Model Resolusi Konflik di Asia Selatan Setelah mengidentifikasi variabel konflik serta issue-issue yang mengitari sekitar konflik dan kekerasan yang terjadi pada dunia Islam di Asia Selatan, akan dirumuskan berbagai bentuk resolusi yang bisa ditawarkan. Dalam usaha mendesain resolusi ini akan dipergunakan desain dari Cob dan Elder serta William Ury. Cob and Elder cenderung mempergunakan tingkat konflik yang dilihat dari luas dan intensitasnya1. Sedangkan William Ury lebih menekankan resolusi konflik dengan basis menciptakan penghalang-penghalang agar ekskalasi konflik tidak cepat, sehingga sebelum intens dan meluas sudah bisa dimanajemen. Untuk itu Ury mengusulkan 3 langkah resolusi konflik: (1). Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat laten (tidak begitu nampak) agar tidak terjadi akumulasi ketegangan yang bisa membuat konflik jadi sulit diselesaikan. Proses pelembagaan konflik laten ini diharapkan mengurangi bentuk-bentuk politisasi dan bentukbentuk provokasi yang tidak produktif bagi resolusi konflik. (2). Segera menyelesaikan bentuk-bentuk konflik di permukaan.
Resolusi dilandasi asumsi
proses penyelesaian konflik secara dini, akan menutup kemungkinan proses idiologisasi konflik. Dengan pola ini diharapkan tidak berkembang menjadi konflik idiologis yang cenderung hitam putih, either or. (3). Membendung potensi-potensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif. Dengan mendesain kebijakan ini diharapkan ruang konflik yang tidak produktif bisa tereliminasi, dan ruang konflik yang produktif tetap bisa dipelihara2.
Resolusi konflik Antara Komunitas Hindu dan Muslim di India Dilihat dari issue yang ada, tampak sekali bahwa sifat konflik antara komunitas Islam dan Hindu di India adalah berbasis konflik yang sudah manifest. Persoalan konflik sudah ada, semenjak regim India dibangun yang diikuti dengan gejala separatisme, atau bahkan sebelum proses pemberian pemerintahan otonomi di 1907 oleh Inggris. Perebutan akses kekuasaan dalam 1 Lihat Roger Cobb dan Charles Elder, Participation in American Politics: The Dynamics of Agenda-Building, Allyn and Bacon, Boston, 1972 2 Lihat William Ury, Getting to Peace: Transforming Conflict at Home, at Work and in the World, New York, 1999
membangun elit India menjelang persiapan kemerdekaan memang telah memunculkan konflik, bahkan gejala politisasi agama yang dilakukan etnik Hindu-pun sudah ada. Hal ini bisa ditemukan fakta bahwa orang yang akan masuk ke partai Konggres maka orang itu harus Hindu. Sehingga orang Islam India yang mau masuk ke Parlemen akhirnya tidak tertampung di partai Konggres, namun akhirnya membentuk Liga Muslim.3 Akar utama masalah keduanya sebenarnya berangkat dari persoalan akses kekuasaan ekonomi dan politik. Pola hubungan konflik inipun ditandai dua pola: (1) Pola hubungan antara komunitas mayoritas dengan komunitas minoritas. Kelompok mayoritas dalam proses kompetisi etnik cenderung akan melakukan hegemoni terhadap kelompok minoritas. (2) Pola hubungan antara regim (pemerintahan/negara) dengan masyarakat (society). Agar konflik ini tidak berkembangan menjadi wars, maka resolusi yang terbaik terpulang dari political will dari negara atau pemerintahan India. Hal ini senada dengan resolusi yang diusulkan William Ury untuk membuat kebijakan publik yang responsif, sistematis dan komperehensif. Kebijakan ini hendaknya mampu menata kembali hubungan etnik Hindu dan Muslim tidak dalam pola hubungan yang diametral. Sebenarnya kebijakan seperti ini pernah direlease oleh para founding fathers-nya India seperti Nehru dan Gandhi, yang keduanya menganalogikan hubungan entitas Hindu dan Muslim di India merupakan bangunan yang khas, sebagaimana gambaran seorang gadis cantik. India tanpa Hindu maka seperti gadis juling, demikian juga India tanpa Muslim juga seperti gadis juling.4 Meski diakui bahwa kebijakan seperti ini memang masih sulit dilakukan oleh regim India yang secara kebetulan sedang dijalankan oleh kelompok yang pro fundamentalis Hindu yang cenderung agresif terhadap kelompok muslim. Namun issue demokratisasi bisa digunakan sebagai media, sekaligus daya bargain bagi kelompok muslim dalam proses politik. Proses penguatan kekuatan politik di kelompok Muslim perlu ditingkatkan kembali, pola-pola migrasi ke Pakistan dalam batas tertentu bisa dikurangi. Sebab migrasi besar-besaran ke Pakistan dalam konteks social semakin mempersulit posisi umat Islam yang berada di India. Di samping kualitas yang tertinggal di India semakin tidak berkualitas, juga mereka menghadapi gejala pengkambinghitaman dari komunitas Hindu. 3
