GAGASAN TRANSFORMASI DEMOKRATISASI LOKAL: Refleksi Ringkas1
Arie Sujito2 Muncul kegalauan, jika tidak boleh disebut keraguan, menyangkut soal masa depan demokrasi lokal di Indonesia. Rentetan peristiwa sengketa politik baik itu dalam arena pemilihan kepala daerah (Pilkada), konflik dan kekerasan yang menyeruak dengan balutan isu politik identitas, serta ragam gejolak berakar problem struktural yang terus mengiringi dinamika lokal dianggap sebagai petunjuk dan penanda bahwa demokratisasi lokal tengah menghadapi goncangan. Kenyataan itu dapat dimaklumi. Karena stabilitas politik dianggap terpengaruh, dengan konsekuensi makin pudar keyakinan penataan sistem politik yang telah diperagakan selama lebih dari satu dasarwarsa. Namun demikian, sejumlah masalah yang mengitari proses politik pasca otoriterisme semacam itu tentu tidak bisa disimpulkan secara simplistik bahwa demokrasi lokal gagal. Mengapa? Karena kita juga tidak bisa pungkiri fakta positif terkait arus deras partisipasi warga, gairah politik kompetisi kuasa dalam rotasi pemimpin daerah, serta tumbuhnya agen‐agen pembaharu dalam sistem pemerintahan lokal adalah kenyataan perubahan penting yang layak dicatat sebagai gejala detak nadi demokrasi. Kisah menggembirakan yang menghasilkan pelopor‐pelopor pendongkrak emansipasi lokal, juga menjadi bagian cerita pengalaman yang hanya bisa hadir dalam rezim demokrasi. Ini sekaligus menjadi argumen bahwa sekalipun konsolidasi dan pelembagaan demokratisasi lokal hingga saat ini masih dihantui kerentanan, akan tetapi jika dibandingkan era orde baru dimana pola kekuasaan korporatis‐represif, jelas reformasi memberikan harapan kebaikan politik. Praktik Baik Arus positif demokratisasi lokal ditandai hal‐hal penting. Pertama, semenjak demokratisasi mengalir di aras daerah, ruang dan struktur kesempatan bagi masyarakat untuk ikut terlibat mempengaruhi keputusan strategis menjadi makin terbuka. Ini menjadi investasi penting atau modal legitimasi kebijakan yang menyangkut hajat kepentingan publik. Kedua, demokratisasi juga kian memperkuat inisiatif warga dalam mengontrol jalannya kekuasaan, sekurang‐kurangnya gerak CSO yang aktif mengawal jalannya proses politik pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah dapat mencegah penyalahgunaan kebijakan yang dapat menghindari kerugian masyarakat. Ketiga, demokratisasi juga menjadi arena kontestasi yang kian seru dalam memilih figur‐figur pemimpin, yang dianggap agen pembaruan tata pemerintahan daerah. Atas kenyataan praktik baik, dimana sejumlah daerah telah berhasil menciptakan terobosan‐ terobosan positif yang bermanfaat untuk masyarakat dapat dijadikan sebagai argumen golongan optimis dalam memandang masa depan demokrasi lokal. Paling tidak sejak desentralisasi dan otonomi daerah yang bertolak awal dari UU no. 22 tahun 1999, kemudian diganti UU no 32 tahun 2004 (kini dalam pembahasan perubahan UU oleh pemerintah dan DPR), kerangka instrumental itu mampu menstimulasi bagi pembenahan tata kelembagaan demokrasi daerah. Besaran otoritas daerah memang tidak sebanding dengan kewenangan
1 Disampaikan pada Konfrensi INFID 2013 bertema: “Pembangunan untuk Semua: memperjuangkan kualitas Pemerintah, HAM, dan Inklusi dalam RPJMN 2014‐1019, Jakarta 26‐27 November 2013. 2 Sosiolog, peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE)
1
