TINDAK KEKERASAN TERHADAP JAMAAH AHMADIYAH INDONESIA: Sebuah Kajian Psikologi Sosial Lukman Nul Hakim
Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI Naskah diterima: 10 Februari 2011 Naskah diterbitkan: 10 Juni 2012
Abstract: This article studies the violence towards Jamaah Ahmadiyah member from social psychology perspective. It tries to find out the process of how the negative attitudes formed and how we can resolve them. Some factors contribute to the formation of negative attitude towards Jamaah Ahmadiyah members, such as benchmark policy from another country towards Jamaah Ahmadiyah, government decision, fatwa from an Islamic Cleric Groups, statement from prominent people, weak law enforcement, and so forth. A comprehensive action should be implemented to overcome the problem. Keywords: Ahmadiyah, agression, violence, social psychology. Abstrak: Tulisan ini mempelajari kekerasan terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah dilihat dari sudut pandang Psikologi Sosial. Tulisan ini mencoba mencari tahu bagaimana proses terbentuknya sikap negatif tersebut dan bagaimana cara memperbaikinya. Beberapa faktor mempengaruhi pembentukan sikap negatif terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah, diantaranya kebijakan negara lain terhadap Jamaah Ahmadiyah, keputusan pemerintah, fatwa dari kelompok ulama Islam, pernyataan dari tokoh-tokoh, lemahnya penegakan hukum, dsb. Tindakan yang komprehensif harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kata kunci: Ahmadiyah, agresi, kekerasan, psikologi sosial.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 17
Pendahuluan Insiden-insiden kekerasan dimana seorang warga masyarakat biasa dapat melakukan tindak kekerasan di luar batas norma masyarakat merupakan sinyal ada yang salah di masyarakat. Sebuah penyakit sosial yang jika dibiarkan dapat menyebar lebih luas. Kondisi menjadi lebih buruk ketika kekerasan telah diadopsi menjadi bagian dari budaya dalam masyarakat. Penulis tertarik untuk menelaah masalah ini dari sudut pandang ilmu Psikologi. Berbeda dengan Sosiologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada sistem dan struktur sosial yang dapat berubah atau konstan tanpa tergantung pada individu-individu, Psikologi Sosial lebih memusatkan perhatiannya pada perilaku individu. Singkatnya, unit analisis Psikologi Sosial adalah individu, sedangkan Sosiologi adalah kelompok. (Sarwono, 1997). Dari sekian banyak aksi kekerasan yang terjadi di Masyarakat, penulis memfokuskan diri pada kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Ketertarikan ini dipicu oleh tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh sejumlah oknum masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 dan menewaskan empat orang. Fakta menunjukkan grafik kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi eskalasi rasa marah terhadap Jamaah Ahmadiyah. Oleh karena itu, dipandang perlu adanya tinjauan masalah kekerasan, atau dalam terminologi psikologi biasa disebut agresi, terhadap Jamaah Ahmadiyah ini secara lebih mendalam dengan pendekatan ilmu Psikologi Sosial. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, pertama, bagaimana proses terbentuknya sikap negatif yang berujung pada tindak kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah Indonesia dilihat dari perspektif psikologi sosial? Kedua, apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menetralisir sikap negatif dan menghilangkan atau setidaknya mengurangi tindak kekerasan terhadap JAI? Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas penulis menggunakan studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data-data sekunder dari buku, koran, dan internet. Untuk kemudian data-data tersebut diolah dengan pendekatan deskriptif analitis yaitu dianalisa berdasarkan data-data yang tersedia secara detail. Ahmadiyah Ahmadiyah adalah sebuah kelompok yang mengambil prinsip- prinsip dasarnya dari ajaran Agama Islam. Ahmadiyah dibentuk oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mulai membangun kelompoknya pada tahun 1889 di Punjab yang berjarak sekirat 90 mil dari Lahore di India. