Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015), pp. 247-275.
POTENSI KONFLIK PEMERINTAH ACEH DAN PUSAT DALAM BIDANG PERTANAHAN POTENTIAL CONFLICT BETWEEN ACEH GOVERNANCE AND THE GOVERNMENT OF INDONESIA IN LAND FIELD Oleh: Ria Fitri
*)
ABSTRAK Pasal 12 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa, bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengertian urusan wajib dimaksudkan “adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan di semua daerah”. Ketentuan tersebut menimbulkan ketidak pastian apabila dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang merupakan sandaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), secara tegas dinyatakan bidang pertanahan harus dikuasai oleh Negara demi terciptanya kemakmuran rakyat. untuk mengetahui dan menjelaskan potensi konflik kewenangan bidang pertanahan di Aceh dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan implikasi potensi konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam bidang pertanahan. Kata Kunci: Potensi, Konflik, Pemerintah Aceh, Pertanahan. ABSTRACT Article 12 (2) Point d of the Act Number 23, 2014 regarding Regional Governance states that in the field of land, it is compulsory task aimed at it is conducted by everu region. This rule causes uncertainty if it is related to Article 33 (3) of the Indonesian Constitution 1945, which a base of the Act Number 5, 1960 regarding the Main Regulation of Land, it is stipulated in the field must be controlled by the state for the people wealth. It also explores the potential conflict between the Government of Aceh and Indonesia by the implementation of the Act Number 11, 2006 and its implication. Keywords: Potential, Conflict, Aceh Governance, Land.
PENDAHULUAN Tanah merupakan benda yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Dari tanah manusia mendapatkan nafkah, di atas tanah manusia mendirikan bangunan untuk tempat tinggal dan di dalam tanah manusia dikebumikan ketika meninggal dunia. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia sama sekali tidak bisa dipisahkan dari tanah. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mempergunakan tanah. 1 Sementara *)
Ria Fitri, S.H.,M.Hum adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
1
Kertasapoetra, dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. hlm. 78 ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
itu, kebutuhan tanah yang terus meningkat seiring bertambahnya manusia, sedangkan persediaan tanah sangat terbatas baik jumlah maupun luasnya tetap dan tidak bertambah dalam segala dimensi kebutuhan manusia. Otonomi daerah telah memperoleh materi muatannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam Pa sal 18 ayat (2) disebut bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam ayat (5) disebutkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas -luasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Sebagai implementasi dari Pasal 18 UUD 1945, diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara normatif berdasarkan Pasal 14 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan otonomi di bidang pertanahan kepada Pemerintah Daerah. Pemberian Otonomi daerah secara luas kepada Pemerintah Daerah, memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan secara otonom sesuai dengan potensi dan karakteristik masyarakat dan daerah. Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan juga bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengertian urusan wajib dimaksudkan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 “adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan di semua daerah”. Di bidang pertanahan, ketentuan tersebut menimbulkan ketidak pastian apabila dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran dari UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Secara tegas dinyatakan bidang 248
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
pertanahan harus dikuasai oleh Negara demi terciptanya kemakmuran rakyat Hal ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Pasal 2 UUPA berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata pembentukan hukum tanah nasional maupun peraturan pelaksananya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat. 2 Banyak persoalan yang harus dibenahi oleh pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah, persoalan yang menyangkut kewenangan di bidang pertanahan, haruslah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. 3 Pemerintah pusat terkesan ingin tetap menguasai semua kewenangan di bidang pertanahan. Sementara itu pemerintah daerah juga ingin mendapat
bagian
urusan
pertanahan
sesuai
dengan
undang-undang.
Melihat
perkembangannya, pemerintah justru mengeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan ataupun petunjuk pelaksanaan yang membingungkan pemerintah daerah, bahkan peraturan tersebut justru secara hirarki bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Pemerintah ternyata masih tetap mempertahankan Kantor Badan Pertanahan Nasioanal, baik di provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai instansi vertikal dan mempertahankan kewenangan pertanahan sebagai kewenangan pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Bidang Pertanahan. Pemerintah selanjutnya lebih menegaskan kewenangannya di bidang pertanahan dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada tanggal 11 April 2006. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tersebut menyebutkan bahwa, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral, kemudian disebutkan juga Badan Pertanahan Nasional mempunyai 21 fungsi. Fungsi tersebut antara lain adala h pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umum bidang pertanahan serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan 2
Arie Sukanti Hutagalung, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 112. 3 Supriyanto, Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 2, Mei 2009, hal. 1.
