Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-imperialisme (GERAK LAWAN) Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Serikat Bersama Buruh Indonesia (SBBI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Institute for Global Justice (IGJ), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Komite Aksi Mahasiswa LAKSI 31 (KAM LAKSI), Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KM-AI)
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Position Paper, 01 Desember 2007
Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme-imperialisme (GERAK LAWAN) Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Serikat Bersama Buruh Indonesia (SBBI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Institute for Global Justice (IGJ), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), Komite Aksi Mahasiswa LAKSI 31 (KAM LAKSI), Komite Mahasiswa Anti Imperialisme (KM-AI)
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
2
Latar Belakang Sejumlah 441 pakar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) beberapa bulan lalu telah melaporkan bahaya naiknya suhu permukaan bumi lima tahun mendatang. Diiringi dampak lanjutan berupa kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, lenyapnya spesies, banjir, dan kekeringan. Asia terkena dampak paling parah: produksi pertanian Cina dan Bangladesh anjlok 30 persen, India langka air, dan 100 juta rumah warga pesisir tergenang. Laporan seram yang meramalkan bumi di ambang kiamat ini tentunya cukup beralasan. Dalam beberapa dekade terakhir begitu banyak bencana alam yang melanda Indonesia dan dunia. Banjir, kekeringan dan topan badai silih berganti menimpa manusia dan alam ini. Belum lagi musim yang semakin tidak menentu, gelombang udara panas yang berlangsung berkepanjangan atau musim penghujan yang tiba terlalu cepat seakan mengacaukan pola kehidupan manusia. Fenomena inilah kemudian disebutkan sebagai pemanasan global (global warming)—atau dalam beberapa pernyataan disebut juga lanjutannya sebagai perubahan iklim (climate change). Secara sosial-budaya, jelas dampak dari fenomena ini bukan main-main. Ada permasalahan besar yang menghadang di depan, karena dampaknya adalah niscaya bagi rakyat miskin di seluruh dunia. Dampak ekonomi-politik juga sangat mengenaskan terutama bagi rakyat di negara miskin dan berkembang. Pernyataan serupa juga dinyatakan oleh Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan dalam pertemuan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke 12 di Nairobi, Kenya. Annan menyampaikan: ” The impact of climate change will fall disproportionately on the world’s poorest countries… Poor people already live in the front lines of pollution, disaster, and the degradation of resources and land. For them, adaptation is a matter of sheer survival” Kata-kata Kofi Annan tersebut dengan gamblang menggambarkan bahwa dampak dari pemanasan global akan menyebabkan meluasnya angka kemiskinan dan kelaparan dunia jauh melebihi situasi yang ada saat ini. Jumlah terbesar penduduk miskin dunia saat ini berada di negara miskin dan berkembang-negara tropis dan sub-tropis, kita-kita inilah yang paling pertama dan utama merasakan dampak dari pemanasan global. Bencana dan ketidakteraturan iklim menyebabkan jutaan manusia kehilangan tempat tinggal, kehilangan sumber penghidupan, dihantui bahaya kelaparan dan bencana alam. Secara lebih luas jutaan manusia di
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
3
seluruh dunia terancam masalah struktural: kemiskinan, penindasan dan ketidakadilan sosial. Permasalahan: Neoliberalisme Mengakibatkan Pemanasan Global Banyak yang menganalisis bahwa pemanasan global adalah penyebab banjir, kekeringan, atau kelaparan yang mengancam planet dan umat manusia saat ini. Hal itu jelas salah kaprah, karena pemanasan global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit (given atau taken for granted). Jika dianalisis secara mendalam, pemanasan global sesungguhnya bukanlah sebab, ia adalah akibat. Ia adalah akibat dari mode produksi kapitalistik. Mode produksi kapitalistik inilah yang seharusnya dianalisis lebih lanjut sebagai permasalahan utama yang menyebabkan pemanasan global. Analisis terhadap penyebab pemanasan global ini juga harus dilakukan secara holistik, tidak sektoral seperti saat ini yang cenderung mengambil sudut pandang lingkungan saja. Karena sesungguhnya di sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi sesungguhnya perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir saja, tapi sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial. Namun adalah sangat logis jika dinyatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal (1944 hingga sekarang). Mengutip perkataan presiden pertama RI Soekarno, era penjajahan gaya baru inilah yang ditandai mode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakarcakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya. Mode produksi ini tak kenal puas, tak kenal batas untuk tumbuh. Dan kita bisa lihat hasilnya, angka-angka yang hanya dinikmati segelintir perusahaan raksasa, negara miskin dan berkembang maju, lembaga keuangan internasional dan tentunya individu-individu pemilik kapital. Selama beberapa dekade neoliberalisme diejawantahkan model pembangunan global, dan selama itu pulalah proses pemanasan global sebenarnya telah diakselerasikan. Ada beberapa jalan neoliberalisme secara kebijakan dan praktek, namun secara singkat bisa kita mengerti dari kredo Konsensus Washington yakni (1) privatisasi; (2) deregulasi; dan (3) liberalisasi pasar. Utang sebagai pangkal privatisasi dan deregulasi Jika kita menilik poin pertama dan kedua dari Konsensus Washington, kita tidak bisa tidak melihat fenomena utang dan intervensinya terhadap negara miskin dan berkembang sebagai Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