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835, ia merupakan anak kedua dari Mirza Ghulam Murtaza, seorang kepala suku di Punjab dan tuan tanah di Desa Qadian di India. Ia terlahir kembar, saudari kembarnya meninggal beberapa hari setelah kelahirannya. Paragraph awal buku biografi Mirza Ghulam Ahmad of Qadian dimulai dengan kalimat, “Muhammad, Nabi Allah yang suci, telah berkata bahwa setelah dia akan datang Al Masih yang dijanjikan. Yang salah satu tugasnya adalah membangkitkan kembali Islam, mengubah dunia dan menyatukan semua agama-agama”, dan Mirza Ghulam Ahmad meyakini bahwa dialah Al Masih yang dijanjikan itu. 18 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1908 dan dikebumikan di Qadian, sehingga ia sering disebut sebagai Mirza Ghulam Ahmad alQadiyani. Sebelum meninggal ia berwasiat supaya kepemimpinan Jamaah Ahmadiyah diserahkan kepada majelis yang dipilih dari anggota Jamaah tersebut. Khalifah pertama sepeninggalnya ialah Maula Nuruddin. Pada perkembangannya Kelompok Ahmadiyah terpecah dua, yaitu kelompok Qadian dan Kelompok Lahore. Kelompok Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang tidak membawa syariat. Sedangkan Kelompok Lahore hanya menganggap ia sebagai seorang pembaharu dalam Islam. Konsep kenabian inilah yang menjadi titik pangkal berbagai tindakan diskriminasi terhadap jamaah Ahmadiyah. Ahmadiyah Qadian mengklaim bahwa pengikutnya pada tahun 1989 sekitar 10 juta orang dari 120 negara. Dan telah berhasil menafsirkan sebagian besar Kitab Suci Al Quran dalam 117 bahasa. Di Indonesia masuknya Ahmadiyah dimulai ketika tiga pemuda Indonesia asal Madrasah Tawalib di Padang, Sumatra Barat memutuskan untuk menimba ilmu agama ke India, yang didasari kekaguman mereka terhadap seorang Da’i Islam asal India karena telah memfasilitasi masuk Islamnya seorang berkebangsaan Inggris. Langkah ke tiga orang tersebut yaitu Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kemudian diikuti oleh 23 orang pemuda dari Madrasah Tawalib untuk ikut belajar di Lahore (saat itu wilayah India, sekarang Pakistan). Untuk mengembangkan ajarannya pada tahun 1925 Jamaah Ahmadiyah mengirimkan mubaligh-nya yang bernama Maulana Rahmat Ali ke Indonesia. Setelah menyebarkan ajarannya di Tapaktuan Aceh, Ia melanjutkan misinya ke Padang, Sumatra Barat, dan secara resmi mendirikan organisasi Ahmadiyah pada tahun 1929. Tahun 1930 Maulana Rahmat Ali melanjutkan misinya ke Jakarta, dan pada tahun 1932 terbentuk Pengurus Besar Ahmadiyah di Jakarta dengan R. Muhyiddin menjadi ketuanya. Pada tahun 1987 Pusat Jamaah Ahmadiyah pindah ke Parung Bogor. Saat ini terdapat 181 cabang Jamaah Ahmadiyah di seluruh Provinsi di Indonesia. Beberapa pandangan dari ajaran Kelompok Ahmadiyah yang bertentangan dengan Islam arus utama, yaitu bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sedangkan dikalangan Islam arus utama diyakini Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup (Khataman Nabiyyin). Zulkarnaen (2011) menuliskan bahwa Ahmadiyah Qadian memahami kenabian atas tiga klasifikasi, pertama nabi Sahibu al-syariah dan mustaqil. Sahibu al-syariah artinya nabi yang membawa syariat (hukum-hukum) untuk manusia. Mustaqillah artinya menjadi nabi dengan tidak karena hasil itha’at, mengikuti nabi sebelumnya. Seperti nabi Musa as, beliau menjadi nabi bukanlah hasil dari mengikuti nabi atau syariat sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan membawa Taurat, begitu pula Nabi Muhammad SAW. Nabi semacam ini dapat juga disebut Nabi Tasyri’i dan mustaqil (langsung). Kedua, nabi Mustaqil Ghair al-Tasyri’i, yakni menjadi nabi dengan langsung, bukan hasil mengikuti nabi sebelumnya, tetapi tidak membawa syariat baru. Ia digabungkan dengan syariat yang dibawa nabi sebelumnya. Artinya Ia ditugaskan menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya. Seperti nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Nabi Isa. Ketiga nabi zhilli, ghair al-tasyri’i, artinya Ia mendapat anugerah Allah menjadi nabi Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 19
semata-mata hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariatnya. Jadi kenabian itu dibawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syariat baru, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Permasalahan lainnya yang berbeda dengan pemahaman Islam arus utama di Indonesia (sunni) adalah mengenai meninggalnya Nabi Isa. Islam Sunni meyakini bahwa Nabi Isa AS setelah disalib kemudian diangkat oleh Allah SWT. Akan tetapi menurut Jamaah Ahmadiyah Qadian Nabi Isa AS telah meninggal dunia. Dalam buku Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Imam Muhammad Abu Zahrah (1996) menuliskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mulai menyebarkan aktivitasnya di kalangan Muslimin India ketika Ia mengungkap tentang sebuah makam seorang wali yang bernama Yusuf Asa’af di Kashmir yang menurutnya adalah makam Nabi Isa Ibn Maryam. Mirza Ghulam Ahmad meyakini Nabi Isa telah