DEMOKRATISASI DI PEDESAAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI LOKAL SUBADI
Latar Belakang Permasalahan Pada masa Orde Baru, rejim yang berkuasa telah mampu melakukan sentralisasi politik dan dan ekonomi yang sangat kuat (Lay 1998). Namun demikian sejak runtuhnya pemerintahan Suharto maka pemerintah pusat sudah kehilangan cengkeramannya terhadap daerah. Pola penguasaan politik stics and carrots tidak bisa lagi dilakukan. Pola penggunaan “gebugan” (sticks) terhadap “sang kuda” yang membangkang, yang ditangani oleh pihak militer sudah kehilangan keampuhannya. Lebih dari itu pihak militer telah kehilangan keberanian dan kemampuannya untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran hukum. Suatu posisi yang dapat dikatakan berada pada posisi “nadir” di sepanjang sejarah Indonesia. Pola penggunaan bantuan (carrots) agar “sang kuda” bersedia terus menarik bebannya, tanpa mengetahui tujuan yang akan dicapai, juga tidak dapat lagi dilakukan karena tidak adanya lagi dana untuk terus menerus memberikan bantuan kepada daerah. Di samping kondisi semacam ini maka adanya tuntutan reformasi dan maraknya ketidak puasan daerah terhadap ketidak adilan pusat telah memaksa penguasa transisional Habibie untuk lebih memberikan kekuasaan sosial-politik dan sosial-ekonomi kepada pihak daerah. Munculnya Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 dan Nomer 25 Tahun 1999 merupakan bentuk nyata untuk mengatasi permasalahan diatas. Permasalahannya adalah apakah pengalihan kekuasaan secara besar-besaran dari pusat ke daerah dapat terlaksana dengan baik dan benar. Beberapa dampak yang dapat muncul apabila daerah tidak benar-benar siapa diataranya adalah: (a) Munculnya aristokrat dan feodalisme lokal; (b) Munculnya konflik horisontal pada masyarakat lokal yang heterogen; (c) Penindasan terhadap minoritas; (d) Munculnya otoritarianisme lokal (Lay 1998); (e) Inefisiensi dan inefektifitas pemerintahan lokal; (f) Munculnya ketidak merataan pembangunan antar daerah; (g) Maraknya praktek KKN di aras lokal; (h) Maraknya gerakan anarkisme lokal; dan (i) Secara nasional memungkinkan munculnya proses disintegrasi bangsa. Semua kemungkinan dampak yang dapat muncul oleh adanya pemindahan kekuasaan dari pusat ke daerah seperti terurai diatas sangat berkaitan dengan empat aspek yaitu: (1) Ada tidaknya demokratisasi di pedesaan; (2) Ada tidaknya Pemerintahan Lokal yang berdaya dan bersih; (3) Ada tidaknya penegakkan hukum; dan (4) Ada tidaknya pendidikan politik di pedesaan. Makalah ini akan mencoba membahas keempat aspek tersebut terutama berkaitan dengan rencana pelaksanaan otonomi daerah (desa ?). Demokratisasi dan otonomi desa Secara harafiah kata “demokrasi” berarti suatu pemerintahan oleh rakyat, namun sejumlah ahli memberi maka demokrasi yang berbeda-beda. Peter Bachrach (1980:24-98) menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah adalah suatui sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu dimana kebebasan mutlak dijamin. Sedangkan Robert Dahl (1971:2) mengatakan bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggung jawab kepada semua warga negaranya (accountability). Pandangan-pandangan para ahli ini seringkali bersifat normatif dan seringkali tidak dapat diterapkan dalam dunia nyata terutama di Indonesia.