4
praktek langsung neoliberalisme. Proyek dan program utang luar negeri atas sponsor lembaga kreditor seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC, dll telah menimbulkan biaya sosial-budaya dan ekonomi-politik yang sangat besar. Seperti pengusiran paksa, penggusuran, kerusakan lingkungan dan korupsi. Penemuan-penemuan empiris mengenai hal ini menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung sebuah negara miskin dan berkembang untuk merehabilitasi dampak yang ditimbulkan akibat sebuah proyek utang justeru lebih besar dari utang baru yang diterima. Penyebabnya adalah kebijakan penyesuaian struktural lembaga-lembaga kreditor yang menghiraukan kapasitas negara peminjam untuk menanggungnya. Salah satu yang menyebabkan kebijakan seperti pengurangan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi justeru memperburuk kwalitas kehidupan rakyat. Sebuah laporan UNICEF menunjukan bahwa berbagai program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF secara substansial bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi, dan pendidikan puluhan juta anak di dunia ketiga. Di Indonesia, penyesuaian struktural menyebabkan semakin bertumpuknya utang luar negeri dan termasuk negara yang paling lambat keluar dari dampak krisis ekonomi 1997 – 1998. Beban utang yang besar juga memaksa negara miskin dan berkembang melakukan ekstraksi sumber daya alamnya untuk melayani pembayaran utang kepada negara imperialis (Amerika dan Uni Eropa). Apalagi, dampak perubahan iklim (bencana banjir, kekeringan, dan badai) menyebabkan negara miskin membutuhkan sumberdaya yang signifikan untuk merehabilitasi dampak dari bencana. Sebuah laporan yang dikeluarkan OXFAM, menyebutkan bahwa negara miskin membutuhkan setidaknya 50 miliar USD per tahun untuk program rehibilitasi dan perlindungan terhadap dampak perubahan iklim. Di tingkat domestik, hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan export sumber bahan mentah seperti karet, kopi, sawit, minyak dan gas. Sebuah tindakan untuk memenuhi hasrat kapital dengan mengorbankan hutan alam dan kerusakan lahan-lahan agraria akibat eksplorasi pertambangan di semua negara penghutang. Bukannya mengoreksi kebijakan keliru ini, hal ini ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dengan memberikan utang baru untuk mengintensifkan dan memperluas jangkauan produksi industri-industri tersebut. Terhitung sejak tahun 1992 – 2004, grup Bank Dunia telah menyetujui skema utang sebesar 11 miliar USD untuk membiayai 128 proyek energi fosil di 45 negara miskin dan berkembang, termasuk ekstraksi, pembangkit listrik, serta kebijakan reformasi sektor energi. Hasil perhitungan yang telah dilakukan, proyek-proyek tersebut menyumbang sekitar Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
5
43,4 miliar ton emisi karbon dioksida bagi penduduk dunia. Parahnya, Hampir dari setengah dari proyek untuk minyak, gas, dan batubara yang disponsori bank dunia tersebut (dan lebih dari 80 persen proyek untuk minyak) didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar global, terutama di Negara-negara imperialis. Dalam menjalankan proyek-proyek utang baru tersebut, pihak kreditor mewajibkan negara penghutang untuk menjalankan agenda-agenda penyesuaian struktural seperti melakukan privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Misalnya agenda privatisasi air, program administrasi pertanahan, liberalisasi sektor migas dan pertambangan serta reformasi sektor kehutanan bagi masuknya investasi baru. Agenda tersebut pada kenyataannya justeru mendorong kerentanan terhadap lahirnya bencana ekologis baru di negara penghutang. Perdagangan bebas Ilustrasi untuk menggambarkan perdagangan bebas sebagai salah satu pemercepat pemanasan global tidaklah sulit. Mode produksi kapitalistik-neoliberal pada industri-industri (terutama pertanian, industri dan jasa) seperti yang telah dinyatakan di atas terus berkembang hingga menjadi raksasa. Aktor-aktor utamanya, yakni perusahaan transnasional raksasa (TNCs) tentunya menghasilkan produk yang luar biasa masifnya untuk dijual, dilempar, atau di-dumping ke pasar. Pasar di sini tentu tidak hanya negara asal penghasil misalnya negara maju macam AS dan Uni Eropa, namun juga menuju negara miskin di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini adalah ciri perekonomian global yang berjalan di atas mode produksi kapitalistik-neoliberal yang terus berekspansi, berorientasi