IDENTIFIKASI POTENSI DAN MODEL RESOLUSI KONFLIK PADA PROGRAM REVITALISASI KAWASAN DANAU TEMPE DI SULAWESI SELATAN IDENTIFICATION OF CONFLICT POTENTIAL AND ITS RESOLUTION MODEL IN TEMPE LAKE REVITALIZATION PROGRAM IN SOUTH SULAWESI Andi Suriadiˡ, M. Andri Hakim², Bernaldy3 Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang, Kementerian PUPR Jl. Pattimura No. 20 Jakarta Selatan ˡ
[email protected], ²
[email protected],
[email protected] Abstract In recent decades, flooding due to overflowing water of the Tempe Lake has caused substantial losses especially in some areas in Wajo Regency, Soppeng Regency and Sidenreng Rappang Regency, South Sulawesi Province. The main factor causes flooding is the increasing sedimentation of the lake. To overcome these problems, it has launched revitalization program by means of dredging to increase water storage volume and enhance water level of the lake. However the problem arise was that some people have used the lake to earn income for their life when water is low. The aim of this research was to identify the conflict potential and its resolution model in implementation of Tempe Lake revitalization program. This research was conducted with qualitative method. Data colleted by field observations, in-depth interviews, literature review, and focus group discussion. The results of this research showed that there were differences of perception regarding water level, pattern of land use, and fears of declining income level. While the conflict resolution model that can be used to solve the problem is deliberation and compromise. To support revitalization program, it is expected to overcome the potential conflict as early as possible. Keywords: conflict potential, conflict resolution, tempe lake, revitalization, discussion, compromise Abstrak Dalam beberapa dekade terakhir, banjir akibat luapan air danau tempe telah menimbulkan kerugian yang cukup besar terutama pada beberapa wilayah di Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu penyebabnya adalah semakin tingginya sedimentasi dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, telah dicanangkan program revitalisasi dengan cara pengerukan untuk menambah volume tampungan air dan mempertinggi muka air danau. Namun, masalahnya adalah sudah ada sebagian warga terbiasa mencari nafkah jika air surut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi konflik dan model resolusi yang dapat diterapkan dalam mendukung program revitalisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data dikumpulkan dengan cara observasi lapangan, wawancara mendalam, kajian literatur dan focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi konflik yang muncul adalah perbedaan persepsi terhadap ketinggian air, kekhawatiran menurunnya tingkat pendapatan, dan pola pemanfaatan lahan. Sedangkan model resolusi konflik yang sering dan dapat diterapkan adalah dengan mengedepankan musyawarah dan berkompromi. Untuk mendukung kelancaran program revitalisasi, diharapkan potensi-potensi konflik tersebut dapat diatasi sedini mungkin. Kata kunci: potensi konflik, resolusi konflik, danau tempe, revitalisasi, musyawarah, kompromi
PENDAHULUAN Danau Tempe merupakan salah satu dari lima belas danau di Indonesia yang kondisinya sangat membutuhkan perhatian serius dan perlu mendapat prioritas penanganan. Danau yang secara administratif berbatasan dengan tiga kabupaten (Wajo, Soppeng, dan Sidenreng Rappang) di Provinsi Sulawesi Selatan saat ini memiliki permasalahan ekosistem terkait kerusakan daerah tangkapan air (DTA), kerusakan sempadan, dan pencemaran perairan Kerusakan DTA di daerah hulu diakibatkan oleh
penebangan yang tidak terkendali seperti perambahan hutan (illegal logging) dan perladangan berpindah, sehingga jumlah kawasan kritis Danau Tempe mencapai 308.962 ha dari total kawasan 830.485 ha. Selain itu, terjadi konversi daerah resapan air dan kantong-kantong air sehingga cadangan air yang disimpan menjadi semakin menipis. Sementara itu, kerusakan sempadan disebabkan oleh buangan limbah domestik, pertanian, dan sisa pakan ikan. Hal ini menyebabkan terjadinya eutrofikasi pada permukaan air danau. Sedangkan pencemaran perairan akibat 1
tingginya laju sedimentasi sehingga danau menjadi semakin dangkal yang memicu terjadinya banjir di kawasan sekitarnya dengan laju sedimentasi mencapai 1 – 3 cm per tahun. Pendangkalan secara alamiah diakibatkan oleh sedimentasi yang dibawa sungai-sungai yang bermuara di danau seperti sungai Lawo, sungai Bilokka, sungai Batu Batu, sungai Bila, dan sungai Walennae. Namun demikian, juga terjadi pengelolaan lahan yang melebihi daya dukung danau, peningkatan jumlah penduduk, dan penurunan kualitas air (Kementerian LH, 2011). Mencermati kondisi Danau Tempe tersebut, telah diambil langkah-langkah untuk revitalisasi. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah membangun bendung gerak. Bendung gerak ini berfungsi untuk mempertahankan muka air danau dengan elevasi +5 m serta sebagai intake PDAM Sengkang Kab. Wajo, perikanan, pariwisata, dan irigasi pompa (Kementerian PUPR, 2015). Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah pengerukan sebagai solusi untuk menambah volume tampungan air dan menambah elevasi air danau. Namun demikian, terdapat persoalan karena di kawasan Danau Tempe sudah menjadi sumber mata pencaharian bukan saja bagi nelayan, tetapi juga para petani (padi dan pelawija) yang memanfaatkan lahan kawasan danau ketika air surut. Masalahnya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata di lahan sekitar sempadan danau, sudah ada berbagai jenis hak pengelolaan bahkan hak kepemilikan oleh penduduk lokal. Sebenarnya, perhatian terhadap Danau Tempe melalui penelitian sudah banyak dilakukan dari berbagai sisi. Dari sisi kearifan lokal, Surur (2014) telah mengkaji kelompok yang berpengaruh terhadap eksistensi Danau Tempe. Surur menemukan adanya tujuh komunitas lokal (nelayan, penganut kepercayaan to Lotang, petani, penenun, pandai besi, baaliwiyah, dan to Lise) yang berpengaruh secara langsung terhadap keberadaan Danau Tempe. Demikian pula, Naing et. al. (2009), menemukan bahwa kearifan lokal berupa norma-norma yang bersifat ajakan, larangan, dan sanksi mempunyai makna yang sangat besar terhadap keseimbangan bermukim di atas air dengan ekosistem Danau Tempe. Dari sisi perikanan, Eragradhini (2014) menemukan bahwa nisbah kelamin ikan bungo yang matang gonad di Danau Tempe menunjukkan tertinggi pada November (1:3.25) dan terendah pada bulan Juli (1:0,33). Muliawan dan Fatriyandi (2008) menemukan bahwa nilai ekonomi sumber daya khususnya perikanan cukup besar, namun tidak terdistribusi merata. Manfaat terbesar diperoleh nelayan bungka toddo,
