6
edisi Monthly Report on
Religious Issues Sinopsis
B
adan Koordinasi Pengawas Aliran Keper cayaan (Bakorpakem) yang mengeluarkan keputusan tidak melarang keberadaan Ahmadiyah di Indonesia mendapat perlawanan dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang didukung Forum Umat Islam Indonesia (FUII). Dua ormas yang disebut terakhir ini masih terus berusaha menekan Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang keputusan Bakorpakem tersebut. Hiruk-pikuk Ahmadiyah ini tampaknya masih akan terus berlanjut memenuhi ruang publik ke depan. Inilah headline Monthly Report on Religious Issues (MroRI) kali ini. MRoRI edisi VI merupakan rekam peristiwa keagamaan yang terjadi dalam rentang per tengahan Desember 2007 sampai akhir Januari 2008. Selama periode pelaporan ini, ditemukan banyak kasus keagamaan yang menjadi isu publik. Di samping kasus Ahmadiyah, edisi ini juga melaporkan sejumlah kasus seperti teror terhadap warga Syiah di Bangil Pasuruan pasca penyerangan 26 November 2007. Kasus lain menyangkut komunitas Syiah juga terjadi di Mataram, NTB. Jamaah pengajian Syiah dibubar kan massa di sana. Konflik masyarakat terkait aliran keagamaan juga terjadi di Serang, Banten. Pesantren Miftahul Huda yang dipimpin Nur Syahidin dirusak massa, karena disinyalir menyebarkan ajaran sesat. Konflik tempat ibadah juga masih terjadi, kali ini di Lombok Barat berupa penyerangan dan pem bakaran Pure Sangkareang. Dari berbagai kasus itu, kita belum bisa bernafas lega karena penye satan dan kekerasan masih terus terjadi. ■
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor: Akhdiansyah - NTB, Suhendy - Jawa Barat, Nur Kholik Ridwan - Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Alamsyah M. Dja’far - Jakarta, Zainul Hamdi - Jawa Timur, Syamsul Rijal - Makassar. Kerjasama dengan TIFA Foundation
Januari
2008
Otoritas Agama versus Otoritas Negara
1. Bakorpakem: Ahmadiyah tak Terlarang
S
eiring polemik yang terus bergulir, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) akhirnya mengeluarkan 12 penjelasan tentang�������������������������������������� ��������������������������������������������� pokok keyakinan Ahmadiyah (14/1/08). Penjelasan tersebut dibacakan langsung Amir Ahmadiyah Indonesia, H. Abdul Basith, dalam jumpa pers di Bayt al Qur’an, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Penjelasan 12 pokok keyakinan Ahmadiyah tersebut ditandatangani H. Abdul Basith dkk (perwakilan Ahmadiyah), Atho Mudzhar (Kabalitbang dan Diklat Depag RI), Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam Depag RI), Azyumardi Azra (Deputi Seswapres Bidang Kesra), Denty Lerdan (Ditjen Kesbangpol Depdagri), Saleh Saaf (Kabaintel Polri) dan beberapa tokoh masyarakat. Pernyataan yang dibuat JAI tersebut merupakan puncak dari tujuh kali dialog yang difasilitasi Balitbang Depag RI. Dalam penjelasan tersebut ditegaskan, anggota JAI bersyahadat dengan dua kalimat syahadat sebagaimana umat Islam pada umumnya. Ditambahkan, JAI meyakini Nabi Muhammad adalah khatamun nabiyyin (nabi penutup). JAI juga meyakini, tidak ada wahyu syariat setelah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Pernyataan ini menegasikan kesim pulan sebagian kaum muslimin yang mengklaim JAI meng anggap Mirza Gulam Ahmad sebagai rasul dan Tadzkirah sebagai kitab sucinya. Masalah inilah yang membuat MUI dan kelompok Islam tertentu mendesak pemerintah untuk melarang JAI. Menurut penjelasan tersebut, Mirza Gulam Ahmad tidak lain hanyalah guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dak-
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008
wah dan syi’ar Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Keterangan penting lain, JAI tidak pernah mengafirkan umat muslim di luar Ahmadiyah dan menegaskan masjid Ahmadiyah bukanlah masjid eksklusif, tapi terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan apapun. Tiga isu yang sering menyulut kesalahpahaman di masyarakat memang menjadi prioritas utama untuk dijelaskan, yakni soal kenabian Muhammad, kitab suci dan interaksi JAI di tengah masyarakat yang kerap dianggap tidak mau berbaur alias eksklusif. Ketiga isu ini tidak jarang menjadi pembenar berbagai tindak kekerasan terhadap JAI. Penjelasan ini diharapkan dapat dipahami dengan semangat ukhuwah Islamiyah serta persatuan dan kesa tuan bangsa. Penjelasan tersebut mendapat sambutan positif dari Departemen Agama dan Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) Kejaksaan Agung RI. Hal ini tampak dari kesediaan perwakilan Depag menjadi salah satu penandatangan surat penjelasan di atas. Selain itu, Depag juga membawa penjelasan tersebut ke rapat Pakem yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (15/1/08) lalu. Lebih jauh, Depag berkomitmen untuk menyebarkan perkembangan ini ke seluruh Indonesia. Bagai gayung bersambut, langkah lebih
maju diambil Bakorpakem dalam rapat tersebut. Lembaga antar departemen, yang beranggotakan Kejaksaan Agung, Polri, Depdagri, Depag dan BIN, ini menyatakan aliran Ahmadiyah tidak dilarang di Indonesia, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Keputusan ini diambil setelah mempelajari dan membahas dengan seksama 12 butir penjelasan Pengurus Besar JAI. Alhasil, Bakorpakem memberikan kesempatan kepada JAI untuk melaksanakan 12 butir penjelasan tersebut secara konsisten dan bertanggungjawab. Meski demikian, Bakorpakem tetap memantau perkembangan yang ada dan akan memberi penilaian dalam tiga bulan ke depan. Apabila terdapat ketidaksesuaian dalam pelaksanaannya, Bakorpakem mempertimbangkan penye lesaian lain sesuai ketentuan yang berlaku. Karena itu, Bakorpakem menghimbau semua pihak dapat memahami maksud dan niat baik PB JAI sebagai bagian dari membangun kerukunan umat beragama sekaligus menghindari aksi anarkis. Kabidpenum Polri Kombes Pol Bambang Kuncoko yang juga hadir dalam kesempatan itu menyatakan, polisi tidak segan menindak mereka yang melakukan kekerasan pada JAI. Inilah yang diharapkan banyak pihak. Polisi tidak perlu ragu lagi menindak siapapun yang melanggar hukum. Penjelasan Bakorpakem
PENJELASAN PENGURUS BESAR JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA TENTANG POKOK-POKOK KEYAKINAN DAN KEMASYARAKATAN WARGA JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA 1.
Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW yaitu, Asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah 2. Sejak semula kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi pentutup). 3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Gulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita gembira dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar lslam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. 4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota Jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah. 5. Kami warga Jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa: a. Tidak ada wahyu syariat setelah al-Quranul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, b. al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah sumber ajaran lslam yang kami pedomani. 6. Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Gulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 yakni 2 tahun setelah beliau wafat (1908). 7. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang lslam di luar Ahmadiyah. baik dengan kata-kata maupun perbuatan. 8. Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah. 9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh Jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat lslam dari golongan manapun. 10. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sebagai Muslim selalu melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara-perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 11. Kami warga Jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturrahim dan bekerjasama dengan seluruh kelompok/golongan umat lslam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakatan untuk kemajuan lslam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 12. Dengan penjelasan ini, kami Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah lndonesia (PB JAI) mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat lslam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa. Jakarta, 14 Januari 2008
The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008 ■
menandaskan, JAI tidak melakukan penodaan terhadap agama sebagaimana yang dituduhkan sejumlah kelompok. “Tidak ada yang melanggar, termasuk saat dibandingkan dengan ciri-ciri aliran sesat yang dikeluarkan MUI,” tegas Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Su broto. (Indo Pos, 16/1/08). Wisnu menambahkan, selaku ormas keagamaan, Ahmadiyah juga telah mendaftarkan diri ke Depdagri sejak 1953. Dengan fakta tersebut, praktis Ahmadiyah selama ini telah diterima dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat (Indo Pos, 16/1/08). Namun deng an keluarnya fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang kesesatan aliran Ahmadiyah, status Ahmadiyah menjadi tidak menentu. Karenanya, pihak JAI menyambut gembira keputusan Bakorpakem tersebut. Pengikut Ahmadiyah di Tasikmalaya misalnya, berharap semua pihak memberikan ruang kepada mereka untuk beribadah secara tenang (Pikiran Rakyat,
17/1/08). Namun, MUI menyatakan kecewa terhadap keputusan Bakorpakem tersebut dan menganggapnya sebagai keputusan yang tidak aspiratif. MUI, melalui tokohnya, KH. Ma’ruf Amin dalam suatu jumpa pers bersama FUII, mengaitkan keputusan Bakorpakem dengan keputusan ulama sedunia yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam. MUI tetap ngotot, Ahmadiyah sesat dan MUI tidak ikut bertanggungjawab (www.nu.or.id, 17/01/2008). Penolakan juga disampaikan MUI Kabupaten Tasikmalaya yang menganggap 12 butir pernyataan Ahmadiyah seba gai kamuflase (Pikiran Rakyat, 17/01/08). Menanggapi berbagai protes keputusan Bakorpakem, Menteri Agama Maftuh Basyuni menyatakan, pembubaran Ahmadiyah dinilai tak menyelesaikan persoalan (www.detik.com, 22/1/08).� ■
2. Pesantren Miftahul Huda Serang Diserang
K
abar “keanehan” ajaran Nur Syahidin Salim, pengasuh Ponpes Miftahul Huda Kampung Jaha, Desa Baros, Kabupaten Serang, sebetulnya sudah sampai ke telinga KH. Muhtadi ������������������������ Dimyati sekitar lima atau enam tahun silam. Yang ������������� pertama kali menginformasikan adalah seorang santri alumni pesantrennya yang konon pernah dibai’at Nur Syahidin. KH. Muhtadi juga mengaku pernah didatangi para kyai dari Baros dan sekitarnya yang menyoal ajaran Nur Syahidin. Bahkan mereka sudah membuat selarik pernyataan vonis sesat untuk ditandatangani. Tapi demi menghindari prasangka adu domba antar kyai, “Saya larang mereka,” kata KH. Muhtadi (Radar Banten, 19/12/07). Lelaki berperawakan kecil ini berniat hendak menyelesaikan sendiri kasus tersebut dengan dialog dan cara-cara kekeluargaan. Apalagi ia masih bertalian famili dengan isteri Nur Syahidin. Di wilayah Banten dan sekitarnya, KH. Muhtadi dikenal sebagai figur penting. Ia putera kyai karismatik Banten, Abuya Dimyati, pendiri pesantren Cidahu, Cadasari. Setelah Abuya meninggal, KH. Muhtadi yang The Wahid Institute
menjadi pengasuh pesantren yang memiliki ribuan alumni ini. Malang, penyelesaian berujung tragis. Proses dialog yang dilakukan KH. Muhtadi dengan Nur Syahidin dan pihak-pihak terkait tak bisa membendung amarah massa. Kamis (13/12/07), menjelang Dzuhur Ponpes Miftahul Huda diamuk ratusan massa. Sambil menggemakan takbir, massa yang membawa batu dan pentungan membakar ruang utama pesantren di lantai satu, kamar santri, enam sepeda motor yang diparkir di halaman, juga beberapa kitab kuning. Berbagai perabotan rumah tangga ludes terbakar. Massa datang ke lokasi dengan mengenda rai 20 truk, meski yang berhasil masuk hanya empat. Aparat yang ada tak berkutik. Beruntung tak ada korban jiwa dalam peristiwa yang baru berhasil dihentikan saat puluhan ���������������� anggota Pengendalian Masyarakat (Dalmas) dari Polda Banten tiba. Beberapa jam sebelum peristiwa, dialog sebetulnya sudah dilakukan. Dipimpin ketuanya KH. Syafei AN, MUI Kabupaten Serang menggelar dialog di sekretariat MUI di Islamic Center Banten. ����������������� Nur Syahidin����� dan seorang rekannya asal Yogyakarta dihadirkan
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008
