MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
AKTUALISASI SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Fakultas
Program Studi
MKCU
MARCOM
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
MK90003
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract
Kompetensi
Pancasila resulting from rational thought. It also became a hallmark of science and technology. both are interrelated and supportive.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai dasar pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Mahasiswa bisa menyaringnya dengan baik agar bisa menempatkan teknologi sebagaimana mestinya.
Materi Pengayaan
BAB IX AKTUALISASI SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
13.1. Pengantar Sila ke empat (Kerakyatan) dan sila ke lima (Keadilan) dari Pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan orisinal Panitia 9, ke dua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung (“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Soekarno menyebut keterkaitan kedua sila ini sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”.
13.2. Cita-Cita Keadilan dan Penerapannya a. Kesejahteraan sebagai Kenangan dan Impian Masyarakat adil dan makmur adalah impian kebahagiaan yang telah berkobar ratusan tahun lamanya dalam keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagiaan itu misalnya, terungkap dalam ungkapan Jawa “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian masyarakat yang adil dan makmur itu, tak sedikit pengorbanan yang telah dicurahkan oleh para pahlawan bangsa. Dalam kaitan ini Soekarno menyatakan: Masyarakat adil dan makmur, cita-cita asli dan murni dari Rakyat Indonesia yang telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Masyarakat adil dan makmur tujuan terakhir dari revolusi kita. Masyarakat adil dan makmur yang untuk itu, sebagai yang telah saya katakan berulang-ulang, berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita menderita. Berpuluhpuluh ribu pemimpin-pemimpin kita meringkuk di dalam penjara. Berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita meninggalkan kebahagiaan hidupnya. Beratus-ratus ribu, mungkin jutaan rakyat kita menderita tak lain tak bukan ialah mengejar cita-cita terselenggaranya satu masyarakat adil dan makmur yang di situ segenap manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengecap kebahagiaan. Gema keadilan dan kemakmuran dalam sanubari rakyat Indonesia itu berdimensi “kenangan” (backward looking nostalgia) dan “harapan” (forward looking nostalgia). Dikatakan “kenangan” karena kisah yang dituturkan baik oleh sejarah lisan maupun tulisan melukiskan bahwa kepulauan Nusantara pra-kolonial adalah suatu rangkaian dari “gugus kemakmuran” (belt of prosperity). Dikatakan “harapan” karena setelah penjajahan berlalu, penderitaan dan kemiskinan rakyat akan ditransformasikan ke dalam daya pancapaian agung, keadilan dan kemakmuran. Untuk mencapai harapan keadilan dan kemakmuran itu,
2016
2
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Soekarno menegaskan diperlukan, “syarat-syarat badaniah dan syarat-syarat ruhaniah, syarat-syarat material dan spiritual mental ada di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia.” Dalam pidato pembelaannya di muka Hakim Kolonial pada 1930, yang kemudian diterbitkan dalam buku Indonesia Menggugat, Soekarno mengalamatkan sumber kesengsaraan dan kemelaratan bangsa Indonesia di masa kolonial pada kapitalisme dan imperialialisme. Terlebih dahulu dia mendefinisikan kapitalisme dan imperialisme sebagai berikut: Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi penyebab nilai lebih tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme karena itu pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital dan industriells Reservearmée. Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung. Imperialisme juga menurutnya adalah suatu paham. “Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri. Suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain.” Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat sejumlah ahli, seperti pemikir Marxis Rudolf Hieferding, Karl Renner dan H.N. Bralsford, Soekarno menjelaskan bahwa imperialisme adalah politik luar negeri yang tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai ‘kapitalisme yang kelewat matang’; yakni suatu kapitalisme yang dengan pemusatan dan bank yang dijalankan sampai sejauhjauhnya. Dengan demikian, imperialisme tidak puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal tradisional mengenai tidak ikut campurnya negara dengan urusan partikulir; malahan sebaliknya, berusaha mempergunakan alat-alat kekuasaan negara untuk mempengaruhi dan merampas daerah-daerah pemasaran dan daerah-daerah penghasil bahan pokok juga untuk menjamin pembayaran rente (bunga) kapital yang di tanam di negeri-negeri jajahan yang terbelakang ekonominya. Soekarno memandang perlu adanya kontekstualisasi Marxisme dalam realitas sosial-historis keindonesiaan dalam rangka menghadirkan sosialisme yang berakar dan berjalan. Sejak 1926, dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, Soekarno berargumen bahwa Marxisme sendiri mengalami perubahan baik secara taktis maupun teoretis. Secara teoretis, menurutnya, “Teori Marxisme sudah berobah pula. Memang seharusnya begitu!” Selanjutnya, Soekarno menyatakan: Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi
2016
3
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
bangkrut. Marx dan Engels sendiri pun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan faham ataupun perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka hidup. Bandingkan pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti ‘Verelendung’
sebagai yang
dimaksudkan dalam ‘Manifes Komunis’ dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam ‘Das Kapital’,--maka segeralah tampak pada kita perobahan faham atau perobahan perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan, bahwa ‘revisionisme’ itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya. Dalam pandangan Soekarno, keadaan kapitalisme di Eropa berbeda dengan keadaan kapitalisme di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang berkembang terutama kapitalisme kepabrikan, sedang di sini ia adalah kapitalisme pertanian; di Eropa, kapitalisme bersifat industrial, sedang di sini sebagian besar bersifat perkebunan. Oleh karena itu, di Eropa dampak buruk kapitalisme kepabrikan-industrial melahirkan terutama kaum proletar; yakni kaum yang tidak memiliki alat produksi. Adapun di sini, kapitalisme pertanian-perkebunan menghasilkan kaum tani-melarat; pada umumnya mereka masih memiliki alat produksi (lahan, cangkul dan sebagainya), namun sangat terbatas dan hasilnya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Keadilan Sosial Keadilan menjadi syarat mutlak dalam hubungan antar manusia, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Besarnya tuntutan akan keadilan yang akhirakhir ini mengemuka sebenarnya merupakan tuntutan normatif. Tuntutan tersebut muncul pada semua tingkatan kehidupan sosial. Makin sulit menemukan orang yang benar-benar memegang keadilan sebagai nilai kehidupan dan moralitas yang dijunjung tinggi. Begitu banyak orang kaya di Indonesia tetapi sangat sedikit yang bersikap seperti Bill Gates, keluarga Ford, keluarga Rockefeller, dan lainnya yang rela memberikan sebagian kekayaannya untuk orang lain melalui program beasiswa, riset, dan pembangunan sosial lainnya.
c. Konsep Keadilan Beberapa ahli mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Di sini penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara menentukannya dan
2016
4
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
sistem atau kebijakan di balik itu. Keadilan sistem berkait erat dengan struktur yang ada. Kriteria keadilan ini cenderung stabil sejalan dengan struktur yang berlaku. Kriteria yang dimaksud antara lain dikemukakan oleh Leventhal meliputi: (1) konsisten dari waktu ke waktu dan satu orang ke orang lainnya, (2) tidak bias, (3) disusun berdasar data atau informasi yang akurat, (4) correctability tinggi terhadap kesalahan, (5) representatif, serta (6) berdasar standar etika dan moral. Berikut ini penjelasan tentang beberapa konsep keadilan:
1. Keadilan Prosedural Setidaknya ada dua model yang menjelaskan pengaruh prosedur terhadap keadilan outcome. Model pertama disebut The Self-Interest Model. Model ini mendasarkan pada konsep egoisme yang sering menjadi dasar perilaku manusia agar ia mendapatkan keuntungan maksimum. Kecenderungan ini berlaku terus meskipun atas nama kelompok dan sistem. Keadilan prosedural menurut model ini dapat tercapai bila setiap individu yang terlibat dalam suatu proses atau prosedur memperoleh keuntungan meskipun tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan yang diharapkan. Model kedua disebut The Group Value Model. Model ini dapat dikatakan sebagai alternatif penjelasan dari model sebelumnya. Lind & Tyler (1988) berkeyakinan bahwa prosedur yang dilandasi interes pribadi akan sulit mencapai keadilan. Salah satu indikasinya terlihat dari ketidakpatuhan orang terhadap prosedur yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan pribadi, padahal kepatuhan terhadap prosedur yang dimaksudkan merupakan bagian penting dari keadilan prosedural. Untuk mencapai keadilan, pihak yang terlibat di dalam proses tersebut harus menjadi kelompok yang menjunjung tinggi kesepakatan yang telah disetujui. Apabila ada orang baru yang masuk dalam proses maupun kelompok tersebut, ia harus mematuhi keputusan dan kesepakatan yang ada. Bila tidak, ia dapat keluar dari kelompok itu atau memulai proses baru untuk merumuskan kesepakatan lagi. Untuk mencapai keadilan prosedural, mengajukan tiga syarat pokok yang harus dipenuhi. Pertama, dalam prosedur tersebut terjadi proses pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa orang, bukan tunggal. Ini dirasa penting dalam rangka check dan balance dalam pengambilan keputusan. Bila harus ada tawar-menawar, sebuah tim cenderung akan menghasilkan keuntungan bersama. Kedua, tim pengambil keputusan memiliki kekuatan yang merata di antara para anggotanya. Bila terjadi dominasi, syarat pertama tadi menjadi kurang berarti.
