RESOLUSI KONFLIK KASUS AHMADIYAH DI INDONESIA; Suatu Pendekatan Siyâsah Syar’iyyah Khaeron Sirin1
Abstract: Actually, it is not extremely more responded, increasing of
or exposing the Ahmadiyah’s Jamaah (group). It is more wisdom, if moslim enough to give guidence and guide them back to the Islam real based on the book and sunnah which is right. As far they are still is rounding the theology. Muslim do not need to go to response morely in their emotion. Otherworldly, Muslim have to be clever to organize like this conflict in the amar ma’ruf nahi munkar frame by the siyâsah syar’iyyah approach.
Key Words: Conflict, Ahmadiyah, Siyâsah Syar’iyyah
Pendahuluan Hasan bin Mahmud Audah-bekas Direktur Umum Bahasa Arab Jemaah Ahmadiyah Pusat Landon- dalam bukunya, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats (1998), mengatakan, “Persoalan Ahmadiyah tidak usah bikin ruwet umat Islam, tidak perlu dibesar-besarkan, dan tidak perlu sampai mengerahkan kekuatan fisik untuk membentak, mencaci atau menekannya. Kita (umat Islam) cukup dengan membeberkan kesesatannya dan mengajaknya kembali”. 2 Pernyataan ini tentu tidak diragukan lagi, karena terlontar dari mulut orang yang pernah lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Ahmadiyah. Menurutnya, ini adalah cara yang bijak dalam menyikapi berkembangnya ajaran ‘menyimpang’ Jemaah Ahmadiyah di belahan dunia ini. Tak perlu ada kekerasan, selain memberikan penyadaran dan mengajak kembali ke dalam ajaran Islam yang benar.3 Sayangnya, cara seperti itu tidak dimanfaatkan oleh umat Islam di Indonesia. Berbagai tindak kekerasan terus saja dipertontonkan umat Islam untuk memberangus setiap aktivitas Jemaat Ahmadiyah. Layaknya bola salju, aksi-aksi intimidasi dan 1 Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.
[email protected]. 2 Khaeron Sirin, “Ada Apa dengan Ahmadiyah”, Republika, 30 Agustus 2005 3 Hasan bin Mahmud Audah, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats, Karachi,1998, h. 8.
1
E-mail:
ancaman penutupan tempat-tempat ibadah Jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah berlangsung susul-menyusul.4 Meski MUI sudah dua kali mengeluarkan fatwa sesat ajaran Ahmadiyah, yaitu tahun 1980 dan 2005, konflik dan kekerasan terus saja terjadi. Bahkan SKB tiga menteri yang disusul dengan surat edaran pemerintah tingkat daerah yang dengan tegas melarang ajaran Ahmadiyah pun tidak digubris. Jemaah Ahmadiyah masih saja beraktivitas, seolah ‘ngotot’ tidak mau dianggap sesat dan ingin tetap ‘hidup’ di bumi Indonesia. Alih-alih menyelesaikan masalah, munculnya fatwa kedua MUI dan SKB tiga menteri serta aksi anarkis tersebut malah memicu simpati sebagian kelompok masyarakat Indonesia terhadap keberadaan Jemaah Ahmadiyah. Alhasil, bukannya kembali kepada ajaran Islam yang murni, Jemaat Ahmadiyah justru semakin percaya diri dan berani menampakkan eksistensinya di tengah masyarakat Indonesia. Karenanya, diperlukan solusi yang tepat guna menyelesaikan konflik tersebut agar bisa memuaskan kepentingan umat Islam, tanpa mengorbankan hak-hak Jemaah Ahmadiyah. Dari sinilah, penyelesaian konflik dari sudut siyasah syar’iyyah menjadi penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan yang akan dikaji, yaitu: Hal apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konflik dan tindak kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah? Bagaimana solusi yang ditawarkan untuk meredakan konflik tersebut dari perspektif siyasah syar’iyyah? Ahmadiyah dan Sensasi Teologi Seperti diketahui, Ahmadiyah mengklaim Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Dialah sang juru selamat akhir zaman yang akan membawa kabar gembira bagi umat Islam saat ini melalui kitab sucinya, “al-Tadzkirah”. Dalam hal ini, teologi Ahmadiyah menganut tiga istilah nabi, yaitu “nabi mustaqil” (nabi independen), “nabi ghair mustaqil” (nabi tidak independen) dan “nabi al-dzil” (nabi bayangan). Nabi mustaqil adalah nabi yang menerima kitab suci dari Allah Swt., seperti Nabi Musa As., Isa As., dan Muhammad Saw. Nabi ghair mustaqil adalah para nabi yang tidak menerima atau memiliki kitab suci, tetapi bertugas melanjutkan risalah sebelumnya, 4 Terakhir, bentrokan hebat terjadi di Cikeusik, Banten yang melibatkan umat Islam dengan Jemaah Ahmadiyah yang telah memakan korban, baik jiwa maupun harta. Khaeron Sirin, “Ada Apa dengan Ahmadiyah”, Republika.
