Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh
Perempuan dalam Konflik Aceh KHAIRUL HASNI Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760 Diterima tanggal 17 Mei 2011/Disetujui tanggal 24 Juni 2011 This is a study about women in Aceh during and after conflict. Serius human right violation against women, including rape and another forms of sexual abuse, have been reported in Indonesia’s Aceh during the last decades. The military repression continued for a decade until the collapse of Suharto’s authoritarian goverment in May 1998. Democatization started since then, but it did not affect the situation in Aceh as the military continued the internal war which was endorsed by the post-Suharto civilian president. The oppotunity for peace finally arrived in the end of 2004 when Aceh was hit by tsunami. This research treis to understand how the condition of women changed before and after the peace-settlement. Many literatures on Aceh’s conflict tend to highlight the “success story” of its post-conflict recovery which has been suported by various approach. However, this research found that women are still marginalized in various recontruction initiative largely due to the very lack of gender equality perspective in these effort. Therefore, Acehnes women face new challenge in the age of “peace”. Keywords: Conflict War, Violent, Human right.
Pendahuluan Tahun 1980 Aceh menjadi konflik bersenjata ketika Presiden Soeharto memerintahkan operasi militer besar-besaran terhadap gerakan separatis di Aceh. Represi militer terus terjadi selama satu dekade sampai runtuhnya Soeharto, pemerintah otoriter pada bulan Mei 1998. Demokratisasi dimulai sejak saat itu, tetapi tidak mempengaruhi situasi di Aceh, militer melanjutkan perang internal yang telah disahkan oleh presiden pascaSoeharto. Kesempatan untuk perdamaian akhirnya tiba di akhir tahun 2004 ketika Aceh dilanda tsunami. Seperti kampanye militer mengenai perjuangan gerilya gerakan separatis di Aceh, Soeharto memutuskan untuk menempatkan Aceh di bawah status DOM (Daerah Operasi Militer) tahun 1989, dalam rangka melakukan pembersihan terhadap GAM (Gerakan Aceh Mardeka). DOM telah mengambil alih hak-hak orang Aceh dalam berbagai bidang: pendidikan,
ekonomi, budaya dan politik.44 Soeharto dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) meluncurkan kampanye militer untuk mengalahkan dan menangkap orang Aceh, kelompok separatis GAM. Selama DOM, ABRI telah melakukan semua bentuk pelanggaran hak asasi manusia, pembunuhan ekstra-yudisial, penculikan, penyiksaan, menangkap sewenang-wenang dan pelanggaran lainnya di Aceh.45 Operasi ABRI telah membuat posisi perempuan terbelenggu di Aceh, mereka sangat menderita dengan perkosaan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Selain itu, aparat keamanan yang mencari anggota GAM, juga melakukan pembakaran dan menghancurkan rumahrumah masyarakat.46 Meningkatnya eskalasi “Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Seri Aceh II”, Buletin Kontras (Februari 2006), hal., 17. 45 Veena Siddharth, “Next steps for Aceh after the peace pact,” The Jakarta Post (August 26, 2005). 46 Kontras, op.cit., hal.52. 44
19
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni DOM, ABRI tidak hanya menangkap tersangka anggota GAM tetapi juga warga negara biasa.47 Diperkirakan bahwa sekitar 3.000 orang tewas dan lebih dari 1.400 orang hilang selama DOM. Pada bulan Agustus 1998, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengumumkan untuk mencabut status DOM di Aceh. Wiranto juga meminta maaf rakyat Aceh untuk kesalahan yang telah dilakukan oleh ABRI selama periode DOM sejak tahun 1989.48 Namun, penghentian DOM tidak signifikan mengubah situasi di Aceh. Menurut Bantasyam, direktur