Politik Agraria dan Refleksi 71 Tahun Kemerdekaan Fathun Karib http://indoprogress.com/2016/08/politik-agraria-dan-refleksi-71-tahun-kemerdekaan/
22 August 2016 Harian Indoprogress
BANYAK pengamat dan opini berspekulasi atas kasus Archandra Tahar. Saya lebih memilih melihatnya sebagai bagian dari dansa-dansi politik dan tentunya dengan dimensi agraria yang tidak ketinggalan. Untuk mengiringi lagu dansa Tango yang cocok adalah lagu “Papa minta saham”. Dalam dansa jangka panjang ini, publik terkecoh dan tertinggal untuk mengikuti irama musik Tango yang makin cepat ketukannya. Isu dwi-warga negara, isu kesalehan Archandra dan isu lainnya membuat publik kabur mengikuti lincahnya kaki pedansa dan ketukan musik. Sudirman Said dan Rizal Ramli dibuat masuk kotak dan akhirnya pemain-pemain dansa utama muncul kepermukaaan. Pada akhir analisis sebelumnya, saya menyebut tiga poin penting (hubungan sipil-militer, kedaulatan agraria, dan masa depan generasi berikutnya) untuk rekonsiliasi masa depan. Tiga poin ini mesti ditarik benang merah kuncinya dari sejarah masa lalu dan apa yang persis terjadi sekarang ini. Di balik munculnya isu Archandra, sebuah regulasi penting terkait sumberdaya telah disahkan dan politik agraria bangsa kita selama 71 tahun kemerdekaan masih dalam belunggu dominasi bangsa lainnya. Kasus Archandra menjadi tragedi dan ironi, sebuah 1
kado ulang tahun bagi republik yang merayakan kemederdekaannya disaat kita sejenak berhenti mengikuti irama musik yang mengiringi dansa Tango. Rehat sejenak dengan rasa kopi pahit nan panas dan getah getir yang masih terbawa oleh kepulan asapnya. Lalu kita, para penonton dansa, sambil menyeruput dan bergembira berlomba makan kerupuk perlu menyisakan satu dua menit bertanya; Kemerdekaan dari apa? Politik Agraria dan 71 Kemerdekaan Kita Konflik agraria yang terjadi belakangan ini terkait dengan politik agraria nasional yang tidak banyak berubah setelah Orde Baru menghentikan kebijakan agraria nasional Presiden Sukarno. Politik agraria nasional, dalam hal ini adalah bagaimana negara dan administrasi pemerintahan di bawah kepemimpinan presiden tertentu, memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan terkait agraria dan kebutuhan hidup mendasar manusia Indonesia. Acuan dasarnya bagi kita adalah sejauh mana pemerintah dalam masa administrasi tertentu menjalankan amanah pasal 33 ayat 3, yakni mempergunakan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Apakah politik agraria nasional kita pasca pemerintahan Sukarno sudah sampai pada usahanya bertanggung jawab memakmurkan rakyat? Adanya konflik agraria yang semakin banyak, seperti terbunuhnya Salim Kancil, kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan atau kasus Lumpur Lapindo dan Pegunungan Gendeng yang tidak kunjung selesai, menunjukkan usaha dan political will memakmurkan rakyat itu belum sampai pada tataran impelementasi dan eksekusi. Pada tataran retorik dan wacana pemerintah tentu ya! Kebijakan, regulasi dan aturan hukum sebenarnya menjadi kunci untuk menilai apakah satu pemerintahan memiliki political will untuk memakmurkan rakyatnya atau justru menjadi alat bagi berjalannya perampasan hak hidup mendasar rakyat Indonesia. Presiden Jokowi bisa saja di level institusional berhasil mengangkat BPN menjadi Kementerian Agraria, tetapi apakah substansi kementerian tersebut dan perannya dapat membongkar aturan-aturan sebelumnya ini, masih perlu dilihat pembuktiannya ke depan. Sebagai contoh, untuk menilai pemerintahan Jokowi serius adalah apakah ada usaha mencabut kebijakan pemerintah sebelumnya terkait lahan untuk pembangunan, yaitu UU. No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Perpres No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum? Ini perlu ditanyakan mengingat dua hal. Pertama, penggusuran yang kerap terjadi di ibukota Jakarta oleh pemerintah DKI menurut logika aturan hukum dilakukan secara 2
