“ KEADILAN BAGI RAKYAT MISKIN ”
NAMA
: BAGOES IRIYANTO AGUNG WIBOWO
NIM
: 11.11.4857
KELAS
: 11-S1TI-04
KELOMPOK
: C
JURUSAN
: TEKNIK INFORMATIKA
DOSEN
: TAHAJUDIN S, Drs
LATAR BELAKANG MASALAH
KEADILAN BAGI RAKYAT MISKIN Di Indonesia telah banyak terjadi kasus diskriminasi hukum terhadap rakyat menengah dan kecil. Ini bukalnlah hal yang tabuh lagi di perbincangkan oleh publik, dan sudah mendarah daging di lingkungan masyarakat sekitar. Perlakuan aparat penegak hukum semena-mena menganggap rakyat kecil itu sampah Negara, padahal rakyat kecil ialah elemenkecil yang aktif sebagai penggerak ekonomi suatu Negara. Tetapi di Indonesia banyak oknum pejabat yang rela menusuk rakyat kecil dari belakang secara halus untuk kepentingan pribadi, politik ataupun kelompoknya, Mencuri uang rakyat dengan nilai yang tidak sedikit. Tetapi setelah berurusan dengan penegak hukum hanya berpura-pura tidak mengakui kesalahaannya. Kepala pemerintahan pun hanya diam dan acuh tak acuh terhadap para pelaku koruptor.? Hal ini seharusnya ditanggapi serius oleh kepala pemerintah agar tidak menjadi budaya. Di artiel ini akan di bahas sedikit tentang hal-hal diatas.
PERMASALAHAN A. Rakyat kecil yang di diskiminasi? B. Peran serta masyarakat dalam membangun pemerintahaan yang adil!
RUMUSAN MASALAH
A. Sangat prihatin dengan sejumlah peristiwa hukum yang belakangan ini menurutnya telah dan sering menyinggung rasa keadilan masyarakat. Hal itu terutama terjadi ketika aparat penegak hukum berhadapan dengan para pelanggar hukum dari kalangan masyarakat kelas bawah dan miskin. Hukum seolah diterapkan dan diterjemahkan serta-merta seperti tertulis. Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara•. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 3 ayat berikutnya, merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial. Pasal tersebut juga bermakna kewajiban negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk melakukan usaha yang maksimal guna menyejahterahkan masyarakatnya. Tetapi penerapan hukum pada pasal 34 UUD 1945 ayat (1) di lapangan terbukti serta-merta aparat penegak hukum memperlakukan masyarakat kelas bawah dan miskin. Seperti pada kasus seorang nenek yang mengambil tiga biji kakao yang hanya bernilai 2.000, Akibat perbuatannya itu, nenek tersebut dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan. Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto, Minah dinyatakan sebagai tahanan rumah. Padahal, dari tiga buah kakao itu, paling banyak didapat 3 ons biji kakao basah. Jika dijual harganya hanya sekitar Rp 2.000. "Orang yang korupsi miliaran dibiarkan saja. Tapi ini hanya memetik tiga buah kakao sampai dibuat berkepanjangan. Sebenarnya bagaimana sistem pemerintahan di negeri ini? Keadilan hukum bukan lagi milik rakyat yang semakin terjepit dan mejerit, kalau rakyat tersandung dengan hukum jangan harap bisa meminta keadilan dan kemudahan disini hukum benar-benar ditegakkan kesimpulannya rakyat hanya sebagai testimoni dari hukum sekecil apapun kesalahannya masuk tapi kalau kita tengok keatas betapa mudahnya hukum dipelintir dan disetir dan sudah menjadi hal yang biasa. Para pelaku korupsi yang mencuri uang rakyat itu sendiri mendapatkan hukuman yang sangat ringan dibandingkan dengan hukuman yang harus sebenarnya mereka terima. Penegak hukum di negeri ini bisa dikatakan dapat di hargai dengan uang, dan memandang tinggi rendahnya derajat ekonomi seseorang. Jika tidak di ada uang maka akan dipersulit proses hukum pidana yang di hadapi. sungguh hina sekali negeri ini dihadapan TUHAN yang maha esa. Budaya tak selamanya baik, ada kalanyanya budaya justru menjadi rantai setan yang membelit dan sulit lepas dari korbannya. Budaya diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran langsung maupun tidak langsung, seperti pada halnya korupsi, secara langsung maupun tidak langsung dapat turun temurun ke anak cucu. Dan kapan rantai permasalahan ini akan putus.
