BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Hukum. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S.M) adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan hidup untuk warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya termasuk warga Bali.1 Pulau Bali merupakan pulau yang kaya akan keindahan alam dan budayanya. Disamping itu, pulau yang dijuluki pulau penuh cinta ini pun menarik banyak orang untuk berkunjung dan menikmati pesonanya. Sudah cukup sering kita dengar bahwa Bali lebih dikenal dibandingkan dengan Indonesia sendiri di mata internasional sebagai destinasi turis di Asia Tenggara. Beberapa persoalan hukum sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan tidak terdapat adanya persoalan hukum. Tetapi setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan terdapat persoalan hukum dengan tidak adanya kepastian hukum dan tidak ada tercapainya kemanfaatan hukum di dalam peraturan tersebut. 1
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1976, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dan C.V “ Sinar Bakti”, Jakarta, h.153.
1
2
Untuk menata lingkungannya pemerintah daerah menerbitkan beberapa Preferensi, yaitu : Asas lex superiori deragat legi inferiori, artinya perundangundangan yang dibuat aparat pemerintah yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula, Asas lex posterior derogate legi priori, artinya peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan mengesampingkan perundangundangan yang berlaku lebih dahulu dan Asas lex specialis derogate legi generalis,
artinya
perundang-undangan
yang
mengatur
hal-hal
khusus
mengesampingkan perundang-undangan yang mengatur substansi secara umum.2 Pariwisata di Provinsi Bali tidak dapat terlepas dari falsafah masyarakat Bali sendiri yakni ajaran Tri Hita Karana. Paradigma masyarakat Bali ini menekankan tiga hubungan harmonis manusia dengan kehidupan didunia ini. Ketiga hubungan itu adalah hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar dan hubungan dengan Tuhan. Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup yang turun-temurun dipercaya oleh masyarakat Bali. Tak mengherankan jika sektor pariwisata Bali sangat mengandalkan budaya keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui budaya, alam yang asri, dan hubungan yang baik antar sesama penduduk Bali yang dikenal ramah. Secara geografis, teluk benua yang terletak di sebelah selatan pulau Bali merupakan perairan luas yang memainkan peran penting dalam stabilitas ekosistem dan hidrologis. Disebelah barat teluk Benoa terdapat Tanjung Benoa yang berhadapan langsung dengan samudera. Disebelah selatannya terdapat semenanjung Jimbaran. Sedangkan di sebelah timurnya merupakan kawasan padat
2
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h.256.
3
dan wisata, juga terdapat bandara Ngurah Rai. Teluk besar tersebut adalah Teluk Benoa, disekeliling teluk yang berwarna hijau merupakan hutan Mangrove. Dengan demikian, Teluk Benoa ini memiliki peranan yang sangat penting, dimana teluk Benoa melindungi sekitar sepuluh desa dan kelurahan di Bali selatan dari ombak samudera. Peranan Hutan mangrove di Teluk Benoa adalah mencegah abrasi pantai, sebagai ruang terbuka hijau dan sebagai pencegah rembesan air laut. Tanpa Mangrove, warga di pesisir akan kesulitan memperoleh air tawar dikarenakan air laut akan mengalir melalui air tanah ke daratan. Dalam suatu kawasan pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem, baik yang bersifat alami maupun buatan. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, social, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.3 Walaupun teluk ini dangkal, bahkan ketika surut dasar teluk dapat terlihat namun kawasan perairan Teluk Benoa menjadi tampungan air dari beberapa daerah aliran sungai yang mengalir ke Teluk Benoa. Teluk Benoa akan direklamasi mulai terdengar ketika Gubernur Bali mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 213802-CLHK 2012 yang berisi perizinan bagi perusahaan property untuk melakukan pemanfaatan wilayah Teluk Benoa dengan cara reklamasi. Karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, surat keputusan tersebut akhirnya diprotes. Gubernur Bali kemudian mengeluarkan Surat Keputusan gubernur Bali Nomor 3
Amiruddin A. Dajaan Imami, 2014, Hukum Penataan Ruang Kawasan Pesisir (Harmonisasi dalam Pembangunan Berkelanjutan), Logoz Publishing, Bandung, h.47.