249
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
wilayah-wilayah khusus. Mengacu pada ketentuan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 200 6 tersebut, praktis pemerintah daerah hanya menjadi penonton, karena semua kewenangan di bidang pertanahan menjadi urusan Badan Pertanahan Nasional yang notabene adalah instansi vertikal yang menjalankan tugas pemerintah di bidang pertanahan baik di pusat maupun di daerah. Sehubungan dengan kewenangan pemerintah daerah di bidang pertanahan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Peraturan Pemerint ah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, namun kemudian peraturan pemerintah ini, khususnya urusan di bidang pertanahan tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari tumpang tindihnya aturan kewenangan di bidang pertanahan. Mencermati peraturan perundang-undangan yang mengatur soal kewenangan di bidang pertanahan, nampak jelas adanya ketidaksingkronan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi Aceh mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2006, “Aceh adalah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenamgan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur”. Pemberian otonomi khusus pada Provinsi Aceh menjadi peluang untuk mempertegas ketidakjelasan kewenangan otonomi di bidang pertanahan. Pemerintah Aceh berkeinginan untuk menjadikan urusan pertanahan menjadi urusan yang berada dibawah Perangkat Daerah Aceh. Hal ini dituangkan dalam Pasal 253 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 Tahun 2006, 250
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
bahwa Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat Daerah dan Perangkat Kabupaten/Kota paling lambat awal tahun 2008. Selanjutnya pada ayat (2), Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengalihan Kantor Wilayah Bandan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh, merupakan keinginan Pemerintah Aceh disatu sisi dapat memperjelas bentuk kewenangan secara otonomi di bidang pertanahan. Namun disisi lain memimbulkan benturan dengan peraturan perundang-undangan lainnya dibidang pertanahan, pemerintah pusat tetap menginginkan agar bidang pertanahan menjadi kewenangan pemerintah pusat yang hanya dilimpahkan kepada daerah secara dekonsentrasi dan medebewind. Hal ini menyebabkan kemungkinan akan berpotensi konflik Pemerintah Aceh dan Pusat di bidang pertanahan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan potensi konflik kewenangan bidang pertanahan di Aceh dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, dan implikasi potensi konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam bidang pertanahan.
TINJAUAN PUSTAKA 1) Teori Kewenangan Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.
251
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Setiap tindakan atau perbuatan pejabat administrasi dalam menjalankan tugas -tugasnya harus dilandasi Kewenangan sah yang di berikan oleh peraturan perundang-undangan. Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. 4 Jadi dalam konsep hukum publik, kewenangan atau wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut: Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orangorang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.5 Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.6 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
4
Philipus M. Hadjon, “tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September – Desember , 1997
5
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981. hlm 29.
hlm.1.
6
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000, hal. 22.
252
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).7 HD. Stout dalam Ridwan HR. dengan menyetir pendapat Goorden menyatakan wewenang adalah “het geheel van rechten en plichten dat hetzij expliciet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend” (keseluruhan hak dan kewajiban yang secara ekplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum public). F.P.C.L. Tonner berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara). 8 Secara Umum wewenang adalah merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan hukum publik. 9 Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 10 Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu 11.
7
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm.. 35-36 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 98. 9 Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. hlm 78. 10 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65. 11 Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 93 8
253
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten).
12
Nikolai
menghubungkan kewenangan dengan tindakan dan perbuatan pemerintah, dinyatakan wewenang pemerintahan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu, yakni tindakan atau perbuatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam wewenang pemerintahan itu tersimpul adanya hak dan kewajiban dari pemerintah dalam melakukan tindakan atau perbuatan pemerintahan.13 Antara tugas dan wewenang di satu pihak dengan hak dan kewajiban di pihak lain mempunyai hubungan yang fungsional satu sama lain. Sehingga penentuan tugas dan wewenang pemerintahan akan menjadi pengukur apakah hak dan kewajiban dijalankan sebagaimana mestinya atau telah terjadi tindakan atau perbuatan pemerintahan yang melampaui batas keweangan yang diberikan kepadanya (misbruik van recht), ataukah telah terjadi tindakan atau perbuatan pemerintah berupa penyalah gunaan wewenang ( detournament de pouvoir). Sebaiknya hak dan kewajiban memungkinkan para pejabat pemerintahan melakukan tindakan atau perbuatan baik berupa tindakan hukum maupun tindakan atau perbuatan konkret tertentu. Tanpa adanya hak dan kewajiban yang dilekatkan pada tugas wewenang pejabat pemerinhan tersebut, maka tentunya segala tugas dan wewenang tidak dapat diwujudkan secara kangret dalam bentuk tindakan atau perbuatan pemerintah. Dalam konsepsi negara hukum, wewenang pemerintah diperoleh dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman menyatakan: Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen.slechts de wet kan bevoegdheden verdelen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen attibueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspectuers, inspector voor het milieu enz) of aan special collegen (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen.
