DAMPAK SOSIAL KEKERASAN TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI LOMBOK DAN UPAYA RESOLUSI KONFLIK Moh. Asyiq Amrulloh Mustain Atun Wardatun Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Jl. Pendidikan No. 35 Telp. (0370) 621298 Mataram NTB Email:
[email protected]
Abstrak: Studi ini memfokuskan pada (1) dampak sosial, ekonomi, dan politik yang dialami anggota Jemaat Ahmadiyah di Lombok pascakerusuhan, dan (2) upaya resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah, semakin menguatkan ikatan komunal Jemaat, karena mereka menganggap kondisi ini sebagai keniscayaan perjuangan mempertahankan keimanan. Ikatan komunal yang semakin kokoh juga menjadikan mereka tetap sabar dan tabah meskipun secara politis kehilangan sebagian hak-hak mereka sebagai warga negara. Meskipun hidup dalam pengungsian, sebagian besar telah bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing. Di sisi lain belum ada upaya-upaya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dapat dikategorikan sebagai upaya resolusi konflik, baik dalam bentuk pencegahan konflik kekerasan, rekonstruksi, dan peacebuilding serta rekonsiliasi. Kebijakan pemerintah yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari upaya pencegahan konflik kekerasan adalah SKB 3 Menteri. Upaya ini dilakukan karena pemerintah dan pihak yang kontra Ahmadiyah memandang konflik yang terjadi sebagai konflik iman, yang tidak mungkin dilakukan upaya resolusi konflik iman. Kata kunci: dampak sosial, Ahmadiyah, resolusi konflik, kekerasan
361
THE SOCIAL IMPACTS OF VIOLENCE AGAINST THE MEMBERS OF AHMADIYAH SECT IN LOMBOK AND THE ATTEMPTS TO RESOLVE THE CONFLICT Moh. Asyiq Amrulloh Mustain Atun Wardatun Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Jl. Pendidikan No. 35 Telp. (0370) 621298 Mataram NTB Email:
[email protected]
Abstract: This study examines two issues; first, the social aftermaths of the violence and, second, the conflict resolution sponsored by the government of West Nusa Tenggara Province. The study maintains that the violence against Ahmadiyah members has stimulated internal solidarity because, among other things, the community believes that the violence is a challenge to defend their faith. Such a strengthening communal bond has made them survive despite the fact that they lose their political rights as citizens. Although they are now living temporarily for years in a boarding house provided by the local government, some community members have begun their life and worked normally. On the other hand, there has been seemingly no serious effort ever made by the government to resolve the conflict in terms of conflict anticipation, reconstruction of destroyed buildings, peace-building and reconciliation. The government’s effort that is aimed to anticipate conflicts is realized through the issuance of joint decree between three ministerial offices. The reason for the issuance of the joint decree is because this is seen as an effective way to anticipate conflicts since the government and the opponents of Ahmadiyah conceive of the conflict as a religious or faith-based conflict in which reconciliation might be futile. Keywords: social impact, ahmadiyah, conflict resolution, violence
362
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
PENDAHULUAN Penentangan besar-besaran kepada Jemaat Ahmadiyah di beberapa wilayah di Indonesia baru terjadi pascareformasi, tepatnya setelah keluarnya fatwa Majlis Ulama Indonesia sebagai hasil dari Musyawarah Nasional MUI VII, tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M. Dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/Munas VII/MUI/15/2005 yang memutuskan tiga hal: pertama, menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). Kedua, bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq, yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Ketiga, pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.1 Setelah keluarnya fatwa MUI di atas kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah semakin meningkat. Peristiwa itu ditandai dengan terjadinya penyerangan dan perusakan rumah-rumah dan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah, termasuk pengusiran terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah dari tempat tinggal mereka di berbagai wilayah Indonesia. Di wilayah Nusa Tenggara Barat, khususnya di pulau Lombok, kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah telah berlangsung sejak tahun 1983, yaitu kasus kekerasan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah di Pancor Lombok Timur. Karena dianggap memicu timbulnya pertentangan dalam masyarakat, pada tahun 1983 kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur dilarang dengan SK Kejari Selong Nomor: Kep. 11/LPK.32.2/L-2.III/II/1983 tertanggal 21 Nopember 1983. Nampaknya, keberadaan SK di atas tidak mampu menghentikan kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang secara tidak menyolok terus melakukan kegiatan-kegiatan dakwahnya.2 Setelah reda beberapa tahun, kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah kembali terjadi pada tahun 2001, yaitu penyerangan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur.3 1
http://www.mui.or.id, diakses 29 Maret 2009. Moh. Asyiq Amrulloh, “Konflik Intern Agama (Studi Kasus Perusakan Masjid dan Rumah-Rumah Jama’ah Ahmadiyah di Selong Lombok Timur NTB)”, Laporan Penelitian (Mataram, 2002), 4. 3 Http://www.gatra.com, diakses 29 Maret 2009. 2
363
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
Peristiwa yang lebih besar terjadi pada tanggal 10 September 2002, yang ditandai dengan perusakan terhadap Masjid Jemaat Ahmadiyah di Jalan Prof. Yamin, Nomor 35, Pancor. Kemudian berlanjut pada tanggal 11 September 2002 ketika terjadi perusakan dan pembakaran masjid dan sekretariat Jemaat Ahmadiyah, dan berlanjut pada perusakan dan pembakaran aset-aset pribadi anggota Jemaat Ahmadiyah, seperti rumah dan toko-toko di Pancor dan Selong.4 Menurut catatan Sabili, dari peristiwa anarkhisme itu telah menimbulkan korban di kalangan Jemaat Ahmadiyah berupa 8 bangunan dibakar, 28 buah dirusak, dan 350 anggota Jemaat Ahmadiyah mengungsi.5 Terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah itu mendorong Bupati Lombok Timur mengeluarkan Surat Edaran Nomor 045.2/134/KUM/2002, tanggal 13 September 2002 yang berisi larangan terhadap kegiatan penyebaran faham Ahmadiyah Qadiani, baik secara lisan maupun tertulis di wilayah Lombok Timur sesuai dengan Keputusan Bupati Lombok Timur, 7 Nopember 1983 dan Keputusan Kajari Selong, 12 November 1983.6 Puncak dari penentangan terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah pengusiran dari tempat tinggal mereka di Pancor. Mereka yang terusir ini sebagian besar berhijrah ke daerah Montong Gamang Lombok Timur dan sebagian ke Praya Lombok Tengah. Beberapa waktu kemudian mereka juga diusir dari tempat tinggal mereka di Montong Gamang Lombok Timur, dan kemudian sebagian berpindah ke Sambe Elen kecamatan Bayan Lombok Barat. Mereka juga diusir dari tempat itu, sehingga sebagian besar berpindah ke Sweta di Mataram, dan kemudian berpindah dan menetap di Dusun Ketapang Desa Gegelang Kecamatan Lingsar Lombok Barat, tepatnya di Kompleks Perumahan Bumi Asri. Akibat tindakan massa pada 4 Februari 2006 itu 23 rumah Jemaat Ahmadiyah dirusak dan dibakar yang memaksa mereka meninggalkan tempat tinggalnya di Dusun Ketapang Desa Gegelang Kecamatan Lingsar, dan kemudian menjadi penghuni tempat pengungsian di Asrama Transito Jalan Pariwisata Mataram hingga kini. Keberadaan Jemaat Ahmadiyah semakin lemah dengan keluarnya SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Keputusan Bersama Menteri Agama No. 3, Tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep-0333/A/JA/6/2008, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199, Tahun 2008 berisi 6 butir 4
Lombok Post, 11 dan 12 September 2002. Http://www.sabili.co.id, diakses 6 Juni 2002. 6 Amrulloh, “Konflik Intern”, 5. 5
364
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat.7 Meskipun secara eksplisit tidak menyebut tentang pembubaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia, SKB itu menegaskan tentang pelarangan kegiatan penyiaran ajaran atau faham Ahmadiyah di Indonesia. Sebagaimana fatwa MUI yang menegaskan tentang kesesatan Jemaat Ahmadiyah, SKB dapat dilihat sebagai wujud persetujuan pemerintah terhadap fatwa MUI, yaitu dengan mengeluarkan ketentuan legal formal dalam bentuk pembekuan Jemaat Ahmadiyah. Penelitian ini tidak akan mengkaji tentang isi fatwa MUI dan SKB sebagai sebuah pendapat hukum, dan pro dan kontra terhadap kedua keputusan hukum agama dan hukum negara tersebut. Namun, penelitian akan difokuskan pada dampak sosial, ekonomi, dan politik kekerasan (perusakan, penyerangan, dan pengusiran) terhadap Jemaat Ahmadiyah yang sampai kini belum terselesaikan. Perusakan terhadap aset yang dimiliki oleh Jemaat Ahmadiyah menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang sangat besar bagi mereka. Pengusiran mereka dari tempat tinggalnya menimbulkan permasalahan sosial baru bagi pemerintah daerah, terutama berkaitan dengan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh tempat tinggal yang baru dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu juga dengan ketidakjelasan status domisili mereka akan mempengaruhi pemenuhan hak politik mereka sebagai warga negara. Dengan demikian, rumusan masalahnya meliputi (1) dampak sosial, ekonomi, dan politik yang dialami anggota Jemaat Ahmadiyah pascakerusuhan, penyerangan, dan pengusiran dari tempat tinggal mereka di wilayah Lombok dan (2) upaya resolusi konflik Jemaat Ahmadiyah di wilayah Lombok yang dilakukan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif deskriptif. Eksplorasi dan deskripsi dari penelitian ini tampak dalam upaya peneliti menemukan jawaban permasalahan dan penggambaran terhadap subjek penelitian secara verbal. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Karena tidak memfokuskan pada kasus konfliknya, tetapi pada kondisi pasca konflik, penelitian ini dibatasi pada lokasi 7
http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/09, diakses 29 Maret 2009.