2016
5
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Ketiga, setiap anggota tim yang terlibat pengambilan keputusan harus berkesempatan mendapatkan masukan yang sama. Ketidakseimbangan masukan juga akan mengarah pada dominasi bagi yang memilikinya. Dengan masukan yang tidak seimbang akan terjadi juga bias dalam keputusan. Kondisi semacam ini juga mencerminkan prosedur yang tidak adil. Ketiga syarat yang saling terkait tersebut juga perlu dibarengi oleh syarat lain. Tyler (1994) menyebutkan bahwa prosedur yang dilakukan harus dilandasi oleh netralitas, kejujuran, dan rasa hormat. Syarat yang diajukan Minton dkk. maupun Tyler rupanya sangat berkaitan dengan karakteristik keadilan prosedural yang menekankan keharmonisan hubungan antarpihak yang terlibat di dalamnya.
2. Keadilan Distributif Prinsip-prinsip keadilan distributif sangat bervariasi. Meskipun demikian, ada tiga prinsip yang paling sering diterapkan. Prinsip pertama dikenal dengan teori equity. Secara garis besar prinsip ini mengandung dua hal pokok. Bagian yang diterima seseorang harus sebanding dengan sumbangan yang diberikan, baik dalam bentuk tenaga, pikiran, uang, maupun yang lain. Di samping itu, kesebandingan bagian yang diterima seseorang juga harus dilihat dengan bagian yang diterima orang lain. Karenanya, bagian yang diterima berdasarkan sumbangan yang diberikan juga harus sebanding dengan bagian orang lain yang juga berdasarkan sumbangan orang yang bersangkutan. Prinsip ini sangat ideal sekaligus tidak mudah untuk diterapkan. Untuk menerapkannya banyak syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya, sumbangan yang diberikan seseorang harus terukur. Perbandingan sumbangan antara satu orang dan orang lain dalam perusahaan juga sering sulit dilakukan. Tukang sapu dan juru ketik, misalnya, akan sulit dibandingkan. Melihat kenyataan ini maka banyak kritik dilontarkan kepadanya dan modifikasi teori pun banyak diupayakan. Prinsip kedua yang dapat digunakan dalam distribusi adalah kesetaraan atau ekualitas. Bila prinsip ini digunakan, akan terdapat variasi penerimaan yang kecil. Dimungkinkan ada variasi bila ada jenis-jenis pekerjaan atau bagian-bagian dalam satu organisasi atau kelompok. Variasi itu terjadi antarkelompok. Prinsip ini juga sulit diterapkan. Kritik paling banyak datang berkaitan dengan pengabaian terhadap potensi dan produktivitas kerja. Orang yang lebih pandai, terampil atau produktif mestinya mendapat imbalan lebih tinggi, sementara prinsip ini tidak terlalu mempertimbangkannya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa prinsip ini tepat diterapkan pada pola hubungan bukan kerja, misalnya keluarga. 2016
6
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Prinsip ketiga mengutamakan kebutuhan sebagai pertimbangan untuk distribusi. Di sini dapat diinterpretasi bahwa sesorang akan mendapat bagian sesuai dengan kebutuhannya dan dalam hubungan kerja makin banyak kebutuhannya maka makin besar upah yang diterima. Sayangnya, kebutuhan yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip ini kurang jelas. Prinsip ini menjadi pertimbangan dalam pemberian upah pekerja/buruh di Indonesia. Kebutuhan yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan fisik minimum. Di negara yang menganut paham welfare state, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh negara meskipun orang yang bersangkutan tidak bekerja. Para penganggur, kelompok jompo, dan orang cacat menerima social security setara dengan KFM. Bila mereka bekerja, upah yang diterima