pemerintah pusat. Namun, melalui desentralisasi itulah, praktik kelola sumberdaya makin mungkin dinikmati oleh daerah. Itulah penanda desentralisasi dan otonomi dapat dirasakan secara langsung, sekalipun masih saja diliputi masalah negatif yang membuat desentralisasi dan otonomi daerah mengalami penyusutan makna. Bahkan disitulah mewarnai masalah keterancaman demokrasi lokal. Beberapa Kesulitan Pokok Jika diperhatikan secara seksama, ada kecenderungan bahwa problem‐problem tata politik dan ekonomi daerah yang telah ditangani melalui model intervensi kebijakan, regulasi, pembentukan lembaga, serta cara‐cara penyelesaian politik dan ekonomi begitu beragam. Mirip juga dikerjakan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, jika dilihat dari beban dan masalah‐masalah yang masih dan terus membelit daerah ini, dapat dikatakan demokrasi tidak berlangsung secara efektif yang diukur dampaknya pada perubahan tata pemerintahan lokal dan perubahan sosial ekonomi masyarakat. Disini dapat diurai beberapa hal. Misalnya, sejumlah peraturan daerah yang tidak memiliki basis legitimasi kuat dihadapan masyarakat, selain kadang bertarung eksistensinya dengan UU. Tak terkecuali, tubrukan antar peraturan berdampak kebijakan tidak efektif. Begitu pula, muncul makin meningkatnya krisis kelembagaan yang ditandai korupsi dalam struktur birokrasi pemerintahan daerah, institusi parlemen serta aparat hukum yang hingga saat ini kian mengkhawatirkan. Dalam prosesnya cenderung terjadi demoralisasi dihadapan publik. Dalam bahasa sederhana, praktik korupsi di aras lokal (dengan pola yang hampir mirip di pemerintahan nasional) telah menjadi parasit demokrasi. Tata politik liberal yang diadopsi secara mentah‐mentah tanpa mempertimbangkan konteks lokal, dapat berubah sebagai perangkap baru terciptanya ketegangan situasi politik tanpa ujung. Pada sejumlah kasus kontestasi kuasa politik antar aktor atau institusi parpol tanpa mendasarkan etika adalah kisah‐kisah buram politik lokal. Bahkan, tidak jarang menyeret urusan‐urusan identitas etnik dan agama yang dikomodifikasi sebagai gejala sektarianisme politik. Disitu disaksikan pula perselisihan tanpa kecepatan membangun konsensus menjadi konteks kegagalan mengelola konflik politik berubah menjadi kekerasan. Peristiwa kekerasan antar warga yang terjadi hampir domina menghiasi demokrasi lokal, makin mengubah persepsi politik yang semestinya tampil dengan simbol dan makna peradaban berubah menjadi destruktif. Makin absennya etika politik, membuat wajah demokrasi lokal kian bopeng. Menyebut beberapa contoh manipulasi dalam pemilu, money politic dan high cost politic, serta tindakan‐tindakan anarkhi yang distimulasi hasrat kuasa dan keserakahan membuat politik yang memburuk dimata publik. Gambaran semacam ini sungguh ironis, jika disatu sisi menelisik konstruksi politik secara normatif adalah kelola kuasa dengan nilai menuju keberadaban, namun faktanya terseret pada arus ketegangan yang destruktif. Tidak heran jika romantisme politik orbais dengan menampilkan simbol‐simbol masa lalu mengindikan penyusutan kualitas demokrasi. Risiko Distorsi atas demokrasi Hari‐hari ini kita disibukkan untuk memproblematisasi soal pemilukada secara langsung. Gugatan atas pemilihan kepala daerah secara langsung kian menjadi‐jadi, karena dianggap banyak masalah yang diendapkan di dalamnya. Namun diseberang lain juga makin menguat alasan mengapa pemilihan langsung sangat diperlukan dalam mengawal demokrasi lokal. Hingga kini tarik‐menarik argumen juga belum menemukan simpul bagi upaya resolusi