meninggal seperti manusia pada umumnya. Setelah di salib Nabi Isa tidak meninggal dunia melainkan berhasil melarikan diri dari kejaran bangsa Yahudi. Mirza Ghulam Ahmad mencoba membuktikan salah satu bagian yang ditegaskan Al-Quran yaitu bahwa kaum Yahudi tidak mampu membunuh Nabi Isa. Pada saat yang sama ia mengatakan bahwa ‘Isa tidak diangkat ke langit, ia justru dimakamkan di bumi”. Pembentukan Agresivitas Dalam upaya memahami proses terbentuknya sikap negatif dan prasangka yang bermuara pada tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Qadian, penulis memandang perlu menyajikan beberapa kerangka pemikiran teoritis psikologi sosial. Dalam perspektif psikologi sosial, proses pembentukan perilaku kekerasan dapat dilihat dari prinsip teori belajar yang diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike (1901) dan kemudian dipertajam oleh B.F. Skinner (1953) yaitu Instrumental Conditioning dan Observational Learning. Prinsip teori belajar instrumental adalah bahwa ketika suatu perilaku mendapatkan konsekuensi yang positif, atau konsekuensi yang diharapkan maka perilaku tersebut akan dilakukan kembali. Sedangkan sebaliknya, suatu perilaku yang mendapatkan konsekuensi negatif atau respon yang tidak diharapkan, maka perilaku tersebut tidak akan diulangi lagi. Sebagai contoh, ada seorang siswa SD bernama A yang selalu mengganggu temantemannya. Dia tidak pernah berhenti menggoda teman-temannya sampai temannya itu menangis. Melihat perilaku A, guru memberikan hukuman dengan berdiri di depan kelas. Anehnya hukuman tersebut tidak menyurutkan kenakalan si A, justru kenakalannya makin menjadi-jadi. Setelah berkonsultasi dengan psikolog, guru mengubah bentuk hukuman terhadap si A. Kali ini setiapkali A nakal maka dia tidak di marahi, tetapi justru di cuekin. Perlahan namun pasti A kemudian berubah, A tidak lagi berperilaku nakal yang ternyata hanyalah upayanya untuk mendapatkan perhatian, lambat laut perilakunya lebih bisa diterima teman-temannya. Cerita tersebut memperjelas bahwa yang dimaksud dengan konsekuensi negatif adalah, konsekuensi yang tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Guru memberikan hukum berdiri didepan kelas karena secara umum orang memandang bahwa hal tersebut adalah hukuman. Tetapi untuk orang lain, hukuman tersebut ternyata malah menjadi 20 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
reward atau hadiah, karena membuat dia lebih ‘exist’, lebih keren, dan ia justru berhasil mendapatkan yang diinginkan. Begitupun konsekwensi positif adalah respon yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan Pembelajaran observasi (Observational Learning) terjadi ketika individu mendapatkan bentuk perilaku baru atau pikiran baru dengan hanya mengamati aksi orang lain. Proses Observational Learning terjadi tanpa harus adanya keinginan dari satu pihak untuk mempengaruhi perilaku pihak lainnya. Pembelajaran juga terbentuk melalui social comparison, yaitu kecenderungan manusia untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap kenyataan sosial adalah benar atau tidak benar. Seorang anak misalnya tidak perlu menyentuh api untuk mengetahui bahwa memegang api itu dapat melukai. Cukup dengan melihat orang lain kesakitan karena terkena api seorang anak tahu bahwa api berbahaya. Prasangka, Diskriminasi dan Agresi Prasangka adalah sebuah sikap (yang biasanya negatif) terhadap anggota sebuah kelompok, semata-mata karena keanggotaannya pada kelompok tersebut. Dengan kata lain seseorang yang berprasangka terhadap sebuah kelompok cenderung menilai anggota kelompok tesebut dengan cara tertentu (yang biasanya negatif) semata-mata karena mereka merupakan anggota kelompok tersebut. Sementara diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap kelompok yang menjadi target prasangka (Baron & Byrne, 2004). Myers (dalam Hakim, 2010) mendefinisikan sikap sebagai reaksi penilaian terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan melalui keyakinan, perasaan maupun kecenderungan bertingkah laku. Sedangkan Eagly dan Chuken (dalam Hakim, 2010) mengatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi suatu entitas tertentu dengan derajat kesukaan atau ketidaksukaan. Dalam prasangka terdapat dua unsur yang menyertainya. Pertama, bahwa sikap berfungsi sebagai skema1, yang merupakan kerangka kerja untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan mengingat informasi tertentu. Sehingga seseorang yang berprasangka terhadap kelompok tertentu cenderung memproses informasi mengenai kelompok tersebut secara berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebagai contoh, informasi terkait target prasangka seringkali diberikan lebih banyak perhatian, atau diproses secara lebih seksama dibandingkan dengan informasi yang tidak terkait target prasangka. Selain itu juga, informasi yang konsisten dengan pandangan negatif seringkali mendapatkan perhatian lebih sehingga diingat dengan lebih akurat dibandingkan dengan informasi yang tidak sesuai dengan pandangan negatif yang sudah ada dipikirannya. Sebagai hasilnya prasangka menjadi semacam kacamata pembesar kognitif yang mempunyai zoom, dan cenderung semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Kedua, sebagai sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi kepada target prasangka baik saat kehadiran mereka ataupun ketika membayangkan
1
Skema adalah kerangka kerja kognitif yang berkembang melalui pengalaman yang mempengaruhi proses mengolah informasi sosial yang baru.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 21
mereka. Prasangka juga bisa bersifat implisit. Prasangka tersebut dapat dipicu dengan cara otomatis, dengan sekedar eksposur terhadap anggota kelompok tersebut, dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang secara overt (terlihat jelas dalam perilaku). Orang yang berprasangka ini seringkali tidak menyadari bahwa mereka mempunyai pandangan negatif tersebut, dan mereka menolak dikatakan mempunyai prasangka seperti itu. Prasangka juga mencakup keyakinan dan harapan terhadap anggota kelompok tersebut, misalnya berkeyakinan bahwa semua anggota kelompok tersebut mempunyai karakter tertentu. Keyakinan-keyakinan semacam itu disebut dengan stereotype2. Prasangka juga melibatkan kecenderungan untuk bertindak secara negatif terhadap mereka yang menjadi objek prasangka. Ketika kecenderungan-kecenderungan ini diterjemahkan kedalam perilaku, maka hasilnya adalah perilaku-perilaku diskriminatif. Dalam upaya memahami perilaku agresi, teori agresi juga mengalami evolusi. Teori awal mengenai agresi dikemukakan oleh Sigmund Freud (1961) yang mengatakan bahwa perilaku agresi didasari kondisi biologis, bahwa agresi merupakan suatu hal yang bersifat inherent (bawaan lahir). Agresi didasari oleh instinct thanatos3, yaitu keinginan untuk mati yang dimiliki oleh semua orang. Menurut Freud insting ini pada awalnya bertujuan untuk menghancurkan diri sendiri, akan tetapi kemudian diarahkan keluar dalam bentuk agresi terhadap orang ataupun benda lain diluar dirinya. Dalam perkembangan selanjutnya para psikolog sosial memandang bahwa agresi didasari oleh faktor-faktor diluar diri seseorang, atau yang disebut dengan Drive Theory yang diperkenalkan oleh Dollard & Miller (1939) dan dikembangkan oleh Berkowitz (1993). Menurut teori ini kondisi eksternal seperti rasa frustrasi menyiapkan seseorang untuk bertindak agresif. Dan ketika frustrasi dipicu, maka frustrasi akan meledak menjadi perilaku agresif. Pakar psikologi sosial kini telah memasuki tahapan ketiga dalam upaya memahami agresi. Psikolog sosial modern memandang bahwa perilaku agresi tidak hanya didasari oleh satu faktor melainkan beberapa faktor yaitu hasil pembelajaran, kognisi, mood dan dorongan. Salah satu pelopor teori modern tentang agresi adalah Anderson (dalam Baron & Byrne, 2004) yang memperkenalkan teori General Affective Aggression Model (GAAM). Menurut teori ini agresi dipicu oleh sejumlah input variabel (aspek-aspek situasi terkini ataupun kecenderungan yang dibawa oleh seseorang dalam suatu situasi tertentu). Variabel yang masuk dalam kategori pertama adalah sebagai contoh rasa frustrasi, serangan oleh seseorang, hinaan, menyaksikan perilaku agresif seseorang, adanya cues (petunjuk, isyarat, benda-benda) yang merujuk pada agresifitas (seperti pistol, pisau, dll), dan berbagai hal lain yang mengakibatkan rasa tidak nyaman seperti temperatur udara yang panas, perkuliahan yang membosankan, dll. 2
3
22 |
Stereotype adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu mempunyai karakteristik dan keperibadian yang sama. Stereotype merupakan kerangka kerja kognitif yang sangat mempengaruhi cara memproses informasi sosial yang diterima seseorang. (Baron & Byrne, 2004). Sigmund Freud mengatakan bahwa perilaku manusia didasari atas dua macam insting, yaitu insting Eros yaitu insting untuk hidup dan insting Thanatos yaitu insting untuk mati. Perilaku yang didasari insting eros misalnya keinginan untuk menikah, sedangkan yang didasari insting thanatos misalkan perilaku bunuh diri, agresif, suka mengambil resiko yang berbahaya, dsb.
