55
4. KEADILAN DALAM PERADILAN BAGI MASYARAKAT 4.1 Peradilan Pidana Dalam Perspektif Agenda reformasi nasional secara menyeluruh merupakan bagian integral dari semangat dan motivasi lahirnya reformasi total secara umum. Esensi reformasi hukum ialah bagaimana tercapai perwujudan prinsip reformasi hukum secara menyeluruh dengan hasil akhir supremasi hukum. Esensi supremasi hukum adalah prinsip dari penegakkan hukum dimana dalam semua segi tegak dan proporsional. Penegakkan hukum yang mengandung prinsip proporsional ialah bagaimana penegakan hukum berjalan sedemikian rupa sehingga yang tegak bukan hanya aturan normatifnya (aspek kepastian hukumnya) saja tetapi juga aspek filosofisnya (aspek dan nilai keadilanya). Untuk menuju terwujudnya penegakkan hukum secara proporsional diperlukan media dan perangkat yang disebut sistem peradilan. Yang terkait dengan fokus kajian ini ialah sistem peradilan pidana 144 yang dengan sendirinya diharapkan tidak hanya mencakup penegakan hukum dalam arti penegakan undang-undang (rule of law) saja tetapi supremasi hukum dalam arti penegakan keadilan (rule of justice) dalam suatu “criminal justice system”. Sehubungan dengan ketiadaan keadilan dalam pengadilan tersebut maka dapat dikatakan oleh masyarakat luas bahwa saat ini terjadi puncak ketiadaan keadilan yang disebabkan oleh pengabaian hukum. 4.1.1 Kejahatan Terhadap Peradilan 145 Model sistem peradilan sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dengan segala hal ihwal yang menjadi pendukungnya tidak dapat mengimbangi tingkat pertumbuhan angka kejahatan. Fenomena degradasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga-lembaga hukum, baik formal maupun informal, telah menyentuh titik nadir atau terendah.
144 145
Sidik Sunaryo. Op.cit. hal. 217. Ibid
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
56
Kesadaran dari masyarakat dalam mengapresiasi dan merespons aktifitas lembaga hukum dalam pola penegakan hukum dan keadilan sangatlah rendah. Hampir semua pandangan memberikan kesimpulan rendahnya tingkat apresiasi masyarakat tersebut lebih banyak disebabkan oleh peraturan perundangan yang mengatur sistem peradilan pidana yang tidak jelas dan tidak tegas. Bahkan secara ekstrim, peraturan perundang-undangan yang menjadi prinsip penerapan system peradilan pidana yang terpadu, justru menjadi faktor kriminogen dari timbulnya kejahatan terhadap prinsip dan nilai keadilan yang tekandung dalam hukum pidana formal146. Dalam bahasa lain kejahatan terhadap keadilan (kejahatan yang melanggar nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundangan hukum pidana formil) disebut dengan ‘judicial crime’147. Ketika kejahatan terhadap keadilan menjadi trend perbuatan jahat, maka sesungguhnya dalam keadaan demikian dapat disebut suatu keadaan anomi, yaitu suatu kedaan dimana terdapat aturan perundangan tetapi tidak mampu untuk mengendalikan prilaku jahat individu. Atau keadaan anomi juga seringkali disebut sebagai suatu keadaan yang tidak ada norma sama sekali sehingga gambaran keadaan kacau balau, serba tidak ada aturan, liar, homo homini lupus, bellum omnium contra omnes dan dalam prinsip penegakan keadilan melalui keadilan sudah tidak dapat diharapkan kemampuannya lagi. Sehubungan dengan ketiadaan keadilan ini ada pendapat dari Tim Pakar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menyatakan bahwa148 tidak berlebihan jika dikatakan pada dasarnya apa yang terjadi dewasa ini merupakan kulminasi ketiadaan keadilan (the absence of justice) yang dipersepsikan masyarakat. Dalam istilah lain hal ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (disgreding the law) serta dalam beberapa hal penyalahgunaan hukum (misuse
146
Muladi dan Barda Nawawi Arif. Op.cit. hal. 54. .Sidik Sunaryo. Op.cit. hal. 218 148 Ibid. hal. 218 147
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
57
