PERAN STRATEGIS PERADILAN ADAT DI ACEH DALAM MEMBERIKAN KEADILAN BAGI PEREMPUAN DAN KAUM MARJINAL
Juniarti Badan Litbang Pusat Analisis Perubahan Sosial (PASPAS) Aceh
ABSTRACT Birth of the customs rules wisdom of Aceh aims to govern the relationships within it, as well as in regulating social problem solving and conflict, namely: through the Indigenous Justice. However, unfortunately, the existence of customary courts in Aceh had ups and downs in the vortex of national and regional policies, Therefore, this study aims: first, to find some flaws in the traditional courts provide justice for women and the marginalized: the second, finding their customary justice in giving justice, and third, to formulate strategic steps to make custom justice able to provide justice for women and the marginalized. This study used a qualitative approach to data collection techniques are field observations in several districts in Aceh Province, interviews and literature study. The results show: first, the traditional disadvantages faced justice in Aceh, namely: the lack of recognition the country/ region of the existence, ranging reduced public confidence, and the tendency of society to another alternative legal remedy, secondly, opportunities of the customary courts in Aceh are large because of the support of the community, a strong cultural tradition of the virtues of Islam: the existence of regulatory support in the form of Law (Law No.11 of 2006 on the Governing of Aceh) and several other supporting qanun, and the half of government agencies, namely: Indigenous Assembly Aceh (MAA), and third, the strategic steps that can be applied to make the customary courts in Aceh to provide justice for women and the marginalized is a way to socialize customary justice, personnel and institutional capacity strengthening judicial custom, build inter-agency cooperation, and the commitment and seriousness of the government / local government in supporting indigenous justice in Aceh in the form of allocation of funds, facilities and supporting regulations primarily to provide justice for women and the marginalized. Keywords: Indigenous Justice Aceh, Justice Women, The Marginal
2446 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
PENDAHULUAN Masyarakat Aceh sebagian besar mencari dan mendapatkan keadilan melalui pemecahan masalah secara tradisional (adat). Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan termasuk penelitian dari UNDP menunjukkan bahwa anggota masyarakat seringkali tidak menyadari bagaimana pertikaian itu diselesaikan menurut adat.561 Sifatsifat dasar adat yaitu: mengalir, lisan dan tidak terstruktur (uncodified) dikaitkan dengan perkembangan hukum di Aceh dan berlakuknya sistem hukum formal (pengadilan negeri dab mahkamah syariah) menyebabkan timbulnya berbagai pengertian baik mengenai lembaga adat maupun prosedur umum dari proses penyelesaian perselisihan secara adat. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya bergeseran, kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat yang disebabkan oleh konflik panjang yang terjadi di Aceh, tsunami dan pengaruh globalisasi. Akibat kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat sedikit banyak mengurangi perhatian dari kepemimpinan adat terhadap perempuan dan kaum marjinal. Kaum marjinal di dalam Ilmu Sosial adalah mereka yang terpinggirkan, mereka yang terlupakan, mereka yang tidak dihitung.562 Dan biasanya kaum marjinal diidentikkan dengan mereka yang miskin. Tetapi, kaum marjinal tidak serta-merta identik dengan miskin saja. Orang miskin, hampir pasti menjadi kaum marjinal, tetapi kelompok terpinggirkan belum tentu karena miskin. Kemudian, siapakah kaum marjinal itu, selain miskin, mereka adalah orang-orang yang secara ekonomi, agama, hukum, sosial, politik atau budaya tidak mempunyai akses kepada kehidupan yang sejahtera, aman, nyaman, damai dan berkembang. Dan untuk itu, kaum marginal yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah perempuan, penyandang cacat, orang miskin, orang tua, janda korban konflik, anak yatim piatu dan anak. Perempuan dan kaum marjinal di Aceh dalam menjalani kehidupan ini juga mengalami permasalahan-permasalahan yang cukup banyak, baik itu permasalah rumah tangga, dan permasalahan dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari. Mulai dari persoalan pertengkaran antara suami istri, perceraian, pembagian warisan, perkelahian antar anak, kecelakaan lalu lintas dan persoalan-persoalan lainnya. Dan ketika persoalan dalam kehidupan mereka ingin diselesaikan misalnya melalui jalur formal (Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syari’ah) mereka akan berhadapan dengan birokrasi yang cukup panjang, administrasi dan membutuhkan dana, minimal untuk keperluan biaya transfortasi dari desa mereka menuju kota tempat pengadilan negeri dan mahkamah syari’ah itu berada.
561
Referensi UNDP, Access to Justice in Aceh-Making the Transition to Sustainable Peace and Development in Aceh, 2006 562 Arifin Noor, Ilmu Sosial Dasar, Untuk IAIN, STAIN, PTSAIS, Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKU, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), hal. 87.
2447 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Dan salah satu solusi untuk mencari keadilan bagi kaum perempuan dan kaum marjinal tersebut adalah melalui peradilan adat di gampong563 (desa) atau mukim564 mereka berada. Namun itu saja tidak cukup, ternyata masih ditemukan dalam proses peradilan adat sendiri terdapat bias terutama terhadap perempuan dan kaum marjinal. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dalam makalah ini akan dicoba membahas, pertama, menemukan beberapa kelemahan peradilan adat dalam memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal: kedua, menemukan peluang peradilan adat dalam memberikan keadilan; dan ketiga, merumuskan langkah-langkah strategis untuk menjadikan paradilan adat mampu memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal di Aceh.
I.