sebagai pihak tertuduh. Tiga orang, Sudrajat, Lulu Amrulloh, keduanya warga Baros dan Euis Suhartini, warga Kaujon, sebagai saksi. Beberapa tokoh turut hadir, di antaranya KH. Muhtadi. Dialog yang dimulai pukul 10.00 WIB ini disesaki ratusan massa. ���������������� Mereka mendesak MUI Serang tegas mengeluarkan fatwa sesat. Tapi, MUI tak menggubris dan hanya akan menyampaikan hasil dialog itu ke MUI Banten sembari menunggu proses lebih lanjut. Mendengar keputusan itu massa mulai kelihatan beringas dan berteriak-teriak. Bahkan, KH. Muhtadi sempat berang, “MUI jangan menganggap remeh kami, segera keluarkan fatwa,” katanya seraya menghambur keluar ruangan (Radar Banten, 14/12/07). Dari Islamic Center massa tak membubarkan diri, tapi langsung menuju Ponpes Miftahul Huda yang hanya berjarak 500 meter dari Pasar Baros di Jalan Raya Pandeglang-Serang. Pembakaran pun terjadi. KH. Muhtadi dianggap orang yang ikut memicu pembakaran, tapi anggapan itu lang sung dibantahnya. Nur Syahidin mendirikan Ponpes Miftahul Huda di kampung Jaha sejak 1994. Nama Miftahul Huda sendiri masih terkait dengan Ponpes Miftahul Huda, di Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat, pesantren dengan 1.200 cabang di seluruh Indonesia. Nur Syahidin adalah alumni pesantren yang didirikan K.H. Choer Affandi ini. Di pesantren yang berdiri sejak 7 Agustus 1967 ini, dai kondang Abdullah Gymnastiar sempat menjadi santri KH. Choer Affandi. Sebelum pembakaran terjadi, Nur Syahidin bahkan masih tercatat sebagai Koordinator Himpunan Alumni Miftahul Huda (HAMIDA) untuk wilayah Banten. Tapi tiga hari setelah peristiwa pembakaran, lelaki yang sempat nyantri di Ponpes Nurul Huda, Kampung Sawah, Baros itu dicopot dari jabatannya. “Dari hasil pertemuan itu saya menegaskan ajaran Nur Syahidin bukan ajaran yang dite rapkan Ponpes Miftahul Huda di manapun di Indonesia. Ajaran itu mengacu pada Padepokan ESA pimpinan Rahmat Hidayat,” kata KH. Asep Ahmad Maoshul Affandi yang datang ke Banten sehari setelah peristiwa (Radar Banten, 17/12/07). KH. Asep Ahmad Maoshul, salah seorang putera KH. Choer Affandi yang kini menjadi pimpinan Ponpes Miftahul Huda
Manonjaya. Ia juga tercatat sebagai Wakil Ke tua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Kepada media Nur Syahidin memang meng aku ritual yang banyak disoalkan itu diperolehnya dari Padepokan ESA pimpinan Rahmat Hidayat. Tak jelas sejak kapan Nur Syahidin terlibat dalam kegiatan padepokan yang berlokasi di Gardenia Loka Blok E7/11, Graha Raya, Bintaro Sektor 12 Tangerang ini. Ritual tersebut dikenal dengan tawajjuh, semacam praktik sufi untuk mengenal Tuhan lebih dalam melalui ma’rifatullah. Rahmat Hidayat mengaku memperoleh ritual tersebut dari seorang sufi yang memiliki silsilah ke Sunan Kudus hingga Nabi Muhammad via Sahabat Ali bin Abi Thalib. �������������������� Informasi ini salah satunya dimuat dalam hasil penelitian Julia Day Howell, salah seorang Associate Professor di Griffith Asia Institute, Griffith University, bertajuk “Repackaging Sufism in Urban Indonesia”. Dipublikasi di Jurnal ISIM 19 edisi musim semi 2007. Dalam praktiknya, seperti dilontarkan ketiga saksi, prosesi tawajjuh dilakukan dengan sarana kain kafan, beras, sejumlah uang, dan mata tertutup. Mereka lalu diperintahkan untuk menginjak-injak beras dan uang yang ditempatkan di atas kain kafan. Tapi Nur Syahidin menolak jika praktik itu dianggap sesat. Itu hanya kiasan bahwa harta dan materi yang di dunia tidak berguna ketika di akhirat. Sampai sekarang dia mengaku masih menjalankan syariat Islam seperti syahadat atau shalat seperti muslim kebanyakan. Dalam penelusuran Monthly Report, Padepokan ESA memang masih terkait dengan Misykatul Anwar dan Padepokan Thoha. Dalam struktur organisasi Misykatul Anwar, Rahmat Hidayat tercatat sebagai Dewan Pembina. Program lembaga ini fokus pada pemberdayaan dana zakat dan bazis. Sedang di Padepokan Thoha, Rahmat Hidayat adalah pemim pin pengajian yang berlokasi di Kebayoran Baru itu. Komunitas ini rutin menggelar pengajian, ceramah agama, dan pelatihan. Beberapa tokoh yang sempat diundang dalam kegiatan mereka adalah Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat, Ketua PBNU Said Aqiel Siradj, dan Penulis Buku Sufi Achmad Chodjim. Setelah pembakaran, Padepokan ESA memang jadi sorotan. Komunitas ini dianggap The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008 ■
pihak yang mesti “didalami” MUI Banten untuk menetapkan apakah Nur Syahidin sesat atau tidak. Jika terbukti cocok dengan 10 kriteria sesat MUI, padepokan ini bisa-bisa gulung tikar. Kamis 20 Desember adalah hari terakhir Nur Syahidin muncul ke padepokan. Satu bulan lebih setelah peristiwa penye rangan, MUI Banten akhirnya mengeluarkan fatwa yang menyatakan ajaran Nur Syahidin sesat dan menyesatkan (Antara, 23/01/08). Ratusan warga yang memenuhi Masjid Baitul Iffah di Kampung Jaha, Kecamatan Baros, Serang, Rabu, melakukan sujud syukur setelah mendengarkan pembacaan fatwa yang disam-
paikan KH. Aminudin Lc, salah seorang Ketua MUI Banten, yang mewakili Ketua Umum MUI Banten, KH. Wahab Afif, karena berha langan hadir. Fatwa MUI Banten Nomor 1 Tahun 2008 yang telah dikeluarkan sejak 16 Januari 2008 juga menyatakan, pemerintah berkewajiban melarang penyebaran paham dan ajaran yang dibawa Nur Syahidin, serta menutup semua tempat kegiatannya. MUI meminta kepada mereka yang telah terlanjur mengikuti paham dan ajaran tersebut, agar kembali kepada ajaran Islam yang sesuai al-Quran dan Hadist. ■
3. Syi’ah: Dari Bangil sampai Mataram A. Syiah Bangil Kembali Terancam
P
asca penyerangan 26 November 2007, warga Syi’ah Bangil agaknya masih harus dicekam suasana takut akibat teror dari kelompok yang mengidentifikasi diri mereka sebagai jamaah Sunni. Teror dalam bentuk kampanye anti-Syi’ah semakin tampak dan berskala luas. Kampanye tersebut bahkan sudah meluas sampai di kota Pasuruan. Spanduk dan stiker yang bertuliskan pesan anti-Syi’ah juga bertebaran di mana-mana. Sejumlah spanduk yang berhasil direkam, misalnya, bertuliskan, “Warga Nahdlatul Ulama’ kota Pasuruan Pengikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah”. Ada juga spanduk besar deng an logo Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kota Pasuruan bertuliskan “Awas!!! Aliran Sesat”. Tidak kurang agitatifnya, sejumlah stiker bertuliskan “Kami Pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah, bukan Aliran Sesat” juga dapat ditemui di banyak titik di kota Pasuruan. Pesan yang hendak disampaikan jelas, Syi’ah adalah aliran sesat. Dengan klaim seperti ini, maka konsekuensi berikutnya adalah pembenaran segala tindakan penyerang an terhadap kaum Syi’ah. Karena, begitulah perilaku masyarakat dalam mengambil sikap terhadap kelompok mana saja yang dianggap sebagai sesat. Kampanye anti-Syi’ah semakin mendapat pembenaran dengan beredarnya fatwa sesat yang dikeluarkan oleh beberapa orang habib di Bangil, Pasuruan. Selebaran fatwa penyesatan The Wahid Institute