of the law) yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak yang berkuasa atau yang mempunyai akses pada kekuasaan. 4.1.2 Penyalahgunaan dan Penyimpangan Hukum Hukum yang dimaksud dalam hal ini bukan sekedar aturan untuk acuan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tetapi juga termasuk: a. proses pembentukan hukum yang lebih banyak merupakan ajang powergame yang mengacu pada kepentingan the powerful dari the needy sangat sulit untuk diingkari; b. proses penerapan hukum, baik yang dilakukan lembaga eksekutif (tingkat atas,
menengah
maupun
bawah)
maupun
yudikatif
dalam
tugas
melaksanakan hukum banyak dituding sebagai cermin merosotnya kewibawaan hukum dengan menonjolnya nuansa non hukum (politik dan kekuasaan) dari pada hukum (misalnya lembaga yang kurang independent dan imparsial), penegakan hukum yang sulit dilacak dan dibuktikan, apalagi diproses; c. penegak hukum yang memiliki kelemahan dalam integritas, pemahaman, kontrol, dan sebagainya merupakan suatu kondisi yang disepakati harus diubah. Namun mengubah sistem dan muatan hukum jauh lebih mudah dari pada mengubah sikap dan perilaku manusia. Di sisi lain, perubahan substantif menjadi tidak berarti apabila terjadi stagnasi dalam penegakan hukum tersebut. Sistem peradilan pidana
yang
lazim selalu
melibatkan dan
mencangkup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut 149 : 1). Kepolisian dengan tugas : menerima pengaduan maupun laporan dari masyarakat bila terjadi tindak pidana; meneruskan hasil penyidikan kepada kejaksaan
149
Ibid. hal 219, 220.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
58
2). Kejaksaan melaksanakan penyaringan kasus-kasus yang layak diajukan ke pengadilan dan melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan. 3). Pengadilan berkewajiban: menegakkan hukum dan keadilan; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana dan melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif yang berdasarkan hukum.serta memberikan kesempatan publik untuk dapat melakukan penilaian terhadap proses peradilan.. 4). Lembaga Permasyarakatan (LP) yang berfungsi: menjalankan putusan pengadilan termasuk pemenjaraan, terlindunginya hak-hak narapidana, termasuk melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana agar narapidana siap untuk kembali ke masyarakat. 5). Pengacara dengan fungsi: melakukan pembelaan bagi klien; dan menjaga agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana. Dalam kenyataan, dasar sub sistem tersebut mengacu pada kodifikasi hukum pidana formil150, yakni Kitab Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tetapi dalam rangka mengatasi kekosongan dan kekurangan hukum pidana formal itu masih belum ada upaya yang sistematis dan signifikan. Payung hukum untuk menutupi kekosongan dan kelemahan tersebut ialah apa yang disebut dengan kebijakan pidana (criminal policy). Sementara itu perkembangan sistem informasi dan teknologi semakin sulit untuk dikejar dan diimbangi hanya dengan KUHAP yang ada yang mana kitab tersebut masih terdapat banyak kelemahan mendasar sehingga sangat tidak memadai jika UU tersebut dijadikan satu-satunya sandaran bagi kiblat dan muara hukum pidana formil di Indonesia. Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa “politic criminal” yang merupakan usaha masyarakat yang rasional dalam menanggulangi kejahatan secara proaktif maupun reaktif yang pada
150
Ibid. hal. 220, 221
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
59
umumnya dirumuskan melalui perangkat perundang-undangan yang berkenaan dengan masing-masing lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan hukum dalam proses peradilan agar dapat pelanggaran
aturan
pidana,
serta
mengurangi keinginan untuk melakukan sekaligus
memenuhi rasa
keadilan
