi peristiwa menjadi berita; bagaimana jurnalisme mentransformasi realitas empirik menjadi realitas simbolik. Jurnalisme memiliki infrastruktur untuk melakukan pekerjan itu. Kita diskusikan elemen-elemennya, serta proses bagaimana realitas empirik itu menjadi realitas simbolik, yang berarti juga realitas media. Berita adalah laporan tentang peristiwa, bukan peristiwanya itu sendiri. Dengan definisi ini hendak dikatakan, peristiwa tidak sama dengan berita. Suatu kejadian besar ledakan bom di mal, misalnya tetap akan menjadi kejadian dan tidak menjadi berita jika tidak ada wartawan yang dapat meliput dan menyiarkannya di media. Dengan bahasa lain, berita adalah (hasil) konstruksi fakta dengan berdasarkan prisipprinsip jurnalisme. Klausa “berita tidak sama dengan peristiwa” tidak hanya berarti berubahnya realitas empirik menjadi realitas simbolik, tetapi juga berarti tereduksinya fakta oleh faktor-faktor yang oleh jurnalisme ditetapkan sebagai syarat. Yang utama adalah, fakta dalam suatu peristiwa diseleksi oleh apa yang dikenal sebagai news value,
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik
yakni fakta-fakta yang diasumsikan wartawan bernilai bagi publik. Dengan “hukum” ini, hanya peristiwa atau fakta bagian dari peristiwa tertentu saja yang dapat dijadikan berita. Konsekuensinya, sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang disiarkan media hanya bagian kecil saja dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Konsekuenasinya lagi, sulit untuk mengatakan, berita di media merupakan representasi dari situasi masyarakat. Kecenderungan yang lain adalah adanya “pemadatan berita.” Lester Markel dari New York Times membuat metafor (Rivers, 1994: 98). Jika wartawan mengumpulkan 50 fakta, katanya, ia akan memilih 12 untuk diserahkan dalam beritanya. Jadi, ia menyisihkan 38 fakta. Kemudian, wartawan tadi atau redakturnya menentukan mana dari 12 fakta itu yang sebaiknya ditempatkan dalam alinea pertama dari beritanya. Dengan demikian menonjolkan satu fakta di atas 11 yang lain. Berikutnya, redaktur menentukan di halaman satu atau di halaman dua belas berita itu akan ditempatkan. Bila ditempatkan di halaman satu, berita itu akan menarik perhatian berlipat ganda dibandingkan bila ditempatkan di halaman dua belas. Tentu saja kita tahu, angka 12 atau 50 atau berapapun sekadar contoh, untuk menggambarkan proporsi fakta yang terkumpul dan yang dipangkas. Banyak fakta yang dipangkas karena alasan keterbatasan ruang dan waktu. Televisi dibatasi oleh waktu, koran dibatasi ruang. Di sisi lain, berita memang “hanya” merupakan potongan peristiwa. Berita tidak dapat mengcover seluruh peristiwa, bukan hanya karena keterbatasan ruang dan waktu, tetapi juga karena berita adalah realitas simbolik, yang tak bisa sepenuhnya merepresentasikan realitas empirik. Pemadatan berita yang berlebihan bisa menjadi masalah, sama halnya dengan peliputan yang berlebihan. Sebagian kritikus menuduh media terlalu memperhatikan masalah seksual, kejahatan, dan kekerasan. Berita mengenai skandal tokoh penghibur bisa mekar melebihi isi yang selayaknya diliput. Wartawan mudah tergoda untuk memperuncing fakta-fakta dengan menghilangkan frasa dari sebuah kutipan, memfokuskan suatu detail yang kecil tapi menyentil, atau dengan memancing kutipan-kutipan yang provokatif. Berita remeh temeh soal perceraian artis bisa memakan waktu berharihari di program infotainmen kita.
Bahaya yang mungkin timbul adalah, pemadatan berita mengandung resiko lepasnya fakta dari peristiwa. Fakta dilepas dari konteksnya. Tayangan televisi tentang unjuk rasa di Abenpura beberapa waktu yang lalu bisa dijadikan contoh. Perkelahian adalah fakta, sedang peristiwanya adalah konflik mengenai keberadaan Free Port. Jika hanya fakta perkelahian saja yang ditayangkan, pemirsa akan kehilangan konteks, akan sulit untuk memahami konflik di Abepura secara utuh. Lantas, bagaimana proses konstruksi peristiwa menjadi berita? Siapa yang paling berperan dalam proses konstruksi terebut? Yang paling berperan adalah komunikator profesional (DeFleur/Dennis, 1988: 23), yakni “orangorang media” itu sendiri atau dari institusi lain yang membentuk pesan dalam suatu format yang dapat ditransmisikan melalui media massa. Mereka adalah para spesialis yang memiliki keahlian khusus di bidangnya, seperti para produser, editor, reporter, wartawan, redaktur, dan bagian teknis, yang mengorganisiasi, mengedit, dan menyebarkan informasi, hiburan, drama, dan bentuk isi media yang lain. Umumnya mereka ada di rumah produksi (production house), perusahaan atau biro iklan. Dengan proses yang rumit dan kompleks ini, membuat media memiliki realitasnya sendiri, berbeda dengan realitas dalam komunikasi interpersonal. Media telah mengubah percakapan natural dalam komunikasi interpersonal, realitas sehari-hari, menjadi apa yang oleh Postman disebut “konversasi”. Demikian dahsyatnya media dapat mengubah bahkan memproduksi realitas sehingga Postman (1995:1819) sampai mengatakan: bentuk konversasi menyeleksi substansinya. Mirip dengan itu adalah premis McLuhan: the media is the message. Medium mendefinisikan perilaku komunikasi seseorang, menjadikan seseorang sebagai bagian dari konversasi. Bahasa media dengan demikian adalah konversasi. Dalam menngkonstruksi fakta, prinsip yang paling sering disebut adalah obyektivitas. Tugas jurnalisme media adalah menyajikan fakta yang obyektif, yang tidak dicampuri opini wartawannya. Obyektivitas berita sering difahami seperti itu, bahwa berita yang obyektif adalah berita yang disamping berdasarkan fakta di lapangan, juga fakta yang tidak dimasuki opini wartawan. Tentu saja kita setuju. Namun mungkinkah obyektivitas semacam itu?