dibanding nelayan lainnya. Sementara itu, yang terkait dengan rumah-rumah mengapung nelayan, Naing dan Halim (2013) menemukan bahwa model sistem struktur rumah mengapung di Danau Tempe untuk mengantisipasi bencana adalah terdiri dari struktur bawah berbentuk susunan rakit dari tiga lapis bambu sebagai pelampung, serta model kaki Aladin dan telapak sebagai pondasi rumah di atas rakit. Sedangkan yang terkait dengan konflik di Danau Tempe, sejauh penelusuran pustaka hingga saat ini belum ada yang meneliti. Penelitian tentang konflik di wilayah danau lebih banyak dilakukan di negara lain, baik yang terkait dengan sumber atau penyebab konflik maupun resolusi konfliknya. Riemer (2004), yang meneliti tentang hubungan konflik sosial di danau sebelah utara Wiscounsin Amerika menemukan bahwa konflik terjadi terkait dengan cara menangkap ikan terutama antara pribumi (hak suci) dan nonpribumi (tidak memiliki hak suci) yang dianggap tidak adil. Okpara et.al. (2015) menemukan bahwa surutnya air Danau Cad di Afrika telah memicu terjadinya konflik perebutan yang terkait dengan kerentanan dan menurunnya pasokan air. Di samping itu, Nascimento dan Carlos (2012), menemukan bahwa penggunaan alat GMCR II (Model of Graphs for Conflict Resolution) oleh IBAMA (agensi lingkungan di Brazil) sebagai strategi pembatasan alat tangkap ternyata dapat menjadi resolusi konflik di antara nelayan di Danau Amazonian. Berdasarkan sejumlah hasil penelitian di atas, tampak bahwa penelitian yang dilakukan di Danau Tempe lebih pada aspek kearifan lokal, perikanan, dan rumah mengapung di danau. Demikian pula sebenarnya sudah dilakukan penelitian tentang konflik di wilayah danau, namun lokasinya di luar negeri. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengkaji potensi konflik dan model resolusi konflik terkait dengan revitalisasi khususnya rencana pengerukan di Danau Tempe. Penelitian ini penting dilakukan karena (a) di kawasan Danau Tempe terdapat tiga pemerintah daerah dengan kebijakan yang tidak sama, (b) lahan di wilayah danau sudah diokupasi sedemikian rupa sehingga ketika akan dikeruk diperkirakan akan muncul resistensi dari masyarakat, (c) ada kelompok nelayan dan petani yang selama ini menikmati jika air danau surut, (d) program revitalisasi ini merupakan proyek besar dengan anggaran besar sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam melakukan tindakan terutama yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat, dan (e) resolusi konflik di Danau Tempe dapat menjadi model penyelesaian konflik di danau lainnya yang 2
rencananya juga akan direvitalisasi. Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk dikaji lebih jauh terkait dengan: (a) Bagaimana potensi konflik yang kemungkinan akan terjadi jika dilakukan revitalisasi (pengerukan) Danau Tempe? (b) Bagaimana model resolusi konflik yang selama ini diterapkan di kawasan Danau Tempe dan kaitannya jika dilakukan revitalisasi (pengerukan)? Secara konseptual, konflik sering didefinisikan sebagai terjadinya perbedaan pendapat, sikap, dan tindakan antara satu orang dengan orang lain atau kelompok. Bentuk konflik menurut Prayogo (2007) dapat berwujud dalam bentuk konflik yang tanpa kekerasan adalah rumor, keluhan, keresahan, laporan, tekanan, pengancaman, hingga demonstrasi massa, sedangkan dengan kekerasan adalah tindakan penyerangan yang dapat menimbulkan kerusakan, korban luka, dan korban jiwa. Ditambahkan oleh Pruitt dan Jeffrey (1999) bahwa bentuk-bentuk konflik tersebut dapat mengalami transformasi, yakni (a) dari ringan menjadi berat, (b) dari kecil menjadi besar, (c) dari spesifik menjadi umum, (d) dari berhasil/menang menjadi menyakiti orang lain, dan (e) dari sedikit menjadi banyak. Sementara itu, model resolusi konflik sering diartikan sebagai cara-cara atau jenisjenis yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Winardi (1994) membuat tipologi terhadap gaya manajemen resolusi konflik, yakni (a) tindakan menghindari; bersikap tidak kooperatif dan tidak asertif; (b) kompetisi: tidak kooperatif, tetapi asertif; (c) akomodasi atau meratakan; kooperatif, tetapi tidak asertif; (d) kompromis; cukup kooperatif dan asertif; dan (e) kolaborasi (pemecahan masalah): kooperatif dan asertif. Selain itu, penggunaan pihak ketiga menurut Fernandez (2013) juga penting dalam resolusi konflik
Laju Sedimentasi Danau Cukup Tinggi
Program Revitalisasi
seperti arbitrasi atau mediasi. Secara spesifik, dalam hal konflik tentang air, Rainer dan David (2011) menekankan pentingnya upaya kolaborasi dalam resolusi konflik, terutama menyelesaikan masalah air. Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: (a) mengidentifikasi potensi konflik yang terjadi jika dilakukan revitalisasi Danau Tempe, dan (b) mempelajari resolusi konflik untuk menyelesaikan potensi konflik jika dilakukan program revitalisasi Danau Tempe. Dengan demikian, ketika program diimplementasikan, konflik-konflik dapat diminimalkan sehingga program revitalisasi dapat berjalan dengan baik dan Danau Tempe dapat berfungsi kembali seperti semula. METODE PENELITIAN Kerangka Pikir Tingginya laju sedimentasi menyebabkan Danau Tempe semakin dangkal. Oleh karena itu, program revitalisasi melalui pengerukan ditujukan bukan hanya untuk menambah volume tampungan air, melainkan juga untuk meningkatkan muka (elevasi) air Danau Tempe. Akan tetapi, saat ini sudah banyak anggota masyarakat yang memanfaatkan lahan danau ketika air sudah mulai surut (petani dan nelayan), bahkan sebagian lahan danau sudah menjadi hak pengelolaan dan hak kepemilikan. Untuk itu, potensi konflik dapat muncul terutama dari kelompok nelayan, petani, dan pemilik lahan. Namun demikian, sebenarnya juga ada model resolusi konflik yang sering diterapkan di kawasan Danau Tempe. Dengan demikian, diharapkan program revitalisasi Danau Tempe dapat berjalan dengan lancar. Secara visual kerangka pikir tentang potensi konflik dan model resolusi konflik dapat dilihat pada Gambar 1.