2
seperti Nabi Harun yang melanjutkan tugas Musa As.. Sedangkan nabi al-dzil adalah para pembaharu dan tokoh agama yang bertugas “memberi kabar baik dan buruk”. Dalam konteks inilah, Mirza Ghulam Ahmad muncul dengan mengatasnamakan dirinya sebagai “al-Mahdi”, sang juru selamat.5 Dalam pandangan Islam baik Sunni ataupun Syiah, doktrin kenabian dan kerasulan telah mencapai kata sepakat, yaitu bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah “Khatam al-Nabiyyin”. Doktrin ini berbasis pada ayat dalam al-Qur’an, “penutup seluruh nabi dan rasul”.6 Selain itu, kitab al-Quran juga merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat Islam. Ibarat satu paket, al-Quran dan Muhammad Saw. merupakan kitab dan nabi penutup hingga akhir zaman. Karenanya, siapa pun yang memiliki pandangan menyimpang dari doktrin kitab suci dan kenabian tersebut, wajib dinyatakan telah keluar dari Islam (kafir).7 Dengan kata lain, ajaran tersebut secara akidah dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Maka, seiring dengan kelahirannya, aliran ini sudah dianggap sebagai aliran sesat dan terus dihujat oleh umat Islam dunia.8 Alasan-alasan teologis seperti inilah yang terus mengusik ketenangan umat Islam Indonesia hingga kini. 9 Klaim ‘teologis’ seperti ini mungkin tidak berlebihan, mengingat keberadaan Jemaah Ahmadiyah di Indonesia memang sangat terkait dengan sang pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, yang memproklamirkan diri sebagai nabi sekaligus juru selamat akhir zaman (Imam Mahdi). Umat Islam pun secara sporadis melakukan pembelaan dan perlawanan terhadap pemahaman dan ajaran Ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang sekaligus menodai akidah Islam yang murni. Bahkan, mereka pun menuntut pemerintah untuk membubarkan organisasi Ahmadiyah di Indonesia, karena jika dibiarkan, kehadiran dan aktivitas Jemaah Ahmadiyah dapat mendangkalkan dan menghancurkan akidah
Hasan bin Mahmud Audah, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats, (Karachi: t.tp,1998), h. 17-19. Hasan bin Mahmud Audah, al-Ahmadiyah, h. 25. 7 Hasan bin Mahmud Audah, al-Ahmadiyah, h. 27. 8 Khaeron Sirin, “Ada Apa dengan Ahmadiyah”, Republika. 9 Keberadaan Ahmadiyah juga sempat mengusik masyarakat Pakistan, empat puluh tahun lalu. Tetapi mereka mampu menyelesaikannya dengan menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok nonmuslim, baik kelompok Ahmadiyah Qadiani atau Lahore. 5 6
3
dan syariat Islam yang sebenarnya, sekaligus mengganggu ketenangan umat Islam di Indonesia.10 Analisis Konflik Ahmadiyah Harus diakui, Jemaah Ahmadiyah memang memiliki ritual atau pandangan teologi yang berbeda dengan masyarakat mayoritas, sehingga sangat mudah menyulut kesalahpahaman dan pada akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan. Meski kekerasan itu sendiri tidak kita inginkan terjadi di negara demokratis, semisal Indonesia, tetapi perdebatan dan konflik yang terus terjadi dan berlarut-larut tanpa penyelesaian sangat mungkin memicu terjadinya kekerasan di antara pihak yang bertikai. Dalam konteks masyarakat Indonesia, terjadinya konflik semacam itu disebabkan beberapa hal. Pertama, tidak adanya keampuhan Pancasila dan UUD 1945 yang selama ini menjadi pedoman bangsa dan negara kita untuk melindungi hak-hak masyarakat atau umat beragama dari berbagai upaya penodaan agama. Kedua, perbedaan pandangan dan kepercayaan di antara umat Islam dan Jemaah Ahmadiyah seputar konsep kenabian dan kitab suci. Dalam hal ini, Jemaah Ahmadiyah secara terangterangan mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Muhammad Saw. dengan membawa kitab suci Tadzkirah dengan tetap menggunakan simbol-simbol agama Islam. Ketiga, kurangnya rasa menghormati terhadap hak-hak individu dan kelompok dalam menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing, utamanya seputar doktrin Jemaah Ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang dari akidah Islam yang murni. Keempat, kurangnya komunikasi dan dialog yang terbuka di kalangan umat Islam dan Jemaah Ahmadiyah, sehingga dapat menimbulkan konflik. Kelima, lemahnya status hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri. Hal ini mengingat istilah SKB, menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra, sesungguhnya sudah tidak lagi dikenal dalam hirarki hukum di Indonesia sejak diberlakukannya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 11 Keenam,
Khaeron Sirin, “Ada Apa dengan Ahmadiyah”, Republika. Pasal 7 UU tersebut menyatakan bahwa hirarki undang-undang terdiri atas UndangUndang Dasar, Undang Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. 10 11
4
tindakan anarkis yang menyebabkan kedua kubu, baik umat Islam maupun Jemaah Ahmadiyah, saling memusuhi dan sulit untuk didamaikan. Konflik Ahmadiyah dengan umat Islam bisa dikatakan merupakan tragedi nasional yang patut kita sesali. Pengalaman tersebut hendaknya kita tempatkan sebagai bahan pelajaran untuk bisa mengenali dan menggali akar persoalan sehingga kita mendapatkan pemahaman komprehensif sebagai modal sosial untuk mengantisipasi dan menanggulangi persoalan serupa bila terjadi di kemudian hari. Setidaknya, ada beberapa pendekatan yang mesti dilakukan untuk menyikapi kasus Ahmadiyah di Indonesia, yaitu pendekatan teologis, pendekatan HAM, dan pendekatan politik, dan pendekatan kebangsaan. 1. Pendekatan Teologis Secara normatif, ajaran setiap agama berujung pada kebaikan universal, baik dalam relasi vertikal antara manusia dan Allah (hablun min Allah) maupun dalam relasi horizontal sesama manusia (hablun min al-Nas), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Hanya saja, tidak semua pemahaman keagamaan masa kini berada dalam aras yang sama. Bahkan, keragaman tersebut seringkali hanya sebuah nama tanpa realitas. Agama hanya menjadi simbol kepentingan atau komoditi tertentu, legitimasi kesombongan intelektual ataupun sekadar kesalehan individual. Bahkan, tidak jarang hal itu menimbulkan berbagai konflik, baik internal ataupun antaragama.12 Munculnya fenomena keagamaan tersebut, menurut Muhammad Shahrur (1994), disebabkan para intelektual kita saat ini mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Pertama; problem modernitas yang terus berjalam laiknya bola salju yang kian membesar dan menggulung premis-premis kecil di sekelilingnya, yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekonstruksi, bahkan dekonstruksi, atas pemahaman yang selama ini mengakar. Kedua, kesadaran internal umat Islam terhadap anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah 12Bahkan,