12
Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1. 13 P. Nicolai, et al, Bestuursrecht, Amterdam, 1994. hl. 4.
254
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
(Organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undangundang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat).14 Senada dengan pendapat Huisman dikemukakan oleh P. de Haan dalam Aminuddin Ilmar, bahwa wewenang pemerintah tidaklah jatuh dari langit, akan t etapi ditentukan oleh hukum (overheidsbe voegdheden komen niet uit de lucht vallen, zij worden door het recht genormeerd). 15 Jadi wewenang adalah kekuasaan yang mempunyai landasan hukum
agar
tidak timbul kesewenang-wenangan dalam tindakan dan perbuatan dalam menjalankan tugastugas pemerintahan.
2) Konsepsi Hukum Tanah di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Ruang lingkup Agraria yang dituangkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tahun 1960, dijelaskan bahwa tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan bukan pengaturan tanah dalam segala aspeknya, malainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Effendi Perangin menyatakan bahwa hukum tanah adalah keseluruhan peraturanperaturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak -hak penguasaan
14 15
R.J.H.M. Huisman, Algemene Bestuursrecht, een Inleiding. Kobra Amterdam, tt, hlm 7. Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Prenamedia Group, Jakarta, 2014. hlm.104.
255
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkret.16 Pada konsideran UUPA dijelaskan, bahwa hukum Tanah Nasional yang akan dibagun di dasarkan pada hukum adat dalam pengertian hukum adat yang telah di “saneer”, artinya norma-norma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih hidup dan mengikat masyarakat. Menurut FX. Arsin Lukman, hukum tanah nasional merupakan fokus utama yang ingin digali dengan maksud menemukan identitas diri mengenai pertanahan nasional, dan kewenangan dari pemerintah dan Negara Indonesia dengan segala aspeknya yang dikaitkan dengan konsep kesejahteraan (wefare state) khas negara Indonesia yang sesuai dengan era glabalisasi saat ini
17
Dalam konsideran tersebut dijelaskan juga sifat komunalistik relegius yang
memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan. 18 Dalam rumusan Pasal 5 UUPA, dinyatakan bahwa: hukum agraria yang berlaku atas bumu, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercermin dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandarkan pada hukum agama. Sifat komunalistik relegius yang bersumber dari hukum adat sebagai salah satu ciri yang dituangkan dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional, sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan, bahwa “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan Tanah Air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai 16
Effendi Perangin, Hokum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandangan Praktisi Hokum, Rajawali, Jakrta, 1989, hlm. 195. 17 FX. Arsin Lukman, dalam Arie Sukanti, Perguatan Pemikiran Dan Aneka Gagasan Seputar Hokum Tanah Nasional, FHUI, Depok, 2011, hlm .91. 18 Boedi Harsono, Hukum Agraria di Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1999. hlm. 225
256
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
bangsa Indonesia”. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2)nya, “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Menurut Boedi Harsono, konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. 19 Pernyataan rumusan tersebut menunjukkan, sifat komunalistik konsepsi hukum tanah nasional, semua tanah wilayah negara menjadi tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang bersatu menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan konsepsi relegius ditujukan dalam pernyataan rumusan bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonsia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Mengakui dan menempatkan hak bangsa sebagai hak penguaasaan atas tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air terhadap seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti hak -hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individu atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak bangsa. 20 Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Untuk
19
Ibid, hlm. 229. Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konplik pertanahan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 41. 20
257
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
melaksanakan tujuan tersebut, Negara Republik Indonesia mempunyai hubungan hukum dengan tanah diseluruh Wilayah Republik Indonesia agar dapat memimp in dan mengatur tanah-tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia atas nama Bangsa Indonesia melalui peraturan perundang-undangan, yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya. 21
3) Pengertian Konflik Kewenangan Bidang Pertanahan Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keadaan yang sama. Secara umum konplik atau perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang berlainan antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama. 22 Menurut Kamus Ilmiah Populer
kata “Konflik” adalah pertentangan, pertikaian,
persengketaan, dan perselisihan. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan pertentangan, percekcokan. Sebagai suatu gejala social, konflik agrarian adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. 23 Berdasarkan pengertian dan peristilahan tersebut, dapat dipahami
kata konflik
mempunyai pengertian yang cukup luas, termasuk dalam hal ini ketidak jel asan dan ketidak sepahaman dalam kewenangan antara Pemerintah daerah dan pusat dalam bidang pertanahan dalam rangka otonomi daerah yang seluas-luasnya dan otonomi khusus yang diberikan pada daerah-daerah tertentu seperti Provinsi Aceh. Kewenangan di bidang pertanahan antara pemerintah daerah dan pusat, secara atribusi di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. 21
Boedi Harsono, Sejarah, Op.Cit. hlm 269. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Paradilan Tata Usaha di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm.25. 23 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Kataloq Perpustakaan Nasional, Yoqyakarta, 2000. hlm.85. 22
258
