Indonesia
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
STAMP OUT
TORTURE
AMNESTY INTERNATIONAL
Nopember 2000 Al Index: ASA 21/60/00 Distr: SCICOIGR INTERNATIONAL SECRETARIAT, I EASTON STREET, LONDON WCIX ODW, UNITED KINGDOM
amnesty international INDONESIA Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh Nopember 2000
RINGKASAN
Al INDEX: ASA 21/60100 DISTR: SC!COIGR
Ketika protes yang dilakukan rakvat memaksa mantan Presiden Suharto untuk mengundurkan din Dl bulan Mei 1998, ada harapan besar bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang banyak tei:jadi dan dilakukan secara sistematis. yang menjadi ciri masa pemerintahan Suharto selama 32 tahun. akan berakhir. Di Aceh. pelanggaran hak asasi manusia beratterhadap para penduduk sipil banvak dilakukan dalam konteks operasi-operasi penumpasan pemberontakan terhadap kelompok oposisi pro-independen bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama periode tahun 1990 sampai 1998 ketika Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer diperkirakan beberapa ribu rakyat sipil dibunuh di luarjalurhukum. termasuk diantaranya anak-anak dan orang-orang yang sudah tua. Penahanan secara sewenang-wenang. “penghilangan” atau adanya orang-orang yang hilang serta penyiksaan juga banvak terjadi. Di Aceh. di pertengahan tahun 1998. timbul rasa optimis ketika sejumlah pemyataan serta gagasan pemerintah menunjukkan adanya kesediaan dan pihak pemerintah baru untuk memperbaiki keadaan hak asasi manusia di propinsi tersebut. Dalam usaha-usaha mi termasuk pula adanya unsur penting berupa gagasan untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di masalalu dan komitmen untuk mengajukan mereka yang bertanggungjawab ke pengadilan. Namun. pada akhir tahun 1998 keadaan hak asasi manusia di Aceh mulai memburuk lagi. Sejak Januari 1999, terdapat serangkaian operasi keamanan terus menerus yang dilakukan terhadap GAM oleh polisi Indonesia dan militer. Operasi-operasi mi juga diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia berat di banvak tempat termasuk adanva pembunuhan pembunuhan di luar jalur hukum, adanya orang-orang yang “hilang”. penahanan serta penyiksaan secara sewenang-wenang. GAM juga turut ikut bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sejumlah besar korban adalah warga sipil. termasuk perempuan dan anak-anak. Para pembela hak asasi manusia. para pekerja kemanusiaan dan yang lain-lainnya yang mencoba mendokumentasikan tindak kekerasan atau membantu para korban sendiri menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia.
Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM untuk menghentikan operasi operasi penyerangan yang diberlakukan di bulan Juni 2000 hanyamembawa sedikit ketenangan. Dan memang situasi hak asasi manusia di sana makin memburuk dalam bulan-bulan terakhir mi. Sementara itu. usaha-usaha guna membawa para pelaku pelanggaran baik di masa lalu maupun dewasa mi ke pengadilan juga macet. Laporan mi dipusatkan pada pengaruh keadaan hak asasi manusia di Aceh pada kaum perempuan. Laporan mi dimulai dengan cerita beberapa perempuan yang terjebak dalam sikius kekerasan selama dasawarsa terakhir mi dan melihat dampaknya pada kehidupan mereka. Di dalam laporan mi temiasuk pula kasus-kasus para perempuan yang menjadi sasaran pemerkosaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dilakukan baik oleh pasukan keamanan maupun GAM. Meskipun begitu banyaknya bukti atas tindak kekerasan yang dilakukan secara meluas dan sistematis, sepengetahuan Amnesty International, tidak ada sath pun kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum perempuan di Aceh yang pernah dibawa ke pengadilan. Bagian kedua laporan mi memuat keterangan tambahan mengenai keadaan hak asasi manusia di Aceh serta juga memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia, GAM dan masyarakat intemasional.
Laporan mi meringkas dokumen sepanjang 16 halaman (5180 kata). iNDONESIA: Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh (Al Index:ASA 21/60/00) dikeluarkan oleh Amnest, International pada bulan Nopember 2000. Mereka yang ingin mendapatkan keterangan lebih terperinci atau melakukan tindakan-tindakan mengenai masalah mi haruslah terlebih dahulu membaca dokumen Iengkapnya. Rangkaian laporan kami mengenai masalah mi dan pokok-pokok bahasan lainnyajuga tersedia di: http://www.amnestv.org dan siaran pers Amnesty International bisa pula didapatkan melalui email. dengan menghubungi: http://www.amnestv.org/news/emailnws.htm INTERNATIONAL SECRETARIAT, 1 EASTON STREET, LONDON WC1X 00W, UNITED KINGDOM
INDONESIA Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh Pendahuluan Kaum perempuan termasuk diantara ribuan korban pembunuhan di Iuarjalur hukum, “penghilangan”, penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan buruk yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di propinsi Aceh selama sepuluh tahun terakhir mi sehubungan dengan dilakukannya operasi-operasi polisi dan militer terhadap kelompok oposisi bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pelanggaran hak asasi manusia berat, termasuk pemerkosaan dan bentuk pelanggaran seksual lainnya terhadap perempuan dan para gadis masih terus dilakukan oleh pasukan keamanan sebagai bentuk intimidasi dan juga sebagai hukuman bagi mereka yang dicurigai mendukung GAM. GAM juga bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum perempuan di Aceh. Meskipun banyaknya bukti tentang pelanggaran yang dilakukan secara meluas dan sistematis, sepengetahuan Amnesty International tidak ada satu pun kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap para wanita di Aceh yang pernah diajukan ke pengadilan. Hanya sedikit saja kasus yang sudah diinvestigasi, namun tidak membawa kepada penuntutan. Karena tidak adanya tindakan yang diambil terhadap para pelakunya, maka kekerasan terus berlangsung tanpa adanya pemeriksaan. Tidak ada angka yang pasti mengenai jumlah total perempuan yang menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia di propinsi itu, termasuk pelanggaran yang khusus terhadap jenis kelamin (gender) yang berbeda, seperti pemerkosaan. Pada bulanAgustus 1998, Komisi Nasional HakAsasi Manusia (Komnas HAM) melaporkan telah menerima perincian dan 102 kasus pemerkosaan pada saat dilangsungkannya penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara tahun 198998. Namun, pemerkosaan di Aceh, seperti juga di tempat-tempat lain, cenderung tidak dilaporkan. Rasa malu yang berhubungan dengan pemerkosaan, rasa takut akan adanya pembalasan serta tidak adanya mekanisme institusional untuk menginvestigasi serta membawa pelakunya ke pengadilan menjadi penghalang bagi pelaporan pelanggaran-pelanggaran semacam itu.