Lihat “Islam and The Political Culture of Pakistan” dalam Craig Baxter, Government and Politics in South Asia, Westview, 1986, atau lihat lebih jauh dari proses partisi Pakistan atas India di Tesis Surwandono, Pertumbuhan Demokratisasi di dunia Islam: Studi Perbandingan Demokrasi di Iran dan Pakistan, (Tidak diterbitkan), Pasca Sarjana, UGM, 1999 4 Amal Hamzah, Pakistan Sebagai Negara Islam Muda, Jakarta, Djambatan, 1957
Keberanian regim India untuk menata pola hubungan antara Muslim dengan Hindu, dan Muslim dengan negara perlu segera didesain. Jangan sampai pula kebijakan tersebut hanya bersifat sementara saja, dan relatif diusahakan agar regim India tidak mengkaitkan perilaku Muslim Pakistan untuk dijadikan pembenaran tindakan represif terhadap muslim India, karena diasumsikan bahwa muslim yang ada di India sebagai sandera. Jika regim India bisa membuat kebijakan ini, maka orang Islam di India akan bisa memberikan kontribusi bagi proses politik di India yang lebih baik, sehingga energi kekerasan bisa dirubah menjadi energi pembangunan. Konflik yang ada akan bisa dilembagakan, dan akhirnya konfliknya bergerak dalam dataran debates yang fair.
Resolusi Konflik Konflik Antara Komunitas Islam di Pakistan Dilihat dari issue yang berkembang tampaknya problem konflik antara komunitas Islam di Pakistan merupakan gejala umum negara-negara yang melakukan proses demokratisasi. Problem
Keberanian regim India untuk menata pola hubungan antara Muslim dengan Hindu, dan Muslim dengan negara perlu segera didesain. Jangan sampai pula kebijakan tersebut hanya bersifat sementara saja
kekerasan memang seringkali mewarnai gejala awal demokrasi, sebagaimana halnya Indonesia ketika hendak berproses menjadi negara yang demokratis maka harga mahal demokrasi pertama kali adalah gejala kekerasan. Bagi fihak-fihak yang prodemokrasi, dipandang hal seperti ini adalah hal yang wajar sebagai biaya sosial yang harus ditempuh untuk mencapai tataran masyarakat yang demokratis. Namun harga demokrasi yang berlaku di dunia Islam tidaklah harus mengikuti skenario pengalaman dari masyarakat Barat. Demokrasi merupakan mekanisme yang masih bisa disesuaikan dengan kondisi wilayah tertentu. Setidaknya pandangan James Putzel yang mengidentifikasi pola demokrasi dengan basis pembangunan jalur kultural bisa mengeliminasi kekerasan politik dalam demokrasi. Ia mencontohkan model penerapan demokrasi di Filipina, bahwa pada dasarnya ekonomi Filipina tidaklah sebaik ekonomi Malaysia dan Indonesia di tahun 1992.5 Filipina juga memiliki pluralitas etnik semisal di Indonesia dan Malaysia. Namun dalam pandangan Huntington dalam Gelombang Demokrasi Ketiga, Filipina merupakan salah satu
5
Lihat James Putzel, “Why has democratization been a weaker impulse in Indonesia and Malaysia than in the Philippines”, dalam David Potter, David Goldblatt (eds.), Democratization, New York, Polity Press, 1997, hal. 241243
negara di Asia Tenggara yang sudah mengalami transformasi demokrasi. Filipina juga memiliki pluralitas etnik semisal di Indonesia dan Malaysia. Menurut Putzel kesemuanya terketak kepada proses membangun identitas nasional yang relatif tuntas. Pola fikir Putzel ini tidak bisa dilepaskan dari pola fikir Benedict Anderson dalam Imagined Community6, yang menyatakan bahwa demokrasi di dunia ketiga mau tidak mau harus mengelaborasi kultur dan etik mayoritas terlebih dahulu sebagai basis plat-form demokrasi. Semisal di Filipina, Putzel mencontohkan bagaimana etik Katolik dipergunakan sebagai guideline dalam proses transformasi. Sebagai suatu guide-line etik memang memerlukan figur, karena memang budaya Asia sangatlah kental dengan