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Menurut H.D Stout, dalam menjalankan kebijaksanaan, menetapkan dan melaksanakan daerah harus memiliki wewenang. Wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan yang berkenaan dengan penrolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintah oleh subjek hukum public dalam hubungan hukum public. 24 E. Utrecht dalam bukunya Pengatar Hukum Administrasi Negara Indonesia melihat bahwa kekuasaan (gezag, authority) lahir dari kekuatan (matcht, power) apabila diterima sebagai sesuatu yang sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai penguasa (otoriteit). 25 Soejono Soekanto lebih melihat wewenang sebagai kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat. 26 Bagir Manan berpendapat bahwa kekuasaan (macht) menggambarkan hak berbuat atau tidak berbuat, sedangkan wewenang berarti hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten). Nicolai menyebutkan bahwa mengenai hak dan kewajiban adalah hak memberikan pengertian kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menurut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara itu kewajiban untuk memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 27 Tugas kewajiban pengelolaan tanah dalam bidang hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menguasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Kewenangan hak menguasai Negara sebagai mana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA meliputi: a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
24
Stout H.D. Debetekenisen van de wet, W.E.J Tjeen Willink, Zwolle, 1994, Hlm. 102 dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Penerbit Alumni, Bandung, 2004, hlm. 40 25 Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia, 1960, hlm 43. 26 Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1988. hlm 79-80. 27 Nicolai, P & Oluver, B,K, Bestuur, Amsterdam, 1994 hlm. 4, dalam Irfan Fancruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Penerbit Alumni, Bandung, 2004 hlm 39-40.
259
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pada ayat (4) dinyatakan; wewenang yang bersumber pada hak menguasai tersebut, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Menurut Arie Sukanti, apabila dikelompokan, aspek kewenangan-kewenangan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi: a) kewenangan dalam aspek fisik meliputi penataan persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah; b) kewenangan dalam aspek yuridis meliputi penataan hubungan hukum, perbuatan hukum serta administrasi pembuktiannya; c) kewenangan dalam aspek politis meliputi penataan penguasaan dan pemilikan tanah. Berdasarkan pengelompokkan kewenangan di bidang pertanahan, dengan demikian urusan pertanahan dapat dikelola berdasarkan asas: a) Asas dekonsentrasi, apabila urusan pertanhan tersebut dilaksanakan oleh perangk at pemerintah pusat yang ada di daerah; b) Asas desentralisasi, apabila urusan peranahan tersebut diserahkan menjadi urusan pemerintah daerah; c) Asas pembantuan (medebewind, apabila urusan pertanahan tersebut dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah. Penafsiran dalam memaknai ketentuan Pasal 2 UUPA, menyebabkan timbulnya ketidak jelasan kewenangan bidang pemerintahan antara pusat dan daerah yang menjadi pemicu konflik di bidang pernahan. 260
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
PEMBAHASAN 1) Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah Bidang Pertanahan Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan sebelumnya juga diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan UUD 1945, kekuasaan pemerintahan tersebut diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan, yang kebijakan-kebijakannya dalam menjalankan urusan pemerintahan tetap berada di pemerintah pusat. Pengertian dari asas desentralisasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini diartikan, penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom berdasarkan asas otonomi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerin tah pusat, kepada instasi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/walikota sebagai penanggunjawab urusan pemerintahan umum. Sedangkan tugas p erbantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagaian urusan pemerintahan yang menjadi kewenagan pemerintah pusat atau pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi. Pembagian urusan pemerintahan, dimaksudkan agar memperjelas kewenangan yang akan dilaksanakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang terdiri dari: a) Urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya me njadi kewenangan pusat; b) Urusan pemerintahan konkuren, yaitu dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota; 261
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
c) Urusan pemerintahn umum, yaitu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Urusan pemerintahan absolut lebih lanjut dirincikan dalam Pasal 10 terdiri dari enam bidang yaitu; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Dalam menjalankan urusan yang absolut ini, pemerintah pusat dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertical yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Urusan pemerintah konkuren, yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas urusan pemerintahn wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan pemerintah wajib berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Pertanahan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang wajib yang tidak be rkaitan dengan pelayanan dasar. Sesuai dengan kewenangan urusan yang diatur dalam UU No 23 Tahun 2014, bahwa diluar dari enam kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat merupakan kewenangan dari daerah. Ini artinya di luar dari enam kewenangan tersebut bidang pertnahan wajib dilaksanakan oleh pemerintah privinsi, kabupaten/kota, antara lain adalah pertanahan. Idealnya bidang pertanahan merupakan kewenangan daerah yang dilaksanakan oleh Dinas di daerah atau lembaga teknis lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Semangat yang melandasi otonomi daerah melalui Undang-Undang Pemerintah daerah dibidang pertanah, tidak disingkronkan dengan peraturan-praturan yang berkaitan dengan peyelenggaraan negara lainnya. Dalam Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2013 disebutkan, Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada presiden yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan. 262
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Selanjutnya dalam Pasal 37 dinyatakan bahwa, untuk melaksanakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di daerah, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanhan Kabupaten/Kota. Kepala Badan Pertanahan Nasional menetapkan fungsi, tugas, susunan organisasi dan tata kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, setelah mendapat persetujuan dari menteri yang membidangi urusan pemerintah an dibidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Disatu sisi undang-undang otonomi memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk menetukan,
mengatur,
menyelenggarakan
peruntukan
dan
penggunaan
tanah,
serta
menentukan dan mengatur hubungan hukum dengan tanah serta perbuatan-perbuatan hukum atas tanah, tetapi Peraturan Presiden No 65 tahun 2013, tetap menempatkan kewenangan daerah di bidang pertanahan sebagai kewenangan berdasarkan dekonsentrasi atau tugas perbantuan.