sebagian sosiolog berpendapat, "Agama di samping berfungsi sebagai pemersatu, juga pemecah belah." Di antara sosiolog yang berpendapat demikian adalah Elbert W. Stewart dan James A. Glynn. Mereka merujuk bukti perang salib yang berlarut-larut. Elbert W. Stewart dan James A. Glinn, Introdyuction to Sociology, (New York: Mc Grow Hill Company, 1975), h. 274, sebagaimana dikutip Aliwarman Hamzah, Kerukunan Hidup Umat Berama, (Padang, IAIN Imam Bonjol Press, 2000), h. 18.
5
interpretasi teks al-Qur’an, baik pada wilayah hukum (fiqh), akidah ataupun masalah-masalah yang berkait dengan ilmu pengetahuan, sangatlah minim. Karenanya, diperlukan kearifan dan kepekaan tertentu dalam interaksi antar pemeluk agama. Interaksi demikian perlu dibina secara bijaksana dengan mendorong suasana dialogis, jujur, dan bertanggung jawab, sehingga potensi konflik dapat tereliminasi sejak dini. Potensi konflik sosial di Indonesia berada dalam derajat kerawanan yang cukup mencemaskan karena latar sosial masyarakat Indonesia sangat beragam. Tidak hanya memiliki keragaman agama, tapi juga keragaman etnis, budaya, suku, dan bahasa. Sebenarnya, Islam hadir untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia dalam kehidupan ini. Kehadiran agama harus dipahami sebagai jalan untuk menghubungkan
dan
menyatukan
perbedaan-perbedaan
antarberbagai
pemahaman yang ada. Agama mesti dijadikan sebagai institusi yang bisa menangkap dan memastikan unsur-unsur kesamaan antara realitas dan teks-teks (nash) melalui afinitas kultural. Agama harus berani melahirkan sikap dan nilainilai penghormatan yang didasari oleh pemahaman terhadap perbedaan dan manfaat positif dalam beragama.13 2. Pendekatan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). UndangUndang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat oleh UU HAM. Dalam UU tersebut, setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. 14 Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan Dalam hal ini, pemahaman agama harus dikembalikan pada konteks yang lebih manusiawi dan terbuka. Agama harus bisa menjadi pemersatu masyarakat dan budaya yang bisa menghilangkan rasa benci dan dendam dalam diri umatnya, sekaligus menjadi tempat yang memberikan kedamaian dan ketenangan hidup dalam masyarakat. Khaeron Sirin, “Agama dan Tantangan Multikulturalisme”, Media Indonesia, 20 Juli 2002. 14 UU No 39/1999 tentang HAM, Pasal 22. 13
6
atas pilihannya sendiri. Dalam hal ini, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik. Hak ini termasuk hak non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun. Karenanya, negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Meski demikan, dalam HAM juga dikenal adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.15 Jadi, implementasi kebebasan HAM tidak boleh melanggar HAM orang lain, tidak melanggar hukum, kesusilaan, ketertiban, maupun norma agama. Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hakhak fundamental dari orang lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak-hak kaum minoritas. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. Di antara kelima agama resmi yang diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha di Indonesia tidak pernah ada penganut agama yang
15
Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 73 UU No.39/1999 tentang HAM.
7
satu menuntut pembubaran agama lain karena pada dasarnya masing-masing agama tersebut mempunyai ajaran yang berbeda dan tidak terkait. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, kelompok ini mengklaim sebagai agama Islam, tetapi ajarannya bertentangan dengan ajaran Islam yang benar. Hal ini membuat penganut agama Islam marah karena merasa terganggu keyakinan beragamanya. Karenanya, keberadaan Ahmadiyah dapat dikatakan melanggar HAM dan agama orang lain sehingga bukan pada tempatnya apabila mendukung kelompok tersebut dengan mengatasnamakan HAM. Tidak ada yang melarang mereka untuk beragama dan berkeyakinan, tetapi hendaknya tidak mengganggu penganut agama yang lain, misalnya dengan membuat agama atau kepercayaan baru yang berbeda. 3. Pendekatan Hukum Dalam konstitusi Pakistan, Ahmadiyah memang tidak dimasukkan dalam kelompok Islam. Setelah terjadi ketegangan antara Ahmadiyah dan umat Islam Pakistan, Parlemen Pakistan melakukan amandemen kedua tahun 1974 atas konstitusinya. Isinya, antara lain, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah suatu aliran di luar Islam dan menjadi bagian dari agama minoritas.16 Konsekuensinya, mereka tidak berhak menggunakan idiom yang lazim digunakan umat Islam, seperti masjid, adzan, shalat, haji dan seterusnya. Sehingga, rumah ibadahnya pun disebut sebagai Bait al-Hikmah. Sejak itu, ketegangan tentang Ahmadiyah tidak pernah lagi terdengar di Pakistan. Mereka hidup berdampingan sebagai aliran (agama) baru non-Islam. Ketidaktegasan Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan tahun 2008 yang melarang aktivitas peribadatan Jemaah Ahmadiyah telah memicu terjadinya konflik berkepanjangan. Jika konstitusi Pakistan dengan tegas menyebut Jemaah Ahmadiyah sebagai non-muslim, SKB tiga menteri tidak menyebutkan apa-apa, selain memberikan ketentuan yang tidak tegas, yaitu: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari
16
Pasal 260 ayat 3b Konstitusi Pakistan Hasil Amandemen ke-2 tahun 1974.