Schumputer (1947:269) memberi makna demokrasi yang relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan dimana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat dilakukan dalam arti suatu rencana institutional (pengambilan keputusan) untuk mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga demensi makna yang saling terkait yaitu persaingan, partisipasi (Dahl 1971:4-9), dan kebebasan. Bagi Indonesia, dimana peran parpol belum berfungsi sepenuhnya maka makna kebebasan, persaingan dan partisipasi belum dapat dilakukan sebagaimana didefinisikan oleh Schumputer. Yang terjadi di pedesaan adalah suatu demokrasi elitis yang baru menyentuh para elite pemegang kekuasaan baik formal maupun non formal (Suwondo 1999). Demokratisasi adalah suatu proses menuju kepada suatu bentuk sistem politik yang demokratis. Menurut Huntington (1984:193-218), bagi dunia ketiga paling tidak ada dua kemungkinan model demokratisasi (proses demokratisasi) yaitu: (a) Model demokratisasi dialektis atau (b) model demokratisasi siklis despotisme dan demokrasi yang berselang seling. Model demokratisasi dialektis muncul karena adanya tekanan kelas menengah terhadap rejim otoriter yang ada untuk memperluas partisipasi dan persaingan. Terobosan kota (urban break-through) ini (Huntington 1968:72-78) akan mampu menggulingkan kekuasaan rejim otoriter yang disusul oleh pelembagaan rejim demokratis. Model demokratis siklis despotisme yang berselang seling dengan demokrasi menunjukkan adanya pemilu yang rutine tetapi tidak disertai dengan perubahan pemerintahan. Pemerintahan seringkali merupakan produk campur tangan militer pada saat partai radikal hampir memenangkan atau sudah memenangkan pemilu dan akan mengancam hak prerogatif militer. Model demokratisasi ini nampaknya cocok untuk menggambarkan kondisi pada masa sekarang dimana hak prerogatif militer mulai digoyang (bahkan disingkirkan). Apakah militer akan kembali “ikut campur tangan dalam kekuasaan” ? kita nantikan saja. Semua pihak sebenarnya berharap akan munculnya suatu rejim demokratis yang stabil. Rejim semacam ini tidak akan mungkin muncul dari suatu proses paksaan yang bersifat revolusioner (kecuali Kosta Rica tahun 1948). Yang dalam sejarah dapat ditemui adalah suatu proses penggantian yang bersifat transformasi. Disini terjadi suatu perubahan melalui reforma atau pembaharuan dan bukan melalui ruptura atau penghancuran (Linz 1978:35). Proses pembaharuan membutuhkan kompromi dan kesepakatan antar para elite yang merupakan bagian dari rejim yang demokratis. Terlepas dari adanya kemungkinan munculnya model demokratisasi siklis despotisme dan demokrasi yang berselang seling diatas maka apabila kita menginginkan adanya rejim pemerintahan lokal (pedesaan) yang demokratis stabil, dibutuhkan suatu proses demokratisasi dialektis yang didukung oleh suatu pembaharuan yang bersifat kompromi dan kesepakatan antar para penguasa di aras lokal. Masalahnya siapkah masyarakat pedesaan untuk itu ? Otonomi desa mempunyai makna yang bermacam-macam sehingga membutuhkan klarifikasi sebelum masuk kedalam uraian lebih lanjut. Undang-undang Otonomi Pemerintahan Daerah (Undang-Undang No 22 tahun 1999) menunjukkan bahwa pengalihan kekuasaan dari pusat nampaknya akan lebih di tekankan kepada aras kabupaten atau kotamadia. Dengan demikian
otonomi desa tidak bermakna agar desa menjadi basis otonomi wilayah lokal namun menjadi pendukung kestabilan dan kemampuan otonomi daerah (aras kabupaten atau kotamadia). Disini desa nampaknya terlalu kecil untuk menjadi entitas politik, ekonomi, dan pelayanan kepada publik. [1] Dengan demikian maka aras pembahasan dalam makalah ini lebih ditujulkan kepada kondisi dan situasi lokal yang berada dibawah kabupaten. Untuk menjawab empat pertanyaan utama diatas (bab I) perlu dikemukakan terlebih dahulu situasi dan kondisi wilayah pedesaan pada akahir-akhir ini. Perkembangan Wilayah Pedesaan Sehubungan dengan permasalahan diatas ada beberapa perubahan sosial-politik yang terjadi di pedesaaan pada akhir-akhir ini (Percik 1999), yaitu : (1)
Adanya pergesaran pusat-pusat kekuasaan Kalau semula pusat kekuasaan terutama ada di tangan birokrasi formal dan beberapa pimpinan non formal maka pada saat ini pusat kekuasaan yang diakui oleh masyarakat pedesaan bergeser ke banyak kekuasaan termasuk tokoh-tokoh sosial-politik baru. Pada saat ini maka pusat kekuasaan di pedesaan menjadi semakin banyak, bervariasi, dan semakin tersebar. Dengan demikian usaha untuk mendemokratisasi pedesaan menjadi lebih terbuka untuk dimulai pada aras grassroot.