2) Kewenangan Pemerintah Aceh Bidang Pertanahan Berdasarkan UU No. 11/2006 Aceh merupakan salah satu daerah provinsi dari Negara Kesatua Republik di Indonesia yang mempunyai status “otonomi khusus” dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan. Kekhususan ini diberikan, menurut Nyoman Sumaryadi salah satu faktornya adalah adanya instabilitas di daerah Aceh, dimana terjadi pemberotakan dan makar oleh Gerakan Aceh Merdeka untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik tersebut bersifat vertikal untuk memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai sentralistik. 28 Pendapat lain yang dinyatakan oleh Siti Aminah, Otonomi khusus yang ada pada Nanggroe Aceh Darussalam terkait dengan ciri-ciri yang dimiliki masyarakat Aceh yang tidak dimiliki oleh daerah otonom lain. Rasionalitas politi tampaknya menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan ini. Hal yang memicu tuntutan pemisahan diri bagi daerah -daerah otonom lain.
28
Ibid, hlm.177.
263
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Aceh adalah penghasil devisa negara karena memiliki sumber daya energi minyak bumi dan gas alam. Selain ciri kultural di mana Aceh adalah Serambi Mekah. 29 Smith, menyatakan di pelbagai kawasan yang berbeda dari pemerintahan nasional dunia, desentralisasi digunakan sebagai strategi untuk mengatasi kestabilan politik yang diancam oleh gerakan -gerakan separatis dan tuntutan-tuntutan untuk otonomi daerah. 30 Menurut hasil penelitian Kemintraan Parnership, dari sejumlah alasan yang berkembang, alasan yang paling kuat adalah alasan kesejarahan. 31 Pada tahun 2001 kekhususan diberikan pada Provinsi Aceh melalui UU No. 18 Tah un 2001 tentang Otonomi Khusus yang kemudian dicabut dan diganti dengan
UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang Pemerintahan Aceh menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak b isa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006, akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 11 Tahun 2006, Aceh adalah daerah propinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengusus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam
system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang gubernur. Provinsi Aceh dalam penyelenggaraan pemerintahan, di samping mejalankan otonomi daerah dengan seluas-luasnya, namun secara kekhususan penyelenggaraan pemerintahan di 29
Siti Aminah, Op.Cit. hlm. 90. Smith, B,C, Decentralization, TheTerritorial Dimention of The State, London, George Allen & Unwin Ltd, 1985, Hlm 3. 30
31
Kemitraan Partnership, Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia Pembelajaran Dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta, Penerbit Kemitraan Bagi Pembaharuan Pemerintahan Di Indones ia, Jakarta, 2008, Hlm. 10.