365
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
penampungan Jemaat Ahmadiyah pasca pengusiran dari tempat tinggal mereka sebelumnya dan lokasi-lokasi konflik yang masih menyisakan bekas-bekas terjadinya konflik. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Pemilihan informan didasarkan atas kompetensi mereka dan bukan atas representativeness (keter-wakilan).8 Informan dipilih dengan teknik purposive sampling dan snowball sampling.9 Informan kunci penelitian ini adalah pimpinan dan anggota Jemaat Ahmadiyah sebagai korban, pejabat daerah yang bertanggung jawab terhadap penanganan Jemaat Ahmadiyah pascakerusuhan, dan tokoh-tokoh LSM yang aktif melakukan advokasi kepada Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, ada informan pendukung dalam penelitian ini, yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat keamanan yang ada di wilayah konflik. Namun, dengan teknik snowball, tetap dimungkinkan munculnya informan baru selain yang telah disebutkan di atas. Selain informan, sumber data penelitian ini adalah peristiwa dan dokumen. Peristiwa yang dimaksud adalah aktivitas para pelaku konflik, lebih tepatnya para korban, yang terdiri atas para anggota Jemaat Ahmadiyah di wilayah yang menjadi lokasi penelitian. Adapun dokumennya adalah bukti-bukti tertulis dari kebijakan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Barat, dan Kota Mataram berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, juga termasuk bukti-bukti tertulis dari kebijakan yang diambil oleh Kakanwil Departemen Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kakandepag Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kota Mataram berkaitan dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Kegiatan pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk memperoleh data dari konteks “teramati”. Pengamatan dalam observasi, seperti dikatakan oleh Adler dan Adler10, tidak hanya dengan indera visual untuk melihat tetapi juga indera-indera lain untuk mencium, mendengar, menyentuh, dan merasa. Penerapan metode ini melewati dua tahap11, 8 H. Russel Bernard, Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches (Walnut Creek: AltaMira Press, 1995), 165. 9 Earl Babbie, The Practice of Social Research (California: Wadsworth Publishing Company, 1998), 194-196. 10 Patricia A. Adler dan Peter Adler, “Observasional Techniques”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (Thousand Oaks: Sage Publications, 1994), 378. 11 Ibid., 380-381.
366
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
yaitu: (a) memilih setting dan aksessebilitas, (b) observasi terfokus. Dalam pelaksanaannya metode observasi ini juga dibarengi dengan kegiatan recording (perekaman) dan pemotretan terhadap momen-momen penting. Sedangkan target observasi dalam penelitian adalah tiga elemen utama situasi sosial, yaitu tempat/ lokasi terjadinya konflik, para pelaku, dan aktivitas-aktivitas para pelaku, yaitu para Jemaat Ahmadiyah di penampungan.12 Dari sudut partisipasi ke dalam setting penelitian, peneliti menempuh metode observasi partisipasi pasif dan bila memungkinkan meningkat kepada partisipasi moderat.13 Ditempuhnya metode observasi partisipasi pasif sampai partisipasi moderat ini dikarenakan setting penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mengambil bagian dalam subjek penelitian, misalnya dengan terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan yang berlangsung di kalangan Jemaat Ahmadiyah. Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi dari para key informan penelitian. Dalam melakukan wawancara peneliti membekali diri dengan pedoman wawancara untuk menghindari keterluputan dari permasalahan yang seharusnya diwawancarakan dan untuk tetap menjaga keterarahan wawancara sesuai dengan target informasi yang dibutuhkan. Peneliti melakukan wawacara kepada beberapa pihak, yaitu pimpinan Jemaat Ahmadiyah yang ada di Lombok, pimpinan Departemen Agama, pemerintah Provinsi NTB, dan pemerintah kabupaten dan kota, khususnya mengenai penanganan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban konflik dan kerusuhan. Sedangkan metode dokumentasi digunakan untuk mengkaji dokumen-dokumen tertulis yang berupa bukti-bukti tertulis dari kebijakan pemerintah propinsi Nusa Tenggara Barat, kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Barat, dan Kota Mataram berkaitan dengan Jemaat Ahmadiyah. Selain itu juga termasuk bukti-bukti tertulis dari kebijakan yang diambil oleh Kakanwil Departemen Agama Propinsi Nusa Tenggara Barat, Kakandepag Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kota Mataram berkaitan dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Dengan menerapkan metode pengumpulan data yang beragam tersebut, peneliti sekaligus melakukan triangulasi 12 Kategorisasi ini berdasarkan konsep Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi (Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA3), 1990), 77. 13 Tehnik obervasi ini dirumuskan James P. Spradley, dalam bukunya “Participant Observation” (New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1980), 58-62.