(2)
Adanya perubahan basis relasi politik Kalau semula basis relasi lebih diwarnai hubungan ekonomi atau hubungan katerpaksaan karena ketakutan pada kekuasaan maka pada dewasa ini basis relasi sosial-politik menjadi semakin komplek seperti: adanya keterikatan dengan “semacam politik aliran”; munculnya solidaritas antar kelas-kelas baru; dan relasi berdasar warna keagamaan. Dengan demikian maka secara teoritis di satu pihak mulai ada persaingan dan partisipasi yang akan mempermudah demokratisasi namun di pihak lain akan mempermudah konflik antar kelompok yang dapat menjurus ke arah proses disintegrasi bangsa.
(3)
Munculnya faksionalisme Munculnya sistem multi partai dan era reformasi nampaknya membawa masyarakat pedesaan kearah pola faksionalisasi baik yang bersifat kepartaian, keagamaan, atau kedaerahan. Kondisi ini dapat menguntungkan upaya pendemokratisasian pedesaan namun kalau tidak hati-hati akan memungkinkan munculnya konflik berkepanjangan yang menjurus kearah yang tidak demokratis.
(4)
Berkembanya pola kepemimpinan Munculnya era reformasi jelas membawa pengaruh kepada suatu pola kepemimpinan pedesaan yang sudah lebih demokratis dan transparan. Pola-pola kepemimpinan otoriter dan korup sudah langsung “direformasi” oleh kekuatan massa pada periode sesaat sesudah runtuhnya kekuasaan rejim Suharto. Dengan demikian mau-tidak mau para pemimpin baru harus menerapkan pola kepemimpinan demokratis dan transparan agar kekuasaannya tetap di dukung oleh massanya.
(5)
Berkembangnya local institutions Kalau selama masa Orde Baru hampir semua pranata tradisional yang merupakan jaringjaring pengaman sosial diganti dengan jaring bantuan dari pemerintah yang
(6)
menyebabkan masyarakat pedesaan menjadi tergantung kepadfa pihak luar (bahkan kepada kekuatan asing). Pada masa sekarang jaring-jaring pengaman sosial yang mandiri mulai dikembangkan lagi. Adanya sistem pertanian organik yang tidak tergantung kepada pasar global, sistem lumbung desa, sambatan, atau arisan untuk saling menolong telah mulai dikembangkan (Suwondo 2000). Munculnya perubahan fungsi idiologi; Pada masa Orde Lama dan sebelumnya idiologi menjadi faktor pengikat yang bersifat bebas dan sukarela bagi keberadaan sekelompok orang di dalam suatu wadah (seperti Persatuan Pamong Desa Indonesia yang beraviliasi kepada PNI). Pada masa Orde Baru idiologi bukan menjadi faktor pengikat yang bersifat sukarela namun menjadi pengikat yang memaksa. Pada era reformasi ini dimana keberadaan azas tunggal Pancasila sudah diabaikan maka peran idiologi menjadi kembali kebentuk lama atau ke bentuk baru yang lain.
(7)
Maraknya perubahan makna Pemaknaan adalah suatu usaha untuk memberi arti tentang suatu gejala oleh suatu kelompok masyarakat atau oleh individu dan menggunakan apa yang dimaknai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh LKMD yang seharusnya (tidak didasarkan kepada undang-undang yang ada) dimaknai sebagai badan pengambil keputusan di aras desa menjadi hanya dimaknai sebagai badan pelaksana pembangunan desa (pembantu kepala desa). Munculnya era reformasi mengakibatkan adanya perubahan pemaknaan oleh masyarakat terhadap gejala atau istilah tertentu yang berbeda dengan pemaknaan sebelumnya atau yang seharusnya. Sebagai contoh makna reformasi adalah penggantian atau penghancuran. Demikian pula rembug desa dapat dimaknai sebagai forum yang syah dari kelompok masyarakat tertentu yang menuntut keadilan.