8
pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw.”17 4. Pendekatan Kebangsaan Dari sudut dinamika kebangsaan, konflik Ahmadiyah menunjukkan betapa pemahaman dan toleransi keberagamaan bangsa kita masih rendah. Hal itu tampaknya sebagian disebabkan komunikasi buruk dan kurangnya dialog antara Ahmadiyah dan umat Islam.18 Konflik semacam ini merupakan ancaman serius bagi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa. 19 Konflik Ahmadiyah yang berantai bisa mengoyak sendi-sendi kesatuan bangsa, menyusutkan produktivitas masyarakat, dan menjebak bangsa terlena terjebak pada konflik kekerasan. Akibatnya, pembangunan kualitas manusia Indonesia tidak meningkat, daya saing bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain makin tertinggal. Alhasil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang terpuruk dalam persaingan global. Kita terus didikte dan dikendalikan kekuatan eksternal. Ini tentu sebuah kenyataan pahit yang melemahkan ketahanan nasional kita.20 Dalam kondisi yang demikian karut marut, rasanya tak ada waktu lagi bagi kita untuk terus berkonflik dan berintimidasi. Kehidupan keagamaan kita akan jauh lebih bermakna bila outputnya bukan aksi kekerasan, tapi aksi penyelesaian masalah bersama. Ini sebuah tantangan bagi masyarakat Islam Indonesia, sebagai penduduk mayoritas untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi perbaikan kondisi bangsa. Bukan malah menyajikan aksi-aksi kontra produktif yang makin memperpuruk keprihatinan bangsa. Konflik Ahmadiyah bisa terurai secara gamblang melalui dialog serius di berbagai forum.21 Di forum inilah, berbagai unek-unek intelektual kalangan luar Ahmadiyah bisa dikemukakan secara terbuka. Pengikut Ahmadiyah pun bisa secara leluasa dan tuntas mengklarifikasi berbagi kesalahpahaman orang luar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Poin 2 tahun 2008. M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur'an, (Jakarta: LPPI, 2000). 19 Dalam perspektif ketahanan nasional, konflik atas nama agama merupakan salah satu bentuk ancaman serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa (NKRI). 20 Apalagi, bangsa Indonesia sedang dirundung banyak masalah, dari bencana alam, terorisme, narkoba, hingga korupsi. Karenannya, hal yang diperlukan adalah merapatkan barisan untuk bersama-sama menyumbang solusi bagi pemecahan masalah. 21 Baca Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 299 - 308 17 18
9
Ahmadiyah tentang teologi Ahmadiyah yang kemudian justru memperkeruh suasana. Setidaknya, ada dua bentuk penyelesaian yang semestinya bisa dicapai. Pertama, mencari titik temu pemahaman yang mendasar antara Ahmadiyah dan umat Islam. Kedua, kalaupun tidak tejadi titik temu, minimal mereka bersepakat untuk berbeda, dengan mempertahakan prinsip ko-eksistensi, saling menghargai dan melindungi eksistensi pihak lain. Tentunya dengan catatan Jemaah Ahmadiyah tidak lagi menggunakan simbol-simbol dasar Islam, alias menjadi agama baru di Indonesia. Terhadap persoalan yang bisa dicarikan titik temu atau pandangan yang sama, umat Islam secara perlahan dapat merangkul kembali Jemaah Ahmadiyah untuk masuk ke dalam ajaran Islam yang murni melalui dakwah bil hal. Sementara pada persoalan yang tak mungkin bertemu, harus disepakati mekanisme sosial yang membuat Ahmadiyah dan umat Islam bisa hidup berdampingan secara damai.22 Tentunya dengan saling menghargai ajaran masing-masing tanpa meleehkan simbol-simbol agama tertentu. Artinya, Jemaah Ahmadiyah harus rela melepaskan simbol-simbol dasar umat Islam dalam menjalankan ibadah mereka, sementara umat Islam mesti menghormati keberadaan mereka. Spirit perdamaian juga harus dikedepankan dalam kasus Ahmadiyah. Para tokoh agama dari berbagai simpul harus membangun semacam perundingan untuk merumuskan kesepakatan damai itu. Hubungan damai Ahmadiyah dengan umat Islam dari sisi realitas empirik merupakan suatu keharusan. Harus diakui mereka memang eksis di bumi pertiwi ini, bahkan sudah berlangsung puluhan tahun. Tidak realistis bila mereka harus dibasmi atau dipaksa berubah keyakinan, karena keyakinan sifatnya pribadi dan tidak bisa dipaksakan. Bisa jadi mereka justru memilih mati ketimbang dipaksa mengubah keyakinan. Di sisi lain, harus juga diakui bahwa penentang Ahmadiyah juga sangat banyak. Mereka bahkan tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengutarakan ketidaksukaannya. Apalagi bila dibumbui provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 23 Beberapa kejaksaan negeri malah sudah melarang keberadaan Ahmadiyah di 22 Lihat Endang Kironosasi dkk, "Deskripsi Penelitian Wilayah Poso", dalam Rusmin Tumanggor dkk. (Ed.), Konflik .., h. 129-173. 23 Rusmin Tumanggor dkk (ed.), Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, (Jakarta, Lemlit dan LPM UIN Jakarta, Maret 2004), h. 177-217.