367
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
terhadap data atau informasi yang diperoleh. Artinya, peneliti menghimpun dan membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari sumber yang berbeda dan dengan metode yang berbeda.14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Sosial Korban Konflik Ahmadiyah di Penampungan Kekerasan terhadap anggota Jemaah Ahmadiyah di Dusun Ketapang Desa Gegerung Kecamatan Lingsar menjadikan mereka sebagai “pengungsi” yang minus hak-hak sebagai pengungsi. Secara fisik, Asrama Transito di Majeluk, tempat tinggal mereka sekarang ini kurang layak sebagai tempat pengungsian, baik dari segi ketersedian ruangan maupun sarana pendukung. Menurut data yang diperoleh dari ketua pengungsi Ahmadiyah di Asrama Transito, Bapak Syahidin, jumlah korban kerusuhan Ketapang yang mengungsi mencapai 134 jiwa. Mereka terdiri atas 71 pria dan 63 wanita, 49 anak-anak, 5 remaja, dan 80 dewasa. Secara genealogis, para penganut Jemaat Ahmadiyah berasal dari satu komunitas. Mereka yang menjadi korban kekerasan Ketapang mayoritas adalah korban pembakaran dan pengusiran pada kasus Pancor tahun 2002. Ketika itu Pemerintah Kabupaten Lombok Timur memberikan 2 opsi kepada warga Ahmadiyah. Pertama, mereka tetap menjadi anggota Jemaat Ahmadiyahah, tetapi angkat kaki dari Lombok Timur. Kedua, mereka tetap tinggal di Lombok Timur, tetapi keluar dari Ahmadiyah. Warga Ahmadiyah mengambil opsi yang pertama, keluar dari Lombok Timur dan tetap menjadi Ahmadiyah. Sebelum mengalami peristiwa pengusiran, kehidupan mereka cukup mapan di sana, ada yang memiliki toko bangunan, toko pakaian, sandal, dan lain-lain. Sisa harta itulah yang dipakai untuk mengontrak rumah tinggal sementara di Mataram, beberapa waktu kemudian membeli tanah dan membangun rumah di Ketapang.15 Ketika penelitian ini dilakukan, semua korban masih tinggal di Asrama Transito Mataram yang tidak memenuhi standar tempat tinggal, apalagi dalam jangka waktu bertahun-tahun. Meskipun disebut sebagai asrama, bangunan Asrama Transito adalah bangunan tua yang kurang berfungsi dan kumuh. Jumlah ruang kamar yang sangat terbatas memaksa mereka memanfaatkan dua lokal ruang aula untuk tempat tidur dan berbagai aktivitas pribadi 14
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), 10. H. Syaiful Uyun, Penasehat DPW Ahmadiyah NTB, Wawancara, 24 Oktober
15
2009.
368
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
lainnya. Mereka menggunakan kain dan kardus-kardus bekas sebagai sekat-sekat sehingga membentuk kamar-kamar tidur yang dihuni masing-masing oleh 1 KK.16 Kondisi tempat tinggal seperti di atas sangat membatasi aktivitas pribadi setiap keluarga, khususnya aktivitas suami-istri. Dengan kondisi semacam itu antar keluarga hampir tidak ada privacy karena kegiatan-kegiatan pribadi satu keluarga otomatis juga akan diketahui oleh keluarga yang lain. Kondisi seperti di atas juga akan berpengaruh pada perkembangan kejiwaan anakanak dalam jangka panjang. Sudah setahun lebih mereka juga kesulitan air dan penerangan sebab aliran air dan listrik telah diputus oleh PDAM dan PLN karena pengelola asrama tidak mau membayar rekening air dan listrik yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk menyiasatinya, mereka terpaksa “mencuri” air PAM dan membuka kembali sumur di lokasi yang sebelumnya telah dimatikan (ditutup) oleh pihak pengelola Asrama Transito. Untuk penerangan mereka menggunakan lampu minyak karena aliran listrik hanya dapat dipakai untuk penerangan mushalla.17 Tempat tinggal mereka sekarang ini sebenarnya lebih mirip “kamp isolasi” yang diskenariokan untuk mengkondisikan korban terus berada dalam tekanan sampai mereka kemudian “menyerah dan bertaubat” dengan meninggalkan keyakinan Ahmadiyahnya. Dengan kata lain, ada kesengajaan untuk membiarkan para korban berada dalam kondisi sebagaimana yang terjadi saat ini. Penolakan penganut Ahmadiyah untuk “mengakui kesesatan mereka” dan “kembali kepada Islam” dianggap sebagai sikap pembangkangan dan penolakan terhadap upaya penyelesaian yang ditawarkan pemerintah. Hal itu dapat dipahami dari ungkapanungkapan yang dilontarkan oleh pihak pemerintah. Misalnya, ungkapan dari Kepala Kesbanglinmaspoldagri NTB yang menyatakan, “…mereka memang tidak mau diurus bukan pemerintah yang tidak mau mengurus”.18 Ungkapan yang sama dikemukakan Humas Kesbanglinmaspoldagri NTB, “Pada intinya, Ahmadiyah ini memang tidak mau menyelesaikan masalah”.19 Hal senada juga diungkapkan Kasubag Humas Kanwil Depag NTB, “Pemerintah bukan angkat tangan mbak, tetapi mereka memang tidak mau diurus, tidak mau mendengar”.20 Sementara Majelis Ulama Nusa 16
Observasi, 17 November 2009. Observasi, 17 November 2009. 18 Wawancara, 28 Oktober 2009. 19 Wawancara, 29 Oktober 2009. 20 Wawancara, 2 November 2009. 17
369
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
Tenggara Barat, sebagaimana dikemukakan ketuanya, menganggap permasalahan Ahmadiyah “sudah selesai” dengan SKB sehingga “kita tidak perlu lagi dialog dan bicara karena sudah jelas. Fatwa Majelis Ulama kita pedomani. Komunikasi antara MUI dengan Jemaat Ahmadiyah sudah selesai”.21 Harapan berbagai pihak bahwa membiarkan para pengungsi Ahmadiyah akan menjadikan mereka “menyerah dan bertaubat” ternyata tidak berhasil. Sebaliknya, kondisi itu semakin menguatkan mereka mempertahankan hidup. Posisi mereka sebagai korban semakin menumbuhkan ikatan emosional di antara mereka. Perasaan senasib dan sepenanggungan telah memperkokoh keberadaan mereka sebagai kelompok. Menurut aktivis LSM (Lensa) yang selama ini banyak berkomunikasi dengan kalangan Jemaat Ahmadiyah, interaksi sosial antarmereka pascakerusuhan semakin erat dan kuat. Mereka merasa senasib, sepenanggungan dan seperjuangan menegakkan keyakinan (“kebenaran”). Mereka menanggapi kasus yang dialami sebagai ujian penegakan kebenaran dan saling bahu-membahu mengatasi masalah dan beban keseharian. Dengan ditampung di satu tempat (pengungsian), komunikasi antar mereka lancar. Ikatan dan solidaritas mereka semakin kuat dan solid. Mereka terus berkoordinasi dengan pengurus Jema’at Ahmadiyah untuk membahas dan menyelesaikan persoalan yang sedang mereka hadapi.22 Semakin kuatnya ikatan komunal yang terbangun di antara Jemaat Ahmadiyah korban kekerasan tidak terlepas dari motif teologis. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka alami saat ini adalah bagian dari perjuangan menegakkan kebenaran. Mereka menganalogikan kondisi mereka saat ini sebagaimana kondisi yang dihadapi nabi dan para sahabat ketika menegakkan kebenaran Islam. Nabi dan para sahabat mendapat hinaan, intimidasi, dan kekerasan dari orang-orang yang tidak mampu memahami kebenaran yang telah mereka yakini. Mereka dapat menerima kondisi yang penuh penderitaan itu dengan kesabaran dan keikhlasan. Ikatan komunal juga ditumbuhkan melalui pengajian 7 menit yang dilaksanakan setiap selesai salat maghrib. Di antara materi yang disampaikan adalah keutamaan memberi makan kepada tetangga. Juga ditumbuhkan kesadaran bahwa mereka itu ibarat satu organ tubuh yang apabila sakit, semua ikut merasakannya.23 Jemaat ahmadiyah memaknai kondisi mereka dengan “positive thinking”; sebagaimana diungkapkan H. Syaiful Uyun, 21
H. Saiful Muslim, Wawancara, 4 November 2009. Yusuf Tantowi, Wawancara, 10 Oktober 2009. 23 Observasi, 20 November 2009. 22
370
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
mereka pada akhirnya mengambil hikmah saja dari peristiwaperistiwa penyerangan dan kekerasan yang menimpa kami. Hikmah itu antara lain dalam bentuk tersebarnya anggota jemaah yang menjadi korban ke berbagai daerah yang menjadi tujuan pengungsian mereka. Secara tidak langsung, kondisi itu juga berperan meluaskan wilayah “penyebaran” Ahmadiyah.24 Bahkan semenjak tanggal 17 Agustus 2009, Jemaat Ahmadiyah tidak lagi menggantungkan permasalahan mereka kepada pemerintah atau yang lain. Mereka sudah mendeklarasikan kepasrahannya kepada kerajaan langit. Akhirnya kita sejak tanggal 17 Agustus kemarin, kita komitmen bersama menyerahkan itu ke kerajaan langit. Ya terserah. Isu inikan sudah menginternasional jadi kami yakin Tuhan pasti akan menjawab semua keluhan kita. Apa pun bentuk jawaban tuhan, apakah bencana, perah terserah apa maunya tuhan. Jadi kita tidak mau pusing sekarang ini, akrena pernah kita mengatakan ini ke pada pemerintah tapitidak ada jawaban. Kalo pemerintah menganggap kita lebih bagus tinggal di sini, kami akan tinggal di sini sampai bernak cucu samapai mati. Tapi seandainya tidak wajar kami tinggal di sini pulang saja ke tempat tinggal yang dulu silahkan tapi dengan jaminan pemerintah itu memberikan keadilan dan keamanan.25
Sementara dalam interaksi sosial dengan masyarakat di luar, khususnya di luar Asrama, nampaknya baik-baik saja. Mereka menyatakan bahwa sebenarnya bergaul dengan masyarakat yang bukan Ahmadiyah tidak ada masalah. Di dalam maupun di luar gedung Asrama Transito sikap masyarakat sama. Mereka menerima keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Interaksi kami dengan masyarakat sekitar biasa saja umumnya dengan masyarakat lain. Interaksi mereka di tempat kerja. Anak-anak muda di sekitar Asrama juga tetap bermain bola di halaman depan Asrama sebagaimana yang biasa mereka jalani sebelumnya. Bahkan ada beberapa anak pengungsi yang juga ikut bermain bola.26 Makna hubungan baik yang terbangun antara masyarakat luar dengan Jemaat Ahmadiyah yang tinggal di Asrama Transito lebih berbentuk hubungan “negatif”. Negatif dalam pengertian bahwa penglihatan kepada yang lain lebih banyak didasari dengan 24
Jauzi, Wawancara, 17 November 2009. Zulkhair, Wawancara, 20 Oktober 2009. 26 Observasi, 17 November 2009. 27 Abdurahman Wahid. “Islama dan Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia” dalam H. M. Said (peny.) Nahdlatul Ulama dari Berbagai Sudut Pandang (Jakarta: LAKPESDAM, 1994), 172. 25
371
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
prasangka dan kecurigaan sehingga kondisi optimal yang dapat tercapai hanyalah sekadar kurangnya kesalahpahaman, bukan saling pengertian.27 Ketika Jemaat Ahmadiyah berinterkasi dengan orang lain dalam kehidupan sosial-ekonomi, yang muncul adalah identitas sosial dalam konteks hubungan ekonomi. Berbeda halnya, kalau interaksi yang terbangun terjadi antara mereka yang sudah mengetahui identitas keagamaan Ahmadiyah. Interaksi yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah di Asrama Transito dengan orang luar juga hanya sebatas orang-orang yang “memiliki kepentingan”. Sebaliknya, tidak nampak ada orang-orang yang datang yang benar-benar “hanya” untuk menunjukkan hubungan sosial yang biasa, misalnya sekadar bersilaturahim sebagai sesama manusia, atau sebaliknya, para penghuni Asrama yang datang ke lingkungan di luar Asrama untuk bersilaturahim. Jadi, problem interaksi sosial antara Jemaat Ahmadiyah dengan orang luar tetap ada. Adanya problem dalam interaksi sosial Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat di luar Ahmadiyah itu nampak pada perlakuan masyarakat terhadap mereka. Sebagaimana diakui oleh salah seorang di antara penghuni Asrama Transito, perlakuan berbeda itu mereka rasakan, bahkan kepada anak-anak mereka yang bersekolah di Sekolah Dasar yang ada di dekat Asrama Transito. Meski belakangan mulai membaik. Sebelumnya perlakuan berbeda itu jelas sekali mereka rasakan. Misalnya, anak-anak Ahmadiyah menerima raport dalam bentuk kolektif dalam satu lembaran dengan keterangan “hasil belajar anak Ahmadiyah”.28 Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah yang berujung pada pengusiran mereka dari Ketapang juga membawa pengaruh besar dalam kehidupan ekomi mereka. Harta benda yang mereka miliki hancur tanpa ada yang dapat dimanfaatkan, seperti yang dialami Maenah, Zulfikar, dan Abdullah.29 Kekerasan terhadap Ahmadiyah juga berakibat pada kelangsungan hidup mereka sangat terganggu karena lebih 1 tahun mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menopang kehidupan ekonominya. Hal itu dikarenakan mereka dipaksa untuk berada dalam lingkungan sosial yang baru sehingga mereka membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap warganya, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat memberikan bantuan kepada korban yang tinggal di Asrama Transito. Namun, 28
Zulkhair, Wawancara, 20 Oktober 2009. Wawancara, 20 Oktober 2009.