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Sedangkan variabel-variabel yang masuk kategori kedua seperti karakter, sikap dan pemahaman seseorang mengenai kekerasan (menganggap perilaku kasar dapat diterima), nilai yang dianut terkait kekerasan (misalkan kekerasan dipandang sebagai bentuk maskulinitas), memiliki skill yang terkait kekerasan (mengetahui bagaimana cara berkelahi, mengetahui bagaimana menggunakan senjata, dll). Menurut teori GAAM variabel-variabel situasional dan individual dapat mendorong perilaku agresif setelah melalui 3 tahapan, pertama adalah arousal, yaitu adanya suatu dorongan energi dalam diri berbentuk dorongan fisiologis ataupun rasa gembira yang sangat. Kedua adalah affective states, yaitu kedua variabel tersebut dapat meningkatkan perasaan dan ekspresi bermusuhan. Ketiga cognition, kedua variabel tersebut dapat menyebabkan pikiran-pikiran permusuhan ataupun mengingat kembali memori peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah dialami. Zillman (dalam Baron & Byrne, 2004) melihat bahwa perilaku agresif juga bisa timbul akibat akumulasi dorongan energi negatif. Excitation transfer theory mengatakan bahwa suatu dorongan energi yang diakibatkan oleh suatu situasi dapat bertahan dan mengintensifkan reaksi emosional yang muncul disituasi berikutnya. Insiden-insiden Kekerasan Dalam rentang waktu tujuh bulan (14 Juli 2010 – 06 Februari 2011) telah terjadi setidaknya 15 kali insiden antara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan sejumlah oknum masyarakat yang mengaku memeluk agama Islam arus utama, seperti yang terliput media (lihat tabel 1). Komnas HAM bahkan mencatat bahwa hanya antara tahun 2007-2008 saja telah terjadi 342 kali aksi serangan dan intimidasi kepada anggota JAI. Bentuk serangan bervariasi mulai pengusiran, pengrusakan kediaman dan tempat ibadah, hingga pembunuhan. Tindak kekerasan terburuk yang telah terjadi adalah insiden di Cikeusik Pandeglang, Banten, Minggu (6/2/2011), dimana 4 orang jamaah Ahmadiyah tewas akibat dianiaya massa. Tabel 1. Berbagai tindak kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah NO
Tanggal
Lokasi
Korban/ Kerusakan
Kejadian
1.
6-2-2011
Cikeusik Jawa Barat
Banten, Massa menyerang Ahmadiyah
Jamaah 4 orang tewas, rumah dan mobil dibakar.
2.
29-1-2011
Makassar
Massa FPI berunjuk rasa memaksa Tidak ada data jamaah Ahmadiyah untuk keluar dari Masjid Ahmadiyah.
3.
27-12-2010
Cianjur, Jawa Barat
Madrasah milik ahmadiyah dibakar Gedung, Madrasah orang tak dikenal. Seminggu dan sebelumnya sebuah mushola juga Mushola dibakar.
4.
10-12-2010
Sukabumi, Jawa Barat
Sekitar seribu santri di Sukabumi, Tidak ada data Jawa Barat membongkar masjid Ahmadiyah di Kampung Panjalu Sukabumi.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 23
5.
8-12-2010
Tasikmalaya, Barat
Jawa Sejumlah sarana milik Ahmadiyah Tidak ada data di kota Tasikmalaya ditutup.
6.
3-12-2010
Ciputat, Selatan
7.
26-11-2010
Lombok Barat, Nusa Massa membakar puluhan rumah Puluhan rumah Tenggara Barat milik Ahmadiyah di Lombok Barat, dibakar karena terdapat warga yang tidak ingin desanya ditinggali jamaah Ahmadiyah. Bupati Lombok Barat Nusa Tenggara Barat memerintahkan warga Ahmadiyah untuk tidak tinggal di Dusun Ketapang.
8.
5-11-2010
Tanjung Priok, Massa dari Perguruan Tinggi Tidak ada data Jakarta Utara Dakwah Islam Tanjung Priok menuntut penyegelan Masjid Nuruddin Jalan Kebon Bawang X, Tanjung Priok, Jakarta Utara
9.
29-10-2010
Ciamis, Jawa Barat
FPI beserta ormas se-kabupaten Tidak ada data Ciamis berupaya menyegel masjid Ahmadiyah di Jalan Gayam, Ciamis.
10.
11-10-2010
Garut, Jawa Barat
Pemerintah Kabupaten Garut, Tidak ada data Jawa Barat, melarang Jemaaah Ahmadiyah berada di wilayahnya.
11.
4-10-2010
Pekan Baru
Penghentian aktivitas jemaah Tidak ada data Ahmadiyah di Kecamatan Tampan, Pekanbaru, oleh Pemerintah Kota Pekanbaru.
12.
1-10-2010
Bogor, Jawa Barat
Sekitar enam bangunan milik jemaah Ahmadiyah di Desa Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor, dibakar massa.
13.
10-8-2010
Surabaya
Ratusan Massa FPI dan Gerakan Tidak ada data Umat Islam Bersatu (GUIB) merusak paksa papan nama Jamaah Ahmadiyah yang terpasang di masjid An Nur
14.
29-7-2010
Kuningan, Jawa Barat
Ribuan orang perang batu dengan Tidak ada data jamaah Ahmadiyah. 1 Masjid dan 7 Mushola Ahmadiyah di segel.
15.
14-7-2010
Garut, Jawa Barat
Penyegelan pada beberapa kantor Tidak ada data Pemda Garut karena dugaan 10% Pegawai Pemda pengikut Ahmadiyah.
Tangerang Sekelompok orang bersepeda motor Tidak ada menyerang dan merusak sebuah masjid Ahmadiyah di Jalan Ciputat Raya.
6 bangunan dibakar. Termasuk Masjid, Surau, Madrasah dan rumah.