Pasang Surut Adat dalam Pusaran Kebijakan Nasional dan Kedaerahan
Perbincangan mengenai hukum adat dan hukum pemerintahan di Indonesia sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dan tidak cukup sekedar dimulai dari jatuhnya rezim Orde Baru. Sejak masa penjajahan Belanda adat menjadi bagian dari kepentingan politik pemerintahan. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Sukarno setelah Indonesia merdeka, zaman Orde Baru di bawah rezim Suharto sampai zaman reformasi sekarang ini. 565 Meskipun hubungan antara hukum adat dan pemerintahan yang terbangun pada setiap pemerintahan berbeda-beda, namun secara umum setiap rezim menggunakan adat sebagai bagian dari kesuksesan pemerintahannya. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, adat telah menjadi bagian dari sistem politik pemerintahan Hindia Belanda dalam melancarkan imperialismenya melalui kebijakan hukum adat (adatrecht)566. Konsep Adatrecht ini dikembangan dari Universitas Leiden di mana Cornelis Van Vollenhoven (1876-1933) menjadi tokoh utamanya.567 Ia mendefenisikan adat sebagai tata aturan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dengan kata rect, sebuah kata yang secara konvensional diterjemahkan dalam
563
Gampong salah satu istilah penyebutan desa oleh masyarakat umumnya di Aceh, walaupun masih ada nama lain misalnya kute, reje (menyebutan desa di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Tenggah dan Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh). 564 Mukim adalah kumpulan dari beberapa desa dalam satu kecamatan. 565 Abdurrahman, Pelaksanaan Peradilan Adat dan Penerapan Hukumnya, Makalah disampaikan pada seminar Pelatihan Adat tanggal 2-3 dan 5-6 Juni 2009. 566 James S Davidson, Culture and rights in ethnic violence dalam James S Davidson dan David Henley: The Revival of Tradition in Indonesian Politict The Deployment Of Adat From Colonialism. (New York: Routledge, 2007), hal.45. 567 Istilah adatrecht sendiri pertama kali disebutkan oleh C. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” (1980) untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
2448 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
bahasa inggris sebagai ‘law’ atau ‘hukum’ dalam bahasa Indonesia.568 Defenisi adat sebagai hukum meminggirkan aspek-aspek adat yang lain seperti tradisi-tradisi sosial, religius dan seni, maupun kekuasaan ekonomi dan politik yang berbasis adat. 569 Debat tentang posisi lembaga adat cukup panas terjadi pada tahun 1950-an dan banyak pihak yang menganggap adat sesuatu yang sangat penting, namun kenyataan dilapangan sistem-sistem adat dibiarkan berjalan apa adanya tanpa ada rangsangan dan dukungan dari pemerintah. Bahkan di awal 1950-an peradilan-peradilan adat dihapus hampir di seluruh Indonesia termasuk Aceh dan digantikan dengan pengadilan negara.570 Lembaga-lembaga yang lain juga tidak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah yang lebih fokus membangun sistem administrasi negara yang modern.571 Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto institusi adat mendapat tantangan yang lebih besar lagi. Hal ini disebabkan kebijakan sentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah Suharto. Sentralisasi merupakan kebijakan di mana pemerintah melakukan intervensi sampai pada tingkat pemerintah lokal pedesaan. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan administrasi yang ketat dan serupa di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintah Desa. Alasan utama yang dimunculkan adalah kebutuhan pembangunan dan efektifitas pemerintahan. Akibatnya adalah munculnya suatu sistem yang paling sentralistis dan tidak punya fleksibilitas sedikitpun untuk memperhatikan keperluan-keperluan yang ada di daerah-daerah negara yang luas ini. Pemerintah Orde Baru tetap mengakui kemajemukan budaya dan masyarakat Indonesia dan juga posisi adat sebagai dasar pluralisme. Tetapi adat hanya diposisikan sebagai seni dan budaya.572 Jatuhnya pemerintah Suharto pada tahun 1998 menjadi momentum yang sangat penting dalam kebangkitan adat di Indonesia. Beberapa daerah menggunakan kesempatan ini sebagai awal menguatkan kembali sistem adat yang ada di daerahnya dari berakhirnya hegemoni pemerintah terhadap institusi pemerintahan lokal berdasarkan adat. Di bawah pemerintahan B.J. Habibie, Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pemerintahannya dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah di
568
C. Fasseur, Colonial dilemma: Van Vollenhoven and the struggle between adat law and western law in Indonesia” dalam James S Davidson, The Revival of Tradition in Indonesian Politict The Deployment Of Adat From Colonialism. (New York: Routledge, 2007), hal.46. 569 Carol Warren, Adat and Dinas: Village and State in Contemporary Bali, Di Geertz, Hildred: State and Society in Bali (Leiden:KITLV Press, 1991), hal. 60-61. 570 David Bourchier, Conservative Political Ideology In Indonesia: A Fourth Wave? “dalam Grayson Lioyd dan Shannon Smith, Indonesia Today, Challenges of History, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2001), 117-118. 571 Abdul Hadi, Aceh Kembali ke Masa Depan, (Jakarta: Yayasan SET Gudang Garam, 2005), hal. 2527. 572 Greg Acciaioli, Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia, “Canberra Anthropology Vo.8. 1985, hal.66.
2449 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
mana daerah-daerah memiliki kewenangan dalam membangun sistem pemerintahan dan pengelolaan keuangan sendiri.573 Kewenangan mengelola pemerintahan yang disebutkan dalam Undang-Undang Otonomi Daerah bermakna adanya kesempatan kepada masyarakat adat di berbagai daerah untuk mengembalikan peran adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan lokal. Dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru ini maka komunitas-komunitas lokal di berbagai daerah di Indonesia mulai bangkit dan menjalin komunikasi. Komunikasi antar daerah ini difasilitasi oleh beberapa LSM-LSM Indonesia.574 Dari komunikasi ini lahir sejenis gerakan yang dinamakan diri sebagai gerakan masyarakat adat. Pada tanggal 21 Mei 1999 masyarakat adat di seluruh Indonesia melakukan kongres pertama di jakarta dan menyimpulkan beberapa poin penting. Pasca jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto, di Aceh konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI) terus berlanjut. Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh pada awal reformasi ini menyebabkan banyak efek dari kebijakan pemerintah Indonesia di bawah rezim reformasi tidak berkembang, termasuk kebijakan mengenai Otonomi Daerah. Meskipun pemilihan umum tahun 1999 dan 2004 di Aceh dilaksanakan sebagaimana di daerah lain di Indonesia, namun dari sisi partisipasi masyarakat dan proses pelasanaannya dipengaruhi oleh tekanan konflik dan perang bersenjata antara pasukan TNI/Polri dengan GAM. Kondisi tersebut menyebabkan revitalisasi adat di Aceh tidak seiring dengan apa yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Namun, demikian bukan berarti di Aceh tidak ada usaha ke arah revitalisasi tersebut. Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia dan lokal Aceh memberikan dampak pada usaha revitalisasi adat. Misalnya UU No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menegaskan kembali bahwa Aceh adalah daerah istimewa dalam bidang adat, agama dan pendidikan.575 Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut pasal 3 ayat (2) meliputi: (1) penyelenggaraan kehidupan beragama, (2) penyelenggaraan kehidupan adat, (3)penyelenggaraa pendidikan, dan (4) peran utama dalam penetapan kebijakan daerah. Berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat adat lokal untuk bangkit dan memungkinkan kembali adat yang ada dalam masyarakat mereka. Status keistimewaan Aceh dikonfirmasikan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Kebijakan ini menyebabkan 573
Saleh Hasan, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Grafiti, 1992), hal. 78. Beberapa catatan yang dimiliki oleh penulis yang menjadi aktor utama pada tahun-tahun awal menaikkan kesadaran masyarakat adat di Indonesia. 575 Dasarnya keistimewaan Aceh terletak dalam perjanjian perdamaian setelah konflik Darul Islam pada tahun 1959. 574
2450 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
lahirnya 3 (tiga) lembaga baru di Aceh yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA) yang mengurus masalah adat; Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang membidangi masalah agama Islam; dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD) yang membidangi masalah pendidikan. MAA merupakan perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) yang dibentuk pada masa Gubernur Aceh Prof.Ali Hasjmy (1957-1964). Pada tahun 2003 muncul juga sebuah qanun yang cukup penting yaitu: Qanun No.4 tahun 2003 tentang Mukim. Tetapi pada masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri tahun 2003 di Aceh kembali dilakukan Operasi Militer dan UndangUndang Otonomi Khusus tidak dapat dilaksanakan. UU tersebut juga cukup banyak dikritisi oleh kelompok-kelompok masyarakat Aceh maupun pemerhati dari luar daerah. Kritik umum yang muncul adalah pada pemerintahan Aceh jauh lebih banyak memfokuskan untuk membangun sistem Syariat Islam dan menguatkan MPU termarjinalisasikan. Baru setelah proses perdamaian mulai tahun 2005 dan dasar hukum yang baru tentang Pemerintahan Aceh muncul tahun kemudian revitalisasikan adat mulai nampak di Aceh. Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu Memorandum of Understanding (MoU) yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. MoU tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”. Dan meskipun tidak menyebut kata adat pasal selanjutnya 1.1.7 yang tentang pembentukannya Lembaga Wali Nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk mengimplementasikan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA) no 11 tahun 2006. Saat ini, Undang-Undang No.18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan UU-PA. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik.576 Bab XII membicarakan tentang Lembaga Wali Nanggroe dan memposisikan Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di Aceh. Bab XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat577 yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan
576
Lihat lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 577 Tiga belas lembaga tersebut adalah : 1) Majelis Adat Aceh (MAA); 2) Imum Mukim atau nama lain; 3) Imum Chick dan nama lain; 4) Keuchik atau nama lain; 5) Tuha Peut atau nama lain; 6) Tuha Lapan atau nama lain; 7) Imum Meunasah atau nama lain; 8) Keujruen Blang atau nama lain; 9) Panglima Laot atau nama lain; 10) Pawang Glee atau nama lain, 11) Peutua Seuneubok atau nama lain; 12) Haria Peukan atau nama lain, dan 13) Syahbanda atau nama lain. (UU-PA, Pasal 98 (3).