Petani/Pemilik Tanah dan Nelayan yang Menginginkan Air Surut
Potensi Konflik
Model Resolusi Konflik
Program Revitalisasi Berjalan Lancar
Nelayan yang Menginginkan Air Tinggi Gambar 1. Kerangka Pikir Potensi dan Model Resolusi Konflik (Sumber: Disintesiskan oleh Penulis, 2017) 3
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015 yang dilaksanakan oleh Tim Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Lokasi penelitian berada di tiga kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Danau Tempe meliputi Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan. Teknik Pengambilan Sampling Pemilihan sampel informan dilakukan secara nonprobabilita, yakni secara purposif. Di tingkat kabupaten, yang menjadi informan adalah pejabat Pemda (Bappeda, Dinas PSDA, dan Dinas Perikanan) di Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidenreng Rappang Provinsi Sulawesi Selatan; di tingkat kecamatan para camat/sekcam (tujuh kecamatan), di tingkat kelurahan/desa adalah para kepala desa/lurah; dan di tingkat masyarakat adalah para petani dan nelayan yang sumber mata pencahariannya di Danau Tempe. Jumlah total informan aparat Pemda 9 orang untuk 3 kabupaten, camat/sekcam 7 orang untuk 7 kecamatan, kepala desa/lurah 26 untuk 26 desa/kelurahan, dan masyarakat petani/nelayan 85 untuk 7 kecamatan (catatan: jumlah masyarakat yang diundang minimal 15 dalam 1 kecamatan). Dengan demikian, jumlah sampel adalah 127 orang.
Gambar 2. Desa/Kelurahan yang Berbatasan dengan Danau Tempe (Sumber: Puslitbang KPT, 2015) Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, focus group
dicussion (FGD), kajian literatur, dan observasi lapangan. Keempat metode ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses pengumpulan data. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatifdeskriptif, yakni dengan melakukan langkahlangkah: (a) identifikasi (menemukenali data permasalahan dan potensi-potensi konflik yang kemungkinan akan muncul dalam pelaksanaan revitalisasi), (b) klasifikasi (mengklasifikasi data ke dalam kategori-kategori tertentu yang memiliki kesamaan), (c) interpretasi (melakukan penafsiran terhadap data dengan menggunakan kerangka teori yang digunakan), dan (d) penarikan kesimpulan (menyimpulkan data dan hasil pembahasan). HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Konflik Perbedaan Persepsi terhadap Ketinggian Air Danau Saat ini, informasi yang hangat dan sedang berkembang, baik di kalangan aparat Pemda maupun masyarakat adalah adanya rencana revitalisasi kawasan Danau Tempe yang inti kegiatannya adalah pengerukan dan pembuatan pulau. Secara umum, sikap Pemda sangat mendukung. Demikian pula sebagian masyarakat sekitar Danau Tempe (terutama yang sering terkena banjir) sudah sangat lama menantikan program ini dapat terealisasi. Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun masyarakat mengalami banjir yang bukan hanya merendam areal pertanian warga, melainkan juga merusak rumah dan harta benda masyarakat. Oleh karena itu, Pemda dan masyarakat mengharapkan melalui kegiatan pengerukan, kondisi Danau Tempe dapat berfungsi kembali seperti dahulu kala. Namun, kegiatan tersebut berimplikasi terhadap elevasi air danau yang akan berdampak pada aktivitas terutama para nelayan. Pada konteks elevasi air ini, terdapat polarisasi persepsi, yang dapat dipilah ke dalam dua kategori: (a) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Danau Tempe tinggi. Kelompok nelayan tersebut adalah lanra, tongkang, jabba trawl/kawat dan jala. (b) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Danau Tempe rendah. Kelompok nelayan tersebut adalah bungka toddo, belle, dan strom aki. Gambaran persepsi terlihat dari ungkapan salah seorang nelayan bungka toddo yang menginginkan air surut dalam bahasa Bugis, “... 4
de nadeppa tellona balewe akko de nafura metti tapparengnge” (tidak menetas telur ikan kalau danau belum pernah mengering) (informan, di Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo). Sementara itu, persepsi salah seorang nelayan yang menginginkan air tinggi, “... akko mapance waiye, makurang bale, tafi akko matanre waiye, maega bale, palai fallanrae.” (... kalau air rendah ikan juga kurang, tetapi kalau air tinggi, banyak ikan, nelayan jaring akan banyak hasil tangkapannya) (informan di Kec. Marioriawa, Kab. Soppeng). Selain itu, terdapat kelompok petani yang tentu sangat menginginkan air danau rendah/surut. Hal ini terkait dengan sulitnya mereka melakukan aktivitas pertanian jika air danau masih tinggi. Demikian pula, jika lahan danau sudah dikeruk, maka kemungkinan lahan garapan mereka akan semakin dalam dan senantiasa akan tergenang air. Salah seorang informan mengatakan, “Bagaimana nanti kalau air tinggi, orang tidak bisa bertani, mau kerja apa” (informan di Kec. Marioriawa, Kab. Soppeng). Data di atas menujukkan bahwa perbedaan persepsi berpotensi menjadi bibit konflik, bukan hanya antara pelaksana program (pemerintah) dan masyarakat (konflik vertikal), tetapi juga berpotensi terjadi konflik di antara masyarakat sendiri (konflik horizontal).