264
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Aceh berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Secara luas kewenangan yang menjadi tanggung jawab birokrasi pemerintahan di Aceh adalah wewenang dalam pengertian pemberian kesempatan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, mengagali dan memberdayaakan prakarsa, keratifitas
dan
demokrasi,
meningkatkan
peran
serta
masyarakat,
mengagali
dan
mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh. Memungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh dalam memajukan penyelenggaraan pemerintahan dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan Otonomi daerah, bidang pertanahan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan
pemerintahan
provinsi
dan
pemerintahan
kabupaten/kota,
sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang telah diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014. Secara khusus kewenangan bidang pertanahan dipertegas kembali dalam Pasal 16 ayat (1) huruf K dan Pasal 17 ayat (1) huruf k UU No. 11 tahun 2006, bahwa pelayanan pertanahan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Bidang pertanahan tidak termasuk urusan wajib yang merupakan pelaksanaan keistimewaan kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh. Menurut Pasal 16 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006, urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh meliputi: (1) Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Isalam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup anatar umat beragama; (2) Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; (3) Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan local sesuai dengan syari’at Islam; 265
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
(4) Peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan (5) Penyelenggaraan dan peneglolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kewenangan dibidang pertanahan di Aceh adalah dalam rangka menjalankan otonomi seluas-luasnya sesuai dengan peraruran perundang-undangan yang berlaku, bukan termasuk urusan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat istimewa. Artinnya secara khusus bidang pertanahan juga di atur dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh, tetapi kewenangannya tetap mengacu pada Otonomi luas yang berhubungan dengan keberlakuan perundang-undangan lainnya.
3) Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat Di Bidang Pertanahan Bidang pertanahan merupakan salah satu urusan pemerintahan yang diserahkan secara otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Jika dihubungkan dengan Pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria, berdasarkan hak menguasai dari negara, kewenangan di bidang pertanahan ada di pemerintah pusat. Dalam Pasal 2 ayat (4) Undang -Undang tersebut, dinyatakan “Hak Menguasai Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah”. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan. bahwa dengan demikian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan Hak Menguasai Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind (asas pembantuan). Artinya urusan pertanahan tersebut dilaksanakan oleh perangkat pemerintah daerah berdasarkan perintah dari pemerintah pusat, bukan diserahkan menjadi urusan otonom pemerintah daerah secara desentralisasi. Namun secara eksplisit berdasarkan Pasal 14 UUPA, sebenarnya kewenangan bidang pertanahan dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (secara desentralisasi), yaitu Pasal 14 UUPA menentukan: 266
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
(1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: a. Untuk keperluan Negara; b. Untuk keperlan peribatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, social, kebudayaan dan lainlain kesejahteraan; d. Untuk
keperluan
memperkembangkan
produksi
pertanian,
peternakan
diperternakan serta sejalan dengan itu; e. Untuk keperluan perkembangan industry, transmigrasi dan pertambangan . (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa, kewenangan pertanahan ada pada Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Pelimpahan ini menurut Pasal 14 UUPA hanya terhadap urusan -urusan pertanahan yang berkaitan dengan aspek fisik, yaitu meliputi tugas -tugas penatagunaan tanah serta tata ruang. Sedangkan urusan yang menyangkut kewenangan dalam aspek yurudis penataan hubungan hukum, perbuatan hukum serta adminstrasi pembuktiannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan c UUPA, tidak termasuk urusan bidang pertanahan yang bersifat desentralisasi. Selain itu Kewenangan pertanahan dalam aspek politis yang meliputi penataan penguasaan dan pemilikan tanah juga tidak diserahkan kewenangannya secara desentralisasi kepada pemerinbtah daerah, sehingga sampai saat ini 267
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
kewenangan tersebut dilaksanakan di Daerah termasuk Aceh dengan asas dekonsentrasi dan medebewind. Pemerintah tidak konsisten terhadap kewenangan di bidang pertanahan, Hal ini telah menambah resistensi dalam pelaksanaannya. Banyak Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan pertanahan yang tidak berlandaskan otonomi dan desentralisasi, seperti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang memberi peluang penuh kepada Badan Pertanahan Nasional menjalankan kewenangan pert anahan secara nasional, regional dan sektoral. Artinya secara kewenangan di bidang pertanahan masih bersifat
sentralisasi,
pemerintah
daerah
hanya
melaksanakannya
berdasarkan
asas
dekonsentrasi atau perbantuan, semua kewenangan ada pada pemerintaha pusat. Hal ini tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang menjadikan
bidang