2451 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Aceh di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Secara lebih detail, Bab XV menjelaskan mengenai mukim dan gampong. Pelaksanaan pasal-pasal UU-PA tentang Adat Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan beberapa regulasi di tingkat provinsi: Qanun No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, serta Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Kedua qanun tersebut di satu sisi menjadi indikasi keseriusan Pemerintah Aceh dalam upaya menjadikan adat yang ada di Aceh berlaku kembali dab menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintahan Aceh. Di sisi lain ini juga dapat menjadi sebuah “sentralisasi” yang dilakukan Pemerintah Aceh terhadap pluralitas adat yang ada di berbagai kabupaten di Aceh. Saat ini memiliki 23 kabupaten yang setiap kabupaten memiliki perkembangan adat tersendiri. Di daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Aceh, sekalipun memiliki adat yang khas. Misalnya perkembangan adat yang ada di Aceh Tenggara berbeda dengan adat di Aceh Timur, meskipun pada dasarnya mereka sama-sama Aceh. Implikasi dari UU-PA maupun qanun-qanun provinsi ini adalah pemerintah kabupaten diminta untuk menghidupkan kembali lembaga adat Aceh di wilayahnya masing-masing. Setiap kabupaten diwajibkan menyusun qanun mukim aturan pendukungnya sebagai wujud dari pemerintahan adat di daerahnya. Dalam qanun mukim akan diatur mengenai kelembagresaan adat yang lain pernah ada di Aceh seperti keujruen blang, panglima laot, pawang glee, etua seuneubok, haria peukan dan lain sebagainya. Bahkan ada kecenderungan memahami lembaga mukim sebagai sebuah pemerintahan di tingkat mukim, dimana selain memiliki pemimpin eksekutif (imum mukim) juga memiliki anggota legislatif yang disebut tuha lapan. Lembaga mukim juga diharapkan masuk menjadi bagian dari birokrasi resmi pemerintahan yang membawa beberapa buah gampong. Kelembagaan adat ini di level provinsi, akan dipegang oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Wali Nanggroe merupakan “kepemimpinan adat sebagai pemersatu nasyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, istiadat dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
II. Peluang dan Tantangan Peradilan Adat di Aceh dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan dan Kaum Marjinal Masyarakat yang berada di gampong-gampong di Aceh masih sering menggunakan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. Kalau ada masalah dan ternyata tidak dapat diselesaikan di antara kedua belah pihak paling sering
2452 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
masyarakat di gampong meminta bantuan keuchik578 untuk menyelesaikannya. Prosedur penyelesaian sengketa gampong lebih mirip rekonsiliasi dari pada proses hukum formal. Tetapi harus diakui juga banyak masyarakat di desa terutama perempuan dan kaum marginal yang masih sangat percaya kepada penggunaan lembaga adat untuk menangani kasus-kasus sengketa. Mereka justru merasa lebih nyaman kalau kasus dibawah sistem pengadilan non formal.579 Masyarakat miskin di gampong tidak punya pilihan tersebut, karena pada umumnya mereka tidak mampu membayar proses hukum formal yang lumayan mahal.
Pengertian Peradilan Adat Pada saat mendengar istilah peradilan adat yang paling sering terbanyang pada persepsi adalah suatu peradilan yang diselenggarakan di tingkat-tingat gampong atau desa. Peradilan adat tersebut bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa menurut adat istiadat dan kebiasaan di lingkungan masyarakat itu sendiri. Atau boleh jadi ada juga yang terbayang pada hukum-hukum adat. Untuk sampai pada pengertian peradilan adat tersebut terlebih dahulu melihat tentang hukum adat. Saat ini hukum adat (adatrecht) di Indonesia telah menjadi sebuah objek studi para ahli dan telah dipraktekkan sejak zaman kekuasaan Belanda dan Jepang di Indonesia sebagai penjelasan sebelumnya.580 Tujuan peradilan adat581 adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah antar warga di tingkat desa. Namun, keputusan yang diambil secara adat tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal. Misalnya kalau sepasang suami istri bercerai dalam peradilan adat, secara hukum adat, pasangan ini sudah resmi bercerai, namun karena hukum itu sendiri tidak mempunyai kekuatan hukum secara formal, maka masih diperlukan sebuah tahapan lain untuk mendapatkan legalitas formalnya.582 Istilah peradilan adat sekarang banyak kita dengar dari kalangan-kalangan MAA, dan beberapa LSM yang mempunyai program untuk pemberdayaan masyarakat tersebut. Sedangkan dalam kalangan masyarakat sendiri yang mempraktekkan mekanisme penyelesaian sengketa lewat lembaga peradilan adat ini tidak mengatakan menyelesaikan perkara lewat peradilan adat. Masyarakat mempunyai istilah sendiri
578
Keuchik istilah dalam penyebutan kepala desa oleh sebagain besar masyarakat di Aceh, walaupun masih ada penyebutan lain untuk kepala desa misalnya Datung Penghulu (di Aceh Tamiang). 579 Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan masyarakat kelas marginal di Kabupaten Aceh Utara, tanggal 13 Juni 2012. 580 Leena Avonius dan Sehat Ihsan Shadiqin, Adat dalam Dinamika Politik di Aceh, (Banda Aceh: ICAIOS,2010), hal. 31. 581 Muhammad Mardani, Hukum Acara Perdata-Perdata Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.44. 582 Muhammad Bushar, Azas-azas Hukum Adat (Suatu Pengantar), (Jakarta: Pradnya Pratama, 2003), hal. 14.
