Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
ISLAM, PEREMPUAN DAN RESOLUSI KONFLIK DI ACEH (2000 – 2005) Eka Srimulyani IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
[email protected]. Abstract Aceh is well-known to have a long history of conflict, in addition to the historical record of the active participation of women in public spaces by the appearance of four Sultanah which successively led the kingdom of Aceh. This paper would like to see the status and the role of women of Aceh in the context of conflict and its resolution initiatives in the range of 2000-2005, and then analyze it from the perspective of Islam. Using descriptive-historical approach, the author found that women of Aceh became an integral part of the problem. They were safest agent to get into the area of conflict and help the victims, although in many writings they were often perceived as victims. When the escalation of the conflict in Aceh increased, some institutions of women that have started to grow become actively engage in the humanitarian efforts on the ground, being informal mediator, to the diplomatic mission. The distinctive differences from their struggle is the consistency to forwarding “peace”, one of them was Duek Pakat Inong Aceh (February 2000), a sort of women congress in Aceh. From an Islamic perspective, resolutive efforts undertaken by these women at some point have used the existing approaches in the study of normative Islam although not always carry a common terminology in the classical Islamic references. Abstrak Aceh dikenal memiliki sejarah konflik yang panjang, di samping catatan sejarah mengenai partisipasi aktif perempuan di ruang publik dengan tampilnya empat sultanah yang secara berturutturut memimpin Kerajaan Aceh. Tulisan ini ingin melihat status dan peran perempuan Aceh dalam konteks konflik dan inisiasi penyelesaian konflik pada rentang 2000-2005, kemudian menganalisanya dari perspektif Islam. Dengan pendekatan Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
269
Eka Srimulyani
deskriptif-historis, penulis mendapati bahwa perempuan Aceh menjadi bagian tidak terpisahkan dari persoalan. Mereka menjadi kelompok yang paling aman untuk bisa masuk ke wilayah konflik dan menolong korban, meski dalam banyak tulisan mereka sering dipersepsikan sebagai korban. Ketika eskalasi konflik Aceh meningkat, beberapa lembaga perempuan yang sudah mulai tumbuh ikut aktif melakukan upaya-upaya kemanusiaan di lapangan, menjadi mediator informal, hingga misi diplomasi. Perbedaan yang kentara dari perjuangan mereka adalah konsistensi mengedepankan “perdamaian”, salah satunya melalui kegiatan Duek Pakat Inong Aceh (Februari 2000); semacam konggres perempuan Aceh. Dari perspektif Islam, upaya-upaya resolutif yang dilakukan kaum perempuan ini dalam beberapa hal telah menggunakan pendekatan-pendekatan yang ada dalam kajian Islam normatif meski tidak selalu membawa terminologi yang umum dalam referensi Islam klasik. Kata Kunci: resolusi konflik, Islam, perempuan, aceh
A. Pendahuluan Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah konflik yang cukup panjang di Indonesia. Selain peperangan melawan penjajah kolonial Belanda yang tidak pernah berakhir sampai penjajahan Jepang datang pada tahun 1942, daerah ini juga mencatat beberapa peristiwa konflik horizontal dan vertikal yang terjadi pasca penjajahan. Setelah Indonesia merdeka, muncul gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa wilayah di Aceh, terutama wilayah Aceh bagian utara sebagai basis utama pergerakan. Pergerakan DI/TII ini dikomandoi oleh Abu Daud Beureueh; seorang tokoh ulama terkemuka dari kelompok modernis yang memiliki basis organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), dan pernah menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Konflik bersenjata DI/TII termasuk konflik bersenjata yang cukup banyak memakan korban jiwa dan harta dari rakyat sipil setempat. Konflik DI/TII juga menarik untuk dianalisa karena memiliki keterkaitan dengan ‘perseturuan’ dan perbedaan pandangan antara kelompok modernis dan traditionalis Islam. Kelompok modernis Islam terepresentasikan dalam wadah PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Abu Daud Bereueh, s sementara kelompok tradisionalis terwadahi dalam PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang dipimpin oleh Abuya 270
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
Mudawaly; seorang ulama dayah (pesantren) pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. PUSA memiliki lembagalembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan ‘madrasah’ bersistem pendidikan modern, dan menghimpun tokoh-tokoh modernis di Aceh selain Muhammadiyah yang sudah lebih dulu ada di Aceh. Sementara PERTI adalah organisai yang berafiliasi pada dayah (pesantren) dan para tokoh atau ulama dayah. Dalam menyikapi gerakan bersenjata DI/TII, pimpinan PERTI Abuya Mudawaly mengeluarkan fatwa bahwa pemberontakan DI/TII terhadap pemerintahan Muslim yang sah (Presiden Sukarno) termasuk kategori ‘buga>t’.1 Walaupun secara tersurat konflik DI/TII pada akhirnya selesai melalui jalur ‘dialog’ dan kompromi politik, namun secara tersirat konflik DI/TII tetap dipahami masih bersambung dengan konflik politik yang terjadi selanjutnya selama fase 1976 -2005 antara Pemerintah Pusat dan GAM. Anggapan ini salah satunya didasarkan pada kenyataan bahwa pendiri GAM; Hasan Tiro adalah salah seorang pengikut dan penerus perjuangan Abu Daud Beureuh. Konflik antara GAM dengan pemerintah Jakarta berlangsung dalam beberapa periode sejarah kepemimpinan kepala negara yang berbeda-beda mulai dari masa kepresidenan Suharto sampai masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.2 Ada banyak faktor yang ditengarai melandasi munculnya GAM, tidak hanya relevansi dan akar historis semata seperti yang disebutkan di atas, melainkan juga isu ketidakadilan, pengingkaran janji, dan eksploitasi hasil alam tanpa memperdulikan kesejahteraan masyarakat lokal. Pada waktu itu, garis perjuangan GAM sangat jelas; ingin memperjuangkan Aceh sebagai sebuah wilayah atau negara yang berdaulat penuh. Peristiwa konflik bersenjata ini menimbulkan dampak yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Tidak hanya korban jiwa, melainkan juga berdampak besar terhadap 1 Muhibbuddin Waly, Ayah Kami: Maulana Hají Muhammad Waly alKhalidy (Singapore: Jew Printers & Binders PTE LTD, 1993) 2 Lihat Michelle Ann Miller, Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta’s Security and Autonomy Policies in Aceh (London [etc]: Routledge, 2009).
