MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
Rangkuman Temuan Penelitian oleh Cate Sumner
© Mahkamah Agung and AusAID 2008 B
The information in this publication may be reproduced with suitable acknowledgement.
MAINDesigned by Mariana Rollgejser [
[email protected]] RESEARCH FINDINGS
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN
Rangkuman Temuan Penelitian oleh Cate Sumner
Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
i
ii
DAFTAR ISI Kata Pengantar
1
Temuan Utama Penelitian
4
Rekomendasi-rekomendasi Utama bagi Pembaruan Pengadilan Agama
5
BAB I Latar Belakang dan Metodologi Penelitian
6
Latar Belakang
7
Apakah akses ke Pengadilan Agama merupakan hal penting?
7
Yurisdiksi Pengadilan Agama
9
Metodologi penelitian akses dan kesetaraan
10
Mengapa PEKKA dipilih sebagai sampel kelompok pada penelitian akses dan kesetaraan
10
Badan Koordinasi Penelitian
11
Jadwal Riset
11
BAB 2 Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
12
Tingkat pendapatan
13
Waktu
14
Biaya
14
Jarak dari rumah ke lokasi Pengadilan Agama
15
Latar belakang pendidikan
15
Status hukum perkawinan
16
Status hukum perceraian
16
Usia pada pernikahan pertama
16
Status hukum anak
16
Survei akses dan kesetaraan
17
Hambatan-hambatan dalam mengakses Pengadilan Agama yang diungkapkan oleh kelompok PEKKA
21
Tingkat kesadaran anggota kelompok PEKKA terhadap Pengadilan Agama
21
Pandangan para anggota kelompok PEKKA tentang cara-cara untuk meningkatkan akses ke Pengadilan Agama
21
BAB 3 Temuan-temuan Kunci Penelitian
22
Temuan-temuan kunci penelitian: perincian
23
BAB 4 Langkah Selanjutnya
26
Anggaran prodeo
27
Prosedur beracara secara prodeo
27
Pengadilan keliling
27
Informasi yang lebih baik tentang prosedur pengadilan
28
Peningkatan pelayanan pengguna pengadilan
28
Memberikan keadilan bagi pencari keadilan
29
Catatan Akhir
30
Penghargaan dan Mitra Penelitian
31
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
iii
iv
Kata Pengantar Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bismillahirrahmanirrahim Persoalan akses publik terhadap pengadilan adalah hal yang sangat penting. Mahkamah Agung telah menjadikannya sebagai bagian dari agenda reformasi yudisial. Bahkan, dengan ditetapkannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 144/2007, upaya meningkatkan akses terhadap pengadilan, khususnya informasi, menjadi keniscayaan bersama seluruh jajaran lembaga peradilan. Oleh karena itu, survei berskala nasional tentang Religious Court Access and Equity yang telah dilakukan oleh Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF) sangat mendukung reformasi yudisial yang dilakukan oleh MA. Hasil survei tersebut menjadi sebuah baseline data yang sangat berharga dalam upaya meningkatkan pelayanan peradilan agama di masa mendatang. Sehingga upaya penerbitan hasil survei ini menjadi sebuah langkah positif, dan sangat kami dukung. Pihak-pihak yang terkait dapat menjadikan informasi hasil survei sebagai cermin kualitas pelayanan. Hasil positif harus dipertahankan dan terus ditingkatkan, sedangkan hasil yang negatif harus segera ditindaklanjuti dengan program dan kebijakan yang berkelanjutan. Terlaksananya survei Religious Court Access and Equity ini tidak terlepas dari program nota kesepahaman (MoU) antara Federal Court/Family Court (FCA/FCoA) dan Mahkamah Agung dengan dukungan dana AusAID (Australian Agency for International Development) yang difasilitasi oleh LDF. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memberikan apresiasi yang tinggi kepada FCA/FCoA, AusAID, dan LDF. Semoga kegiatan dengan misi serupa dapat terus dilakukan di masa mendatang.
Jakarta, 4 Januari 2008 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. BAGIR MANAN, SH, M.CL
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
1
Sambutan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Kedudukan peradilan agama berdasarkan UU No 3/2006 adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah1. Peradilan Agama saat ini telah menjadi bagian dari sistem peradilan nasional yang terpadu. Menurut Ketua Mahkamah Agung, peradilan agama dituntut sebagai badan peradilan yang tidak semata-mata menerapkan hukum tetapi juga menegakkan hukum dan membentuk hukum untuk memenuhi kebutuhan mereka yang mencari keadilan dan masyarakat pada umumnya, yang selalu berubah dan berkembang. Peradilan Agama pun harus diselenggarakan atas dasar prinsip-prinsip keterbukaan, responsibilitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas menurut dasar-dasar administrasi peradilan yang maju dan modern. Kesemuanya ini bermuara pada terwujudnya court excellence (keunggulan peradilan). Rekomendasi yang dihasilkan konsorsium internasional tentang keunggulan peradilan (International Framework for Court Excellence, IFCE), terutama dalam konteks peningkatan pelayanan hukum, sangat relevan untuk dijadikan referensi kebijakan. IFCE menyebut tujuh hal yang berpengaruh kepada pembentukan court excellence, yaitu: manajemen pengadilan dan kepemimpinan, kebijakan pengadilan, sumberdaya manusia, sumber daya material dan keuangan, prosedur acara pengadilan, kebutuhan dan kepuasan klien, pelayanan yang terjangkau, serta kepercayaan dan keyakinan publik. Untuk memperoleh baseline data mengenai gambaran kinerja pelayanan, yang dalam paradigma IFCE dikategorisasikan dalam 7 hal tersebut, diperlukan sebuah penelitian. Data hasil penelitian ini diolah menjadi informasi yang sangat berharga sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan. Dalam kaitan ini, survei tentang akses dan kesetaraan dalam peradilan agama (religious court access and equity survey) yang difasilitasi oleh Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF) sangat relevan dengan kebutuhan untuk menemukan model dasar bagi rencana strategis reformasi pelayanan peradilan agama. Survei yang dibiayai oleh AusAID ini berskala nasional. Dengan jumlah responden 1030 orang yang tersebar di seluruh Indonesia dan terpilih secara acak, survei ini menghasilkan temuan yang dapat memotret gambaran akses dan kesetaraan bagi pencari keadilan terhadap peradilan agama. Informasi temuan survei mengurai kebutuhan dan kepuasan kedua belah pihak, harapan pelayanan yang terjangkau, serta kepercayaan publik dan keyakinan pelayanan peradilan agama dari perspektif pengguna peradilan agama.
2
1
Kekuasaan kehakiman (judicial power) tersebut dilaksanakan oleh pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang sebagaimana disebutkan diatas. Sedangkan pengadilan tinggi agama memiliki tugas dan wewenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama dalam tingkat banding.
Sambutan
Survei juga diproyeksikan kepada para pengguna di masa depan, yakni mereka yang beragama Islam dan mempunyai kasus yang menjadi yurisdiksi peradilan agama, tetapi ternyata tidak membawa kasusnya ke Pengadilan Agama. Melalui Diskusi Kelompok Fokus di antara kelompok ini dengan Badan Koordinasi Survei2 didapat informasi mengenai harapan publik terhadap keterjangkauan pelayanan pengadilan agama. Di samping hal tersebut, survei juga ditujukan kepada hakim dan staf pengadilan agama sehingga survei dapat memberikan sketsa mengenai kinerja peradilan agama. Mengakhiri serangkaian kegiatan penelitian ini, kemudian digelar sebuah forum diskusi meja bundar (roundtable discussion) yang diikuti oleh Badan Koordinasi Survei, pelaksana survei, wakil-wakil dari antara para hakim dan staf pengadilan, serta beberapa LSM, diantaranya PEKKA dan Komnas Perempuan. Sesuai dengan design survei yang telah dirumuskan, hasilnya diharapkan dapat menjadi sebuah baseline data dalam upaya meningkatkan pelayanan peradilan agama. Harapan tersebut memang menjadi kenyataan. Kini, berkat survei, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama memperoleh sebuah baseline data mengenai potret akses, kepuasan pelayanan, kepercayaan publik terhadap peradilan agama dan juga sketsa kinerja aparatur peradilan agama. Ini menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk menyusun program dan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, persepsi publik, dan kinerja peradilan agama secara luas. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, kini, tengah mempersiapkan beberapa kegiatan dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, untuk melakukan tindak lanjut dari survei ini. Apa yang ditangkap oleh survei yang merupakan kelemahan atau kekurangan peradilan agama, diharapkan sedikit demi sedikit dapat segera teratasi, tanpa menunggu waktu berlama-lama. Dalam rangka keterbukaan dan akuntabilitas, serta untuk mendapatkan masukan lebih jauh dari masyarakat luas, maka apa yang telah dilakukan oleh peradilan agama, tingkatan kinerjanya dan persepsi para penggunanya perlu disebarluaskan secara terbuka kepada publik. Oleh karena itu, penerbitan hasil survei yang berharga ini menjadi suatu hal yang sangat positif. Terakhir, kami menyampaikan terima kasih kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan seluruh jajarannya, yang telah memberi arahan-arahan demi terlaksananya survei ini. Demikian juga, kepada para responden, PPIM UIN Jakarta, PSW UIN Yogyakarta serta semua pihak yang telah membantu keberhasilan survei dan diskusi-diskusi tindak lanjutnya, kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Kami juga sangat memberikan apresiasi kepada IALDF, Family Court of Australia, dan AusAID. Keterlibatan lembaga-lembaga tersebut terhadap berlangsungnya survei ini sangat berarti. Semoga di masa mendatang kegiatan dengan misi serupa dapat kembali dilaksanakan.