Ada penyelidikan, tetapi tidak ada pengadilan Beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum perempuan mendapat banyak sorotan dan masyarakat. Kasus Sumiati Binti Hamzah, yang diperkosa bulan Agustus 1996 oleh seorang anggota militer Indonesia, menarik banyak perhatian sebab kasusnya merupakan salah satu dan lima kasus yang diselidiki oleh Komisi Independen
Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 2 1/60/00
2
Dampak impunifas pada kaum perempuan di Aceh
Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA), satu badan resmi yang dibentuk oleh mantan Presiden habibie pada bulan Juli 1999. Sumiati diikuti ke rumahnya saat ia pulang dan warung kecilnya pada malam han tanggal 16 Agustus 1996 oleh seorang anggota YONIF 126 yang berkedudukan di Sumatra Utara. Ketika sampai di rumah Sumiati, anggota batalyon itu masuk ke rumahnya dan memperkosanya di bawah todongan senjata. Sumiati mencoba melawan, namun karena cacat akibat penyakit polio, secara fisik Sumiati sangatlah lemah, dan di samping itu ia dibenitahu akan dibunuh jika ia terus melawan. Akhirnya Sumiati pingsan dan pada saat Ia siuman penyerangnya sudah melarikan din. Karena takut dan malu, Sum iati tidak mencenitakan kepada siapapun mengenai cobaan yang dialaminya, namun beberapa minggu kemudian Ia mendapatkan dirinya hamil akibat serangan itu. Oleh karena tidak ingin menghadapi stigma sebagai ibu yang hamil di luar pernikahan dan juga karena tidak mampu membiayai anak sendirian, Sumiati dilaporkan meminta pemerkosanya untuk membeninya ganti rugi dalam bentuk uang. Permintaan itu mula-mula ditolak, namun menurut laporan-laporan ia kemudian ditawarkan uang sebesar kira-kira US$500 dengan syarat ia tidak akan melaporkan kasus tersebut. Bulan November1999, KPTKA menyerahkan kasus Sumiati serta empat kasus lainnya ke kantor Jaksa Agung untuk diselidiki lebih lanjut. Salah satu dan kasus-kasus itu adalah mengenai pembunuhan di luarjalur hukum terhadap seorang ulama, Tengku Bantaqiah, beserta sekitar 50 orang pengikutnya pada bulan Juli 1999. Kasus itu diajukan ke pengadilan koneksitas bulan April 2000. Yang lainnya direncanakan akan segera menyusul dilakukan. Pengadilan atas kasus Bantaqiah ni merupakan langkah penting yang dilakukan pemenintah Indonesia terhadap pengakuan perlunya menahan para anggota pasukan keamanan untuk dimintal pertanggungjawabannya. Walaupun demikian proses pengadilannya mengandung cacat cela. Keprihatinan Amnesty International adalah bahwa hanya para anggota militer berpangkat rendah yang didakwa meskipun salah satu komandan mereka mengakui memberikan perintah untuk melakukan operasi yang kemudian menyebabkan terjadinya pembunuhan tersebut. Di samping itu, para saksi mata dilaporkan merasa takut untuk membenikan keterangan. Hal mi umum terjadi di Indonesia disebabkan tidak adanya program perlindungan terhadap saksi atau korban. Saat mi Amnesty International merekomendasikan bahwa masalah mi dan masalah-masalah lainnya harus segera dipecahkan sebelum kasus kasus lainnya juga disidangkan. Dan belum ada satu orang pun yang ditahan karena memperkosa Sumiati Binti Hamzah, walaupun di bulan Maret 2000 Pengadilan Militer di Medan menetapkan bahwa pelakunya harus membayar korban sebanyak 50,000 rupiah per bulan sebagal ongkos pengasuhan anak. Bulan Agustus 2000, seorang jurubicana pemenintah A/Index: ASA 21/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
3
Indonesia di Sub-Komisi PBB untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa “kebanyakan pandangan di pihak pejabat dan masyarakat umum adalah bahwa semua proses pengadilan yang berhubungan dengan Aceh harus ditunda dulu sampal dibentuknya pengadilan hak asasi manusia nasionaf’. 1 Undang undang bagi pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia sudah diloloskan oleh DPR pada tanggal 6 November 2000. Tidak jelas kapankah pengadilan itu akan mulai beroperasi dan apakah kasus-kasus Aceh di masa lalu akan diadili di sana. Sementara itu, Sumiati Binti Hamzah masih menunggu keadilan. Dalam ketidakadaan mekanisme penuntutan pertanggungjawaban, pemerkosaan dan pelanggaran hak asasi manusia Iainnya terhadap kaum perempuan masih terus dilakukan di Aceh. Bulan Maret 2000, sejumlah perempuan dilaporkan diperkosa di desa Alue Lhok di kecamatan Matangkuli, kabupaten Aceh Utara. Para anggota militer tiba di desa itu pada awal bulan dan melakukan operasi pencarian terhadap para anggota GAM di Alue Lhok serta desa-desa sekitarnya. Menurut laporan-laporan yang belum terkonfirmasikan, para pria bersenjata dan mengenakan seragam militer serta topeng memasuki sejumlah rumah di Alue Lhok pada pukul 1 dan 4 dini han tanggal 7 Maret 2000. Di semua kasus mereka meminta uang. Di beberapa