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009
95
Mursito : Visi Jurnalisme Publik dalam Demokratisasi Politik
Obyektivitas dalam jurnalisme merupakan sebuah “aturan main” tentang representasi fakta. Intinya tetap pada pengelolaan fakta, faktualitas, yang memiliki dimensi kebenaran dan relevansi. Fakta dalam berita harus benar, dalam arti lengkap dan akurat. Substansi peristiwa terliput. Tetapi berita juga sering memuat fakta yang tidak ada relevansinya dengan pokok soal yang diberitakan. Sebagai misal, dua orang sopir angkot berkelahi karena rebutan penumpang, seorang di antaranya tertusuk senjata tajam hingga meninggal. Dalam berita tentu disebutkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara ituidentitas keduanya, duduk selehnya perkara, dan sebagainya. Tetapi ketika dalam berita itu disebutkan asal etnis dan agama yang kebetulan berbeda dari dua sopir itu, berita jadi bias. Apa relevansinya rebutan penumpang dengan latar belakang etnis atau agama? Ini bisa menyulut konflik lanjutan. Dimensi obyektivitas lain yang paling sering disebut adalah keberimbangan (cover both side) atau fairness dan netralitas. Berita yang obyektif adalah berita yang menggunakan sumber-sumber yang berimbang agar didapat netralitas. Kasus Raju, anak yang bertengkar dengan tetangganya kemudian ditahan satu ruangan dengan tahanan orang dewasa, bisa dijadikan contoh. Di televisi, kita hanya melihat tayangan Saju yang menangis di gendongan ayahnya karena takut masuk ruang pengadilan, atau simpati tokoh atas teraniayanya anak ini. Kita tak pernah menyaksikan tayangan “fihak” lawan bertengkar Saju. Ini tidak fair. Penutup Tugas media adalah membantu mendefinisikan komunitas. Membantu merumuskan, bukan merumuskan. Media tidak bisa mengambil keputusan sendirian dalam merumuskan komunitas ini. Relitas yang hendak dijadikan berita harus merupakan hasil kerjasama media dengan publiknya. Dengan kata lain, realitas media adalah hasil rumusan intersubyektivitas media, sumber berita, fakta peristiwa, opini warga, dan mereka yang terlibat dalam peristiwa itu. Jika demikian, fakta hasil intersubyektivitas memungkinkan digalinya “kebenaran” di balik fakta. Dalam bahasa Peter du Toit (2000:10), “kita mencari fakta, baik fakta sebenarnya maupun kebenaran di balik fakta”. Pernyataan sunber berita tentang fakta bukan peni-
96
laiannya tentang fakta harus dicek “kebenarannya” lewat infrastruktur jurnalisme yang lain. Observasi dan investigasi, misalnya. Nilai-nilai jurnalisme yang lain adalah, kita memberi informasi yang mereka butuhkan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kewarganegaraan. Memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat berarti meliputi semua aspek kehidupan masyarakat, tentang hak dan kewajibannya sebagai warganegara. Rakyat perlu tahu informasi yang dibutuhkan untuk memutuskan, misalnya, siapa yang memimpin negeri ini. Media juga memiliki peran membantu masyarakat “mengerti dunia.” Media perlu memberi informasi sehingga rakyat tahu tentang kehidupannya dalam konteks social, politik, kultural yang lebih luas. Media menjelaskan sistem sosial, sistem politik, kultur yang ada di komunitas atau dunia lain yang berbeda dengan lingkungannya. Tujuannya bukan menunjukkan “keanehannya” melainkan menyebarkan pengertian. Yang harus diingat adalah, media tidak hanya menyiarkan informasi yang diperuntukkan khusus bagi suatu komunitas atau kelompok tertentu. Media massa bersifat umum, artinya ditujukan kepada umum, sehingga kepadanya media ditujukan. Dengan demikian, informasi tentang suatu komunitas suku atau kelompok penganut agama, misalnya bukan hanya dibaca oleh kelompok itu tetapi juga dibaca oleh semua audiens. Media juga bukan mediator dalam konflik dua kelompok pendukung kandidat gubernur, misalnya. Oleh karena itu, tanggungjawabnya bukan kepada dua kelompok yang berkonflik sebagaimana tanggungjawab mediator. Media bertanggungjawab kepada audiens keseluruhan. Daftar Pustaka DeFleur, D. (1988). Understanding Mass Communication. Boston: Houghton Mifflin. Kovach, B. & Rosentiel, T. (2001). ElemenElemen Jurnalisme. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Postman, Nl. (1995). Menghibur Diri Sampai Mati. Jakarta: Sinar Harapan. Rivers, W.L. & Mathews, C. (1994). Etika Media Massa. Jakarta: Gramedia. Toit, P. (2000). Reportase untuk Perdamaian. Jakarta: Internews.
Jurnal Komunikasi Massa - Vol. 2 No. 2 Januari 2009