167
BAB VIII URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF 8.1. Pendahuluan Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesarsebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.
8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens (2004),217 penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang dikemukakan Habermas. Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong oleh kenyataan empirik bahwa legitimasi,
paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan
yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan,
terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi (dehumanisasi) dan alienasi masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar
rasionalitas utility maximum dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan 217
Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, p.39.
168
masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek dan komoditas semata-mata. Pengembangan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” lebih menonjol dari dimensi dan jati dirinya sebagai “homo-ecologicus” dan “homo-
sociologicus”. Pengarus-utamaan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” adalah terbatasnya ruang kultural, tidak tersedianya ruang bagi tumbuhnya kearifan lokal dan kelembagaan parsipatori dalam masyarakat. Dari segi ini perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi dimaksudkan untuk membebaskan sumberdaya dan kelembagaan komunitas dari penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal. Merujuk pada Habermas, pembebasan komunitas dari cengkraman kekuatan supralokal yang menindas hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara atau perubahan rasionalitas dari
rasionalitas utility maximum menuju utility maximising manner. Sebab selama ini komunikasi negara dengan warga negara seperti halnya dengan komunitas sekitar hutan bersifat searah, dominatif dan hegemonik. Pola komunikasi demikian cenderung memposisikan komunitas sekitar hutan menjadi objek kepentingan supra lokal (negara dan pasar) dan tidak menjadi bagian dari stakeholder kehutanan dan kelembagaan pengelolaan DAS. Penempatan komunitas sekitar hutan sebagai “obyek” dan the other berakibat penegasian hak sosial, sejarah dan hak kepribumiannya. Memposisikan mereka sebagai “obyek” dan the other berdasarkan rasionalitas hukum positif menyebabkan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya. Dengan posisinya sebagai the other, komunitas sekitar hutan bahkan
merupakan out group dari kelembagan kehutanan,
distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang
leuweung” dan predikat lainnya yang negatif. Tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya hutan yang berkontribusi terhadap pelestarian plasma nutfah, tidak mengantarkannya menjadi mitra pemerintah dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan. Sebaliknya mereka dipersepsi sebagai sumber gangguan atau kendala untuk kegiatan konservasi dan eksploitasi sumberdaya hutan atau dipandang tidak sejalan dengan arus utama dan kepentingan ekonomi supralokal (negara dan pasar) dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
169
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penguatan kelembagaan komunitas sekitar hutan dirumuskan sebagai berikut:
Pertama merujuk pada pandangan Habermas, penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara dan antara pemangku otoritas kehutanan dengan komunitas sekitar hutan. Rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas adalah pola komunikasi antar komunikan (segenap pemangku kepentingan termasuk masyarakat) berbasis kepercayaan (trust), kebenaran (truth), ketepatan (rightness), komprehensibilitas (comprehensibility) dan kejujuran (sincerety). Dari segi ini maka stigmatisasi komunitas sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang
pasisian, atau urang leuweung dan memposisikan mereka sebagai the other atau out group,
menggambarkan pola komunikasi yang bertentangan rasionalitas
komunikasi yang ditawarkan Habermas.
Kedua penguatan komunitas sekitar hutan mensyaratkan adanya perubahan paradigma dalam pembangunan kehutanan dan rasionalitas dalam mempersepsi dan memposisikan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Paradigma pengelolaan hutan berbasis ekonomi (kayu) dan menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditi semata-mata, tidak kondusif untuk pembangunan hutan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan sistem tebang pilih, lebih bijak daripada pengelolaan hutan berskala besar oleh pemilik modal. Demikian juga sikap prejudice pemangku otoritas terhadap komunits sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang leuweung tidak mendukung program pemberdayaan
dan
peningkatan
kesejahteraan
komunitas
sekitar
hutan.
Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan bermakna jika ditempatkan sebagai stakeholder dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan cara pandang terhadap komunitas sekitar hutan relavan dengan dalam menghadapi pemanasan dan perubahan iklim global serta moratorium kehutanan.