terhadap ajaran Syi’ah tersebut telah beredar luas di kalangan umat Islam Bangil. Misalnya, dengan merujuk pada Qanun Asasi (pedoman dasar) NU, Achmad Zein Alkaf mengeluarkan selebaran yang diberi judul “Fatwa dan Himbauan KH Hasyim As’ari Tentang Kesesatan Faham Syi’ah Imamiah”. Ada juga selebaran terjemahan (disertai dengan copy surat asli) himbauan habaib Hadramaut (Yaman) dan Haramain (Makah dan Madinah)yang menyatakan bahwa Rabithah Alawiyah (organisasi para Habib Alawiyin, keturunan Ali bin Abi Thalib) seharusnya tetap berjalan di atas rel Ahlussunnah wal Jama’ah. Himbauan tersebut dikirim karena ada nya berita mengenai adanya beberapa oknum Habaib Alawiyin di Indonesia dan di beberapa negara yang terpengaruh aliran Syi’ah Ima miyah. Surat edaran yang berisi fatwa sesat ini diedarkan melalui masjid-masjid di Bangil bersamaan dengan pelaksanaan shalat Jumat. Dengan penyebaran model demikian, fatwa sesat ini dengan cepat tersebar luas dan hampir semua jama’ah Sunni di Bangil memiliki kesimpulan yang sama, bahwa Syi’ah adalah ajaran sesat yang perlu diwaspadai. Ketegangan seperti ini terus berlangsung. Dan tidak banyak pilihan bagi jamaah Syi’ah di kota Bangil, kecuali menutup diri untuk berhubungan dengan komunitas di luar aliran mereka. Pengrusakan masjid dan beberapa rumah pada 26 November 2007 yang lalu,
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008
membawa trauma yang tidak juga mereda. Teror-teror dalam bentuk cemoohan dan kampanye anti-Syi’ah telah menjadikan jama’ah ini semakin rapat mengunci pintunya untuk berhubungan langsung dengan kelompok lain. Didekap oleh ketakutan yang terus menerus, pimpinan jama’ah Syi’ah melimpahkan semua persoalan Syi’ah—termasuk kasus penyerangan dan pengrusakan—kepada tim pengacara yang mereka siapkan untuk mengantisipasi semua jenis aksi susulan dan serangan hukum terhadap mereka. Saat ini, hampir tidak ada seorang pun dari jama’ah Syi’ah yang dapat diajak bicara mengenai persoalan ini. Ketika ditanyai tentang permasalahan itu yang menimpa mereka, umumnya jawaban mereka seragam. “Semua perkara sudah dilimpahkan kepada tim pengacara, dan hanya mereka yang berhak bicara atas persoalan ini,” demikian tegas Ali Ibrahim, pengikut Syi’ah yang juga Ketua RW 2 Bendo, Mungal, Bangil. Namun ketika ditanya siapa saja tim peng acara yang dimaksud, dan bagaimana melakukan wawancara dengan tim pengacara tersebut, Ali keberatan menjawab dan tidak berkenan memberikan informasi. Ali Ibrahim adalah satu dari sedikit orang yang bisa diajak bicara di kawasan tersebut. Menurut Ali, jama’ah Syi’ah memilih bungkam dan menyerahkan segala urusan kepada tim pengacara mereka karena penyerangan dan pengrusakan yang menimpa mereka sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal berbasis agama. Menghadapi masalah seperti ini, “perlu ada penanganan hukum secara serius,” tegas Ali. Jama’ah Syiah juga harus menadapatkan perlindungan sebagaimana hak perlindungan hukum yang didapatkan oleh warga negara lainnya. Menyadari pentingnya hal ini, jama’ah Syi’ah juga menyerahkan kasus penyerangan
dan pengrusakan pada 26 November 2007 lalu kepada Polres Bangil. Menurut keterangan Ali Ibrahim, banyak jama’ah Syi’ah juga tertarik bergabung dalam Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) karena adanya kebutuhan untuk melindungi keselamatan diri mereka dari berbagai serangan susulan yang berpotensi pecah kembali di Bangil. Ancaman akan adanya serangan dan peng usiran terhadap jama’ah Syi’ah Bangil bukanlah asap tanpa api. Gencarnya kampanye anti-Syi’ah yang semakin menguat pascapenye rangan 26 November, diikuti menguatnya aliansi Ahlussunnah wal Jamaah yang tidak hanya beranggotakan ormas-ormas Islam di Bangil saja, tetapi juga di beberapa daerah lain di Jawa Timur dan Madura. Beberapa santri yang dijumpai di pondok pesantren Darul Ihya’ul Ulum asuhan Habib Muhammad Bin Husen Bin Abu Bakar Assegaf membenarkan akan adanya penyerangan susulan terhadap jama’ah Syi’ah. “Jama’ah Sunni pimpinan Habib Umar Bin Abdullah Assegaf saat ini tengah merencanakan aksi untuk membubarkan Syi’ah dari Bangil. Habib juga melakukan konsolidasi besar-besaran antar sesama penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah se Jawa-Madura untuk mendukung gera kan ini,” terang Sholeh Bin Hasan Al Haddar, salah seorang santri pesantren tersebut. Meskipun demikian, tidak ada seorang san tri pun yang berani memberikan informasi tentang kapan penyerangan itu akan dilakukan. “Yang jelas penyerangan ini akan digelar di tahun 2008 ini,” tutur seorang santri yang keberatan disebut namanya. Rencana aksi tahun 2008 ini rencananya dinamai “Gerakan JawaMadura”. “Aliansi ini terdiri dari warga Nahdlatul Ulama’, Muhammadiyah, dan jama’ah Ahlussunnah wal Jama’ah,” tutur Sholeh Bin Hasan Al-Haddar. ■
B. Pengajian Syi’ah Mataram Dibubarkan Massa
A
wal 2008, kekerasan hampir saja me nimpa pengikut Ahlul Bait (Syi’ah) Kelurahan Kebon Roek Kec.Ampenan Kota Mataram, Minggu (13/1/08) malam lalu. Ratusan massa yang datang dari berbagai desa di Kecamatan Ampenan mendatangi lokasi pengajian pengikut Syi’ah. Seolah ada yang
mengomandoi, begitu selesai sholat Magrib, ratusan massa tiba-tiba menyemut mendekati lokasi pengajian. Dalam waktu singkat massa mengepung tempat pengajian dari depan dan belakang. Sambil berteriak, massa yang tidak sedikit berbaju muslim dan berkopiah putih itu meminta agar pengajian dihentikan. The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008 ■