Hanya kepada Tuhanlah, kita berserah diri.
Jakarta, 8 Januari 2008, Direktur Jenderal, Wahyu Widiana
2
Badan Koordinasi ini mencakup unsur-unsur Peradilan Agama (Ditjen Badilag), LDF, dan PPIM UIN.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
3
Temuan Utama Penelitian w Terdapat tingkat kepuasan yang tinggi pada para pengguna jasa Pengadilan Agama – dengan lebih dari 80% pemohon (dan 70% secara keseluruhan) mengatakan bahwa mereka bersedia untuk menggunakan kembali jasa Pengadilan di masa depan, jika mereka mengalami masalah hukum yang sama. w Perceraian melalui Pengadilan Agama memberikan kepastian hukum. Tanpa melalui Pengadilan Agama, perceraian akan menimbulkan status hukum yang tidak pasti bagi mantan suami/isteri dan anak-anaknya. w Akan tetapi, kelompok termiskin dari masyarakat Indonesia menghadapi kendala yang berarti dalam membawa masalah hukum keluarga mereka ke Pengadilan Agama. w Akibatnya, terjadilah siklus perkawinan dan perceraian yang tidak memenuhi syarat hukum pada banyak perempuan kepala keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia. Terjadilah kegagalan untuk memperoleh surat-surat perkawinan dan perceraian. 62% dari anak yang lahir dari perkawinan-perkawinan ini tidak memiliki akte kelahiran. w Bagi mereka yang miskin, hambatan utama mengakses Pengadilan Agama adalah masalah keuangan, yang terkait dengan:
(i) ongkos perkara; dan
(ii) biaya transportasi untuk mencapai pengadilan.
w Hambatan sekunder bagi mereka yang miskin dalam mengakses Pengadilan Agama adalah berkaitan dengan pemberian informasi yang jelas kepada pengguna pengadilan yang tidak bisa membaca-menulis.
4
Temuan Utama Penelitian
Rekomendasi-rekomendasi Utama bagi Pembaruan Pengadilan Agama 1 Anggaran Prodeo
Meningkatkan anggaran untuk membiayai perkara prodeo bagi Pengadilan Agama untuk periode 2008- 2012 dan mengembangkan sistem pengelolaan data untuk memperoleh informasi tentang jumlah permohonan perkara prodeo.
2 Prodeo Procedure (i) Memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya bagi hakim dan para pengguna pengadilan tentang proses penanganan perkara prodeo; (ii) Memastikan suatu prosedur pendaftaran acara prodeo yang seragam di seluruh pengadilan di Indonesia; dan (iii) Memastikan bahwa proses prodeo dua-tahap yang berlaku saat ini tidak menimbulkan beban tambahan bagi si miskin dalam membuktikan kemiskinannya sebelum persidangan perkara mereka dimulai.
3 Sidang Keliling (i) Merencanakan lebih banyak sidang keliling pada propinsi besar dan/atau provinsi yang miskin di mana permintaan dan kebutuhannya sangat mendesak; dan (ii) Menyiapkan anggaran tahunan yang cukup untuk memungkinkan sidang keliling dapat dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki permintaan yang tinggi.
4 Informasi yang lebih baik tentang proses pengadilan Memberikan informasi yang akurat dan jelas kepada pengguna pengadilan dan masyarakat luas. Informasi itu disajikan dalam bahasa non-hukum tentang Pengadilan Agama, menggunakan: w
Informasi tertulis
w
Informasi pada internet
w
Informasi audio-visual; dan
w
Konsultasi/kursus di tingkat masyarakat.
5 Peningkatan Layanan Terhadap Pengguna Pengadilan
Memperhatikan hal-hal yang dikemukakan oleh para pengguna pengadilan dalam survey, untuk meningkatkan layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
5
BAB 1 Latar Belakang dan Metodologi Penelitian
6
Latar Belakang dan Metodologi Penelitian
Latar Belakang Pada tahun 2007, Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF), bersama dengan Universitas Islam Negeri di Jakarta dan Yogyakarta, LSM PEKKA , dan Family Court of Australia bekerja sama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk melaksanakan survei berskala nasional untuk pertama kalinya mengenai akses dan kesetaraan pada Pengadilan Agama di Indonesia. Tujuan dari penelitian tentang akses dan kesetaraan ini adalah untuk membantu Pengadilan Agama dalam mengembangkan suatu rencana strategi tentang akses dan kesetaraan berdasarkan hasil penelitian ini yang akan: w
mengumpulkan umpan balik dari persepsi para hakim, staf pengadilan, pengguna pengadilan, dan LSM tentang kualitas layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama kepada pengguna pengadilan; dan
w
memastikan apakah terdapat kelompok masyarakat yang tidak mampu mengakses layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama, atau memilih untuk tidak mengaksesnya, dan jika begitu, apa alasan mereka.
Penelitian tentang akses dan kesetaraan akan memberikan kepada Pengadilan Agama suatu data empiris tentang hal-hal yang menurut para pengguna, Pengadilan Agama telah memberikan layanan yang sangat baik dan hal-hal lainnya yang masih memerlukan perbaikan. Penelitian ini juga akan memberikan kepada Pengadilan Agama suatu tolok ukur yang dapat digunakan oleh pengguna pengadilan di masa yang akan datang dalam menentukan apakah telah terjadi peningkatan atas standar layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama. Tujuan akhir penelitian ini adalah untuk mencatat langkah-langkah yang akan diambil oleh Pengadilan Agama, sehingga Pengadilan Agama dapat: w
menjadi lebih mudah diakses oleh kelompok-kelompok yang saat ini tidak membawa perkara mereka ke pengadilan ini, padahal mereka memiliki masalah yang berhubungan dengan yurisdiksi Pengadilan Agama; dan
w
memberikan tingkat layanan yang lebih baik kepada mereka yang membawa perkara ke pengadilan ini.