tentu jauh lebih besar daripada jaminan itu. Kritik lain terhadap konsep di atas mendasarkan pada pentingnya produktivitas yang berkaitan dengan distribusi hasil. Ada bukti-bukti bahwa makin tinggi bagian yang diterima akan makin tinggi pula produktivitasnya. Oleh karena itu, kebutuhan sebagai dasar distribusi dinilai kurang memotivasi orang untuk lebih produktif. Banyak hal yang mempengaruhi seseorang dalam menilai keadilan distributif. Pada bagian ini akan banyak dikaji faktor- faktor individu yang berpengaruh. Secara garis besar faktor individu yang dimaksud dapat dikategorikan menjadi faktor psikologis dan nonpsikologis. Meskipun keduanya dibedakan, dalam kenyataan keduanya saling berkaitan dalam mempengaruhi penilaian keadilan. Masih ditemukan adanya tindakan yang membedakan laki-laki dan perempuan, termasuk dalam distribusi. Tindakan tersebut pada umumnya menguntungkan laki- laki. Dengan demikian ada ketidak adilan distributif antara laki-laki dan perempuan. Hal ini telah berjalan sangat lama dan ma sih terus berjalan. Laki-laki dan perempuan secara sadar atau tidak banyak yang menerima, mengadopsi dan melakukan hal itu. Ketidak adilan semacam ini, anehnya, justru dinilai sebagai keadilan. Buktinya, beberapa penelitian menemukan bahwa wanita lebih mudah puas dengan distribusi yang diterima. Mereka lebih mudah pula untuk memberikan penilaian yang adil. Para peniliti tampak kurang memperhatikan konteks yang lebih luas sehingga, sekali lagi, ketidak adilan dikatakan keadilan. Dengan memperhatikan konteks yang lebih luas, termasuk ideologi kesetaraan gender, mereka dapat meluruskan atau menjelaskan false consciousness seperti itu. Karakteristik tertentu dari individu telah terbukti sangat berperan dalam menilai keadilan. Mereka yang memiliki sifat hedonis, berorientasi politis, dan ingin cepat maju berbeda dalam menilai keadilan bila dibandingkan dengan orang yang prososial dan spiritualitasnya tinggi. Kelompok pertama biasanya kurang setuju dengan prinsip distribusi ekual, sementara kelompok kedua justru sebaliknya.
2016
7
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Hal lain yang banyak berkaitan dengan penilaian keadilan adalah harapan. Seperti sudah diketahui, harapan banyak terkait dengan aspek lain seperti usia, pendidikan, dan pengalaman kerja. Kesesuaian maupun kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, misalnya dalam hal imbalan, jelas punya pengaruh terhadap penilaian keadilan. Makin sesuai kenyataan dengan harapan, maka makin dirasakan adanya keadilan. Makin tinggi pendidikan dan makin banyak pengalaman seseorang akan makin tinggi pula harapannya. Karenanya, bila mereka mendapatkan upah yang kecil akan merasa diperlakukan tidak adil, sedangkan pengaruh umur terhadap harapan dan penilaian keadilan tidak berbentuk garis lurus. Sampai pada tahap tertentu, hubungan tersebut positif. Setelah seseorang mencapai usia tertentu harapannya akan stabil atau menurun. Karenanya, dalam menilai keadilan juga akan berubah. Penilaian keadilan juga sangat dipengaruhi oleh konteks atau situasi. Dalam hal ini konteks yang paling relevan adalah tempat kerja atau tempat tinggal orang yang bersangkutan dan suasana saat itu. Di bagian terdahulu telah dibicarakan tentang sistem dan prosedur, namun ada hal lain lagi yang berpengaruh terhadap penilaian keadilan distribusi. Di luar itu, berbagai kondisi kerja pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian karena keadilan dan kepuasan kerja dan kepuasan hidup secara umum terkait erat.