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
271
Eka Srimulyani
pertumbuhan ekonomi, pendidikan, dan sistem pemerintahan. Apalagi ketika pemerintah Jakarta menerapkan metode represif melalui pendekatan militeristik dalam menyelesaikan persoalan ini. Kondisi ini berlangsung secara intensif di masa pemerintahan Orde Baru dengan beberapa model operasi militer yang dilakukan seperti Operasi Nanggala dan Operasi Jaring Merah.3 Ketika masa reformasi bergulir dan terjadi pergantian pucuk kepemimpinan nasional, upaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara non-militer mulai muncul, terutama di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur). Pada saat itu beberapa usaha untuk membawa persoalan konflik Aceh ke meja perundingan dimulai, bahkan dengan melibatkan pihak ketiga dari dunia internasional, yaitu Henri Dunnant Centre; sebuah lembaga non-pemerintah yang berkedudukan di Swiss. Sejak itu, model resolusi konflik yang berbasis non-kekerasan dimulai dalam menyelesaikan konflik Aceh. Tulisan ini mencoba melihat model pendekatan resolusi konflik yang dilakukan dalam kasus konflik Aceh kontemporer, korelasi atau relevansinya dengan model yang ada dari sudut normatif Islam. Hal ini bisa diperluas dengan melihat peran ulama atau tokoh agama, dan lembaga keagamaan atau keulamaan, seperti dayah (pesantren) atau organisasi masyarakat Islam dalam penyelesaian konflik. Di samping itu, tulisan ini juga melihat peran dan konstribusi kelompok perempuan dalam konteks resolusi konflik yang selama ini lebih identik sebagai korban dan non-kombatan, kemudian menganalisanya dari perspektif Islam; apakah mereka hanya menjadi korban saja dan berada dalam posisi pasif tanpa memainkan peran yang berarti, ataukah mereka bertindak aktif sebagai agen perdamaian dan inisiator resolusi konflik? Lalu advokasi seperti apa yang dilakukan untuk berkontribusi dalam resolusi konflik. Upaya-upaya mereka juga akan dilihat dari analisa prinsip-prinsip yang ditawarkan dari perspektif Islam normatif. Kasus konflik Aceh sangat cocok dan relevan untuk dikaji dari sisi resolusi konflik dan Islam, karena ketika pembicaraan damai mulai dilakukan daerah ini sudah dikenal sebagai daerah 3
272
Ibid. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
yang memberlakukan syariat Islam secara formal yang sudah diinisiasi sejak tahun 2000 dan secara legal-formal diberlakukan mulai tahun 2002. B. Sekilas Sejarah Sosial dan Politik Aceh Kontemporer Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia secara formal dimulai ketika Hasan Tiro mendeklarasikan berdirinya GAM sebagai sebuah gerakan bersenjata yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia pada tanggal 4 Desember 1976. GAM menggunakan argumen-argumen historis, sosiologis dan ketidakadilan serta distribusi kesejahteraan yang tidak merata sebagai landasan filosofis dari perjuangannya. Eksploitasi hasil alam Aceh oleh Pemerintah Pusat ditengarai sebagai salah satu pemicu munculnya rasa ketidakadilan di kalangan beberapa kelompok masyarakat.4 Terhadap deklarasi dan perjuangan GAM tersebut, pemerintah pusat saat itu bereaksi cepat dengan mengirimkan pasukan bersenjata untuk menumpas kelompok yang dianggap sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Pengiriman pasukan ini juga dilakukan atas permintaan Pemerintah Daerah Aceh kala itu yang merasa memerlukan pengamanan ekstra untuk beberapa proyek industri vital yang dibangun di Aceh, khususnya di Aceh bagian utara. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa konflik Aceh lebih dominan terjadi di bagian Pantai Utara seperti Lhokseumawe dan Pidie yang pada masa itu dikenal sebagai zona industri; tempat beberapa proyek industri vital di Aceh berlokasi. Namun, tujuan pengamanan ini justru berubah menjadi pemicu eskalasi konflik bersenjata dan berdarah antara kelompok militer pemerintah yang melakukan pengamanan dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Pendekatan represif pemerintah pusat semakin diintensifkan dengan pemberian status Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh, khususnya di beberapa daerah yang menjadi basis konflik, seperti Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Target operasi militer kala itu adalah menumpas kelompok yang mereka Felix Heiduk, Series of Country Related Conflict Analysis: Province of Aceh/Indonesia (Bonn: Friedrich Elbert Stiftung, 2006). 4
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
273
Eka Srimulyani
sebut GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Kampanye dan upaya memberangus kelompok ini cukup intensif dilakukan di masa Orde Baru. Di pihak Gerakan Aceh Merdeka, strategi perjuangan mereka kemudian dikembangkan dengan tidak hanya berbasis di Aceh. Sebagian tokoh pimpinannya memilih menetap di luar negeri dan melakukan jenis perjuangan non-bersenjata melalui diplomasi dan membawa kasus Aceh ke dunia internasional. Status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) baru dicabut pasca mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998 yang menandai kejatuhan Orde Baru dan pergantian pucuk kepemimpinan nasional setelah 32 tahun dipegang oleh Presiden Suharto. Transisi kekuasaan di pemerintah pusat ternyata juga berimbas pada eskalasi dan ekspansi konflik bersenjata di Aceh yang pada awalnya lebih terpusat pada beberapa daerah saja (Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur) menjadi meluas ke beberapa kabupaten-kabupaten lainnya di Aceh. Pada saat itu, hampir tidak ada daerah di Aceh yang tidak terkena dampak dari konflik baik secara langsung maupun tidak langsung. Sweeping di jalan yang selama ini dilakukan oleh