Ketiga penguatan kelembagan dan kesejahteraan komunitas sekitar hutan dapat dilakukan melalui akselarasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal. Sejauh ini pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang difasilitasi
170
oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan 5,4 juta hektar
baru mencapai 87.299.89 hektar atau sekitar 1,6
persen. Rendahnya realisasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) disebabkan rendahnya political will dan political action untuk mengalokasikan sumberdaya hutan pada masyarakat. Rendahnya political will dan political action ditunjukkan dari kelembagaan dan prosedur perijinan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada masyarakat yang birokratis. Bila moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal terus berlanjut, sudah selayaknya pengeluaran izin konsesi pemanfaatan hutan mensyaratkan rekomendasi dan pemberian konpensasi yang pantas kepada komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan pemberian konpensasi dimaksudkan untuk penguatan aspek otoritatif dan legalitimasi sekaligus dalam upaya penguatan alokatif (ekonomi) komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan konpensasi berguna untuk memperkuat struktur otoritatif, legitimasi dan posisi tawar menawar masyarakat sekitar hutan berhadapan dengan kekuatan pasar sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya. Gagasan dan pemikiran tentang rekomendasi dan konpensasi, didasarkan kenyataan, bahwa ijin konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi, selama ini menimbulkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi. Pemilik modal berasal dari supra lokal memiliki legitimasi mengeksploitasi hutan, sedangkan hak sosial ekonomi dan hak kepribumian komunitas lokal, dikriminalisasi dan menjadi sasaran aksi polisionil. Kehadiran kekuatan ekonomi korporasi kehutanan yang tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan komunitas, menggiring komunitas sekitar masuk perangkap kebijakan kehutanan, menjadi tenaga kuli dan tidak berdaya secara ekonomi dan politik.218 Sehingga kehadiran perusahaan kehutanan bukannya membawa berkah ekonomi, tapi sebalikanya mendatangkan musibah dan bencana ekologi. Sementara itu pengarus uatamaan rasionalitas hukum positif dalam penataan kehutanan memaksa dan menegasikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan bahkan menjadi sasaran aksi polisionil.
218
Bank Dunia mencatat ketidaksetaraan (atau ketimpangan) ekonomi yang berlangsung di Indonesia disebabkan konsentrasi kekayaan pada kalangan elit politik dan ekonomi. Masyarakat miskin termarginalkan karena adanya perangkap kebijakan. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.p. 60-80.
171
Keempat penguatan aspek alokatif dan otoritatif komunitas kawasan DAS menghendaki paradigma pengelolaan DAS atas prinsip partnership based
governance. Rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan prinsip partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau diwujudkan melalui pembentukan FKDC dan Perjanjian Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan antara FKDC dengan Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong. Tata kelola DAS Cidanau berdasarkan partnership based governance tersebut menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan tata kelola DAS di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTT dan provinsi Papua. Meskipun demikian,
peran FKDC dan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan di DAS Cidanau, belum menggambarkan kemitraan sejati antar aktor atau pemangku kepentingan hulu hilir. Sejak berdirinya tahun 2003 kepengurusan FKDC didominasi pejabat dan mantan pejabat, yang berkibat FKDC menjadi perpanjangan
tangan
pemerintah
dan
kurang
menyuarakan
kepentingan
masyarakat. Aturan dan mekanisme (yurisdiksi) pembayaran jasa lingkungan disusun tanpa representasi petani. Akibatnya petani sebagai “produsen” jasa lingkungan tidak menerima insentif yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkannya, tidak berkelanjutan dan terbatasnya jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan.
Kelima rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan partnership based governance DAS Cidanau masa yang akan datang, hendaknya diarahkan untuk memperkuat basis partisipasi dan representasi petani dalam FKDC, penambahan jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Perluasan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan kawasan hulu DAS Cidanau sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan mencegah bencana banjir. Penambahan jumah kelompok tani yang mendapat pembayaran jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan praktik agroforestry dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Hal ini mensyaratkan adanya “politik
anggaran hijau” dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selama ini pemerintah daerah hanya menyediakan anggaran untuk membiayai operasional aparat pemerintah yang bertugas di FKDC, sementara pembayaran jasa
172
lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” (voluntry) dari PT Krakatau Tirta Industri.
Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry (kesukarelaan) pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan
partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa lingkungan di hulu. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based
governance dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada periode
kedua
ini
Pemerintah
Daerah,
dapat
diwujudkannya
dengan
mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan.
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif Keenam bentuk penguatan kelembagaan komunitas tersebut merujuk pada Capra mensyaratkan perubahan paradigmatik atau dalam istilah Sobhan menuntut adanya politik agraria transformatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS. Perlunya politik agraria transformatif didasarkan pemikiran sebagai berikut:
Pertama politik agraria bidang kehutanan dan pertanian konvensional cenderung membela rasionalitas yang dianut dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya, meskipun
tidak relevan
dengan masalah sosial ekonomi dan kelembagaan komunitas sekitar hutan.