(8)
Pergeseran keseimbangan anatara negara dan masyarakat Kalau pada masa Orde Baru negara pada posisi yang kuat dan menentukan sedangkan masyarakat berada pada posisi yang terkooptasi dan seringkali tereksploitasi. Pada masa sekarang posisi negara berada pada kondisi lemah sedangkan posisi rakyat menjadi sangat kuat dan seringkali menjurus kearah anarkis tidak terkontrol. Kondisi semacam ini tentu saja di satu pihak menunjukkan kemandirian masyarakat pedesaan namun di lain pihak dapat menyebabkan proses demokratisasi, dan penegakkan hukum sering kali terabaikan. Kedelapan perubahan sosial-politik utama tersebut sebenarnya memumpun kepada dua perubahan utama yaitu: di satu pihak masyarakat sudah mencoba mengadakan perubahan-perubahan kearah pola-pola hubungan sosial-politik yang demokratis namun di lain pihak sebagian besar masyarakat berada pada track demokratisasi yang sudah menjurus kearah yang salah dimana pertimbangan-pertimbangan hukum dan keadilan seringkali diabaikan. Makna demokrasi belum benar-benar dipahami dengan benar bahkan seringkali hanya dipakai sebagai legitimasi untuk memaksakan kehendak. Di samping adanya masalah kemampuan dan kemandirian di bidang ekonomi maka kondisi sosial-politik semacam itulah yang menjadi kendala di dalam mengusahakan demokratisasi pedesaan menuju otonomi daerah. Permasalahannya adalah bagaimana kita mampu menolong masyarakat pedesaan untuk mandiri dalam mendorong terwujudnya pengalihan kekuasaan dari pusat ke daerah (otonomi daerah).
Idialisasi Desa Yang Mandiri
Istilah desa yang otonom nampaknya akan menjadi perdebatan panjang karena akan berhadapan dengan makna otonomi seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999 (dan Undang-undang Nomer 25 Tahun 1999). Oleh sebab itu maka di dalam makalah ini akan digunakan istilah desa yang mandiri dalam mendukung otonomi derah. Dari segi sosial-politik dan sosial-ekonomi kemandirian desa yang dapat mendukung otonomi daerah dapat terjadi kalau sistem politik lokal dan sistem ekonomi lokal mencerminkan berlakunya sistem demokrasi stabil yang berkelanjutan. Disini sistem politik dan ekonomi bersifat inklusif (terbuka bagi hubungan dengan pihak luar), namun tidak harus menjadi tergantung atau dieksploitasi dari dan oleh pihak luar. Jawaban dari pertanyaan ini adalah kembali ke empat pokok pembahasan awal kita yaitu: (1) Ada tidaknya demokratisasi di pedesaan; (2) Ada tidaknya Pemerintahan Lokal yang berdaya dan bersih; (3) Ada tidaknya penegakkan hukum; dan (4) Ada tidaknya pendidikan politik di pedesaan. Pertanyaan-pertanyaan ini secara mudah akan dijawab tidak ada. Oleh sebab itu maka dalam rangka menuju desa ideal yang mandiri maka keempat aspek itulah yang harus dikembangkan. Demokratisasi di Pedesaan Dari segi sosial-politik adanya proses-proses politik dan ekonomi yang demokratis stabil dapat lebih mudah tercapai kalau prasyarat civil society di aras lokal juga terpenuhi. Dengan kata lain adanya civil society yang seimbang dan benar merupakan prasyarat adanya demokratisasi. Larry Diamond (1994) menyatakan bahwa civil society adalah kenyataan dari kehidupan sosial yang terorganisasi yang bersifat sukarela, swadaya, swasembada, dan terbebas dari tekanan negara, yang terikat oleh hukum yang berlaku. Dengan demikian pandangan ini pada hakekatnya menginginkan adanya suatu masyarakat yang mempunyai kemandirian dan terbebas dari hegemony negara. Pandangan ini, yang tidak menghendaki campur tangan negara, mempunyai dua kelemahan utama. Yang pertama adalah adanya kebebasan penuh individualn atau kelompok dan adanya kemungkinan munculnya suatu dominasi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis atau kapitalis terhadap masyarakat banyak. Kelemahan yang kedua adalah tidak adanya kesadaran akan munculnya sisi gelap dari ego manusia, seperti destruktif, anti demokratis, tidak adil, bahkan tindakan yang secara universal tidak benar. Chandoke (1995:8-13) juga mengemukakan bahwa perkembangan politik di pedesaan pada mulanya sudah sejalan dengan perkembangan civil society, karena masyarakat sudah secara sadar berani dan mampu meminta pertanggung jawaban penyelenggara