2
demokrasi pemilihan pemimpin daerah ini, agar kedepan terjadi pembaharuan substansial. Sebagaimana diketahui, pemilu tidak sekadar menyangkut keabsyahan prosedural. Jauh lebih penting dari itu adalah, apakah prinsip demokrasi tercermin dalam proses pergantingan kekuasaan itu. Misal persaingan yang sehat, jujur dan adil, bersih dari keculasan, partisipasi yang tinggi, sebagai ukuran‐ukuran dasar substansial berdemokrasi. Perjalanan Pemilu dan pemilukada di Indonesia, mengindikasi derajat yang rendah substansi yang dicapai. Hampir menjadi “rahasia umum”, pemilu dan pemilukada masih ditandai oleh money politic, manipulasi suara, konflik dan beberapa peristiwa kekerasan, serta model‐ model kontestasi formal dengan mobilisasi pemilih melalui cara‐cara yang tidak mendidik. Ada beberapa kisah positif yang juga diperagakan para politisi. Seperti model kampanye cerdas dan mendidik, pendekatan persuasi serta mencari jalan alternatif yang berorientasi membangun tradisi berdemokrasi dengan mempertimbangkan etika. Tetapi hal semacam itu masih dalam ukuran minimal. Secara umum corak politik yang mewarnai pemilukada, atau mainstream masih berupa perang “emosi, materi, dan manipulasi” yang dihiasi gaya pencitraan yang makin ngetrend sebagaimana pemilu nasional. Pola semacam ini masih diawetkan, belum ada tanda‐tanda baru perubahan mendasar. Dalam berbagai diskusi misalnya; politisi calon kepala daerah menghadapi dilematik, dan harap‐harap cemas. Disatu sisi tujuan meraih kursi kekuasaan harus berjuang habis‐habisan bahkan sampai mengeluarkan uang begitu banyak, merogoh kantong dan menguras tabungannya, untuk “obral, royal” yang begitu banal (dangkal). Sementara disisi lain, apa yang dilakukan itu jelas memanipulasi landasan normatif (peraturan), menciderai demokrasi yang fair. Tetapi apa mau dikata, antara hasrat meraih posisi atau audisi status politik bertarik tegang dengan urusan nilai dan etika. Di seberang lain, rakyat di aras lokal juga sudah telanjur disergap dalam situasi yang pragmatis. Karena Pemilukada cenderung dikonstruksi sebagai bentuk “transaksi meraih kuasa”, maka ada kecenderungan di masyarakat justru memanfaatkan pemilu untuk menghasilkan keuntungan instan. “Wani piro, oleh opo, ono rego ono suoro”, adalah kata‐ kata yang makin menjadi perbincangan umum. Situasi semacam ini, bagi masyarakat juga merupakan bentuk reaksi ketiadaan harapan perubahan, karena sikap pragmatis itu merupakan cara mensiasati keadaan politik pemilu yang makin jauh dari cita‐cita mulia berdemokrasi. Jika ditelaah lebih dalam, kecenderungan transaksi politik dalam pemilu(kada) dan problem yang berproses dalam tiga kutup; penyelenggara, peserta, dan pemilih, jelas menjadi penanda pendangkalan politik. Tanpa disadari, pemilu tidak lebih sebagai peristiwa mekanis lima tahunan, administrasi politik pergantian pengurus pemerintahan. Demokratisasi dan demokrasi tidak dijalani dengan spirit negosiasi, persuasi dan sikap atau tindakan cerdas dalam meraih dukungan, kredibilitas penyelenggaraan yang dibayangi ketidakpercayaan, serta gelombang pemilih yang tanpa kesadaran kritis yang mengalir karena mobilisasi. Modus‐modus di daerah beriringan dan sebangun dengan corak di aras nasional. Jika proses pembentukan kekuasaan problematik, maka kekuasaan yang dihasilkan tidak akan memiliki legitimasi memadai dalam menjalankan mandat konstitusi. Tidak heran jika produk kebijakan dari kekuasaan akan mengandung masalah pula. Itu problem berantai pendangkalan politik. Hal semacam ini akan terus berulang jika tidak segera ada