29
372
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
karena keterbatasan anggaran, mulai tanggal 1 Januari 2007 penanganan mereka kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi NTB, dan semenjak itulah tidak ada lagi bantuan dari pemerintah kepada mereka. Untuk menopang kehidupan mereka, pengurus wilayah Ahmadiyah, sebagaimana diungkapkan penasehatnya H. Syaiful Uyun, berinisiatif mengumpulkan dana berupa infaq, sadaqah dan zakat dari anggota Ahmadiyah, khususnya yang ada di Sulawesi. Dari sana terkumpul sumbangan sebesar 50 juta. Oleh pengurus Ahmadiyah, sebagian dana itu dibagikan sebagai bekal hari raya, sebagian lagi dibagikan sebagai modal usaha. Ada yang berjualan nasi bungkus, jual sayur mayur di pasar, tukang ojek, tukang bangunan, dan lain-lain. Pemerintah provinsi mulai memberi bantuan lagi pada awal tahun 2008 berupa berupa beras, masing-masing 11 kg, yang diperuntukkan untuk tiga bulan, setelah itu tidak ada lagi bantuan dari pemerintah.30 Dari penghasilan mereka itulah kelangsungan hidupnya dapat terus terpelihara. Namun, mereka juga tetap memimpikan untuk kembali ke tempat tinggal semula. Secara politis, keberadaan warga Ahmadiyah di Asrama Transito menjadikan mereka terasing dari kehidupan sosial dan agama. Status kependudukan mereka menjadi tidak jelas. Kepala lingkungan yang berada di sekitar pengungsian tidak mengakui mereka sebagai warga setempat. Mereka masih dianggap warga Ketapang, Lombok Barat, sementara lingkungan Ketapang juga tidak lagi menganggap mereka sebagai warga setempat. Akibat tidak jelasnya status kependudukannya itu mereka tidak bisa mendapatkan kartu Jamkesmas bila ada anggota keluarga mereka yang sakit sebagaimana masyarakat yang lain, padahal untuk bisa mendapatkan kartu Jamkesmas itu harus ada persetujuan dari lingkungan, kelurahan, camat, dan bupati.31 Upaya Resolusi Konflik Ahmadiyah di Lombok a. Upaya Pencegahan terhadap Konflik Kekerasan Langkah awal dari upaya resolusi konflik adalah “conflict prevention” atau pencegahan terhadap terulangnya kekerasan yang sama pada masa akan datang, baik yang dilakukan oleh negara (pemerintah) maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM).32 Upaya pencegahan terhadap konflik kekerasan memper30
Wawancara, 24 Oktober 2009. H.Syaiful Uyun, Wawancara, 24 Oktober 2009 32 Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution (Cambridge: Polity Press, 2007), 109. 31
373
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
syaratkan adanya pola hubungan sosial yang dibangun atas asas keadilan dan kesetaraan.33 Oleh karena itu, pencegahan terhadap konflik kekerasan juga mempersyaratkan adanya perubahan hubungan sosial dari bentuk hubungan yang tidak adil menuju bentuk hubungan yang menekankan keadilan, dari bentuk hubungan yang diskriminatif kepada bentuk hubungan yang penuh kesetaraan. Dalam konteks terjadinya konflik kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok, negara (pemerintah setempat) telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan propinsi Nusa Tenggara Barat. Produk yang pertama muncul adalah SK Kejari Selong Nomor: Kep. 11/LPK.32.2/L2.III/II/1983 tertanggal 21 Nopember 1983 tentang pelarangan Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Timur. SK Kejari Selong tersebut lahir sebagai respons terhadap konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi pada saat itu. Dalam perspektif resolusi konflik, kebijakan pemerintah melalui SK Kejari Selong itu tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk upaya pencegahan terhadap konflik. Kebijakan itu mengabaikan aspek keadilan dan kesetaraan, khususnya bagi salah satu pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah yang tidak adil dan diskriminatif kepada salah satu pihak yang terlibat dalam konflik, yaitu Jemaat Ahmadiyah. Bahkan, kebijakan itu justru memberi legitimasi kepada pihak tertentu untuk melakukan tindakan kekerasan kepada pihak lain yang diklaim telah mengabaikan dan tidak mematuhi keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan terulangnya konflik kekerasan yang sama, yaitu kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah kembali terjadi pada tahun 2001, yaitu penyerangan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur dan kasus yang lebih besar terjadi di Pancor pada tanggal 10 September 2002. Terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah itu mendorong Bupati Lombok Timur mengeluarkan Surat Edaran Nomor 045.2/134/KUM/2002, tanggal 13 September 2002 yang berisi larangan terhadap kegiatan penyebaran faham Ahmadiyah Qadiani, baik secara lisan maupun tertulis di wilayah Lombok Timur sesuai dengan Keputusan Bupati Lombok Timur, 7 November 1983 dan Keputusan Kajari Selong, 12 November 1983. Secara de facto kebijakan Pemerintah Kabupaten Lombok 33
Ibid., 112.
374
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
Timur yang berupa Surat Edaran Bupati di atas dapat mencegah terjadinya konflik kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di wilayah Lombok Timur. Namun, pilihan pencegahan konflik yang diambil oleh pemerintah bukan dengan menegakkan keadilan dan kesetaraan, tetapi dengan kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif. Kebijakan pencegahan konflik yang setali tiga uang juga diambil oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Pasca terjadinya konflik kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Sambi Elen tahun 2001, Bupati Lombok Barat mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 35 Tahun 2001, tentang Pelarangan dan Penghentian Ajaran/Faham Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat.34 Keluarnya SK Bupati Lombok Barat di atas tidak terlepas dari rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lombok Barat tanggal 5 Juli 2001 yang memohon perhatian dan tindakan segera pemerintah untuk menurunkan pelarangan operasional gerakan Jemaat Ahmadiyah yang sudah menyimpang dari ajaran Islam. Rekomendasi yang didasarkan pada hasil Mudzakarah yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 12 Rabiul Tsani 1422 H/ 04 Juli 2001 M yang bertempat di Pesantren al-Amin Gresik Kediri. Salah satu isi rekomendasi MUI Kabupaten Lombok Barat Nomor 12/MUI-LB/7.2001 itu berisi permohonan kepada pemerintah Kabupaten Lombok Barat untuk “Dengan tegas melarang kegiatan kelompok ini dan menindak dengan tegas pula setiap pelanggaran larangan tersebut”.35 Alih-alih menunjukkan perlakuan yang adil dan setara kepada pihak-pihak yang berkonflik, SK Bupati Lombok Barat itu justru menunjukkan sikap ketidakadilan dan diskriminatif. Pemerintah berpihak kepada kelompok mayoritas. Akibatnya, salah satu pihak yang berkonflik dan sekaligus pihak yang diperlakukan tidak adil dan diskriminatif, yaitu Jemaat Ahmadiyah, mengajukan keberatan. Hal itu ditunjukkan dengan surat yang mereka ajukan kepada Bupati Lombok Barat ketika itu. Dalam surat bernomor 22/27-08-2001, perihal Keberatan atas larangan Ahmadiyah di Lombok Barat, setelah memberikan 6 butir penjelasan terhadap permasalahan yang menjadi dasar pertimbangan keluarnya SK Bupati Lombok Barat Nomor 35, Tahun 2001, Jemaat Ahmadiyah Bayan mengharap agar Bupati Lombok Barat mempertimbangkan 34 Bupati Lombok Barat, Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 35, Tahun 2001 (Mataram, tanggal 10 Juli 2001). 35 Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Daerah Tingkat II Lombok Barat, Rekomendasi MUI Lombok Barat (Mataram, 12 Rabiul Tsani 1422 H/ 04 Juli 2001 M).
375
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
untuk mencabut dan membatalkan SK tersebut. Namun, surat yang mereka ajukan itu tidak pernah mendapat tanggapan apa pun dari Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sehingga memaksa mereka keluar dari wilayah Sambe Elen yang mereka tinggali sebelumnya. Bahkan lima tahun kemudian, SK Bupati Lombok Barat tentang pelarangan dan penghentian ajaran/faham Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat di atas menjadi “salah satu alasan” yang mengabsahkan konflik kekerasan Jemaat Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar tanggal 20 Oktober 2005 dan 4 Februari 2006, yang menyebabkan mereka terpaksa menjadi pengungsi di Asrama Transito Mataram hingga saat ini. Pascakonflik kekerasan tanggal 4 Februari 2006, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat memberikan respons yang sama sebagaimana yang telah ditunjukkan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Barat tersebut di atas. Tanggal 28 Maret 2006, Gubernur Nusa Tenggara Barat mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri RI, Menteri Agama RI, dan Jaksa Agung RI perihaj Jemaat Ahmadiyah. Dalam surat bernomor KW.19.1/4/HU.00/1353/2006 itu Gubernur Nusa Tenggara Barat “mohon agar Jemaah Ahmadiyah di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dilarang keberadaanya”. Permohonan pelarangan Jemaat Ahmadiyah diajukan dengan merujuk kepada beberapa hal: Keputusan Munas II MUI tahun 1980 junto fatwa MUI No. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang kesesatan Ahmadiyah, SK Kejari Selong Lombok Timur Nomor Kep. 11/IPK/32.2III.3/ 11/1983 tentang Larangan Keberadaan Ahmadiyah di Wilayah Lombok Timur, dan SK Bupati Lombok Barat Nomor 35, Tahun 2001, tentang Pelarangan dan Penghentian Penyebaran Ahmadiyah di Kabupaten Lombok Barat. Gubernur juga merujuk pada terjadinya kasus-kasus konflik kekerasan terhadap Ahmadiyah yang terjadi di Nusa tenggara Barat dan keputusan rapat Muspida NTB tanggal 25 Maret 2006 yang mengusulkan kepada pemerintah agar organisasi dan ajaran Ahmadiyah dilarang hidup dan berkembang di wilayah Nusa Tenggara Barat. Kebijakan pemerintah yang secara langsung menunjukkan adanya akomodasi kepentingan minoritas, kelompok Ahmadiyah, adalah SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung tentang Jemaat Ahmadiyah. Keluarnya SKB mengenai Jemaat Ahmadiyah dapat dilihat sebagai bagian dari tindakan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal itu sebagaimana tersirat dalam butir-butir isi SKB yang bersangkut paut dengan sikap pemerintah Indonesia 376
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
terhadap Jemaat Ahmadiyah. Keputusan Bersama Menteri Agama No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199, Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Butir-butir keputusan memuat: kesatu, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama itu. Kedua, memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad saw. Ketiga, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keempat, memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Kelima, warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum Kesatu dan Diktum Keempat dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keenam, memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. Ketujuh, Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. 36 SKB di atas telah memberi kepastian hukum pada kasuskasus kekerasan terhadap agama, baik pada pelaku maupun korbannya. Kepada pelaku, yang dalam SKB tersebut tertuang 36
Kompas.Com, Senin 9 Juni 2008.