2453 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
seperti pedame ureung (mendamaikan orang), peumat jaroe, (bejabat tangan), meudame (berdamai). Majelis Adat Aceh (MAA) merupakan lembaga yang pertama kali mempopulerkan peradilan adat dan menjadikan program kerja yang kemudian didukung oleh beberapa NGO lokal dan internasional. Dalam pemberdayaan lembaga peradilan adat mereka mempunyai program kerjanya masing-masing dan dengan pendekatan masing-masing pula. Oleh sebab itu istilah peradilan adat sekarang menjadi lebih dikenal untuk mereka yang meneliti adat dan sebagian kecil masyarakat umum sekarang juga mulai menyebutkan istilah tersebut. Namun dalam prakteknya lembaga peradilan adat masih berlangsung menurut kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat. Meskipun banyak tokoh-tokoh adat sudah mengikuti training atau pelatihan tentang mekanisme tentang tata cara peradilan adat yang dijalankan seperti halnya peradilan formal, namun dalam prakteknya masih berjalan sebagaimana biasanya. Muhammad Umar dalam bukunya Peradaban Aceh583 mengatakan peradilan adat adalah pengadilan adat merupakan pengadilan secara adat, pengadilan adat bukan melayani orang perkara, bukan mencari mana yang benar mana yang salah, tetapi ialah mengusahakan yang bertikai untuk berbaikan/berdamai. Penyelesaian perkara melalui lembaga adat merupakan penyelesaian perkara secara damai, untuk merukunkan para pihak yang berperkara dan memberikan sanksi adat setempat. Umar juga menambahkan, kalau dilihat dari sisi filosofisnya, peradilan adat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat karena bisa tetap menjamin terjaganya keseimbangan kerukunan dan ketentraman masyarakat. Karena itu peradilan adat disebutkan juga sebagai peradilan perdamaian yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa dalam masyarakat yakni gampong dan mukim, majelis ini terdiri dari tokoh mukim dan tokoh gampong. 584 Badruzzaman585 menambahkan peradilan adat dalam konteks Aceh merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh masyarakat Aceh dan merupakan lembaga yang murah dan secara psikologi dapat memuaskan. Hal ini disebabkan pengadilan adat berusaha mendamaikan, bukan mencari siapa yang salah dan yang benar. Bahkan hal tersebur dipertegas lagi dengan hadih maja Aceh dikenal sebuah ungkapan: Hukom Lillah sumpah bek, Hukum adat ikat bek, Hukum ade pake bek, Hukom Meujroh Pake Bek. Artinya berhukum dengan hukum Allah jangan ada sumpah, berhukum dengan
583
Muhammad Umar, Peradaban Aceh (Tamadun) I, (Banda Aceh:Buboen Jaya, 2006), hal. 83. Ibid. hal. 83-84. 585 Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, yang juga merupakan dosen tetap di Universitas Syiah Kuala. 584
2454 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
hukum adat jangan diikat, hukum itu harus adil, dengan hukum perdamaian bisa ditegakkan dan beberapa hadih maja lain. 586
A.
Dasar Hukum Pelaksanaan Peradilan Adat di Aceh
Pelaksanaan peradilan adat untuk Aceh kini didukung dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Berikut ini Undang-Undang, qanun dan persetujuan yang mengatur tentang pelaksanaan peradilan adat di Aceh khususnya beberapa kabupaten yang penulis teliti (Aceh Besar, Nagan Raya, Aceh Tenggah), yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, pasal 3 dan 6 menegaskan bahwa dengan diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan syariat Islam. 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 3. Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Aceh Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. 4. Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). 5. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 6. Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat serta Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. 7. Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Gampong. 8. Qanun Aceh Besar Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tuha Peut Gampong. 9. Keputusan bersama antara kepolisian, gubernur, MAA, IAIN Ar-Raniry, Balai Syura dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 2008. Dalam MoU tersebut menyebutkan: adakalanya proses pendekatan permasalahan kamtibmas dan kejahatan untuk mencari pemecahan masalah melalui upaya memahami masalah, analisa masalah, mengusulkan alternatif solusi dalam rangka menciptakan rasa aman, bukan berdasarkan hukum pidana tapi juga hukum-hukum adat. Disamping peraturan yang telah disebutkan di atas, peluang besar yang dimiliki Aceh dalam melaksanakan peradilan adat juga didukung dengan adanya lembaga semi pemerintahan yaitu Majelis Adat Aceh (MAA) dari tingkat provinsi sampai tingkat kecamatan. MAA untuk tingkat provinsi disebut dengan MAA provinsi, MAA untuk 586
Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Utara, Peran Adat Aceh sebagai alat Pemersatu dalam Masyarakat (Ditinjau dari Sudut Pandangan Cendikiawan), (MAA Kabupaten Aceh Utara: Lhokseumawe, 2005), hal 33.
2455 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
kabupaten/kota disebut dengan MAA kabupaten/kota dan MAA untuk kecamatan disebut dengan MAA kecamatan.
B.