Pengadilan Agama, dan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang mengawasinya, patut diapresiasi, karena pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama dan Mahkamah Agung mempunyai keinginan untuk mendengar apa yang tidak disukai oleh para penggunanya dan keinginan untuk meningkatkan layanan pengadilan. Lebih jauh lagi, penerbitan hasil survei akan membantu mengembangkan suatu budaya akuntabilitas pengadilan yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Apakah akses ke Pengadilan Agama merupakan hal yang penting? Banyak orang, pada titik tertentu dalam hidup mereka, memiliki masalah hukum keluarga dan masalah tersebut muncul tanpa mengenal status ekonomi, atau tempat di mana dia berada. Bagi orang Islam di Indonesia, ada persyaratan hukum, bahwa masalah-masalah ini ditangani secara eksklusif oleh Pengadilan Agama. Hukum nasional menyebutkan bahwa jenis-jenis sengketa hukum yang melibatkan orang Islam di Indonesia termasuk di dalamnya, khususnya, masalah kewarisan, perceraian, hak asuh anak, harus dibawa ke Pengadilan Agama. Jika pernikahan tidak secara formal diakhiri melalui perkara perceraian di Pengadilan Agama, maka pernikahan berikutnya tidak akan pernah dapat didaftar secara sah pada Kantor Urusan Agama (KUA) . Keabsahan perkawinan dan perceraian akan mempengaruhi hak-hak waris dari anak, dan juga tanggung jawab hukum atas keuangan dari mantan suami atau isteri dan anak dari perkawinan tersebut. Perceraian, seperti kematian kepala keluarga, juga seringkali merupakan titik kritis bagi keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
7
Melakukan suatu penelitian tentang akses dan kesetaraan akan memungkinkan dilakukannya suatu penilaian tentang apakah Pengadilan Agama telah secara universal dapat diakses oleh orang-orang Islam di Indonesia, dan khususnya: w
apakah jumlah penduduk miskin di Indonesia yang dapat mengakses Pengadilan Agama seimbang dengan jumlah seluruh penduduk miskin di Indonesia;
w
apakah penduduk miskin mengalami kualitas pelayanan yang sama dari para hakim dan staf pengadilan pada Pengadilan Agama; dan
w
apakah perempuan memiliki tingkat kepuasan yang sama dengan laki-laki terhadap tingkat layanan yang diberikan oleh hakim dan staf pada Pengadilan Agama.
Perempuan merupakan setidaknya 60% dari kelompok yang mengajukan perkara ke Pengadilan Agama. Melalui suatu penelitian yang berskala relatif besar, di antara pengguna Pengadilan Agama dan kelompok yang potensial akan menggunakan jasa Pengadilan Agama, seperti yang dilaksanakan, dimungkinkan untuk memperoleh gambaran tentang (i) hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan dalam mengakses pengadilan dalam masalah-masalah hukum keluarga; dan (ii) pengalaman perempuan-perempuan yang pernah mengakses Pengadilan Agama. Perempuan, pada umumnya, bertanggung jawab untuk mengurus anak-anak setelah terjadi perceraian. Oleh karena itu, kondisi ekonomi dan keadaan sosial generasi selanjutnya seringkali bergantung kepada seberapa cukup dan efektifnya pengelolaan kesepakatan tentang masalah anak dan bekas suaminya yang diatur pada saat terjadinya perceraian. Hukum keluarga sangatlah penting bagi individu, keluarga, dan masyarakat, karena hukum ini secara langsung mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi generasi selanjutnya. Di negaranegara yang memiliki peraturan yang mewajibkan perceraian, hak asuh atas anak dan waris diperiksa oleh pengadilan (Pengadilan Agama untuk orang Indonesia yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi orang Indonesia yang tidak beragama Islam), maka prinsip dasar apabila ada seorang Islam Indonesia membawa kasus keluarganya ke Pengadilan Agama, akan ada akibat ekonomi dan sosial yang bertujuan untuk memberi manfaat bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut, dan juga bekas suami atau isteri serta masyarakat luas. Di Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan kurang dari US$1 per hari, menjadi sangat penting untuk memastikan kesejahteraan ekonomi anak dapat diurus secara adil, ketika orang tua mereka bercerai. Sebagaimana diungkapkan dalam penelitian akses dan kesetaraan ini, hampir semua perempuan kepala keluarga yang tidak mengakses Pengadilan Agama untuk perceraian harus menanggung sendiri beban ekonomi untuk membesarkan anaknya. Hal ini dapat dan telah membawa implikasi yang signifikan terhadap kemampuan anak memperoleh makanan yang beragam dan bergizi, memiliki akses yang cukup terhadap layanan kesehatan, dan memenuhi setidaknya sembilan tahun wajib belajar: hal ini semua sangatlah penting jika ingin mengeluarkan anak-anak ini dari kemiskinan. Sistem hukum keluarga yang efektif bertujuan untuk memberikan hasil yang mengurangi kejadian di mana anak dan bekas suami atau isteri hidup dalam kemiskinan setelah perceraian. Fakta apakah si miskin dapat mengakses sistem hukum keluarga formal sedini mungkin merupakan elemen kunci yang mampu menentukan apakah sistem tersebut dapat membantu pengikisan kemiskinan.
8
Latar Belakang dan Metodologi Penelitian
Yurisdiksi Pengadilan Agama Pengadilan Agama3 memiliki yurisdiksi atas orang Islam terhadap masalah-masalah sebagai berikut4: w
perkawinan/perceraian;
w
pewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan sesuai dengan hukum Islam;
w
wakaf dan shadaqah;
w
infaq dan zakat; and
w
ekonomi syariah.
Tabel di bawah ini merangkum perkara-perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama pada tahun 2006 pada tingkat pertama dan banding:5
Jenis Perkara
Pengadilan % total Agama Tingkat Tingkat Pertama Pertama
Perceraian
178.913
98,8%
1.288
84,69%
1.311
0,72%
195
12,82%
Wasiat
22
0,01%
4
0,26%
Hibah
58
0,003%
16
1,05%
Waqaf
21
0,01%
4
0,26%
2
0,01%
0
0%
318
0,18%
0
0%
0
0%
0
0%
432
0,24%
14
0,92%
181.077
100%
1.521
100%
Waris
Shadaqah P3HP 6 Ekonomi Syariah Lainnya Total
Tingkat % (dari Banding/ total Pengadilan banding) Tinggi Agama
Perkara-perkara yang dimohonkan banding dari Pengadilan Tinggi Agama akan diperiksa oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada tahun 2006 tercatat ada 532 perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Agung, 497 perkara untuk Kasasi dan 35 perkara Peninjauan Kembali.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
9
Metodologi Penelitian Akses dan kesetaraan Penelitian akses dan kesetaraan melibatkan tiga kelompok responden: w
1040 orang pengguna Pengadilan Agama dipilih secara acak di 35 daerah perkotaan dan pedesaan di seluruh Indonesia dan disurvei oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
w
163 orang perempuan kepala keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan yang merupakan anggota Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), yang berdomisili di daerah Brebes, Cianjur dan Lombok, ikut serta dalam forum diskusi kelompok terfokus dengan Penasihat Utama Pembaruan Hukum IALDF dan mengisi kuesioner survei;
w
dan staf pengadilan pada Pengadilan Agama Brebes, Cianjur dan Lombok berpartisipasi dalam diskusi kelompok terfokus dengan Penasihat Utama Pembaruan Hukum IALDF tentang masalah akses dan kesetaraan pada Pengadilan Agama.
Mengapa PEKKA Dipilih Sebagai Sampel Kelompok pada Penelitian Akses dan Kesetaraan PEKKA adalah Organisasi Non-Pemerintah lokal, didirikan pada tahun 1999, PEKKA bekerja dengan lebih dari 7900 perempuan kepala keluarga melalui jaringan 330 kelompok PEKKA yang tersebar di 41 kecamatan dan 244 kabupaten di delapan provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara.7 Anggota PEKKA adalah perempuan yang menjadi kepala keluarga akibat meninggalnya suami, perceraian, ditinggal, melajang atau menikah namun bertanggung jawab atas penghidupan rumah tangga (karena suaminya sakit, atau tidak mampu bekerja, atau bekerja di luar negeri dan tidak memberi dukungan keuangan pada keluarga). 10
Latar Belakang dan Metodologi Penelitian
Anggota PEKKA dengan demikian memberikan pada penelitian ini populasi survei yang dapat digunakan untuk mencari jawaban tentang hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penduduk Muslim Indonesia yang: w
mungkin telah mengalami perceraian;
w
jatuh di bawah garis kemiskinan;
w
secara umum tidak mengakses Pengadilan Agama untuk mengesahkan perceraian mereka; dan
w
sebagai perempuan, merupakan lebih dari 60% dari pemohon yang mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.
Karena anggota PEKKA mengalami berbagai kesulitan sosial dan ekonomi yang besar, maka dipandang bahwa dengan mengkaji hambatan-hambatan yang dialami oleh kelompok ini dalam mengakses Pengadilan Agama, akan terlihat hambatan-hambatan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok marginal lainnya.