legal karena undang-undang dan peraturan pemerintahnya mendukung melakukan hal tersebut; Pemerintah DKI tidak bersalah karena ingin melaksanakan pembangunan. Line of reasoning ini menjadi logis apalagi atas nama pembangunan. Tapi apakah hal itu yang sebenarnya terjadi? Apakah pemerintah DKI atau pemerintah daerah lainnya bisa menjustifikasi penggusuran dan ruang hidup rakyat? Kedua, logika di atas dapat dibenturkan dengan nilai-nilai hak asasi universal, seperti Prinsip PBB tahun 1998 yang mengesahkan Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal dimana pada prinsip ke enam (c) dinyatakan “setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi dari pemaksaan sewenang-wenang untuk mengungsi dari rumahnya atau dari tempat dia biasa tinggal dalam kasus proyek pembangunan berskala besar yang tidak bisa dibenarkan atas nama kepentingan umum” (Komnas HAM, 2007, hal. 98). Dalam konteks ini, UU No.2/2012 dan tindakan pemerintah daerah ataupun swasta perlu ditinjau kembali, apakah tidak bertentangan dengan prinsip PBB dan hak asasi manusia tersebut. Siapapun presiden kita sekarang dan dimasa yang akan datang, baik sadar ataupun tidak, akan berada pada pilihan apakah akan tunduk pada kapital atau berani menentukan sendiri kebijakan negaranya. Disinilah pentingnya memahami peristiwa pada tahun 1950-1960, pembunuhan massal, dan jatuhnya Presiden Sukarno. Trauma ini bukan hanya milik para korban, masyarakat arus bawah, ataupun eks tapol saja, tetapi menghantui siapapun yang menjadi presiden di republik ini. Apakah Anda, sebagai presiden, siap berhadapan dengan kekuatan kapital? Kita bisa melihat masa lalu bagaimana Sukarno jatuh dan bagaimana Suharto mengalami hal yang sama pada 1998. Siapapun presidennya tentu akan menghitung-hitung dengan baik konfigurasi ini. Untungnya, jika kita berpikir dalam mentalitas “untung” maka bukan bangsa kita saja yang mengalami trauma dan ketakutan jika berhadapan dengan kapital. Kita bisa lihat bagaimana success story yang terjadi di Indonesia untuk diulang kembali pada banyak negara Amerika Latin, seperti Chile dan Brazil. Dengan kata lain, apa yang terjadi dan dialami oleh bangsa kita merupakan suatu peristiwa penting dan juga dialami dalam skala dunia oleh negara-negara lain. Bahkan, jika kita mau mundur 500 tahun yang lalu pada abad 14-17, kita dapat menemukan awal dari semua ini pada masa transisi feodalisme ke kapitalisme yang bermula di Eropa Barat. Untuk mengakhiri krisis feodalisme dan pemberontakan para petani, kelompok elit negara, tuan tanah dan pedagang memutuskan melakukan ekspansi ke negara lain sebagai solusi krisis. Kita bisa merunut kembali sampai pada bagaimana pertama kali VOC menginjakan kaki di Sunda Kelapa, lalu menyambung dengan tanam paksa di penghujung kolonialisme abad 19. Semenjak itu pelebaran dan integrasi seluruh
3
isi kepulauan nusantara mulai secara bertahap diintegrasikan ke dalam negara kolonial Hindia Belanda. Hanya kemerdekaan bangsa kita pada 1945 yang mampu membuka ruang mengembalikan kisah ratusan tahun ini menjadi kisah yang jauh berbeda. Setelah kemerdekaan, Presiden Sukarno menjadi salah satu negarawan bangsa kita yang berani maju berhadapan dengan kapital dengan politik internasionalnya dan politik agraria nasionalnya dengan UUPA 1960. Pada tingkat internasional ada banyak kepala negara yang berusaha melakukan hal yang sama pada periode pasca merdekanya bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Usaha keluar dari kutukan ini, seperti kita ketahui, berhenti pada 50 tahun yang lalu dimulai dengan peristiwa-peristiwa 1965-1966. Setidaknya kita perlu merenungkan kembali, kita punya periode 20 tahun (1945-1965) masa dimana kemerdekaan itu menemukan makna sebenar-benarnya. Meraba Masa Depan Indonesia Hubungan negara dan pelanggaran hak asasi manusia tidak akan pernah berubah jika negara tidak mengubah pola hubungannya dengan kapital. Pertanyaannya apakah mungkin negara mengubah hubungannya dengan kapital? Ini pertanyaan sulit yang hanya bisa dijawab dengan keberanian. Pertanyaannya siapa yang berani? Semakin sulit karena kita sendiri belum bisa menyelesaikan masalah 1965 dengan lapang dada dan bijaksana. Kesulitan pertama adalah reshufle kabinet dengan komposisi terbarunya yang menggambarkan the “return of the neoliberal” dengan dibukanya isu kemungkinan bergabungnya Indonesia ke dalam Trans-Pacific Partnership (TPP). Kedua, lengsernya Archandra dalam permainan tempo cepat Dansa Tango disudahi dengan genggaman dua posisi kementerian di bawah mantan jenderal. Pengencangan ikat pinggang ini menunjukan intimasi dan intensifikasi hubungan negara kapital yang semakin lekat. Ketiga, reaksi simposium tandingan dan penolakan oleh sejumlah figur politik terhadap keputusan people’s tribunal menunjukkan mungkin perayaan-perayaan kemerdekaan tiga-empat tahun ke depan di bawah pemerintahan Jokowi masih menyisakan aroma kegetiran kopi yang sama. Di lain pihak, “politik pokrol bambu” yang diwarisi Orde Baru sampai sekarang masih membelah masyarakat dengan isu sektarianisme dan isu SARA lainnya. Semua cerita ini perlu dibicarakan kembali agar kita memiliki kesadaran bahwa perilaku negara terhadap hak asasi manusia dan kedaulatan tidak dapat berubah selama hubungannya dengan kapital tidak mengalami perubahan mendasar. Perpanjangan konsensi yang terjadi di balik isu Archandra, misalnya, dapat kita tarik kembali awal mulanya setelah terjadinya pembunuhan massal dan munculnya rezim Orde Baru. Selain itu kita dapat kembali bertanya bagaimana komposisi reshufle kabinet Jokowi berbicara
4
mengenai ini. Apakah perbaikan infrastruktur dengan pembangunan jalan yang menembus wilayah tertinggal selama ini sudah memberikan bantuan terhadap fakir miskin dan anak terlantar sesuai amanah undang-undang? Atau sebaliknya mengambil komoditas yang berada di wilayah terpencil tersebut dan membawanya menyeberang lautan mengikuti ide pembangunan infrastruktur darat menyambung ke arah tol laut. Lalu bila kita buka kembali cerita 200 tahun yang lalu, bukankah Daendels pernah melaksanakan proyek pembangunan jalan raya pos yang terbentang dari ujung Jawa ke ujung Jawa lainnya? Apakah kita tidak hendak mengulang kembali pola-pola yang lebih jauh lagi dari 50 tahun yang lalu? Ini semua adalah logika perdagangan internasional dan ekspansi yang sudah terbangun dari ratusan tahun. Semenjak hasil hubungan buruh-kapita bermula dan suatu produk menjadi komoditas jikalau mengalami proses pertukaran dan berada pada skala sirkulasi global-lokal. Produksi adalah konsumsi, distribusi dan sirkulasi begitu juga sebalikya. Inilah totalitas realitas dunia yang bertumbuh kembang sejak Belanda memimpin Eropa Barat dalam hegemoni dagangnya dan diteruskan oleh estafet Inggris dan Amerika. Kita tidak bisa hanya bertanya dan menemukan pola kesamaan pelanggaran hak asasi manusia hanya pada peristiwa di tahun 1965 saja dan masalah bangsa lainnya, tetapi mungkin kita harus beranikan diri untuk mundur 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun atau bahkan sampai dengan 500 tahun, bahwa apa yang terjadi mungkin memiliki titik awal? Untuk itu, kita tidak bisa hanya mengatakan kita hanya perlu mengetahui masalah Indonesia. Kita tentunya bisa memulai dengan sejarah terdekat yaitu 1965. Tetapi bagaimana kita hendak memulainya mengingat hubungan mendasar dengan kapital yang sudah berusia ratusan itu? Founding fathers bangsa ini mengatakan dalam pembukaan UUD 45 bahwa