kejadian, perempuan dan anak gadis yang ada di situ diperkosa dan dalam kejadian Iainnya diserang secara seksual. Sanak keluarga pria mereka diikat dan dipukuli. Laporan-laporan mengenai jumlah total korban pemerkosaan berbeda-beda berkisar dan tiga sampai empat orang, sementara sekitar tujuh orang, term asuk anak-anak gadis kecil disebutkan diserang secara seksual. Seperti halnya kasus Sumiati Binti Hamzah, kasus Matangkuli juga mendapat sorotan yang tidak biasa dan masyarakat dan sejumlah penyelidikan dilakukan. Satu tim pencari fakta yang dipimpin Komnas HAM cabang Aceh melaporkan bahwa tiga perempuan diperkosa dan kelihatannya militer bertanggung jawab atas pelanggaran itu. Komnas HAM Aceh merekomendasikan agar penyelidikan Iebih lanjut dilakukan oleh kantor Komnas HAM nasional dengan tujuan untuk memberikan keterangan lebih lanjut guna dilakukannya penuntutan. Komnas HAM Aceh juga merekomendasikan agar para saksi mata dan korban diberikan pengamanan serta para korban harus mendapat ganti rugi dan penyuluhan untuk mengatasi trauma yang diderita. Dua penyelidikan lain terhadap kasus Matangkuli juga dilakukan. Satu oleh satu tim gabungan polisi dan militer dan satunya lagi oleh tim pencari fakta yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Namun hasil penyelidikan kedua tim mi tidak pernah diumumkan. Belum juga ada seorang pun yang ditangkap, didakwa atau dibawa ke pengadilan sehubungan kasus mi. Komisi Hak Asasi Manusia. Sub-Komisi untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Pertemuan ke 52. E/CN.4/Sub.2/2000!SR.22 Ringkasan Notulen Rapat ke 22J5108/O() Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 2 1/60/00
4
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
Kasus tindak kekerasan lain terhadap kaum perempuan Kasus Sumiati Binti Hamzah dan kasus para perempuan di Matangkuli merupakan perkecualian sebab kasus kasus ni mendapatkan publisitas serta proses penyelidikan pun sudah dimulai dilakukan. Namun, sebagian besar kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa para wanita di Aceh terjadi tanpa ada yang memberikan perhatian dan tidak diapa apakan. Amnesty International masih terus menerima laporan seperti misalnya tuduhan pemerkosaan terhadap tujuh orang perempuan dan percobaan pemerkosaan terhadap tiga Iainnya di sejumlah desa di kecamatan Cot Girek, Aceh Utara pada I .‘I tanggal 14 Maret 2000. Serangan-serangan mi Para petugas Brimob sedang berpatroli di Banda Aceh © 17 April 2000 mempunyai pola yang sama Reuters, dengan pemerkosaan di Matangkuli, namun sepengetahuan Amnesty International belum ada usaha yang dilakukan untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan tersebut.
rr
Selain menjadi sasaran Iangsung pemerkosaan dan pelanggaran lainnya, para perempuan di Aceh juga mendapatkan din mereka tanpa sengaja terjebak dalam tindak kekerasan. Cut Fatin Hamama, seorang mahasiswi kedokteran berusia 23 tahun meninggal setelah tertembak di kepalanya tanggal 6 April 2000. Bus yang ditumpanginya dan Bireun, Aceh Utara menuju ibukota Banda Aceh dihentikan dalam satu operasi pemeriksaan di kecamatan Indrapuri, kabupaten Aceh Besar, dimana para anggota Brimob melakukan pengecekan atas identitas para penumpang. Pada saat bus Al Index: ASA 21/6 0/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
5
itu meninggalkan pos pemeriksaan, satu tembakan dilepaskan dan mengenai Cut Fatin Hamama. Ia meninggal keesokan harinya. Seorang pejabat senior polisi membantah bahwa pasukan keamanan bertanggung jawab atas penembakan tersebut.
Pelanggaran hak asasi manusia oleh GAM Perempuan di Aceh juga menderita pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para anggota CAM. Meskipun keterangan semacam mi sulit didapatkan, Amnesty International menerima laporan-laporan mengenai kaum perempuan yang dihukum mati di Iuarjalur pengadilan setelah dituduh menjadi mata-mata bagi militer atau karena dicurigai mempunyai saudara yang menjadi anggota pasukan keamanan. Pada tanggal 3 Februari 2000, mayat seorang perempuan yang sudah rusak ditemukan di sebuah kuburan yang dangkal di desa Paloh Dayah, kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, dimana para anggota GAM disebutkan mempunyai markas. Menurut laporan-laporan dan ornop-ornop, perempuan itu, seorang bidan dan Peureulak di Aceh Timur, diketahui sebagai informan bagi militer. Surat kabar setempat,Serambi Indonesia, melaporkan tanggal 2 Februani 2000 bahwa dua orang perempuan, Salamah (35 tahun) dan Rohani (30 tahun) dihukum mati di Iuarjalur hukum oleh CAM di desa Cot Mamplam, di Kandang, di dekat Lhokseumawe, Aceh Utara. Menurut laporan kedua orang itu dibunuh karena mereka memasok makanan kepada para anggota pasukan keamanan.