Badan Koordinasi Penelitian Suatu Badan Koordinasi Penelitian dibentuk untuk memberikan arahan terhadap seluruh aspek penelitian ini, termasuk menyetujui kuesioner survei, membicarakan pemilihan responden survei, dan metodologi pelaksanaan, dan menganalisis temuan-temuan survei dan laporan. Badan Koordinasi Penelitian terdiri dari: w
Bapak Wahyu Widiana, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bapak Farid Ismail, Bapak Hidayatullah, dan staf lainnya dari Ditjen Badilag termasuk para peneliti;
w
Dr Jajat Burhanudin, Direktur Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta;
w
Ibu Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur Pusat Studi Wanita, UIN Yogyakarta; dan
w
Cate Sumner, Penasihat Utama Pembaruan Peradilan, Indonesia-Australia Legal Development Facility.
Jadwal Riset November 2005
Kunjungan Pengadilan Agama ke Family Court of Australia dan pengembangan ide-ide tentang survei akses dan kesetaraan bagi Pengadilan Agama Indonesia.
September 2006
Dilibatkannya seorang konsultan yang telah bekerja dengan Family Court of Australia dalam surveinya tentang keragaman budaya, akses dan kesetaraan, dengan Pengadilan Agama dan IALDF untuk menyiapkan rancangan pelaksanaan penelitian tentang akses dan kesetaraan yang relevan dengan konteks hukum keluarga Indonesia.
Oktober 2006 – Januari 2007
Penyempurnaan dan Persetujuan Rancangan Penelitian dan Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan.
Februari- Juli 2007
Desain, Implementasi dan Analisis Survei yang dilakukan oleh PPIM, UIN Jakarta, dan IALDF dengan tiga kelompok responden yang disebut di atas.
Agustus 2007
Dua hari diskusi perencanaan strategis tentang temuantemuan survei, melibatkan Mahkamah Agung, Pengadilan Agama, Family Court of Australia, pelaksana survei dan mitra-mitranya; AusAID dan Bappenas.
Kuartal akhir 2007 dan 2008
Penerapan tanggapan strategis oleh Pengadilan Agama terhadap hasil survei.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
11
BAB 2 Temuan-temuan Utama Dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
12
Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
Tingkat pendapatan w
Pengguna Pengadilan Agama memiliki rata-rata pendapatan per Pendapatan Bulanan Per bulan sebesar Rp. 956.500 per kapita. Rata-rata pendapatan bulanan Kapita para Pengguna per kapita, pengguna pengadilan berjenis kelamin perempuan adalah sekitar 75% dari pengguna pengadilan yang laki-laki (Rp. Pengadilan Agama adalah 834.912 per bulan dibandingkan dengan Rp. 1.106.221 untuk tiga kali di atas garis laki-laki). Pengguna Pengadilan Agama rata-rata menanggung satu orang anggota keluarga, memberikan pendapatan bulanan kemiskinan Indonesia. per kapita di dalam rumah tangga mereka sebesar Rp. 442.780. Pengguna Pengadilan Agama laki-laki memiliki pendapatan lebih besar 32% dari pengguna pengadilan yang perempuan dan menanggung setidaknya jumlah anggota keluarga yang sama. 42% dari pengguna Pengadilan Agama hanya menanggung biaya hidup dirinya sendiri.
w
Para anggota PEKKA memiliki pendapatan bulanan (yang digunakan untuk menanggung setidaknya dua orang anggota keluarga lainnya) sebesar Rp. 207.000 dan menjadikan pendapatan per kapita tiap rumah tangga anggota sebesar Rp. 69.000.
w
Oleh karena itu, pendapatan bulanan per kapita dari para pengguna pengadilan adalah 6,4 kali lebih tinggi dari kelompok PEKKA yang disurvei dalam penelitian ini.
w
Pendapatan bulanan per kapita para pengguna Pengadilan Agama adalah tiga kali di atas standar garis kemiskinan di Indonesia, yaitu Rp. 146.837 per orang per bulan bagi orang yang tinggal di pedesaan, atau Rp. 187.942 per orang per bulan yang hidup di wilayah perkotaan.8 Pada bulan Maret 2007, terdapat sekitar 37.170.000 penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan atau 16,58% dari seluruh penduduk Indonesia.
w
Tabel 2.1. pada halaman (14) membandingkan distribusi pendapatan bagi pengguna Pengadilan Agama yang disurvei.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
13
Tabel 2.1 Penghasilan dalam Rupiah
<100,000
Frekuensi Persen dalam populasi Survei
Persen Kumulatif
32
3,1
3,7
100,000-250,000
147
14,1
20,9
250,000-400,000
168
16,1
40,6
400,000-550,000
105
10,1
52,9
550,000-700,000
90
8,6
63,4
700,000-850,000
47
4,5
68,9
850,000-1.000.000
99
9,5
80,5
>1.000.000
167
16,0
100,0
Total
855
82,1
Tidak ada jawaban
187
17,9
1.042
100,0
Total
Waktu 98% dari pengguna Pengadilan Agama yang diwawancarai pada survei akses dan kesetaraan memiliki pengalaman dengan perkara perceraian di Pengadilan Agama. Rata-rata, para pengguna ini berhasil menyelesaikan perkara mereka dalam waktu tiga bulan dan harus berpergian ke Pengadilan Agama sebanyak tiga kali.
Biaya Survei menanyakan para pengguna Pengadilan Agama tentang berapa total biaya yang mereka keluarkan untuk membiayai perkara mereka di Pengadilan Agama. Rata-rata biaya total yang dikeluarkan oleh responden survei untuk satu perkara adalah Rp. 789.666 atau sekitar lima kali lebih tinggi dibanding garis kemiskinan bulanan per kapita. Biaya ini termasuk biaya perkara yang dibayar ke Pengadilan Agama dan biaya pengacara dan pihak ketiga seperti Pak Amil/Pak Lebe (orang yang secara informal melaksanakan tugas-tugas terkait dengan masalah pernikahan namun tidak digaji untuk melaksanakan pekerjaan ini oleh KUA), biaya transportasi dan biayabiaya lainnya.
14
Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
Jarak dari Rumah ke Lokasi Pengadilan Agama w
w
Mayoritas pengguna jasa Pengadilan Agama (43,3%) bertempat tinggal di lokasi yang berjarak kurang dari 10 kilometer dari Pengadilan Agama terdekat, berbeda dengan para anggota PEKKA, yang rata-rata tinggal di lokasi yang berjarak 20 km dari Pengadilan Agama terdekat. Bagi para anggota kelompok PEKKA biaya rata-rata untuk transportasi pulang pergi dari rumah ke Pengadilan Agama adalah Rp. 17.853 atau 26% dari rata-rata pendapatan bulanan per kapita rumah tangga. Sebagai perbandingan, 99% dari pengguna Pengadilan Agama membayar kurang dari Rp. 15.000 untuk perjalanan pulang-pergi ke Pengadilan Agama terdekat, yaitu 3% dari rata-rata pendapatan rumah tangga bulanan. Menggunakan pendapatan bulanan per kapita dari seseorang yang hidup pada garis kemiskinan Indonesia, biaya untuk perjalanan pulang pergi sejauh 20 km dari dan ke Pengadilan Agama sama dengan 12% dari total jumlah pendapatan bulanan per kapita penduduk pada garis kemiskinan, yaitu sebesar Rp. 146.837.
Latar Belakang Pendidikan w
w
39% dari anggota PEKKA tidak pernah bersekolah, sementara 43% lainnya hanya mengenyam bangku sekolah dasar dan 2,5% dari mereka mengaku buta huruf. Oleh karena itu, hampir 85% dari para perempuan ini tidak berpendidikan, atau pendidikan mereka tidak melebihi bangku sekolah dasar.
Pengguna Jasa Pengadilan Agama tinggal dalam jarak yang dua kali lebih dekat dari anggota kelompok PEKKA. Para anggota PEKKA, jika mereka dapat mengakses Pengadilan Agama, mereka bersedia untuk membayar sekitar 26% dari pendapatan rumah tangga bulanan per kapita untuk biaya perjalanan pulang pergi ke Pengadilan Agama, dibandingkan dengan 3% dari rata-rata pendapatan bulanan per kapita dari pada pengguna pengadilan Agama.
Pengguna Pengadilan Agama 4,5 kali lebih berpeluang memiliki tingkat pendidikan dasar yang lebih tinggi dibanding anggota kelompok PEKKA.