eksekutif Hak Asasi Manusia Care Forum (FPHAM), sebuah LSM nasional, dan sejumlah besar orang menjadi korban kekerasan bahkan setelah Agustus 1998. Data Forum menunjukkan bahwa, antara tanggal 8 Agustus, 1998 dan 21 Desember 1999, 534 orang tewas di Aceh. Dengan demikian, kekerasan berlanjut di Aceh tanpa status DOM. ABRI, yang berganti nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) setelah pemisahan polisi dari ABRI pada tahun 1999, dibenarkan kampanye militer di Aceh sebagai upaya untuk mencegah disintegrasi nasional didorong oleh GAM. Presiden baru, BJ Habibie, yang secara konstitusional menggantikan Soeharto sebagai wakil presiden, mencoba mencari jalan untuk rekonsiliasi di Aceh. Pemerintah Habibie mengirimkan wakilnya ke Banda Aceh untuk melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat Aceh di Masjid Baiturahman Banda Aceh pada Maret 1999.49 Di sini, Habibie berjanji untuk menyelidiki dan menilai para pelaku pelanggaran HAM di Aceh. Dia juga berjanji untuk merehabilitasi para korban perang. Dengan inisiatif ini, serangan militer di Aceh menurun untuk jangka waktu tertentu. Selama presiden Habibie (1998-1999) dan berhasil presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), TNI terutama difokuskan pada tindakan defensif terhadap GAM yang melakukan serangan sporadis tentang TNI. Karena ini posisi defensif, GAM berhasil meningkatkan kekuatan, dan ada eskalasi serangan oleh GAM sejak tahun 2000, 47
Aceh Damai Dengan Keadilan, op.cit., hal.10. Aceh Damai Dengan Keadilan, ibid., hal.37. 49 Indonesia The War in Aceh, Human Right Watch Vol 13, No 4-C (August 2001). 48
20
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh khususnya di kota kedua Aceh yaitu Lhokseumawe, di mana markas gas alam dan Mobil / bandara Exxon berada. Untuk memahami perlawanan GAM, penting untuk mengetahui fakta bahwa banyak orang di Aceh tidak puas dengan pelayanan pemerintah yang dijanjikan pemulihan Aceh. Sebagai contoh, pemerintah membentuk Komisi Independen Anti Kekerasan dan Hak Asasi Manusia Investigasi, tetapi Komisi berakhir tanpa ada kesimpulan yang jelas. Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan beberapa penyelidikan tapi, sekali lagi, hasilnya tidak mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan sistematis selama DOM. Seperti yang diamati oleh Sidney Jones, Direktur Asia Human Right Watch, pemerintah Indonesia pada umumnya dan Komnas-HAM pada khususnya kecewa dan gagal muram untuk menyelidiki keseriusan pelanggaran hak asasi manusia.50 Amnesty International juga mengecam pemerintah Indonesia yang mencoba untuk mengidentifikasi kekerasan di masa lalu sebagai masalah kejahatan, bukan pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah sikap pemerintah yang mulai dicurigai masyarakat Aceh mengenai komitmen Jakarta untuk memecahkan masalah pelanggaran hak asasi manusia selama era Soeharto. Mencerminkan frustrasi rakyat Aceh, aktivis mahasiswa setempat menyelenggarakan kongres mahasiswa Aceh pada tahun 1999 dan kemudian mendirikan Pusat Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang mempromosikan kampanye lokal untuk menuntut referendum, ini belajar dari kasus Timor Timur pada bulan Agustus 1999. Kenyataan, ratusan ribu orang Aceh telah berbaris mendukung tindakan serupa penentuan nasib sendiri di wilayah Indonesia di Aceh.51 Pada bulan Agustus 2001, pemerintah baru yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri adalah bertentangan dengan 50
Poor Work from Indonesian Right Commission On Aceh, (New York: March 15, 2002). 51 Michael Richardson, “Indonesians Warn Against Aceh Referendum,” [Artikel online], International Herald Tribune News (November 11, 1999), tersedia di: http://www.iht.com/ articles/1999/11/11/indo.2.t_7.php.