13.3. Persepsi Tentang Keadilan Organisasi Dari pertengahan tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, para ilmuan sosial dan organisasional mengadakan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pengertian tentang konsep keadilan (fairness dan justice). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi manusia tentang keadilan tercermin dalam sedikitnya dua kategori: pada hasil akhir yang didapatkan dan pada prosedur yang digunakan untuk mencapai hasil akhir. Keadilan organisasi berkaitan dengan cara dimana karyawan menentukan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaan mereka dan cara dimana penentuan ini mempengaruhi variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Menurut Greenberg keadilan organisasi mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan dalam organisasi. Penelitian yang telah dilakukan tentang keadilan organisasi pada umumnya terfokus pada dua isu utama yaitu: tanggapan karyawan terhadap penghasilan yang diterima dan cara atau prosedur yang digunakan untuk memperoleh penghasilan tersebut. Persepsi Terhadap Keadilan Organisasi dan Intensi Turnover Banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan pentingnya pengaruh alokasi atau pendistribusian sumber daya dalam organisasi perusahaan. Lawler, misalnya, menyatakan bahwa pendistribusian imbalan perusahaan seperti gaji, promosi, jabatan, evaluasi kinerja 2016
8
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
dan masa jabatan kerja memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepuasan kerja, kualitas kerja dan efektivitas organisasi. Folger dan Konovsky (1989) menemukan bahwa persepsi terhadap keadilan distributif berhubungan secara signifikan dengan kepuasan kenaikan gaji dan kepuasan kerja. Alexander and Ruderman (1987) melaporkan bahwa keadilan organisasi merupakan penyebab langsung dari keinginan turnover. Mobley (1977) mengawali sebuah penjelasan yang komprehensif tentang proses psikologis yang mendasari seseorang mengundurkan diri dari kerja. Menurut rumusan proses pengunduran diri yang dikemukakannya, ketidakpusaan mengarahkan seseorang berfikir untuk keluar. Ada sejumlah tahapan yang menjadi penghubung antara ketidakpuasan dan tindakan keluar yang sesungguhnya. Pertama, salah satu konsekuensi dari ketidakpuasan kerja adalah munculnya pikiran untuk meninggalkan kerja. Pikiran tersebut, pada gilirannya memunculkan pertimbangan tentang manfaat yang diharapkan dari pencarian kerja dan kerugian jika berhenti. Langkah selanjutnya adalah keinginan untuk mencari alternatif. Keinginan untuk mencari alternatif tersebut diikuti dengan tindakan pencarian yang sesungguhnya. Jika alternatif tersebut tersedia, evaluasi terhadap alternatif tersebut akan dimulai. Evaluasi terhadap alternatif tersebut akan diikuti dengan upaya membandingkan antara pekerjaan saat ini dengan pekerjaan alternatif. Jika perbandingan tersebut mendukung pilihan alternatif, maka akan mengilhami keinginan untuk berhenti, yang diikuti dengan pengunduran diri yang sesungguhnya. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar pengaruh persepsi karyawan tentang keadilan organisasi terhadap intensi turnover?”
13.4. Penutup Masalah keadilan tidak hanya kompleks dalam tatanan operasional di masyarakat tetapi juga dalam tatanan konsep. Secara psikologis permasalahan keadilan makin kompleks karena sangat mungkin keadilan dalam tatanan nilai-nilai masyarakat menjadi berbeda dalam penilaian individu. Beberapa kajian di atas menunjukkan adanya kompleksitas tersebut. Ada dua implikasi penting dari permasalahan yang dipaparkan di atas. Pertama adalah dalam bidang penelitian dan kedua dalam penerapan di masyarakat termasuk untuk formulasi kebijakan yang menyangkut keadilan. Sejauh ini tampaknya belum berkembang penelitian yang secara mendasar mencoba mengkaji masalah keadilan dari sudut pandang psikologi, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu bahasan ini diharapkan dapat
2016
9
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
merangsang munculnya penelitian tentang keadilan dari sudut pandang psikologi. Pada sisi lain implementasi konsep-konsep keadilan sering tidak didasarkan pada pemikiran yang matang sehingga justru sering menimbulkan konflik sosial. Untuk itu diharapkan pada masa mendatang berbagai kebijakan didasarkan pada pemikiran yang lebih matang. Negara Indonesia tidak dikehendaki sebagai “negara liberal”, melainkan sebagai “negara kesejahteraan” (negara sosial). Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat (setidaknya secara minimal), bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh etika politiknya bukanlah penghapusan hak milik pribadi, melainkan bahwa hak miliki pribadi itu memiliki fungsi sosial; dan negara bertanggung jawab atas kesejahteraan umum dalam masyarakat.