Dibandingkan dengan para pengguna Pengadilan Agama yang hanya 32,3% dari mereka yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar, sementara 67,7% lainnya pernah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
15
Status Hukum Perkawinan Lebih dari sepertiga anggota kelompok PEKKA tidak mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA.
w
97,1% pengguna Pengadilan Agama menjawab bahwa mereka telah mendaftarkan pernikahan mereka di KUA.
w
Bandingkan jumlah ini dengan figur bahwa hanya 63% anggota kelompok PEKKA yang mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA.
Status Hukum Perceraian 96% dari
w
Hampir semua (90,5%) dari pengguna Pengadilan Agama telah bercerai satu kali, 8,1% telah bercerai dua kali, dan 1,4% telah bercerai tiga kali atau lebih.
w
Dari 163 orang anggota PEKKA yang disurvei, 33% dari mereka menyatakan bahwa mereka telah bercerai satu kali; 15% telah bercerai dua kali dan 8% telah bercerai tiga kali atau lebih. Akan tetapi, dari 150 perceraian yang dialami oleh 91 perempuan anggota PEKKA, hanya tujuh kasus yang telah dibawa ke Pengadilan Agama. Oleh karena itu, di antara kelompok perempuan kepala rumah tangga yang disurvei yang hidup di bawah garis kemiskinan, 96% dari mereka tidak membawa perkara cerai mereka ke Pengadilan Agama, sebagaimana diwajibkan oleh hukum Indonesia. Alasan mengapa para perempuan ini tidak dapat mengakses Pengadilan Agama akan dijelaskan secara rinci di bawah, namun secara umum hambatan terbesar adalah masalah keuangan.
perceraian perempuan anggota PEKKA tidak dilakukan melalui Pengadilan Agama.
Usia pada Pernikahan Pertama Hampir sepertiga
w
Bagi para pengguna Pengadilan Agama, usia rata-rata ketika mereka pertama kali menikah adalah 22 tahun.
w
Bagi para perempuan anggota PEKKA, usia rata-rata ketika mereka pertama kali menikah di tiga wilayah yang disurvei adalah 18,5 tahun.
w
Akan tetapi, para perempuan anggota PEKKA, sebanyak 30% dari perempuan yang disurvei menikah pada usia 15 tahun, dibandingkan dengan hanya 3,8% dari para pengguna Pengadilan Agama yang menikah pada usia tersebut.
dari anggota Kelompok PEKKA menjalani pernikahan di bawah umur.9
Status Hukum Anak Pengguna
w
80,8% dari pengguna Pengadilan Agama menyatakan bahwa anak pertama mereka memiliki akte kelahiran.
w
Sementara itu, hanya 38% dari para anggota PEKKA yang disurvei memiliki akta kelahiran bagi anak pertama mereka.
Pengadilan Agama berpeluang dua kali lebih banyak untuk memiliki surat akte lahir bagi anak mereka.
16
Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
Survei Akses dan Kesetaraan bagi Pengguna Pengadilan Agama Ketika para pengguna Pengadilan Agama ditanya mengapa mereka membawa sengketa hukum keluarga mereka ke Pengadilan Agama: w
kelompok terbesar (59,2%) menjawab bahwa hal ini dikarenakan mereka tidak mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam keluarga mereka;
w
hanya 10,2% dari mereka yang merasa bahwa keputusan tersebut didasarkan kepada motivasi untuk patuh kepada hukum yang berlaku di Indonesia; dan
w
17,3% dari mereka menjawab bahwa karena mereka percaya bahwa Pengadilan Agama akan mampu memberikan penyelesaian masalah terhadap masalah sengketa hukum keluarga mereka.
Dengan demikian, akibat beberapa faktor, yaitu ketidaktahuan tentang hukum Indonesia, tidak dilihatnya manfaat untuk membawa sengketa mereka ke Pengadilan Agama, dan hambatan keuangan, jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama berada di bawah jumlah perceraian penduduk Muslim di Indonesia setiap tahunnya. Data ini akan sangat penting ketika Pengadilan Agama ingin merancang sosialisasi paket informasi pengadilannya di masa depan, karena pengacara cenderung menganggap bahwa institusi hukum seperti pengadilan akan digunakan oleh warga, jika aturan menyatakan demikian. Figur 2.2
Alasan mengapa pengguna Pengadilan Agama membawa perkara mereka ke Pengadilan Agama
Tidak mampu menyelesaikan masalahnya di dalam keluarga
59,2%
Percaya bahwa Pengadilan Agama akan memberikan penyelesaian
17,3%
Percaya bahwa hal tersebut adalah hukum (prosedur hukum yang berlaku di Indonesia)
10,6%
Untuk mengikuti jejak yang ditempuh oleh istri/suami
10,2%
Mengikuti saran teman atau tetangga
6,4%
Terhadap pertanyaan tentang apakah responden akan kembali ke Pengadilan Agama, jika di masa yang akan datang mereka menemui sengketa serupa, 71,1% dari responden mengatakan bahwa mereka akan kembali, dan 28,9% dari mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan kembali. Asumsi dasarnya adalah, seorang pengguna pengadilan akan bersedia untuk kembali menggunakan jasa pengadilan tersebut, jika ia merasa puas dengan proses peradilan yang dijalaninya. Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa hampir empat perlima dari para suami dan istri yang memulai proses perceraian di Pengadilan Agama (adalah pemohon atau penggugat dalam suatu perkara) akan kembali ke Pengadilan Agama jika di masa depan ia mengalami sengketa yang sama. Mungkin tidak terlalu mengagetkan, mengingat tingkat ketidakpuasan terhadap layanan Pengadilan Agama hampir dua kali lebih tinggi di antara pihak yang menjadi tergugat/termohon atas kasus yang diajukan oleh mantan suami / isteri mereka.
71% dari keseluruhan tingkat kepuasan pengguna terhadap Pengadilan Agama, dengan 79% pemohon mengatakan bahwa mereka mau untuk kembali ke Pengadilan Agama.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
17
Figur 2.3
Kepuasan pengguna Pengadilan Agama tergantung apakah mereka adalah Pemohon dalam perkara atau Tergugat 40,2
30,9
18,2 10,7
Puas
Tidak Puas
Pemohon
Termohon
Grafik di bawah menjelaskan apakah laki-laki dan perempuan yang merupakan pengguna jasa Pengadilan Agama memiliki persepsi yang berbeda tentang tingkat layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama. Perlu dicatat bahwa perempuan pada umumnya mengalami tingkat kepuasan yang lebih tinggi terhadap layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama.