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni gerakan referendum dan cenderung untuk mengalahkan gerakan itu dengan kekerasan.52 Pada tanggal 19 Mei 2003, pemerintah Megawati, yang tekanan dari kepala ultra-konservatif tentara-staf Jenderal Ryamizard Ryacudu, diperkenalkan darurat militer di Aceh dan mulai menyebarkan pasukan besar dari Jakarta untuk menindak GAM dan simpatisannya. Enam bulan kemudian, pada November 2003, pemerintah mengakhiri darurat militer, tetapi diadopsi sebagai "darurat sipil" status di Aceh untuk melanjutkan operasi militer untuk enam bulan ke depan. Sekitar 40.000 prajurit TNI dan unit tambahan dari Brigade Mobile Polri dikerahkan sejak deklarasi pertama darurat militer pada Mei 2003. Menurut Elsam, saat itu sekitar 3.000 orang meninggal dan sekitar seratus ribu orang terpaksa menjadi pengungsi di beberapa tempat.53 Pemerkosaan dan jenis lain kekerasan seksual adalah bagian dari peperangan di Aceh. Wanita mengalami kerugian, perpindahan, kekerasan dan marjinalisasi. Sebagian besar tinggal di ketakutan dan diam di bawah ancaman konstan tindakan militer. Banyak perempuan kehilangan anggota keluarganya dalam pertempuran dan banyak perempuan yang menjadi sasaran kekerasan berbasis gender. Umumnya, para korban dibawa dari rumah mereka oleh pihak militer yang ingin memeriksa apakah atau tidak wanita yang terlibat dalam sayap GAM, atau "Inong Bale," atau adalah janda dari anggota GAM. Ini adalah modus operandi yang umum digunakan oleh militer untuk melakukan kekerasan seksual, yaitu perkosaan. Pelecehan seksual secara luas dilakukan pada saat militer datang ke rumah-rumah masyarakat dengan alasan mencari GAM serta Inong Bale. Kebanyakan wanita diminta untuk membuka kain mereka untuk memeriksa apakah mereka memiliki simbol "bulan dan bintang" (simbol bendera GAM) di dada mereka. Dalam kondisi demikian, ada banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Wanita yang menjadi korban
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh kekerasan seksual juga menderita tekanan sosial dari masyarakat. Mereka sering dipersalahkan menjadi gagal untuk menjaga kehormatan keluarga dan seluruh masyarakat. Bahkan ada kasus bahwa masyarakat tempat mereka tinggal mengusir mereka karena mereka dituduh melakukan hubungan seks dengan musuh. Keadaan terus berlanjut hingga akhirnya konflik mulai berakhir di tahun 2004. Muncul pertanyaan tentang bagaimana perempuan aceh pasca konflik yang berkepanjangan tersebut. Studi ini akan mencoba menjawab pertanyaan ini. Pendekatan dan Metode Study ini dilakukan dengan pendekatan wawancara dan case study dengan peristiwa yang terjadi di Aceh selama terjadinya konflik dan setelah konflik. Pendekatan ini dipilih untuk mengali persoalan yang terjadi Aceh selama konflik 1998-2004 yang mengakibatkan kondisi perempuan masih mengalami berbagai persoalan. Tulisan ini telah menggunakan metode analisis case study dan pengumpulan data dari berbagai organisasi. Perdamaian Aceh Pada tanggal 9 Desember 2002, baik pemerintah Indonesia dan GAM setuju untuk menandatangani Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA). Perjanjian ini difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC), sebuah LSM perdamaian internasional di Swiss. Menurut Elsam, setelah dialog antara pemerintah dan GAM yang signifikan untuk mengurangi insentif konflik. Namun, dalam kenyataannya, baik TNI dan GAM tidak bersedia untuk mengurangi pasukan mereka.54 Kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak menyulitkan HDC untuk memfasilitasi perdamaian di Aceh.55 Kegagalan CoHA tampaknya memiliki beberapa alasan. Pertama, kedua pihak tidak dapat menyetujui pengaturan kembali operasi militer yang sah di Aceh. Kedua, mereka tidak bisa Stephen Sherdock, “Conflict in Aceh: A Military Solution,” Current Issue Brief No. 32 (2002), hal. 03. 55 “Aceh: Balloting for Peace and Democracy,” Report of International Observation Missions (2006), hal. 16. 54
“Aceh a Fragile Peace,” ICG Asia Report No. 47 (27 February 2003), hal. 5. 53 ”Aceh: Mengapa kesepakatan penghentian permusuhan sulit dipertahankan,” Elsam Briefing Paper No. 2 (30 April 2003), hal. 3. 52
21