Umumnya memerlukan elevasi yang rendah ± 1,25 meter. (b) Nelayan lanra: nelayan yang mencari ikan dengan menggunakan jaring. Umumnya memerlukan elevasi air yang tinggi > 1,25 meter dan berada di kedalaman atau sekitar bungka toddo. (c) Nelayan jala: nelayan yang menggunakan jala dalam menangkap ikan. Umumnya berada di tengah danau atau alur sungai di tengah danau yang sudah surut dengan menggunakan perahu. (d) Nelayan jabba trawl: nelayan yang menggunakan perangkap berbentuk segi empat dalam jumlah rangkaian yang cukup banyak. (e) Nelayan jabba kawat: nelayan yang menggunakan perangkap segi empat yang terbuat dari besi atau kawat yang digunakan secara terpisah-pisah dan biasanya dalam jumlah yang banyak. (f) Nelayan tongkang: nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring dengan gagang seperti gayung. (g) Nelayan strom aki: nelayan yang menggunakan strom aaki sebagai alat tangkap. (h) Nelayan tombak: nelayan yang menggunakan tombak sebagai sarana menangkap ikan. Biasanya dilakukan di malam hari dengan menggunakan lampu penerang. Dari sejumlah alat tangkap tersebut, sebenarnya ada yang termasuk dilarang oleh Pemda, yakni strom aki, tongkang, jabbatrawl, dan jabba besi. Jenis-jenis alat tangkap ini dilarang karena ikan-ikan kecil pun turut terambil sehingga dikhawatirkan produksi ikan Danau Tempe semakin menurun, bahkan terancam punah. Jika dilihat besarnya pendapatan, dapat dikatakan tingkat pendapatan nelayan cukup bervariasi. Berikut adalah tingkat pendapatan nelayan seperti disajikan pada Tabel 1.
Kekhawatiran Menurunnya Pendapatan Secara garis besar, terdapat dua kelompok masyarakat berdasarkan pekerjaan di kawasan Danau Tempe (walaupun sebagian di antara merupakan orang yang sama, dua profesi), yakni nelayan dan petani. Pada kelompok nelayan, secara tipologi dapat dibagi berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan: (a) Nelayan bungka toddo: nelayan yang mencari ikan dengan cara membuat gundukan tanaman air (terutama enceng gondok) sebagai tempat berlindung dan berkembang biaknya ikan dengan menggunakan kerai (bambu) sebagai perangkap yang mengelilingi tanaman air. Tabel 1. Tingkat Pendapatan Berdasarkan Jenis Alat Tangkap, 2015 No.
Jenis Alat Tangkap
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tombak Jala Jaring/lanra Tongkang Jabba trawl Jabba kawat Bungka toddo
Pendapatan Maksimal (Rp) 100.000 - 300.000/hr 100.000 – 150.000/hr 200.000 - 300.000/hr 50.000 - 200.000/hr 400.000 - 450.000/hr 400.000 - 450.000/hr 25.000.000 – 100.000.000 /thn (tergantung luasannya)
(Sumber: Puslitbang KPT, 2015) 5
Berdasarkan data di atas tampak bahwa yang paling besar memperoleh keuntungan adalah nelayan bungka toddo, kemudian disusul oleh nelayan jabba trawl dan jabba kawat, lanra, tombak, dan jala. Pada umumnya nelayan bungka toddo adalah pengusaha besar karena membutuhkan modal yang cukup besar, baik untuk membayar lelang kepada Pemda setempat maupun dalam biaya operasional dengan menggunakan tenaga kerja sekitar 20 orang. Jika Danau Tempe dikeruk, maka para nelayan berpotensi terganggu atau menurun
pendapatannya akibat aktivitas yang dilakukan di danau. Selain mencari nafkah dengan menangkap ikan, masyarakat (petani) juga bercocok tanam terutama jika air danau surut. Petani di kawasan Danau Tempe juga melakukan budidaya beberapa jenis tanaman, yakni jagung, kedelai, kacang hijau, labu, semangka, dan padi. Adapun produksi petani yang melakukan aktivitas pertanian di kawasan Danau Tempe dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Tingkat Produksi Petani di Kawasan Danau Tempe, 2015 No.
Jenis Tanaman
Produksi/Ha
1. Padi 2. Jagung 3. Kacang Hijau 4. Kedelai 5. Labu (beberapa kali panen) 6. Semangka (beberapa kali panen) (Sumber: Puslitbang KPT, 2015) Berdasarkan data hasil wawancara dan FGD terlihat bahwa tanaman semangka merupakan tanaman yang paling menguntungkan dari sisi ekonomi, kemudian labu, kacang hijau, padi, dan jagung. Namun, menurut petani, terdapat risiko yang paling besar jika menanam semangka dan labu karena tergantung pada keadaan (cuaca/hujan). Baik nelayan (khususnya yang menginginkan air danau surut/rendah) maupun petani yang kemungkinan akan kehilangan sumber pendapatan, dapat melakukan tindakan, mulai dari yang rendah atau bentuk yang paling soft yakni protes hingga tindakan-tindakan yang bersifat fisik. Hal tersebut didasari oleh adanya kekhawatiran menurun, bahkan hilangnya pendapatan mereka, terutama kelompok nelayan bungka toddo sebagaimana temuan Muliawan dan Fatriyandi (2008) yang selama ini mendapatkan manfaat yang terbesar dari sumberdaya ikan di Danau Tempe. Dalam konteks ini, apa yang dikatakan oleh Prayogo (2007) bahwa bentuk konflik dapat berupa rumor, keluhan, maupun keresahan potensial akan terjadi dalam proses implementasi program revitalisasi Danau Tempe. Demikian pula hal yang dikatakan oleh Fruitt dan Jeffrey (1999) bahwa bentuk-bentuk konflik dapat berubah dari kecil menjadi besar, bahkan tidak menutup kemungkinan akan berkembang dari yang spesifik menjadi umum. Oleh karena itu, deteksi dan antisipasi sejak dini perlu mendapat
6-7 ton 5 ton 2 ton 2-3 ton Borongan Borongan
perhatian untuk mendukung revitalisasi kawasan Danau Tempe.