ekspor, dan tak henti memburu pasar-pasar baru. Kita bisa lihat ilustrasinya dalam sektor pertanian, bahwa pangan—baik mentah maupun kemasan—didistribusikan melalui transportasi ke seluruh dunia dan bahkan kita sangat akrab dengan pangan impor yang tersedia di pasar domestik kita. Sangat gampang mendapatkan buah-buahan dari Cina atau New Zealand, beras impor Thailand, kedelai dan gandum dari AS, daging dan susu dari Australia misalnya. BBM yang dipergunakan untuk proses ini tentunya membuang emisi karbon ke atmosfer. Organisasi petani Swiss, UNITERRE, memperkirakan bahwa satu kilo asparagus yang diimpor dari Meksiko membutuhkan 5 liter BBM untuk ditransport via pesawat terbang (kurang lebih 11.800 kilometer) menuju Swiss. Sementara jika diproduksi lokal, asparagus di Swiss hanya membutuhkan 0.3 liter BBM untuk mencapai langsung ke konsumen. Kira-kira penggambaran kasusnya serupa dengan fenomena kedelai, buah, daging, dan gula impor ke Indonesia. Hal serupa terjadi pada barang-barang produksi hasil industri. Barang-barang elektronik, besi dan baja, plastik dan Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
6
pengolahan berbagai macam bahan mentah yang dihisap dari negara miskin dan berkembang, seluruhnya dilempar ke berbagai penjuru dunia. Praktek ini selain mengulangi mode produksi yang merusak lingkungan yang intensif-BBM, juga berdampak negatif terhadap aspek sosial-budaya dan ekonomi-politik rakyat di negara miskin dan berkembang. Dumping produk pertanian, industri dan jasa dari negara imperialis melalui perdagangan bebas mengakibatkan hancurnya harga dan pasar domestik. Akibatnya, rakyat di negara miskin dan berkembang terus menderita karena dibanjiri produk-produk murah hasil pertanian, industri dan jasa. Sementara produksi di tingkat domestik terancam. Aktoraktor yang berkolaborasi di dalamnya bukan hanya TNCs, namun juga berkolaborasi dengan lembaga keuangan internasional dan pemerintah negara miskin dan berkembang penganut ajaran neoliberal. Untuk yang terakhir, kebijakankebijakan di tingkat nasional tentunya sangat mempengaruhi apakah suatu negara membuka pasarnya terhadap perdagangan bebas atau tidak. Sudahlah negara miskin dan berkembang menerima dampak kebijakan ekonomi neoliberal yang keliru, seperti pembayaran utang yang besar, penghancuran pasar dan harga produksi lokal, bencana lingkungan, konflik sosial dan pelanggaran HAM, serta ”pengurasan” sumber daya alam. Mereka juga harus menanggung akibat langsung pemanasan global yang disebabkan oleh sumbangan emisi karbon dari model pertumbuhan ekonomi negara imperialis.
Tabel. Daftar Nama TNCs, Korporasi Nasional serta ketidakadilan sosial dan ketidakdilan ekologi yang diakibatkan
Nama Perusahaan
Jenis Usaha
Pelanggaran yang dilakukan
Chevron
Petrokimia
Perusakan hutan tropis Amazon melalui pengeboran minyak besar-besaran dan membuang limbahnya di sungai Amazon dan menggusur jutaan penduduk Amazon
Coca-Cola
Minuman
Privatisasi air yang menghancurkan kehidupan banyak orang
Dow Chemicals
Bahan Kimia
Membuang limbah beracun di daerah padat penduduk
Ford
Motor Automobil
Salah satu penyumbang TNCs
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
7
Company
emisi karbon terbesar dan membiayai perang demi perebutan minyak bumi
Monsanto
Agroindustri
Kerusakan lingkungan akibat pertanian monokultur skala besar yang dilakukan dan membahayakan kesehatan manusia dengan tanaman genetiknya
Wilmar Holding
Perkebunan Kelapa Kerusakan lingkungan dengan Sawit ekspansi perkebunan besarbesaran dan penyebab penggusuran masyarakat dari lahan mereka
Salim Group
Perkebunan Kelapa Kerusakan lingkungan dengan Sawit ekspansi perkebunan besarbesaran (merupakan perusahaan perkebunan dengan lahan terluas di Indonesia) dan penyebab penggusuran masyarakat dari lahan mereka
Selain beberapa contoh pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai TNCs di atas yang penting mendapat perhatian ialah ”sumbangan” emisi yang diberikan TNCs melalui berbagai sektor. TNCs produsen minyak dunia saat ini menyumbang 8 persen dari total emisi karbon di atmosfer, jumlah ini jauh lebih tinggi dari emisi karbon beberapa negara di Afrika. Belum lagi lewat transportasi lintas benuanya, berbagai TNCs dunia bertanggung jawab terhadap peningkatan 20 persen suhu bumi dari emisi karbon berbagai kendaraan yang digunakan untuk mengirimkan produk-produk mereka ke seluruh dunia dan meraup keuntungan sebesar-besarnya lewat perdagangan lintas batas. Rakyat Butuh Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Implikasi secara umum dari pemaparan di atas bisa kita lihat sebagai berikut: 2.8 miliar rakyat masih hidup dengan pendapatan di bawah 2 USD per hari dan malah 1.2 miliar rakyat masih hidup dengan pendapatan kurang dari 1 USD per hari. Di sisi kontras yang lain, Pemerintah Uni Eropa telah memberikan subsidi bagi rakyatnya sebesar 2 USD per hari (Bank Dunia, 2000; FAO, 1999). Jutaan rakyat tidak memiliki akses terhadap energi di negara miskin dan berkembang (hemisfer selatan bumi), sedang rakyat di negara maju (hemisfer utara bumi) melampaui batas penggunaan energi dan bergaya hidup yang boros.