Dampak dan tahun-tahun penuh kekerasan terhadap kehidupan kaum perempuan Diperkirakan bahwa ribuan perempuan di Aceh menjadi janda dalam dasawarsa terakhir ml karena suami mereka dibunuh atau “menghilang”. Para janda dan juga wanita Iainnya menjadi sasaran Iangsung pelanggaran hak asasi manusia sebagai cara untuk menghukum bagi mereka yang suaminya atau sanak keluarga pnianya dicurigai sebagai anggota CAM. Amnesty International Nopember 2000
Z:mi J
1I3UOPdA Kelompok para ibu yang melakukan protes di Jakarta menentang tindak kekerasan. militerisme dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh dan di bagian lain di Indonesia © Reuters. 10 September 1999. Al Index: ASA 21/60/00
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
6
Empat orang perempuan dan sebuah desa di kabupaten Pidie yang diwawancarai oleh Amnesty International DI bulan JuIi 2000 mengatakan bahwa para suami mereka dibunuh di Iuarjalur pengadilan oleh militer antara tahun 1991 dan 1992. Tidak ada satu pun dan keempat perempuan mi yang mengetahui kenapa pastinya suami mereka dibunuh, namun dipercaya hal mi disebabkan karena mereka bekerja di pegunungan dan karena itu dicurigai sebagai anggota GAM. Sesaat setelah itu, para wanita mi sendiri pun disiksa, kelihatannya sebagai hukuman atas tuduhan keterlibatan suami mereka dengan GAM. Tiga dan em pat perempuan itu ditahan oleh pasukan keamanan dan semuanya disiksa, termasuk ditendangi, dibakar dengan rokok dan korek api serta dipukuli dengan kabel listrik. Seorang dan mereka menceritakan bahwa seekor kera dilepaskan dan dibiarkan mengigit serta menjambak rambutnya. Perempuan lainnya mengatakan ia dipaksa duduk di sungai hingga kepalanya saja yang tampak selama beberapa jam. Sampai delapan tahun setelah kejadian-kejadian itu, tidak ada satu pun dan empat perempuan mi yang mendapat perawatan medis yang pantas untuk mengobati luka luka mereka dan kesemuanya masih mempunyai masalah kesehatan akibat disiksa. Para perempuan mi berkerja sebagai petani guna menghidupi keluarga mereka, namun pendapatan mereka satu-satunya itu tidak cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka sehingga mereka harus putus sekolah. Kehidupan mereka pun terus terganggu oleh konflik yang berlangsung di Aceh. Akhir tahun 1999, para wanita mi terpaksa harus meninggalkan rumah mereka setelah seseorang ditembak di desa tetangga. Sejak saat itu mereka sudah kembali lagi ke desa mereka namun mereka masih merasa din mereka tidak aman. Meskipun mereka semuanya mempunyai keinginan agar para pelaku tindak kekerasan terhadap mereka dan keluarga mereka dihukum, mereka juga sudah kehilangan harapan bahwa keadilan akan ditegakan. Keinginan mereka yang utama saat mi adalah supaya bisa hidup dengan aman. Satu program kompensasi kemudian dimulai di bawah pemermntahan mantan Presiden Habibie (Mei 1998-Oktober 1999). Di bawah program mi, ratusan orangjanda, yang suaminya dibunuh atau “menghilang” antara tahun 1990-1998 ketika Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) berhak mendapatkan ganti rugi sampai sekitar satu juta rupiah. 2 Seperti banyak yang Iainnya, keempat perempuan dan Pidie ml, belum menerima uang ganti rugi dan tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya. Yang Iainnya menolak ganti rugi tersebut sebab menurut mereka uang itu tidak cukup untuk menebus kematian suami mereka. Melakukan pengungsian dalam negeri juga merupakan ciri kehidupan selama dua tahun belakangan mi bagi para wanita di Aceh. Alasan mereka untuk mengungsi 2
Bacalah di bawah mi untuk keterangan lebih lanjut mengenai status DOM di Aceh.
Al Index: ASA 2 1/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
7
antara lain adanya pencarian terhadap para anggota GAM yang dilakukan pasukan keamanan di desa-desa yang sering berakibat pada penangkapan secara sewenang wenang, pembunuhan di luar jalur hukum dan penyiksaan atau perlakuan buruk terhadap penduduk setempat; ketakutan adanya bentrokan antara GAM dan militer; serta pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para anggota GAM. Masalah pengungsian mi menjadi sangat terpolitisir pada tahun 1999. Pemandangan adanya kamp-kamp bagi para pengungsi di sepanjang jalan utama serta di halaman-halaman mesjid menjadi simbol dukungan bagi GAM serta referendum mengenai masa depan politik Aceh. Ada juga indikasi bahwa meskipun keadaan keamanan sudah membaik, para pengungsi di beberapa daerah dilarang untuk kembali ke rumah mereka oleh GAM. Jumlah pengungsi memuncak antara bulan Juni dan Agustus 1999 ketika diperkirakan sekitar 250,000 sampai 300,000 orang berpindah tempat. Selama lima bulan pertama tahun 2000, jumlah itu menurun menjadi sekitar beberapa ratus saja saja setiap terjadi. Namun, sejak Mei 2000, jumlah pengungsi meningkat kembali pada saat tingkat kekerasan di propinsi itu kembali memuncak. Kondisi di banyak kamp sangatlah buruk dan para wanita sering mengalami masalah-masalah khusus baik itu yang berhubungan dengan kesehatan mereka ataupun anak mereka. Dan karena mereka berada dalam posisi sosial yang lebih rendah artinya pula mereka tidak dilkutsertakan dalam pengambilan keputusan serta kegiatan masyarakat lainnya. Kelompok-kelompok yang bekerja dengan para janda mencatat bahwa situasi di kamp kamp bagi para wanita yang hidup sendiri, term asuk para janda, sangatlah sulit sebab mereka tidak mempunyai suami yang bisa mewakili pandangan mereka atau tidak mempunyai akses bagi informasi atau bantuan bagi mereka.
Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 21/60/00
8
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
Pada bulan Pebwar 2000, hampir 400 orang perempuan yang niewakili para wanhta di seluruh Aceh berpartisipasi dalam Konferensi Semua Wanhta Aceh (Duek Pakat ndong Aceh, DPIA) di Banda Aceh. lrii merupakan pertama katinya para wanita Aceh berkumpul bersama-sarua guna secara terbuka mendiskusikan mengenal kekhawatiran rnereka serta mengadvokasi jalan keluar damal bagi masalah poiltik, sosial dan 4 ekonomi di Meh.