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni sepakat tentang status politik masa depan Aceh, terutama mengenai tingkat otonomi daerah. Ketiga, hak Aceh mengelola sumber daya sendiri ekonomi tidak ditentukan. CoHA sepenuhnya didukung oleh Uni Eropa (UE), dan misi pemantauan yang didukung oleh Thailand dan Filipina. Jepang juga mencoba untuk membantu promosi CoHA dengan menjadi tuan rumah pertemuan negosiasi antara pemerintah Indonesia dan GAM di Tokyo pada Mei 2003.56. Namun, semua upaya ini tidak bisa mencegah keruntuhan CoHA. Segera setelah pertemuan Tokyo, pemerintah Megawati mengumumkan darurat militer, yang secara efektif melanggar CoHA dan membawa Aceh kembali ke era perang internal. Kampanye militer di Aceh selama darurat militer dan darurat sipil terus sampai dengan Desember 2004. Namun, ada tanda perubahan di pihak Indonesia sejak Oktober 2004 ketika Megawati dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan pertama presiden negara itu langsung diadakan pada bulan September tahun. Segera setelah lahirnya pemerintahan baru, Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla diam-diam melakukan negosiasi dengan para pemimpin GAM untuk menemukan "exit" dari civil emergency. Di tengah negosiasi, Aceh dilanda tsunami pada 26 Desember 2004. Tsunami yang terkena lebih dari 200.000 orang. Ironisnya, bencana ini telah menjadi momentum penting untuk memulai sebuah negosiasi perdamaian resmi antara pemerintah dan GAM. Pada kenyataannya, baik TNI dan GAM percaya bahwa perang tidak dapat dilanjutkan setelah tsunami Aceh yang hancur total. Pemerintah meminta Marti Ahtisaari untuk mengkoordinasikan negosiasi perdamaian, dan pada bulan Agustus 2005, baik pemerintah dan GAM akhirnya setuju untuk menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki. MoU meminta Jakarta untuk meninggalkan operasi militer di Aceh dan mengurangi sejumlah besar pasukan. MoU juga meminta GAM untuk melucuti diri dan meninggalkan kemerdekaan dari Indonesia. 56
Rodd McGibbon, Secessionist Challenge In Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution, (East-West Center: Washington, 2004), hal. 46.
22
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh Perjanjian damai disambut baik oleh masyarakat internasional. Untuk memantau janji kedua belah pihak, Aceh Monitoring Mission (AMM) didirikan dan muncul pada bulan September 200557. MoU meminta Jakarta untuk meninggalkan operasi militer di Aceh dan mengurangi sejumlah besar pasukan. MoU juga meminta GAM untuk melucuti senjata dan meninggalkan kata “kemerdekaan” dari Indonesia. Perjanjian damai disambut baik oleh masyarakat internasional dan masyarakat Aceh. Untuk memantau janji kedua belah pihak, Aceh Monitoring Mission (AMM) didirikan dan muncul menjadi ada pada bulan September 2005.58 Masyarakat internasional menanggapi dengan cepat dengan pemerintah dan organisasi nonpemerintah berjanji dekat dengan US $ 6 miliar untuk rekonstruksi di Aceh. kontribusi sendiri pemerintah Indonesia membawa total hingga sekitar US $9 miliar.59 Presiden Yudhoyono cepat untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa pemerintah serius tentang memerangi korupsi. Namun, korupsi di Indonesia tersebar luas, dan segera menjadi perhatian bagi masyarakat internasional dan kelompok masyarakat sipil di Aceh. Kemudian, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR) untuk mengembangkan kebijakan dan program untuk Aceh pasca-konflik. BRR juga bertugas mengalokasikan dana rekonstruksi dari luar negeri. Namun, BRR segera menjadi gudang korupsi, birokrat Indonesia, politisi lokal Aceh dan mantan anggota GAM menjadi sibuk untuk mencari uang dan peluang bisnis dalam proses rekonstruksi Aceh. Perlindungan politik reorganisasi di Aceh pasca-Helsinki. Kenyataan, kekuatan elit politik-ekonomi kewalahan mengusung keinginan masyarakat sipil di Aceh. Perda57
Christine Susanna Thjin, “Post Tsunami Reconstruction and Peace Building in Aceh: Political Impacts and Potential Risks,” Working Paper Series, Center for Strategic and International Studies, (Jakarta: October 2005), hal. 5. 58 “The Indonesia Human Right Campaign: Resounding victory for democracy in Aceh,” Majalah Tapol (14 January 2007). 59 “Rebuilding a Better Aceh and Nias,” World Bank (2005), hal. 63.