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
8
Sekitar 854 juta orang masih menderita karena kelaparan (La Via Campesina, 2006). Juga 85 persen share dari GDP secara global dikuasai oleh 15 persen jumlah rakyat di seluruh dunia, sementara sisanya hanya mengais remah-remah dari model pembangunan saat ini. Dari jumlah sisa 15 persen GDP secara global itu, secara total diperebutkan oleh 5.355 miliar rakyat di seluruh dunia. Dampaknya terlihat jelas dari pemetaan tersebut, yakni terjadi yang dinamakan ketidakadilan sosial di muka bumi ini. Contoh ketimpangan lain adalah 20 persen dari penduduk di dunia bertanggungjawab atas lebih dari 60 persen emisi saat ini (80 persen jika emisi masa lalu dihitung), Rata-rata emisi gas rumah kaca (GRK) orang Amerika Serikat (AS) adalah 4 atau 5 kali dari emisi rata-rata dunia (1 amerika = 9 Cina atau 18 India). Tetapi miliaran orang termiskin di Negara berkembang yang akan menghadapi dampak paling serius. Mereka yang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim justru membayar paling tinggi. Hingga saat ini Sistem ekonomi di AS berjalan dengan landasan energi murah dari bahan bakar fosil dimana setiap orang AS menggunakan energi 8 kali lebih tinggi dari bahan bakar fosil yang digunakan ratarata penduduk negara berkembang. Penduduk AS hanya 4 persen dari penduduk dunia yg menyumbang emisi lebih besar daripada 136 negara miskin dan berkembang berkembang digabung 24 persen. Bagi orang AS konsumsi lebih banyak produk dan jasa adalah ukuran penting bagi keberhasilan pribadi dan bangsa, bahkan ukuran dari kebebasan. Orang AS menggunakan pendapatan dan daya beli per kapita 8 kali lebih besar dan melepaskan proporsi CO2 lebih tinggi lagi dibandingkan orang ditempat lain. Contoh ekstrem adalah Amerika. Satu dekade terakhir, konsumsi energi Amerika naik menjadi 2,7 juta barel per hari, lebih banyak daripada yang dikonsumsi India dan Pakistan sekaligus, yang keduanya berisi total empat kali lipat penduduk Amerika. Secara total, rata-rata orang Amerika mengkonsumsi lima kali lebih banyak energi daripada ratarata warga dunia, 10 kali lebih banyak daripada rata-rata orang Cina, dan 20 kali lebih banyak daripada rata-rata orang India. Pada 1990, total emisi gas rumah kaca mencapai 13,7 Gt (gigaton), yang secara berturut-turut disumbang Amerika (36,1 persen), Rusia (17,4 persen), Jepang (8,5 persen), Jerman (7,4 persen), Inggris (4,2 persen), Kanada (3,3 persen), Italia (3,1 persen), Polandia (3 persen), Prancis (2,7 persen), dan Australia (2,1 persen). Pemanasan global tidak mengenal batas negara, namun distribusi dan dampaknya tidak seimbang dan tidak adil. Dimana sebagian besar rata-rata warga negara Amerika menghasilkan 6 ton karbon per tahun dan rata-rata seorang warga Eropa menghasilkan hampir 3 ton karbon pertahun, sedangkan di negara miskin dan berkembang lainnya masih dalam kondisi terpuruk. Pada tahun-tahun terakhir, bencana Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
9
iklim telah mengambil nyawa lebih dari 3 juta orang dunia, 800 juta korban dan kerusakan-kerusakan langsung yang melebihi 23 miliar dolar, dan dari semua kerusakan-kerusakan itu 90 persen terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Pembacaan emisi di negara berkembang (termasuk Indonesia) diperuntukan untuk hidup dan pembangunan. Sedangkan emisi di negara imperialis merupakan gaya hidup boros dan penguasaan atas sumberdaya alam. Kerugian pertanian, perikanan, kerusakan infrastruktur telah meningkatkan biaya pembangunan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal. Ketidakadilan ekologi terjadi karena negara miskin dan berkembang serta rakyatnya sebagai penyumbang terkecil pada pemanasan global, akan menghadapi dampak dan resiko terbesar dari fenomena tersebut. Kita ini pula yang secara historis sumber daya alam dan manusianya dihisap selama berabad-abad, sehingga kurang kapabilitas untuk menghadapi dampaknya. Sedangkan negara-negara imperialis, lembaga keuangan internasional dan TNCs penyebab terbesar pemanasan global justru paling siap menghadapi resiko dan sulit mengubah gaya hidupnya. Pemanasan global merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan yang berkarakteristik neoliberal. Oleh karena itu setiap upaya untuk menghindari dan memerangi pemanasan global juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar negara, pemilik kapital (utamanya TNCs), lembaga keuangan internasional, rejim perdagangan bebas dunia dan tentu saja rakyat harus dilakukan segera. Struktur penindasan yang terjadi secara historis berabad-abad lamanya dan bertransformasi menjadi penjajahan gaya baru (neokolonialisme-imperialisme) cenderung melanggengkan ketidakadilan sosial yang masih terus menerus terjadi. Maka untuk mengatasi masalah ekologi ini secara tuntas, rakyat memerlukan sebuah kebijakan dan praktek yang mempromosikan keadilan ekologi. Keadilan ekologi merupakan hak untuk mendapatkan keadilan antargenerasi atas prinsipprinsip keselamatan rakyat, pemulihan keberlanjutan layanan alam, dan perlindungan produktivitas rakyat dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak terselamatkan akibat dampak pemanasan global dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim secara berkeadilan. Selanjutnya, untuk mengatasi masalah rakyat secara umum, perwujudan keadilan sosial tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keadilan sosial ini secara konsepsi harus dirangkaikan dengan kesejahteraan sosial, karena kedua hal tersebut tentunya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan jika dan hanya jika ada masyarakat yang makmur maka bisa terwujud yang namanya masyarakat adil—sehingga harus disebutkan sebagai ‘masyarakat adil dan makmur’, meskipun di dalam Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
10
kemakmuran tersebut bisa juga bersemayam ketidakadilan sosial. Keadilan sosial ini dalam kebijakan dan implementasinya sehari-hari haruslah mengadakan pemerataan kesejahteraan sosial, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial. Keadilan sosial juga berarati kondisi dimana nihilnya diskriminasi ekonomi-politik pada suku bangsa, ras, agama, maupun antargolongan. Keadilan sosial juga pada hakikatnya harusnya meniadakan penindasan manusia atas manusia lainnya (l’exploitation de l’homme par l’homme) yang dilanggengkan dalam mode produksi neoliberal saat ini. Pada akhirnya, model pembangunan neoliberal mewujudkan penjajahan gaya baru, atau neokolonialismeimperialisme. Solusi Gerakan Rakyat (1) Reforma Agraria dan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Keluarga Mode produksi dan konsumsi pangan yang dikuasai dan dilakukan oleh perusahaan besar saat ini telah menghasilkan penghancuran massal terhadap lingkungan termasuk pemanasan global. Hal ini menimbulkan konsekuensi buruk bagi ekosistem dan mendorong rakyat menuju bencana. Pertanian berbasis industri menggunakan energi secara besarbesaran terutama untuk pupuk, mesin-mesin pertanian dan pompa bagi irigasi. Kebutuhan energi ini dipenuhi dari bahan bakar fosil yang pada akhirnya akan melepaskan cemaran karbon yang besar ke udara. Secara global sistem agribisnis ini bertanggung jawab terhadap lebih dari 90 persen total penggunaan energi baik yang langsung maupun tidak langsung di sektor pertanian, sementara jutaan keluargakeluarga tani kecil di seluruh dunia hanya menyumbang 10 persen dari penggunaan energi sektor pertanian.1 Agroindustri dan perkebunan monokultur tidak memiliki kemampuan yang cukup besar untuk menyerap dan mengendalikan jumlah karbon karena setiap tanaman memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap karbon dari udara. Di Sumatera setiap harinya 7,2 hektar hutan dibabat habis, 6 juta hektar lahan di Indonesia telah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang umumnya di wilayah lahan gambut. Hal ini telah menyebabkan bumi kehilangan kemampuan alaminya untuk mengendalikan jumlah GRK di atmosfer. Belum lagi pertanian agribisnis dan perkebunan monokultur skala besar selalu berorientasi ekspor. Situasi tersebut terus diperparah dengan kebijakan pasar bebas yang menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan, termasuk juga perdagangan produk pertanian. Hal ini meningkatkan 1
Saunders, P. 2004. Industrial Agriculture and Global Warming. King’s College and Independent Science Panel. London. www. Indsp.org [26 Oktober 2007].