kelompok militer RI, juga sudah mulai dilakukan oleh kelompok GAM. Kontak senjata kedua belah pihak mulai terjadi secara lebih terbuka. Untuk kepentingan sweeping identitas, saat itu seluruh masyarakat Aceh harus memiliki kartu tanda penduduk “merah putih” yang bentuknya berbeda dengan kartu penduduk (KTP) yang dimiliki oleh penduduk lainnya di wilayah atau provinsi lain di Indonesia. Perjalanan darat antar wilayah di Aceh termasuk wilayah perbatasan dengan daerah lain seperti Medan Sumatra Utara terpaksa harus melewati puluhan pos penjagaan militer maupun sweeping sporadis yang dilakukan oleh kelompok GAM. Kondisi ini berlangsung beberapa lama. Di level formal, isu mogok kerja, sikap antipati terhadap suku tertentu, penolakan terhadap jenis pekerjaan dan jabatan tertentu seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pejabat di kantor pemerintahan juga muncul. Pada masa ini, konflik Aceh seolah memasuki babak baru yang berbeda dengan sebelumnya, dengan eskalasi dan intensitas yang jauh meningkat, baik dari sisi ruang lingkup dan dampak. Pada fase ini, lobi-lobi dan inisiasi untuk membawa konflik Aceh ke dunia internasional juga dimulai. Negara luar mulai 274
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
menganggap dan melihat ada sesuatu yang serius sedang terjadi di Aceh, terutama terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melalui penemuan kuburan massal di beberapa daerah dengan eskalasi konflik tinggi seperti di bagian utara Aceh. Semua ini membuat perhatian negara-negara internasional, maupun lembaga internasional mulai melihat konflik Aceh secara lebih serius dan tidak lagi hanya menganggapnya sebagai persoalan internal negara Republik Indonesia yang tidak perlu dicampuri. Pada tahun 2002, upaya untuk menyelesaikan konflik dengan cara damai diinisiasi oleh Presiden Abdurrahman Wahid yang juga merupakan salah seorang tokoh utama Nahdlatul Ulama (NU) dengan menggandeng Henry Dunnant Centre sebagai mediaor. Proses ini menghasilkan penandatanganan dokumen Jeda Kemanusian (Ceasation of Hostilities Agreement) pada tahun yang sama, meski tidak berlangsung lama hanya sampai tahun 2003, karena di lapangan kontak bersenjata masih tetap berlanjut. Pada masa kepemimpinan Megawati Sukarno Putri, Aceh kembali berada dalam status darurat militer dan sipil karena pembicaraan damai untuk penyelesaian konflik mengalami kebuntuan. Namun demikian berbeda dengan pendekatan politik yang dilakukan sebelumnya yang lebih mengedepankan pendekatan militer, setidaknya pasca tahun 2000 upaya ke arah penyelesaian konflik dengan menggunakan jalur dialogis sudah mulai diinisiasi walaupun belum membuahkan hasil yang maksimal. Pemilihan Presiden secara langsung tahun 2004 menaikkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Yusuf Kalla merupakan seorang pengusaha dan tokoh Golongan Karya yang dikenal sebagai sosok yang aktif melakukan upaya-upaya awal penyelesaian konflik di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Maluku dan Poso. Hal yang sama juga dilakukan untuk konflik Aceh. Melalui orang kepercayaannya, Yusuf Kalla mencoba mendekati beberapa tokoh GAM di luar negeri, termasuk membangun komunikasi dengan lembaga independen untuk menjadi mediator dalam babak baru penyelesaian konflik Aceh. Usaha Yusuf Kalla yang dirintis melalui mediasi jalur informal akhirnya membuahkan hasil. Upaya ini juga melibatkan organisasi internasional, yaitu CMI (Crisis Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
275
Eka Srimulyani
Management Initiative) yang dipimpin oleh mantan President Finlandia, Martii Arthisaari. Beberapa pembicaraan awal pun mulai dilakukan. Pada akhir tahun 2004, bencana gempa dan tsunami melanda Aceh dan menelan korban jiwa yang tidak terkira serta mengakibatkan kerusakan infrastruktur perumahan dan perekonomian rakyat, serta menimbulkan dampak sosial ekonomi lainnya bagi masyarakat. Kondisi ini menjadi stimulus untuk mengakselarasi pembicaraan atau perundingan damai untuk penyelesaian konflik yang memang sudah dimulai melalui mediasi CMI agar tidak semakin menambah penderitaan masyarakat korban musibah tsunami. Di pihak GAM, bencana tsunami mendorong mereka untuk menyatakan gencatan senjata dan memulai pembicaraan damai kembali guna memudahkan program pembangunan kembali Aceh. Setelah bencana tsunami, pihakpihak yang bertikai melakukan genjatan dan fokus pada upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Perundingan damai dengan mediasi CMI akhirnya menghasilkan MoU Helsinki yang memuat butir-butir kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang ditandatangani secara resmi pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki (Finlandia). Namun, masih ada beberapa persoalan lain terkait butir-butir kesepakatan tersebut yang masih perlu didiskusikan, seperti persoalan integrasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan dukungan terhadap adanya Aceh Monitoring Mission (AMM). Pembicaraan damai ini sempat mengalami deadlock beberapa kali, terutama terkait keberadaan partai politik lokal. Dari sisi Pemerintah Republik Indonesia, keberadaan partai politik lokal dianggap bisa mengancam kesatuan nasional, sementara bagi GAM, poin ini menjadi sangat penting dan dipertahankan. Persoalan politik dan kekuasaan menjadi lebih dominan dan menyita perhatian dari kedua belah pihak daripada agenda penyelesaian konflik lainnya seperti kompensasi buat korban, pemberdayaan masyarakat trauma pasca konflik dan agenda serupa lainnya.5 5 Darini Rajasingham Senanayake, “ International Aid, Peace-building and Conflict: Lessons from Aceh and Sri Lanka”, ISAS Working Paper, No. 80, 4 August 2009.