4
172701-BHK2013 yang merupakan pembatalan surat keputusan sebelumnya dan mensyaratkan agar melakukan studi kelayakan. Namun beberapa pihak mencurigai bahwa surat keputusan yang diterbitkan itu tidak hanya izin studi kelayakan melainkan merupakan izin reklamasi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 BAB III tentang Perizinan Reklamasi, pada Pasal 17 ayat (5) disebutkan bahwa setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun wajib menyusun : a. Rencana induk, b. Studi kelayakan, c. Rancangan detail reklamasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, Pasal 55 ayat (5) huruf b disebutkan bahwa Kawasan konservasi diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: b. kawasan konservasi perairan, diperairan kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dan perairan kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Kawasan konservasi perairan tidak boleh dilakukan pemanfaatan apapun yang dapat merubah atau menurunkan kualitas kawasan tersebut. Sehubungan dengan itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir merupakan upaya yang dilakukan pada kawasan konservasi untuk meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Konservasi wilayah pesisir merupakan usaha untuk
5
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah dengan syarat tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Melakukan reklamasi seperti itu malah akan menyebabkan hal sebaliknya yaitu: rusak dan hancurnya ekosistem yang ada.4 Istilah pada kegiatan Reklamasi, Revitalisasi, Revegetasi, Reboisasi, Rehabilitasi, memiliki arti dan penerapan (praktik) yang berbeda-beda. Penolakan terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa dari masyarakat Bali hingga detik ini tetap tidak diindahkan setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 pada intinya adalah untuk menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan bahwa Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 55 ayat (5) Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa, Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: 1. Kawasan konservasi pulau kecil meliputi sebagian Pulau Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan Pulau Pudut, di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; 2. Kawasan konservasi perairan di perairan Kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sebagian perairan Kawasan Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Perairan Kawasan Nusa
4
http://bem.feb.ugm.ac.id/tolak-reklamasi-teluk-benoa/.
6
Dua di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung; 3. Kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem pesisir berupa kawasan hutan pantai berhutan bakau atau mangrove dan kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; 4. Kawasan konservasi dan perlindungan ekosistem pesisir berupa kawasan perlindungan terumbu karang, di kawasan pesisir Sanur di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sebagian Pulau Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Nusa Dua di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Tuban dan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung; 5. Kawasan konservasi maritim, berupa permukiman nelayan, di Kawasan Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar; 6. Kawasan Jimbaran dan Kawasan Kedonganan di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; dan 7. Kawasan konservasi pada kawasan pesisir yang dimanfaatkan untuk kegiatan
sosial-budaya
dan
agama
di
seluruh
pantai
tempat
penyelenggaraan upacara keagamaan (melasti) dan kawasan laut di sekitarnya;
7
Reklamasi atas Teluk Benoa ini melanggar Pasal 55 ayat (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011 tentang Konservasi Sarbagita, yaitu Peraturan Presiden yang isinya menyatakan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi perairan. Reklamasi merupakan usaha untuk menciptakan daratan baru di lahan sebelumnya yang digenangi air. Reklamasi bertujuan menambah lahan untuk berbagai keperluan. Pada umumnya penciptaan lahan baru melalui reklamasi dilakukan karena makin bertambahnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, perkantoran, dan lahan pertanian. Reklamasi lahan dilakukan melalui beberapa cara antara lain dengan pengeringan air laut, pengeringan rawa, dan lahan bekas pertambangan. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 menyebutkan bahwa Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai kawasan konservasi sedangkan setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA menyatakan bahwa hanya sebagian Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang termasuk kawasan konservasi. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 2011-2031, pada Pasal 59 ayat (2) menyatakan bahwa Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil termasuk kawasan konservasi. Sementara itu, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 dalam