pertanahan merupakan urusan kewenangan pemerintah daerah dan kabupaten/kota. Ketidakkonsistenan ini berpulang terjadinya konflik antara Pemerintah Aceh dengan Pusat. Merujuk pada tujuan otonomi daerah seluas-luasnya dan otonomi khusus yang diberlakukan di Aceh, Pemerintah Aceh menginginkan agar urusan di bidang pertanahan dapat diserahkan pada Pemerintah Aceh. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 253 Undang Undang Pemerintahan Aceh yang berbunyi: (1) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kontor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat Daerah dan Perangkat Kabupaten/Kota paling lambat awal tahun 2008. Selanjutnya pada ayat (2), (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Ketidak sepahaman dalam memaknai Pasal 253 UU No. 11 Tahun 2006, yang ditafsirkan mendensetralisasikan semua ururan pemerintahan pada bidang pertanahan pada pemerintahan di Aceh, hal ini yang menyebabkan potensi konflik antara Pemerintah Aceh dan Pusat. Rumusan Pasal 253 UU No. 253, hanya meminta agar Kantor Wilayah Badan Pertanahan 268
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Nasional dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat Daerah dan Perangkat Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk kewenangan urusan-urusan pertanahan tidak dirumuskan dalam Pasal tersebut. Hal ini berarti diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur secara tegas kewenangan bidang pertanahan yang dapat diserahkan secara desentralisasi kep ada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh. Jika dikaitkan dengan Pasal 14 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing terhadap bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) nya, maka memungkinkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota diserahkan kewenangannya secara desentralisasi kepada Perangkat Daerah Aceh. Berkenanan dengan kewenangan yang merupakan urusan wajib dibidang pertanahan sebagaimana dipertegas dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006, maka bidang-bidang pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA dapat disentralisasikan menjadi urusan wajib yang dapat diatur lebih lanjut sesuai dengan penggunanan dan peruntukannya di Aceh. Ketidakseriusan pemerintah pusat mewujudkan perintah Pasal 253 Undang-Undang Pemerintahan Aceh, telah 8 tahun UU No. 11 tahun 2006 di berlakukan belum jug a dikeluarkan Peraturan Presiden tersebut. Sehingga untuk Daerah Aceh dengan status otonomi khusus, di bidang pertanahan belum juga dapat diserahkan secara desentralisasi. Rujukan Pemerintah mengenai kewenangan pertanahan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 merupakan urusan Pemerintah Pusat bersifat normatif, tanpa mengkaji nilai-nilai filosofis yang terkandung dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu penguasaan tanah oleh Negara bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan tersebut dapat di lakukan dalam penyenggaraan otonomi daerah yang berasaskan desentralisasi. 269
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Dari kajian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat diketahui ada beberapa pertimbangan pengurusan pertanahan tersebut menjadi kewenangan pemerintah pusat, antara lain: a) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 ayay (1) UUPA). Ketentuan pasal ini merupakan kenasionalan dalam pengelolaan urusan agraria. Sebagaimana dalam penjelasan umum angka II, konsep kenasionalan menghendaki bumi, air dan ruang angkasa dalam Wilayah RI yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia selayaknya menjadi hak dari bangsa Indonesia pula. Dengan demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidak semata-mata menjadi hak dari rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja, melainkan disana juga melekat hak bangsa Indonesia secara keseluruhan. b) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan meruapakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) UUPA). c) Ketentuan ini mengandung makna bahwa sumber daya agrarian merupakan kekayaan nasional. Adapun pengelolaannya harus memperhatikan kepentingan nasional secara keseluruhan. Dari konsep ini kiranya dapat dipahami bahwa perbedaan sumber daya alam dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan pembangunan maupun perlakukan terhadap warganagara Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. d) Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa bersifat abadi (Pasal 1 ayat (3) UUPA). Ketentuan ini merupakan dasar dalam rangka pembinaan integritas Negara K esatuan RI (NKRI). Disadari bahwa bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan tanah merupakan komponen yang penting bagi penyelenggaraan 270
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
hidup dan kehidupan. Dalam Konsep ini, tanah dalam arti kewilayahan diletakan sebagai dan merupakan salah satu unsur pembentukan Negara (NKRI). Oleh karena itu hubungan bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Selama bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada maka selama itu pula NKRI akan berdiri dengan kokoh. Berdasarkan uraian diatas, munculnya potensi konflik pemerintah
antara pemerintah Aceh dan
pusat di bidang pertanahan sebagai akibat ketidak singkronan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
bidang pertanahan,
terutama nyangkut
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. dan kesalahpahaman menafsirkan Pasal 253 UU No. 11 Tahun 2006. Pemberlakuan Otonomi Khusus dan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya di Propinsi Aceh, menjadikan Aceh propinsi memiliki peluang yang cukup banyak dalam mengatasi permasalahan dalam rangka pemenuhan asas legalitas dalam penyelengaraan Negara. Artinya jika di dalam undang-undang pemerintahan Aceh hal tersebut tidak diatur, maka Aceh tetap dapat memberlakukan anturan yang diatur dalam undang-undang otonomi daerah yang seluasluasnya. Namun dalam realita masayarakat Aceh saat ini, masih terjadi kesalahan paradigm tentang Otomoni khusus yang selalu diartikan merupakan lex spesialis yang dapat berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.