276
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
C. Islam, Ulama, dan Resolusi Konflik di Aceh Pandangan Islam sebagai agama mengenai konflik tergambar dari akar kata ‘Islam’ itu sendiri yang berarti damai atau perdamaian. Dari literatur keislaman klasik, pandangan normatif terkait penyelesaian konflik dan perdamaian sering dibahas dalam konteks hubungan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara, terutama dalam konteks konflik antara Muslim dan Non-Muslim. Ada beberapa pendekatan dalam penyelesaian konflik dikenal sebagai model yang digunakan dalam sejarah Islam, baik secara normatif maupun praksis kesejarahan, antara lain: Treaty(as}-s}ulh}), mediasi dan arbitrasi, serta diplomasi.6 Treaties yang dimaksud di sini adalah perjanjian gencatan senjata yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya 10 tahun atau lebih. Praktik perjanjian ini pernah beberapa kali terjadi dalam sejarah Islam, di antaranya Perjanjian Hudaibiyah yang dianggap sebagai sebuah solusi untuk mengurangi tensi konflik antara masyarakat Muslim di Madinah dengan Mekah yang saat itu kebanyakan belum memeluk agama Islam. Mediasi dan Arbitrasi juga dipraktikkan dan dijelaskan dalam referensi-referensi normatif dalam kajian keislaman. AlQur’an misalnya menyebut h}akam sebagai penengah dalam konteks konflik keluarga misalnya antaras suami dan istri. Orang ketiga atau pihak ketiga ini dianggap akan mampu berperan untuk memediasi dialog dan diskusi untuk mencari solusi dari persoalan konflik yang sedang dihadapi oleh pihak-pihak yang bertikai. Model penyelesaian konflik lainnya dalam Islam ditempuh dengan komunikasi dan dialog yang efektif antara pihak yang bertikai. Jika melihat proses penyelesaian konflik di Aceh, ketiga model resolusi konflik ala Islam ini telah dilakukan dan dipraktikkan. Perjanjian atau treatise pernah dilakukan, terutama ketika periode yang disebut jeda kemanusiaan yang dimulai pada akhir 2002. Kedua belah pihak menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan bersenjata. Namun perjanjian ini tidak berlangsung lama karena beberapa kejadian yang terjadi di lapangan kembali memancing adanya kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak. Ralph H. Salmi, et al, Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices (Lanham, Md.: University Press of America, 1998). 6
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
277
Eka Srimulyani
Sementara itu, dalam konteks model mediasi dan arbitrasi, pasca tahun 2000, upaya untuk melakukan mediasi dan mencari pihak atau lembaga untuk memfasilitasi perdamaian di Aceh mulai berlangsung. Hal ini seiring dengan berbagai upaya internasionalisasi persoalan Aceh ke dunia internasional. Advokasi ini merupakan kerja dari tokoh masyarakat Aceh, pemerhati HAM, aktivis mahasiswa dan LSM yang peduli terhadap persoalan kemanusian yang terjadi di Aceh. Sejak itu, keterlibatan pihak yang dianggap netral mulai terjadi yang kemudian pada gilirannya berhasil menghadirkan perjanjian damai di Aceh. Perjanjian damai yang ditandatangani pada Agustus 2005 merupakan hasil mediasi oleh pihak ketiga sekaligus diplomasi yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia melalui peran dari Yusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia saat itu. Sejak tahun 2000, Provinsi Aceh secara resmi memberlakukan syariat Islam secara formal. Aceh memang dikenal memiliki sejarah panjang dengan eksistensi Islam dalam kehidupan perpolitikan dan pemerintahan, terutama di masa beberapa kerajaan Islam yang pernah ada dalam sejarah Aceh seperti Samudera Pasai dan Kerajan Aceh Darussalam. Para raja atau penguasa yang memerintah Aceh mendapat julukan sultan/ sultanah atau malik yang dalam Bahasa Arab berarti penguasa; sebuah terminologi yang dipakai untuk para penguasa dalam sejarah dinasti Islam di Timur Tengah. Peran ulama sebagai penasihat penguasa juga relatif dominan. Beberapa ulama mendapat posisi sebagai Qa>d}i al-Malik al-A
Aceh.