8
Pasal 1 (angka 43) yang menyebutkan bahwa Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya tentang perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Bagi sebagian besar masyarakat Bali yang lahir, tumbuh, besar dan hidup di Provinsi Bali, reklamasi perairan teluk demi kepentingan dan keuntungan korporasi besar adalah merupakan suatu ancaman. Reklamasikan kawasan konservasi juga merupakan ancaman serius terhadap masa depan lingkungan pesisir sehingga dampaknya bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap lingkungan. Dalam kondisi air surut, masyarakat sekitar Teluk Benoa mengumpulkan ikan, kerang, kepiting dan rumput laut untuk kebutuhan sehari-hari. Reklamasi Teluk Benoa bisa mengubah garis pantai dan alur laut sehingga mengancam kelangsungan hidup biotalaut, burung endemik, dan pertumbuhan terumbu karang. Dengan perubahan ini maka “luas wilayah tangkapan nelayan tradisional dan usaha water sport sebagai sumber penghidupan masyarakat di sekitar Teluk Benoa akan hilang”.5 Oleh karena itu, keputusan yang diambil didasarkan atas perhitungan jumlah suara yang terbanyak. Bagaimanapun juga keputusan yang diambilnya itu merupakan suatu pencerminan dari masyarakatnya yang individualistis. Berbeda 5
Superman Is Dead – Navicula – Nosstress, Tolak Reklamasi Teluk Benoa! Batalkan Perpres 51 Tahun 2014, Denpasar, https://www.change.org/p/pak-jokowi-do2-tolak-reklamasiteluk-benoa-batalkan-dan-cabut-perpres-51-2014.
9
dengan hal tersebut diatas, maka untuk mencapai keputusan yang berlaku di Indonesia, lazimnya dilakukan suatu musyawarah untuk mencari kata sepakat atau mufakat.6 Fungsi dari pemerintahan itu dapat ditentukan sedikit banyak dengan menempatkannya dalam hubungan dengan fungsi perundang-undangan dan peradilan. Pemerintahan dapat dirumuskan secara negative sebagai segala macam kegiatan penguasa yang tidak dapat disebutkan sebagai suatu kegiatan perundangundangan atau peradilan. Dewasa ini dari “pemerintahan” ini tidak sama dengan “kekuasaan eksekutif”. Banyak jenis pemerintahan yang tidak dapat dipandang sebagai pelaksanaan dari undang-undang seperti pemberian subsidi tertentu, atau tugas melaksanakan pekerjaan umum. Kaitan dengan trias politika, “politik” itu menjalankan pemerintahan dan menetapkan undang-undang, secara singkat mengeluarkan perintah-perintah, mengatur arah. “Pemerintah” mengurus pelaksanaan mengurus dari perintah/tugas-tugas. Dengan kata lain, pemerintah itu “mengabdi” pada kekuasaan politik. Tentu saja masyarakat modern membutuhkan suatu pemerintahan yang kuat pada dirinya, juga mengatur garis-garis kebijaksanaan. Namun pada prinsipnya tetap bernaung di bawah kekuasaan politik. Secara keseluruhan fungsi pemerintahan terdiri dari berbagai macam tindakan-tindakan pemerintahan : keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakan-tindakan hokum perdata dan tindakan-tindakan nyata.
6
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, h.19.
10
Hanya perundang-undangan dari penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk di dalamnya.7 Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya, demikian bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena Peraturan Pemerintah diadakan untuk melaksanakan Undang-Undang, maka tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum undang-undangnya. Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah adalah bentuk-bentuk peraturan yang disebut oleh UU NRI Tahun 1945. Tidak demikian halnya dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden sebagai bentuk peraturan yang baru, diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara no. XX/MPRS/1966. Keputusan Presiden ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan UU NRI Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam bidang eksekutif, atau Peraturan Pemerintah, dan bersifat sekali.8 Dengan demikian berdasarkan pada keadaan dan permasalahan di atas maka penulis ingin mengangkat judul: “KAJIAN
YURIDIS
TERHADAP
KEBERADAAN
PERATURAN
PRESIDEN NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PRESIDEN
NOMOR
45
TAHUN
2011
TENTANG
RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG,
GIANYAR
DAN
TABANAN
TERKAIT
RENCANA
REKLAMASI TELUK BENOA” 7
Philipus M. Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.6-8. 8 Moh.Kusnadi, op.cit, h.48-49.