Sumber: www.tempointeraktif.com
Pada rekaman video insiden Cikeusik yang diunggah pada situs www.youtube.com terlihat kekerasan massa yang jauh dari gambaran bangsa Indonesia sebagai bangsa 24 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Timur yang mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah tamah, gambaran sebuah sikap dan perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti hasil bentukan budaya dalam masyarakat yang adiluhung4. Menyaksikan video itu memunculkan pertanyaan, ada apa dengan bangsa ini? Insiden kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah ini hanya salah satu contoh dari banyaknya kekerasan di masyarakat. Pada Februari ini saja selain insiden Cikeusik ada juga Insiden Temanggung (8/2/11), tawuran warga di Manggarai (23/2/11), tawuran warga di Johor Baru (3/2/11). Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Tindak kekerasan terhadap kelompok Jamaah Ahmadiyah merupakan hasil sebuah proses yang kompleks dan akumulatif. Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1925, dan sejak awal kedatangan telah mendapatkan penerimaan yang berbeda dimasyarakat, ada yang menerima dan ada juga yang tidak menerima yaitu dari masyarakat Islam arus utama. Penentangan dunia internasional secara formal terhadap kelompok Jamaah Ahmadiyah versi Qadian terjadi pada Konferensi Organisasi Islam sedunia (Rabithah ‘Alam Islami) pada bulan april 1974 yang mengeluarkan rekomendasi bahwa kelompok Ahmadiah Qadian berada diluar Islam. Rekomendasi tersebut kemudian diikuti oleh Pemerintah Pakistan dan Saudi Arabia. Saudi Arabia bahkan secara tegas melarang anggota kelompok Ahmadiyah Qadian memasuki wilayah Saudi Arabia. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa MUI tahun 1980 yang menetapkan bahwa alirah Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut kemudian diperkuat pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 11/MUNASVII/MUI/15/20055. Menurut (Zulkarnaen, 2011) tindakan anarkis terhadap anggota JAI dimulai sejak munculnya fatwa MUI. Dalam laporan sementara pemantauan kasus Ahmadiyah oleh Komnas HAM (2006) dituliskan bahwa fatwa MUI itu dikalangan masyarakat sipil, terutama yang menentang aliran ahmadiyah, dianggap dan diperlakukan sebagai salah satu dasar atau alat pembenaran (justifikasi) dan pengabsahan (legitimasi) dari berbagai bentuk kelakukan dan tindakan mereka. Fatwa MUI tersebut tidak hanya berpengaruh pada masyarakat tetapi juga ke jajaran aparat Negara. Pada 9 Juni 2008 Pemerintah kemudian menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri6 yang menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji intinya 4 5
6
Adiluhung mempunyai arti: tinggi mutunya; seni budaya yang bernilai sehingga wajib dipelihara. Keputusan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah: 1. Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (alruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Quran dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. 7 butir SKB 3 Menteri: 1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama. 2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 25
memerintahkan menghentikan seluruh kegiatan JAI. Justifikasi bertambah ketika Menteri Agama Suryadharma Ali yang menyatakan di media masa bahwa Ahmadiyah akan dibubarkan setelah lebaran idul fitri tahun 2009. Rekomendasi MUI kemudian tersosialisasi ke masyarakat luas melalui media massa, sehingga menjadi isu nasional dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Penyebaran mengenai ketidak sepakatan pemahaman yang disertai sikap negatif dengan cepat tersebar ke berbagai penjuru Indonesia melalui ceramah-ceramah keagamaan yang semakin memojokkan posisi JAI. Seperti pada insiden Ketapang (Laporan Komnas HAM, 2006) dimana seorang pemuka agama memberikan seruan terbuka secara berulang-ulang dalam pengajian agar warga memusuhi serta melakukan pengusiran terhadap JAI, seruan untuk menyerang, melakukan tindakan kekerasan yaitu membakar, melempar, menyerbu, dan mengusir. Ceramah-ceramah keagamaan dan pemberitaan di media massa yang hanya melihat dari satu sisi, yaitu sisi pemahaman JAI yang tidak sesuai dengan Islam arus utama semakin membentuk sikap negatif masyarakat terhadap JAI. Sikap tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan melalui sebuah proses yang biasanya memakan waktu yang panjang (Lukman, 2010). Sikap negatif tersebut menciptakan prasangka dalam kognisi masyarakat. Ketika prasangka telah terbentuk maka orang cenderung menilai anggota kelompok JAI semata-mata hanya karena mereka merupakan anggota kelompok tersebut. Sehingga, pada orang yang berprasangka, mereka kemudian mengorganisir, menginterpretasi dan mengingat informasi tentang JAI dengan cara khusus. Informasi negatif tentang JAI akan mendapatkan perhatian lebih dibanding informasi yang positif tentang JAI. Secara afeksi, prasangka juga menimbulkan perasaan negatif dan emosi tentang JAI yang kemudian dapat muncul dalam bentuk perilaku. Input data tentang JAI yang diterima dan disimpan dalam kognisi masyarakat, sehingga membentuk sikap negatif dan prasangka menjadi variabel individual dalam kerangka teori General Affective Aggression Model. Sedangkan seruan dari tokoh masyarakat yang mengajak untuk memusuhi JAI menjadi variabel situasional. Dorongan emosi negatif tersebut seperti dijelaskan Excitation Transfer Theory oleh Zullivan (dalam Baron & Byrne, 2004) kemudian terakumulasi dan berada dalam kondisi siap meledak ketika muncul pemicu. Beberapa insiden kekerasan terhadap Ahmadiyah seperti dituliskan pada Laporan Komnas HAM diindikasikan merupakan upaya terorganisir untuk menyerang JAI. Dalam kondisi penyerangan terpimpin maka aba-aba dan instruksi menyerang menjadi pemicu meledaknya rasa marah, kesal dan emosi negatif lainnya. Nabi Muhammad SAW. 3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan. 4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. 5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku. 6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. 7. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008