program
Perubahan Pola Pemanfaatan Lahan Ada beberapa sistem penguasaan lahan di kawasan Danau Tempe yang dikenal, seperti tanah ongko, tanah ex ornament, tanah koti, tanah bebas, tanah patok Belanda, dan tanah milik. Konsep-konsep penguasaan tanah tersebut adalah: (a) Tanah ongko adalah lahan yang dikuasai secara tradisional oleh desa dan kecamatan yang diolah atau disewakan untuk penghasilan desa/kecamatan. (b) Tanah ex ornament adalah lahan yang dikuasai sepenuhnya oleh negara, dan dikuasakan pemanfaatannya kepada penduduk melalui sistem lelang oleh Pemerintah Daerah. Jangka waktu penguasaan pemenang lelang selama 2 tahun di Kab. Wajo dan Kab. Sidenreng Rappang, sedangkan di Kab. Soppeng masa penguasaan selama 6 bulan (1 Juli – 31 Desember). Penguasaan hanya berlaku saat lahan tergenang air atau dalam ungkapan lokal “penguasaan atas air dan ikannya”. (c) Tanah koti adalah tanah ex ornament yang di atasnya telah dilelangkan ikannya. Ketika air surut, lahan tersebut dibagi kepada masyarakat yang ingin menggarap lahan. Sistem pembagian lahan tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem undian (koti). Di samping itu, juga ada 6
tanah yang dikuasai secara turun-temurun. Secara teknis memiliki batas patok dan umumnya berukuran sekitar 10 x 100 depa per kapling. (d) Tanah wilayah bebas adalah yang tidak diatur pemakaiannya dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. (e) Tanah Patok Belanda adalah kawasan konservasi yang bebas dari aktivitas ekplorasi dan posisinya di tengah danau.
Tanah milik adalah diperoleh melalui tukar guling tanah pribadi yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan sekolah. Sebagai gambaran sistem penguasaan tanah di lahan Danau Tempe dapat dilihat pada Gambar 3. (f)
Wilayah administrasi desa (Daratan) Kawasan danau
Tanah milik masyarakat
Tanah ongko (Kas Desa) Tanah ex ornament (Penguasaan Pemda)
Tanah wilayah bebas Tanah patok Belanda (konservat)
Gambar 3. Sketsa Pola Pemanfaatan Lahan Danau Tempe (Sumber: Puslitbang KPT, 2015) Selain itu, di kawasan Danau Tempe juga dikenal sistem zona berdasarkan langga, yang terbagi atas langga 1, langga 2, dan langga 3 dst. Langga menunjukkan kedalaman, tetapi dalam beberapa hal terkait karakteristik pengelola langga merupakan zona lokasi/kategori tempat di mana masyarakat biasanya melakukan kegiatan bercocok tanam di danau pada saat air surut. Menurut tingkatan ketinggiannya dari dasar paling dalam adalah sebagai berikut:
Langga 1 (paling dangkal/tinggi): Juli sampai akhir April atau awal Mei tahun berikutnya (sekitar 10 bulan). (b) Langga 2: Agustus – Desember dan Februari – awal Mei (sekitar 8 bulan). (c) Langga 3 dst: September – Oktober (sekitar 2 bulan) Untuk mengetahui gambaran langga (tingkatan) dapat dilihat sketsa pada Gambar 4 di bawah ini. (a)
Kawasan luar danau
Langga I Langga II Langga III Langga IV
Sungai
Gambar 4. Sketsa Tingkatan Penggunaan Lahan (Langga) (Sumber: Puslitbang KPT, 2015) Permasalahan saat ini adalah meskipun tanah di kawasan Danau Tempe yang masih merupakan tanah negara yang penguasaannya
oleh Pemerintah Daerah dan Desa, sebagian tanah tersebut sudah memiliki SPPT yang sering dianggap sebagian masyarakat sebagai bukti 7
kepemilikan. Demikian pula meskipun pola pemanfaatan lahan tanah negara ada yang dilakukan secara undi (koti), ada pula yang sudah dikuasai secara turun-temurun. Potensi konflik akan terjadi jika tanah yang selama ini dikuasai oleh warga dengan argumentasi bahwa mereka sudah membayar pajak dengan bukti SPPT, maka dengan alasan tersebut mereka menganggap merasa memiliki hak kepemilikan atas tanah tersebut. Meskipun demikian, bagi aparat pemerintah khusus tanah negara yang ber-SPPT, mereka melihatnya dari sisi yang berbeda. Salah seorang aparat kecamatan mengatakan, “Saya kira kalau kena tanah masyarakat mungkin perlu ada pembicaraan, tapi kalau tanah yang sudah ber-SPPT saya kira masih dapat dikeruk atau istilahnya diberi lampu hijau karena tanah negara. Masyarakat hanya punya hak pemanfaatan, bukan pemilikan.” (informan aparat Kec. Panca Lautang, Kab. Sidenreng Rappang). Di samping itu, pihak desa juga berpotensi kehilangan pendapatan (kas desa) karena tanah kawasan danau sering dijadikan sebagai sumber dana untuk menambah kas desa. Artinya, jika tanah tersebut dikeruk mereka akan berpotensi kehilangan sumber kas desa. Potensi konflik ini memiliki nilai yang agak tinggi karena kepala desa dapat dikatakan memiliki banyak “massa” yang berbeda dengan lurah atau camat sehingga sangat memungkinkan melakukan tindakan resistensi jika mereka akan kehilangan salah satu sumber pendapatannya. Model Resolusi Konflik Selama ini, jika terjadi konflik di kawasan Danau Tempe, ada pihak yang menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah. Pihak yang mengatur berbagai aktivitas di kawasan danau adalah macoa tappareng (tetua danau). Hampir semua desa yang di kawasan Danau Tempe memiliki macoa tappareng. Perannya adalah menegakkan aturan dan menghukum bagi yang melanggar. Ada beberapa jenis larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat ketika berada di atas Danau Tempe: (a) Tidak boleh menangkap ikan (malam Jumat – setelah shalat Jumat). (b) Tidak boleh membawa 2 jenis alat tangkap; (c) Tidak boleh bertengkar/berkelahi di atas danau; (d) Tidak boleh membawa perempuan (isteri) menangkap ikan; (e) Tidak boleh menyanyi di atas danau. Rentang waktu larangan menangkap ikan mulai magrib hingga shalat Jumat pada dasarnya dilatari oleh nilai-nilai religius yang dimiliki oleh masyarakat yang bermukim di sekitar Danau Tempe. Agama yang dianut oleh masyarakat