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni maian telah tiba di Aceh, tapi gerakan masyarakat sipil untuk "demokratisasi" masih jauh dalam perjalanan proses politik Aceh. Reintegrasi telah menjadi fokus dari proses perdamaian di Aceh. Tugas melaksanakan program reintegrasi jangka panjang dibayangkan oleh MoU Helsinki diberikan kepada Otoritas Reintegrasi Aceh (BRA). Sebagai hasilnya BRA baru hanya berfokus pada programprogram sosial dan ekonomi dan telah didanai hampir seluruhnya oleh anggaran nasional. Meskipun banyak tantangan program reintegrasi BRA telah berhasil memberikan bantuan ekonomi untuk mantan kombatan GAM, mantan kelompok-kelompok milisi antiseparatis, masyarakat yang terkena dampak konflik, dan keluarga warga sipil yang tewas selama konflik. Bencana tsunami yang mengerikan menyebabkan hilangnya nyawa, properti, dokumen hukum, mata pencaharian, dan lapar. Sementara perkiraan bervariasi, sekitar 230.000 orang tewas oleh gempa bumi dan tsunami di Aceh, dan sekitar 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.60 Karena kerusakan itu begitu besar dan mewajibkan darurat penyelamatan, pemerintah Indonesia membuka Aceh kepada masyarakat internasional untuk memberikan bantuan. Setelah tragedi tsunami, ada berbagai inisiatif untuk menyelesaikan konflik Aceh, termasuk: (1).Masuknya mantan anggota GAM untuk mendukung dialog untuk mengakhiri konflik Aceh; (2).Komitmen untuk proses perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi (DDR); (3).Komitmen untuk melaksanakan pemilihan langsung untuk kepala pemerintah daerah (Pilkada);61 (4).Pemerintah berencana untuk mempromosikan pembangunan rekonstruksi dan perdamaian; (5). Keterlibatan aktor-aktor internasional dan pemain lokal, khususnya dalam menangani perumahan dan tempat penampungan dan pembangunan kesejahteraanterkait lainnya, memberikan suasana yang baik untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. 62 Daniel Fitzpatrick, “Restoring and Confirming Right to Land in Tsunami-Affected Aceh,” UNDP/OXFAM Report (14 July 2005), hal. 1. 61 Christine Susanna Tjhin., op.cit., hal. 6. 62 Ibid., hal. 7. 60
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh Setelah tsunami, perundingan perdamaian berlangsung di Finlandia, dan dimediasi oleh sebuah organisasi non-pemerintah yang dipimpin oleh mantan presiden Martti Ahtisaari Finlandia. Indonesia dan GAM setelah pembicaraan damai yang cukup lama menandatangani nota kesepahaman (MoU) di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Aceh telah menjadi ruang politis paling dinamis di Indonesia sebagai akibat dari gerak politik yang baru dilahirkan oleh MoU ini.63 Semua upaya berkaitan dengan reintegrasi, rekonstruksi dan pembangunan perdamaian di Aceh dipandu oleh prinsip keseluruhan memberikan kontribusi bagi masyarakat yang lebih adil dan merata. Sejak perjanjian perdamaian di Aceh dibuat, telah mengembalikan situasi keamanan yang mengejutkan. Selanjutnya, berdasarkan undangan resmi dari pemerintah Indonesia dan dengan dukungan penuh dari kepemimpinan GAM, menjamin pelaksanaan MoU Helsinki di Aceh, Uni Eropa telah membentuk apa yang disebut Aceh Monitoring Mission (AMM), yang dipimpin oleh Mr Pieter Feith dari Uni Eropa. Salah satu tujuan utama pembentukan AMM adalah untuk memastikan bahwa pelaksanaan berbagai aspek perjanjian damai yang ditetapkan dalam MoU Helsinki berjalan di jalur yang benar. Pembentukan AMM merupakan bagian dari menyediakan monitor untuk proses perdamaian di Aceh oleh Uni Eropa, bersama dengan lima negara kontribusi dari ASEAN (Thailand, Malaysia, Brunei, Filipina dan Singapura), Norwegia dan Swiss. AMM sedang melakukan muatan dalam rangka untuk berkontribusi pada solusi damai, komprehensif dan berkelanjutan untuk konflik di Aceh. Sejalan dengan ini, baik pemantauan situasi hak asasi manusia dan proses perubahan legislatif dan reintegrasi anggota GAM adalah diantara pekerjaan AMM di Aceh setelah penandatanganan MoU Helsinki.64 Mandat AMM untuk melaksanakan tanggung jawab yang termasuk DDR (pelucutan Aguswandi, “The Politic Process in Aceh: a new beginning” Conciliation Resource (2008). 64 Rizal Sukma, Resolving the Aceh Conflict: the Helsinki Peace Agreement, (Jakarta: CSIS, 2005), hal. 12. 63