4
Kongres itu berlangsung cli tangah-tengah makin meningkatnya tindak kerasan. Di bulan Januari dan Februari 2000 saja, diperkirakan ornop-omop bahwa 250 orang dibunih, dan banyak diantaranya adalah warga sipil biasa. Para peserta kongres dianam dan diintimidasi, terrnaancam akan dibunub, balk oieh GAlA maupun pasukan keamanan lndonesi resolusi 22 butbmya, Kongres itu menganggap bahwa pnorltas utarnad lan keadilan dan perdamaian. Diantara tuntutan mereka adalah; •
bahwa pemeintah harus
nilkan penggunaan kekerasan di
Aceh;
•
• •
bahwa pernerintab harus memberikan komitmen untuk membawa mereka yang bertanggungjawab menggunakan kekuatan Aceh ke depan satu sidang pengadilan yang Jir, dan bahwa investigasi hams dilakukan terhadap peanggaran hak asasi manusia balk yang dilakukan sebelum dan sesudah dicabutnya status DOM di Aceh dan bahwa pelakunya diadili; bahwa semua pihak akan menjamin adanya paling tidak 30 persen kehadiran wanhta di semua bidang politik dan inslitusi pengambilan keputusan; bahwa kaum perempuan harus menclapaikan hak penikmatan yang sama dalam bidang ekonomi dan bahwa rakyat Meh pada umumnya hams mendapatkan persentasi bagiari yang tebiti besar dan pendapatan sumber daya alam di p si 5
Latar Belakang Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatra, sekitar 1600 km dan ibukota Jakarta. Penduduknya sekitar tiga setengah juta orang. Orang Aceh sering dipandang memiliki tradisi yang sudah berakar dalam menentang dominasi yang dilakukan penguasa dan luar daerah itu. Selama seperempat abad terakhir mi rasa tidak puas pada pemerintahan Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh adanya keluhan dalam masalah ekonomi yang berhubungan dengan tidak seimbangnya pembagian pendapatan yang didapatkan dan sumber daya alam yang besar di propinsi itu. Penentangan terhadap pemerintah Indonesia makin bertambah akibat digunakannya kebijakan yang represif oleh pasukan keamanan di Aceh.
Al Index: ASA 21/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
9
Pada bulan Desember 1976 gerakan oposisi bersenjata yang baru didirikan, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menyatakan bahwa Aceh akan menjadi negara independen. Pemerintah menjawab mi dengan menggunakan kekuatan dan GAM sebagian besar bisa dilumpuhkan dalam waktu beberapa tahun saja. Namun, pada tahun 1989 GAM muncul kembali dan melakukan sejumlah serangan terhadap polisi dan instalasi millter yang menyebabkan kembali diadakannya operasi militer di propinsi tersebut. Operasi-operasi pembasmian pem berontakan yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia mengakibatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia berat, sebagian besar dilakukan terhadap penduduk sipil. Amnesty International memperkirakan antaratahun 1989 dan 1993, dua ribuwargasipil, termasukanak-anak dan orang yang sudah tua, dibunuh di luar jalur hukum dan paling tidak 1000 orang ditahan secara sewenang-wenang. Banyak diantaranya ditahan dalarrincommunicado atau tidak bisa berhubungan dengan siapapun dan dijadikan sasaran penyiksaan atau perlakuan yang buruk. Meskipun tingkat pelanggaran kemudian berkurang dalam tahun-tahun berikutnya, laporan secara teratur mengenai adanya pembunuhan di luar jalur hukum, “penghilangan”, penahanan secara sewenang-wenang dan penyiksaan masih terus diterima. Pemerintahan otoriter selama 32 tahun berakhir di bulan Mei 1998 ketika mantan Presiden Suharto terpaksa harus mengundurkan din karena menghadapi penentangan secara besar-besaran dan rakyat. Jatuhnya pemerintahan Suharto membuka satu era baru reformasi yang menimbulkan adanya harapan agar ada perubahan di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh. Sejumlah pernyataan dan gagasan yang dikeluarkan pemerintah memberikan dasar bagi rasa optimisme. Pada tanggal 7 Agustus 1998, Jendral Wiranto, Panglima TNI waktu itu, meminta maaf atas tindakan para anggota angkatan bersenjata di Aceh. lajuga mengumumkan bahwa status Aceh sebagai daerah Operasi Militer akan dicabut dan semua pasukan non-organik akan ditarik mundur. 4 Sejumlah penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang
Untuk lebih jelasnva bacalah Indonesia: “Shock Therapy” Sehagai Pemulihan Keterriban di Aceh 1989-93 (Al Index: ASA 2 1/07/93. Juli 1993). Status Aceh sebagai DOM tidak pernah secara terang-terangan diumumkan, namun pada umumnya dianggap berlaku sejak tahun 1990. Status DOM memberikan kekuasaan besar bagi militer. Penarikan mundur pasukan non-organik merujuk kepada semua unit yang tidak berada dalam struktur komando wilayah itu. Kira-kira 900 pasukan tempur. sebagian besar dan unit Kopassus dan Kostrad, ditarik mundur pada bulan Agustus 1998. Namun penarikan mundur mi lalau dihentikan sementara pada awal bulan September 1998 setelah pecahnva kekacauan di Lhokseumawe, Aceh Utara. menvusul dilangsungkannva upacara penarikan mundur. Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 21/60/00
10
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