173
Pembelaan atas rasionalitas hukum positif ekonomi komunitas
mengakibatkan aktivitas sosial
menjadi sasaran aksi polisionil, obyek penggusuran dan
tindak kekerasan serta kriminalisasi sering dipandang sebagai solusi. Akibatnya penanganan masalah sosial ekonomi komunitas sekitar hutan dan penduduk di hulu DAS, tidak memecahkan akar masalah sosiologis dan ekonomi komunitas dan pelestarian sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
Kedua politik agraria kehutanan yang diadopsi dari produk hukum kolonial dan kapitalistik, cenderung berorientasi betting on the strong, pro pertumbuhan, tetapi abai terhadap pembangunan kehutanan
berkelanjutan,
pelestarian ekologi (wide ecological sustainability), kelembagaan komunitas dan kearifan lokal. Dampak lebih lanjut dari politik agraria tersebut adalah meluasnya eskalasi konflik agraria, meningkatnya kemiskinan struktural, peluruhan kelembagaan komunitas dan meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hulu DAS.
Ketiga politik kehutanan berorientasi “pembangunanisme” menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai enclave (barang antik bagi komunitas sekitar hutan). Sehingga pembangunan kehutanan menimbulkan ketidakadilan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya. Di satu sisi, sumberdaya hutan dieksploitasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara, kapitalisasi negara dan akumulasi kapital pemilik modal. Di sisi lain komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan teralienasi dan dimarginalkan. Bahkan dalam rangka kapitalisasi negara, komunitas sekitar hutan, distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, urang leuweung, dan menjadi sumber gangguan dan kendala pembangunan kehutanan. Ikatan sejarah,
hak sosial
budaya dan ekonomi komunitas sekitar hutan dinegasikan. Demikian juga keberadaan mereka sebagai “pelestari plasma nutfah” diluruhkan secara sistemik. Sementara itu “agensi dan korporasi” kehutanan dari supralokal meskipun diantaranya terindikasi terlibat dalam aktivitas deforestasi dengan mudah mendapat berkah ekonomi dari sumberdaya hutan.
174
Pemikiran politik agraria transformatif yang ditawarkan dalam tulisan ini diakomodasi dari Beck tentang safety state219. Dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan, konsep safety state mencakup tiga hal: (1) penggunaan mekanisme asuransi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan (2) penegakkan hukum bagi perusak hutan (3) pemberian kompensasi kepada komunitas yang terkena dampak ekonomi dan ekologi akibat eksploitasi sumberdaya hutan. Konsep safety state diperlukan dalam pembangunan kehutanan baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka panjang konsep safety
state menjadi landasan dalam upaya mewujudkan good resources governance, pembangunan kehutanan berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global. Sedangkan dalam jangka pendek konsep safety state berguna untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan dan menurunkan tingkat degradasi sumberdaya hutan. Konsep safety state menyediakan landasan yuridis dan teoritis bahwa negara sebagai pemegang hak kuasa dan penentu regulasi kehutanan, memposisikan komunitas sekitar hutan sebagai subyek seperti pemangku kepentingan lainnya. Selama ini komunitas sekitar hutan, diposisikan sebagai obyek semata-mata dari berbagai kekuatan supralokal (penguasa dan pemilik modal nasional dan global), sehingga proses interaksi mereka dengan kekuatan supralokal bersifat hegemonik dan eksploitatif. Dengan statusnya sebagai subyek dalam pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan, maka proses interaksinya dengan kekuatan supralokal seyogyanya bersifat setara dan demokratis. Dalam konsep safety state, jika pemerintah mengeluarkan hak konsensi kepada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, maka komunitas sekitar hutan berhak atas mekanisme asuransi dan kompensasi. Dari segi ini konsep safety state merupakan upaya meminimalkan alienasi komunitas sekitar hutan dan sekaligus solusi atas enclavisme dan komoditifikasi sumberdaya hutan.
219
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
175
Lemahnya struktur otoritatif dan alokatif atas sumberdaya hutan, menjadi kendala komunitas untuk mendapatkan akses dan peluang memperoleh rejeki atas sumberdaya hutan, tanpa mendapat kompensasi sama sekali, baik dari korporasi dan maupun pemerintah. Politik agraria transformatif bidang kehutanan dapat diwujudkan dalam bentuk tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan atas dasar rasionalitas hijau (green rationalism)
atau rasionalitas eko-sosial. Tawaran rasionalitas hijau
didasarkan pemahaman dan kenyataan empirik, bahwa paradigma pengelolaan hutan atas dasar rasionalitas utility maximum, mendorong manusia tenggelam ke dalam “barbarisme baru” dan menempatkan manusia sebagai homo economicus. Sementara dimensi manusia sebagai homo ecologicus diabaikan, yang ternyata berdampak pada dehumanisasi, marginalisasi komunitas, meluasnya deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan. Tawaran rasionalitas eko-sosial, karena memadukan perlindungan lingkungan, pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi. Rasionalitas eko-sosial merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara yang sebaikbaiknya dengan materi sekecil mungkin, yaitu menggunakan barang, tenaga kerja dan modal dengan nilai guna berdurabilitas tinggi. Dalam rasionalitas eko-sosial, prinsip durabilitas lebih diutamakan daripada produktivitas.