Namun dalam waktu yang tidak lama, Wali Kota HM. Ruslan SH, Lurah Ampenan langsung terjun kelokasi. Secara bersamaan juga Kapolsek Ampenan AKBP Triyono juga langung mengerahkan puluhan anggotanya guna mencegah aksi perusakan dari warga. Dengan menggunakan pengeras suara, Wali Kota minta kepada warga tidak bertindak anarkhis. Rupanya seruan tersebut cukup didengar warga sehing ga keberingasan massa dapat dihindarkan. Muhammad, seorang pengikut Syi’ah yang rumahnya dijadikan tempat pengajian ketika ditemui mengatakan, pengajian sembilan hari mengenang wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husain rutin diadakan tiap tahun. “Bahkan ini malam yang keempat kita adakan,” kata Muhammad. Layaknya pengajian biasa yang diawali dengan pembacaan surat Yasin berjamaah. Dalam pengajian tersebut siapapun boleh ikut. “Jadi tidak benar, kalau pengajian kita tertutup. Siapapun boleh ikut, jendela dan pintu sengaja kita buka lebar-le bar,” tambahnya. Panitia pengajian juga mengaku telah melayangkan surat pemberitahuan kepada Polsek Ampenan dan Kelurahan Kebon Roek. Mengomentari aksi pembubaran pengajian Syi’ah tersebut, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) NTB mengeluarkan peryataan bahwa Syi’ah bukan aliran sesat. “Ajaran Syi’ah itu tidak sesat. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa Syi’ah itu sesat,” kata Prof. Saiful Muslim, Ketua MUI NTB (Lombok Post, Senin (14/1/08). Menurut Saiful Muslim, memang ada perbedaan ajaran antara Ahlussunnah dengan Syi’ah, namun aqidah, rukun Islam, rukun Iman dan yang lainnya sama. Sementara Wali Kota Mataram HM. Ruslan pada media yang sama mengungkapkan, sebenarnya yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap masalah tersebut adalah PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Tapi PAKEM tidak bisa bertindak karena terbentur pada HAM. “Selain itu juga karena adanya demokratisasi dan globalisasi yang melampui batas,” ungkapnya kepada wartawan. Sehari setelah kejadian, Muhammad mengaku menerima surat pelarangan pengajian dan aktivitas kelompok Syi’ah dari kelurahan. Ketika diminta surat tersebut, dia tidak bersedia memberikan dengan alasan bahwa surat tersebut belum diterima oleh ketua Syi’ah NTB, Bagir Salim yang kebetulan masih berada di Jakarta. “Kalau sudah diterima pak ketua, pasti saya kasih” tambah pria berambut putih keturunan Arab ini. ■
4. Pura Umat Hindu di Lombok Barat Dibakar Massa
K
erukunan umat beragama di Lombok Barat kembali ternoda. Rabu, (16/1/08) malam Pura Sangkareang di Dusun Sangkareang, Desa Keru, Kecamatan Narmada, Lombok Barat dibakar dan dirusak massa. Peristiwanya terjadi pukul 22.30 Wita. Pelaku diperkirakan berjumlah ratusan orang yang menggunakan truk dan motor. Walau kerusakan tidak begitu parah, tapi akibat aksi anarkis itu, renovasi pura yang sudah berdiri puluhan tahun itu menjadi terhenti. Di bebe rapa sudut kepala patung naga dan tembok pura dirobohkan serta kain pembalut pura di bakar. Kapolsek Narmada, Ida Bagus yang di temui dilokasi mengungkapkan, satu hari sebe lum kejadian Selasa, (15/1) puluhan massa ber sama Kepala Desa Keru datang ke lokasi keja dian. Mereka mempertanyakan maksud pemThe Wahid Institute
bangunan pura tersebut. Namun karena tidak merasa puas dengan penjelasan panitia, kepala desa berjanji akan mengumpulkan masyarakat dan pihak terkait untuk membicarakan masalah itu. Inaq Inah, seorang warga yang bermukim di daerah tersebut mengaku tidak mengetahui siapa dan dari mana pelaku perusakan. Dia ha nya mendengar suara teriakan dan kendaraan. Menurut informasi, perusakan itu dipicu oleh isu relokasi dana pembangunan Pura Penataran Agung, Desa Senaru di bawah kaki Gunung Rinjani yang ditentang masyarakat. Selain itu, di Pura Sangkareang akan diadakan upacara sembahyangan Pujawali (Odalan) sekaligus acara peresmian pura tersebut. Sebagai bentuk syukurnya warga Hindu akan melakukan pemotongan babi dengan jumlah yang cu-
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008
kup besar. Dalam perkembangannya muncul klaim kepemilikan tanah dari warga. Mereka menilai izin pembangunan pura bertentangan Surat Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pembangunan Rumah Ibadah. Menyikapi maraknya aksi kekerasan atas nama agama di daerah ini, sejumlah mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan untuk Perdamaian (KKUP) mendatangi Polda NTB (18/1/08). Mereka minta pihak kepolisian bertindak tegas tehadap pelaku kekerasan yang suka bertindak anarkhis atas nama agama. Beberapa elemen yang tergabung dalam KKUP diantaranya, Perge
rakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Jaringan Islam Kampus (Jarik) Mataram, BEM IAIN Mataram, Pemuda Hindu (PERADAH), BEM STAH, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHDI) Unram. Dalam aksinya, puluhan aktivis mahasiswa Islam dan Hindu ini dijaga ketat oleh aparat keamanan. Setelah berorasi beberapa menit, perwakilan aktivis diterima oleh Wakapolda NTB, Kombes Pol.Drs.Lalu Suparta. Dalam pertemuan tertutup selama satu jam itu L. Suparta berjanji akan segera mengusut pelaku pengrusakan rumah ibadah umat Hindu. ■
5. Padepokan Syafaatush Sholawat di Malang Dirusak
K
amis, 26 Desember 2007, segerombolan orang, kebanyakan anak muda merusak komplek rumah terpencil milik Miftahul Huda yang disinyalir sebagai tempat penyebaran ajaran sesat. Dua hari setelah kejadian itu, rumah yang terletak di RT 25 Dusun Bendo, Desa Sukolilo, Jabung, Malang, yang biasanya disebut sebagai Padepokan Jamaah Syafaatush Sholawat itu sepi dan terlihat bekas-bekas reruntuhan pengrusakan. Sebagaimana yang diceritakan Pak Wo (Kepala Dusun) Bendo, pada saat kejadian, ada seratusan lebih massa yang datang merusak rumah dan membakar bagian belakang komplek. Rumah tersebut sebenarnya jauh dari pemu-
kiman penduduk. Komplek bangunan yang menghadap ke timur itu berjarak 30 meter. Bangunan utama terdiri dari satu aula dan empat kamar. Di belakang bangunan utama ada tiga banguan kecil, yang difungsikan untuk dapur, mushola dan kamar mandi. “Itu bukan mushalla, itu hanya bangunan kecil yang mirip mushola. Warga tidak akan berani merusak mushola,” tukas salah satu warga yang ikut menjaga lokasi kejadian itu. Kini, komplek Padepokan Syafaatush Sholawat ditutup kepolisian. Masih terlihat sisa–sisa barang-barang milik keluarga Huda (Miftahul Huda) seperti TV, radio, pakaiaan dan perabot rumah tangga lain yang hancur atau terbakar. ■
Kronologi Pengrusakan
A
dalah Miftahul Huda, seorang warga Dusun Bendo Desa Sukolilo Kecamatan Jabung yang menikah dengan seorang gadis warga Desa Sidorejo. ������ Pernikahan ini menjadi awal perubahan hidupnya, khususnya terkait dengan spiritual. Huda, begitu biasa dia disapa, mulai mengenal ajaran Syafaatush Sholawat dari mertuanya. Karena tertarik, sejak tahun 2002 Huda mulai ikut aktivitas ritual jamaah di Singosari, Malang, yang dipimpin Nur Hambali, seorang ustadz muda yang masih seusia dengannya. Nur Hambali adalah jebolan Pesantren Majalengka, Jawa Barat, yang merupakan pusat Syafaatush Sholawat.