3
pembenahan mendasar, lompatan besar “revolusi politik” pemilu berorientasi persaingan yang legitimate. Refleksi Kritis3 Tantangan serius yang perlu mendapatkan perhatian saat ini dan kedepan adalah, bagaimana melakukan transformasi demokrasi lokal, membenahi proses kelola kekuasaan yang bertumpu pada emansipasi masyarakat sipil dan politik agar bermakna pada pembaharuan pemerintahan lokal. Belakangan ini didalam menghadapi kelesuan politik lokal, ada kecenderungan pilihan‐ pilihan resolusinya mudah disederhanakan dalam kerangka langkah pragmatis dengan mendasarkan pada lembaga hukum. Faktanya masalah‐masalah politik demokrasi (misalnya ketegangan, sengketa dan perselisihan kebijakan) yang hanya dialirkan pada penyelesaian jalur hukum pada akhirnya tidak bisa menghasilkan demokrasi yang bermakna. Kecenderungannya, penyelesaian hukum melakukan register moral, melakukan reduksi politik ke ranah moral, terjadi depolitisasi demokrasi. Bahkan penyelesaian hukum mendorong pertikaian moral atau nilai, menstimulasi terjadi kekerasan sebagaimana disaksikan dalam episode demokratisasi sejauh ini. Sebagaimana gambaran peta struktur sosial kehidupan masyarakat Indonesia, pluralitas dalam spektrum etnik, agama, maupun afiliasi budaya. Pandangan politikal situasi kelola kekuasaan ditandai intervensi politik dengan berbagai cara. Kelola kepentingan dalam dinamika lokal yang hanya menyandarkan pada pandangan antagonisme politikal dimana demokrasi didistorsi oleh perselisihan dalam kontestasi yang saling mematikan. Ada kekeliruan pemaknaan kontestasi kekuasaan yang mengkonstruksi lawan menjadi musuh, tidak menghasilkan pilihan‐pilihan yang memiliki legitimasi dalam sistem demokrasi. Kita bisa saksikan, rute pertarungan kuasa politik lokal belakangan ini makin riuh, yang sayangnya kurang mendapatkan ruang negosiasi secara memadai. Ironisnya distorsi kontestasi dalam pertarungan perebutan kekuasaan, hanya dialirkan dalam ranah institusi hukum. Akibatnya, terjadi monopoli tafir atas kontestasi dalam sistem demokrasi karena masuk dalam perangkap otoritas hukum yang hanya bersendikan norma dan moralitas formal. Disitulah bentuk depolitisasi demokrasi lokal. Contoh konkrit adalah otoritas Mahkamah Konstitusi yang sekarang delanda angin topan, sesungguhnya titik puncak keleliruan kelola politik demokrasi. Untuk membenahi kecenderungan semacam itu, dibutuhkan persepktif agonisme politik demokrasi. Dimana persaingan dan pertarungan dalam kontestasi demokrasi harus diwadahi secara inklusif dalam ranah politik itu sendiri. Kontestasi adalah persaingan yang menganggap lawan sebagai pihak yang harus diakui. Kemampuan untuk menangkap substansi dalam politik kontestasi dalam kekuasaan akan menjadi modal menuju transformasi demokrasi yang lebih bermakna. Bagaimanapun juga tantangan kita saat ini adalah, bagaimana mengalirkan diskursus dari demokrasi liberal menuju demokrasi liberal dan plural, atau demokrasi transformatif. Dalam teori liberal konflik dilihat sebagai masalah private dan diselesaikan secara hukum, dalam demokrasi konflik dilihat sebagai masalah publik, dan diselesaikan secara demokratis.