278
Syiah Kuala ada seorang ulama yang cukup terkemuka dalam sejarah
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
nilai dan prinsip Islam menjadi sesuatu yang masuk dalam ranah publik kekuasaan. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Islam juga menjadi landasan resistensi dan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan penjajah di Aceh. Prinsip-prinsip Islam melandasi semangat perjuangan masyarakat Aceh saat itu. Di masa perlawanan DI/TII, salah satu latar belakang yang memunculkan gerakan DI/TII adalah kekecewaan kelompok DI/ TII terhadap pemerintah pusat yang awalnya berjanji memberikan keistimewaan bagi Aceh dalam bidang keagamaan dengan memberikan kesempatan bagi Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam. Tidak hanya itu, pemimpin gerakan DI/TII adalah Teungku Dauh Bereueh dan koleganya yang merupakan ulama kelompok modernis yang sebelumnya merupakan tokoh-tokoh utama organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Fakta ini menunjukkan bahwa Islam dan ulama menjadi bagian dari latar belakang dari persoalan konflik seperti dalam gerakan DI/TII. Dalam konflik politik kontemporer di Aceh, ulama terlibat dalam wacana resolusi konflik, salah satunya Teungku Ibrahim Bardan yang lebih dikenal dengan nama “Abu Panton”, yang mempublikasikan pandangan-pandangan normatifnya mengenai isu-isu resolusi konflik dalam bentuk penerbitan buku. Terbitnya buku Abu Panton tahun 2008 merupakan sebuah upaya untuk menyiarkan solusi-solusi dan pandangan Islam terhadap konflik melalui tanggapan dan kacamata seorang ulama. Abu Panton sendiri adalah salah seorang ulama dan tokoh dayah yang cukup kharismatik, dan juga merupakan pimpinan dari organisasi ulama dayah serta tokoh dari organisasi ulama lainnya di Aceh. Dalam bukunya, Abu Panton melihat model resolusi konflik yang ada dalam Islam termanifestasikan dalam konsep as}-s}ulh} yang dalam Bahasa Aceh beliau sebut sebagai konsep “suloh” .8 Pandangan-pandangan Abu Panton mengenai konsep ini dibangun dari dalil-dalil al-Qur’an, hadis, data-data sejarah Islam dan kajian terhadap referensi-referensi utama dari kitabkitab karangan ulama mazhab dan ulama klasik. Abu Panton juga menganalisis beberapa konflik politik lokal yang terjadi di Aceh Tgk Ibrahim Bardan, Resolusi Konflik dalam Islam: Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah (Banda Aceh: Aceh Institute, 2008). 8
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
279
Eka Srimulyani
seperti perang saudara yang pernah terjadi di Pidie yang dikenal dengan nama Perang Cumbok. Buku yang diterbitkan Aceh Institute dan didanai dari program BRR Aceh dan Nias (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) Aceh dan Nias ini difasilitasi oleh sebuah tim teknis dan akademis dari Aceh Institut dan IAIN Ar-Raniry. Abu Panton diwawancarai secara maraton untuk mengeksplorasi pemikirannya mengenai resolusi konflik. Hasil wawancara yang disusun menjadi buku ini kemudian diberi judul Resolusi Konflik dalam Islam: Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah. Secara khusus, jarang ditemui ada ulama di Aceh mempublikasikan pemikirannya mengenai resolusi konflik melalui tulisan atau dalam sebuah buku seperti yang dilakukan oleh Abu Panton. Namun demikian dilihat dari sisi waktu, buku ini dipublikasikan pada tahun 2008 kurang lebih 3 tahun setelah perjanjian damai GAM dan pemerintah pusat ditanda tangani. Ini berarti secara substantif kajian ini tidak berkontribusi pada pra wacana pembicaraan damai yang terjadi pada tahun 2005 atau sebelumnya. Peran ulama dan lembaga keagamaan dalam penyelesaian konflik Aceh juga terlihat dari kepedulian mereka terhadap perlindungan terhadap masayarakat yang menjadi korban konflik. Beberapa lembaga pendidikan pesantren (dayah) menjadi shelter atau tempat perlindungan dan penampungan bagi anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Di luar itu, dalam beberapa kasus yang terjadi di masa konflik, para ulama sering tampil menjadi mediator dari kedua belah pihak yang bertikai. Ketika terjadi penculikan oleh salah satu kelompok yang bertikai, terkadang ulama yang juga merupakan tokoh masyakakat melakukan mediasi yang berakhir dengan penyelesaian persoalan penculikan tanpa harus ada kekerasan dan korban jiwa. Pasca reformasi 1998, ketika eskalasi konflik semakin meningkat, kemunculan lembaga keagamaan dan keulamaan juga menjadi fenomena, di antaranya HUDA (Himpunan Ulama Dayah). Di samping mengisi kevakuman peran dari lembaga keulamaan yang sudah ada sebelumnya dalam menyikapi persoalan konflik Aceh, melalui organisasi ini, para ulama yang selama ini lebih memilih bersikap netral dan tidak memihak ke pihak 280
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