masyarakat151. 4.2 Sistem Peradilan Pidana di Indonesia152 Harapan besar dan sangat ideal tercermin dari tujuan peradilan sebagaimana yang terkandung dalam pandangan-pandangan tersebut sayangnya, karena tidak diimbangi dengan kemampuan yang substantive dari KUHAP itu sendiri yang sudah dimiliki itu yang menjadi dasar dari pijakan penegakkan hukum pidana materiil harapan tersebut hanya tinggal harapan belaka. Mengenai proses beracara untuk kasus-kasus pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan umumnya yaitu KUHAP, disamping itu juga terdapat ketentuan hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam KUHAP tersebut, yang terbesar dalam Undang-Undang diluar KUHAP. Sejumlah masalah berderet membentang luas dan banyak sebaran peraturan perundang-undangan yang ada di luar KUHAP maupun KUHP. Tetapi jika dicermati, muara persoalan tersebut mengarah tiga hal yakni153: 1. tidak ada sanksi apabila prosedur yang sudah ditetapkan tersebut dilanggar termasuk pelanggaran hak-hak yang telah dirumuskan; 2. kurang efektif dan efisien dalam menyelenggaraan peradilan pidana karena terdapat tahapan proses yang tidak diperlukan dan mubazir serta berbelit dan siasia; 3. formulasi pasal-pasal sangat memungkinkan adanya interpretasi yang berbedabeda, yang kemudian dilaksanakan oleh penegak hukum. Dengan adanya reformasi yang telah menggeser kekuasaan militer ke dalam era “civil society” dimana peran hukum sangat didambakan
bagi bangsa guna
151
Ibid. hal. 221. Ibid. 153 Sidik Sunaryo, Ibid. hal. 222. 152
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
60
meniadakan KKN. Tetapi bagaimana keadaan sistem peradilan saat ini perlu kita ungkapkan terlebih dahulu sebelum membahas judul tulisan ini. 4.2.1 Kondisi Masyarakat Dihadapkan Pada Sistem Peradilan Sistem peradilan yang ada saat ini tidaklah mungkin mampu mengimbangi tingkat atau angka kejahatan yang terjadi. Sebagai contoh, di Jakarta saja jumlah kasus tidak sebanding dengan jumlah hakim maupun jaksa sehingga sangat sulit dapat menyelesaikan semua kasus yang masuk lembaga peradilan. Dengan kata lain jumlah perkara yang masuk dibandingkan dengan jumlah petugas
pengadilan tidak
seimbang
dihadapkan waktu
yang
dipakai
menyelesaikan satu perkara apalagi dengan makin terungkapnya markusmarkus (makelar kasus) yang melibatkan unsur–unsur penegak hukum dari tingkat bawah yaitu Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung (MA) seperti terungkapnya kasus penyuapan anggota MA oleh Probosutejo. 4.2.2 Kepercayaan Masyarakat Terhadap Badan Peradilan Keberadaan badan atau lembaga hukum dan badan peradilan baik formal maupun informal telah mencapai titik terendah. Kesadaran masyarakat dalam mengekspresikan dan merespon aktifitas lembaga hukum dalam penegakan hukum keadilan sangatlah rendah. Hal ini disebabkan peraturan perundangan yang mengatur sistem peradilan pidana yang tidak jelas dan tidak tegas, bahkan secara ekstrim peraturan perundang-undangan yang menjadi sandaran prinsip penerapan sistem peradilan terpadu justru menjadi faktor kriminogen
dari
timbulnya kejahatan terhadap nilai keadilan yang terkandung dalam peraturan perundangan pidana formil. 4.2.3 Hubungan Kepastian Hukum dan Kesebandingan Hukum Didalam menegakkan keadilan perlu dibahas hubungan kepastian hukum dan kesebandingan guna tercapainya ketertiban serta ketenteraman bagi masyarakat 4.2.3.1 Kepastian Hukum
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
61
Dalam menjalankan peradilan harus ada undang-undang yang mengatur penegak hukum, sebagai dasar adanya kepastian hukum pidana formil maupun materiil sesuai pasal 1 ayat 1 KUHP menjadikan landasan hukum dari hukum-hukum yang lain: 1). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman. 2). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung. 3). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 4). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5). Kode Etik Advokat Indonesia. 6). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. 7). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 4.2.3.2 Kesebandingan Hukum , Karena
keadilan
mengacu
kepada
kepastian
hukum
dan
kesebandingan dan telah diuraikan oleh Aristotoles154 maupun beberapa pakar hukum seperti Muladi, Ruslan Saleh155 yang membahas mengenai keadilan distributive terlihat bahwa diskresi yang diberikan pada hakim sangatlah subyektif karena sangat bebasnya, sehingga subyektifitas ini tergantung sekali pada persepsi hakim. Demi keadilan seyogyanya perlu diadakan suatu pemikiran teknik-teknik perhitungan
sebagai landasan
penjatuhan lamanya pemidanaan agar dapat menghindarkan masalah kriminogen didalam pengadilan yang banyak terjadi saat ini.