3 Bagian ini ekstraksi dari gagasan riset “Depolitisasi Konflik dan Kekerasan: Studi Kasus Penyelesaian Hukum Sengketa Pilkada dalam Perspektif Transformasi Demokrasi” (Lambang T, Arie Sujito, dan Najib Azca: 2013)
4
Demokratisasi di Indonesia yang juga diadaptasikan ke area lokal, dari demokrasi liberal, institusional, demokrasi sosial, hingga demokrasi liberal dan plural, atau demokrasi transformatif. Dalam konteks demokrasi, fragmentasi sosial dan konflik politik akibat tuntutan demokratis yang berkembang di masyarakat plural hanya bisa diatasi dengan intervensi etik demokratik; menghargai kebebasan, kesetaraan dan perbedaan. Politik demokrasi disini mendapatkan tugas utamanya menghadirkan kepentingan umum untuk terciptanya tertib sosial atau sipil dan mengatasi segala antagonisme dan konflik kekerasan yang bisa menghancurkan institusi demokrasi. Namun, artikulasi politik liberal berkembang dalam demokratasisasi selama ini, sebagaimana dikemukakan di muka, telah menjadikan politik demokrasi berlangsung dangkal, sekedar sebagai instrumen untuk mengejar kepentingan ekonomi dan melakukan register ‘moral’ untuk mencapai kompromi, transaksi dan konsensus politik, mengabaikan antagonisme dan konflik berlangsung dalam kehidupan politikal, mengandaikan bahwa konflik dengan sendirinya akan bisa diatasi dengan kompromi pasar dan proseduralisme, dan dengan itu tidak mendapat jawaban dari politik demokrasi. Ketidakmampuan artikulasi politik liberal menangkap antagonisme itu, seperti dikatakan Carl Schmitt (1976), bisa berujung pada jatuhnya demokrasi. Demokrasi kita, nasional maupun lokal, sedang menghadapi kecenderungan itu. Konflik dan antagonisme dalam dimensi kehidupan politikal itu, dan terutama konflik politik bersumber dari tuntutan demokratis di masyarakat plural, harus diatasi secara politik pula. Tidak bisa ditransfer begitu saja dalam ranah ekonomi atau register ‘moral’. Karena selain berdimensi kepentingan, dimensi afeksi selalu menyertai politik (Lambang Trijono, 2013). Mengabaikan dimensi itu, sama artinya dengan mengabaikan politik, dan dengan itu membiarkan kekerasan berlangsung. Ekspresi kekerasan yang makin sering terjadi sejauh ini menjadi petunjuk dan argumen pandangan itu. Karena, seperti dikatakan Schmitt, kelompok‐kelompok sosial dalam masyarakat begitu mudahnya menjadi politikal ketika sedikit saja kondisi terbentuknya identitas kolektif mencukupi, entah berdasar ekonomi, moralitas, etik, etnisitas, maupun agama.4 Sebaliknya, kalangan politik liberal menekankan pengembangan kelembagaan berpendapat bahwa pembentukan lembaga‐lembaga demokrasi liberal tidak jadi masalah, dan mungkin mendukung stabilitas demokrasi. Tetapi, proses liberalisasi politik berlangsung dan perluasan partisipasi politik di masyarakat sipil secara luas bisa menimbulkan persaingan politik yang hebat dan bisa disalahgunakan oleh kelompok‐kelompok sipil tidak bertanggungjawab memobilisasi kekuatan politik berdasar basis etnis dan agama sehingga menimbulkan kekerasan sosial. Karena itu, menurut mereka, liberalisasi politik sebaiknya ditunda dulu sampai stabilitas politik, kekuatan sipil dan lembaga‐lembaga penegakan
4 Cara pandang ini bisa digunakan untuk mengatasi krisis demokrasi (lokal), atau merosotnya ketidakpercayaan terhadap demokrasi, terutama sebagai dampak dari kegagalan politik liberal dala, pelembagaan institusi demokrasi. Merespon krisis politik itu, kalangan liberal sendiri menekankan pentingnya revitalisasi lembaga‐lembaga demokrasi. Menurut mereka, pelembagaan demokrasi yang memungkinkan berlangsungnya stabilitas politik masih bisa dilakukan dengan dukungan penegakan hukum tanpa harus menuai resiko konflik dan instabilitas politik. Khusus dalam konteks Indonesia, meski partisipasi politik dilakukan secara terbatas, liberalisasi politik dan penegakan hukum melalui pemberantasan korupsi untuk mencegah praktek politik uang dikatakan cukup berhasil menciptakan stabilitas demokratisasi dan mendorong revitalisasi institusi demokrasi (Samadhi and Warrow, 2008).