23
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni senjata, demobilisasi, dan reintegrasi) sebagai kerangka kerja bagi proses perdamaian. 65 Selain itu, fasilitasi ekonomi diramalkan dalam MoU untuk mantan tahanan politik pejuang amnesti dan efektif sipil. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk langkah-langkah fasilitasi ekonomi bagi mantan kombatan GAM sementara dilakukan untuk mengerahkan seluruh 3.000 kombatan itu.66 Pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan janji pada amnesti dan mengampuni dari tahanan politik. Namun, selama dua tahun, amnesti untuk kombatan tidak terlaksana. Oleh karena itu, AMM memfasilitasi diskusi antara pihak yang datang ke kesepakatan bahwa amnesti harus segera dipromosikan. Berdasarkan laporan dari AMM, proses perdamaian di Aceh telah datang untuk kemajuan positif. Oleh karena itu, AMM mengumumkan untuk mengurangi jumlah kantor pemantau di Aceh. Dari 15 September 2006 misi akan berfungsi dalam konfigurasi 36 monitor. Kantor-kantor wilayah AMM telah ditutup pada 11 September 2006. Peran Perempuan yang Terpinggirkan Gubernur Aceh mengatakan, meskipun partisipasi dalam pembuatan kebijakan pemerintah sangat penting untuk perempuan Aceh, kita harus menyadari bahwa partisipasi perempuan tidak dapat terjadi begitu cepat.67 Kenyataan, jumlah perempuan yang berpartisipasi dalam proses perdamaian formal masih sangat kecil di Aceh. Pemberdayaan Perempuan Biro Pemberdayaan Perempuan atau Biro (Biro PP) Provinsi Aceh merupakan salah satu lembaga yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Biro PP juga telah bekerja sama dengan LSM lokal dan internasional dan organisasi untuk membentuk lembaga regional untuk pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Pada awalnya dibentuk untuk mengkoordinasikan pengembangan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan 65
Ibid., hal. 11. Ibid., hal.15. 67 “The Peace Procces: Involvement of Women,” Crisis Management Initiative (August 2006), hal. 25. 66
24
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh di Aceh, tapi seiring waktu seperti yang dijelaskan di bawah ini, peran dan fungsinya telah melemah. Permasalahan lain adalah membatasi partisipasi perempuan dalam pemerintahan pengambilan keputusan adalah agama. Pasal 2 Qanun (peraturan daerah) tegas mengatakan bahwa pemberdayaan dan perlindungan perempuan di Aceh harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip Syariah (Hukum Islam), budaya Aceh, menghormati hak asasi manusia, keadilan gender dan kesetaraan, transparansi dan akuntabilitas, non-diskriminasi dan perlindungan korban. Sayangnya, draft Qanun mengabaikan perlindungan hak-hak perempuan Aceh dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan, ekonomi, hak sosial dan budaya, hak-hak politik, dan hak hukum. Tabel 1 Keterwakilan Perempuan Aceh dalam Lembaga Politik Women
Men
Total
INSTITUTION
Provincial Parliament Governor Head of District Head of Provincial Bodies Head of Provincial Office Head of Provincial Bureaus
3
% 5.2
55
0 0 0
0 0 0
1 21 15
2
8.33
22
1
8.33
11
% 94. 8 100 100 100 91. 6 91. 6
58 1 21 15 24 12
Sumber: diolah dari berbagai sumber. Masalah atas semua tercermin dalam realitas di bawah-representasi perempuan Aceh pada pemerintah daerah (lihat Tabel 1). Keterwakilan perempuan dalam lembaga politik sangat minim. Hal ini secara luas diharapkan organisasi perempuan memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan kedua negara bagian dan lokal. Mereka diharapkan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum berkaitan dengan posisi dan masalah perempuan, keluarga dan anak-anak. Pengalaman organisasi beberapa wanita dalam proses perdamaian di Guatemala berakar pada mobilisasi politik sebelumnya massa perempuan. Banyak organisasi perempuan yang tidak memiliki partisipasi yang kuat selama konflik, tetapi mereka memiliki tujuan yang jelas untuk terlibat dalam proses perdamaian dan pembentukan masyarakat di masa depan.