kemerdekaan kita punya tiga tugas besar yaitu mensejahterakan, mencerdaskan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan. Ini artinya kemerdekaan kita pada tahun 1945 berdiri dalam suasana perjuangan dunia melawan kapital dalam bentuk kolonialisme. Dan apa yang terjadi di belahan dunia lainnya saling berdampak terhadap keberadaan kita di Indonesia. Ayo Mulai Bersama Saya punya optimisme dengan generasi saya dan generasi masa datang yang akan memulai pembicaraan arah Indonesia di masa depan ini. Apa artinya peristiwa sejarah pada kurun periode 50, 100, 300, 500 tahun yang lalu bagi kami yang baru lahir setelah tahun 1980an dan periode setelahnya? Pada rentang terdekat ada jarak di antara kami dan generasi
5
mendatang dengan peristiwa 50 tahun yang lalu, sehingga kami bisa membicarakannya tanpa beban konflik masa lalu. Sejarah harus ditulis kembali dan dibicarakan bersama. Seiring waktu, generasi yang paling dekat dengan peristiwa 50 tahun yang lalu akan menghilang. Hanya dengan membangun kesadaran baru dan keterbukaan di generasi berikutnya maka kita akan keluar dari kutukan masa lalu ini. Dalam konteks ini. Maka salah satu hal yang penting adalah mengembalikan UUPA 1960 sebagai landasan bagi undang-undang lainnya. Kita perlu membuka diskusi bahwa UUPA 1960 bukan produk yang mendukung ideologi tertentu. Jikalau hal ini kembali menjadi diskusi bagi publik, kita akan menemukan bahwa hak-hak individu atas tanah dan ruang hidup lainnya dijamin sama seperti hak-hak kolektif. Lalu kenapa kita harus takut dengan UUPA 1960? Kelompok elit pada tahun 1960 yang berdansa dengan PKI takut akan UUPA 1960 karena terkesan mendukung hasrat PKI? Lalu pertanyaannya apakah hanya PKI yang mendapatkan manfaat? Bukankah ada petani-petani lain yang tergabung, seperti organisasi Islam petani STII (Serikat Tani Islam Indonesia)? Apakah mereka juga tidak akan mendapatkan manfaat dari UUPA 1960? Dan bila kita melihat kembali Pidato Mr. Sadjarwo selaku Menteri Agraria dalam sidang DPR-GR pada 12 dan 14 September 1960, maka semua golongan dan partai politik di DPR mendukung hal ini, karena semua kepentingan dapat diakomodir dalam Populisme UUPA 1960. Ini kembali ke political will pemerintah. Sekarang kita bertanya kembali apakah partai-partai politik di Indonesia setelah 50 tahun yang lalu memiliki program agraria yang jelas? Ini menjadi penting bagi partai politik untuk memiliki platform kebijakan politik agraria yang hendak diusung. Apakah partai-partai punya tawaran yang jelas terhadap pengelolaan sumber daya agraria? Apakah partai-partai dan pemimpin politik di DPR yang mendiskusikan draft UU atau eksekutif memiliki wacana agraria yang bisa menawarkan konsepsi yang lebih baik dari UUPA 1960? Ini tentu akan menjadi langkah yang akan ditunggu-tunggu publik. Hubungan negara-kapital dapat kembali pada proporsi yang semestinya mengingat UUPA 1960 mengatakan “Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli..” (Pasal 13 Ayat 1-4). Kita semua tahu ini semua adalah hasil dari tumpukan kebijakan-kebijakan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Namun justru itu bagaimana sikap, keberanian dan political will para pemegang amanah bangsa dan republik ini memperbaiki ini semua atau justru masuk ke dalam bagian yang memperkuat apa yang selama ini sudah terjadi. Selamat ulang tahun bangsa dan republik Indonesia…Selamat menikmati putaran Dansa Tango berikutnya…Setelah euforia 71 tahun kemerdekaan dihiasi medali emas olimpiade,
6
lompat panjat pinang dan balap kerupuk usai, kita semua kembali ke bangku penonton melihat dan berdecak kagum…sambil tidak ketinggalan kembali bertanya…apa arti kemerdekaan 71 tahun ini…***
Penulis adalah staf pengajar Sosiologi Fisip UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta
7