11
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas maka timbullah rumusan masalah yang akan penulis angkat ke dalam tulisan ini yaitu: 1. Peraturan manakah yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengatur penataan kawasan teluk Benoa ? 2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap Pasal 45 ayat (7) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 terkait rencana reklamasi Teluk Benoa setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis angkat perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang akan dibahas dalam tulisan dan agar tidak menyimpang dari pokok pembahasan dalam tulisan ini, maka analisa dalam penelitian ini akan membatasi ruang lingkup masalahnya. Hal yang akan ditulis dalam penulisan ini adalah: 1. Permasalahan pertama akan membahas mengenai peraturan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk mengatur penataan kawasan teluk Benoa. 2. Permasalahan kedua akan membahas mengenai akibat hukum terhadap Pasal 45 ayat (7) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 terkait rencana reklamasi Teluk Benoa setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014.
12
Jika dalam pembahasan nanti menyinggung maupun membahas hal-hal lain mengenai permasalahan ini, maka hal tersebut hanyalah sebagai pelengkap maupun sarana pendukung dari kesempurnaan tulisan ini. 1.4 Orisinalitas Penelitian Dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan bahwa tidak ada sama sekali penelitian yang pernah ada mengenai masalah yang akan saya angkat dalam usulan penelitian, penulis menggunakan 3 (tiga) skripsi pembeda sebagai referensi melalui penelusuran di Ruang Koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, yakni: No Judul 1 Problematik Yuridis Surat Keputusan Gubernur Bali Tentang Rencana Pemanfaatan, Pengembangan Dan Pengelolaan (Reklamasi) Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali
2
Penulis I Komang Trisna Adi Putra
Penerapan Peraturan Anak Agung Daerah Provinsi Bali Gede Nomor 16 Tahun Krishnayana 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Dalam Hal Perlindungan
Rumusan Masalah 1. Bagaimana Status Hukum Kawasan Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali? 2. Bagaimanakah Keabsahan SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Jo SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali? 1. Faktor apa sajakah yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Bali, dalam hal ini ketentuan tentang
13
Kawasan Tempat Suci Pura Goa Lawah
3
Akibat Hukum Guntur Siliwangi Terhadap Kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten Dan/Atau Kota Dalam Pembentukan Perda RTRW Kabupaten/Kota
kawasan tempat suci ? 2. Kendala apa saja yang terjadi dalam penerapan Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 di kawasan tempat suci Pura Sad Kahyangan Goa Lawah? 1. Dapatkah suatu izin pemanfaatan ruang dilakukan apabila dari pemerintah daerah kabupaten dan/atau kota belum menyesuaikan atau membuat Perda RTR di wilayahnya masing-masing sesuai dengan amanat UUPR No. 26 Tahun 2007 (analisis yuridis normative terhadap Perda RTRW Bali No. 16 Tahun 2009 dengan Perda RTRWK Badung No.29 Tahun 1995 terkait pemberian izin pemanfaatan ruang oleh Pemkab Badung untuk pembangunan proyek Beach World Convention , Nusa Dua)? 2. Apa akibat hokum yang ditimbulkan dari ketidaktaatan Pemerintah Kabupaten dan/atau Kota atas keterlambatannya memenuhi kewajiban hukum dalam pembentukan Perda RTRW?
1.5 Tujuan Penelitian Sebagaimana umumnya tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian dalam rangka penyusunan materi tulisan ini, yakni tujuan secara umum dan secara khusus:
14
1. Tujuan Umum Secara umum tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui rencana reklamasi teluk Benoa. Kajian tersebut dibatasi dari aspek keberadaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan. 2. Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, adapun tujuan khusus dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa peraturan yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatur penataan kawasan teluk Benoa. 2. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap Pasal 45 ayat (7) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 terkait Rencana Reklamasi Teluk Benoa setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dan diharapkan memberikan manfaat teoritis dan praktis dari penulisan ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan lebih terfokus lagi pada ilmu hukum tentang hukum pemerintahan pada khususnya.