KESIMPULAN Berdasaikan uraian dalam tulisan ini, maka dapat disimpulkan: Pertama, pemberian Otonomi Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara Rebuplik Indonesia membawa konsekwensi, pemerintah daerah dapat menyelanggaraan pemerintahan di darah secara luas, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keseimbangan hubungan antar pemerintah. Dalam Kontek Aceh, selain berlaku otonomi daerah yang seluas -luasnya, juga berlaku otonomi khusus yang diberikan berdasarkan Undang-Undang N0. 18 Tahun 2001 271
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang bersifat luas dan khusus dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Propinsi Aceh. Berdasarkan Undang-Undang 32 tahun 2004 yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, bidang pertanahan merupakan salah satu
urusan wajib pemerintah daerah dan pemerintah
kabupaten/kota. Kedua, menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, kewenangan Pertanahan ada pada Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Pelimpahan ini hanya terhadap urusan-urusan pertanahan yang berkaitan dengan aspek fisik, yaitu meliputi tugas-tugas penatagunaan tanah serta tata ruang. Dengan demikian bidang pertanahan yang bersifat desentralisasi tidak termasuk urusan yang menyangkut kewenangan dalam aspek yuridis penataan hubungan hukum, perbuatan hukum serta administrasi pembuktiannya. Selain itu Kewenangan pertanahan dalam aspek politis yang
meliputi
penataan
penguasaan
dan
pemilikan
tanah
juga
tidak
diserahkan
kewenangannya secara desentralisasi kepada pemerinbtah daerah, sehingga samapai saat ini kewenangan tersebut dilaksanakan di Daerah termasuk Aceh dengan asas dekonsentrasi dan medebewind. Pemerintah tidak konsiten terhadap kewenangan di bidang pertahnahan, dikeluarkannya
peraturan-peraturan
yang
berkenaan
dengan
pertanahan
yang
tidak
berlandaskan otonomi daerah yang berasaskan desentralisasi, seperti Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan nasional yang memberi peluang penuh kepada Badan Pertanahan Nasional menjalankan kewenangan pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Ketidak konsistenan ini berpulang konflk antara pemerintah Aceh dengan Pusat yang menginginkan berdasarkan Pasal 253 UU No. 11 tahun 2006, Kantor Wilayah Badan Pertanah Nasional Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menjadi perangkat Daerah Aceh dan perangkat daerah kabupaten/Kota.
272
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Disarankan kepada Pemerintah, segera membuat ketentuan perundang-undangan yang secara tegas dan jelas mengatur kewenangan-kewenangan apa yang ada di pemerintah pusat dan kewenangan-kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Pemerintah Aceh perlu membuat suatu konsep yang jelas berkenaan dengan keingan menjadikan Badan pertanahan Nasional berada dibawah perangkat daerah dan menyesuaikan dengan peraturan peraturan yang berkitan dengan bidang pertanahan. Pemerintah Pusat harus melakukan hormonisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanahan, untuk mengatasi konflik kewenangan yang masih ditafsirkan secara berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA Arie Sukanti, 2005, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, Penerbit Lembaga pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta. ______, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT Rajagrafin Persada, Jakarta, 2008. _______, 2011, Perguatan Pemikiran Dan Aneka Gagasan Seputar Hokum Tanah Nasional , FHUI, Depok. Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Prenada Media Group, Jakarta. Bagir Manan, 2000, “Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah”, Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei. Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria di Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandangan Praktisi Hukum, Rajawali, Jakrta. Ganjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. Hambali Thalib, 2009, Sanksi Pemidanaan dalam Konplik pertanahan, Penerbit Kencana Prenada media Group, Jakarta. 273
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Indroharto, 1992, Perbuatan Pemerintah Menurut Hokum Publik dan Hukum Perdata, Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang PTUN, Universitas Indonesia, Jakarta. ______, 1994, “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung. Kertasapoetra, dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. Kemitraan Partnership, 2008, Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia Pembelajaran Dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta, Penerbit Kemitraan Bagi Pembaharuan Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta. Laode Ida, 2002, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal & Clean Government, Penerbit Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK), Jakarta Selatan. Muchsan, 1992, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha di Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Muchsin dkk, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, PT Refika Aditama, Bandung. Irfan Fancruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Penerbit Alumni, Bandung. Prajudi Admosudirdjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang, YURIDIKA, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember. RJHM. Huisman, tt, Algemene Bestuursrecht, een Inleiding. Kobra Amterdam. Smith, B,C, 1985, Decentralization, TheTerritorial Dimention of The State, George Allen & Unwin Ltd, London. Soejono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. 274
Potensi Konflik Pemerintah Aceh dan Pusat dalam Bidang Pertanahan Ria Fitri
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Supriyanto, 2009, Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 9 No. 2, Mei. Siti Aminah, 2014, Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Utrecht, E. 1960, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia. WJS. Poerwadharminta, 1984, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahn Aceh.
275