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
11
kebutuhan terhadap energi untuk distribusi hasil produksi pertaniannya ke seluruh dunia. Semakin besar penggunaan bahan bakar fosil berarti semakin besar cemaran karbon yang akan dihasilkan ke atmosfer. Pelaksanaan reforma agararia merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan sebagai langkah strategis untuk mengurangi meluasnya dampak pemanasan global. Perkembangan sistem pertanian agribisnis yang secara global telah menyebabkan ribuan petani kecil dan buruh tani kehilangan pekerjaan, karena sangat tidak padat karya, juga menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya gas rumah kaca. Ibrahima Coulibaly, presiden organisasi petani Mali (CNOP) mengatakan bahwa segala kebijakan untuk melindungi lingkungan tidak akan berjalan baik selama masyarakat, khususnya para petani yang pekerjaannya amat tergantung dengan iklim, tidak mendapatkan insentif yang layak. Akses dan kontrol terhadap lahan dan sumber-sumber agraria merupakan insentif terbesar yang bisa dimiliki oleh petani. Perusahaan agribisnis dan produsen besar pertanian seringkali menghancurkan ekosistem dengan input kimia yang berlebihan, untuk meningkatkan hasil produksi mereka setinggi-tingginya tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjangnya. Sementara jika lahan pertanian dikelola oleh keluarga-keluarga tani, mereka akan tentunya akan menjaga lahan mereka dengan baik karena lahan tersebut merupakan sumber penghidupan mereka. Namun hal ini tidak berhenti pada penguasaan lahan semata, penetapan harga produk pertanian yang layak juga penting. Bukan saja sebagai langkah mengurangi kemiskinan namun juga merupakan langkah penting untuk melindungi lingkungan. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi secara langsung antara tingkat pendapatan yang rendah pada keluarga-keluarga tani dengan kerusakan lingkungan. Pendapatan yang rendah menghambat para petani untuk dapat merawat dan mempertahankan lahan dan lingkungan mereka. Untuk itu dibutuhkan suatu jaminan yang tegas dalam penetapan harga yang adil bagi produk pertanian, yang berarti tidak adanya pasar bebas dan dumping produksi pertanian yang hanya menguntungkan industri-industri pangan raksasa. Tidak akan ada teknologi yang mampu memperbaiki krisis ekonomi, sosial dan lingkungan dunia saat ini. Hanya jika ada perubahan radikal pada mode produksi, konsumsi dan distribusi dari seluruh umat manusia secara global yang bisa menjadi basis penyelesaian masalah ini. Dalam sektor pangan dan pertanian perubahan radikal ini hanya bisa terwujud dengan dilaksanakannya reforma agraria sejati.
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
12
(2) Membangun Industri Nasional Perubahan iklim merupakan akibat dari kompetensi laju gerak industri negara-negara imperialis yang membabi buta. Selama ini sumber daya alam telah dikuras habis untuk mengeruk keuntungan dan mengabaikan sisi kelestarian alam maupun kesejahteraan buruh dan masyarakat secara luas. Hal ini bisa kita lihat dari eksploitasi sektor pertambangan dan perkayuan yang merupakan industri strategis di beberapa negara miskin dan berkembang yang sarat dengan kerusakan lingkungan dan kemiskinan di sekitar lokasi eksplorasi. Praktek seperti ini terjadi akibat persekongkolan borjuasi internasional dengan birokrasi komprador di dalam negeri, yang menyebabkan sebagian besar keuntungan dari dalam negeri malah mengalir ke negara imperialis yang menjadi asal dari penetrasi modal internasional itu sendiri. Dominasi dan akumulasi modal yagn didapat dari praktek kolonialisme yang diwakili negara imperialis memuculkan akumulasi modal yang sangat besar di segelintir negara imperialis. Pada akhirnya semangat globalisasi dengan sistem neoliberalisme menjadi ajang persaingan sesama borjuasi internasional untuk menghisap kekayaan sumber daya alam di negara-negara miskin dan berkembang. Demi memperbesar keuntungan borjuasi internasional, negara-negara miskin dan berkembang ditekan untuk mengikuti skenario yang mereka atur. Sebagai akibatnya bisa dilihat bagaimana kemunculan kelas buruh di Indonesia bukanlah disebabkan karena terjadi artikulasi cara-cara produksi yang berkembang wajar namun ditopang oleh caracara mode produksi kolonial. Sehingga kaum buruh di Indonesia, seperti juga di negara-negara miskin dan berkembang mengalami dua lapis penindasan yaitu eksploitasi yang dilakukan oleh kaum borjuasi sebagai akibat praktek akumulasi modalnya serta represivitas kebijakan negara yang melegitimasi penggadaian kaum buruh dengan menjadikan upah kaum buruh murah sebagai keunggulan komparatif terhadap investasi negara imperialis. Menilik penjelasan di atas, jelas bahwa reformasi bangunan industri nasional tidak bisa dijawab dengan injeksi dan investasi modal asing semata. Diperlukan adanya peran negara untuk membuat iklim usaha di Indonesia menjadi adil dan merata. Kita tidak bisa menyerahkan orientasi pembangunan ekonomi nasional ke dalam cengkraman neoliberalisme yang hanya bertumpu pada indikator-indikator fiskal dan moneter semata. Jalan bagi gerakan buruh untuk melawan neoliberalisme ialah satu, pemutusan kolaborasi borjuasi internasional dengan borjuasi nasional. Disini diperlukan pemerintah untuk memproteksi industri nasional serta menciptakan iklim investasi yang bebas dari pengaruh asing dan berdikari menjadi keniscayaan yang harus segera dilakukan. Kedua, menggalang aliansi strategis antara borjuasi Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