Aktivitas ritual ini sebelumnya berpusat di Singosari, namun karena protes dari warga akhirnya sering berpindah-pindah di kediaman jamaah. Yang paling sering, ritual dilakukan di Jambangan, Pakis, Malang. Setelah lama berpindah-pindah, mereka merasa perlu memiliki tempat permanen. Miftahul Huda yang memiliki lahan sawah peninggalan orang tuanya yang berada agak masuk di pedalaman dan jauh dari pemukiman menawarkan untuk ditempati sebagai aktivitas jamaah. Sejak pertengahan 2006, aktivitas Syafaatush Sholawat mulai dipusatkan di tanah itu. Dengan sangat sederhana, Huda dan ketiga rekannya, Zaenal, Wasian dan
Arifin, membangun bangunan sederhana dari terpal dan bambu. Melihat ada kegiatan keagamaan di sana, beberapa warga mulai kasak-kusuk. Mereka merasa “aneh” dengan kegiatan rutin yang dilakukan seminggu sekali di bangunan baru. Yang sering menjadi perhatian warga adalah banyakya jamaah dari luar desa yang datang dan beraktivitas di “rumah baru” milih Huda itu sampai pagi hari. Melihat gejolak kecil di masyarakat, Ustadz Sholihan, seorang tokoh agama setempat pada bulan Oktober 2006 mengajak musyawarah antara jamaah mushalla dengan jamaah Syafaatush Sholawat. Pada intinya warga tidak mengizinkan Huda
The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008 ■ cs untuk melanjutkan aktivitasnya kecuali sudah mendapatkan izin dari desa. Namun, tuntutan warga tersebut tidak dipenuhi Huda. Mereka tetap menjalankan aktivitasnya. Melihat aktivitas Syafaatush Sholawat tetap berjalan, warga mengadu kepada Kepala Desa Sukolilo, H. Ali Masyhar yang kebetulan juga Ketua MWC NU Kecamatan Jabung waktu itu. Maka diadakanlah pertemuan di Balai Desa pada bulan Januari 2007. Pertemuan ini untuk meminta klarifikasi dari Huda Cs tentang ajaran yang dikembangkannya di desa Sukolilo. Dari pertemuan itu Huda berjanji akan menghadirkan pimpinan Syafaatush Sholawat. Dalam pertemuan tersebut disepakati, untuk sementara aktivitas keagamaan yang dilakukan di rumah Huda dihentikan sampai ada izin dari RT, RW, dan kelurahan. Awalnya aktivitas di rumah Huda berhenti beberapa waktu. Namun beberapa bulan kemudian aktivitas di sana mulai hidup lagi. Bahkan, Huda dengan dibantu beberapa jamaah mulai membangun komplek padepokan. Huda dan keluarganya menjadikan tempat itu sebagai tempat tinggal, sehingga aktivitas semakin sering dilakukan. Sebetulnya, keresahan masyarakat tidak semata-mata dipicu oleh ketidaktaatan Huda cs terhadap kesepakatan, namun juga terkait dengan “persaingan” antar kelompok keagamaan. Hal ini, misalnya, terlihat pada kekhawatiran beberapa warga akan keberaaan jemaah Syafaatush Sholawat yang semakin membesar. Mereka khawatir anak-anak mereka terpengaruh dengan ajaran Syafaatush Sholawat. Ekspresi yang berlebihan dari jamaah Syafaatush Sholawat juga menyinggung perasaan warga dan tokoh masyarakat. Misalnya, pandangan sinis pengikut Syafaatush Sholawat yang melihat masyarakat terlalu mengkultuskan kiai. Warga juga tersinggung dengan “seloroh” yang sering dinyatakan Huda bahwa keagamaan masyarakat banyak masih perlu dikasihani karena shalatnya masih belum khusyu’. Konflik keluarga juga menambah api keresahan semakin membara. Misalnya, terjadinya pertengkaran antara salah satu jamaah, Wasi’an dengan ibunya. Sebagaimana diceritakan Ketua RT 25, sejak ikut Syafaatush Sholawat, Wasi’an jarang pergi ke sawah karena waktunya dihabiskan untuk ibadah sehingga tanggung jawab keluarganya terbengkalai. Kisah lain adalah seperti yang diceritakan oleh Ainul Yaqin, Salah seorang warga RT 28, yang menuturkan bahwa Wasi’an dan istrinya hampir bercerai karena si istri tidak mau bergabung dengan Syafaatush Sholawat. Urusan keluarga yang sesungguhnya masalah privat ini akhirnya menjadi isu publik. Gosip pertengkaran keluarga ini
The Wahid Institute
berkembang menjadi bahan bagi masyarakat untuk melakukan black campaign terhadap ajaran Syafaatush Sholawat. Semakin lama, komunitas Syafaatush Sholawat berada dalam posisi berhadapan dengan masyarakat yang kebanyakan adalah warga NU. “Kalau mereka mengaku Ahlus Sunnah dan bermadzhab Syafi’i, maka mereka harusnya belajar dahulu al-Ta’lim wa al-Muta’allim. Di situ mereka akan tahu mengapa masyarakat ta’dhim (hormat) kepada kiai,” kata salah seorang pengurus Takmir Masjid Al Ikhlas Desa Sukolilo. Pada situasi yang sudah mengkristal inilah masyarakat menganggap ajaran Syafaatush Sholawat menyimpang atau sesat. Atas inisiatif dari Yahya Ubaid, Ketua MUI Kecamatan Jabung, diadakan pertemuan untuk mengetahui ajaran Syafaatush Sholawat yang sudah tersiar di masyarakat sebagai ajaran sesat. Pada 22 Nopember, diadakanlah pertemuan di Kantor Kecamatan Lawang, dengan dihadiri MUI Jabung (Yahya Ubaid), MUI Kabupaten Malang (KH. Mahmud Zubaidi),
Baru setengah jam acara dimulai, tiba-tiba ada amuk massa di dusun bendo, tepat di rumah Miftahul Huda. ”Kontan saja semuanya ke sana” Seratusan warga yang kebanyakan anak muda telah berkumpul di kediaman Huda, melempari bangunan dan membakar sebagian isi rumah sambil meneriakkan takbir.
Kapolsek, Kepala Desa, Camat, dan beberapa tokoh masyarakat. Dari pertemuan itu terjadi diskusi antara Syafaatush Sholawat yang diwakili oleh Nur Hambali (Singosari, Malang) dan M. Fathoni (Jombang) dan MUI yang diwakili oleh Mahmud Zubaidi (Ketua Umum MUI Kabupaten Malang) dan Yahya Ubaid (Ketua MUI Jabung). Dalam diskusi itu muncul perdebatan tentang ajaran Syafaatush Sholawat. Salah satunya adalah Tafsir Shalat yang dalam ajaran Syafaatush Sholawat disebutkan, rakaat shalat memiliki makna sendiri-sendiri. Shalat subuh dua rakaat, dua diartikan sebagai hubungan antara hamba dengan Allah. Shalat maghrib tiga rakaat, tiga diartikan sebagai perjumpaan antara manusia, Muhammad, dan Allah. Sedangkan shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya’ yang bilangan rakaatnya sejumlah empat dimaknai sebagai hubungan antara hamba, Allah, rasul dan malaikat. Pemaknaan shalat tersebut di atas
termaktub dalam kitab Beribadah dengan Berbekal al-Quran dan Sunnah yang menjadi buku pegangan kelompok ini. Penafsiran tersebut dipertanyakan banyak kalangan. Salah satunya Munadi (pengurus Bahtsul Masa’il PC NU Kabupaten Malang), menanyakan itu dasarnya apa? Mengambil dari kitab apa? Perwakilan Syafaatush Sholawat tidak bisa menjawab karena mereka hanya meneruskan dari pusat. Mereka berjanji akan menghadirkan Abi Yatim, Pimpinan Pusat Syafaatush Sholawat pada pertemuan berikutnya pada 27 Desember 2007, tapi ternyata yang dijanjikan tidak datang. Pertemuan berikutnya, menghasilkan surat kesepakatan bermaterai Rp 6.000,00 yang ditandatangani tiga orang dari pihak Huda Cs, meliputi Miftahul Huda, Hambali dan Zainal Arifin. Hasil kesepakatan ini menyebutkan, untuk sementara kegiatan di rumah Miftahul Huda dihentikan sampai ada kejelasan dari pihak terkait. Beberapa tokoh masyarakat di tingkat kecamatan menyimpan surat kesepakatan ini sebagai bukti agar kesepakatan tidak dilanggar lagi. Selain itu, pihak desa dan keluarga Miftahul Huda melakukan pendekatan persuasif agar kesepakatan ini tidak dilanggar lagi. Namun, tampaknya Huda cs tidak bergeming. Kegiatan terus berlanjut, sehingga Yahya Ubaid menfasilitasi