26 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Ketika tindakan penyerangan terjadi maka yang berlaku kemudian adalah diffusion of responsibility, yaitu suatu kondisi dimana seseorang merasa bahwa kadar tanggung jawabnya atas suatu kejadian menjadi berkurang karena ditanggung bersama-sama dengan orang-orang yang ada disekitar lokasi. Pada kasus Cikeusik, banyaknya orang yang berada dilokasi kejadian dan melakukan penyerangan terhadap anggota JAI membuat para pelaku tidak merasa bersalah karena yang menyebabkan terlukanya para korban ditanggung bersama. Tindakan kekerasan terhadap anggota JAI sudah sangat sering terjadi, dan masyarakat belajar bahwa mereka tidak perlu merasa khawatir akan mendapatkan hukuman jika mereka ingin melakukan tindak kekerasan terhadap JAI, karena seperti laporan Komnas HAM bahwa tidak ada penyelesaian tuntas atas kasus-kasus kekerasan terhadap JAI. Telah terjadi semacam pembiaran. Fakta ini menjadi reward atau hadiah bagi pelaku kekerasan, dan membuat pelaku tidak merasa takut untuk mengulangi kembali tindakan-tindakan negatif yang telah mereka lakukan (instrumental conditioning). Bagi mereka yang mempunyai akumulasi kemarahan yang sama, dan belum terlibat dalam aksi kekerasan terhadap JAI, maka mereka tidak merasa ragu untuk turut melakukan kekerasan karena mereka telah melihat bahwa mereka tidak akan mendapatkah hukuman (observational learning). Menurut Deaux et al (1993) pemberian hukuman hanya efektif bila persyaratan berikut terpenuhi: (1) Hukuman itu dapat diramalkan pasti terjadi. Ini berarti harus ada konsistensi antar waktu dan antar individu bahwa perilaku agresif yang sama akan mendapat hukuman yang sama; (2) Hukuman tersebut harus diberikan segera sesudah perilaku agresif terjadi; (3) Penggunaan hukuman ini disahkan oleh norma-norma sosial yang berlaku dimasyarakat; (4) Orang yang memberikan hukuman tidak boleh dilihat sebagai model yang agresif; (5) Memperkuat norma sosial melawan perilaku agresif dengan memuji perilaku non agresif dan mengabaikan perilaku agresif; (6) Mengurangi pemaparan (exposure) terhadap model yang berperilaku agresif. Simpulan Tindakan kekerasan terhadap jamaah ahmadiyah bukan sebuah proses yang instan, melainkan telah melalui proses yang panjang. Yang sebenarnya dalam rentang proses tersebut dapat dilakukan intervensi pemerintah agar dapat dihindari atau diminimalisir jatuhnya korban kekerasan fisik maupun psikis, korban jiwa, kerugian moril maupun kerugian materil. Yang patut disesalkan Negara tidak melakukan upaya preventif yang efektif, melainkan Negara justru telah turut berpartisipasi dalam pembentukan sikap negatif yang memicu terjadi kekerasan terhadap jamaah JAI. Fatwa MUI, SKB 3 Menteri, komentar pejabat negara di media telah digunakan masyarakat sebagai justifikasi atas berbagai tindakan negatif terhadap JAI. Sementara dalam insiden penyerangan, aparat keamanan telah melakukan pembiaran dan tidak memberikan efek jera berupa hukuman sehingga mengundang masyarakat yang tidak bersimpati terhadap JAI mengulang aksi kekerasan yang mereka lakukan.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 27
Rekomendasi Ketika emosi meningkat maka kemampuan orang menggunakan rasio akan menurun. Untuk menghindari sikap negatif ataupun kekerasan terhadap JAI perlu dirangsang upaya berfikir secara rasional dampak-dampak yang akan terjadi ketika tindakan negatif dilakukan. Masyarakat perlu dilatih melihat sisi kemanusiaan anggota JAI, bahwa mereka hanya manusia biasa. Masyarakat perlu dilatih bertanya apakah yang akan terjadi ketika dilakukan tindak kekerasan terhadap orang lain meskipun orang itu mempunyai keyakinan yang berbeda. Pemerintah, MUI dan tokoh-tokoh masyarakat tidak boleh menyediakan justifikasijustifikasi atas tindak kekerasan terhadap jamaah JAI. Dalam setiap keputusan yang dibuat pemerintah ataupun lembaga, dan komunikasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh, harus dengan kesadaran bahwa keputusan ataupun informasi yang mereka sampaikan tidak akan menjadi pembenaran atas segala macam bentuk kekerasan. Aliran proses terbentuknya prasangka harus dipotong, sehingga prasangka tidak kadung terbentuk dalam pikiran banyak orang. Pemerintah melalui media massa dapat melatih masyarakat dengan cara menyajikan pemberitaan ataupun informasi yang dapat menciptakan suasana tenang dan damai. Selain itu, perlu juga diskusi dengan para pimpinan redaksi media massa agar sensitif terhadap dampak pemberitaan yang dipublikasikan. Bahwa pemberitaan media massa berpotensi menjadi pemicu suatu tindak agresifitas, ataupun memperkeruh suatu kasus. Selain itu Pemerintah juga harus memberikan hukuman (punishment) kepada para oknum-oknum pelaku tindak kekerasan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan hukuman tersebut harus tegas dan konsisten agar tercipta efek jera.