377
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
pada butir kesatu, kedua, dan ketiga, yaitu Jemaat Ahmadiyah, dilarang untuk menyebarkan faham mereka. Namun, dalam SKB tersebut tidak hanya menjamin kepastian hukum tindakan legal kepada para pelaku penistaan, tetapi juga kepada mereka yang melakukan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap melakukan penistaan agama. Kalau sebelumnya kepastian hukum hanya ada pada pelaku “penistaan agama”, sehingga mereka dapat dituntut di pengadilan. Dengan terbitnya SKB, para pelaku kekerasan kepada orang atau kelompok yang dianggap sebagai pelaku “penistaan agama” juga dapat dikenai sanksi secara legal-formal melalui pengadilan. Hal itu sebagaimana tertuang pada butir keempat dan kelima yang berisi larangan tindakan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dan ancaman hukumnya kepada mereka yang melanggar. Dengan demikian, pada satu sisi, terbitnya SKB tiga menteri pada tanggal 9 Juni 2009 itu telah mengebiri hak-hak personal Jemaat Ahmadiyah untuk memeluk ajaran yang mereka yakini, pada sisi lain, SKB juga membawa dampak positif bagi pencegahan tindak kekerasan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), termasuk di Lombok. Hal itu diakui oleh Ketua Cabang JAI Kota Mataram dan Sekretaris Wilayah JAI NTB, Udin al-Pancori. Menurutnya, kalau dilihat dari perspektif HAM SKB 9 Juni 2008 itu mengebiri hak asasi manusia untuk secara bebas memilih agama dan keyakinan masing-masing, tetapi secara langsung juga mencegah terulangnya tindak kekerasan kepada Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, khususnya di Lombok. Dalam SKB tersebut ada penyebutan secara jelas sanksi yang dapat diterapkan kepada mereka yang melakukan kekerasan kepada kami.37 b. Upaya Rekonstruksi terhadap Korban Konflik Kekerasan Aspek kedua resolusi konflik adalah upaya rekonstruksi. Upaya rekonstruksi mencakup aspek keamanan, penegakan hukum, dan kesepakatan.38 Keamanan bersangkut paut dengan pengamanan korban secara fisik dan psikologis, serta pengamanan aset yang mereka miliki, khususnya aset personal. Rekonstruksi juga bersangkut paut dengan penegakan hukum, baik kepada pelaku kekerasan (penyerangan) dan juga kepada korban, termasuk penegakan kesepakatan yang telah disepakati oleh pihakpihak yang berkonflik. Upaya pengamanan terhadap mereka yang menjadi korban, khususnya pengamanan terhadap jiwa dan fisik, telah dilakukan oleh aparat keamanan dengan maksimal. Hal itu 37
Wawancara, 30 Oktober 2009. Ramsbhotam, Contemporary Conflict,199.
38
378
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
terbukti dengan tidak adanya korban kerusuhan yang mengalami penganiayaan yang berakibat luka atau meninggal, kecuali pada kasus di Sambe Elen, satu orang Jemaat Ahmadiyah meninggal. Kerusuhan dan kekerasan terhadap para anggota Jemaat Ahmadiyah selalu melibatkan massa, baik dalam jumlah kecil maupun besar. Kondisi semacam itu menimbulkan rasa cemas, ketakutan, dan rasa tidak aman baik secara fisik maupun psikologis dalam diri anggota Jemaat Ahmadiyah. Kehadiran aparat keamanan yang mereka harapkan dapat memberi rasa aman sering tidak dapat terpenuhi karena kekurangsigapan dalam melindungi mereka. Aparat keamanan selalu datang setelah terjadinya perusakan terhadap rumah-rumah dan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah. Mungkin itu terjadi karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), dan mudah-mudahan bukan sebuah kesengajaan. Namun, kehadiran mereka itu tetap dirasakan penting oleh angota Jemaaf Ahmadiyah. Kehadiran aparat keamanan telah dapat mencegah kemungkinan terjadinya tindak kekerasan yang lebih besar yang dapat berakibat fatal.39 Pengamanan harta para korban belum dapat dilakukan secara maksimal. Semua kasus kekerasan itu selalu mengakibatkan kerugian ekonomi. Rumah dan harta benda yang merupakan aset pribadi mereka hancur, sejumlah masjid yang menjadi aset kelompok juga hancur. Sebagai sebuah gerakan massa, kekerasan yang terjadi terhadap Jemaat Ahmadiyah selalu menyisakan pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab. Aparat keamanan belum dapat sepenuhnya melindungi harta para korban dari kehancuran. Dalam semua kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah, aparat keamanan baru tiba di lokasi setelah terjadi kerusakan dan kehancuran harta benda para korban. Akibatnya, setiap peristiwa kekerasan itu selalu mengakibatkan kerugian harta benda yang besar bagi para korban. Dari 7 kali kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Lombok telah mengakibatkan 147 rumah rusak dan hancur. Dari sejumlah kerugian yang diderita oleh anggota-anggota Jemaat Ahmadiyah di atas tidak ada satu pun yang mendapat penggantian. Akibatnya, mereka harus memulai kembali kehidupannya dari awal karena harta benda mereka telah hancur. Dalam setiap kekerasan kepada Jemaat Ahmadiyah di Lombok selalu berakhir dengan pengusiran mereka dari tempat tinggalnya. Mereka harus berada di pengungsian sebelum akhirnya berpindah ke tempat yang baru. Hal itu menjadi kesulitan besar karena 39
Jauzi, Wawancara, 17 Nopember 2009.