10
berbagai tempat. Tidak realistis juga bila eksistensi kelompok penentang ini diabaikan. Kita tidak mungkin menggunakan pendekatan zero sum game. Yang satu eksis, yang lain musnah. Tetepi harus ditempuh pendeketan win win solution. Jangan sampai kasus Ahmadiyah ini justru menguatkan asumsi dua sosiolog, Elbert W. Stewart dan James A. Glynn, bahwa agama di samping berfungsi sebagai pemersatu, juga berperan sebagai pemecah belah.24 Meski begitu, kita menginginkan adanya dialog yang dilandasi 3 aspek sentral. Pertama, menemukan common ground atau persamaan visi tentang suatu nilai-nilai yang mulia. Dalam hal in, kelompok Ahmadiyah sebagai sentra sekaligus sumber konflik tidak mungkin lepas dari pemahaman tentang bagaimana ajaran Islam yang mulia diterapkan dan diamalkan, sehingga tidak boleh ada penistaan di sisi ini. Kedua, common ground tersebut diarahkan ke dalam kerangka wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, membuat suatu konsensus publik yang melibatkan keberagaman pihak yang berkepentingan dengan dilandasi oleh common ground dan prinsip kebangsaan. Resolusi Konflik Perspektif Siyasah Syar’iyyah Landasan utama adanya siyâsah syar`iyyah adalah keyakinan bahwa syariat Islam diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat, dengan menegakkan hukum yang seadil-adilnya meskipun cara yang ditempuhnya secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Artinya, sebagaimana dikemukakan Jasser Audah 25 , tujuan hukum Islam (maqâshîd) harus menjadi basis 24 Lihat Elbert W. Stewart dan James A. Glinn, Introdyuction to Sociology, (New York: Mc Grow Hill Company, 1975), h. 274, sebagaimana dikutip Aliwarman Hamzah, Kerukunan Hidup Umat Berama, (Padang, IAIN Imam Bonjol Press, 2000), h. 18, Mereka merujuk bukti perang salib yang berlarutlarut. 25 Jasser Auda adalah ketua dan pendiri Al-Maqâshid Research Centre in the Philosophy of Islamic Law (Markaz Dirasat Maqashid al-Shari‘ah al-Islamiyyah), yang bermarkas di London UK, sejak 2005. Ia menyelesaikan S-1 di Univeritas Cairo Mesir pada tahun 1988 di jurusan Teknik Mesin. Di sela-sela menyelesaikan studinya di Universitas Cairo, Jasser Auda mengikuti halaqah di Masjid al-Azhar di bawah asuhan Syekh Isma’il Shadiq al-Adawi antara tahun 1984-1990. Bidang keilmuan yang didalaminya pada saat halaqah di antaranya; hadis, `ulum al-hadits, fikih mazhab Syafi’i dan usul fikih dengan komparasi mazhab-mazhabnya. Bahkan pada rentang waktu itu ia telah menyelesaikan hafalan al-Qur’an sebanyak 30 juz dengan riwayat Imam Hafas. Dilihat dari latar belakang pendidikannya, Jasser Auda mempunyai latar belakang pendidikan yang multi-disipliner. Ia mendapat gelar Ph.D. dari dua Universitas, yakni dari Universitas Wales; UK dengan disertasi Philosophy Hukum Islam, dan
11
fundamental dan metodologi dalam membentuk suatu sistem hukum Islam yang efektif. 26 Dalam hal ini, sebagaimana ditegaskan Ibnu al-Qayyim, Allah Swt. telah menjelaskan cara-cara (metode) dengan apa yang disyariatkanNya dengan tujuan menegakkan keadilan di antara manusia dan menegakan manusia dengan keadilan. Karenanya, setiap cara atau kebijakan yang dapat melahirkan keadilan, maka hal itu bisa dikatakan bagian dari (hukum) Islam. Jadi, siyasah yang adil dan berlandaskan spirit syariat Islam bisa dikatakan sebagai siyâsah syar`iyyah.27 Dalam hal ini, siyâsah syar`iyyah menurut Abdul Wahab Khalaf adalah pengelolaan masalah-masalah umum oleh pemerintah Islam demi menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya kemudaratan bagi masyarakat dengan berlandaskan syariat Islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya berdasarkan pendapat para imam mujtahid.28 Definisi ini diperkuat oleh Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah syari’yyah sebagai hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, meskipun tidak ada dasar yang kuat dari al-Qur’an dan al-sunah. 29 Sementara fuqaha, mendefinisikan siyasah syariyah sebagai kewenangan penguasa (pemerintah) melakukan kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal itu.30 Ibn Khaldun berpendapat bahwa siyâsah syar`iyyah merupakan peraturan-peraturan pemerintah yang selaras dengan ketentuan dan kehendak syariat Islam.