gejala patronase, maka figur Cardinal Sin sedemikian rupa adalah aktor demokrasi utama di Filipina yang memungkinkan gejala transformasi kekuasaan relatif tidak menimbulkan kekerasan sosial yang berarti. Bahkan Sin bisa memberikan bentuk transformasi terhadap regim militer seperti Ferdinand Marcos tanpa melalui kekerasan yang dahsyat, sewaktu Sin menghantarkan janda Benigno Aquino (Corazon Aquino) pada 1992, atau Arroyyo yang mengantikan Estrada pada 2001. Dalam persoalan menghadapi ekses bisa otonomi, Pakistan bisa belajar dari proses otonomi di Malaysia, yang juga relatif sama sebagai bekas koloni Inggris. Dari 9 negara bagian di Malaysia relatif jarang ditemui konflik antar etnik, atau antar kawasan, bahkan ketika kawasan mendeklarasikan suatu sistem yang tidak berlaku di sistem pusat sekalipun. Misal kemenangan PAS di Kelantan dan Sabah di mana dengan kemenangan tersebut dimungkinkan diterapkannya
Pakistan bisa belajar dari proses otonomi di Malaysia, yang juga relatif sama sebagai bekas koloni Inggris. Dari 9 negara bagian di Malaysia relatif jarang ditemui konflik antar etnik, atau antar kawasan
hukum Islam dalam ke dua wilayah tersebut. Regim UMNO pusat relatif tidak melakukan represi dan restriksi terhadap pemberlakuan sistem seperti ini. Memang juga harus diakui bahwa dalam konteks Malaysia, meskipun terdapat 9 negara bagian, akan tetapi plat-form dasar etnik di Malaysia adalah relatif tunggal yakni Melayu, meski di sana terdapat etnik India dan China. Berbeda dengan Pakistan yang hampir setiap propinsi direpresentasikan etnik tertentu. Namun gejala penguatan local-system di Malaysia yang tidak saling membenturkan satu sama lain menarik untuk dielaborasi di Pakistan. 6
Ibid.,
Dan problem bisa otonomi setelah diidentifikasi ternyata pola konflik berawal dari proses identifikasi elit lokal yang hendak mengakses dan mengakselerasi posisinya menjadi elit pusat. Sedangkan massa relatif hanya dimobilisasi oleh elit tersebut. Dalam setiap gejala mobilisasi dapat dipastikan terhadapat kondisi sebagai berikut: (1). Budaya politik yang berkembang dan popular adalah parohial7
(2). Tingkat literasi yang rendah (3). Terdapat
8
hubungan patron-client yang kuat . (4). Dan sering ditemukannya gejala oligharki politik. Dari ke 4 parasyarat mobilisasi tersebut tampaknya juga bisa ditemui di Pakistan, gejala parochial memang tidak bisa dilepaskan dari gejala melek hurufnya berada di bawah 50% seperti halnya
India, dan fenomena patronase juga ditemui di Pakistan. Masyarakat yang sedang
mengalami transformasi dari kultur agraris menuju kultur industri memang masih ditemukan gejala hubungan patron-klien, di mana seorang klien cenderung hanya akan mengikuti pola dan tindakan patronnya. Inilah yang dalam batas tertentu memungkinkan seorang patron atau elit lokal memanipulasi kepentingannya bukan mengartikulasikan kepentingan publik dalam proses politik. Gejala inilah yang dikenal sebagai gejala oligharki politik. Dalam proses mengatasi masalah tersebut adalah bagaimana menciptakan posisi massa sebagai kelompok yang relatif memiliki kekuatan bargaining. Dengan mampunya massa memiliki kekuatan bargain maka kepentingan massa tidak harus bersifat laten yang kemudian diinterprestasikan oleh elit. Wajah kepentingan masyarakat yang manifest maka gejala manipulasi oleh elit akan bisa dieliminasi. Dalam proses ini pula massa diharapkan mampu memproduksi ide-ide dalam proses mengartikulasikan kepentingannya. Hal ini penting agar produksi ide tidak berasal dari elit saja, akan tetapi ide justru berasal dari konstituen. Proses ini berarti akan merubah wajah budaya politik Pakistan menjadi wajah budaya politik partisipan. Dalam pandangan Ury juga disampaikan bahwa resolusi dilakukan dalam bentuk menyelesaikan bentuk-bentuk konflik di permukaan, terutama yang erat kaitannya dengan issue
7
Suatu orientasi individu yang cenderung mereferensikan kepentingan dirinya kepada kelompok, sehingga menimbulkan budaya acuh tak acuh, dan cenderung mudah dimobilisasi. Lihat dalam Gabriel Almond, Sidney Verba , Budaya Politik (terjemahan), Jakarta, Radjawali, 1990 atau lihat ulasan menarik dalam Mirriam Budiharjo, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1995 8 lihat Lucian W. Pye, Asian Power and Politics: The Cultural Dimensions of Authority, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1985, hal. 78