13
nasional dengan kaum buruh. Aliansi ini bisa dilakukan oleh kaum buruh ketika gerakan buruh benar-benar memiliki posisi tawar dan kemampuan negosiasi yang tinggi sehingga buruh tidak lagi dianggap sebagai variabel capital saja namun merupakan constant capital. Berdasarkan itu semua keberadaan isu pemanasan global dan perjuangan gerakan buruh memiliki kaitan yang sangat erat. Persoalan relokasi industri, investasi asing, utang luar negeri dan liberalisasi perdagangan berujung pada marginalisasi kaum buruh dan kerusakan lingkungan. Keberadaan Protokol Kyoto sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan sebagai trik negara imperialis terkhusus Amerika untuk memaksa negara miskin dan berkembang, tempat investasi asingnya berada untuk ikut bertanggung jawab terhadap dampak pemanasan global. Dan sudah menjadi kewajiban bagi gerakan nasional buruh Indonesia untuk bisa mencari solusi strategis dan taktis untuk memutus mata rantai kapitalisme internasional dan mulai membangun industri nasional yang berpihak kepada rakyat Indonesia. (3) Ekonomi Kerakyatan Sebagai Landasan Perekonomian Nasional Perjuangan untuk menyelenggarakan ekonomi kerakyatan sebagai landasan perekonomian nasional tampaknya bukan perjuangan yang mudah. Selain menghadapi resistensi dari para penganut paham neoliberal, perjuangan untuk menyelenggarakan ekonomi kerakyatan juga cenderung mengalami politisasi dari para petinggi negara. Pangkal soalnya terletak pada berlangsungnya pembangkangan sistematis terhadap berbagai dokumen negara serta terhadap lembaga-lembaga negara yang menghasilkan dokumen-dokumen tersebut. Sebab secara konsepsional ekonomi kerakyatan bukanlah hal baru bagi Indonesia. Setidak-tidaknya ia telah diperkenalkan kepada bangsa ini sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 lebih dari 62 tahun lalu. Sebagaimana dikemukakan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945, "Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi." Komitmen utama ekonomi kerakyatan adalah pada peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Sebab itu, partisipasi masyarakat dalam perekonomian tidak terbatas hanya pada melakukan produksi dan menikmati hasil-hasil produksi, tetapi harus
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
14
meliputi pula kemampuan untuk mengawasi berlangsungnya proses produksi dan distribusi tersebut. Sehubungan dengan itu, tidak dapat tidak, perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, dalam perekonomian Indonesia yang bersifat kerakyatan atau demokratis, persaingan usaha harus berlangsung secara sehat. Persaingan usaha yang bersifat saling mematikan ala ekonomi neoliberal, harus segera dicegah. Sebab itu pula, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Demikian halnya dengan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, harus dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai sebuah aliran pemikiran dan sistem ekonomi, ekonomi kerakyatan berbicara mengenai pentingnya peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian. Sedangkan ekonomi rakyat berbicara mengenai sektor ekonomi yang dihuni oleh para pelaku ekonomi berukuran kecil. Agenda-agenda ekonomi kerakyatan mencakup semua bidang dan aspek perekonomian. Pada sektor fiskal, misalnya, ia dapat diterjemahkan dengan melakukan pembagian pendapatan (revenue sharing) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada sektor perbankan, ia dapat diterjemahkan melalui penyelenggaraan sistem perbankan regional (regional banking system), yaitu sebagai pengganti sistem perbankan yang tersentralisasi (centralized banking system). Sedangkan pada pembuatan utang luar negeri, ia dapat diterjemahkan melalui penyelenggaraan referendum terhadap setiap rencana proyek pembangunan yang hendak dibiayai dengan utang luar negeri. Adapun komitmen ekonomi kerakyatan terhadap penguatan ekonomi rakyat, diterjemahkan melalui pelaksanaan demokratisasi modal atau demokratisasi penguasaan faktorfaktor produksi. Yang dimaksud dengan modal dalam hal ini mencakup baik modal material (material capital), modal intelektual (intelectual capital), maupun modal institusional (institusional capital). Program demokratisasi modal material, antara lain, dapat dilakukan dengan melaksanakan program land reform pada sektor pertanian, atau program kepemilikan saham oleh karyawan (employee stock ownership program) pada sektor dunia usaha. Program demokratisasi modal intelektual, antara lain, dapat Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