Perangkat Pelaksana Peradilan Adat
Penyelenggarakan peradilan adat baik di tingkat gampong maupun ditingkat mukim sangat tergantung pada suatu kasus di tingkat komunikas masyarakat baik di tingkat gampong maupun mukim. Dalam buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh587 yang diterbitkan oleh MAA Provinsi Aceh bekerjasama dengan UNDP Indonesia, Uni Eropa, APPS dan Bappenas, mencoba menawarkan mekanisme peradilan adat dijalankan seperti halnya peradilan formal. 1). Peradilan Adat di Tingkat Gampong Peradilan adat di tingkat gampong terdiri dari keuchik (kepala desa) sebagai ketua; sekretaris gampong sebagai panitera; imum meunasah dan tuha peut dan sebagai anggota, serta ulama, tokoh adat/cendikiwan lainnya di gampong yang bersangkutan (ahli di bidangnya) sesuai kebutuhan. 2) Peradilan Adat di Tingkat Mukim Sementara di tingkat mukim peradilan adat terdiri dari imum mukim sebagai ketua; Sekretaris mukim sebagai penitera; tuha peut mukim sebagai anggota, dan ulama, tokoh adat/cendikiawan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Dalam proses pelaksanaan peradilan adat yang berlangsung dalam masyarakat sebenarnya tidak terdapat perangkat peradilan/hakim peradilan yang jelas dan baku. Hal ini disebabkan peradilan adat yang dipraktekkan tidak mempunyai ketentuan yang baku, dan belum ada ketentuan hukumnya tertulis. Bahkan masih dijumpai di lapangan sekretaris desa yang seharusnya berperan sebagai panitera dalam peradilan adat yang tidak bisa baca tulis.588 Peradilan adat biasanya dipraktekkan di kalangan masyarakat dengan berbagai cara: 1. Diselesaikan sendiri antara pelaku yang bermasalah tanpa melibatkan unsur lain (menyelesaikan sendiri) dengan berdamai sendiri, misalnya dalam kasus tabrakan kecil. Kalau tidak melibatkan keluarga tidak ada proses peusijuek589 587
Lihat Buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, (MAA Aceh: Aceh, 2008). 588 Kasus seperti ada beberapa kali terjadi di beberapa kecamatan yang ada di kabupaten/kota di Aceh, diantaranya Kecamatan Cot Glie Kabupaten Aceh Besar dan Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara. 589 Peusijuek adalah suatu serimoni untuk berdamai yang dalam serimoni tersebut ada ketan kuning satu nampan, daun seunijuek, satu jenis rumput on naleung sambo, on manek mano (sejenis daun yang ada bunga kecil-kecil putih), beras, padi dan sedikit tepung. Dalam acara tersebut sebagai tanda perdamaian kedua belah pihak yang bermasalah didudukkan dalam satu tikar berdampingan kemudian
2456 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Diselesaikan dengan cara melibatkan antar keluarga yang bermasalah tanpa melibatkan orang lain atau unsur lain seperti keuchik, tanpa diselesaikan sesama keluarga yang bermasalah (secara kekeluargaan). Proses penyelesaian tergantung kasus, dan kesepakatan kedua keluarga kadang kala dengan peusijuek atau denda yang disepakati antar sesama keluarga yang bermasalah. 3. Adakalanya suatu masalah yang terjadi diselesaikan oleh orang cerdik pandai atau orang yang berpengaruh di suatu desa tanpa melibatkan perangkat desa secara formal. 4. Dengan melibatkan perangkat desa atau disebut diselesaikan secara adat oleh ureung tuha gampong, bila suatu masalah sudah dilaporkan kepada perangkat desa, maka pihak perangkat gampong memanggil pihak yang bermasalah untuk diadili dan sanksi atau hukum yang diterima tergantung kesepakatan para perangkat ureung tuha gampong proses perdamaian diakhiri dengan peusijuek. 5. Banding ke mukim, dengan melibatkan unsur mukim: bila suatu masalah tidak bisa diselesaikan di tingkat desa bisa dilakukan banding ke tingkat mukim, yang diselesaikan secara adat oleh para perangkat mukim. 6. Peradilan adat juga bisa diselesaikan oleh lembaga-lembaga adat yang lain yang khusus, tergantung masalah yang terjadi. Misalnya masalah yang terjadi di laut akan diselesaikan oleh lembaga panglima laot. Masalah yang menyangkut masalah hutan juga akan diselesaikan oleh pawang uteun dan begitu juga dengan masalah yang terjadi di lahan bisa diselesaikan oleh seneubok (tokoh adat di bidang pertanian). Dalam konteks Aceh sekarang yang sudah mempraktekkan (kembali) lembaga peradilan adat secara efektif adalah di wilayah lembaga panglima laot, sedangkan wilayah lembaga adat yang lain ternyata belum efektif berjalan. Dalam prakteknnya sekarang, peradilan adat juga belum memiliki fungsionaris yang baku dan tetap. Dari beberapa pengamatan yang dilakukan pada beberapa lokasi penelitian maka dapat disimpulkan: keuchik biasanya dilibatkan apabila ada sidang gampong secara keseluruhan; keujruen blang menangani masalah yang berkaitan dengan persawahan dan sumber air sawah; panglima laot dipanggil apabila masalah berkaitan dengan kelautan dan perikanan. Sementara lembaga adat yang lain ternyata belum begitu berfungsi seperti peutua seuneubok, harta peukan, shahbandar dan lainnya. Jika persoalan di tingkat gampong tidak selesai atau cakupannya lebih luas dari sebuah gampong, maka penyelesaiannya akan diberikan kepada imum mukim. Secara khusus imum mukim mempunyai wewenang untuk menyidangkan perkara banding yang datang dari keuchik di wilayahnya, menyidangkan perkara banding yang datang dari keujruen blang, menyidangkan perkara banding yang datang dari haria peukan, menyidangkan perkara banding yang datang dari panglima laot, menyidangkan perkara kedua orang ini dipeusijuek oleh petua adat dan keduanya disulangkan nasi ketan tadi dan akhirnya keduanya berjabat tangan tanda damai.
2457 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
banding yang datang dari imum meunasah.590 Namun, pada kenyataan lembaga peradilan adat di tingkat mukim belum berjalan karena mukim tidak punya anggaran sebagaimana halnya desa (gampong).
C.
Wewenang Peradilan Adat
Suatu perkara akan diproses secara hukum adat di tingkat perangkat gampong dengan peradilan adat bila suatu kasus sudah dilaporkan pada perangkat adat bila suatu kasus sudah dilaporkan pada perangkat gampong baik kepada keuchik, tuha peut, teungku imum atau sekretaris gampong oleh yang terlibat. Biasanya tanpa laporan dari masyarakat pihak perangkat gampong tidak beraksi kecuali dalam masalah-masalah yang sangat mendesak atau krusial seperti pembunuhan, penganiayaan dan ketertiban umum lainnya. Namun, masalah keluarga seperti ahli waris, perkawinan dan masalah lainnya meskipun diketahui oleh pihak perangkat gampong jarang sekali langsung diproses, tapi terlebih dahulu menunggu laporan. Bila suatu kasus tidak bisa lagi diselesaikan secara adat pihak gampong akan memberikan wewenang umumnya melalui hukum formal. Tetapi ternyata tidak semua masyatakat yang memiliki masalah (bersengketa) menunggu keputusan dari pihak gampong. Dalam masyarakat yang sudah tahu prosedur dan biasanya dari kalangan yang menengah ke atas bila ada masalah mereka memilih langsung memperkarakannya pada peradilan formal. Mereka beralasan untuk memperkarakannya pada peradilan formal karena legalitas hukumnya jelas. Tetapi juga pememilihan prosedur itu merupakan suatu kebanggan tersendiri karena menandakan mereka memiliki cukup uang. Di dalam gampong, warga akan mendapat prestise (kebanggaan) bila suatu masalah sudah sampai ke pengadilan formal. Ini menandakan suatu kehebatan karena sudah diperkarakan di tingkat formal bukan hanya di tingkat gampong atau mukim saja. Penjelasan dalam buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh, MAA membatasi beberapa kasus yang menjadi kewenangan peradilan adat dan di luar wewenang peradilan adat, yaitu: Tabel 1. Kewenangan Peradilan Adat di Aceh Kewenangan Peradilan Adat
Di Luar Kewenangan Peradilan Adat
Pembatasan tanah
Pembunuhan
Pelanggaran dalam pertanian lainnya
bersawah
Perselisihan antar keluarga
590
dan Pemerkosaan Narkoba, ganja dan sejenisnya
Muhammad Umar, Peradaban Aceh (Tamadun) I, (Banda Aceh:Buboen Jaya, 2006), hal. 84.
