ANALISIS SITUASI (ANSIS) Writer : ARYOS NIVADA & FAHRUL RIZA YUSUF
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 (“Rujukan terhadap Pencalonan Pelaksanaan Pilkada Aceh”)*
Latar Belakang
G
agasan demokratisasi pemerintahan dan penguatan kedaulatan rakyat semakin mendapatkan tempat dengan adanya gagasan untuk pemilihan langsung pimpinan daerah. Gagasan pemilihan langsung kepala daerah inipun secara formal baru terealisasi pada tahun 2004 dan baru dilaksanakan pada tahun 2005. Pemilihan kepala daerah secara langsung, tak hanya menjadi perintah Undang-undang Dasar, akan tetapi suatu kebutuhan bagi rakyat untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis, berpihak pada masyarakat, aspiratif, dan memiliki legitimasi.
Ballet Box and Vote by: Yasir Imran yasirimran.wordpress.com
Sebuah panorama baru, dimana Indonesia memasuki era keti-
ga dalam membangun demokrasi setelah terselenggaranya paket pemilihan langsung, yakni dengan hadirnya calon perseorangan hikmah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ini adalah UU yang pertama di Indonesia yang mengikutsertakan calon perseorangan (independen). UUPA menjadi rujukan perubahan paradigma politik hukum dalam pemilihan kepala daerah oleh pembentuk undang-undang, yang pada akhirnya membentuk regulasi tentang calon perseorangan yang selanjutnya pembuat UU memformulasikan wacana dan paradigma demokrasi baru tersebut ke dalam kehidupan demokrasi di Indonesia secara legal. Era kekinian dimensi politik hukum di Indonesia terus mengalami perubahan dan menyelaraskan berbagai produk hukum di Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. HALAMAN
1
Regulasi Pelaksanaan Pilkada
R
egulasi pemilihan kepala daerah yang berujung dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dikarenakan proses pembahasannya tidak seintensif pembahasan Undang-Undang yang lahir melalui proses legislasi “normal”, oleh pembentuk Undang-Undang. Hingga yang terakhir disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang.
Kendati baru disahkan pada Maret 2015 jelang pelaksanaan era Pilkada serentak nasional yang dimulai bertahap sejak 2015kemudian penerapan pemilihan kepala daerah serentak seluruh Indonesia pada 2027. Pun demikian Undang-Undang (UU) tersebut banyak menyisakan beragam persoalan perdebatan politik hukum yang ditandai dengan banyaknya bermunculan gugatan permohonan uji materil UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya terdapat 3 (tiga) perkara gugatan yang didaftarkan pada MK terkait UU No. 8 Tahun 2015 yang bermuara pada Pasal 7 (huruf g, r, t dan u). Sehinggga terdapat 3 (tiga) putusan MK terkait pasal tersebut, antara lain : 1.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUUXIII/2015 bertanggal 8 Juli 2015 terkait gugatan Pasal 7 (huruf r dan huruf s) : tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
HALAMAN
2
2.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUUXIII/2015 bertanggal 9 Juli 2015 terhadap Pasal 7 huruf g : bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
3.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUUXIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015 terhadap Pasal 7 (huruf t dan u): bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perkara Yang Dipersidangkan di Mahkamah Konstitusi Permohonan uji Materi kepada Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk meminta pengujian kepada MK terkait Pasal 7 UU No. 8/2015 yang mengatur mengenai persyaratan menjadi calon kepala daerah (baik calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota) khususnya Pasal 7 huruf r dan huruf s UU No.8 Tahun 2015. Dengan pemohon Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Periode 2014-2019. Pembahasan dalam Analisis Situasi (ANSIS) ini akan mengulas perihal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 terhadapUU No.8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf s terhadap calon yang berlatarbelakang dari anggota DPR, DPD dan DPRD berdasarkan pasal 7 huruf s yang berbunyi : “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
Hal ini dapat membuat adanya perlakuan yang tidak adil bagi calon lainnya dari kalangan pejabat/pegawai negara lainnya yang dipersyaratkan mengundurkan diri atau berhenti, karena posisi anggota DPR, DPD, atau DPRD yang menjadi calon masih berstatus sebagai anggota aktif. Sebagaimana diketahui bahwa setiap anggota DPR, DPD, atau DPRD memiliki hak dan kekuasaan politik seperti dalam hal legislasi, kontrol, dan keuangan yang tentu saja berdampak berpotensi dapat memengaruhi kebijakan atau pengaturan tentang pelaksanaan pemilihan melalui lembaga penyelenggara dan Pemerintah Daerah.