Figur 2.4
Kepuasan pengguna Pengadilan Agama berdasarkan jenis kelamin
44,5
26,7
14,9
Puas Perempuan
18
13,9
Tidak Puas Laki-laki
Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
Grafik-grafik di bawah menjelaskan temuan-temuan dari survei akses dan kesetaraan di mana para pengguna Pengadilan Agama ditanyakan mengenai pendapat mereka tentang aspek-aspek prosedural dalam mengajukan perkara mereka ke Pengadilan Agama. 83,3%
3,4% 13,3%
88,2%
2,7% 8,5%
73,4%
13,3% 13,2%
72,3%
12,0% 15,6%
Hakim mendengar para pihak
Staf Pengadilan memperlakukan responden dengan baik setiap saat
Staf Pengadilan siaga untuk menjawab pertanyaan apapun
Staf Pengadilan mau menjelaskan prosedur beracara pengadilan Mendukung
Tidak Mendukung
Tidak Menjawab
63,2%
25,0%
11,7%
64,4%
22,3%
13,3%
Proses persidangan tidak menimbulkan keresahan
Tidak terlalu banyak penundaan dalam persidangan perkara saya 74,0%
14,0% 12,0%
71,6%
19,5% 8,8%
Perkara saya diperiksa secara cepat dan efisien
Saya memperoleh akses kepada dokumen-dokumen yang relevan Mendukung
Tidak Mendukung
Tidak Menjawab
81,1%
11,3%
7,6%
79,1%
14,5%
6,4%
Pengadilan telah bersikap adil dan transparan
Pengadilan menangani perkara saya dengan adil 75,0%
11,0% 14,0%
Sifat acara persidangan dapat dimengerti Mendukung
Tidak Mendukung
Tidak Menjawab
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
19
79,3%
8,2% 12,5%
Rambu & tanda di sekitar ruang sidang mudah untuk dimengerti 80,2%
10,6% 9,3%
86,0%
6,6% 7,3%
Informasi tentang proses berperkara jelas
Informasi terkait dengan jadwal sidang cukup tersedia 45,4%
29,0%
25,6%
Formulir yang harus diisi sangat jelas bagi saya Formulir Permohonan memungkinkan saya mengajukan semua fakta ke depan persidangan
41,2%
28,7%
51,3%
30,8%
30,0%
17,9%
Prosedur untuk mengabaikan biaya perkara dijelaskan
Mendukung
Tidak Mendukung
Tidak Menjawab
Survei menunjukkan bahwa pengguna pengadilan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi tentang perlakuan yang mereka terima dari hakim Pengadilan Agama dan stafnya, dan kecepatan proses persidangan yang dilakukan. Antara 79-86 % dari pengguna Pengadilan Agama beranggapan bahwa mereka telah memperoleh informasi yang cukup tentang jadwal persidangan dan proses persidangan. Data survei ini dipilah berdasarkan (i) jenis kelamin responden, dan (ii) jenis kelamin dan kemiskinan untuk menunjukkan respon oleh 10% dari responden yang menyatakan bahwa pendapatan bulanan mereka berada di bawah garis kemiskinan Indonesia yaitu Rp. 190.000 per bulan. Data yang dipilah ini menunjukkan bahwa para pengguna telah merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama terlepas dari apakah mereka kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan. Hal ini juga menunjukkan, bahwa perempuan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi terhadap layanan Pengadilan Agama dibandingkan laki-laki, yang mungkin mencerminkan bahwa merekalah yang memulai (merupakan penggugat) dalam lebih banyak perkara di Pengadilan Agama dibanding laki-laki. Ada tiga bidang utama yang ditetapkan oleh survei ini sebagai bidang-bidang yang perlu ditingkatkan. Bidang-bidang ini adalah:
20
w
29% pengguna Pengadilan Agama yang disurvei berpendapat bahwa formulir-formulir pengadilan harus disempurnakan untuk meningkatkan kejelasan dan kemudahan penggunaannya, sementara memungkinkan pengguna untuk dapat tetap mengajukan seluruh fakta-fakta yang relevan ke muka pengadilan;
w
31% pengguna Pengadilan Agama yang disurvei berpendapat bahwa seharusnya tersedia proses/dokumentasi yang lebih baik dalam menjelaskan prosedur untuk meminta pengabaian ongkos perkara bagi orang yang tidak mampu (proses prodeo); dan
Temuan-temuan Utama dari Penelitian Akses dan Kesetaraan
w
23% dari pengguna Pengadilan Agama yang merupakan penggugat mengatakan bahwa mereka tidak menerima tanda terima atas pembayaran-pembayaran yang dilakukan pada Pengadilan Agama.10
Hambatan-hambatan dalam Mengakses Pengadilan Agama yang diungkapkan oleh Kelompok PEKKA w
70,7% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa biaya perkara pada Pengadilan Agama bisa membuat mereka tidak mampu untuk mengakses pengadilan.
w
Hanya 25% dari anggota kelompok PEKKA yang mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan jasa Pengadilan Agama dengan alasan tekanan lingkungan/keluarga.
w
Kurang dari 30% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan Pengadilan Agama karena pengalaman sebelumnya yang pernah mereka dengar. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota kelompok PEKKA telah mendengar hal-hal yang baik dari lingkungan mereka tentang perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama. Keadaan ini menunjukkan tingkat kepuasan umum dari 70% pengguna Pengadilan Agama.
Tingkat Kesadaran Anggota Kelompok PEKKA terhadap Pengadilan Agama w
Para Kader Hukum (anggota PEKKA yang dilatih untuk melatih anggota lainnya dalam masalah-masalah hukum) adalah satu-satunya sumber informasi terbesar bagi para anggota PEKKA dalam hal Pengadilan Agama. 38,4% dari anggota PEKKA mengatakan bahwa mereka mengetahui tentang Pengadilan Agama dari pendampingan-pendampingan yang dilakukan oleh para Kader Hukum.
Pandangan Para Anggota Kelompok PEKKA tentang Cara-cara untuk Meningkatkan Akses ke Pengadilan Agama w
98,1% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka akan lebih terdorong untuk menggunakan pengadilan jika biaya perkara dibebaskan.
w
97,2% dari anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka akan lebih terdorong untuk menggunakan Pengadilan jika informasi-informasi tambahan tersedia. (87,4% mengatakan bahwa mereka lebih memilih agar informasi disediakan dalam bentuk lisan atau dalam suatu video informasi, atau rekaman, berbeda dengan 42% yang mengatakan bahwa mereka lebih memilih agar informasi disediakan dalam bentuk tertulis).
w
95,9% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka akan lebih terdorong untuk menggunakan Pengadilan jika ‘hakim mengunjungi kita’ melalui pelaksanaan program pengadilan keliling di kota terdekat.
w
91,2% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka akan lebih terdorong untuk menggunakan Pengadilan jika tersedia bantuan paralegal.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
21
BAB 3 Temuan-temuan Kunci Penelitian
22
Temuan-temuan Kunci Penelitian
Temuan-temuan Kunci Penelitian: Perincian w
Terdapat tingkat kepuasan yang tinggi di antara para pengguna jasa Pengadilan Agama, dengan lebih dari 80% pemohon (dan 70% keseluruhan) mengatakan bahwa mereka bersedia untuk kembali menggunakan Pengadilan Agama jika mereka menghadapi masalah hukum yang sama. Angka ini didukung oleh survei persepsi masyarakat yang dilakukan oleh kelompok PEKKA terhadap kinerja Pengadilan Agama. Penampilan data secara dipilah-pilah menunjukkan bahwa para pengguna Pengadilan merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama, terlepas dari fakta apakah mereka kaya, miskin, laki-laki, atau perempuan. Data yang dipilah juga menunjukkan bahwa perempuan lebih menghargai layanan Pengadilan Agama daripada laki-laki, yang mungkin disebabkan karena merekalah (perempuan) yang memulai (merupakan penggugat, pemohon) dalam sebagian besar perkara Pengadilan Agama daripada laki-laki.
w
Baik kelompok PEKKA maupun para hakim dan staf pada Pengadilan Agama setuju bahwa perceraian melalui Pengadilan Agama memberikan kepastian hukum ketimbang ketidak pastian status pernikahan. Sebuah perceraian formal melalui Pengadilan Agama juga akan menjelaskan tanggung jawab hukum terhadap perawatan dan dukungan keuangan terhadap anak yang lahir dari pernikahan tersebut dan terhadap mantan suami / isteri.
w
Akan tetapi, kelompok termiskin dari penduduk Indonesia tidak membawa sengketa hukum keluarganya ke Pengadilan Agama dalam proporsi yang sesuai dengan jumlah mereka pada masyarakat Indonesia. Suatu prinsip utama keadilan adalah bahwa keadilan harus dapat diakses secara universal. 17% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan Indonesia, yaitu Rp. 146.837 per orang per bulan untuk orang yang tinggal di daerah, atau Rp. 187.942 per orang per bulan untuk orang yang tinggal di kota. Lebih jauh lagi, rata-rata total biaya berperkara bagi para responden survei ini adalah Rp. 789.666 atau sekitar lima kali dari tingkat garis kemiskinan per bulan per kapita penduduk Indonesia. Oleh karena itu jelas bahwa penduduk miskin di Indonesia tidaklah terwakilkan sebagai pengguna pada Pengadilan Agama sesuai dengan proporsi jumlah mereka di masyarakat Indonesia. Kesimpulan ini didukung dengan kenyataan bahwa 96% dari kelompok PEKKA yang disurvei tidak membawa perkara-perkara perceraian mereka ke Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia.
w
Bagi penduduk miskin, hambatan utama dalam mengakses Pengadilan Agama adalah masalah keuangan yang terkait dengan (i) biaya perkara; dan (ii) biaya transportasi untuk mencapai pengadilan. 98,1% anggota kelompok PEKKA mengatakan bahwa mereka akan lebih terdorong untuk menggunakan jasa Pengadilan Agama jika ‘hakim mengunjungi kita’ melalui pelaksanaan sidang keliling di kota terdekat.