5
hukum berjalan (Parish, 2004). Pendapat ini merekomendasikan, liberalisasi sebaiknya dilakukan secara bertahap, dengan menekankan pentingnya dukungan terhadap elit moderat untuk mengatasi konservatisme politik, dengan tetap mewaspadai demokratisasi yang terlalu cepat yang bisa mendorong politik massa dan ketidakstabilan politik di masyarakat. Berbeda dengan kedua pandangan tersebut, kalangan demokrasi sosial‐liberal menekankan pentingnya kombinasi pengembangan kelembagaan, gerakan sosial demokratis dan penguatan agen‐agen demokratisasi (Tornquist, et.al., 2009). Fokus utama mereka adalah proses dimana aktor‐aktor dan kelembagaan politik mempengaruhi satu sama lain dalam upaya melakukan reformasi daripada melakukan penyesuaian‐penyesuaian dengan kepentingan elit moderat, dan dengan demikian secara substansial mendorong perkembangan demokrasi. Pendapat ini sejalan dengan Corothers (2007) yang menekankan bahwa strategi demokratisasi perlu dilakukan secara bertahap untuk menciptakan ruang yang memungkinkan bagi berkembangan kompetisi politik secara bebas dan terbuka untuk mengatasi monopoli elit terbatas dan dominasi kekuasaan. Berbeda dengan ketiga pendapat di atas, kalangan revisionis menekankan pentingnya perluasan dan pendalaman demokrasi dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi. Pengikut demokrasi liberal dan plural, misalnya, mengajukan alternatif model demokrasi kompatibel dengan stabilitas politik, mampu mengatasi konflik atau antagonisme dalam hubungan kekuasaan di masyarakat, atau dimensi politikal dalam kehidupan sosial, sehingga berlangsung transformasi hubungan kekuasaan dari bersifat antagonis menuju ke hubungan kekuasaan bersifat agonistik (Mouffe, 2000; 2005). Problem utama dihadapi krisis demokratisasi, menurut pendapat ini, terutama disebabkan oleh reduksi demokrasi menjadi hanya sekedar sebagai instrumen dan prosedur politik dengan mengabaikan dimensi konflik yang menurut asumsi ini bisa dihilangkan melalui proseduralisme (Lambang Trijono, 2013). Tetapi, mengatasi krisis itu dengan mengambil model demokrasi deliberatif sebagai alternatif tidak mampu mengatasi masalah. Kecenderungan mereka melakukan register moral dalam mengatasi konflik dan menjadikan konsensus sebagai satu‐satunya cara mengatasi justru bisa menyebabkan terjadi dislokasi politik dan eksklusi sosial, yang akan membangkitkan fundamentalisme dan kekerasan yang justru akan membahayakan bekerjanya institusi demokrasi (Mouffe, 2005). Mengatasi krisis demokrasi, kalangan revisionis menekankan pentingnya aktivasi politik demokrasi dengan menjadikan demokrasi liberal dan plural sebagai jalan dan cara mengatasi antagonisme dan konflik politik di masyarakat. Menurut mereka, kehidupan sosial selalu merupakan ekspresi dari berlakunya hegemoni politik. Dihadapkan pada konstruksi tatanan baru dan hegemoni politik dari kalangan liberal‐konservatif sekarang yang dibangun atas dasar konsepsi hak‐hak politik bersifat individual dan konsepsi negatif tentang kebebasan, alternatif satu‐satunya yang masih tersisa, menurut mereka, adalah melakukan rekonstruksi terbentuknya sistem demokrasi yang berbeda. Gerakan demokratis sekarang dalam hal ini disarankan untuk memposisikan diri dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi, melakukan perluasan horison demokrasi dalam berbagai lapisan sosial. Tetapi, penting ditekankan disini, dalam konteks sekarang, tugas utama gerakan demokratis bukan melawan demokrasi liberal, melainkan melakukan perluasan dan pendalaman demokrasi liberal dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi (Mouffe and Laclau, 2001). Perbedaan pandangan diatas selain mencerminkan perbedaan pandangan politik, juga memperlihatkan adanya dilema dan kesulitan‐kesulitan untuk menemukan model demokrasi