Pasal tersebut secara nyata memuat ketentuan perlakuan “istimewa” khususnya kepada anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan calon kepala dan wakil kepala daerah dari latarbelakang selainnya. Sedangkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang berlatarbelakang petahanan (incumbent) dan pe- Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 33/PUUjabat BUMN/BUMD mengundurkan diri sejak ditetap- XIII/2015 terkait UU No. 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf s juga merujuk pada Pasal 7 huruf t dan huruf u. kan sebagai calon (Pasal 7 huruf p dan huruf u). Oleh karenanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut memuat ketentuan baru terkait Pasal 7 (huruf t dan u) UU No. 8 Tahun 2015 : Sementara bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari latarbelakang anggota Pasal 7 huruf t UU 8/2015 yang menyatakan: TNI, Polri, PNS, wajib mengundurkan diri pada saat mendaftarkan diri sebagai calon dalam pemilihan “mengundurkan diri sebagai Tentara Nasional Indokepala atau wakil kepala daerah (pasal 7 huruf t). nesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pengaturan pada pasal tersebut memberikan kelonggaran bagi setiap anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya cukup dengan pemberitahuan kepada pimpinannya jika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara nyata merupakan sebuah tindakan yang tidak adil dan melanggar prinsip keadilan (fairness) bagi calon lainnya. Seseorang anggota DPR, DPD, atau DPRD dapat mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah sembari tetap menjadi anggota. Jika tidak terpilih, maka kemudian masih ada harapan untuk tetap kembali duduk lagi menjadi anggota dewan.
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon”. Pasal 7 huruf u yang menyatakan: “berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon”. •
Pasal 7 (huruf t dan u) UU No. 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika kedua frasa dalam kedua pasal tersebut diartikan “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP”. HALAMAN
3
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 7 huruf s UU 8/2015 inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) sepanjang frasa : “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam Pasal tersebut tidak diartikan : “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Amar Putusannya 33/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa point dan substansi sebagai berikut : Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 7 huruf s adalah : 1. inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) 2. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 7 huruf s UU No. 8/2015 sepanjang frasa “memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Karena dalam pasal tersebut tidak diartikan, sepanjang tidak dimaknai : “mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Berdasarkan putusan MK yang menyatakan bagi setiap calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah : Prosedur yang berlaku terhadap PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat/pegawai BUMN/ BUMD, mutatis mutandis : berlaku juga bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
“
Putusan MK bersifat Final dan Binding serta Ergo Omnes. Sehingga, niscaya dipatuhi dan diikuti oleh siapa pun.
SCAN QR CODE untuk Mengunduh Putusan MK Nomor: 33/PUU-XIII/2015 HALAMAN
4
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
Untuk mendapat kepastian hukum dari unsur calon tersebut di atas oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah (KPU/KIP), dipersyaratkan untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon. Setelah Putusan MK tersebut, lembaga penyelenggara pemilu KPU harus menyesuaikan aturan teknis sesuai substansi putusan MK tentang pencalonan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Menindaklanjuti putusan MK, KPU merevisi PKPU No. 9 Tahun 2015 menjadi PKPU No.12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas PKPU No. 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Peraturan KPU No.12 Tahun 2015 Pasal 68 ayat (1): Bagi Calon yang berstatus sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang pemberhentian sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil kepada KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon. Ayat (2) : Calon yang bersatus sebagai pejabat atau pegawai pada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah wajib menyampaikan keputusan pejabat yang berwenang tentang pemberhentian dari Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah kepada KPU Provinsi/ KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon. Ayat (3) : Calon yang tidak menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan tidak memenuhi syarat.
“
Qanun Pilkada Aceh yang akan dijadikan sumber rujukan pelaksanaan Pilkada Aceh kedepan harus memasukkan point-point substansi dari diputusan MK No. 33/PUU-XIII/2015
SCAN QR CODE untuk Mengunduh Peraturan KPU Nomor : 12 tahun 2015 ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
HALAMAN
5
Implikasi terhadap Pilkada Aceh
K
ilas balik Pilkada 2012 era kedua pelaksaan Pilkada Aceh pasca damai. Pada saat itu terjadi perdebatan sengit antar elit politik di Aceh, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal 256 UUPA. Hal tersebut dikarenakan Qanun Pilkada Aceh yang disahkan oleh DPRA tak memasukkan calon perseorangan. Sehingga qanun tersebut tak bisa diberlakukan sebagai acuan penyelenggara pemilu. Sehingga Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh harus merujuk pada aturan pelaksanaan Pilkada nasional untuk menjalankan pemilihan akibat tidak adanya landasan pelaksanaan di daerah. Berbagai gugatan dilayangkan ke MK yang meminta tahapan pilkada ditunda, sehingga jadwal pemungutan suara Pilkada Aceh berlarut-larut ditunda hingga tiga kali.