Dapat dikatakan
durabilitas sebagai anti tesa atas produktivitas yang diusung rasionalitas utility maximum. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan di Indonesia pada dasarnya disebabkan politik tata kelola hutan berorientasi pada produktivitas dan pengarus-utamaan rasionalitas utility
maximum. Sementara durabilitas, konservasi, reboisasi dan rehabalitisasi hutan diabaikan atau hanya tambal sulam, serta posisi dan eksistensi manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan dimarginalkan. Politik agraria transformatif mensyaratkan transformasi rasionalitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dari rasionalitas utility maximum menuju utility maximum manner. Rasionalitas utility maximum manner kondusif untuk mendorong tumbuhnya tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan, ramah terhadap hutan dan bersahabat dengan komunitas lokal. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan berbasis utility maximum manner
176
akan membantu menekan komoditifikasi dan eksploitasi hutan yang ditujukan semata-mata untuk memacu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi negara dan akmumulasi kapital. Transformasi rasionalitas
dari utility maximum ke utility maximum
manner merujuk pada Habermas mensyaratkan adanya empati dalam komunikasi antara negara dengan warga negara. Komunikasi negara dengan warga negara berpola benevolent - obedient dan hegemonik, bukan hanya tidak solutif tetapi juga problematik dan kontra produktif. Karena itu komunikasi negara dengan warga negara hendaknya berbasis kesetaraan, kebenaran, ketepatan, kejujuran, dan komprehensif. Pola komunikasi demikian idealnya juga menjadi ciri proses interaksi dan komunikasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS. Aturan main dan mekanisme (yurisdiksi) tata kelola DAS dirumuskan atas dasar representasi, demokrasi dan menyediakan ruang dialog dan partisipasi penduduk sekitar DAS. Interaksi antar pemangku kepentingan yang demokratis dapat menjadi
landsan
untuk
pengelolaan
DAS
kolaboratif
dan
terwudunya
kelembagaan partnership based governance. Sejalan dengan rasionalitas utility maximum manner, maka penguasaan sumberdaya hutan yang terdistribusi pada banyak orang lebih dihargai daripada dikuasi secara oligarki dan elitis. Rasionalitas utility maximum manner mengandung makna, reforma agraria merupakan solusi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi komunitas sekitar hutan dan mendorong pertumbuhan agroforestry. Berbeda dengan reforma agraria berbasis rasionalitas utility
maximum yang melahirkan rekonsentrasi penguasaan tanah oleh orang kota, pemilik modal dan kelompok yang diuntungkan oleh proses pembangunan, maka reforma agraria di bawah payung utility maximum manner
ditujukan untuk
redistribusi tanah dan menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan sosial ekonomi, menurunkan kawasan sekitar hutan sebagai kantong kemisknan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bentuk dan proses reforma agraria komunitas sekitar hutan dapat bervariasi sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang spasial dan sosialnya. Misalnya fasilitasi perhutanan sosial, distribusi tanah dan kemudahan akses komunitas terhadap sumber keuangan. Redistrubusi tanah kehutanan bagi
177
komunitas sekitar hutan memerlukan rasionalitas kehutanan, di mana hutan terlantar, tidak produktif dan tanah sengketa, dipetakan dan diidentifikasi sebagai sebagai obyek reforma agraria. Secara yuridis dan kelembagaan, politik agraria transformatif dapat dilakukan melalui penyusunan
peraturan perundang-undangan yang mengikis
habis pendekatan sektoral dan administrasi kewilayahan. Undang-Undang sektoral, seperti kehutanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup, sebaiknya diintegrasikan dalam Undang-Undang Pertanahan atau Undang-Undang Pokok Agraria.
Pengintegrasian
peraturan
perundang-undangan
tersebut
dengan
sendirinya mengharuskan adanya transformasi pengaturan undang-undang sektoral, kewenangan pemerintah daerah dan relasi kekuasaan tata kelola sumberdaya hutan, sumberdaya air dan pertanahan (keagrarian). Transformasi ketiga peraturan perundang-undangan tersebut ditujukan untuk meminimalkan konflik kepentingan, menekan konflik agraria, kontestasi sektoral dan mewujudkan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.