154
Aristotoles, Politics, (New York:Oxford University Press,1995) diterjemahkan oleh Saut Pasaribu , Cet 1 (Jogyakarta : Bentang Budaya 2004) hal. 219 155 Roeslan Saleh, Op.cit. hal.15
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
62
4.3 Standarisasi Besaran Hukuman Sebagai Alternatif 4.3.1 Masalah Mengatasi Ketidak Adilan Dalam Putusan Hakim Dalam suatu sistem peradilan bagi negara yang beraliran atau mengikuti hukum kontinental undang-undang akan menjadi rujukan. Tetapi karena undang-undang ini selalu tidak lengkap dan tidak jelas (dimana kehidupan yang serba dinamis karena berkembang semakin kompleks seiring dengan kemajuan jaman pesatnya perkembangan teknologi yang berkebang suatu negara tanpa batas) maka dituntut perkembangan peradilan yang diharapkan dapat mengikutinya 4.3.2 Kepastian Hukum dan Keadilan Undang-Undang merupakan dasar seseorang dapat dihukum karena melanggar aturan sesuai pasal 1 ayat (1) KUHP, tanpa ada undang-undang maka manusia tidak dapat dihukum156, sedangkan masalah keadilan seperti dibahas didepan merupakan suatu pemikiran
Aristotoles yang mengatakan
bahwa kesebandingan merupakan suatu yang lebih baik dari menyamaratakan. Karena diskresi diperlukan oleh hakim dalam membuat putusan sehingga hal ini merupakan kebebasan hakim, tetapi dengan kebebasan yang penuh akan menimbulkan masalah baru bagi keadilan karena menjadikan putusan akan sangat dipengaruhi persepsi para hakim atau penilaian pribadi akan memegang peranan. Tetapi karena tidak ada undang-undang yang lengkap yang dapat mengatur semua perilaku manusia157 serta
pemecahan dalam pemberian
keadilan, sehingga sesuai pemikiran Aristotoles serta adanya aliran positivisme perlu pemikiran yang mungkin dapat membantu memecahkanya, salah satu cara mengatasi ini bias menggunakan pemberian kepada hakim dengan jalan adanya diskresi
terikat dimana undang-undang menerapkan beberapa
158
alternatif . Keadaan ini perlu pemikiran pembuatan cara pemberian standar bagaimana agar putusan hakim lebih adil dengan didasari adanya kepastian
156
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit. hal 39. Soerjono Soekanto (1), Op.cit. hal.21 158 Ibid. hal.22.