2458 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Wasiat
Pencurian berat
Fitnah
Subversif negara)
Perkelahian
Penghinaan terhadap pemerintah yang sah
Perkawinan
Kecelakaan lalu lintas berat
Masalah pelepasan ternak
Penculikan
Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan ringan)
Khalwat
Ketidakseragaman turun ke sawah
Perampokan bersenjata
(membangkang
terhadap
Sumber : Penjelasan dalam Buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh. Menurut Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat pasal 13 mengatakan sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat dalam skala kecil atau persoalan antar warga. Antara lain masalah-masalah dalam rumah tangga, masalah pelanggaran Syariat Islam, perselisihan hak milik, pencurian ringan yang masih dapat ditangani oleh perangkat adat, sengketa di tempat kerja dan lain sebagainya. Qanun ini tidak membatasi kewenangan di luar peradilan adat. Karena dalam qanun ini tidak secara jelas membatasi masalah yang diselesaikan secara adat, maka tidak tertutup kemungkinan semua masalah yang terjadi dalam masyarakat bisa diselesaikan secara adat. Apakah penyelesaian secara adat dibatasi atau tidak dalam prakteknya? sebagian besar masyarakat Aceh masih menjalankan tata cara seperti dahulu dalam menyelesaikan masalah dengan lembaga adat. Hal ini memang sangat berkaitan dengan preferensi individu yang bersangkutan dakam menyikapi masalah. Ini bisa dilihat misalnya dalam penyelesaian masalah kecelakaan telah diselesaikan secara kekeluargaan oleh perangkat adat di tingkat desa, namun bila ada warga yang tidak puas dan ia mempunyai cukup uang ia bisa saja memperkarakan kembali ke pengadilan formal. Sedangkan warga yang miskin dan tidak begitu tahu tentang hukum formal paling sering memilih cukup dengan peradilan adat di gampong saja. Kalau ditanya kepada tokoh-tokoh ada sendiri, mereka ingin meluaskan kewenangan peradilan adat. Menurut salah seorang tokoh adat dari Aceh Besar, Nagan Raya, dan Aceh Tengah, dalam konteks budaya Aceh semua permasalahan sebenarnya bisa diselesaikan secara adat, karena kesemuanya telah pernah dipraktekkan dalam masyarakat Aceh.591 Akan tetapi menurutnya sekarang pada saat lembaga adat ini mulai hendak diberdayakan lagi, banyak sekali pembatasan yang mesti diikuti. Sehingga ini dapat menghilangkan substansi dari peradilan adat itu sendiri. Padahal kalau 591
Wawancara dengan tokoh adat pada beberapa kabupaten di Provinsi Aceh
2459 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
diselesaikan menurut tatacara peradilan adat antar bertingkai akan kembali menjadi baik dan akan menjadi saudara. Berkaitan dengan wewenang adat, adat juga memiliki pembatasan wewenang dan pembatasan wewenang peradilan adat ini masih kurang jelas dan apakah suatu kasus akan di bawa ke peradilan adat atau ke peradilan formal sangat tergantung pada pilihan individu yang terlibat.
D.
Proses Penyelesaian Perkara
Proses penyelesaian perkara peradilan adat tidak pernah membedakan kasus pidana atau pidata. Pihak perangkat desa akan mengusaha menyelesaikan semua masalah desa akan mengusaha menyelesaikan semua masalah yang dilaporkan pada perangkat desa. Meskipun dalam prakteknya sampai sekarang dalam peradilan adat di tingkat desa cara penyelesaikan sengketa pinada dan perdata belum dibedakan, buku Pedoman Peradilan Adat di Aceh telah membedakan tata cara penyelesaian sengketa dan pidana. Menurut buku pedoman ini penyelesaiaan sengketa perdata/pidana mulai dengan menerima pengaduan dan proses selanjutnya adalah sidang persiapan, penelusuran duduk sengketa, sidang persiapan putusan, penawaran alternatif, rapat pengambilan keputusan dan yang terakhir pelaksanaan keputusan. Sementara penyelesaian perkara yang bersifat pidana prosesnya berbeda: setelah menerima laporan, tokoh peradilan mengamankan para pihak, melakukan penanganan khusus untuk perempuan dan anak-anak, mengkondusifkan suasana damai terutama pada pihak keluarga yang dirugikan dan dalam pelaksanaan putusan mengadakan peusijuek untuk mengembalikan kerukunan. Disamping adanya perbedaan antara perkara kasus pidana dan perkara perdata, juga perlu adanya kelengkapan administrasi dalam proses pelaksanaan peradilan adat. Alasan yang dikasih untuk kewajiban ini adalah bahwa di zaman yang semakin modern ini, administrasi peradilan gampong/mukim semakin dibutuhkan. Pembukuan setiap peristiwa dan pengumpulan data tentang kasus tersebut harus dilakukan untuk membuktikan bahwa apa yang pernah dilakukan benar terjadi dan tidak terbantahkan lagi. Kelangkapan administrasi minimal yang harus ada dalam setiap peradilan adat di gampong/mukim adalah : 1. Buku registrasi yang berfungsi untuk mencatat setiap laporan dari masyarakat tentang adanya sengketa/perkara yang terjadi dan diminta untuk diselesaikan secara adat di gampong. 2. Lembaran berita acara, yang dibuat untuk mencatat segala yang mengemuka yang muncul dalam proses persidangan. Segala data atau keterangan sedetil mungkin harus
2460 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
tercatat dalam berita acar, baik keterangan dari pihak saksi-saksi, alat bukti, maupun pertimbangan para majelis peradilan. 3. Buku induk perkara, yang berisikan hal-hal pokok dari keseluruhan penyelesaian perkara. Buku ini diperlukan untuk memudahkan menemukan sengketa-sengketa yang pernah diselesaikan. Buku ini mencatat semua kasus yang pernah ditangani, karena itu cukup satu buku untuk satu desa/mukim. 4. Lembaran keputusan perkara, merupakan surat keputusan yang lembaga yang dikeluarkan oleh pihak peradilan adat di desa tentang suatu perkara yang dilengkapi dengan nomor. Namun, dalam praktek ternyata proses penyelesaian perkara masih belum sesuai dengan cara yang dilatihkan oleh MAA. Masyarakat yang diwawancarai mengakui bahwa proses penyelesaian perkara masih belum dilengkapi dengan administrasi yang berupa buku catatan perkara. Dengan alasan di desa prosedur baru itu belum dijalankan, dengan alasan belum perlu dan warga masih mengikuti segala keputusan yang dikeluarkan perangkat desa tanpa tertulis hitam di atas putih. Kebiasaan lama masih juga dilihat dalam tata letak persidangkan, yang belum diatur seperti peradilan formal tetapi seperti rapat gampong yang biasa. Demikian juga halnya dalam masalah peran perempuan: meskipun dalam pelatihan maupun buku pedoman yang dibuat oleh MAA selalu diarahkan untuk diikutsertakan pihak perempuan, dalam praktek perempuan masih tetap merupakan hal yang tabu untuk diikutsertakan kecuali kalau perempuan tersebut dipanggil sebagai saksi.