pertemuan yang kedua kalinya di kantor kecamatan pada 27 Desember 2007. Pertemuan ini dihadiri oleh AKP Agus Guntoro (Kapolsek Jabung), Suharno (Camat Jabung), KH. Mahmud Zubaidi, Ali Mashar (Kepala Desa Sukolilo), Samsul Hadi (Ketua MWC NU Jabung) dan Ainul Yakin, tokoh masyarakat yang kebetulan menjadi anggota DPRD dari PKB dapil Jabung, dan beberapa tokoh masyarakat. Acara ini juga dihadiri ratusan warga yang ingin mengetahui hasil keputusan terakhir akan keberadaan aliran ini. Baru setengah jam acara dimulai, tibatiba terjadi amuk massa di dusun Bendo, tepat di rumah Miftahul Huda. “Saya waktu itu duduk di dekat pak Kapolsek. Tiba-tiba kapolsek ditelpon anak buahnya disuruh ke lokasi. Kontan saja semuanya ke sana,” terang Kepala Desa Sukolilo. Seratusan warga yang kebanyakan anak muda telah berkumpul di kediaman Huda dengan melempari bangunan dan membakar sebagian isi rumah. Sebelum merusak padepokan itu, warga meminta orang yang berada di dalam bangunan untuk keluar. Keempat orang yang terdiri atas istri dan dua anak Huda, beserta seorang kerabat keluar menyelamatkan diri. Gerombolan massa itu kemudian melempari bangunan itu dengan meneriakkan takbir. Dalam pengakuan kepala desa maupun tokoh masyarakat, aksi perusakan itu murni
kasus-kasus bulan ini
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008
Kronologi Pengrusakan ... spontanitas warga karena tidak sabar dengan proses dialog dan mediasi yang sudah dilakukan setahun lebih. Polisi langsung mengamankan pengikut Syafaatush Sholawat, baik yang ada di lokasi kejadian maupun yang ikut dalam pertemuan. Dengan menggunakan empat kendaraan kepolisian, 18 pengikut Syafaatush Sholawat diamankan dan langsung diungsikan ke Polres Kepanjen. Sejak itu, kasus ini kemudian ditangani Polres Kepanjen. Aiptu Nanang, Kanit Intel
Kecamatan Jabung, menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan dari MUI Kabupaten Malang. MUI Malang masih mempelajari 7 kitab pedoman yang dipakai oleh jamaah Syafaatush Sholawat. AKP Sunardi menyatakan, kasus ini tidak bisa dinilai sebagai tindakan kriminal. Dalam hal ini, kepolisian lebih menekankan aspek perlindungan dan keamanan. Padahal sebenarnya jika dilihat dengan adanya perusakan milik orang lain, ini jelas melanggar hukum pidana. Untuk menenangkan warga, kepolisian memeriksa 18 pengikut Syafaatush Shola-
wat di Polres Kepanjen. Namun sebenarnya mereka tidak disidik tapi diamankan. Darto, seorang staf Reskrim yang menemani para korban, sempat berdiskusi panjang dengan para jamaah. Dalam kesimpulan pria paruh baya ini, apa yang diajarkan oleh kelompok ini tidak ada yang berbeda dengan ajaran pada umumnya. Cuma mereka lebih menekankan pada aspek spiritualitas. Darto melihat kasus ini adalah sebuah kesalahpahaman. Warga tersinggung, sementara jamaah Syafaatush Sholawat kurang rendah hati dalam bersosialisasi. ■
6. Ketua MUI Serang Minta Maaf kepada Kaum Nahdliyin
K
10
etua MUI Serang KH. A Syafe`i AN meminta maaf kepada kaum Nahdliyin khususnya di Kabupaten Serang dan Provinsi Banten atas surat edaran MUI Serang No 122/MUI-Srg/XI/2007 tanggal 21 November 2007. Dalam surat edaran itu, MUI Serang menyebarkan fatwa yang mengatasnamakan ulama NU Jombang yang ternyata itu fatwa palsu. Fatwa itu berisi berbagai larangan dalam shalat, seperti larangan membaca ushalli (niat shalat) dengan suara keras, tahlilan, doa qunut dan berbagai kegiatan ibadah lain yang umumnya biasa dilakukan warga NU. ”Saya memohon maaf atas keteledoran dan kecerobohan menyebarluaskan surat edaran itu, sehingga membuat resah umat Islam terutama kalangan Nahdlatul Ulama,” kata KH. Syafei, kepada sejumlah wartawan dan beberapa pengurus NU Kota Serang di Kantor MUI Kabupaten Serang, Jum`at (25/1/08). KH. Syafei yang dikenal sebagai tokoh PERSIS (Persatuan Islam) itu menjelaskan, sekitar November 2007 ia memperoleh surat edaran fatwa ulama NU Jombang dalam berbagai ibadah dan amalan dari salah seorang pengurus MUI Kabupaten Serang yang didapatnya dari sebuah buletin. Selanjutnya, surat edaran fatwa yang mengatasnamakan ulama NU Jombang, dan belakangan diketahui palsu itu, malah disebarluaskan melalui surat edaran MUI Kabupaten Serang.
Akibatnya, berbagai kalangan jemaah pengajian terutama di kalangan warga NU sebagaimana dikatakan Ketua Pengurus Cabang NU Kota Serang, Matin Syarkowi, resah dengan adanya selebaran tersebut serta mempertanyakan kebenarannya. Sehingga, beberapa organisasi di bawah NU meminta Ketua MUI Serang menarik kembali edaran tersebut dan meminta maaf. Permintaan penarikan surat dan permintaan maaf itu, juga datang dari Pengurus Wilayah NU Provinsi Banten yang ditandatangani Ketua Syuriah Pengurus Wilayah NU Provinsi Banten KH. Ahmad Syatibi. Sebab, kata dia, fatwa palsu yang pernah beredar pada 2003 itu, sudah diklarifikasi PBNU kepada ulama-ulama NU Jombang yang namanya tercantum dalam selebaran tersebut. Ulama dan kyai tersebut mengaku tidak pernah mengeluarkan fatwa itu. Bahkan, beberapa diantara ulama dan kyai yang tercantum dalam edaran itu sudah meninggal dunia jauh sebelum fatwa itu dikeluarkan. ”Surat edaran fatwa itu palsu dan tidak jelas sumbernya. Saya kira tujuannya ingin memojokan NU dan memecah belah umat Islam,” kata Matin Syarkowi (Antara, 25/1/08). Bukan tidak mungkin, edaran-edaran tidak jelas seperti ini memang sengaja dipakai untuk mengadu domba dan mengaduk-aduk NU. Sayangnya lagi, lembaga seperti MUI (Serang) The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi VI, Januari 2008 ■
Matriks Kasus Keagamaan Desember 2007-Januari 2008 No
Tanggal dan Waktu
Peristiwa
Lokasi
Pelaku
Korban
Dampak
1
18 Desember 2007
Penyerangan terhadap Ahmadiyah
Manislor Kuningan
Gerakan Anti Ahmadiyah (GERAH) dan Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) Indramayu
Warga Ahmadiyah
Masjid dan properti Warga Ahmadiyah disegel dan dirusak massa
2
15 Januari 2008
Teror terhadap Ahmadiyah
Bandung
Aliansi Umat Islam Jawa Barat
Warga Ahmadiyah
Warga Ahmadiyah merasa terteror
3
6 Desember 2007
Aliran Shalat Berubah Arah
Rembang
Kandepag dan MUI Rembang
Anggota Shalat Berubah Arah
Anggota Shalat Berubah Arah tidak bisa bebas mengekspresikan keyakinanya yang tersebar di beberapa daerah di Kragan Rembang
4
17 Desember 2007
Penandatanganan tobat tiga anggota al-Qiyadah alIslamiyah
Wonosobo
Wakapolres Wonosobo Kompol Partono, MUI Jateng, MUI Wonosobo, Kejaksaan, Kesbanglinmas, beberapa pejabat Depag dan perangkat desa
Tiga orang anggota alQiyadah alIslamiyah
Memprakarsai prosesi pindah keyakinan yang mewajibkan para pengikut QI harus melepas keyakinannya
5
13 Desember 2007
Penyerangan Ponpes Miftahul Huda
Serang
Sekelompok massa dan KH. Muhtadi Dimyati
Nur Syahidin dkk
Ponpes dan properti yang ada di dalamnya rusak
6
Desember 2007
Intimidasi terhadap Warga Syiah
Pasuruan
MUI dan beberapa kelompok mas yarakat
Warga Syiah Pasuruan
Warga Syiah Pasuruan merasa tidak aman karena teror dan kampanye anti Syiah terus dilakukan dan kian meluas
7
13 Januari 2008
Penyerangan dan Pembubaran Pengajian AsSyuro Jemaah Ahlul Bait (Syi’ah)
Jl. Saleh Sungkar, Kebon Roek Kec. Ampenan Kota Mataram
Masyarakat dari kampung sekitar
Jamaah peng ajian Ahlul Bait.