157
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
63
hukum dan tetap memberikan kebebasan kepada hakim (diskresi) tetap yang terikat guna mengurangi adanya disparitas. 4.3.3 Standarisasi besaran hukuman demi keadilan Sebagai contoh kita ambil pasal 362 KUHP yang paling sering terjadi di Indonesia, Penerapan pasal 362 mengenai pencurian dengan permasalahannya: “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Bila kita semata-mata menerapkan pasal 362 KUHP maka diskresi yang diberikan kepada hakim dalam pemberian sanksi adalah antara 1 (satu) hari sampai 5 (lima) tahun yang artinya hakim bebas menjatuhkan hukuman dibatas itu,sedangkan kalau terjadi peringanan pidana sesuai pasal 47 KUHP maka akan terjadi pula kejanggalan Dalam masalah peringanan pidana yang diatur dalam pasal 47 KUHP (1) yang dimasukkan katagori ini159: 1).Poging/percobaan 2).Medeplichtigheid/perbantuan Penjatuhan pidana maksimum pidana pokok dikurangi 1/3,sehingga unsur penggunaan pasal 362 mengenai peringanan dalam pencurian dapat dikenakan hukuman 5 (lima) tahun dikurangi 1 /3 x 5thn = 60 bln-1/360 bln=60-20 =40 bulan= 40:12= 3 tahun lebih 4 bulan Jadi peristiwa terjadinya perbantuan (medeplichtigheid) dihukum lebih besar dari daddernya masuk akal karena daddernya oleh pengadilan dijatuhi hukuman 5 (lima) bulan. Hakim lain dalam mengadili peristiwa ini bila tidak melihat secara utuh dengan hanya menggunakan pasal 47 (1) adalah benar.
159
Mustafa Adullah dan Ruben Achmad, Op.cit. hal. 66.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
64
Tetapi hal ini akan terjadi ketidak-adilan meskipun penerapan perundangundangan adalah sudah benar, karena hakim tidak melanggar nya. 4.3.4 Analisis Permasalahan Kita tidak membahas masalah pembuktian tetapi hanya membahas masalah sentencing saja. Sesuai pendapat aliran positivisme selain kepastian hukum yang didapatkan dengan adanya undang-undang maka unsur kesebandingan merupakan kata kunci kedua untuk tercapainya keadilan. Dalam menentukan kesebandingan ini diperlukan aturan serta tehnik penghitungan. Hal ini disebabkan ketidak-jelasan dasar dalam pemberian hukuman (sentencing) terhadap terdakwa didalam putusan hakim. Hal yang terjadi itu diperlukan sebagai akibat adanya diskresi yang diperlukan oleh hakim guna menjaga independensinya, sehingga hal ini dapat menyebabkan adanya disparitas yang menjadikan ketidak adilan dari putusan hakim tersebut, sehingga disparitas ini perlu dikendalikan agar putusan hakim terhadap pertanggungan jawab pidana para terdakwa dapat dipertanggung jawabkan oleh hakim dan ini sangat
diperlukan sebagai alat kontrol guna
penilaian kwalitas hakim. Keyakinan hakim yang merupakan faktor penting (determinant) didalam pengambilan keputusan yang didasari intuisi. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan putusan hakim kurang obyektif sedangkan dalam aliran modern semua keputusan haruslah bisa ditinjau kembali dan dapat dipertanggung jawabkan dalam arti memungkinkan dilakukan pemeriksaan dan pengujian kembali prosesnya dan dapat dibenarkan keputusannya160, agar dikemudian hari keputusan ini dapat ditinjau kembali bila terjadi banding maupun kasasi, karena proses dapat ditinjau apakah kesalahan terjadi pada proses pembuktian terjadinya peristiwa pidana atau terjadi disebabkan oleh kesewenang-wenangan hakim dalam pemberian sanksinya dikarenakan adanya peluang akibat adanya deskresi. Sebagai contoh, tindak pidana yang paling banyak dan sering terjadi di Indonesia inilah masalah pencurian yang diuraikan dari pasal 362 s/d 367. Kita 160
Kuntoro mangkusubroto dan Listriani trisnadi, Op.cit. hal . 19,20.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
65
akan bahas misalnya pasal 362. Bagaimana penerapan pasal 362 mengenai pencurian dengan permasalahannya, sehingga untuk menggunakan pasal 362 perlu didahului dengan beberapa tahapan yang harus dikerjakan sebelumnya agar dapat dijadikan algoritma dari proses penyelesaian pemidanaan yang dapat dipakai sebagai alat bantu dasar hakim menjatuhkan pidana. Peristiwa adanya perbantuan mendapat hukuman lebih berat seharusnya tidak bisa terjadi bila kita melakukan suatu tahapan-tahapan sebagai berikut : Aturan pertama: Buat klas interval dari besarnya nilai barang yang dicurinya dan berapa hukuman yang dijatuhkan dari tiap klas interval itu lalu kita bagi berdasarkan nilai dalam konversi rupiah terhadap barang yang dicurinya dengan koreksi Net Present Value (NPV) kemudian kita bagi klas intervalnya misalnya: 1. nilai barang antara
1- 20.000.000
2.