demokratisasi. Resolusi pada intinya menghendaki rule of game yang mapan dan kredibel. Selama ini memang banyak ditemukan bahwa konflik dalam issue demokratisasi di Pakistan tidak bisa terselesaikan dengan baik di lembaga-lembaga politik, atau parlemen. Sehingga solusi setiap masalah yang terjadi adalah dengan langsung membuat UUD yang baru, atau memberikan kewenangan ekstra parlementer kepada presiden untuk membubarkan parlemen. Atau karena sudah berlarut-larut maka solusi terhadap kekerasan politik dilakukan secara represif, seperti halnya kudeta oleh militer. Penyelesaian dengan pola ini memang akan semakin mengeraskan masalah, yang mana pada akhirnya akan menjadi idiologisasi masalah. Kondisi sekarang ini memang agak sulit membentuk rule of game sipil yang mapan dan kredibel, karena rule of game sekarang ini berada di bawah payung militer dari regim Pervez Musharaff. Akan tetapi dalam pandangan Eric Nodlinger, regim militer akan mengalami transformasi ke regim sipil kalau regim sipil sendiri mampu menunjukkan kinerja yang legitimate dan kredibel. Jadi akar resolusi dari issue demokratisasi dan kekerasan adalah bagaimana menciptakan kelembagaan sipil yang kuat dan dipercaya oleh masyarakat.
Pakistan bisa belajar dari kasus Iran dalam membangun identitas.
Dalam konteks issue identitas, memang diakui memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana halnya yang terjadi di Indonesia pergulatan issue identitas sedemikian pelik, dari issue piagam Jakarta, perubahan konstitusi, penegakan Syari’ah, sampai gejala tetap pada UUD 1945, amandemen dan lain-lain. Demikian pula yang terjadi di Pakistan, issue identitas nasional sampai saat inipun masih diperbincangkan dalam konteks debates. Namun seringkali berekskalasi sampai dalam tingkat games, pola ini bisa dilihat bagaimana pergantian regim diikuti pola perubahan UUD, dan platform identitas politik yang diusung suatu regim. Memang selama ini belum sampai membuat issue identitas ini membuat perang saudara secara massive, akan tetapi jika ini tidak diselesaikan dengan baik energi pembangunan akan hanya terkuras dalam debates ini. Dalam konteks resolusi agar debates tentang identitas tidak menjadi kekerasan politik, Pakistan bisa belajar dari kasus Iran dalam membangun identitas. Iran sebagaimana halnya dengan Pakistan memiliki pluralitas etnik, dan bahasa, bahkan mazhab. Agar gejala pluralitas tidak menjadi gejala yang kontra-produktif di kemudian hari, maka Khomeini melakukan restrukturisasi identitas dengan mengunakan proses politik berupa referendum. Referendum
dipergunakan dalam konteks agar segala bentuk potensi konflik yang kontra-produktif diselesaikan melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif dan demokratis.9 Hal ini senada dengan pandangan Ury yang menyatakan resolusi dilakukan dengan membendung potensipotensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif. Resolusi Antara India dan Pakistan Persoalan konflik India Pakistan merupakan konflik antar negara, yang dalam batas tertentu terdapat kompleksitas masalah di satu sisi dan simplitas masalah. Artinya pada titik tertentu masalah antar negara ooleh suatu regim dianggap penting sekali sampai masuk dalam dataran idiologis (high politics), namun bisa jadi bagi regim yang lain dianggap dalam dataran low-politics. Kesemuanya kembali pada persepsi dari elit pembuat keputusan itu sendiri, yang bisaanya pula jumlah sangat terbatas. Contoh, bagaimana kasus konflik Indonesia dan Malaysia di awal decade 60-an mengalami ekskalasi yang tinggi, bahkan sampai titik pengiriman pasukan untuk menyerang Malaysia dengan operasi “Ganyang Malaysia” oleh Sukarno, namun begitu regim terdapat perubahan regim, maka orientasi konfrontatif berubah menjadi kerjasama baru yakni ASEAN. Bagaimana kasus di Pakistan dan India ? Apakah bisa disamakan dengan kasus Indonesia?