terutama nelayan adalah agama Islam sehingga acuan waktu yang digunakan untuk menetapkan batas atau rentang waktu larangan tersebut adalah waktu shalat. Dari lima hal yang dilarang tersebut tampak bahwa kesemuanya terkait dengan dimensi keagamaan. Demikian pula menghindarkan diri upaya dari tindakan hubungan beda jenis kelamin di atas danau (kendatipun suami-isteri karena di ruang terbuka) apalagi yang bukan suami-isteri. Termasuk tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan nyawa diri sendiri dan orang lain, seperti dilarang berkelahi ataupun menyanyi yang dapat membuat kehilangan kontrol sehingga terjatuh ke danau. Di samping itu, nilai-nilai kearifan lokal juga sangat berperan terutama terkait dengan kelestarian dan keseimbangan sumber daya alam. Bila ada yang membawa lebih dari satu alat tangkap dapat bermakna bahwa nelayan telah melakukan eksploitasi secara berlebihan sekaligus mengambil “jatah” nelayan lain yang memiliki alat tangkap yang sama. Pembatasan jenis alat tangkap tampaknya bersifat umum sebagaimana yang dijelaskan oleh Nascimento dan Carlos (2012) juga terjadi di Danau Amazoinian. Demikian pula, adanya waktu istirahat tidak menangkap ikan bagi nelayan juga sesungguhnya berarti telah memberikan waktu bagi ikan untuk berkembang biak tanpa ada gangguan dari nelayan agar keseimbangan dapat tetap terjaga. Jika nelayan melanggar, ada sanksi (istilah lokal: didosa) yang akan diberikan oleh macoa tappareng, yakni: (a) denda 8 liter ketan (beras pulut), (b) denda 8 sisir pisang, (c) denda 8 telur ayam, (d) perahu disita, (e) namanya diumumkan di Masjid, (f) denda sejumlah uang, dan (g) perahu ditahan 3 bulan (kalau tidak melunasi). Sanksi yang diberikan kepada nelayan antara satu daerah dengan daerah lain sebenarnya cukup bervariasi (Wajo, Soppeng, dan Sidrap), namun pada umumnya diterapkan secara bertingkat. Tingkat pertama, lebih pada sanksi yang ringan dengan denda yang terjangkau oleh para nelayan seperti beras, telur ayam, dan pisang yang biasanya masih dimiliki oleh nelayan. Namun, jika pelanggarannya cukup berat, maka akan berlanjut pada tingkat kedua, yakni seperti denda sejumlah uang, perahu disita (ditahan), bahkan untuk memberi efek psikologis yakni namanya akan diumumkan di masjid (terutama di Sidrap). Selain pemberian hukuman terhadap para pelanggar, dalam konflik seperti pertengkaran antarnelayan peran macoa tappareng tampak masih efektif dalam penyelesaian konflik. Model resolusi konflik melalui mediasi oleh macoa tappareng 8
hingga saat ini masih berlaku dan keputusannya pun dipatuhi oleh para nelayan. Sementara itu, model resolusi lain yang sering dilakukan adalah pembagian tanah untuk dikelola oleh warga. Dalam konteks ini, peran kepala desa sangat penting dalam membagikan lahan untuk digunakan oleh warga. Sistem yang digunakan agar warga tidak berlomba menggunakan lahan sekehendak hatinya, kepala desa dan warga menggunakan sistem undian dan pembagian luas lahan secara adil. Yang unik adalah jika ada tanah warga yang terkena pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial (misalnya sekolah), maka sebagai kompensasinya akan diberikan tanah di kawasan danau. Model resolusi ini sering digunakan sebagai salah satu resolusi konflik tuntutan ganti rugi bagi pemilik tanah melalui negosiasi dan musyawarah untuk pemberian kompensasi. Selain itu, di level kabupaten (Pemda) khususnya bidang perikanan, instrumen Perda/Perbup juga sering digunakan dalam menyelesaikan konflik. Mengingat terdapat tiga kabupaten, maka juga terdapat peraturan yang berlaku berdasarkan batas-batas wilayah tertentu. Adapun ketiga peraturan di ketiga kabupaten tersebut adalah: (a) Peraturan Daerah Kabupaten Wajo No. 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kabupaten Wajo. Perda ini disusun dengan maksud dan tujuan untuk mengatur tata kelola sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan secara optimal dengan mengusahakannya secara berdaya guna yang berkelanjutan serta memperhatikan kelestariannya. Terkait dengan jenis dan syarat tempat penangkapan ikan, dalam Perda tersebut terdapat tujuh jenis tempat penangkapan ikan, yakni, bungka toddo, palawang, cappiang, sungai atau salo-salo, kalobeng, Balete, dan rawa-rawa. (b) Peraturan Bupati Soppeng No. 13/Perbup/VI/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Perairan Umum dan Tappareng Salae yang Dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng. Terkait dengan eksistensi bungka toddo, diatur pada Pasal 6, yakni: 1) Masa pemasangan bungka toddo di daerah palawang yang dilelang mulai tanggal 1 Juli sampai dengan 31 Desember. 2) Terhadap palawang dan daerah yang dibebaskan (ongkoE, belle barue, dan daerah bebas taccipie dilarang memasang bungka toddo dan alat tangkap yang menetap lainnya, kecuali