20.000.001- 40.000.000
3.
40.000.001- 60.000.000
4.
60.000.001 -80.000.000
5.
80.000.001- 100.000.000
Aturan kedua : Cari rata-rata besaran hukuman 161 X-bar = Mean = X = ( åXi)/n
…………………( 1 )
Aturan ketiga : Cari
penyimpangannya
dengan
menghitung
Standard
deviasi
penyimpangan162 The standard deviation (this term was first used by Pearson, 1894) is a commonly-used measure of variation. The standard deviation of a population of values is computed as: 161
Wilfrid J.Dixon dan Frank J. Massey. Introduction to Stastical Analysis, Cet. 2 (USA: Mc.Graw-Hill 1969) hal 25. 162 Wilfrid J.Dixon dan Frank J. Massey. Ibid. hal 28.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
66
d
= [ å (xi- x )2/N]1/2
.…..………………( 2 )
where
X N
is the population mean is the population size
The sample estimate of the population standard deviation is computed as: s = [ å (xi- x )2/n-1]1/2 where
x
is the sample mean
n
is the sample size Persoalan ini akan bermanfaat pada saat penentuan kasus yang ada sifat
pemberatan atau peringanan pidananya dan kejadian seorang membantu tindakan pidana(medeplichtige) mendapat hukuman lebih berat dari “dader”nya. Adapun aturan yang ada sesuai undang-undang (KUHP ) seperti yang tertuang dalam aturan: “Pemberatan pidana menerima hukuman sebesar (maksimum plus 1/3 ) sesuai pasal 18 ayat(2)KUHP”163, serta “Peringanan pidana menerima hukuman sebesar (pidana maksimum minus 1/3 ) sesuai pasal 47 KUHP 164” Maka kejadian di atas disebabkan patokan /aturan lamanya penjatuhan pidana tidak rinci dan jelas. Kasus pencurian uang senilai Rp 25.000.000,- dilihat dari suatu simulasi 80 kejadian pencurian terhadap barang yang bernilai seperti diatas terletak pada klas interval 2 dan
didapat rata-rata hukuman rata-rata besaran hukuman
dengan menggunakan rumus
X rata-rata
atau X-bar165 dan rumus
penyimpangan (standar deviasi) 163
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Op.cit. hal.51. Mustafa Abdullahdan Ruben Achmad, ibid. hal . 66. 165 Wilfrid J.Dixon dan Frank J, Massey. Ibid. hal. 25. 164
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
67
X = X-bar = Mean = ( å xi)/n dan penyimpangan166 (standard deviation)
d = [ å (xi-x-bar)2/n-1]1/2 Sebagai contoh saya membuat simulasi 80 kejadian pencurian pada nilai barang yang dicuri sebesar Rp. 20.000.001,- sampai Rp 40.000.000,- atau berada pada klas interval 2. Hasil data simulasi sebagai berikut : Ada 1 orang telah dijatuhi hukuman selama 10 bulan ada 3 orang telah dijatuhi hukuman selama 9 bulan ada 6 orang telah dijatuhi hukuman selama 8 bulan ada 6 orang telah dijatuhi hukuman selama 7 bulan ada 10 orang telah dijatuhi hukuman selama 6 bulan ada 20 orang telah dijatuhi hukuman selama 5 bulan ada 15 orang telah dijatuhi hukuman selama 4 bulan ada 15 orang telah dijatuhi hukuman selama 3 bulan ada 4 orang telah dijatuhi hukuman selama 2 bulan
xi
ƒi
xi ƒi
1
10
1
10
2
9
3
3
8
4
(xi- x )2
2 å (xi- x )
5
25
25
27
4
16
48
6
48
3
9
54
7
6
42
2
4
24
5
6
10
60
1
1
10
6
5
20
100
0
0
0
166
xi- x
Ibid., hal. 28.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