15
2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dalam Penulisan tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis, masyarakat luas khususnya dan pemerintah dalam kaitannya dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita. 1.7 Landasan Teoritis Dalam menganalisis permasalahan ini, ada beberapa teori yang digunakan yakni sebagai berikut: a. Teori Negara Hukum Perkembangan Konsep Negara Hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian Negara Hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S.M) adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.9 Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan kehendak secara langsung dari segi Negara, dan tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana
9
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim , Op.cit, h. 153.
16
hukum. Inilah pengertian Negara Hukum, bukan hanya bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada Negara, melainkan cara dan bagaimana untuk mewujudkannya.10 Menurut James Bryce11 “A Constitution as a frame of political society, organized through and by law, that is to say one in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights. Again, a constitution may be said to be a collection of principles according to wich the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted”. Pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pertama, isi (substansi) negara hukum adalah negara itu memiliki konstitusi (UUD) dan berdasarkan konstitusi (UUD); dimana kostitusi (UUD) negara itu memuat sistem ketatanegaraan negara tersebut. Kedua, bila suatu negara memiliki dan berdasarkan konstitusi yang berisi sistem ketatanegaraan itu, negara digolongkan sebagai negara hukum. Ketiga, sistem ketatanegaraan suatu negara yang tertuang dalam konstitusi (UUD) membentuk suatu sistem hukum yang tersusun dari sub-sistem hukum yang meliputi : (1) substansi hukum (materi hukum) yang mengatur kedudukan dan fungsi (tugas dan wewenang), hubungan antar lembaga kekuasaan negara dengan warga negaranya; (2) struktur hukum, mengenai lembaga-lembaga negara, 10
Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h.24. 11 C.F Strong, 1966, Modern Political Constitutions: An Introduction To The Comparative Study Of Their History And Existing Form, English Language Book Society, London, New York, h.11.
17
sarana dan prasarana hukum; dan (3) budaya hukum yang menyangkut prilaku aparat penegak hukum dan masyarakat di negara hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon dalam tulisannya mengenai kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa untuk lebih mencerminkan ciri khas Indonesia (nasionalisme), Indonesia memakai istilah “Negara Hukum” ini dengan tambahan atribut “Pancasila” sehingga menjadi “Negara Hukum Pancasila”.12 Terlepas dari istilah “Negara Hukum Pancasila”, yang pasti dalam UUD 1945 sesudah perubahan ditegaskan pemakaian istilah “Negara Hukum” tanpa atribut “Pancasila” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Gagasan Negara Hukum menuntut agar penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Jadi setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang berlaku termasuk di dalamnya pembentukan Peraturan Presiden. b. Teori Perundang-Undangan Teori hukum yang dipergunakan dalam menata Peraturan PerundangUndangan adalah ”teori pertanggaan Peraturan Perundang-undangan” atau “Theorie Stuffenbau Des Rechts Ordnung”. Ilmu tentang norma-norma hukum Negara sebagai mana dikembangkan oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid
12
Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.11.
18
Hans Kelsen. Dikemukakan bahwa norma-norma hukum positif Negara tersebut berada dalam tata susunan atau tingkatan dari atas kebawah sebagai berikut. a. Norma Fundamental Negara (staats fundamental norm) yang isinya ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau UndangUndang Dasar dari suatu Negara. b. Aturan dasar negara atau aturan pokok negara (stoats grund gesetz). Norma ini biasanya dituangkan dalam batang tubuh suatu Undang-undang atau konstitusi tertulis. c. Undang-undang formal (formell gesetz), ialah norma hukum dalam undang-undang dibentuk oleh Lembaga Tinggi Negara Presiden dengan persetujuan Lembaga Tinggi Negara DPR. d. Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (verordnung dan autonome satzung).13
Asas preferensi yang dapat dijadikan acuan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian/konflik norma menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut. 1. Asas lex superiori deragat legi inferiori, artinya perundang-undangan yang dibuat aparat pemerintah yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