pemerintahan. Namun akhir dari usaha untuk mewujudkan civil society tersebut kemudian berkembang menuju suatu bentuk-bentuk kegiatan yang bersifat anarkis yang penuh dengan tindak kekerasan dan pembunuhan. Sampai tahap ini kekawatiran Diamond dan Chandoke ini terbukti, bahwa para pejuang civil society di aras desa telah kehilangan kesadaran akan memunculnya sisi gelap dari sifat ego manusia. Keadaan ini memaksa kita untuk kembali memikirkan tentang langkah-langkah pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan nampaknya berada pada track yang salah atau terlalu jauh (kebablasen). Untuk itu maka diperlukan suatu proses pencerahan bagi kita semua agar pengembangan civil society tetap berada pada rambu-rambu penghormatan kepada hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang memberi pencerahan tentang civil society pada aras
lokal tersebut ? Apakah pihak Ornop atau LSM (Philip Eldridge 1990:528-530), pemerintah, Parpol, atau semua pihak ? Berdasar perkembangan civil society di pedasaan maka beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk melakukan pencerahan civil society menuju demokratisasi di pedesaan (disamping pendidikan politik di aras desa, lihat uraian sub bab 4.4.) diantaranya adalah: (1)
Pembenahan Struktur, Mekanisme, dan System Politik Nasional dan lokal. Usaha untuk memberdayakan cicil society masyarkat pedesaan tidak dapat dipisahkan dari pengembangan struktur, mekanisme, dan sistem politik nasional kearah yang lebi demokratis. Hanya dengan pembenahan di aras nasional maka kepercayaan masyarakat kepada negara akan tumbuh kembali dan kemudian mereka akan rela untuk menyerahkan sovereiniteitnya kepada negara agar dicapai keseimbangan antara kekuasaan negara dengan kedaulatan rakyat. Dampak dari pembenahan di aras nasional ini sekaligus juga harus dibarengi dengan pembenahan di aras lokal (sampai kepedesaan). Untuk itu maka peran pemimpin (baik formal maupun non formal), Ornop, maupun Parpol pada aras lokal memegang peranan yang sangat penting.
(2)
Pembenahan Kelembagaan Representatif Tersedianya wadah representatif di aras desa yang mempu menyalurkan aspirasi masyarakat ke aras yang lebih tinggi merupakan suatu keharusan untuk segera dikembangkan. Penggantian kembali LMD/LKMD dengan suatu kelembagaan semacam Rembug Desa atau Parpatan Agung atau Badan Perwakilan Desa nampaknya merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh. Keberadaan lembaga semacam Rembug Desa yang mempunyai kewenangan untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa, merupakan jaminan adanya partisipasi masyarakat desa terhadap program pembangunan yang ada di desa mereka. Usaha untuk merubah (mengganti) pola pemerintahan desa dengan pola pemerintahan kelurahan, yang dapat menyebabkan sumber dana desa (berupa bengkok) ditarik ke aras yang lebih tinggi, dan yang memungkinkan adanya kontrol mutlak dari pihak penguasa atas desa, perlu dipikirkan kembali karena dapat mengurangi kemampuan otonomi desa dan sekaligus memperlemah civil society di aras desa.
Pemberdayaan Bagi Penyelenggara Pemerintahan Lokal Cook dan Macaulay (1996) menyebutkan bahwa kunci keberhasilan pemberdayaan adalah adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk memulai pemberdayaan pada diri kita sendiri atau dari pihak atas. Oleh sebab itu pihak penyelenggara pemerintahan termasuk para legislatif, yudikatif, dan eksekutif, perlu melakukan pemberdayaan diri sendiri terlebih dahulu, sebelum memberdayakan masyarakat. Paling tidak ada empat aspek yang harus diberdayakan pada diri penyelenggara pemerintahan yaitu: (1)
Adanya Usaha Untuk Memisahkan Kekuasaan Sejak era Sukarno, Orde Baru, usaha untuk melakukan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan eksekutif tidak pernah dilakukan, yang ada adalah supremasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan legislatif dan yudikatif. Kondisi pada aras lokal juga terjadi seperti itu. Oleh sebab itu adanya pemisahan kekuasaan paling tidak antara penyelenggara pemerintahan desa dan Lembaga Perwakilan Desa (Rembug Desa) perlu
segera dilakukan. Dengan kondisi semacam ini maka proses check and balance dapat berjalan.