68
7
4
15
60
-1
1
15
8
3
15
45
-2
4
60
9
2
4
8
-3
9
36
åƒi
Total
80
å xi ƒi
å
400
(xi- x )2 272
rata-rata hukuman = X = Mean = ( å xi)/n = å xi ƒi / å ƒi =
400/ 80
= 5 bulan
penyimpangan (standard deviation)
d = [ å (xi-)2/n-1]1/2 = [ [
272
/ 79]1/2 =
3,44303797468
]1/2 =
1,8555425045 x 30 hari = 55,66 hari atau sekitar 60 hari atau 2 (dua ) bln. Dari kasus contoh di atas didapat hukuman rata-rata untuk kejadian itu ialah 5(lima) bulan dengan penyimpangan nya adalah 1,86 bln. atau sekitar 2(dua) bulan. Dari hal ini maka untuk kejadian di atas seseorang yang melakukan pencurian seperti itu sepatutnya dapat dihukum selama (5)lima bulan dengan toleransi penyimpangan sebesar (2)dua bulan yang berarti boleh dihukum antara 5-2 atau 3(tiga) bulan dan maksimum sebesar 5+2 atau 7(tujuh) bulan ,sehingga penjatuhan hukuman yang wajar untuk kasus diatas seharusnya berada disekitar 3(tiga) sampai 7(tujuh)bulan Dari contoh diatas terlihat bahwa ada 10 orang yang dihukum lebih dari 7 (tujuh)bulan dan ada 4(empat)orang yang dihukum kurang dari 3(tiga) bulan dengan arti bahwa orang-orang yang mendapat hukuman lebih dari 7(tujuh) bulan tidak mendapatkan keadilan.,sedangkan bagi 4(empat) orang yang mendapatkan hukuman kurang dari 3(tiga) bulan adalah sangat diuntungkan.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
69
Bila ada pertanyaan kenapa ada 10 orang dirugikan atau tidak mendapatkan keadilan dan kenapa yang 4(empat) orang diuntungkan? Maka pasti tanda tanya bagi semua dan bila ada banding bagaimana karena akan ada kesulitan dalam meninjau hasil putusan hakim tersrebut. Bagi pembantu peristiwa itu sepatutnya mendapat peringanan pidana sehingga hukuman nya dikurangi 1/3 dari yang dijatuhkan kepada daddernya sendiri, jadi kepatutan bagi yang mendapat peringanan pidana itu akan dijatuhi hukuma sebesar antara 3(tiga) bulan dikurangi 1/3x
3 = 1 bulan atau 3-1 =2(dua) bulan sampai
denngan 5-{1/3x5} = 5bulan-{1/3x150 hari}= 5 bulan -50 hari =3bulan 10 hari. Sehingga perbantuan untuk peristiwa ini hukumanya seharusnya adalah Antara dua (2) bulan s/d tiga (3) bulan 10 hari Keadaan saat ini Dalam masalah peringanan pidana yang diatur dalam pasal 47 KUHP (1) yang dimasukkan katagori ini167:yo. Pasal 57 KUHP:ayat 1 1. Poging/percobaan 2. Medeplichtigheid/perbantuan Dalam hal perbantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga, sehingga pada pasal 362 KUHP dari uraian diatas dapat diuraikan sebagai berikut : maksimum hukuman penjara adalah 5 (lima) tahun X adalah lamanya dipenjara, sesuai pasal 362 KUHP , 1(satu) hari £ X £ 5(lima) tahun. Penjatuhan pidana
pasal 362 mengenai peringanan dalam pencurian
dengan peringanan dapat menggunakan pasal 47 yo 57(1) KUHP sehingga dapat dikenakan hukuman 5(lima) tahun dikurangi 1 /3 x 5thn = 60 bln-1/360 bln=60-20 =40 bulan= 40:12= 3 tahun lebih 4 bulan. Jadi peristiwa terjadinya perbantuan (medeplichtigheid) dihukum lebih besar dari daddernya masuk akal karena daddernya oleh pengadilan dijatuhi
167
Mustafa Adullah dan Ruben Achmad, Op.cit. hal. 66.