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni Di Aceh, Kongres Perempuan (Duek Pakat Inong Aceh) didirikan. Hampir 400 perempuan dari semua latar belakang (banyak di antaranya telah menderita akibat langsung dari konflik bersenjata) berkumpul dalam dialog pada bulan Februari 2000. Mereka berbagi pengalaman menyakitkan mereka, membentuk ikatan yang kuat dan direncanakan untuk masa depan. Berbagai harapan bahwa mereka akan mampu membuat Aceh lebih baik dan damai yang merupakan persyaratan mutlak untuk Aceh yang lebih baik mereka menyerukan dialog prioritas terhadap penyelesaian konflik dan bagi partisipasi perempuan lebih besar dalam semua keputusan politik-keputusan. Pada bulan April 2005, Duek Pakat Inong Aceh II (Kedua All-Aceh Kongres Perempuan), diselenggarakan oleh Balai syura ureueng Inong Aceh (BSUIA).68 Kongres menekankan perlunya memperbaiki perempuan, partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam keputusan politik, ekonomi, dan budaya pembuatan Aceh.69 Syariah, atau hukum Islam, diperkenalkan di Aceh pasca-konflik sebagai suatu kebijakan untuk mempromosikan otonomi daerah. Hal ini dianggap sebagai langkah menuju perdamaian di Aceh. Mengingat tingginya tingkat religiusitas, dan tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan norma agama, nampaknya banyak orang Aceh baik mendukung gagasan Syariah atau setidaknya pasif menerimanya. Namun, tidak banyak orang Aceh percaya bahwa syariah mempunyai relevansi dengan resolusi konflik. Masalah ini dipandang sebagai salah satu tidak menyentuh pada akar konflik Aceh. Penerapan hukum syariah di Aceh dipandang sebagai komoditas politik bagi elit di Jakarta dan Banda Aceh. Namun demikian, proses pengembangan sistem Syariah telah berlanjut.70 LSM di Aceh (MISPI misalnya, IDLO) memiliki program pada "women and Syariah “The Aceh Peace Processes: Involvement on Women,” United Nation Development Fund for Women (UNIFEM) and Center for Community Development Education (CCDE), (Augustus 2006), hal. 9. 69 Loc.cit. 70 Troy Jonhson, “Voice for Aceh: Perspective on Syariat Islam,” SEARC Working Paper Series No. 97 (November 2007), hal. 4. 68
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh law" bekerja bersama-sama dengan ulama (guru agama) untuk menyediakan informasi deskriptif terutama hak-hak perempuan, tapi hati-hati melangkah dengan birokrasi Syariah Islam. Pemerintah provinsi telah melakukan upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran di antara anggota masyarakat ketentuan Syariah yang telah disusun untuk Qanun. Penutup Tragedi tsunami membawa sebuah komitmen baru bagi perdamaian di Aceh, dan pada tanggal 15 Agustus 2005 Nota Kesepahaman bersejarah antara pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Uni Eropa dan ASEAN telah mendukung proses perdamaian dengan membentuk Misi Pemantau Aceh untuk memantau pelaksanaan MoU, termasuk decommissioning of weapons, mobilisasi pejuang GAM, dan reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat mereka. Politik impunitas, jenis yang paling umum dari pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan gender terhadap perempuan (perkosaan dan jenis lain kekerasan seksual) merupakan bagian dari peperangan di Aceh. Namun, kasus-kasus pengadilan pasca-konflik terhadap kekejaman HAM di