28 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adamson, Ian. 1989. Mirza Ghulam Ahmad of Qadian. British: Elite International Publications Limited. Ahmad, M.B.M. 1976. Ahmadiyya Movement. Qadian: Mirza Wasim Ahmad Baron, R. A. & Byrne, D. 1997. Social Psychology, 8th edition. Boston, MA: Allyn and Bacon. Berkowitz, L. 1993. Aggression: Its causes, consequences, and control. New York: McGraw-Hill. Billah, M.M, et al. 2006. Laporan Sementara Pemantauan Kasus Ahmadiyah. Jakarta: Komnas HAM. Dollard, Miller et al. 1939. Frustration and aggression, Yale University Press, New Haven. Freud, Sigmund. 1961. Beyond the Pleasure Principle (The Standard Edition). Trans. James Strachey. New York: Liveright Publishing Corporation. Hakim, L.N. 2010. Pengaruh Intensitas Mengikuti Informasi Tentang Terorisme terhadap Sikap Mengenai Terorisme. Jurnal Aspirasi P3DI Setjen DPR RI Vol.1 No. 1 :103-118 Sarwono, Sarlito W. 1997. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sekretariat Jendral MUI. 2007. Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia: Mengawal Aqidah Umat. Skinner, B.F. 1953. Science and human behavior. Oxford, England: Macmillan. Thorndike, E.L. 1901. Animal intelligence: An experimental study of the associative processes in animals. Psychological Review Monograph Supplement, 2, 1–109 Zahrah, I.M.A. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos. Zulkarnaen, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKIS. Makalah Zulkarnaen, Iskandar. 2011. Eksistensi Ahmadiyah di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Workshop diselenggarakan oleh P3DI Sekretariat Jendral DPR RI.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah
| 29
Internet Ahmadiyah Bantah Pihaknya Provokasi Warga Cikeusik. http://www.detiknews.com/ read/2011/02/06/170509/1561097/10/ahmadiyah-bantah-pihaknya-provokasiwarga-cikeusik?Nd992203605. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Ditemukan Senjata Api di Rumah Pimpinan Ahmadiyah. http://regional.kompas. com/read/2011/02/09/0912237/Ditemukan.Senjata.Api.di.Rumah.Pimpinan. Ahmadiyah. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Harus Dilakukan Investigasi Projustisia. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/ 08/20363659/Harus.Dilakukan.Investigasi.Projustisia. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Islamic mob lynched minorities in Cikeusik Indonesia http://www.youtube.com/ watch?v=CqCTz2xopdk, dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Polri: Jemaah Ahmadiyah Memprovokasi. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/ 08/12054097/Polri.Jemaah.Ahmadiyah.Memprovokasi. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Polri Imbau Masyarakat Tak Emosional. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/ 08/16111494/Polri.Imbau.Masyarakat.Tak.Emosional. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Warga cikeusik sempat usir jamaah ahmadiyah november-2010 http://www.detiknews.com/read/2011/02/06/222324/1561164/10/warga-cikeusiksempat-usir-jamaah-ahmadiyah-november-2010. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Seribuan Penyerang, Baru Satu Tersangka. http://nasional.kompas.com/read/2011/02/ 09/11081741/Seribuan.Penyerang.Baru.Satu.Tersangka. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Setahun, 15 ‘Kekerasan’ terhadap Ahmadiyah. http://tempointeraktif.com/hg/politik/ 2011/02/07/brk,20110207-311528,id.html. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah Dinilai Masih Bias. http://www.detiknews.com/ read/2008/06/09/235058/953208/10/skb-3-menteri-tentang-ahmadiyah-dinilaimasih-bias. www.Artikata.com.
30 |
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011