E.
Keputusan Peradilan Adat
Keputusan peradilan adat sangat beragam. Keputusan-keputusan bisa bervariasi antara satu kasus dengan kasus yang lain meskipun jenis kasusnya sama. Selain itu keputusan-keputusan itu juga sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Beberapa jenis-jenis sanksi yang biasa dijatuhkan dalam peradilan adat di Aceh adalah diantaranya sebagai berikut: 1. Nasihat Keputusan ini bukan berupa sebuah denda yang diberikan kepada pelaku namun hanya kata-kata nasihat atau wejengan yang diberikan oleh tokoh adat kepada si pelaku atau yang melakukan kesalahan. Keputusan nasihat diberikan dalam kasus-kasus ringan, misalnya adanya permasalahan fitnah dan gosip yang tidak ada buktinya atau pertengkaran mulut antara warga karena masalah kecil.
2461 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Permintaan maaf Keputusan permintaan maaf sangat tergantung kepada kasus. Dalam kasus yang bersifat pribadi, permintaan maaf juga dilakukan oleh seorang yang bersalah kepada korbannya secara langsung secara pribadi. Namun adakalanya permintaan maaf dilakukan secara umum karena melanggar ketertipan umum. Misalnya orang yang berkhalwat (bersunyi-nyusian antara dua orang berlainan jenis) di suatu desa, menurut warga desa ia harus minta maaf karena sudah mengotori desa. 3. Diyat Dalam sanksi ini pelaku membayar denda kepada korban sesuai dengan kasus atau masalah yang terjadi. Dalam kasus yang menyebabkan keluarnya darah atau meninggal dunia, maka hukuman dan denda dinamakan dengan diyat. Diyat dilakukan dengan mebayar uang atau terhantung keputusan ureung tuha gampong (peradilan adat). 4. Denda Hukuman denda dijatuhkan sesuai dengan kasus yang terjadi. Denda juga bisa digantikan dengan wujud tidak mendapatkan pelayanan dari perangkat desa selama waktu yang tertentu. 5. Ganti Rugi Hampir sama dengan denda, ganti rugi biasanya dijatuhkan pada kasus pencurian dan atau tabrakan. 6. Dikucilkan Hukuman bisa juga diberikan oleh warga desa kepada seseorang yang sering membuat masalah di suatu desa. Misalnya seseorang yang tidak pernah ikut gotong royong, tidak pernah ikut rapat, tidak pernah ikut dalam kegiatan orang meninggal dan pesta perkawinan di desa, maka ia akan dikucilkan. Artinya, jika ia mengalami masalah dan atau ada memiliki hajatan maka masyarakat tidak peduli dan tidak membantu orang tersebut mengatasi masalah. 7. Dikeluarkan dari Gampong Seorang yang melanggar adat bisa juga dikeluarkan dari gampong oleh masyarakat. Hal ini terjadi bila seseorang mempunyai perangai seperti yang disebutkan sebelumnya ditambah lagi ada melakukan pekarjaan yang mengotori desa (mencemarkan nama baik desa). 8. Pencaputan Gelar Adat Hal ini dilakukan bila perangkat adat di desa terbukti melawan hukum adat. Misalnya kalau seorang teungku meunasah terbukti melakukan khalwat ia akan langsung dicabut gelar teungku dan tidak berhak lagi memimpin upacara keagamaan.
2462 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9. Toep Meunalee Sanksi ini dikenakan kepada seseorang yang menuduh tanpa adanya bukti. Maka orang yang menuduh, karena sudah mencemarkan nama baik orang yang dituduh, ia harus membayar denda dengan nama toep meunalee (menutup malu).
Langkah-Langkah Strategis Untuk Menjadikan Paradilan Adat Mampu Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal Tidak bisa dipungkiri bahwa daerah Aceh sebenarnya merupakan daerah yang diuntungkan dari beragam pemberdayaan dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun non pemerintahan pasca tsunami. Termasuk di dalamnya masalah pemberdayaan di bidang adat (peradilan adat). Dalam pengamatan penulis beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menjadikan peradilan adat tetap memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal. Diantaranya, yaitu: 1. Melakukan Sosialisasi Peradilan Adat Adanya kecenderungan masyarakat Aceh untuk melakukan proses melalui peradilan formal bila menghadapi masalah (kasus) akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masyarakat belum begitu mengenal kewenangan yang dimiliki oleh peradilan adat karena itu sosialisasi baik melalui buku, brosur dan komunikasi terbuka (seminar dan lokakarya) masih sangat diperlukan untuk menjadikan peradilan adat ini membumi di Aceh. 2. Penguatan Kapasitas Personel dan Kelembagaan Peradilan Adat. Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa masih sering ditemukan dalam pelaksanaan proses peradilan adat baik ditingkat gampong dan mukim tidak tertip administrasi misalnya belum dilengkapi dengan catatan berupa buku catatan perkara (tidak mencatat), contoh ini bisa dihindari bila terus menerus dilakukan penguatan kapasitas personel dan kelembagaan peradilan adat secara berkala dengan sistem yang baik tentunya. Juga masih adanya sekretaris desa yang berangkap sebagai panitera dalam proses peradilan adat yang tidak pandai membaca dan munulis, tentu kasus ini menjadi pekerjaan rumah (PR) dalam kerangka penguatan kapasitas personel dan kelembagaan peradilan adat. Penguatan kapasitas personel ini sangat penting untuk memberikan ruang gerak perhatian bagi perempuan dan kaum marginal di Aceh untuk dapat lebih diperhatikan atau berperan aktif (actor) dalam pelaksaan proses peradilan adat di tingkat desa dan mukim. Berkaitan dengan kelembagaan peradilan adat juga memerlukan beberapa penajaman terhadap qanun yang ada, baik qanun yang telah ditetapkan di provinsi maupun qanun di tingkat kabupaten/kota. Bahkan dari hasil pengamatan penulis masih banyak kabupaten/kota yang belum mengeluarkan qanun sebagai aturan pelaksana
2463 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