manapun secara institusional, akhirnya tampil aktif menyerukan upaya-upaya penyelesaian konflik dan kekerasan yang terjadi di Aceh. Sejak itu, ulama sebagai wakil dari pimpinan keagamaan dalam masyarakat berani secara terang-terangan menyampaikan pandangan mereka secara kolektif; sesuatu yang tidak terjadi sebelumnya terutama di masa Orde Baru. Ketika proses pembicaraan jeda kemanusiaan terjadi, para ulama atau tokoh agama dari Aceh dating menemui deklarator Aceh Merdeka, Tgk. Hasan Tiro di Swedia. Di antara mereka yang berangkat ke Swedia di antaranya adalah Prof. al Yasa’ Abubakar, Prof. Muslim Ibrahim, Teungku Imam Syuja’. Figur-figur tersebut merupakan figur tokoh agama dan sekaligus ulama yang memiliki peran publik dan dikenal secara luas dalam masyarakat Aceh. Prof. Alyasa’ adalah salah satu figur tokoh Muhammadiyah yang juga merupakan guru besar bidang Fiqh modern IAIN Ar-Raniry yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Syariat Islam Aceh. Sementara Prof. Muslim Ibrahim saat itu adalah pimpinan atau ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Aceh yang kemudian berubah nama menjadi MPU (MajelisPermusyawaratan Ulama), dan Teungku Imam Syuja’ pada saat dialog tersebut merupakan pimpinan organisasi Muhammadiyah sekaligus anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI perwakilan dari Aceh. Terlepas dari pesan yang disampaikan, mereka adalah tokoh agama atau ulama yang mewakili umat. Peran mereka dalam menyampaikan pesan dari masyarakat Aceh tetap dilihat dalam bingkai upaya ulama atau tokoh Muslim untuk menyelesaikan persoalan umat, dan disadari atau tidak tetap terinspirasi dari nilai-nilai atau prinsip perdamaian dan penyelesaian konflik yang ada dalam Islam. Peran lain dari lembaga keagamaan seperti dayah, juga terlihat pada kesediaan dayah untuk mejadi pelindung bagi kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik. Seringkali dayah memberikan perlindungan dan shelter untuk menjadi tempat tinggal mereka. Beberapa dayah bahkan seacara khusus memberikan tempat perlindungan bagi anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarga untuk dididik dan dibesarkan di dayah secara sukarela. Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
281
Eka Srimulyani
D. Perempuan dan Penyelesaian Konflik Fenomena lain yang perlu diangkat dalam proses resolusi konflik di Aceh adalah keterlibatan kelompok perempuan. Sebagai daerah yang memiliki catatan sejarah mengenai partisipasi aktif perempuan di ruang publik akan menarik untuk melihat juga apa yang terjadi dengan perempuan Aceh di masa konflik, apakah mereka aktif atau hilang sama sekali dari ruang publik ketika masa konflik. Kalau mereka ikut aktif dalam bentuk seperti apa peran dan partisipasi mereka dalam proses resolusi konflik di Aceh. Dan apakah pendekatan dan upaya yang mereka lakukan juga masuk dalam model-model resolusi konflik yang ada dalam diskusi normatif Islam. Untuk bisa memahami peran perempuan dan kelompok perempuan dalam penyelesaian konflik Aceh, maka perlu dilhami dulu mengenai peran dan kedudukan sosial perempuan dalam Masyarakat Aceh. Peran aktif perempuan bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah masayarakat Muslim di Aceh. Sejarah kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Aceh mencatat adanya penguasa baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam misalnya mencatat kepemimpinan empat sultanah secara berturut-turut yang memimpin Aceh, dimulai dari Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, putri dari Sultan Iskandar Muda sampai Sultanah Inayat Syah. Jauh sebelum Kerajaan Aceh Darussalam, kerajaan yangs udah duluan ada di Aceh juga memiliki penguasa perrempuan seperti Sutanah Nahrasiyah dan Sultanah Nurul Illa. Partisipasi perempuan di ruang publik seperti ini sebenarnya juga terjadi dalam sejarah kawasan Asia Tenggara termasuk Aceh. 9 Sejarah seperti ini sering dijadikan referensi untuk menunjukkan posisi sosial politik perempuan dalam masyarakat Aceh. Walaupun tidak sepenuhnya tepat merepresentasikan kondisi riil perempuan saat itu, tapi deskripsi yang demikian juga tidak sepenuhnya keliru. Namun demikian, kalau dilihat dalam konteks budaya Melayu di kawasan Asia Tenggara, secara umum mobilitas perempuan di ruang publik cukup tinggi dibandingkan dengan Lihat Anthony Reid, “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia”, Modern Asian Studies, Vol. 22, No. 3 (1988), h. 629–645. 9
282
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
kehidupan perempuan di negara yang memiliki tradisi purdah atau tradisi pembatasan aktivitas dan mobilitas perempuan di ruang publik atau kebiasaan yang cenderung memingit perempuan di ruang domestik atau privat yang sering didapati dalam masyarakat Timur Tengah atau di Anak Benua India seperti di Pakistan dan Bangladesh. Pada masa penjajahan Belanda di Aceh, beberapa tokoh perempuan Aceh ikut melakukan dan bahkan memimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial di Aceh. Dalam bukunya, Zentgraff salah seorang serdadu Belanda yang menulis tentang Aceh menyebutkan bahwa semasa perang di Aceh, seringkali sosok perempuan juga ditakuti oleh serdadu Belanda karena perlawanan mereka, terutama ketika para suami terbunuh. Pun di masa konflik, termasuk konflik terakhir antara GAM dan pemerintah pusat10, perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan juga dari persoalan karena mereka adalah bagian integral dari masyarakat Aceh. Apapun, dalam konteks konflik, secara umum, posisi perempuan dan anak tetap dipandang sebagai bagian dari kelompok rentan dan paling sering diposisikan sebagai korban. Potret perempuan menjadi korban lebih sering dimunculkan dalam tulisan-tulisan yang ada dibandingkan dengan upaya untuk melihat bagaimana perempuan tegar dan membangun konsolidasi untuk solidaritas membantu korban konflik dan inisiasi penyelesaian konflik. Pada masa konflik di Aceh, kelompok yang paling aman untuk bisa masuk ke wilayah konflik dan menolong korban adalah perempuan atau kelompok perempuan. Ketika eskalasi konflik Aceh meningkat, beberapa lembaga atau organisasi perempuan yang sudah mulai tumbuh saat itu sudah mulai melakukan upayaupaya kemanusiaan di lapangan. Kalau mau dianalisa lebih jauh karena persoalan konflik inilah, maka kekuatan sosial dan politik kelompok-kelompok perempuan terkonsolidasi dalam sebuah gerakan. Namun demikian dalam tingkat yang lebih lokal lagi, dalam beberapa kasus kekerasan dan penculikan, di luar Jacqualine Aquino Siapno, Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh (London and New York: Routledge Curzon, 2002). 10