2016
10
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
1. Abdullah, I. 2006. Konstruksi dan Rekonstruksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2. Adorno, Theodor W. (1973). Negative Dialectics.Diterjemahkan oleh E.B.A dari versi asli bahasa Jerman, Negative Dialektik. (1966). New York: The Seabury Press. 3. Anderson, B. 2001. Komunitas-Komunitas Terbayang. Insist dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 4. Andre Gunder Frank, “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (September 1966) 5. Arendt, Hannah. ([1958], 1998) Human Condition, edisi kedua, dengan Kata Pengantar oleh Margaret Canovan. Chicago dan London: The University of Chicago Press. 6. Arendt, Hannah. (1973). The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt, Brace & World. 7. Baechler, Jean. (1999). Democracy: an Analytical Survey. Prancis: UNESCO Publishing. 8. Bourchier, David, The Lineages of Organistic Thought in Indonesia, Phd Thesis, Monash University, Melbourne 9. Brandt, Richard B. (1983). “The Concept of a Moral Right and its Function.” Journal of Philosophy 80(1):29-45. 10. Brewer, M.B. & Gaertner, S.L. 2003. Toward Reduction of Prejudice: Intergroup Contact and Social Categorization. In Brown, R. & Gaertner, S. (eds.). Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes. Blackwell Publishing, Oxford. 11. Daniel Bell, Matinya Ideologi, Indonesia Tera, Magelang. 2001 12. Donnely, Jack. (1989). Universal Human Rights in Theory and Practice. Itacha dan London: Cornell University Press. 13. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2001 14. Effendi, S. dkk. 2003. Curah Gagas dari Bulaksumur: Meluruskan Jalan Reformasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 15. Effendi, Tadjuddin N., Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006 16. Faturochman. 2004. Konflik, Ketidakadilan, dan Identitas. Dalam Faturochman, Wicaksono, B., Setiadi, dan Latif, S. (eds.). Dinamika Kependudukan dan Kebijakan. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2016
11
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
17. Francis Fukuyama, The end of history and the last men; kemenangan kapitalisme dalam ideologi liberal, Qalam, Yogyakarta, 2003 18. Francisco Budi Hardiman, Filsafat fragmentaris: deskripsi, kritik, dan dekonstruksi, Kanisius, Yogyakarta, 2007 19. Gauthier, David, “The Social Contract as Ideology”, in Contemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit (eds), Blackwell, Oxford, 1997 20. H.A.R. Tilaar, Kekuasaan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Pendidikan, Indonesia Tera, Magelang, 2003 21. Haryanto Soedjatmiko, Saya Berbelanja Maka Saya Ada, Jalasutra,Yogyakarta, 2008 22. Henkin, Louis. (1990). The Age of Rights. New York: Columbia University Press. 23. Hook, Sidney, ‘Ideologi’, dalam Percakapan dengan Sidney Hook Tentang 4 Masalah Filsafat, Harsya W. Bachtiar (ed.,) Penerbit Djambatan, Jakarta, 1980 24. Huntington, Samuel P. (1991). The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press. 25. Indicated by The Political Liberalism of John Rawls”, Dialogue and Universalism, No.3-4, 2003, 26. Jankowski, Michael C., “Universalism as the Quest for Synthesis and Two Limitations 27. Jonas, Hans. (1984). The Imperative of Responsibility, in Search of an Ethics for the Technological Age. Chicago: University of Chicago Press. 28. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002 29. Liebkind, K. 2003. Acculturation. In Brown, R. & Gaertner, S. (eds.). Blackwell Handbook of Social Psychology: Intergroup Processes. Blackwell Publishing, Oxford. 30. Locke, John. ([1689] 1988). Two Treatises of Government. Disunting oleh Peter Laslett. Cambridge: Cambridge University Press. 31. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000 32. Magnis-Suseno, Franz. (1991). Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, . 33. Ongkokkham dan Achdian, Andi, Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006. 34. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993 35. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 36. R.
Soeprapto,
Pancasila
Menjawab
Globalisasi,
Pustaka,Tangerang, 2004
2016
12
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Yayasan
Taman
37. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka, Tangerang, 2004 38. Ramage, Douglas E., Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance, Routledge, London, 1995 39. Rawls, John, “The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, in Contemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin and Phillip Pettit (eds), Blackwell, Oxford, 1997 40. Rawls, John, Political Liberalism, Columbia University Press, New York, 1996 41. Ricklefs, A History of Indonesia, Indiana University Press, Bloomington, 1981 42. Roeslan Abdulgani, “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? (Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959) 43. Saafroedin Bahar, 2007. Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional. www.setwapres.go.id 44. Sjafrudin Prawiranegara, “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984) 45. St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010 46. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 47. Teitel, Ruti G. (2000). Transitional Justice. New York: Oxford University Press. 48. Utojo Usman, Pancasila sebagai Ideologi: dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, Cet.III, Karya Anda, Surabaya, 1993 49. Yasraf Amir Piliang, Hantu-hantu politik dan matinya sosial, Tiga Serangkai, Solo, 2003 50. Yasraf Amir Piliang, Sebuah dunia yang dilipat: realitas kebudayaan menjelang milenium ketiga dan matinya posmodernisme, Mizan Publika, Bandung, 1998 51. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011
2016
13
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id