379
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
mereka sudah tidak memiliki harta benda yang dapat digunakan untuk membangun tempat tinggal yang baru. Ketika peristiwa kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan massa, ada kecenderungan untuk terjadi upaya pengaburan mengenai siapa orang-orang yang harus bertanggung jawab. Pihak keamanan mengalami “kesulitan” untuk mengidentifikasi orangorang yang dianggap bertanggung jawab atas kerusuhan dan kekerasan yang terjadi. Tidak ada pihak yang dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan secara hukum atas terjadinya kerusuhan dan kekerasan. Dengan demikian, tidak ada tindakan yang memberikan efek jera kepada para pelaku kerusuhan dan kekerasan. Dalam kasus kekerasan kepada Jemaat Ahmadiyah di Lombok yang sudah terjadi sebanyak 6 kali mulai dari tahun 1998 sampai yang terakhir tahun 2006, tidak ada satu pun pelakunya yang diproses secara hukum. Selain belum terjadi penegakan hukum dan keadilan oleh aparat yang berwenang, dalam kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah juga belum terjadi penegakan terhadap kesepakatan yang telah dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Pasca terjadinya kasus Ketapang 04 Februari 2009, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat telah merancang program rekonstruksi bagi anggota Jemaat Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam kebijakan Bupati Lombok Barat (H.L. Iskandar) yang membentuk Tim 5 pada tanggal 9 Februari 2006 pasca kekerasan yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Dusun Gegelang Desa Ketapang Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Tim itu dibentuk oleh Muspida Lobar yang terdiri atas lima orang: Drs. H. Sya’ban, SH.(Kepala Departemen Agama Lombok Barat), TGH. Safwan Hakim (Ketua Majelis Ulama Indonesia Lombok Barat), Drs. Muridun (Camat Lingsar), M. Syamsir Ali, AIMC, SHD (Penasehat Jemaat Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat), dan Ir. Jauzi Ja’far (Ketua DPW Jemaat Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat). Dalam rapatnya tangga 14 Februari 2006 Tim 5 menyepakati 3 hal: pertama, mengusulkan agar anggota Jemaat Ahmadiyah yang dievakuasi untuk direlokasi ke wilayah Kota Mataram. Karena Bapak Walikota Mataram bersedia menerima Jemaat Ahmadiyah sesuai dengan statemennya di Harian Lombok Post tanggal 7 Februari 2006 hal 1 dan 7. Kedua, agar proses ini secepatnya ditindaklanjuti sehingga Jemaat Ahmadiyah yang dievakuasi tidak terlalu lama berada di Asrama Transito Majeluk Mataram, dan ketiga, aset anggota Jemaat Ahmadiyah di Dusun Ketapang Desa Gegerung Kecamatan Lingsar diganti/dibayar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Barat. 380
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
Sampai setahun setelah kesepakatan di atas ditandatangani, ternyata belum ada tindak lanjut apa pun untuk melaksanakan ketiga butir kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, pihak Jemaat Ahmadiyah Daerah NTB mengirimkan surat Nomor 54/ DPW-NTB/II/2007 tertanggal 27 Februari 2007.40 Surat itu ditujukan ke Bupati Lombok Barat untuk mempertanyakan tindak lanjut dari kesepakatan Tim 5 yang telah diserahkan kepada Bupati Lombok Barat lebih dari setahun yang lalu. Dalam surat itu mereka juga memohon kepada Bupati Lombok Barat dan pihak-pihak terkait agar menunjukkan kepeduliannya untuk menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah. c. Upaya Peacebuilding dan Rekonsiliasi Langkah ketiga adalah peacebuilding atau upaya menciptakan perdamaian. Banyak kasus konflik menunjukkan bahwa upaya menciptakan perdamaian itu tidak akan efektif kalau dipaksakan dari luar. Upaya menciptakan perdamaian mesti melibatkan pihak-pihak yang berkonflik sebagai aktor utama.41 Salah satu upaya membangun kedamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Ahmadiyah di Lombok adalah penandatanganan kesepakatan bersama. Sebagaimana dikemukakan pada bagian di atas, kesepakan itu ditandatangani oleh pemerintah (Kandepag Lombok Barat dan Camat Lingsar), Ketua MUI Lombok Barat, dan Jemaat Ahmadiyah (Penasehat dan Pengurus DPW Jemaat Ahmadiyah NTB). Dalam konteks upaya membangun kedamaian, kesepakatan yang ditandatangani pada 14 Februari 2006 itu mengandung butir-butir kesepakatan yang sangat kuat mengarah kepada terbangunnya hubungan damai antar pihak yang berkonflik. Namun, dalam kenyataannya masing-masing ternyata tidak cukup mampu untuk merealisasikan kesepakatan. Sampai saat ini, butir-butir kesepakatan belum ada satu pun yang terlaksana. Hubungan damai antarpihak yang berkonflik, yang diharapkan lahir dari kesepakatan yang sudah dibangun, juga tidak bisa muncul. Ketidakberhasilan upaya membangun hubungan damai antar pihak yang berkonflik pada gilirannya menyulitkan untuk terjadinya rekonsiliasi, yaitu memperbaiki hubungan yang hancur, menerima status quo (kenyataan adanya perbedaan-perbedaan), menghargai pertalian, menjembatani pertentangan, dan meyusun kembali hubungan.42 40 Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pengurus Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Tidak Ada Tindak Lanjut Rekomendasi Tim 5 (Mataram, 27 Februari 2007). 41 Ramsbhotam, Contemporary Conflict, 218. 42 Ibid., 232.
381
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
Dalam setiap kasus konflik (kekerasan) selalu mengakibatkan rusaknya hubungan antarpihak yang berkonflik. Kekerasan Ketapang juga mengakibatkan rusaknya hubungan antara Jemaat Ahmadiyah dengan komunitas muslim lainnya, khususnya yang tinggal di Dusun Ketapang dan sekitarnya. Untuk mewujudkan upaya memperbaiki hubungan, Jemaat Ahmadiyah telah mengajukan surat ke Gubernur Nusa Tenggara Barat. Surat bernomor: 01/DPW/II/2009 itu pada intinya merupakan pemberitahuan tentang akan kembalinya sejumlah anggota Jemaat Ahmadiyah yang menjadi pengungsi ke rumah mereka di Dusun Ketapang. Dalam surat itu juga dilampirkan nama anggota Jemaat Ahmadiyah yang akan kembali berjumlah 68 orang dan yang masih tetap tinggal di Asrama Transito berjumlah 57 orang.43 Surat DPW Jemaat Ahmadiyah di atas direspons oleh Kepala Desa Gegerung Kecamatan Lingsar dalam bentuk surat kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat bernomor: 01/DG.L/LB/ II/2009 dengan perihal: Mohon Tindak Lanjut Keberadaan Jemaat Ahmadiyah. 44 Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa masyarakat Desa Gegerung menolak atau tidak menginginkan Jemaat Ahmadiyah untuk kembali ke Dusun Ketapang Desa Gegerung. Dalam surat itu juga disebutkan alasan penolakan masyarakat, yaitu mereka merasa resah dengan rencana kembalinya para pengungsi Jemaat Ahmadiyah ke Dusun Ketapang. Penolakan itu juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya tindakan anarkhis sebagaimana yang terjadi pada tanggal 04 Februari 2006. Rencana kembalinya sebagian pengungsi Jemaat Ahmadiyah ke Dusun Ketapang juga direspons oleh Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan membentuk Tim Penyerap Aspirasi Masalah Ahmadiyah. Tim yang diketuai oleh Drs. H. Maad Umar, M.Pd, Kasubbag Hukmas dan KUB berkesimpulan bahwa pengembalian Jemaat Ahmadiyah ke Dusun Ketapang Desa Gegerung Kecamatan Lingsar perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh, baik dari segi keamanan, ketertiban masyarakat serta pengaruh ajaran Ahmadiyah itu sendiri. Kesimpulan itu diambil setelah Tim menyerap aspirasi Toga dan Toma Dusun Ketapang Desa Gegerung pada 43
Jemaat Ahmadiyah Indonesia Dewan Pimpinan Wilayah Nusa Tenggara Barat, Pemberitahuan Rencana Kembali Warga Ahmadiyah Pengungsi (Mataram, 20 Februari 2009). 44 Pemerintah Kabupaten Lombok Barat Kecamatan Lingsar Kepala Desa Gegerung, Mohon Tindak Lanjut Keberadaan Jemaat Ahmadiyah (Gegerung, 24 Februari 2009).