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
283
Eka Srimulyani
cerita perempuan dijadikan tameng, juga ada perempuan yang kemudian berhasil menjadi mediator untuk menyelesaikan kasus penangkapan orang yang tidak bersalah yang biasanya adalah juga anggota keluarga mereka sendiri. Sepertinya ‘kondisi sosial politik’ dalam konteks konflik dari sisi lain juga menjadikan perempuan menemukan cara dan metode sendiri untuk menjadi penggerak, dan tidak selalu menjadi korban. Jika dilihat dari model pendekatan yang dipakai oleh perempuan, kebanyakan mediasi yang mereka lakukan adalah mediasi informal, termasuk mengusahakan penyelesaian nonkekerasan ketika ada anggota keluarga mereka yang ditangkap oleh pihak yang bertikai. Beberapa aktivis perempuan Aceh yang selama masa konflik sering terjun ke lapangan menyampaikan bagaimana dengan segala kekuatan yang mereka miliki kelompok perempuan di des-desa yang terkenal konflik di Aceh saling menguatkan satu sama lain. Tidak jarang mereka juga berani berhadapan langsung dengan pihak bersenjata bernegosiasi terutama ketika ada korban yang dari orang yang tidak bersalah yang ditahan atau ditangkap tanpa alasan. Ketika para laki-laki lebih memilih meninggalkan kampong halamannya karena alasa keamanan dan keselamatan jiwa, para perempuan kemudian mengambil peran penting dalam keluarga, atau bahkan dalam urusan publik masyarakat. Di salah satu desa di Aceh Selatan, seorang perempuan kemudian diangkat menjadi keucik (kepala desa) pada masa konflik. Dalam konteks yang lebih luas lagi, beberapa tokoh perempuan Aceh juga memperjuangkan penyelesaian konflik Aceh lewat penyampaian fakta-fakta pelanggaran HAM di Aceh ke level nasional bahkan internasional. Tahun 2000, salah seorang tokoh perempuan Aceh seperti Suraiya Kamaruzzaman bersama dengan beberapa tokoh lainnya berbicara di beberapa negara di Eropa dan lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyampaikan kepada dunia apa yang sesungguhnya terjadi di Aceh guna mencari jalan bagi penyelesaian konflik Aceh. Misi diplomasi seperti ini relatif berhasil menggugah perhatian dunia yang kemudian memberikan perhatian dan memediasi persoalan konflik yang terjadi di Aceh.
284
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
Perbedaan yang kentara dari perjuangan kelompok perempuan dalam penyelesaian konflik di Aceh adalah konsistensi mereka untuk mengedepankan “perdamaian” untuk menyelesaikan persoalan konflik. Ketika Timor Timur diberi kesempatan melakukan referendum di masa pemerintahan B.J. Habibie pasca mundurnya Suharto 1998 yang berakhir dengan kemerdekaan dan pemisahan Timor Timur dari Republik Indonesia. Ide dan inspirasi yang sama akhirnya juga melanda Aceh. Semangat penyelesaian konflik Aceh akhirnya bagi sebagian kalangan bermuara kepada opsi “referendum” atau “merdeka”. Dalam kondisi seperti ini, dominan opsi yang muncul dari kelompok perempuan adalah tetap perdamaian seperti yang dimunculkan dalam konggres perempua Aceh yang pertamana pada bulan Pebruary 2000 yang dikenal dengan Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) Duek Pakat Inong Aceh Salah satu pekerjaan kelompok perempuan Aceh yang terkeordinir dan dalam jumlah besar dalam rangka mengajukan ide penyelesaian konflik secara damai adalah lewat kegiatan Duek Pakat Inong Aceh semacam konggres perempuan Aceh yang melibatkan perempuan dari seluruh Aceh dalam jumlah yang cukup besar; lebih dari 400 orang.11 Konggres ini berlangsung ketika secara umum mainstream pemikiran dan pendapat yang sedang berkembang di masayarakat Aceh saat itu (tahun 2000) mengerucut pada opsi ‘merdeka’ atau ‘referendum’. Pasca referendum TimurTimur, inisiatif yang sama mulai didengung-dengungkan juga di Aceh termasuk melalui musyawarah besar yang dilakukan melalui organisasi SIRA pada tahun 2000 di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Pilihan ini sepertinya tidak begitu populer di kalangan kelompok perempuan Aceh yang juga suddah mulai aktif masuk ke isu-isu penyelesaian konflik, setidaknya seperti terlihat dalam rekomendasi akhir dari Duek Pakat Inong Aceh yang pertama. Walaupun Duek Pakat Inong Aceh ini berlangsung dalam tensi dan Lihat Suraiya Kamaruzzaman, “ Violence, internal displacement and its impact on the women of Aceh”, in Charles A. Chopel (ed), Violent Conflicts in Indonesia (London and New York: Routledge, 2000). 11
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
285
Eka Srimulyani