Dari issue yang ada, konflik
antara India-Pakistan lebih kepada issue sejarah separatisme,
yang bisa dilakukan para elit pengambil keputusan di Pakistan dan India, terutama elit militer memang diperlukan kesefahaman satu sama lain akan hakikat konflik, kerugian dan keuntungan sampai implikasinya
perbatasan, dan bisa tekanan eksternal. Dari sisi aktor yang terlibat dalam dataran elit politik domestik, maupun internasional seperti elit MIC. Dengan melihat peta ini tampak sekali konflik Pakistan-India sedemikian rumit, dibandingkan dengan konflik Indonesia-Malaysia ketika itu. Namun kalau kita cermati lebih mendalam dari 3 issue di atas, tampaknya substansi issue konflik ada pada issue kedua yakni perbatasan, terutama masalah Jammu Kashmir. Dari sini kita bisa mengurai lebih obyektif bagaimana mendesain resolusinya. Dalam proses resolusi konflik, sebenarnya kekuatan internasional seperti PBB telah melakukan intervensi terhadap konflik ini semenjak konflik ini muncul di tahun 1947, pasca pecahnya India
9
Lihat tesis Surwandono, op.cit.,
dengan melakukan suatu plebisite.10 Namun usaha ini tak pernah terlaksana, yang akhirnya memuncak menjadi fenomena perang terbuka antara India dan Pakistan pada tahun 1965, perang akhirnya berakhir setelah kedua belah fihak menandatangani deklarasi Tashken yang disponsori PBB untuk mempertahankan garis perbatasan sebelumnya (Line of Control/LoC).11 Untuk lebih menjamin keberlangsungan perdamaian maka diadakan kembali perjanjian SIMLA di akhir 1972.12 Namun konflik pecah kembali tatkala pemerintah India secara represif melakukan tindakan kekerasan, pemerkosaan terhadap penduduk Muslim Kashmir yang kemudian dikenal dengan tragedi Poshpura, Februari 1992. Problem Indian dan Pakistan menjadi semakin rumit manakala dilihat difihak Kashmir juga terjadi diversitas, yakni kelompok yang pro-India yang notabene beragama Hindu, terutama di wilayah Jammu. Kedua, kelompok yang pro-Pakistan yang notabene beragama Islam, dan kelompok nasionalis Kashmiri. Dengan demikian terjadi multi aktor yang terlibat dalam konflik India dan Pakistan. Langkah awal yang bisa dilakukan para elit pengambil keputusan di Pakistan dan India, terutama elit militer memang diperlukan kesefahaman satu sama lain akan hakikat konflik, kerugian dan keuntungan sampai implikasinya. Tanpa kesefahaman maka sulit mempertemukan proses penyelesaian masalah. Setidaknya India dan Pakistan bisa belajar dari kasus cepat pulihnya hubungan Indonesia dan Malaysia ketika melakukan konfrontasi di awal decade 1960an. Menurut Hidayat Mukmin salah satu variable yang memungkinkan cepat terselesaikannya masalah konfrontasi adalah antara elit militer Malaysia dan Indonesia menjadi satu pertemanan dalam sekolah-sekolah atau kursus-kursus kemiliteran. Perdebatan dalam ruang kursus atau sekolah tidak memungkinkan mobilisasi persenjataan dan tentara, tetapi perdebatan ide untuk menemukan formula penyelesaian yang terbaik.