13
A. Hamid dan S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 287-288.
19
2. Asas lex posterior derogate legi priori, artinya peraturan perundangundangan yang berlaku belakangan mengesampingkan perundangundangan yang berlaku lebih dahulu, dalam hal substansi terkait. 3. Asas lex specialis derogate legi generalis, artinya perundang-undangan yang mengatur hal-hal khusus mengesampingkan perundang-undangan yang mengatur substansi secara umum.14 Dalam era globalisasi saat ini, ketika batas Negara sudah tidak jelas lagi (borderless), keberadaan hukum tertulis (jus scriptum) khususnya dalam bidang kajian hukum perundang-undangan, yakni peraturan perundang-undangan, sudah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia (basic needs) dalam upaya menggapai keadilan hukum yaitu keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, kemanfaatan hukum yaitu adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Menurut Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetapi tetap disamping kemanfaatan dan kepastian hukum yaitu harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Kemutakhiran hubungan antar manusia saat ini sudah harus diatur dengan hukum-hukum yang modern. Ciri-ciri hukum yang modern adalah adanya norma-
14
Soerjono Soekanto, loc.cit.
20
norma hukum yang tertulis, rasional, terencana, universal dan responsif dalam mengadaptasi perkembangan kemasyarakatan dan dapat menjamin kepastian hukum.15 c. Teori Sistem Hukum Sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pandangan tentang arti atau nilai bagian-bagian seperti peraturan, pengertian dan asas-asas hukum akan mempengaruhi perkembangan sistem. Meski demikian karena struktur memberi ciri khas sistem, maka sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan.16 Mengenai sistem hukum (legal system), Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 elemen,yaitu elemen struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).17 1. Struktur (structure) adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentukdanbatasan terhadap keseluruhan, apa yang boleh ( secara sah ) atau tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden. 2. Substansi (substance) adalah aturan, norma danpola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. 3. Budaya Hukum (legal culture) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan,nilai, pemikiranserta harapannya. Dengan kata
15
I Gede Pantja Astawa dan Supri Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu PerundangUndangan di Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, h.1. 16 Amiruddin A. Dajaan Imami, op.cit, h.20. 17 John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen (Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa), Pelangi Cendekia, Jakarta, h. 37.
21
lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,dihindari atau disalahkan. d. Teori Kewenangan Istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda, menurut Philipus M Hadjon, guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan bahwa wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum.18 Komponen pengaruh bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, dasar hukum dimaksud bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen konformitas hukum dimaksudkan bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. Kewenangan secara teori dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.19 Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Wewenang adalah orang yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan wewenang pemerintah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disini terjadi pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru. Jadi atribusi dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintah kepada organ pemerintah yang lain. Penyerahan wewenang untuk 18 19
Philipus M. Hadjon, dkk, Op.cit, h.67. Ibid, h.2.
22
membuat suatu putusan oleh pejabat pemerintah kepada pihak lain dan wewenang itu menjadi tanggung jawab dari delegetaris. Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang.20 Sedangkan
mandat
terjadi ketika organ pemerintah
mengijinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ pemerintah lain atas namanya. Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan untuk membuat suatu keputusan atas nama yang member mandat. Dalam pelimpahan wewenang secara mandate ini tidak perlu adanya peraturan perundang-undangan yang melandasi, karena mandate merupakan hal rutin dalam hubungan intern. Sementara menurut Philipus M. Hadjon, bahwa cara memperoleh wewenang yaitu melalui atribusi dan delegasi, kadang-kadang juga mandat ditempat sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Ruang lingkup wewenang
pemerintah
tidak
hanya
meliputi
wewenang
dalam
rangka
melaksanakan tugasnya dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu wewenang yang diberikan oleh undang-undang.21 Dalam Negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang, pembuat undang-undang dapat memberikan
20
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.66. 21 Ibid, h.68.