dalam wilayah konservasi (reservaat) dapat dipasangi bungka sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan biota air lainnya oleh petugas yang ditunjuk dari instansi teknis yang menangani fungsi perikanan. 3) Bungka toddo yang hanyut dari daerah palawang yang dilelang, dapat diambil kembali oleh pemilik atau pengelolanya apabila tidak melanggar belle palawang. 4) Luas maksimal setiap unit bungka toddo 1.000 meter keliling (1.000 lembar belle) dan jarak antara bungka toddo satu dengan lainnya minimal 200 meter. 5) Setiap orang maksimal memiliki 4 unit bungka toddo. 6) Hak pengelolaan bungka toddo bagi pemajak palawang berakhir pada tanggal 31 Desember setiap tahun. 7) Pengelolaan bungka toddo di luar masa palawang sebagaimana ayat (1) pasal ini yaitu pada tanggal 1 Januari sampai 30 Juni kembali ke Pemerintah Kabupaten Soppeng dan akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. (c) Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang No. 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Umum dalam Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang. Dalam Perda ini, bagian-bagian danau dibagi ke dalam 4 bagian sebagaimana Pasal 6, yakni palawang, ongko, danau bebas, dan reservat/pacok Belanda. Perda tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Bupati Nomor 10 tahun 2012 tentang Mekanisme Pemberian Hak Penangkapan Ikan pada Wilayah (Ongko) Danau Milik Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang. Jika terdapat pelanggaran atas peraturanperaturan tersebut, pihak dari Dinas Perikanan yang melakukan beberapa tindakan berupa pemberitahuan, peringatan, pemberian sanksi dan mediasi jika terdapat dua pihak yang berkonflik. Bentuk konflik yang sering terjadi dalam konteks penerapan Perda/Perbup tersebut adalah “perluasan” wilayah palawang dan bungka toddo sehingga mengambil areal tangkap nelayan lainnya dan menghalangi akses terutama nelayan kecil (lanra, jala, dan tongkang). Aparat dari Dinas Perikanan umumnya menerapkan model resolusi konflik kompromi dengan win-win solusion. Sebagai contoh, meminta kepada pemilik palawang untuk membuka akses nelayan kecil atau menyerahkan kembali bungka toddo yang hanyut kepada pemiliknya.
9
Dari berbagai model resolusi konflik yang selama ini diterapkan di kawasan Danau Tempe jika dikaitkan dengan teori seperti perspektif teori resolusi konflik, sebagaimana yang dikatakan Winardi (1994) maka dapat dikatakan bahwa resolusi konflik dengan kompromi dapat menjadikan para pihak tidak dirugikan (win-win solution). Hal ini terlihat bahwa pihak yang pernah mengalami konflik merasa tidak terlalu dirugikan dengan model resolusi konflik yang bersifat kompromistis tersebut. Dari empat tipologi resolusi konflik tersebut tampaknya model kompromi kerap diterapkan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan Danau Tempe. Oleh karena itu, berdasarkan data tersebut, di masa yang akan datang jika rencana revitalisasi Danau Tempe dilakukan, maka model resolusi konflik tersebut yang perlu dikedepankan dan tidak langsung menerapkan model win-lose solusion yang hanya akan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Demikian pula temuan Surur (2014) serta Naing et. al. (2009). mengenai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Danau Tempe dapat dimanfaatkan untuk mengatasi konflik yang kemungkinan akan terjadi, atau seperti yang dikatakan Fernandez (2013) penggunaan pihak ketiga (macoa tappareng, kepala desa, dan aparat Dinas Perikanan) penting dalam menyelesaikan konflik. Selain itu, dari sisi makro, pola manajemen kolaboratif aliran sungai di antara tiga pemerintahan kabupaten (Wajo, Soppeng, dan Sidenreng Rappang) sebagaimana temuan Rainer dan David (2011) di Danau Allatoona dan hulu sungai Etowah, Georgia dapat juga diterapkan menjadi resolusi konflik terutama dari aspek kebijakan di kawasan Danau Tempe. Sinkronisasi kebijakan dan harmonisasi peraturan tampaknya menjadi sangat penting dalam rangka menata dan mengatur pemanfaatan sumber daya yang ada di kawasan Danau Tempe. Koordinasi dan sinergi di antara tiga pemerintah daerah menjadi sangat urgen dalam mendukung upaya revitalisasi kawasan Danau Tempe. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (a) Potensi konflik yang kemungkinan akan terjadi dalam pelaksanaan revitalisasi kawasan Danau Tempe adalah (1) adanya perbedaan persepsi terhadap ketinggian air antara nelayan yang menginginkan air danau tinggi (lanra, tongkang, jabba trawl/kawat dan jala) dan nelayan yang menginginkan air danau rendah (bungka
toddo, belle, dan strom aki) serta petani yang memanfaatkan lahan jika air surut untuk menanam padi, jagung, kacang hijau, kedelai, labu, dan semangka; (2) adanya kekhawatiran pendapatan nelayan/petani menurun terutama yang menginginkan air danau rendah; (3) perubahan pola pemanfaatan lahan seperti tanah ongko/kas desa yang selama ini disewakan dan menjadi sumber pemasukan kas desa; tanah dikuasai (ber-SPPT) dan milik masyarakat yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat. Potensi konflik tersebut dapat menciptakan dua pola konflik, yakni konflik vertikal terutama nelayan yang menginginkan air rendah (nelayan/petani/pemilik tanah) dan pemerintah; serta pola konflik horizontal di antara nelayan yang menginginkan air danau tinggi dan nelayan/petani/pemilik tanah yang menginginkan air danau rendah. (b) Model resolusi konflik yang selama ini diterapkan di kawasan Danau Tempe adalah model kompromi melalui musyawarah dengan win-win solution. Peran macoa tappareng (tetua danau) yang terkait dengan teknis dan aktivitas (waktu, metode, dan perilaku) menangkap ikan masih sangat efektif dalam menyelesaikan konflik. Demikian pula, peran kepala desa dalam menyelesaikan konflik pemanfataan lahan kawasan danau, serta peran aparat Pemda (khususnya Dinas Perikanan) terkait penguasaan/pemanfaatan sumber daya danau juga masih cukup efektif dalam mengatasi konflik. Saran Untuk menghindari terjadinya konflik dalam proses revitalisasi, maka dapat disarankan sebagai berikut: (a) Proses dan tahapan pengerukan menggunakan pola sentrifugal, yakni mulai dari bagian dalam dan secara perlahan ke bagian luar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pekerjaan pengerukan dimulai dari lokasi yang minim konflik karena jika dimulai dari tanah atau lahan yang dikuasai oleh masyarakat atau pemerintah desa, maka akan terjadi resistensi yang akan berdampak pada semakin lambatnya pekerjaan. (b) Perlu adanya kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat melalui: media elektonik dan media cetak serta mengubah persepsi terutama nelayan bungka toddo bahwa semakin dalam air Danau Tempe akan 10