dilakukan selama sepuluh tahun sebelumnya juga dimulal, sehingga memberikan harapan kepada para korban dan keluarga mereka bahwa keadilan akan ditegakan. Namun harapan itu hanya berumur pendek. Pada akhir tahun 1998, keadaan hak asasi manusia mulal memburuk lagi sesudah terjadinya sejumlah serangan terhadap anggota dan instalasi militer serta polisi di bulan Desember. Meskipun ada keraguan mengenai siapa yang bertanggung jawab, pihak yang berwenang menyalahkan GAM atas serangan-serangan itu dan menjawabnya dengan meluncurkan Operasi Wibawa 99 pada awal Januari 1999, dimana banyak orang ditangkap dan puluhan dibunuh. Hal mi dilkuti dengan serangkaian operasi lainnya sepanjang tahun 1999 dan 2000. Meskipun operasi-operasi itu dikepalai oleh polisi, pola operasinya hanya sedikit saja berbeda dan operasi-operasi militer sebelumnya yang bercirikan adanya banyak pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap warga sipil. Sifat pelanggaran juga sangat mirip dengan pelanggaran yang dilakukan di awal tahun 1990an dan termasuk juga pembunuhan di luar jalur hukum, “penghilangan” dan penahanan sewenang wenang. Angka-angka yang ada sulit untuk dibuktikan keakuratannya, namun diperkirakan bahwa ratusan orang telah dibunuh di luanjalur hukum selama dua tahun terakhir. Penyiksaan dan perlakuan buruk rutin terjadi baik di dalam ataupun di luar tahanan polisi atau militer sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan atau sebagal bentuk penghukuman atau intimidasi. Meskipun banyak dan mereka yang dituduh sebagal anggota GAM telah ditangkap dalam dua tahun terakhir in hanya beberapa kasus saja yang sudah dibawa ke pengadilan. Tingkat penekanan yang makin tinggi juga banyak dipandang sebagai penyebab bertambahnya dukungan bagi diadakannya referendum mengenai masa depan politik Aceh diantara penduduk Aceh. Tekanan untuk mendukung referendum mencapal puncaknya pada akhir tahun 1998 ketika pada tanggal 8 November 1998, lebih dan satu juta orang menghadiri demonstrasi pro-referendum di ibukota Banda Aceh. Demonstrasi kedua berlangsung pada tanggal 10-11 November 2000. Namun, pasukan keamanan mencegah rakyat yang melakukan perjalanan ke Banda Aceh untuk ikut berpartisipasi dengan diantaranya melakukan tembakan ke ining-iringan kendaraan. Jumlah total yang terbunuh tetap tidak bisa dikonfinmasi, tetapi diduga lebih dan 20 orang. Sementara itu, pemerintah terlibat dalam gagasan-gagasan untuk mengadakan dialog dengan GAM. Pada bulan Mel 2000, satu perjanjian ditandatangani dimana kedua pihak setuju untuk menghentikan operasi-operasi penyerangan guna memungkinkan pembagian bantuan kemanusiaan dan mempersiapkan dasar bagi perundingan lebih jauh untuk mengakhiri konflik. Kesepakatan itu dikenal dengan nama Perjanjian Jeda Kemanusiaan bagi Aceh dan mulai diterapkan pada tanggal 2 Juni A/Index: ASA 21/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
11
2000 untuk tiga bulan Iamanya. Perjanjian mi mula-mula kelihatannya berhasil menurunkan tingkat pelanggaran hak asasi manusia. Namun, dalam waktu beberapa minggu saja laporan mengenal adanya pelanggaran yang dilakukan balk oleh pasukan keamanan maupun GAM sekali lagi memuncak. Pada tanggal 24 September 2000, perjanjian itu diperpanjang tiga bulan sampal tanggal 15 Januari 2001. Pada saat yang sama kedua pihak juga setuju untuk mengambil semua Iangkah-Iangkah yang diperlukan guna meningkatkan keefektifan “Jeda Kemanusiaan” dan menegaskan kembali komitmen mereka bagi segera kembalinya dengan selamat para pengungsi, serta mencegah adanya perpindahan penduduk besar-besaran Iagi serta untuk menjamin keselamatan para pekerja kemanusiaan. Amnesty International menyambut balk kesadaran dan kedua pihak mengenal pentingnya langkah-Iangkah untuk melindungi mereka yang berkerja bagi para pengungsi serta korban pelanggaran hak asasi manusia Iainnya di Aceh. Namun, meskipun adanya komitmen-komitmen mi, pelanggaran terus berlangsung, menyebabkan masih adanya orang-orang yang harus mengungsi dan kasus-kasus pelanggaran terhadap para pembela hak asasi manusia, pekerja kemanusiaan dan aktifis Iainnya masih terus dilaporkan terjadi setelah perjanjian itu diperpanjang. Satu unsur penting bagi adanya perlindungan yang efektif adalah bahwa mereka yang dicunigal melakukan pelanggaran terhadap para aktifis kemanusiaan dan hak asasi manusia diajukan ke pengadilan.
Pelanggaran yang dilakukan GAM Para anggota GAM juga bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia di Aceh baik sebelum maupun sesudah tahun 1998. Keterangan mengenal pelanggaran yang dilakukan GAM seringkali sulit untuk dicek dan dikacaukan oleh banyaknya laporan mengenai pelanggaran yang disebutkan oleh pihak yang berwenang di media massa sebagal dilakukan pihak ketiga yang tidak diketahul. Namun, ada pula laporan laporan yang bisa dipercaya mengenal pembunuhan di Iuarjalur hukum, penculikan serta penyiksaan yang dilakukan oleh para anggota GAM balk terhadap para anggota pasukan keamanan maupun warga sipil. Korban lainnya termasuk mereka yang dituduh menjadi mata-mata militer dan orang-orang yang dicurigal GAM sebagai para kriminal. Juga ada laporan-laporan yang bisa dipercayai mengenal ancaman, intimidasi dan pelanggaran lainnya yang dilakukan GAM terhadap para pejabat pemerintah setempat, pemimpin keagamaan, para pekerja kemanusiaan dan Iain-Iainnya.
Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 21/60/00
12
Dampak impunifas pada kaum perempuan di Aceh
GAM juga dilaporkan bertanggung jawab atas banyaknya pengrusakan terhadap gedung-gedung pemerintah, termasuk seko!ah, serta telah memaksa banyak pegawai negeri untuk tidak bekerja sehingga sebagian besar kantor administrasi pemerintahan tidak lagi berfungsi. Pemerasan jugs dilaporkan dilakukan kelompok ftu dalam skala besar serta didukung oleh ancaman dan intimidasi. ‘Jeda Kemanusiaan dianggap oleh beberapa pengamat memberikan kesempatan bagi GAM untuk memperbaiki kelompoknya. Kegiatan perekrutan, termasukperekrutan anak-anak, disebutkan oleh beberapa pengamatmakin meningkat sejak diterapkannya perjanjian “Jeda Kemanusiaan” itu. GAM juga dikabarkan memperluas pengaruhnya di tingkat desa dan di beberapa daerah sudah mengambil alih fungsi pemerintahan, termasuk pengaturan peradilan lagi.