perbedaan pendapat yang cukup alot, tapi mayoritas menginginkan opsi damai menjadi pilihan untuk penyelesaian konflik Aceh bukan “merdeka” atau “referendum”. Hal ini pula yang tertuang dalam rekomendasi dari Duek Pakat Inong Aceh yang pertama pada tahun 2000 tersebut. Kondisi dan fakta di atas setidaknya memperlihatkan dua hal: pertama bahwa persepsi perempuan adalah korban, tidak selalu benar. Dalam kondisi tertentu seperti yang terjadi di Aceh peran mereka sebagai agen perdamaian atau keterlibatan mereka dalam penyelesaian konfli jelas terlihat. Kedua; prinsip yang diusung dalam advokasi kelompok perempuan di Aceh dalam penyelesaian konflik adalah dengan mengedepan “damai” ketimbang terjebak dalam opsi “referendum” atau ‘merdeka” yang saat itu sangat mengemuka menjadi hal yang menarik dan penting dari gerakan mereka. Islam sendiri dari segi bahasa berarti damai dan agama yang menganjurkan untuk perdamaian, dan nilai-nilai anti kekerasan. Nilai ini pula yang lebih dikedepankan dalam perjuangan mereka untuk penyelesaian konflik Aceh. Keterlibatan Perempuan dalam Penyelesaian Konflik Pasca Duek Pakat Inong Aceh, beberapa tokoh perempuan juga mulai terlibat dalam upaya-upaya langsung dari proses diplomasi dan mediasi ke arah terwujudnya damai di Aceh. Pada masa jeda kemanusiaan tahun 2002, ada beberapa tokoh perempuan Aceh yang terlibat seperti Naimah Hasan atau Syarifah Rahmatillah. Sejak saat itu beberapa perempuan Aceh secara intensif mulai dan terus terlibat dalam meberikan input untuk pembicaraan damai di masa jeda kemanusiaan. Di luar penyelesaian konflik secara formal dalam perundingan, kelompok perempuan di Aceh saat itu juga secara berkesinambungan terlibat di lapangan untuk membantu korban. Dalam kondisi konflik bersenjata keberadaan perempuan yang cenderung dianggap nonkombatan di lapangan masih lebih aman dibandingkan laki-laki. Sehingga misi kemanusian untuk korban konflik saat itu banyak yang dilakukan oleh perempuan. Walaupun terlibat aktif di lapangan, dalam penyelesaian konflik secara formal keterlibatan perempuan tidaklah begitu dominan seperti dalam pembicaraan damai Helsinki. Satu-satunya 286
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
Islam, Perempuan dan Resolusi Konflik di Aceh (2000-2005)
perempuan yang terlibat adalah pembicaraan damai yang dimediasi oleh CMI adalah Shadia Marhaban. Namun ada kontribusi besar lainnya yang dilakukan oleh perempuan untuk mempercepat pembicaraan damai seperti testimoni mengenai kekerasan yang terjadi di masa konflik. Ini akhirnya mendorong kelompok yang bertikai untuk berpikir mengakhiri kekerasan dan menyelesaikan konflik secara damai. Secara nasional pengakuan terhadap peran perempuan dalam penyelesaian konflik di Aceh bisa dilihat dari perhargaan Yap Thien award yang diterima oleh Faridah Ariani dan Suraiya Kamaruzzaman. E. Penutup Dari paparan di atas ada dua hal yang penting digarisbawahi. Pertama, meski proses perdamaian dan resolusi konflik yang dilakukan di Aceh tidak secara khusus menggunakan terminologi resolusi konflik yang dikenal dalam Islam, namun dalam realitanya pendekatan dan metode yang dipakai adalah cara-cara yang ada referensinya dalam sejarah Islam maupun dalam perspektif Islam normatif. Pemahaman dan pemikiran terhadap prinsip-prinsip negosiasi, musyawarah sebenarnya juga bukan hal yang asing dalam diskursus pemikiran dan tindakan ulama Aceh. Kedua, konflik dan resolusi konflik di Aceh juga menunjukkan bahwa perempuan atau kelompok perempuan yang selama ini sering diasosiasikan sebagai korban dalam konteks konflik dan perang, ternyata bisa menjadi kelompok yang aktif sebagai agen perdamaian, terutama ketika kondisi megharuskan dan situasi mendukung peran mereka untuk lebih aktif. Walaupun ketika dalam ruang perundingan formal, peran dan kontribusi mereka tidak begitu diperhatikan dan diangkat. Namun nilainilai yang diusung oleh kelompok perempuan di Aceh setidaknya seperti terlihat dalam rekomendasi Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) adalah “damai”; sebuah prinsip yang sangat dominan dalam ajaran Islam.
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012
287
Eka Srimulyani
DAFTAR PUSTAKA Bakti, Andi Faisal (ed), Good Governance and Conflict Resolution in Indonesia: From Authoritarian Government to Civil Society, Jakarta: IAIN; Logos, 2000. Bardan, Teungku Ibrahim, Resolusi Konflik dalam Islam: Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah, Banda Aceh: Aceh Institute, 2008. Heiduk, Felix, Series of Country Related Conflict Analysis: Province of Aceh/Indonesia, Bonn: Friedrich Elbert Stiftung, 2006. Kamaruzzaman, Suraiya, “ Violence, internal displacement and its impact on the women of Aceh”, in Charles A. Chopel (ed), Violent Conflicts in Indonesia, London and New York: Routledge, 2000. Miller, Michelle Ann, Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta’s Security and Autonomy Policies in Aceh, London anda New York: Routledge, 2009. Reid, Anthony, “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia”, Modern Asian Studies, vol. 22, no. 3, 1988. Salmi, Ralph H, et al, Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices, Lanham, Md.: University Press of America, 1998. Senanayake, Darini Rajasingham, “ International Aid, Peacebuilding and Conflict: Lessons from Aceh and Sri Lanka” ISAS Working Paper, No. 80 – Date: 4 August 2009 Siapno, Jacqualine Aquino, Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh, London and New York: Routledge Curzon, 2002. Waly, Muhibbuddin. Ayah Kami: Maulana Hají Muhammad Waly al-Khalidy, Singapore: Jew Printers & Binders PTE Ltd, 1993.
288
Analisis, Volume XII, Nomor 2, Desember 2012