6
paling sesuai tanpa harus mengorbankan stabilitas politik. Bahkan, sebaliknya, mampu mengatasi antagonisme dan konflik dalam dimensi politikal dan dengan demikian mengatasi krisis dan mendorong berkembangnya demokrasi. Dalam konteks ini, penulis lebih menekankan pentingnya peluasan dan pendalaman demokratisasi dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi. Demokratisasi dilakukan sedemikian rupa mampu mengatasi antagonisme dan konflik dalam kehidupan politikal dengan melakukan transformasi hubungan kekuasaan dari bersifat antagonistik menuju hubungan agonistik. Mengikuti pandangan ini, perbedaan pandangan politik bukan dipandang sebagai musuh (enemy), atau pihak yang harus dienyahkan dengan kekerasan. Melainkan, sebagai lawan (adversary), yaitu mereka‐mereka yang ‘kita’ lawan pendapatnya, tetapi kita tidak pernah mempertanyakan hak‐hak ‘mereka’ dalam memperjuangkan pendapatnya, karena keberadaan mereka diakui secara sah dalam politik demokrasi (Mouffe, 2000; 2005).5 Pandangan ini menjadi lebih terasa berarti ketika ditempatkan dalam konteks pentingnya selalu menjadikan demokrasi sebagai ruang yang selalu terbuka bagi kontestasi politik agar tidak mudah begitu saja diisi identitas simbolik kekuasaan yang tetap, baik dalam bentuk kekuasaan bersifat personal, patrimonial, egokrat, kelompok terbatas, partai atau organisasi dalam bentuk autoritarian (Leffort, 1988). Perbedaan otoritaritarianisme dan demokrasi terletak pada bagaimana hukum, pengetahuan dan kekuasaan didistribusikan; yang pertama terkonsentrasi atau bersifat otoritarian, yang kedua, dalam demokrasi, kekuasaan, hukum dan pengetahuan didistribusikan dan terdesentralisasi ke seluruh masyarakat. Dari sudut pandang ini, kecenderungan transferensi politik ke dalam hukum, dan registrasi moral dilakukan sengketa politik, serta proseduralisme yang berkembang dalam demokrasi, menunjukkan tanda‐tanda berlangsungnya krisis demokrasi dan menguatnya kembali otoritarianisme di Indonesia. Meskipun belum pasti kemana arahnya dan dalam bentuk otoritarianisme seperti apa, di tengah menguatnya kembali proseduralisme dan otoritarianisme itu, aktivasi politik demokrasi perlu digalakkan dan konflik politik berkembang dari tuntutan demokratik harus diselesaikan dengan pendekatan politik demokrasi melalui bekerjanya institusi‐institusi demokrasi. Catatan refleksi diatas, terutama bagian akhir, barangkali akan bisa membantu untuk menuju jalan mengatasi kemandegan dan pendangkalan demokrasi (lokal dan nasional). Pandangan ini, tentu bukan berarti sebagai anti hukum positif formalisme dalam mengatasi perselisihan dan masalah demokrasi, tetapi tesis utamanya adalah perlunya membuka kembali ruang perimbangan demokrasi politik dalam arti praktik emansipatif masyarakat sipil sebagai subjek dalam mempengaruhi kekuasaan. Demokrasi jangan sampai disederhanakan sebagai proses hukum dan kelembagaan formal.
5 Ketegangan dalam demokrasi sejauh ini harus diatasi dengan intervensi politik, tidak bisa ditrasfer
begitu saja dalam ranah ekonomi atau dengan melakukan register ‘moral’ untuk mencapai konsensus nilai. Menurut mereka, hal itu tidak mungkin dilakukan di masyarakat plural dan sekaligus tidak kompatibel dengan demokrasi plural, karena tidak ada konsensus nilai yang tanpa disertai eksklusi, dan tidak ada tindakan politik yang tidak disertai konstruksi kawan/lawan, atau kita/mereka, sehingga dalam kehidupan politikal selalu terdapat konflik dan antagonisme.
7