10
Lihat dalam Ashutosh Varshney, “India , Pakistan and Kashmir: Antinomies of Nationalism”, Asian Survey, Vol. XXXI. No. 11, November 1991 11 Lihat “Elang dan Api Membayangi di Himalaya”, dalam Tempo 13 Januari 2002 12 Rusdi Hamka, Kashmir: Nurani Dunia Diadili, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1994
Dalam kasus India-Pakistan memang selama ini mengalami kesenjangan orientasi pendidikan kemiliteran. Para perwira militer Pakistan cenderung sekolah ke Amerika Serikat, yang memang memberikan asistensi militer, dan akhir-akhir ini banyak belajar dari China. Sedangkan India, yang dalam setting perang dingin menjadi mitra Uni Soviet, cenderung belajar ke Uni Soviet.13 Salah satu resolusi cultural adalah menciptakan ruang bersama bagi para perwira militer India dan Pakistan untuk saling belajar dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan militer. menjinakkan para komparador/makelar persenjataan yang senantiasa menghembuskan issue perang. Dalam konteks ini memang diperlukan political-will bersama untuk tidak menciptakan perang, atau menutup celahcelah terjadinya manipulasi issue yang bisa menghasilkan perang
Resolusi kedua adalah bagaimana menjinakkan para komparador/makelar
persenjataan
yang
senantiasa
menghembuskan issue perang. Dalam konteks ini memang diperlukan political-will bersama untuk tidak menciptakan perang, atau menutup celah-celah terjadinya manipulasi issue yang bisa menghasilkan perang. Dalam konteks ini regim sipil harus cerdas dan credible untuk memantau elit pola kepemimpinan militer agar tidak menjadi pretorian-militer. Perwira-perwira yang punya potensi pretorianis perlu segera direvisi dan diganti dengan perwira militer professional Bagaimana menjinakkan para makelar senjata yang
berbasis elit transnasional atau bahkan elit negara besar ?. Kondisi sistem internasional yang anarkhis memang cukup menyulitkan negara berkembang bisa bargaining dengan kekuatan tersebut. Hal yang bisa dilakukan hanya meminimalisasinya. Upaya yang bisa ditempuh adalah memantau secara cermat pergerakkan anggaran belanja militer, dan kegunaannya untuk apa. Elit sipil dan masyarakat harus senantiasa curiga apakah pergerakan anggaran belanja militer sebagai sesuatu yang sifatnya defensif atau sesuatu yang akan dipergunakan sebagai alat untuk melatenkan konflik sehingga militer di India dan Pakistan dalam posisi bersitegang terusmenerus. Apakah definisi konflik keduanya hanya ditentukan oleh elit militer saja, sehingga memungkinkan para elit militer keduanya memanipulasi demi keuntungan regim militer ?