382
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
tanggal 23 Februari 2009 dan 25 Februari 2009.45 Mencermati berbagai kebijakan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Lombok Barat di atas menunjukkan bahwa upaya peacebuilding dan rekonsiliasi belum dapat dilakukan oleh pihakpihak yang berkonflik. Hal itu disebabkan pihak-pihak yang berkonflik masih menganggap konflik yang terjadi merupakan konflik keimanan, yang tidak mungkin dilakukan rekonsiliasi. Mereka, terutama yang kontra Jemaat Ahmadiyah, lebih melihat permasalahan Ahmadiyah sebagai permasalahan keimanan sehingga permasalahan keimanan merupakan prasyarat untuk memasuki permasalahan kemanusiaan. Jadi, selama tidak ada “pertaubatan” dari penganut Jemaat Ahmadiyah untuk kembali ke Islam mainstream, tidak ada pembicaraan apa pun mengenai masalah kemanusiaan. Pemerintah Provinsi NTB nampaknya juga belum menunjukkan sikap yang jelas dan tegas dalam menangani permasalahan Ahmadiyah tersebut. Meskipun pemerintah provinsi pernah menugaskan Asisten I untuk studi banding ke Palembang yang telah resmi melarang Ahmadiyah di wilayahnya, pemerintah masih berhati-hati untuk memutuskan pelarangan Ahmadiyah sebagaimana yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Lombok Barat.46 Sikap seperti di atas antara lain ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan membentuk sebuah tim yang disebut “Tim Penyelaras”. Mereka berjumlah 17 orang yang terdiri atas beberapa orang tuan guru, Kakandepag NTB Drs. H Suhaimi Ismi, dan Kepala Bakesbanglinmaspoldagri NTB. Tim ini sengaja dibentuk oleh gubernur menyikapi permintaan warga Ahmadiyah untuk kembali ke tempat tinggal mereka di Dusun Ketapang. Namun, tim itu nampaknya juga lebih fokus pada permasalahan keyakinan sehingga tugas mereka lebih sebagai “penguji iman” Jemaat Ahmadiyah. Apalagi para anggota tim tersebut terdiri atas para tuan guru yang semenjak awal memang meyakini Ahmadiyah sebagai sesat. Kemungkinan besar rekomendasi yang muncul dari “Tim Penyelaras” juga masih berkutat pada persoalan keyakinan Ahmadiyah yang dianggap sesat dan harus diluruskan. Mencermati beberapa kebijakan pemerintah kabupaten dan propinsi Nusa Tenggara Barat di atas menunjukkan kerangka pemahaman yang sama, yaitu melihat permasalahan benar salah 45 Departemen Agama Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Nota Dinas Ketua Tim Penyerap Aspirasi Masalah Ahmadiyah tentang Tanggapan Masyarakat Dusun Ketapang Desa Gegerung Kab. Lombok Barat (Mataram, 28 Februari 2009). 46 Humas Kesbanglinmaspoldagri, Wawancara, 29 Oktober 2009.
383
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
dalam kerangka mayoritas-minoritas. Mayoritas adalah pihak yang benar dan minoritas adalah pihak yang salah dan patut untuk disalahkan. Kebijakan-kebijakan yang muncul juga tidak mengakomodasi kepentingan minoritas yang menjadi korban karena mereka dilihat sebagai pihak yang salah yang tidak perlu dilindungi dan diperhatikan kepentingan mereka. Nampaknya permasalahan Ahmadiyah di Lombok masih jauh dari harapan untuk menemukan jalan keluar. Ini berarti bahwa penderitaan para korban yang sekarang ini menjadi pengungsi di Asrama Transito masih akan terus berlanjut sampai waktu yang tidak jelas kapan akan berakhir. Itulah harga yang harus mereka bayar untuk mempertahankan dan setia kepada keimanan yang diyakini kebenarannya. Pilihan untuk memasrahkan penderitaan yang sedang mereka alami kepada Tuhan menjadi pilihan yang terbaik. Sekali lagi, ketidakberdayaan dan penderitaan memang membutuhkan kekuatan Tuhan untuk menjadikan manusia tetap mampu bertahan. SIMPULAN Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah semakin meningkatkan ikatan komunal sebagai “masyarakat yang selamat” karena mereka menganggap kondisi yang dialami sebagai keniscayaan perjuangan menegakkan dan mempertahankan keimanan. Semakin kuatnya ikatan komunal itu tidak terlepas dari peran pengurus Jemaat Ahmadiyah yang selalu memberikan pembelaan dan perlindungan kepada para anggotanya yang berada di pengungsian. Di tempat pengungsian sebagian besar Jemaat Ahmadiyah telah bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing, seperti berdagang, tukang, buruh di pasar, dan tukang ojek. Ikatan komunal yang semakin kokoh juga menjadikan mereka tetap sabar meskipun secara politis mereka kehilangan sebagian hak-haknya sebagai warga negara. Di sisi lain hingga sekarang belum ada upaya-upaya pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dapat dikategorikan sebagai upaya resolusi konflik, seperti upaya-upaya pencegahan konflik kekerasan (violant conflict prevention), rekonstruksi, peacebuilding, rekonsiliasi. Kebijakan pemerintah yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari upaya pencegahan konflik kekerasan adalah SKB 3 menteri. Upaya ini dilakukan karena pemerintah dan pihak-pihak yang kontra Ahmadiyah memandang konflik yang terjadi sebagai konflik iman, yang tidak mungkin dilakukan upaya resolusi konflik iman. Yang diperlukan bukan resolusi, tetapi 384
Dampak Sosial Kekerasan (Moh. Asyiq Amrulloh, dkk)
“pertaubatan massal” penganut Ahmadiyah sehingga kalau tidak ada pertaubatan berarti tidak ada resolusi. Daftar Pustaka Adler, Patricia A. dan Peter Adler. “Observasional Techniques”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks: Sage Publications, 1994. Amrulloh, Moh. Asyiq. “Konflik Intern Agama (Studi Kasus Perusakan Masjid dan Rumah-Rumah Jama’ah Ahmadiyah di Selong Lombok Timur NTB)”. Laporan Penelitian Mataram: 2002. Babbie, Earl. The Practice of Social Research. California: Wadsworth Publishing Company, 1998. Bernard, H. Russel. Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches. Walnut Creek: AltaMira Press, 1995. Bupati Lombok Barat. Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 35 Tahun 2001. Mataram, 10 Juli 2001. Departemen Agama Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Nota Dinas Ketua Tim Penyerap Aspirasi Masalah Ahmadiyah tentang Tanggapan Masyarakat Dusun Ketapang Desa Gegerung Kab. Lombok Barat. Mataram, 28 Februari 2009. Faisal, Sanapiah. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh (YA3), 1990. Http://www.gatra.com, Diakses 29 Maret 2009. Http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/09, Diakses 29 Maret 2009. Http://www.mui.or.id, Diakses 29 Maret 2009. Http://www.sabili.co.id, Diakses 6 Juni 2002. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Dewan Pimpinan Wilayah Nusa Tenggara Barat. Pemberitahuan Rencana Kembali Warga Ahmadiyah Pengungsi. Mataram, 20 Februari 2009. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pengurus Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tidak Ada Tindak Lanjut Rekomendasi Tim 5. Mataram, 27 Februari 2007. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Parung: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2003. Kompas.com, 9 Juni 2008.
385
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010: 361-386
Lombok Post, 11 dan 12 September 2002. Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Daerah Tingkat II Lombok Barat. Rekomendasi MUI Lombok Barat. Mataram, 12 Rabiul Tsani 1422 H/ 04 Juli 2001 M. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1992. Pemerintah Kabupaten Lombok Barat Kecamatan Lingsar Kepala Desa Gegerung. Mohon Tindak Lanjut Keberadaan Jemaat Ahmadiyah. Gegerung, 24 Februari 2009. Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse, dan Hugh Miall. Contemporary Conflict Resolution. Cambridge: Polity Press, 2007. Spradley, James P. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1980. Wahid, Abdurahman. “Islama dan Hubungan antar Umat Beragama di Indonesia” dalam H. M. Said (peny.) Nahdlatul Ulama dari Berbagai Sudut Pandang. Jakarta: LAKPESDAM, 1994.
386