Menurut pak karno : Pada dasarnya,Soekarno tidak setuju jika Indonesia disebut dengan negara yang demokrasi. Karena Soekarno ingin mengubah Indonesia menjadi negara sosialis. Sebab ,Demokrasi itu dapat di artikan dan berasal dari kata Demok dan Krasi yang berarti " Sing gede di mok-mok,Sing Kecil di krasi " artinya"yang besar di pegang-pegang yang kecil diinjakinjak".Maksudnya, Demokrasi itu menurut Soekarno itu tidak mementingkan ke seluruhan masyarakat dengan adil,maksudnya hanya memikirkan orang2 yang lebih tinggi drajatnya dan sedangkan kaum yang lebih rendah di tindas atau tidak di perhatikan. oleh sebab itu Soekarno tidak menyetujuinya.
B. Masyarakat adalah suatu komunitas yang berbudaya, terorganisasi dan memiliki kaidah normatif sebagai sarana interaksi sesama anggota masyarakat lainnya. Sebagai pembentuk tatanan sosial, tentu saja dalam hidup sosial kemasyarakatan harus memiliki kepekaan dalam mengenali dan memahami setiap persoalan sosial kemasyarakatan sebagai tanggung jawab moral bagi setiap anggota masyarakat. Karena sebagai subyek yang melakukan tindakan, maka perilaku-perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan masyarakat mesti disikapi oleh anggota masyarakat sendiri tanpa harus ada perintah yang sifatnya memaksa dari negara. Peran serta masyarakat dan pemerintah dalam menanggulangi korupsi seharusnya kedua belah pihak tersebut tidak boleh dipisahkan dalam pelaksanaan program apapun juga. Karena masyarakat adalah penegak hukum yang benar dan tidank memandang sisi apapun masyarakat itu sendiri. Negara ini adalah negara demokrasi, dimana rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, dan pemerintah sendiri tidak akan dapat mengaplikasikan setiap apa yang direncanakan tanpa keikut sertaan dari rakyat, dalam hal pembuktian korupsi, pihak yang diwenangi juga harus melengkapi berbagai bukti dan saksi, dan banyak dari kasus korupsi yang terjadi, melibatkan bukti dan saksi dari kalangan rakyat itu sendiri, seperti halnya kwitansi pembelian, serta saksi-saksi yang mengetahui saat transaksi yang dilakukan. Kemudian, pemerintah harus dapat memperluas jaringan badan yang mengawasi tindak pidana korupsi, jangan hanya terpaut pada KPK semata, karena terlalu banyak yang literatur yang harus dilakukan dalam hal pembuktian tindak pidana korupsi, dari mulai pengumpulan bukti hingga saksi. Jika hal tersebut mampu diwujudkan, maka akan mempermudah KPK dalam mengumpulkan segala persyaratan untuk pembuktian suatu kasus tipikor.
PENDEKATAN : SOSIOLOGIS Pernyataan mengapa kasus-kasus serupa masih saja terjadi, terbesit dalam ingatan kita. Saat reformasi digulirkan semangat perubahan yang muncul utamanya ditujukan pada komiten rakyat terhadap pemberantasan korupsi. Apakah yang sebenarnya terjadi? Mengapa bangsa ini seakan terus terpenjara dalam euphoria dan belantara kata pemberantasan korupsi tanpa adanya pencapaian signifikan. Bagai sebuah paradox, kenyataannya lembaga sekelas KPK diyakini masyarakat sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Seangkan di lain pihak upaya KPK pun mendapat komitmen dari lembaga penegak hukum lainnya seperti polri dan kejaksaan agung beserta paradigm barunya dalam memberantas korupsi. Dalam pendekatan sosiologis khususnya dalam proses pembentukan peradaban bangsa kedepan perlu diperhatikan secara cermat hubungan antara perilaku koruptif dan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Jika melihat kasus-kasus korupsi yang muncul, sebagai hipotesis awal, perilaku korupsi terdapat pada berbagai unsur masyarakat keseluruhan. Ironisnya, masyarakat sebenarnya secara alamiah sudah memiliki instrument sendiri untuk mencegah korupsi, antara lain melaui pemilu, bagi masyarakat pemilu seharusnya menjadi alat penting dalam mendorong politik. Di unsur legislatif, upaya pencegahan korupsi direalisasikan melalui instrument produk perundangan, antara lain Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan di ratifikasi United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Bahkan kalangan selaku bisnis pun selayaknya mempunyai resistensi sendiri terhadap perilaku koruptif melalui penerapan kode etik profesi yang bertujuan membangun perekonomian bebas korupsi.