Aceh sejauh ini telah benarbenar tidak memuaskan. Dampak kekerasan terhadap perempuan selama konflik memiliki efek trauma, dampak merugikan kesehatan, dan hilangnya kesempatan pendidikan dan produktivitas yang diderita oleh wanita telah menyebabkan hilangnya kontribusi sosial penuh perempuan dalam membangun kembali Aceh. Perempuan terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan di berbagai bidang program pos-konflik (pemerintah daerah, program-program rekonstruksi, dan masalah hokum). Dalam hal ini, kondisi perempuan masih jauh dari rasa damai. Terlepas dari kenyataan bahwa Jakarta dan masyarakat internasional telah menekankan pendalaman perdamaian di Aceh sejak tahun 2005, isu-isu gender hampir tak tersentuh. Di sini terlihat bahwa upaya membangun kembali Aceh berdasarkan budaya tradisional ternyata tidak sensitif gender. Secara sistematis meminggirkan peran perempuan dalam kehidupan lokal.
25
Jurnal POLITEIA|Vol.4|No.1|Januari 2012 Khairul Hasni Daftar Pustaka Aguswandi. 2008. The Politic Process in Aceh: a new beginning. Conciliation Resource. Fitzpatrick, Daniel. 2005. Restoring and Confirming Right to Land in Tsunami-Affected Aceh. UNDP/OXFAM Report (14 July). Jonhson, Troy. 2007. Voice for Aceh: Perspective on Syariat Islam. SEARC Working Paper Series No. 97 (November). McGibbon, Rodd. 2004. Secessionist Challenge In Aceh and Papua: Is Special Autonomy the Solution. East-West Center: Washington. Richardson, Michael. 1999. Indonesians Warn Against Aceh Referendum. [Artikel online]. International Herald Tribune News (November 11). Tersedia di: http://www.iht.com/articles/ 1999/11/11/indo.2.t_7.php. Siddharth, Veena. 2005. Next steps for Aceh after the peace pact. The Jakarta Post (August 26). Sherdock, Stephen. 2002. Conflict in Aceh: A Military Solution. Current Issue Brief No. 32. Sukma, Rizal. 2005. Resolving the Aceh Conflict: the Helsinki Peace Agreement. Jakarta: CSIS. Thjin, Christine Susanna 2005. Post Tsunami Reconstruction and Peace Building in Aceh: Political Impacts and Potential Risks. Working Paper Series, Center for Strategic and International Studies. Jakarta: October. _________. 2011. Indonesia The War in Aceh. Human Right Watch Vol 13, No 4-C (August). _________. 2007. The Indonesia Human Right Campaign: Resounding victory for democracy in Aceh. Majalah Tapol (14 January). __________. 2006. Aceh: Balloting for Peace and Democracy. Report of International Observation Missions. _________. 2006. Aceh Damai Dengan Keadilan: Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Seri Aceh II. Buletin Kontras (Februari). __________. 2006. The Aceh Peace Processes: Involvement on Women. United Nation Development Fund for Women (UNIFEM) and Center for Community Development Education (CCDE)(Augustus). __________. 2006. The Peace Procces: Involvement of Women. Crisis Management Initiative (August). _________. 2005. Rebuilding a Better Aceh and Nias. World Bank. ________________. . 2003. Aceh a Fragile Peace. ICG Asia Report No. 47 (27 February). __________. 2003. Aceh: Mengapa kesepakatan penghentian permusuhan sulit dipertahankan. Elsam Briefing Paper No. 2 (30 April). __________. 2002. Poor Work from Indonesian Right Commission On Aceh. (New York: March 15.
26
ISSN: 0216-9290 Perempuan dalam Konflik Aceh