w
Hambatan sekunder bagi penduduk miskin dalam mengakses Pengadilan Agama terkait dengan kemampuan pengadilan untuk memberikan informasi yang jelas kepada pengguna yang buta huruf.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
23
24
w
Siklus pernikahan dan perceraian non legal masih terdapat pada banyak perempuan kepala keluarga anggota PEKKA yang hidup di bawah garis kemiskinan Indonesia. Kegagalan untuk memperoleh dokumentasi sah dalam hal pernikahan dan perceraian sangat terkait dengan kenyataan bahwa 62% anak yang lahir dari pernikahan ini tidak memiliki akte kelahiran. Ketiadaan surat identitas seperti itu akan mempengaruhi hak waris anak dan akses kepada layanan-layanan negara seperti pendidikan formal yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal in juga berarti bahwa anak dari penduduk miskin di Indonesia tidaklah menerima hak asasinya dalam bentuk surat identitas sebagaimana disebutkan dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak.
w
Hanya 27% dari responden survei Pengadilan Agama memilih untuk pergi ke Pengadilan Agama sebagai pilihan pertama, karena hal tersebut adalah aturan yang berlaku di Indonesia, atau mereka berpikir bahwa hal ini akan memecahkan masalah mereka. 75% dari pengguna Pengadilan Agama menggunakan jasa Pengadilan Agama pada akhirnya karena mekanisme non-hukum (konsiliasi keluarga) telah gagal, atau karena pasangan mereka telah memilih untuk pergi ke Pengadilan Agama. Ketika menyampaikan informasi kepada masyarakat Indonesia, hal ini akan menjadi penting bagi Pengadilan untuk memberikan petunjuk tentang perkara-perkara apa saja yang perlu dirujuk ke Pengadilan Agama sesuai dengan hukum Indonesia dan manfaat apa yang dapat diperoleh bagi individu atau keluarga untuk menyerahkan masalah perceraian atau hak pengasuhan mereka melalui pengadilan.
w
Program-program Pemberdayaan Hukum, seperti Forum Pemangku Kepentingan (Multi Stakeholder Forum/MSF)11, mendidik perempuan tentang masalah-masalah hukum penting yang bermanfaat bagi mereka, seperti proses peradilan administratif dan formal dan melibatkan mereka di dalam pertemuan sektor hukum lokal. Hal-hal seperti ini akan sangat bermanfaat untuk memberdayakan perempuan untuk mengakses sumber daya, layanan dan kesempatan, yang jika tidak diberitahukan, akan tetap tidak diketahui atau tidak dapat diakses oleh mereka, dan dengan demikian menolong mereka untuk mengatasi hambatan-hambatan untuk mengakses Pengadilan Agama. Banyak perempuan anggota PEKKA, termasuk staf paralegal PEKKA yang menyebutkan bahwa Forum Multi Stakeholder sangatlah membantu mereka untuk memberi informasi tentang bagaimana proses untuk berurusan dengan berbagai jenis perkara hukum . Sebagaimana disinggung oleh salah seorang anggota PEKKA yang berhasil menyelesaikan perkara perceraiannya di Pengadilan Agama pada tahun 2007; “Saya telah ingin bercerai sejak beberapa tahun yang lalu, namun tidak pernah berpikir bahwa itu bisa terjadi, sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang hakim Pengadilan Agama dalam MSF, karena saya tidak punya uang.”
Temuan-temuan Kunci Penelitian
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
25
BAB 4 Langkah Selanjutnya
26
Langkah Selanjutnya
Suatu rapat perencanaan telah dilaksanakan di Jakarta pada akhir Agustus 2007 untuk memulai suatu proses pengembangan respon strategis terhadap temuan-temuan penelitian. Rapat ini diikuti oleh para peserta dari Mahkamah Agung, Pengadilan Agama, Family Court of Australia, Bappenas, kelompok PEKKA, PPIM/UIN Jakarta, dan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogyakarta. Rapat tersebut mencapai kesepakatan bahwa respon strategis awal adalah mendorong Pengadilan Agama agar (i) lebih mudah diakses oleh kelompok yang saat ini tidak membawa perkaraperkara hukum keluarga mereka ke pengadilan ini, namun memiliki masalah yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama; dan (ii) memberikan perlakuan yang lebih adil bagi mereka yang membawa perkara mereka ke pengadilan. Juga disepakati bahwa hal ini dapat dicapai melalui tindakan-tindakan yang terpusat pada lima bidang berikut:
1 Anggaran Prodeo Meningkatkan anggaran penanganan perkara prodeo untuk Pengadian Agama, agar prosentase permohonan perkara prodeo (perkara-perkara yang tidak dikenakan biaya perkara) yang diterima oleh Pengadilan Agama sebagai prosentase dari seluruh volume perkara meningkat sekitar 5-7% tiap-tiap tahunnya dari tahun 2008-2012 sampai mencapai 35% dari total volume perkara pada tahun 2012. Mengembangkan sistem pengelolaan data yang mampu mencatat informasi tentang jumlah permohonan prodeo yang masuk ke Pengadilan Agama setiap bulannya dan jumlah permohonan tersebut yang dikabulkan. Kurang lebih sekitar 17% dari penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, bagi Pengadilan Agama, untuk menjadi pengadilan yang dapat diakses secara universal oleh orang Muslim baik bagi si kaya maupun si miskin yang memiliki perkara hukum keluarga, pengadilan mungkin perlu menyisihkan biaya perkara (mengabulkan prodeo) kepada 35-50% dari seluruh permohonan yang masuk ke Pengadilan Agama.12
2 Prosedur Beracara Secara Prodeo w
Memberikan informasi yang lebih jelas bagi para hakim dan pengguna pengadilan tentang proses perkara prodeo;
w
Memastikan tingkat keseragaman yang lebih tinggi dalam prosedur permohonan prodeo di seluruh Indonesia; dan
w
Mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa prosedur prodeo dua tahap yang berlaku saat ini tidak menimbulkan beban tambahan bagi penduduk miskin yang perlu membuktikan kemiskinan mereka sebelum persidangan.
3 Sidang Keliling w
Merencanakan lebih banyak Sidang Keliling pada provinsi besar atau miskin di mana permintaan dan kebutuhan sangatlah tinggi; dan
w
Menyiapkan anggaran tahunan yang cukup untuk memungkinkan sidang keliling dilakukan di daerah-daerah yang memiliki tingkat permintaan yang tinggi.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
27
4 Informasi yang Lebih Baik tentang Prosedur Berperkara di Pengadilan Memberikan informasi yang akurat dan jelas bagi baik pengguna pengadilan dan masyarakat luas tentang Pengadilan Agama dalam bahasa non-hukum dengan menggunakan berbagai media termasuk: w
a. informasi tertulis;
w
b. informasi pada internet;
w
c. informasi audio visual, dan
w
d. konsultasi / kursus di tingkat masyarakat.
5 Peningkatan Pelayanan Terhadap Pengguna Pengadilan Mengkaji aspek-aspek yang dalam survei ini disinggung oleh para pengguna sebagai aspek-aspek di mana tingkat layanan Pengadilan Agama masih perlu ditingkatkan.
28
Langkah Selanjutnya
Matriks perencanaan di bawah ini menunjukkan langkah-langkah apa yang telah diambil. Informasi terkini tentang respon strategis akan tersedia dalam bulan-bulan yang akan datang pada situs web Pengadilan Agama: www.badilag.net
Memberikan Keadilan bagi Pencari Keadilan Respon Strategis atas Penelitian Akses dan Kesetaraan Pengadilan Agama 2007 Hasil yang Dituju Kelompok marginal dapat menegakkan hak hukum mereka dengan lebih baik melalui peningkatan akses mereka ke Pengadilan Agama Indikator
Respon Strategis
Meningkatnya prosentase permohonan perkara prodeo (perkara-perkara yang tidak dikenakan biaya perkara) yang diterima oleh Pengadilan Agama sebagai prosentase dari seluruh volume perkara, dengan kenaikan sekitar 5-7% tiap-tiap tahunnya dari tahun 2008-2012 hingga mencapai 35% dari total volume perkara pada tahun 2012.