Pengajian dihentikan dan warga Syiah diteror
8
16 Januari 2008
Penyerangan dan Pembakaran Pure Sangkareang.
Desa Keru, Kec. Keru Lombok Barat – NTB
Massa tanpa identitas. Sekitar 100-an orang yang meneriakkan takbir dan kata kata jihad.
Pengurus Pura, Panitia Renovasi dan panitia Pelaksanaan Pukawali dan Umat Hindu di NTB.
Sejumlah ornamen seperti patung tempat pemujaan hancur, kelambu dan kain sembahyang terbakar nyaris habis.
Ketua MUI Serang ... tanpa melakukan tabayyun (klarifikasi) dan penelitian, langsung mengedarkan fatwa tidak The Wahid Institute
jelas itu. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman yang ada di kepala MUI Serang sama dengan isi dari fatwa palsu itu. ■
11
Analisis
Dari laporan edisi ini, ada beberapa hal yang penting untuk dianalisis: 1�� Isu Ahmadiyah agaknya akan masih terus terjadi. Kekerasan di Manis Lor (Kuningan), Indramayu, Bandung, Tasikmalaya, Majalengka dan seterusnya akan senantiasa mewarnai kehidupan kelompok Ahmadiyah. Keputusan Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah bukan organisasi terla rang, bukanlah akhir dari kekerasan yang menimpa kelompok itu. Meski untuk sementara keputusan Bakorpakem cukup melegakan, namun desakan kelompok-kelompok yang menginginkan Ahmadiyah dibubarkan dan dinyatakan sebagai aliran terlarang masih cukup kuat. Karena sifatnya masih extra-judicial, maka keputusan ini masih sangat mungkin untuk dievaluasi karena desakan kelompok-kelompok yang anti Ahmadiyah. Apalagi MUI melalui tokohnya KH. Ma’ruf Amin, disamping menolak keputusan itu, juga mengatakan tidak bertanggungjawab atas dampak dari keputusan itu. Pernyataan Ma’ruf ini bisa multi-interpretasi. 2�� Meski keputusan Bakorpakem cukup baik, tapi kita masih bisa mempersoalkan argumen yang dipakai. Bakorpakem masih menggunakan agama sebagai standar. Hal ini bisa dilihat dari argumen Bakorpakem yang menyatakan Ahmadiyah tidak dilarang karena 12 pernyataannya tidak ada yang menyimpang dari Islam. Argumen ������������������������������������������������������� ini sebenarnya masih menyimpan masalah, karena justru konstitusi Indonesia, sama sekali tidak menjadi dasar keputusan Bakorpakem. 3�� Isu aliran sesat dan kekerasan masih akan terus menjadi problem dalam masyarakat. Sepuluh panduan untuk mengidentifikasi kelompok sesat yang dikeluarkan MUI masih akan dijadikan dasar oleh masyarakat untuk menghakimi yang lain. Bila hal ini dibiarkan terus terjadi, maka akan menimbulkan iklim kehidupan beragama yang tidak sehat dan mungkin penuh kekerasan. ��� Khusus menyangkut permohonan maaf MUI Serang kepada warga NU, hal ini penting untuk mendapat perhatian. Bukan tidak mungkin, penyerangan kelompok Islam tertentu terhadap NU akan dilakukan dengan modus seperti fatwa ulama “palsu” dari Jombang. Sayangnya, banyak orang “termakan” dengan cara-cara seperti ini. Ini bukan semata-mata problem NU, tapi problem kehidupan kebangsaan secara keseluruhan. Jika MUI saja, dalam hal ini ketua MUI Serang, tidak melalui tabayyun, mencari kebenaran informasi untuk mengeluarkan fatwa, mudah terprovokasi, apalagi masyarakat awam. ■
Rekomendasi Berdasar uraian di atas, hal penting yang harus mendapat perhatian serius adalah: 1�� Keputusan terhadap Ahmadiyah, meskipun bersifat extra-judicial, bisa sedikit melegakan. Namun demikian, anggota Bakorpakem agaknya mendapat tekanan yang cukup kuat dari kelompok anti Ahmadiyah. Dengan argumen-argumen keagamaan, kelompok ini mendesak pemerintah melalui Bakorpakem agar Ahmadiyah dibubarkan. Dalam kaitan ini kelompok civil society yang berpegang pada konstitusi perlu mem-back up Bakorpakem agar mereka tidak merasa sendirian. 2�� Perlu penguatan pengetahuan dan pemahaman kepada aparat pemerintah, pemimpin masya rakat dan terutama anggota MUI, tentang konstitusi, HAM, dan hukum internasional. Hal ini penting agar mereka tidak ambigu dan semena-mena dalam menegakkan hukum dan mengambil keputusan yang berakibat langsung kepada publik. 3�� Kelompok mayoritas Islam, terutama NU, perlu mewaspadai kemungkinan dijadikannya NU sebagai tunggangan kelompok fundamentalis. Dalam banyak kasus NU dijadikan juru bicara dan eksekutor untuk menyerang kelompok lain, sementara gagasan dan inisiasinya dipersiapkan kelompok fundamentalis tersebut. ■ Suhendy - Cianjur, Marzuki Rais - Cirebon, Samsu Rijal - Makassar, Ahmad Zainul Hamdi, Yuni - Surabaya, Alamsyah M. Dja’far, Rumadi - Jakarta, Yusuf ��������������� Tantowi Mataram������������������������������������� , Jayadi - Jawa Timur, Damanhuri, M. Iqbal, ��������������������������������� dan Rasyidin - ����������� Jawa Barat