31
Dalam konteks yang lebih
Universitas Waterloo-Canada dengan disertasi tentang Analisis Sistem. Kiprah Jasser Audah dalam bidang pendidikan bisa dilihat dari banyaknya aktivitas keanggotaan di berbagai lembaga internasional. 26 Jasser Auda, Maqâsîd Sharî‘ah as Philosophy of Islamic Law, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), h. 54-55. 27 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, al-Thurûq al-hukmiyyah fi siyâsah al syar`iyyah, tahqîq:Basyir Muhammad Uyun, (Damascus: Matba`ah Dâr al-Bayân, 2005), h. 26. 28 Abdul Wahab Khalaf, `Ilmu Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Kuwaitiyah, 1978), h. 15. 29 Abdurrahman Taj, al-siyâsah al-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Mathba`ah Dâr alTa’lif,1993), h. 10. 30 Abdul Wahab Khalaf, `Ilmu Ushûl al-Fiqh, h. 20 31 Abdul Wahab Khalaf, `Ilmu Ushûl al-Fiqh, h. 21.
12
kontemporer, Yusuf Qardlawi mendefinisikan siyâsah syar`iyyah sebagai sistem politik yang menjadikan syariat sebagai dasar dalam kebijakan dan sistem ketatanegaraan.32 Ibnu 'Aqâ’il, mendefinikan siyâsah syar`iyyah setidaknya memiliki tiga indikator, yaitu: Pertama, tindakan atau kebijakan itu untuk kepentingan orang banyak. Kedua, kebijakan yang diambil dan diikuti oleh publik itu bersifat alternatif dari beberapa pilihan yang pertimbangannya adalah mencari yang lebih dekat kepada kemaslahatan bersama dan mencegah adanya kemudaratan. Ketiga, kebijakan itu dalam wilayah ijtihâdiy, yaitu dalam urusan-urusan publik yang tidak ada dalil qath`i dari al-Qur'an dan al-Sunnah, melainkan dalam wilayah kewenangan negara. 33 Dengan demikian, dapat ditemukan hakikat siyâsah syar`iyyah, yaitu: pertama, siyâsah syar`iyyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan masyarakat; kedua, pengurusan dan pengaturan tersebut dilakukan oleh pemegang kekuasaan; ketiga, tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan; dan keempat, pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. 34 Selanjutnya, Dari perspektif siyâsah syar’iyyah, pembubaran atau pelarangan Ahmadiyah bukan satu-satunnya jalan penyelesaian. Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan sebelum menempuh jalur politik kekuasaan yang mengarah pada pembubaran jemaah Ahmadiyah di Indonesia. 1. Konsep Amar Makruf Aksi kerasan yang dilakukan massa atau kelompok umat Islam terhadap jemaah Ahmadiyah bagaimanapun tidak bisa dibenarkan. Tindakan tersebut jelas merupakan suatu pelanggaran hak-hak warga negara dan menciderai tatanan hukum di Indonesia. Selain melanggar hukum, tindakan anarkis tersebut pada dasarnya telah mencoreng martabat umat dan citra Islam itu sendiri sebagai agama rahmat, agama cinta dan agama damai. Aksi massa ini—secara tidak langsung—juga menunjukkan betapa pemahaman keagamaan kita seringkali tidak didialogkan lewat budaya dan peradaban bangsa.35 32 Yusuf Qaradlawi, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm: Makânatuhâ, Ma`âlimuhâ, Thabî`atuhâ, Mauqifuhâ Min al-Dîmuqrâthiyah, wa al-Ta’addudiyyah wa al-Mar’ah wa Ghair al-Muslimîn, (Kairo: Dâr alSyurûq, 2001), h. 11 33 Sebagai wilayah ijtihadi, maka dalam siyâsah syar`iyyah , metode yang sering digunakan adalah qiyâs dan masalahah mursalah. 34 Al-Mawardy, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Kairo: Maktabah Syâmilah, Dâr al-Warraq, tt), h. 88. 35 Khaeron Sirin, Ada Apa , Agustus 2005.