15
dilakukan dengan melaksanakan program wajib belajar pada sektor pendidikan. Sedangkan program demokratisasi modal institusional, antara lain, dapat dilakukan dengan melindungi hak petani, buruh, nelayan, dan kaum miskin kota, untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat secara bebas. Berjalannya agenda ekonomi kerakyatan di atas merupakan wujud untuk mengkoreksi sistem ekonomi kolonial yang masih bertahan hingga saat ini. Yang menyebabkan negara seperti Indonesia mendapati dirinya sebagai korban terbesar kejahatan kemanusiaan. Menjadi miskin, terpinggirkan, serta tergantung secara ekonomi kepada negara imperialis penghisap sumber daya. Juga menanggung derita yang sangat besar akibat dampak penghancuran ekologi perusahaanperusahaan transnasional yang semakin parah. Kesimpulan dan Rekomendasi Karena itu, perhelatan COP13 UNFCCC (Conference of Parties of The United Nations Framework Convention on Climate Change) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember 2007 harus dijadikan momentum perubahan, yakni mengoreksi kebijakan dan praktek sistem ekonomi neoliberalkapitalistik yang mengisap rakyat dan lingkungan. Proses yang selama ini berlangsung nyata-nyata menghilangkan hak hidup rakyat atas bumi yang memberi penghidupan dan kesejahteraan bagi banyak orang, dan sebaliknya malah mengkooptasinya untuk kesejathteraan orang per orang saja. Pertemuan Bali harus melahirkan resolusi yang tepat dan berguna, dengan mendesak negara-negara imperialis (Amerika Serikat dan Uni Eropa) menghentikan gaya hidup boros energi dan pertumbuhan industrinya yang notabene menyumbang emisi karbon sangat besar. Masyarakat internasional harus mengambil sikap tegas untuk menghentikan praktek koorporasi multinasional yang telah menggusur tanah-tanah rakyat untuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan besar, pertambangan, serta eksploitasi sumber-sumber agraria lainnya yang telah berkontribusi sangat besar bagi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Ekspansi perusahan multinasional seperti Mosanto, Cargill, Freeport, Newmont, Rio Tinto, Nestle, dll terbukti menjadi aktor penting biang keladi kerusakan lingkungan dan menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang semakin lebar. Melaksanakan reforma agraria sebagai langkah strategis untuk mengurangi meluasnya dampak pemanasan global. Serta menjalankan alternatif model pertanian berkelanjutan berbasis keluarga yang ramah lingkungan. Selain itu, juga diperlukan keterlibatan yang aktif dari seluruh komunitas masyarakat internasional mendesak dan menghentikan praktek kotor sindikat lembaga keuangan Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
16
internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC) dalam menyalurkan proyek-proyek utang luar negeri yang melanggengkan praktek neokolonialisme. Proyek-proyek utang yang disalurkan untuk meliberalisasi sektor kehutanan, pertanian dan pertanahan, pertambangan dan energy, serta mendorong liberalisasi ekonomi secara meluas di Negaranegara miskin dan berkembang harus dinyatakan sebagai praktek utang haram dan tidak sah. Proyek utang tersebut menyebabkan Negara tersebut terjebak dalam beban utang yang sangat besar dan tidak memiliki cukup dana untuk mencegah dampak perubahan iklim. Saatnya negara-negara miskin dan berkembang, sebagai korban dari eksploitasi sumber daya alam selama berabad-abad, mengklaim utang ekologis kepada negara imperialis yang telah membuat mereka menjadi miskin dan tertinggal. Karenanya diperlukan langkah progresif dengan cara penghapusan utang luar negeri, dan bukan pemberian dana kompensasi melalui skema “jual-beli karbon” yang selama ini ditawarkan. Langkah tersebut harus diikuti dengan memberikan sepenuhnya kedaulatan kepada Negara-negara miskin dan berkembang untuk merancang dan menjalankan kebijakan ekonomi nasional secara mandiri. Memandang perlu dan mendesak bagi gerakan rakyat, untuk bersatu melawan bentuk baru kolonialisme-imperialisme ini. Mencari alternatif-alternatif baru pembangunan yang adil dan berkelanjutan yang berasal dari rakyat maupun kerjasamakerjasama antara rakyat di berbagai belahan dunia. Melakukan penghematan energi dan tidak berperilaku boros dalam kehidupan sehari-hari. *****
Menegakkan Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan Sosial dan Keadilan Ekologi Kertas Posisi Gerak Lawan, 01 Desember 2007
17