(2)
Adanya Usaha dan Untuk Mendesentralisasi Kebijakan Pola pengambilan keputusan yang bersifat top-down dan sentralistik nampaknya harus dihentikan dan beralih ke pola kebijakan yang memperhatikan aspek desentralisasi. Di aras pedesaan pola yang sama seperti itu harus segera dihentikan. Pihak pemerintahan desa dapat mendelegasikan program-program pembangunannya ke aras dukuh atau pada kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan dan mampu menangani. Kalau perlu dana subsidi desa (Inpres Desa) seharusnya digunakan secara desentralisasi di aras yang lebih rendah dari desa demi menyerap partisipasi masyarakat.
(3)
Adanya Usaha Untuk Menyerap Partisipasi Rakya Usaha untuk menyerap partisipasi rakyat dapat lebih mudah dilakukan apabila ada usaha untuk menghindari intervensi pemerintah (pihak atas desa). Dengan cara ini maka pelibatan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat desa dapat dilakukan sejak tahap perencanaan (terutama dalam proses pengambilan keputusan), Pelaksanaan pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan (eksploitasi), sampai tahap evaluasi. Bentuk keterlibatan rakyat dalam penerapan kebijakan yang biasa dikenal sebagai kebijakan bottom-up ini dapat berbentuk pemikiran, tenaga, uang, maupun material. Dengan cara ini maka para partisipants akan lebih mempunyai rasa memiliki (handarbeni) terhadap apa yang sudah dibangun.
(4)
Adanya Usaha Untuk Memberi Pertanggung Jawaban Aspek accountability, demokratis, dan transparancy merupakan aspek-aspek yang sangat penting untuk diperhatikan. Konsekwensi dari aspek ini yang menunjukkan adanya kontrol yang ketat menyebabkan berkurangnya kesempatan dari pihak-pihak tertentu (seperti kaum birokrat, pemborong, dan pengusaha) untuk mengambil keuntungan yang berlebihan (tidak adil) dari suatu program pembangunan. Selain itu maka keberdayaan peran legislatif sebagai alat kontrol dan saluran aspirasi rakyat menjadi kunci adanya usaha untuk meminta pertanggung jawaban pemerintahan lokal
Penegakkan Hukum Maraknya tindak kekerasan, penjarahan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain atau terhadap fasilitas pemerintah mencerminkan bahwa hukum sudah tidak lagi mampu menjangkau mereka (diluar hukum). Lemahnya posisi militer dewasa ini ikut membantu maraknya tindakan yang melanggar hukum dan hak-hak asasi manusia tersebut. Beberapa usaha yang dapat segera dilakukan diantaranya adalah: (a) Pengembangan Budaya Non KKN Maraknya gejala nepotisme biasanya akan diikuti oleh munculnya sejumlah tindakan yang bersifat kolusi, yang pada akhirnya akan bermuara kepada tindakan-tindakan korupsi. Kondisi semacam ini nampaknya sudah membudaya, baik di kalangan masyarakat atas maupun bawah dan sudah berjalan sangat lama. Pihak masyarakat pedesaan biasanya hanya mencontoh apa yang dilakukan panutannya, namun jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan KKN yang dilakukan kelompok atas jauh lebih merugikan negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu usaha untuk menanggulangi
(b)
semakin membesarnya gejala KKN haruslah dimulai dari kelompok atas dari masyarakat pedesaan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang berlaku secara tegas. Tentu saja perangkat hukum dan sistem sosial-politik yang dapat menjaring atau mencegah tindakan yang bersifat KKN harus disiapkan sebelumnya dengan matang. Pengambilan Tindakan Tegas Bagi Pelanggar Hukum Adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengadili orang yang melanggar hukum baik di aras nasional maupun pedesaan harus segera dilakssanakan. Bahkan suatu terapi-kejut perlu dilakukan untuk memberi contoh dan membuat jera para pelanggar hukum. Tentu saja usaha ini harus dilakukan decara tegas namun dengan tetap menghormati hak-hak asasi manusia.