YURIDIS Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sudah mendunia, bukan hanya di negara maju, negara yang sudah berkembang bahkan sampai negara yang masih berkembang. Korupsi di negara kita lebih kita kenal tiga istilah yang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yaitu, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga masih perlu banyak pembenahan, karena negara kita sendiri (Indonesia) untuk kategori korupi tingkat dunia menempati peringkat tiga dunia, sedangkan untuk benua Asia menempati peringkat urutan pertama. Sebagaimana yang kita ketahui pidana korupsi di negara kita telah meluas dari pemerintahan pusat hingga daerah sehingga merusak sistem birokrainya.Pada dasarnya pidana korupsi tidak banyak berkaitan dengan agama, akan tetapi berkaitan erat dengan sistem tatanan hukum yang jelas dan tegas dan di iringi dengan penegakan hukum yang berat terhadap koruptor dengan berbagai peraturan perundangan yang berlaku yang di buat pemerintah. Berkaitan dengan negara Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim, maka selayaknya tindak pidana korupsi di masukkan sebagai salah satu pemikiran utama sehingga bisa diterapkan dan paling tidak mengkombinasikan kedua hukum tersebut Hukum Positif dan Hukum Islam sebagai landasan utama dalam memberantas korupsi.
Pada hakikatnya pemberantasan dan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi jauh dari kenyataan UU yang berlaku, karena UU yang di buat seakan-akan masih melindungi penguasa dan hukuman yang di berikan kepada pelaku tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan apa yang berlaku di dalam UU seperti pidana mati seharusnya di jatuhkan kepada pelaku yang masuk kategori tersebut.
Untuk itu penulis mengambil beberapa permasalahan yang terkait dengan tindak pidana korupsi, yaitu bagaimanakah hukum positif dan hukum islam mengatur tentang tindak pidana korupsi serta bagaimana pidana yang di jatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan relevansi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Metode penulisan yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis komperatif dengan menggunakan UU korupsi yang berlaku di negara kita yaitu UU No 20 Th 2001 dan Hukum Islam yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, dampak korupsi terhadap stabilisasi negara, syarat-syarat dan cara pidana mati, serta teknik deskriptif analisis.
HISTORIS Kasus – kasus korupsi di negeri tercinta Indonesia yang sekarang ini sering muncul di media masa sesungguhnya hanyalah fenomena gunung es di tengah lautan, dibandingkan dengan yang tampak di permukaan, sebenarnya es yang berada di bawah air jauh lebih besar. Artinya, kasus korupsi yang tampak bisa di ungkap hanyalah sebagian kecil dari kenyataan korupsi yang ada. Korupsi menurut Semma (2008) merupakan kejahatan kemanusiaan. Dalam memahami kondisi tersebut Pabotingi dalam pengantarnya untuk Isra (2009) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sekarang ini sudah sampai pada tingkat patologis dalam hitungan frekuensi, skala, maupun magnitude yang tidak lagi bisa lagi di toleransi, bahkan di indikasi ada gejala multiplikasi laku korupsi setelah era disentralisasi kekuasaan pemerintahan di era reformasi . Pemberantasan korupsi merupakan agenda reformasi paling rumit yang hingga kini belum menunjukan pertanda jelas. Terbukti dari kedudukan Indonesia menurut Tranparansi Internasional selalu memiliki indeks persepsi yang menunjukan sebagai negara yang ada di kelompok negara – negara terkorup di dunia. Korupsi di Indonesia bukan lagi korupsi bersifat generik melainkan sudah pada tataran korupsi konstitusional.
PEMBAHASAN
Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan turun-temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi paa pelaku korupsi. Di tengah-tengah perdebatan pemberantasan korupsi itu, akhir-akhir ini sering terdengar istilah whistleblower sebagai salah satu pendekatan proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah whistleblower dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana halnya wasit dalam pertandingan sepak bola ataui olahraga lainnya yang meniupkan peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Dalam tulisan ini, istilah “peluit peluit “ diartikan sebagai orang yang mengungkap fakta kepada public mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Adapun pengertian whistleblower menurut PP No.71 Tahun 2000 adalah orang yang memberi suatu informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Adapun istilah pengungkap fakta (whistleblower) dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya memberikan pengertian tentang saksi. Adapun yang disebut dengan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Pada kesimpulan dapat di ketahui dampak korupsi terhadap stabilisasi kehidupan bernegara yang mana berimbas masyarakat itu sendiri, sehingga pidana bagi pelaku korupsi di ganjar seberat-beratnya yaitu pidana mati yang dapat menjadikan psiko terapi bagi masyarakat lainnya. Dan dapat berdampak positif terhadap pandangan masyarakat pada system pemerintahan dan para pejabat tinggi negri.
SARAN Dan disini penulis memberikan saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk lebih tegas dalam memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi, juga para akademisi agar dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap UU yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Sumber : Google.com : Buku Pendidikan Pancasila : UUD 1945