Pilkada Aceh 2017 merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung ketiga paska damai yang akan digelar secara serentak di 23 kabupaten/kota untuk pemilihan kepala daerah Gubernur dan Wakil Gubernur, sedangkan untuk pemilihan kepala daerah setingkat kabupaten/kota akan diselenggarakan di 20 dari 23
kabupaten/kota di Aceh (minus Kota Subulussalam, Aceh Selatan dan Kabupaten Pidie Jaya). Beranjak dari pengalaman Pilkada Aceh tahun 2012 yang tertunda dan berlarut-larut dengan hiruk pikuk persoalan hukum dan kekerasan (pembunuhan)yang setidaknya ikut mencederai ruh demokratis dan perdamaian Aceh. Oleh karenanya pada tahun 2016 akan memasuki tahapan awal pelaksanaan Pilkada dengan tengat waktu pemungutan suara yang akan dilaksanakan pada Februari 2017. Maka sudah sepatutnya pengambil kebijakan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera merumuskan qanun pilkada guna adanya jaminan kepastian hukum sebagai dasar pelaksanaan pilkada dan anggaran. Qanun Pilkada yang akan dijadikan sumber rujukan pelaksanaan Pilkada harus memasukkan point-point substansi dari diputusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Sehingga apapun dalih pembenaran dari perdebatan hukum dalam pembahasan Qanun Pilkada telah ada rujukan dengan putusan MK tersebut yang bersifat final dan mengikat.
Korelasi prasyarat Pencalonan bagi calon kepala daerah antara UUPA (UU No. 11/2006) dan UU Pilkada (UU No. 8/2015) UU No.11/2006 (UUPA) Pasal 91 ayat 4 huruf f : surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan huruf h : surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRA/DPRK tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya.
UU No. 8/2015 (UU Pilkada) Pasal 7 huruf s : memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf i : Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRA/DPRK yang mencalonkan diri sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota HALAMAN
6
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
S
ecara substansi antara bunyi Pasal 7 huruf s UU No. 8/2015 dengan UU No.11/2006 pasal 91 ayat 4 (huruf f, h dan i). Bahwasanya persyaratan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK hanya pemberitahuan kepada pimpinan DPRA/DPRK saja. Sedangkan bagi PNS, anggota TNI dan anggota Polri diharuskan mengundurkan diri. Hal ini jika merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU/XIII/2015 tentu dapat dimaknain konstitusional bersyarat, dan bertentangan dengan UUD 1945.
• Pendirian Partai Politik Lokal (Pasal Bab XI Pasal 75) , • Calon Independen (Pasal 67 ayat 1 huruf d ), • adanya Qanun tersendiri yang mengatur penyelenggaraan Pilkada (Pasal 66 ayat 6), • Ketentuan mengenai mampu melaksanakan Syariat Islam bagi kandidat kepala daerah (Pasal 67 Ayat 2 huruf b) serta • Pembentukan Komisi Independen Pemilihan (BAB IX Pasal 56) Dalam rangka menghindari multi tafsir dan polemik hukum di kemudian hari, kami merekomendasikan untuk dilakukan Judicial Review (JR) atau peninjauan kembali terkait persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/ DPRK kepada pimpinan DPRA/DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I kepada MK.