Pendidikan Politik Pemberdayaan masyarakat bukanlah semata kebijakan yang bersifat karitatif (yang dapat menimbulkan inefisiensi ekonomi nasional), tetapi suatu kebijakan yang bertumpu pada perkembangan, kemampuan, dan keberdayaan masyarakat di bidang politik. Pola pemberdayaan yang berusaha mendorong kemampuan dan kemandirian masyarakat merupakan syarat yang harus diperhatikan. Bentuk-bentuk kegiatan penyuluhan, penyadaran, pelatihan, dan pengembangan kemampuan di bidang politik yang terus menerus dilakukan merupakan kegiatan yang menjadi prioritas. Dengan cara ini sebenarnya kondisi civil society juga sekaligus dapat diperbaiki. Kalau selama ini usaha pemberdayaan politik masyarakat lebih banyak dilakukan oleh LSM (karena tidak adanya kesempatan bagi Parpol), maka munculnya Undang-undang Politik Tahun 1999 sebenarnya memberi peluang besar bagi Parpol untuk kembali memulai (sesudah 32 tahun facum) salah satu tugas utamanya yaitu pemberdayakan masyarakat di bidang politik sampai aras pedesaan. Beberapa kegiatan yang seharusnya segera dilakukan oleh politik di aras desa diantaranya adalah: (a)
Pembenahan Jalur Komunikasi ke Aras yang Lebih Tinggi. Masuknya kegiatan dan struktur partai partai sampai kearas desa nampaknya tidak dapat ditolak lagi. Adanya kegiatan dan struktur partai di aras desa, yang walaupun memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok masyarakat yang berbeda partai, namun korbanan ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan korbanan lemahnya civil society di aras desa dan tertutupnya saluran aspirasi masyarakat ke aras yang lebih tinggi. Adanya kematangan Bangsa Indonesia sesudah terbelenggu secara politik lebih dari 50 tahun dan memuncaknya kerinduan masyarakat untuk hidup lebih demokratis diharapkan akan mampu meredam pertentangan (konflik) brutal antar kelompok masyarakat yang berbeda partai. Bahkan dengan terbukanya saluran komunikasi dan aspirasi diharapkan akan mampu meredam tindak kekerasan dan kebrutalan masyarakat Di sini devisi atau bagian Penelitian dan Pengembangan Parpol (litbang) harus menunjukkan eksistensinya dan dekat dengan masyarakat pedesaan. Tugas kelompok ini tidak hanya mengadakan pendidikan politik namun juga menjadi saluran komunikasi antara masyarakat dengan penguasa.
(b)
Pendidikan Politik di Aras Desa Munculnya pemimpin handal yang mampu menjadi panutan masyarakat dan berkembangnya kesadaran politik, tidak hanya menjadi dasar terbentuknya civil society yang secara bebas mampu mengimbangi kekuasaan negara namun lebih dari itu dapat
memberikan pencerahan kepada kita semua tentang cara-cara bernegara yang demokratis stabil. Kedua pokok tersebut mampu diwujudkan apabila ada suatu proses pendidikan politik di aras desa yang terus-menerus dilakukan Penutup Demokratisasi (proses menuju demokrasi) di pedesaan nampaknya belum berjalan sesuai dengan definisi demokrasi yang stabil. Kalaupun dikatakan ada maka yang terjadi masih terbatas kepada elite pedesaan, bahkan bagi masyarakat pedesaan yang terjadi adalah suatu proses demokrasi yang terlalu jauh (kebablasen) sampai melanggar kaidah-kaidah hukum dan kemanusiaan. Kondisi sosial-politik yang memprihatinkan ini menjadi bertambah buruk dengan adanya keterbatasan sumber daya di pedesaan. Dengan demikian kondisi ideal yang mandiri demi mendukung otonomi daerah sedang menghadapi kondisi yang sulit dan lemah. Untuk itu maka sudah menjadi kewajiban kita bersama baik parpol, ornop, intelektual, maupun pemerintah untuk membantu memperbaiki kondisi kemandirian desa. Hanya dengan terbentuknya desa yang mandiri secara sosial-politik dan sosial-ekonomi tanpa harus tergantung atau tereksploitasi oleh pihak luar maka pengalihan kekuasaan dari pusat (Jakarta) ke daerah dapat berjalan dengan baik.