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
70
hukuman 5 (lima) bulan. Hakim lain dalam mengadili peristiwa ini bila tidak melihat secara utuh dengan hanya menggunakan pasal 47(1) adalah benar. Dari kejadian di atas dengan sendirinya terjadi ketidak-adilan dalam pemberian sangsi, tetapi bila kita menggunakan cara seperti simulasi di atas diharapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Yang menjadi persoalan kemudian dengan peristiwa diatas dengan memakai data simulasi tersebut seyogyanya kata maksimum dari pasal 47 KUHP adalah memakai maksimum adalah X ( rata-rata hitung) dari hasil perhiyungan ditambah d (standar deviasi) .Jadi maksimum hukuman untuk kasus dari menggunakan data yang ada diatas adalah 5(lima) bulan ditambah 2(dua) bulan adalah 7(tujuh) bulan , sehingga bila ada peringanan pidana. Dengan menggunakan pasal 47 KUHPyo pasal 57(1) KUHP tersebut dalam kasus pencurian yang ada peringanan pidana,demi keadilan, maksimum bisa diberikan dengan menggunakan maksimumnya adalah 7(tujuh) bulan dan dengan adanya peringanan diperoleh pidana sebesar : 7(tujuh) bulan dikurangi 1/3 x 7 bulan atau 1/3x7(tujuh) x 30 hari = 70 hari atau 2 (dua) bulan 10 hari, sehingga lamanya pidana dalam kasus diatas bagi yang mendapat keringanan menjadi maksimum sebesar 7x30 hari- 70 hari=140 hari= 140:30 = 4 bulan 20 hari dan minimum yang boleh dijatuhkan adalah 5(lima) bulan dikurangi 5(lima)x 1/3= 150 hari dikurangi 1/3x150 hari =150-50= 100 hari = 3(tiga) bulan 10 hari. Keadaan ini akan lebih adil bila peringanan pidana kasus diatas diberikan antara 3(tiga) bulan 10 hari sampai 4 (empat) bulan 20 hari, sehingga di dalam kasus diatas seyogyanya hukuman yang diberikan hakim adalah 5(lima) bulan dengan diskresi yang diperbolehkan antara 3 (tiga) bulan adalah yang terendah, sedangkan yang tertinggi
sebesar 7 (tujuh) bulan, sedangkan bila terjadi
peringanan pidana maka sanksi yang adil diberikan adalah : 3 (tiga) bulan 10 hari sampai dengan 4 (empat) bulan 20 hari Karena
diperlukan kepastian hukum
serta perlunya keadilan serta
diperlukan adanya kebebasan hakim dalam putusanya masih perlu adanya
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia
71
diskresi maka analisa diatas adalah memenuhi syarat, hal ini sangat diperlukan oleh hakim demi kebebasanya yang dianggap penting karena perundangundangan yang tidak lengkap, serta lambatnya aturan-aturan dalam mengejar perkembangan didalam masyarakat 168 Dalam pandangan kesalahan yang kini disarankan oleh Peter169, dari hakim dimintakan pertanggungan jawab mengenai penggunaan kebebasan yang diberikan. Dan pengadilan untuk dimungkinkan untuk menguji putusan-putusan hakim dengan rasionalitasnya,yaitu apakah hakim sampai pada suatu kepatutan dan masuk akal dalam keputusan-keputusannya itu170. Dengan ketentuan diatas sehingga memeng analisa diatas sangat masuk akal,agar disparitas dalam putusan hakim dapat diminimumkan..
168
Soeryono Soekamto (1), Op.cit. hal 7-22 Roeslan SalehPikiran-pikiran , Op.cit. hal. 46 170 Roeslan Saleh. Ibid. 169
Patokan pemidanaan, Mulyo Wibisono, FHUI, 2009
Universitas Indonesia