“
Walaupun secara jelas bahwa Aceh memiliki kekhususan (lex specialis) melalui UU No. 11/2006. Namun perlu ditinjau bahwa dasar Putusan MK No. 33/PUUXIII/2015 sebuah keputusan yang bersifat Declaratoir constitutive dan mempunyai kekuatan mengikat serta kekuatan eksekutorial. Putusan MK yang bersifat Final dan Binding serta Ergo Omnes. Sehingga, niscaya dipatuhi dan diikuti oleh siapa pun. Bahkan penafsiran hukum secara moral reading dari UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusi negara sebagai rujukan hukum tertinggi di Indonesia. Selain itu mengenai persyaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/DPRK tersebut hemat kami bukan merupakan bagian dari kekhususan Aceh dalam bidang politik melainkan turunan lebih lanjut dari penjabaran teknis pencalonan yang sebelumnya diadopsi dari UU No 32 Tahun 2004 dan perubahan nya tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bidang politik kekhususan Aceh sebagaimana yang termaktub dalam UUPA ialah : ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015
Apabila tidak dilakukan JR, maka kemungkinan besar Qanun Pilkada Aceh kedepan tidak akan mengadopsi norma sebagaimana yang diatur dalam Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 atau dengan kata lain, calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/ DPRK di Aceh berpotensi besar TIDAK PERLU MUNDUR dari jabatannnya ketika mendaftar sebagai calon.
Padahal MK sendiri telah mengatur ketentuan wajib mundur bagi calon yang berlatar belakang anggota legislatif dan ketentuan tersebut berlaku secara mutlak bagi seluruh calon yang berlatar belakang legislatif di seluruh wilayah Indonesia. Apabila Hal ini terjadi maka akan amat rentan dikarenakan apabila calon yang berlatar belakang anggota legislatif tersebut menang dalam Pilkada, akan rawan gugatan dari pihak lain yang tidak puas terhadap hasil Pemilihan.
HALAMAN
7
Pihak yang tidak puas akan menggugat calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut kepada Mahkamah Konstitusi dan implikasinya Mahkamah harus memenangkan gugatan tersebut dikarenakan sejak awal calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut sudah cacat prosedural sejak awal pencalonan (tidak mundur dari jabatan publik) dimana hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015. Hal demikian akan berefek pada keamanan dan kestabilan daerah pasca Pilkada. Negara akan mengeluarkan biaya ekstra untuk menyelenggarakan kembali Pemilihan Kepala Daerah ulang. Selain itu potensi rusuh dan konflik ditenggarai akan besar kemudian hari dikarenakan protes dari pendukung calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut. Pendukung merasa bahwa calonnya telah menang pilkada secara demokratis. Sedangkan kelompok kontra menilai sejak awal pencalonan kepala daerah yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut sudah cacat secara prosedural dan pemilihan bertentangan dengan hukum karena mengikutsertakan calon yang seyogyanya tidak dikutsertakan akibat adanya ketentuan yang tidak ditaati dalam pencalonan. Selain itu skenario yang dapat terjadi apabila calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK menang dalam Pilkada dengan mengabaikan Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 ialah Calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK tersebut dapat saja mengklaim sudah memenangkan Pilkada secara sah dan legal sesuai dengan peraturan perundang un-
dangan, dalam hal ini UUPA dan Qanun Pilkada, akan langsung memproses pelantikan dirinya. Hal ini dapat saja terjadi terlebih KIP Aceh dalam hal ini sempat menyatakan bahwa tidak ada khilafiah dalam pelaksanaan Pilkada Aceh, Aceh hanya merujuk UUPA. Pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaksanaan Pilkada Aceh dapat saja mengabaikan peraturan yang mengatur tentang Pemilu lainnya yang berskala nasional juga Putusan MK. Apabila Kemendagri belum merespon tuntutan pelantikan dari kubu Calon yang berlatang belakang anggota DPRA/DPRK maka akan timbul konflik Aceh vis a vis Pusat kembali. Intinya dalam pengambil kebijakan di Aceh diharapkan dapat membaca teks UUD dan UU secara “moral reading” yang keduanya tidak boleh dibaca secara datar teks/naskah. Sehingga dapat menemukan kandungan moral dari naskah aturan tersebut dengan mempertimbangkan konteks, filosofis sesuai dengan cita-cita demokrasi guna membangun konstruksi hukum dalam penerapan atau penyusunan Qanun Pilkada serentak di Aceh untuk tahun 2017. Dalam pembuatan Qanun Pilkada yang sedang dibuat haruslah memperhatikan aspek filosofis, yuridis, sosiologis, dan historis. Diperlukan juga menelaah asa-asas dan penjelasan interpretasi hukum sehingga tidak bersifat ambigu. Jangan sampai menjadi polemik publik atas Qanun Pilkada yang dibuat DPR Aceh. [] Analisis : Aryos Nivada, MA & Tim JSI Desain Grafis : Teuku Harist Muzani
Jaringan Survey Inisiatif®
HALAMAN
8
Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127 Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email:
[email protected]
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. I/ TAHUN 2015