13
Dalam hal ini, ajaran amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai manifestasi kontrol sosial masyarakat tidak mengalami kesinambungan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, doktrin ‘mengajak kepada yang baik (benar) dan mencegah dari kemungkaran’ oleh umat Islam tidak dikomunikasikan secara kekeluargaan sebagaimana budaya masyarakat Indonesia. Sejatinya, umat Islam tidak perlu bersikap antipati, mudah tersinggung dan bereaksi terlalu keras terhadap perbedaan pemahaman keagamaan. Pendekatan reaktif ataupun represif yang dilakukan dalam berdakwah tidaklah selalu menjanjikan ‘kemenangan’. Tindakan seperti itu—mengutip istilah Muhammad Shahrur—hanya akan menyebabkan terjadinya tirani keberagamaan, baik pemikiran, pengetahuan ataupun sosial di tengah kehidupan masyarakat kita. Selain tidak menyentuh akar persoalan, bukan tidak mungkin, tindakan itu sekadar menimbulkan perpecahan dan kerusakan, sekaligus menimbulkan semangat ‘membela diri’ di kalangan jemaah yang ditekan. Pengalaman telah membuktikan, banyak jemaah yang sebelumnya sempat bertaubat dan ingin kembali ke ajaran Islam semula, justru balik lagi ke aliran (Ahmadiyah) yang dianggap masyarakat luas sebagai aliran sesat. Bahkan, banyak jemaah yang justru semakin yakin dengan ajaran yang dipahaminya sekarang ini. Alhasil, bukan alirannya hilang atau jemaahnya sadar, tapi sebaliknya kian berkembang dan memiliki militansi di kalangan pengikutnya. Padahal, dalam beberapa kasus di luar negeri, sebagaimana pengalaman Hasan bin Mahmud Audah, banyak jemaah Ahmadiyah yang akhirnya kembali ke ajaran Islam setelah melakukan berbagai dialog dengan umat Islam. Artinya, konsep amar ma’ruf dan nahi munkar dalam konteks saat ini haruslah dikomunikasikan secara dialogis. Kita harus menampilkan secara tegas identitas keagamaan yang damai, penuh cinta kasih dan membebaskan. Bila perlu, konsep fastabiq al-khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dimaknai
tidak hanya
mengajak berbuat baik di kalangan sendiri, tapi sekaligus memberikan kebaikan kepada mereka yang berbeda paham untuk kembali kepada ajaran Islam secara damai dan penuh kesadaran. Di sinilah pentingnya kontrol sosial keagamaan secara dialogis ataupun dakwah bi al-hal (sikap keteladanan) dengan memperhatikan budaya dan
14
keragaman masyarakat yang ada. Tentunya, strategi dakwah ataupun dialog-dialog agama yang terbuka dan bijaksana seperti itu sangat relevan dan bisa menjadi model ideal bagi perkembangan kehidupan agama-agama di masa depan. Inilah keinginan kita bersama bahwa agama (Islam) harus dipahami sebagai institusi yang bisa melahirkan kedamaian, kasih sayang dan kepuasan dalam menghadapi berbagai persoalan saat ini. 2. Konsep Nahi Munkar Selain amar makruf, nahi munkar juga bisa menjadi jalan penyelesaian konflik, ketika pintu dialog tidak terbuka atau tidak menghasilkan kesepakatan. Dalam hal ini, nahi munkar diorientasikan pada upaya penyelesaian sepihak oleh penguasa dengan mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak untuk menekan terjadinya konflik baru. Penyelesaian tersebut bisa berupa jalan tengah yang memisahkan ranah kepentingan kedua belah pihak. Dalam hal ini, hal yang paling memungkinkan adalah memisahkan ajaran Ahmadiyah dari ajaran Islam. Penguasa bisa secara paksa menyatakan Ahmadiyag sebagai agama baru di Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan agama-agama lain. Inilah jalan tengah yang paling memungkinkan terjadi ketika Jemaah Ahmadiyah tetap kukuh meyakini ajarannya dan tidak bersedia kembali ke ajaran Islam murni. Sebagai ujung tombak, pendekatan politik dan kekuasaan bisa menjadi pemutus atas konflik yang terjadi saat ini. Lewat kekuasaannya, negara atau penguasa bisa saja menyatakan bahwa ada penodaan agama dalam ajaran Ahmadiyah. Artinya, melalui konsep nahi munkar, pemimpin bangsa berwenang untuk membuat dan mengusulkan aturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah bentuk ajaran di luar akidah Islam. Karenanya, Ahmadiyah bisa dijadikan sebagai aliran keagamaan tersendiri yang berbeda dengan agama Islam, sekaligus harus melepaskan segala simbol keagamaan yang bisa menyinggung atau menodai agama Islam. Negara juga bisa menyatakan Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas non-Islam, sebagaimana yang terjadi di Pakistan. Hal ini bisa menjadi jalan tengah penyelesaian konflik. Tentunya, ketentuan tersebut, sekali lagi, harus diikuti larangan bagi Ahmadiyah untuk menggunakan atribut dan ritual Islam demi melindungi hak-hak umat Islam dari penodaan akidah dan syariat Islam.
15
Peran Negara Mengelola Konflik Negara punya peranan penting bagi terselenggaranya konsep amar makruf nahi munkar. Potensi konflik antar-agama bisa makin runcing bila ditambahi sentimen beda etnis dan suku serta faktor lain yang lebih kompleks. 36 Pemerintah atau penguasa bertanggung jawab melakukan pencegahan dan penanggulangan setiap konflik yang timbul sebagai akibat pergaulan umat beragama. Untuk itu perlu manajemen konflik yang dikelola secara profesional. Di antara peluang penyelesaian konflik keagamaan yang mesti dikelola oleh penguasa adalah dengan mengajak umat beragama kembali ke makna dan ajaran dasar agama. Semua agama tidak sekadar berisi ajaran hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Tetapi juga ajaran horizontal antar sesama manusia. Agama-agama memiliki titik temu dalam hal sama-sama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang antar sesama manusia. Masing-masing mengajarkan penghargaan atas perbedaan agama. Agama-agama mengajarkan bahwas manusia diciptakan Tuhan dalam berbagai suku, bangsa, dan agama, untuk saling bekerja sama dan hidup berdampingan. Tak satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk saling membenci, menyakiti, dan menindas. Dengan demikian, doktrin agama yang semula dijadikan alat justifikasi untuk aksi kekerasan antar pemeluk agama, bisa dibalik menjadi payung perdamaian antar sesama umat manusia. Dimensi inilah yang mesti dikedepankan dalam upaya penciptaan relasi damai antar agama. Harus lebih sering digaungkan titik-titik temu antar agama ketimbang titik-titik beda. Peluang ini harus dikelola secara sinergis dalam manajemen konflik bernuansa agama. Berbagai peluang harus dioptimalkan, sejumlah kendala harus di atasi.37Penyelesaian konflik keagamaan tidak cukup diselesaikan secara parsial dengan sekadar berkampanye bahwa secara normatif agama bersifat pro-perdamaian. Tetapi harus disertai langkah lain, seperti penyelesaian ekonomi, politik, keadilan sosial secara komprehensif. Kesenjangan ekonomi secara gradual harus dihilangkan, keadilan sosial-politik harus ditegakkan.