Penyelidikan dan Pengadilan “Mungkin satu hal yang paffng yang menyebabkan adanya fenomeria orang orang yang hIang adaiati adanya pembebasan dar hukuman atau impunitas. Pengalaman keiompok Keja liii seama lebih dan sepuluh tahun membuktikan kebenaran pepatah tua bahwa pembebasan dan hukuman membiakan penghinaan terhadap hukum. Para peaku peranggaran hak asasf manusia, bu warga sipil ataupun militer, akan menjadi bentambab kurang ajar jika mer dimintai pertanggurigjawaban di depan pengadilan hu1J. KeIompck kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengedhi peng4t ecara paksa laporan fahun 1991 paragr
Sejak bulan Juli 1998, sejumlah penyelidikan resmi atas pelanggaran hak asasi manusia di Aceh telah dimulai. Setiap penye!idikan mi mengumpulkan bukti-bukti dan ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan sejak tahun 1989 dan menunjuk pada adanya keterlibatan pasukan keamanan Indonesia dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut. Namun, sepengetahuan Amnesty International hanya ada dua kasus yang sudah dituntut di pengadilan dalam waktu dua tahun terakhir mi. Salah satunya dilakukan di pengadilan militer dan satu Iainnya di pengadilan koneksitas.
Penyelidikan Juli 1998: Tim Gabungan Fakta -DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim itu mengumumkan hasil penemuan sementaranya yang mengatakan bahwa tim itu A/Index. ASA 2 1/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
13
menerima laporan Iebih dan 1700 kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk diantaranya 426 kasus “orang yang menghilang” dan 320 kasus pembunuhan di luarjalur hukum. •
Juli dan Agustus 1998: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh. Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya paling tidak 781 orang yang meninggal, 163 yang “menghilang”, 368 kasus penyiksaan dan 102 kasus pemerkosaan yang dilakukan antara tahun 1989 dan 1998.
•
Juli 1999: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA) didirikan dengan sebuah dekrit presiden. Dilaporkan bahwa Komisi itu telah men gumpulkan keterangan mengenai 5000 kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh yang dilakukan selama sepuluh tahun terakhir, termasuk diantaranya berupa pembunuhan di luarjalur hukum, penyiksaan, “penghilangan”, penahanan secara sewenang-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi itu merekomendasikan agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.
•
November 1999: Sidang Komisi DPR mengenai Aceh dilakukan dimana pejabat senior militer dan pemerintah ditanyai mengenal peranan mereka dalam pelanggaran hak asasi manusia sejak tahun 1989.
•
November1999: KantorJaksa Agung melakukan penyelidikanterhadap lima kasus yang direkomendasikan untuk dituntut oleh KPTKA. Lima kasus itu masing-masing adalah kasus pemerkosaan di Pidie yang terjadi di bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan “penghilangan” antara tahun 1997 dan 1998 di satu tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan secara tidak sah atau di luarjalur hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur, Dl bulan Februari 1999; pembunuhan di Iuarjalur hukum terhadap 35 warga sipil di Simpang KKA di Aceh Utara bulan Mel 1999; dan pembunuhan di luarjalurhukumterhadap seorang ulama dan para pengikutnya di desa Blang Meurandah, Aceh Barat, bulan Juli 1999.
Sidang-sidang pengadilan •
Februari 1999: Lima orang tentara dijatuhi hukuman antara dua sampal enam setengah tahun penjara oleh satu pengadilan militer karena memukuli sampai mati lima orang tahanan di Lhokseumawe, Aceh Utara, bulan sebelumnya.
•
April 2000: Kasus pertama dan lima kasus yang diinvestigasi oleh Kantor Jaksa Agung diajukan ke pengadilan koneksitas di Banda Aceh. Seorang warga sipil dan
Amnesty International Nopember 2000
A/Index: ASA 2 1/60/00
14
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
24 orang tentara dinyatakan bersalah membunuh seorang ulama, Tengku Bantaqiah. bersama lebih dan 50 pengikutnya di Aceh Barat bulan Juli 1999. Mereka dijatuhi hukuman antara delapan setengah tahun sampat sepuluh tahun penjara.
Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap wanita mengunjungi Indonesia dan tanggal 20 November sampai 4 Desember 1998. Meskipun Pelapor Khusus mi bisa mengunjungi Timor Timur, permintaannya untuk masuk ke Aceh dan man Jaya (yang kini dikenal clengan Papua) ditolak oteb pemerintah Indonesia. Dalam laporannya ia menyimpulkan bahwa: •
• •
Sebelum Mei 1998, pemerkosaan digunakan sebagai alat penyiksa dan intimidasi oteh komponen-komponen angkatan bersenjata Indonesia di Aceh. Irian Jaya dan Timor Timur, dan bahwa pemerkosaan masih terus benlangsung; Sistem peradilani pidana tidak sensitif terhadap masalah gender dan, selain itu, ada budaya penyangkalan yang membuat sulitnya penegakan hukum yang efektif: Kerangka kerja hukum yang dipakai sehubungan dengan kekerasan terhadap perempuan tidak menyertakan standar-standar yang sudah diadvokasikan di tingkat internasional termasuk yang berkaitan dengan pemerkosaan, tindak kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.
Rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh Pelapor Khusus itu antara lain adalah: •
Pemenintah hams meratifikasi semua instrumen hak asasi manusia. terutama Konvenan lntemasional tentang Hak-hak Sipil dan Potitik (ICCPR): • Pemenintah lndonesia harus mempertimbangkan mempercepat proses reformasi hukum dan memberlakukani amandemen pada hukum pidana yang mencerminkan standar-standar intemasional paling mutakhir sehubungan dengan tindak kekerasan terhadap wanita; • Pemenntah Indonesia harus mengambil tangkah-langkah khusus untuk memperbaiki rasa percaya masyarakat terhadap sistem pengadilan pidana. terutama yang berhubungan dengan tindak kekerasan terhadap wanita. Potisi harus beroperasi secara independen dan pasukan keamanan hams rnerumuskan kebijakan hak asasi manusia dan ikut senta dalam pelatihan hak asasi manusia secara ektensif; • Para anggota pasukan keamanan yang diduga melakukan pemerkosaan hams :::.:::!. Jrukan ke sidang pengadilan sfpll antuan khusus harus dibenikan untuk menangarli trauma psikologis yang disebabkan oleh tindak kekerasan terhadap perempuan; dan bahwa para konban harus dibeni ganti nugi; dan program khusus harus dibentuk untuk membantu anak anak dan pare korban pemerkosaan yang ditakukan pasukan keamanan; dan perhatian khusus harus dibenikan kepada para janda yang suaminya dibunuh oleh pasukan keamanan Indonesia. ..
.:.::
Al Index: ASA 21/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
15
Rekomendasi-rekomendasi Kasus-kasus yang diperinci di atas menggambarkan satu pola pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan terhadap perempuan di Aceh. Kaum perempuan terutama sangat rentan terhadap pelanggaran yang khusus berhubungan dengan jenis kelamin atau gender seperti pemerkosaan dan bentuk pelanggaran seksual lainnya. Resiko mi dipertinggi dengan adanya iklim kekerasan dan ketidakadaan hukum yang membayangi Aceh serta iklim adanya impunitas (pembebasan dan hukuman) yang membuat para pelaku pelanggaran yakin bahwa mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka. Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) danjuga sebagai negara peserta sejumlah instrumen hak asasi manusia, termasuk Konvensi melawan Penyiksaan dan Perlakuan Kejam yang lain, Tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan dan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengatasi pelanggaran semacam itu dengan memberikan jaminan bahwa para pelakunya akan diadili dan bahwa para korban akan menenima ganti rugi, termasuk dalam bentuk kompensasi. Amnesty International mengimbau pemerintah Indonesia untuk: melakukan penyelidikan yang bisa dipertanggungjawabkan mengenal tuduhan adanya pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan dewasa mi di Aceh; menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk mereka yang memberikan perintah untuk melakukannya, dibawa ke pengadilan yang sidangnya memenuhi standar internasional mengenai keadilan (fair); •
membentuk program-program yang efektif bagi perlmndungan terhadap para korban dan para saksi yang dipanggil untuk memberikan keterangan atau kesaksian pada saat proses pengadilan; mengambil Iangkah-Iangkah yang efektif untuk menjammn bahwa perempuan bisa ikut serta secara aktif dalam proses semacam itu tanpa merasa malu atau takut akan adanya pembalasan;
•
menjamin bahwa para anggota pasukan keamanan berada di bawah perintah serta dilatih untuk melakukan tugas mereka sesuai dengan standar internasional mengenai hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan; terutama, menjamin bahwa para wanita tidak menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pemerkosaan dan bentuk penyiksaan Iainnya;
Amnesty international Nopember 2000
Al index: ASA 2 1/60/00
16
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
•
mengambil langkah-Iangkah yang patut untuk menjamin bahwa sistem pengadilan pidana mempunyai kepekaan atas soal-soal gender, termasuk dengan memberiakukan hukum pidana yang mencerminkan standar-standar internasional paling mutakhir sehubungan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan;
•
mengambil langkah-Iangkah khusus untuk melindungi hak asasi para wanita di Aceh, termasuk hak mereka untuk bebas dan diskriminasi dan untuk mendapatkan ganti rugi atas tindak kekerasan di masa lalu yang dilakukan terhadap mereka atau keluarga mereka; perhatian khusus harus pula diberikan untuk membantu anak anak para korban yang diperkosa oleh pasukan keamanan dan para janda yang suaminya dibunuh pasukan keamanan;
•
memastikan bahwa mereka semua yang harus mengungsi di Aceh, termasuk perempuan dan anak-anak, dilindungi dan pelanggaran hak asasi manusia serta mempunyai akses terus menerus dan tidak dihalang-halangi ke organisasi organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia;
Amnesty International mengimbau GAM untuk: •
menyatakan komitmen di depan umum akan mematuhi hukum kemanusiaan internasional sebagaimana dijabarkan dalam Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa, terutama bahwa mereka yang tidak ikut ambil bagian secara aktif dalam permusuhan harus diperlakukan secara manusiawi dan tidak boleh dijadikan sasaran tindakan kekerasan seperti pembunuhan, penyiksaan atau penyanderaan;
•
menjamin bahwa kaum perempuan tidak dijadikan sasaran pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pemerkosaan dan bentuk-bentuk pelanggaran seksual Iainnya, serta mendeklarasikan penentangan secara total terhadap semua bentuk tindak kekerasan terhadap wanita.
Amnesty International mengimbau masyarakat internasional, terutama negara donor untuk Indonesia, untuk:
•
menanyakan mengenai kasus-kasus yang dibahas di atas kepada pemerintah Indonesia serta memberikan tekanan pada pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajiban hak asasi manusianya terhadap para wanita di Aceh sesuai dengan rekomendasi yang sudah disebutkan di atas;
•
mengembangkan strategi bantuan dan investasi untuk Indonesia yang bisa memperkuat perlindungan den pemajuan hak asasi manusia, termasuk dukungan bagi program-program yang ditujukan untuk meminta pertanggungjawaban militer
Al Index: ASA 2 1/60/00
Amnesty International Nopember 2000
Dampak impunitas pada kaum perempuan di Aceh
17
di pengadilan sipil serta Iangkah-Iangkah yang ditujukan untuk memerangi diskriminasi terhadap wanita; menyediakan bantuan khusus dan terus menerus kepada sejumlah besar korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, bantuan khusus harus diberikan pula dalam menangani trauma psikologis yang disebabkan oleh tindak kekerasan terhadap wanita.
Amnesty International Nopember 2000
Al Index: ASA 2 1/60/00