semakin banyak ikan berkembang biak, bukan sebaliknya. (c) Mendorong konversi atau alih profesi terutama nelayan bungka toddo dan para petani menjadi nelayan tangkap dengan menggunakan jala dan lanra. Hal ini penting karena untuk membuat bungka toddo apalagi hendak panen sangat dibutuhkan air danau yang rendah. (d) Melakukan kompensasi tanah terutama tanah kas desa atau tanah masyarakat dengan membuat pulau di tengah danau yang merupakan hasil kerukan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Kepala Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang Kementerian PUPR; Ketua dan Anggota Tim Peneliti Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi; Bapak Dr. M. Ramli (Unhas); Pemda Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan DAFTAR PUSTAKA Eragradhini, AR. 2014. Biologi Reproduksi Ikan Bungo (Glossogobius giuris, HamiltonBuchanan1822) di Danau Tempe Sulawesi Selatan. (Tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fernandez, D.P. 2013. From Litigation To Arbitration: A Case Study In Water Resources Conflict. Journal of Business Case Study. 9(3): 235-242. Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Profil 15 Danau Prioritas. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Menteri Basuki Dampingi Wapres Blusukan di Wajo dan Bone. (https://www.pu.go.id/m/main/view/102 63, diakses 29 September 2015). Muliawan, I dan F.N. Priyatna. 2008. Kajian Sosial Ekonomi Pengembangan Perikanan Tangkap di Perairan Danau Tempe. Globe. 10 (1): 11-18. Naing, N. dan H. Halim. 2013. Sistem Struktur Rumah Mengapung di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jurnal Permukiman. 8(3):19-26. Naing, N., H.R. Santoso, dan I. Sumarno. 2009. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan pada Permukiman Mengapung di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Local Wisdom. 1(1):19-26. Nascimento, F.A. and C.E.C. Freitas. 2013. Use of Graph Model for Resolution of Conflict between Fishers of the Amazonian
tempat wisata.Tanah hasil kerukan dalam volume yang besar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata merah. (e) Membuat tanggul di sekeliling danau sebagai garis batas danau sehingga tidak ada lagi okupasi lahan yang dilakukan warga secara tidak sah. (f) Pemda Kabupaten Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidenreng Rappang perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dalam rangka mendukung upaya revitalisasi kawasan Danau Tempe. Kab. Sidenreng Rappang; dan seluruh informan yang telah membantu memberikan data dan informasi yang mendukung penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis kepada Prof. Dr. Dewa Ketut Sadra Swastika yang telah membimbing penulis sehingga karya tulis ilmiah ini bisa diselesaikan. Floodplain Lakes. Environment and Natural Resources Research. 3(1):16-23. Okpara, U.T., L.C. Stringer, and A.J. Doughill. 2015. Conflict About Water in Lake Chad: Are Environmental, Vurnerability, and Security Issued Linked. Proggres in Development Studies. 15(4):308-325. Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Umum dalam Wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang. Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kabupaten Wajo. Peraturan Bupati Sidenreng Rappang Nomor 10 tahun 2012 tentang Mekanisme Pemberian Hak Penangkapan Ikan pada Wilayah (Ongko) Danau Milik Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang. Peraturan Bupati Soppeng No. 13/Perbup/VI/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Perairan Umum dan Tappareng Salae yang Dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng. Prayogo, D. 2007. Konflik Antara Korporasi dengan Komunitas Lokal: Studi Kasus pada Industri Geotermal di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung - Jawa Barat. (Disertasi) Departemen Sosiologi FISIP-UI, Depok. Pruitt, DG. dan J.Z. Rubin. 1999. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi, Balitbang PUPR. 2015. Pemetaan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Mendukung Pengembangan Kawasan dan Konservasi 11
Ekosistem Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Raines, S.S. and D. Kubala. 2011. Environmental Conflict Resolution by Water Utilities: Applications and Lessons Learned. Journal American Water Works Association. 103(6):61-70. Riemer, J.W. 2004. Chippewa Spearfishing, Lake Property, Owner/Anglers, and Tourism – A Case Study of Environmental Social Conflict. Sociological Spectrum. 24(1):43– 70. Surur, F. 2014. Analisis dan Arahan Pengembangan Kawasan Danau Tempe Provinsi Sulawesi Selatan dengan Mempertimbangkan Kearifan Lokal. (Tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Winardi. 1994. Manajemen Konflik: Konflik Perubahan dan Pengembangan. Bandung: Mandar Maju.
12