13
Lihat dalam Kotera M. Bhimaya, “Nuclear Deterrence in South Asia: Civil-Military Relations and Decision Making,” Asian Survey Vol. XXXIV. No 7, July 1994, hal. 647
Dalam konteks ini yang bisa dilakukan oleh elit sipil dan masyarakat di kedua negara tersebut turut serta dalam mendiskusikan untuk mendefinisikan sesuatu tersebut disebut konflik secara lebih terbuka. Dan dalam hal ini presiden untuk kasus Pakistan menjadi sangat strategis posisinya, presiden sesuai dengan amandemen 1988 di Pakistan memiliki hak ekstra parlementer dalam memandang sesuatu dianggap berbahaya atau tidak. Presiden bisa membubarkan kabinet, dan memecat perdana menteri. Untuk kasus Pakistan, regim sipil dan masyarakat Pakistan haruslah cerdas dan kritis terhadap pemilihan posisi presiden, yang mana mereka cenderung berfungsi sebagai kepala negara yang memiliki hak untuk menyatakan perang. Jangan sampai posisi presiden jatuh kepada kelompok pretorianis yang bisa Dalam tingkat tertentu Inggrislah yang paling bertanggungjawab akan konflik perbatasan ini. Sebagai bekas regim kolonial Pakistan dan India, Inggris setidaknya masih memiliki hubungan emosional dan organisatoris yang terikat dalam ikatan persemakmuran
memanipulasi konflik. Demikian juga untuk kasus di India. Resolusi
yang
tak
kalah
pentingnya
adalah
keterlibatan regim internasional dalam hal ini regim bekas kolonial India dan Pakistan yakni pemerintah Inggris. Dalam tingkat tertentu Inggrislah yang paling bertanggungjawab akan konflik perbatasan ini. Sebagai bekas regim kolonial Pakistan dan India, Inggris setidaknya masih memiliki hubungan emosional dan organisatoris yang terikat dalam ikatan persemakmuran. Memang ketika perseteruan India
dan Pakistan memuncak, menteri luar negeri Inggris memberikan advokasi-advokasi bagi peredaan ketegangan. Dalam konteks ini variabel yang menjadi sangat penting dalam penentuan political will dari regim Inggris; adalah siapa yang sedang berkuasa ?. Apakah dari kelompok konservatif atau kelompok buruh?. Ada kecenderungan kelompok konservatif di Inggris memiliki hampir kemiripan dengan kelompok partai republik di Amerika Serikat. Keterikatan dengan issue high politics tampak lebih dominan. Kelompok konservatif mungkin tidak memiliki political will yang besar bagi resolusi konflik, atau minimal tidak memiliki agenda program yang serius terhadap pola ini. Akan tetapi kelompok partai buruh di Inggris memiliki kemiripan seperti partai demokrat di Amerika Serikat yang lebih konsen pada issue low-politics. Sehingga diharapkan akan mencadangkan program-program resolusi konflik di bekas negara jajahannya.
Resolusi yang keempat adalah resolusi yang berbasis internasional, dan langsung melibatkan kekuatan multi-nasional secara fisik, atau memberikan resolusi yang komprehensif.. Kasus penyerangan tentara multinasional untuk mengancurkan Afghanistan dengan alasan mencari Usamah bin Laden memberikan berkah tersendiri bagi proses peredaan ketegangan. Bagaimana tidak, Pakistan dan India pada akhir 2001 semenjak pemboman gedung parlemen India, menunjukkan tensi konflik sudah hampir mencapai tingkat wars. Akan tetapi keberadaan tentara multi-nasional yang mempergunakan fasilitas militer Pakistan membuat India berfikir dua kali kalau hendak melakukan penyerangan. Demikian pula Pakistan lebih terfokus memberikan pelayanan yang baik kepada Amerika Serikat daripada melakukan tindakan konfrontatif dengan India. Kehadiran tentara multinasional dalam batas tertentu telah menciptakan kestabilan, meski sementara. Terbukti begitu pasukan multinasional ditarik dari Pakistan maka aroma pertikaian keduanya mulai menghangat kembali. PBB sekarang ini tampaknya juga harus mencoba mengulangi kembali rencana plebisite yang gagal dilakukan pada dekade 1960-an. Pola penyelesaian ini sudah semakin urgen untuk dilakukan agar tidak terjadi Kehadiran tentara multinasional dalam batas tertentu telah menciptakan kestabilan, meski sementara. Terbukti begitu pasukan multinasional ditarik dari Pakistan maka aroma pertikaian keduanya mulai menghangat kembali
manipulasi
dan
mobilisasi
terhadap
pihak-pihak
yang
berkepentingan terhadap konflik ini. Sebab plebisite ini akan memperkecil ruang para komparador konflik yang akan menghembus-hembuskan issue konflik. PBB dalam hal ini bisa melakukan pola pelaksanaan referendum di Timor Timur untuk kasus Indonesia. Selama ini kasus Timor Timur memang menjadi duri dalam daging bagi masyarakat Indonesia. Tarik menarik kekuatan militer dan politik
Indonesia, Australia, dan lembaga swadaya internasional memang agak keruh. Keberanian sikap untuk melakukan plebisite yang fair diharapkan akan memberikan ruang yang luas bagi masyarakat Kashmir agar tidak diperkuda oleh India maupun Pakistan. Masyarakat Kashmir diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, dan dunia internasional memfasilitasinya.