Kenaikan anggaran Mahkamah Agung pada tahun 2008 utuk memungkinkan seluruh dari 343 Pengadilan Agama untuk memberikan anggaran bagi perkara prodeo (dianggarkan sebesar 5-7% dari rata-rata jumlah perkara yang masuk ke setiap pengadilan dari tahun 2004-2006).
Jumlah perkara yang diperiksa pada sidang keliling meningkat pada tahun 2008.
Peningkatan pada anggaran Mahkamah Agung tahun 2008 untuk memungkinkan ngadilan melaksanakan sidang keliling dalam rangka mengurangi biaya transportasi bagi para pengguna Pengadilan Agama, khususnya penduduk miskin.
Dokumen informasi/panduan dikembangkan pada tahun 2008 untuk memberikan kejelasan dan memastikan keseragaman permohonan acara prodeo dan peningkatan layanan pengguna lainnya sebagaimana dinyatakan di dalam survei.
Kelompok Kerja akan dibentuk pada awal tahun 2008 untuk mengkaji prosedur permohonan prodeo, juga bidang di mana pengguna yang disurvei merasa perlu adanya peningkatan dalam tingkat layanan yang diberikan oleh Pengadilan Agama.
Sosialisasi/informasi tentang jenis-jenis layanan pengadilan yang diberikan kepada hakim, staf pengadilan dan calon pengguna pengadilan dalam tahun 2008.
Memberikan informasi yang akurat dan jelas baik bagi pengguna pengadilan maupun masyarakat luas tentang Pengadilan Agama dalam bahasa non-hukum dengan menggunakan berbagai media termasuk: w informasi tertulis; w informasi pada internet; w informasi audio visual dan w konsultasi/kursus di tingkat masyarakat.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
29
Catatan Akhir
1 Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga PEKKA. 2 Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. 3 Di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pengadilan Agama disebut dengan nama Mahkamah Syariah dan dibentuk berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001, Qanun No. 10/2002 dan Keputusan Presiden Nomor 11/2003. Yurisdiksi Mahkamah Syariah di Propinsi NAD termasuk sejumlah perkara-perkara pidana. 4 Pengadilan Agama memperoleh yurisdiksi ini berdasarkan UU No.7 tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 5 Profil Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006, halaman 13. 6 P3HP, Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan. 7 Laporan Tahunan 2005 PEKKA. Hal 7. Informasi lebih lanjut tentang PEKKA dalam diperoleh dalam Bahasa Inggris dan indonesia, pada situs www.pekka.or.id 8 Badan Pusat Statistik(2007) Berita resmi Statistik: TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007. Vol. No. 38/07/Th.X, 2 Juli 2007 9 Pada UU Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974, pasal 7, suatu pernikahan diperbolehkan apabila si laki-laki berusia paling tidak 19 tahun dan perempuannya berusa setidaknya 16 tahun. 10 Ini disebabkan oleh karena Pengadilan Agama memberikan kwitansi pada pengacara sang klien atau Pak Amil/Pak Lebe yang mendampingi para klien Pengadilan Agama dalam kira-kira 11,6% kasus atau dalam kasus-kasus di mana klien Pengadilan Agama menyatakan bahwa mereka memberikan pembayaran pada Pengadilan Agama di luar biaya resmi perkara. 11 Suatu inisiatif bersama World Bank (Program Pemberdayaan Perempuan) dan PEKKA. 12 Dari bulan Juli 2005- Juni 2007, Family Court of Australia mengesampingkan sekitar 44% ongkos perkara pada permohonan yang masuk ke Pengadilan yang memegang kartu yang dikeluarkan Departemen Jaminan Sosial Australia atau mereka yang memiliki kesulitan keuangan.
30
Catatan Akhir
Penghargaan dan Mitra Penelitian
Penelitian akses dan kesetaraan ini didukung oleh Indonesia-Australia Legal Development Facility, sebuah prakarsa bersama Pemerintah Indonesia dan Australia. Penelitian ini adalah sebuah upaya kolaboratif. Ide pembuatan survei ini dikembangkan selama sebuah kunjungan ke Family Court of Australia pada bulan November 2005 oleh Bapak Wahyu Widiana, Direktur Jendral Peradilan Agama Mahkamah Agung, rekan-rekannya dari Badilag serta para hakim dan panitera dari beberapa Pengadilan Agama di Indonesia. Penelitian akses dan kesetaraan ini tidak akan dapat dilaksanakan tanpa kepemimpinan Bapak Wahyu Widiana dan rekan-rekannya di Badilag dan dukungan dari ke-38 Pengadilan Agama yang terlibat dalam survei kliennya maupun diskusi kelompok terfokus. Survei atas 1040 klien Pengadilan Agama dilakukan oleh Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat di UIN Jakarta. Dr Jajat Burhanudin, Direktur Pusat ini adalah pembimbing dalam memastikan dikumpulkannya data survei oleh 105 peneliti di 35 lokasi di Indonesia; yang kemudian dianalisis di Jakarta. Pak Jajat adalah anggota Badan Koordinasi Penelitian; demikian juga Ibu Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur Pusat Studi Wanita UIN Yogyakarta. Sumbangan mereka dalam membimbing penelitian ini sangatlah besar. Family Court of Australia telah mendukung penelitian akses dan kesetaraan melalui interaksi dan keterlibatan para hakim, administrator dan staf pengadilan, dalam beberapa kali tiap tahun dalam kerangka kerja Nota Kesepakatan Tambahan antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Federal Court of Australia dan Family Court of Australia. Kerja sama ini telah memungkinkan dibahasnya isu-isu utama tentang akses dan kesetaraan oleh rekan-rekan kehakiman dari pengadilan ke pengadilan. Hal ini sangat penting saat mengkaji isu-isu kunci dalam menyediakan akses yang universal pada pengadilan hukum keluarga di wilayah Asia-Pasifik. Maria Dimopoulos, seorang konsultan pada Family Court of Australia dalam penelitian akses dan kesetaraan mereka sendiri, juga membantu dalam rancangan survei dan metodologi bagi Pengadilan Agama. Dalam penelitian ini, masalah akses pada Pengadilan Agama juga dipertimbangkan dari sudut pandang perempuan kepala keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini sangat berhutang budi pada kesediaan LSM PEKKA untuk turut serta. Ibu Nani Zulminarni, Koordinator Nasional PEKKA, Ibu Fitria Villa Sahara, Koordinator Program Penguatan Hukum PEKKA, para pekerja lapangan dan anggota PEKKA di Brebes, Cianjur dan Lombok semuanya telah memberikan waktu dan pemikirannya yang sangat besar pada tujuan utama penelitian ini: mendapatkan akses pada Pengadilan Agama yang lebih besar dan pengaturan yang lebih adil bagi anak dan pasangan yang bercerai. Ibu Dewi Novirianti yang pada saat itu menjabat sebagai Koordinator Program Penguatan Hukum bagi Perempuan dalam program Bank Dunia, Program Keadilan bagi Kaum Miskin di Indonesia, memberikan pandangan dan komentarnya pada tahap-tahap awal saat perancangan instrumen-instrumen survei.
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan
31
Penelitian ini tidak dapat dilaksanakan tanpa upaya yang demikian besar oleh tim IALDF di Jakarta. Pemimpin tim IALDF, Stewart Fenwick dan Staf Proyek Ibu Terria Lamsihar memainkan peran yang sangat penting dalam penyelesaian penelitian ini. Profesor Tim Lindsey, Penasihat Teknis Senior IALDF telah memberikan komentar editorial yang sangat membantu dalam naskah-naskah awal dokumen ini, dan bersama Julia Suryakusuma, membantu dengan survei pilot PEKKA yang pertama. Dukungan teknis telah diberikan oleh Santi Nuri Dharmawan dalam merangkum data survei PEKKA dan penerjemahan oleh Aprilda Fiona dan Apsari Dewi. Cate Sumner Lead Adviser - Judicial Reform Indonesia Australia Legal Development Facility Desember 2007
FAMILY COURT OF AUSTRALIA
32
Penghargaan dan Mitra Penelitian
MEMBERI KEADILAN BAGI PARA PENCARI KEADILAN Sebuah Laporan Tentang Pengadilan Agama Indonesia: Penelitian tahun 2007 tentang Akses dan Kesetaraan Rangkuman Temuan Penelitian