36 Usman Pelly, "Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia", dalam Journal Analytica Islamica, Tahun 1, Volume 1, Nomor 1, 1999, h. 3-6. 37 Imam Tolkhakh, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 76.
16
Sebagai
penerima
mandat
penyelesaian
masalah,
pemerintah
harus
menyempurnakan aturan mainnya. Misalnya dengan menyempurnakan Perda. Jangan sampai, ketika masyarakat melimpahkan kewenangan penyelesaian, pemerintah justru tidak siap, gagap, dan berjalan lamban. Kelambanan pemerintah ini justru akan makin memperkeruh suasana, dan secara tidak langsung, turut memprovokasi aksi kekerasan berikutnya. Banyak aksi kekerasan terjadi karena kecewa atas penangan pemerintah yang dinilai lamban. Dengan demikian, komitmen mencari solusi juga harus dipegang kuat pemerintah, bukan hanya dituntut dari para pihak yang bertikai. 38 Dengan demikian, sinergi dan harmoni sosial antara pengikut Ahmadiyah dan umat Islm diharapkan bisa memberi manfaat penguatan ketahanan nasional dan turut mempercepat berbagai persoalan yang belakangan ini membelit bangsa kita. Ke depan, agama mesti diarahkan pada upaya membebaskan diri dari belenggu doktrin-doktrin yang eksklusif dan intoleran ke arah yang lebih inklusif dan multikulturalis. Ia harus menjadi proses pemerdekaan manusia, yang diarahkan melalui dialog, saling pengertian dan menumbuhkan semangat keterbukaan, yaitu sikap dan mentalitas yang menghargai hal-hal baru, daya adaptasi yang proporsional, serta sifat inovatif dan kreativitas yang tinggi terhadap faktor yang ada di sekitarnya. Penutup Terjadinya konflik yang berkepanjangan antara uat Islam dengan Jemaah Ahmadiyah selain disebabkan faktor teologis, bisa juga dipicu oleh faktor non-agama, seperti kesenjangan ekonomi, pertaruangan ideologi dan kepentingan politik, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, serta penegakan hukum yang lemah, juga bisa menyebabkan konflik bernuansa agama. Bahkan, bukan tidak mungkin ada rekayasa dari berbagai elit politik dalam persoalan konflik yang sebenarnya berakar pada problem sosial, ekonomi, dan politik. Konflik yang mengemuka seolah berakar dari persoalan teologis. Di sinilah, peran negara dan juga masyarakat dalam mengelola konflik sangat dibutuhkan agar tidak merembet ke persoalan lain yang dapat menghambat terjadinya penyelesaian konflik yang sebenarnya. Dalam hal ini, jika konflik Ahmadiyah itu murni persoalan teologis,
38
Aliwarman Hamzah, Kerukunan Hidup, h. 22.
17
mestinya hal itu bisa diselesaikan secara tuntas dan jelas sebagaimana yang terjadi di Pakistan.
18
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Khalaf, `Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Kuwaitiyah, 1978. Abdurrahman Taj, al-siyâsah al-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islâmiy, Kairo: Mathba`ah Dâr al-Ta’lif,1993. Alimarman Hamzah, Kerukunan Hidup Umat Berama, Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2000. Elbert W. Stewart dan James A. Glinn, Introdyuction to Sociology, New York: Mc Grow Hill Company, 1975. Hasan bin Mahmud Audah, al-Ahmadiyah: Aqa’id wa Ahdats, Karachi: t.tp., 1998. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, al-Thurûq al-hukmiyyah fi siyâsah al syar`iyyah, tahqîq:Basyir Muhammad Uyun, Damascus: Matba`ah Dâr al-Bayân, 2005. Imam Tolkhakh, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001. Jasser Auda, Maqâsîd Sharî‘ah as Philosophy of Islamic Law, London: The International Institute of Islamic Thought, 2008. Khaeron Sirin, “Ada Apa dengan Ahmadiyah”, Republika, 30 Agustus 2005 Khaeron Sirin, “Agama dan Tantangan Multikulturalisme”, Media Indonesia, 20 Juli 2002 M. Amin Djamaluddin, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur'an, Jakarta: LPPI, 2000. Rusmin Tumanggor dkk (ed.), Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air, Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Jakarta, Maret 2004. Surat Keputusan Besama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah . Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1979. Usman Pelly, "Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia", dalam Journal Analytica Islamica, Tahun 1, Volume 1, Nomor 1, 1999. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Al-Mawardy, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Kairo: Maktabah Syâmilah, Dâr al-Warraq, t.th. Yusuf Qaradlawi, Min Fiqh al-Daulah fî al-Islâm: Makânatuhâ, Ma`âlimuhâ, Thabî`atuhâ, Mauqifuhâ Min al-Dîmuqrâthiyah, wa al-Ta’addudiyyah wa al-Mar’ah wa Ghair alMuslimîn, Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001.
19