23
wewenang pemerintahan tidak hanya pada organ pemerintahan, tetapi juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, legislative maupun yudisial dalam pasal-pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat, tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menetapkan, fungsi, kekuasaan, berwenang, dan lain-lain dengan berbagai istilah, akan tetapi substansi dan maksudnya sama yaitu kewenangan atau mempunyai authority. Dinyatakan bahwa berwenang bukanlah power belaka tetapi authority mencangkup hak dan kekuasaan sekaligus. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dijumpai beberapa istilah tersebut seperti, Pasal 18A mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang. Keputusan Presiden ini mempunyai fungsi “untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, melaksanakan ketetapan MPR dalam bidang eksekutif dan melaksanakan Peraturan Pemerintah”.22 Ketetapan MPR merupakan produk legislasi yang mengikat baik keluar maupun ke dalam. Jika
22
SF Marbun dan Moh. Mahfud, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, h.34.
24
mengikat keluar dan ke dalam disebut ‘ketetapan’ sedangkan jika mengikat ke dalam saja disebut ‘keputusan’.23 Tentang Peraturan Pemerintah ini berisi ketentuan-ketentuan untuk menjalankan satu Undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal 5 ayat 2 UUD 1945 menentukan bahwa, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang semestinya.24 1.8 Metode Penelitian Metode atau cara kerja yang digunakan dalam penelitian ini untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Metode sering diartikan sebagai jalan berfikir dalam bidang penelitian untuk memperoleh pengetahuan. “sementara yang dimaksud dengan penelitian adalah merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita coba cari, temukan, dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak, oleh sebab itu masih perlu dikaji.”25 yaitu: 1. Jenis Penelitian Dalam penyusunan tulisan ini dipergunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum Normatif meliputi penelitian asas hukum, norma hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum (vertikal dan horizontal).26 Adapun penelitian normatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :27
23
Ibid, h.32-33. Ibid, h.31. 25 Amirudin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h.19. 26 Anonim, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 74. 27 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.98. 24
25
a. Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum b. Tidak menggunakan hipotesis c. Menggunakan landasan teoritis d. Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan atau penelitian yang didasarkan pada data sekunder.28 Menurut Waluyo, “penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan atau yang ditujukkan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.29 2. Jenis Pendekatan Adapun di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Untuk mendalami pengkajian, maka penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Kasus (The Case Approach). Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu permasalahan yang dikaitkan dengan undang-undang yang berlaku. Menurut Peter Mahmud Marzuki, “pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut
28 29
13
A. Hamid S. Attamimi,Op.cit, h. 15. Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.
26
paut dengan isi hukum yang sedang ditangani.30 Dalam penelitian ini pendekatan undang-undang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat. Pendekatan kasus (The Case Approach) adalah jenis pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang suatu keadaan tertentu yang ada sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit social (individu, kelompok lembaga atau masyarakat). Di dalam Pendekatan Kasus (The Case Approach), beberapa kasus dikaji untuk referensi bagi suatu isu hukum. 3. Sumber Bahan Hukum Menurut Peter Mahmud Marzuki “sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian hukum normatif yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder”.31 Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari: a. Bahan Hukum Primer Dalam penulisan ini bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
30
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. IV, Prenada Media Group, Jakarta, h. 93. 31
Ibid, h.141.
27
Bali Tahun 2009-2029, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Badung Tahun 2013-2033, Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar Tahun 20112031. b. Bahan Hukum Sekunder Dalam penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku atau literatur, hasil-hasil karya dari kalangan hukum serta artikel-artikel yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik yang terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini. 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Sebelum pencatatan dimulai diawali dengan langkah-langkah inventarisasi dan klasifikasi bahan-bahan hukum yang dibutuhkan. Untuk memperoleh dan mengumpulkan serta mengolah bahan hukum dalam rangka penyusunan tulisan ini dilakukan dengan menggunakan teknik studi dokumen, yaitu dengan jalan mencatat bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian dan teknik sistem kartu, yaitu setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi penelitian yang dilakukan.32 5. Teknik Analisis Seluruh bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian selanjutnya 32
diklasifikasikan, dibandingkan antara satu bahan hukum
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit, h.52.
28
dengan bahan hukum yang lainnya. Teknik analisis dalam kajian ini yang dipergunakan
antara
lain:
deskripsi,
evaluasi,
argumentasi
dan
sistematisasi. a. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. b. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. c. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. d. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.33
33
Anonim, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit, h. 76-77.