(juklak) dan aturan teknis (juknis) dalam pelaksanaan peradilan adat sesuai dengan kabupaten/kotanya sendiri ataupun dukungan atas qanun provinsi yang telah ada, seperti yang telah diketahui bahwa kasus yang terjadi dan keputusan untuk menyelesaikan kasus itu sifat dan karakteristiknya beragam sesuai dengan karakteristik daerah (kabupaten/kota)nya karena itu qanun kabupaten/kota sebagai pendukung terhadap qanun yang sudah ada sangat diperlukan. 3. Membangun Kerjasama Antar Lembaga Strategi ini dapat dilakukan dengan membuat forum kemitraan misalnya seprti Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) antara polisi dan gampong/mukim. Artinya masalah yang muncul di gampong tidak perlu langsung dilapor ke pengadilan atau kantor polisi, tetapi masyarakat akan dibantu polisi terlebih dahulu memecahkan masalah tersebut melalui forum tuha peut dan perangkat adat lainnya di gampong/desa. Bisa juga dilakukan kerjasama dengan lembaga lain misalnya dengan lembaga peradilan formal. Disamping itu, sering terjadi dilapangan mengecilan keputusan adat atau pelompatan setiap kasus tanpa terlebih dahulu diselesaikan di tingkat peradilan adat (gampong/mukim). Karena itu, sangat diperlukan pemberdayaan lembaga peradilan adat secara menyeluruh bukan secara parsial atau secara sepihak dan tidak ada saling koordinasi. Seandainya saja antara peradilan adat dan peradilan formal memiliki kerjasama yang baik, maka bisa saja kasus kecil yang dinaikkan dalam proses peradilan formal dibatalkan dan direkomendasikan untuk diselesaikan terlebih dahulu di tingkat desa atau mukim. Maka akan bangkit barwah (wibawa) peradilan adat dan eksistensi peradilan adat akan lebih kuat. Ini senada dengan adagium “hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut” artinya hukum dengan adat seperti zat dan sifat, lebih terasa. 4. Komitmen dan Keseriusan Pemerintah Aceh/Daerah dalam Mendukung Pelaksanaan Peradilan Adat Salah satu langkah strategis penting yang diperlukan untuk menjadikan lembaga peradilan adat tetap eksis dan memperhatikan kepentingan perempuan dan kaum marjinal di Aceh adalah perlunya komitmen dan keseriusan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota baik dari segi penganggaran sarana dan prasarana menunjang untuk kesuksesan pelaksanaan lembaga peradilan adat ini. Masih ditemui di beberapa kabupaten/kota lembaga Majelis Adat Aceh (MAA) kabupaten dan kota hanya dialokasi anggaran yang sangat minim hanya cukup untuk biaya honor tenaga di kantor MAA dan biaya ATK kantor. Bagaimana lembaga MAA yang merupakan ujung tumbang pelaksanaan peradilan adat bekerja secara maksimal sampai di tingkat desadesa bila tidak didukung dengan sistem anggaran yang baik. Untuk itu komitmen dan keseriusan para kepala daerah sangat dibutuhkan dalam mendukung peradilan adat di
2464 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Aceh baik dalam bentuk alokasi dana, sarana prasarana maupun peraturan pendukung terutama untuk memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal.
KESIMPULAN Peradilan Adat di Aceh merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki Aceh sejak zaman kolonial Belanda. Peradilan adat di Aceh memiliki pasang surut dalam pusaran kebijakan secara nasional maupun kedaerahan, sama dengan pelaksanaan adat secara umum di Indonesia. Masyarakat Aceh tanpa disadari sesungguhnya sering melakukan pemecahan masalah secara tradisional (pengadilan adat). Peradilan adat merupakan salah satu satu media bagi perempuan dan kaum marjinal untuk mendapatkan keadilan. Namun, dalam proses peradilan adat juga masih sering ditemukan bias terutama bagi kaum perempuan dan marjinal. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya: perangkat adat di gampong yang melaksanakan peradilab adat belum ada keterwakilan perempuan; bila ada kasus yang diselesiakan secara adat pihak perempuan jarang dilibatkan; dan kaum perempuan dan kaum marjinal jarang yang diikutsertakan dalam proses peradilan, biasanya diwakilkan oleh walinya, kecuali sebagai saksi. Peluang yang dimiliki peradilan adat di Aceh untuk memberikan keadilan bagi perempuan cukup besar karena adanya dukungan masyarakat, tradisi kebudayaan yang kental akan nilai-nilai keislaman; adanya dukungan peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang (Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) maupun beberapa qanun pendukung lainnya; dan adanya lembaga semi pemerintahan, yaitu: Majelis Adat Aceh (MAA). Sementara kelemahan yang dihadapi peradilan adat di Aceh, yaitu: masih kurangnya pengakuan negara/daerah terhadap eksistensinya; mulai berkurangnya kepercayaan masyarakat; dan kecenderungan masyarakat pada alternatif penyelesaian hukum yang lain. Untuk menjadikan peradilan adat di Aceh dapat memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal maka sangat memerlukan beberapa langkah strategis yang perlu diterapkan yaitu dengan cara melakukan sosialisasi peradilan adat, penguatan kapasitas personel dan kelembagaan peradilan adat, membangun kerjasama antar lembaga, dan komitmen serta keseriusan pemerintah/pemerintah daerah dalam mendukung peradilan adat di Aceh baik dalam bentuk alokasi dana, sarana prasarana maupun peraturan pendukung terutama untuk memberikan keadilan bagi perempuan dan kaum marjinal.
2465 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, 2009. Pelaksanaan Peradilan Adat dan Penerapan Hukumnya, Makalah disampaikan pada seminar Pelatihan Adat tanggal 2-3 dan 5-6 Juni 2009. Acciaioli, Greg, 1985, Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia, Canberra Anthropology Vo.8. Avonius, Leena dan Sehat Ihsan Shadiqin, 2010. Adat dalam Dinamika Politik di Aceh, Banda Aceh: ICAIOS. Bourchier, David, 2001. Conservative Political Ideology In Indonesia: A Fourth Wave? “dalam Grayson Lioyd dan Shannon Smith, Indonesia Today, Challenges of History, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Bushar, Muhammad, 2003, Azas-azas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Jakarta: Pradnya Pratama. Davidson S, James, 2007. Culture and rights in ethnic violence dalam James S Davidson dan David Henley: The Revival of Tradition in Indonesian Politict The Deployment Of Adat From Colonialism. New York: Routledge. Fasseur C., 2007. Colonial dilemma: Van Vollenhoven and the struggle between adat law and western law in Indonesia” dalam James S Davidson, The Revival of Tradition in Indonesian Politict The Deployment Of Adat From Colonialism. New York: Routledge Hadi, Abdul, 2005, Aceh Kembali ke Masa Depan, Jakarta: Yayasan SET Gudang Garam. Hasan, Saleh, 1992, Mengapa Aceh Bergolak, Jakarta: Grafiti. Mardani, Muhammad, 2009. Hukum Acara Perdata-Perdata Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika. Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Utara, 2005, Peran Adat Aceh sebagai alat Pemersatu dalam Masyarakat (Ditinjau dari Sudut Pandangan Cendikiawan), MAA Kabupaten Aceh Utara: Lhokseumawe. MAA Aceh, 2008. Pedoman Peradilan Adat di Aceh untuk Peradilan Adat yang Adil dan Akuntabel, MAA Aceh: Aceh. Noor, Arifin, 1997., Ilmu Sosial Dasar, Untuk IAIN, STAIN, PTSAIS, Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKU, Jakarta: Pustaka Setia. Warren, Carol, 1991, Adat and Dinas: Village and State in Contemporary Bali, Di Geertz, Hildred: State and Society in Bali. Leiden:KITLV Press. Umar, Muhammad, 2006, Peradaban Aceh (Tamadun) I, Banda Aceh:Buboen Jaya.
2466 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id