BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Stigma pengkafiran (takfiri) selalu menempel dalam sejarah dan dinamika Ahmadiyah. Perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)1 --dengan jaringan dari tingkat lokal, nasional hingga internasional-- telah menyita perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI) mulai dari tingkat Pusat, Daerah, sampai Desa. Pada tahun 2005, MUI telah mengeluarkan fatwa2 yang sangat tegas --sebuah pengulangan terhadap fatwa tahun 1980--, bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. Fatwa MUI ini memperoleh dukungan dari sejumlah aktivis Muslim yang berafiliasi pada organisasi Islam arus utama (mainstream Islam), seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bahkan fatwa tersebut mendapat dukungan sangat kuat dari kelompok-kelompok Islam garis keras, baik di tingkat lokal maupun nasional yang menuntut pembubaran Ahmadiyah.3 Sebaliknya, hak
1
Fokus kajian ini adalah Ahmadiyah aliran Qadian dengan organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), bukan Ahmadiyah aliran Lahore dengan organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagaimana dijelaskan di sub bab belakang. 2 Kajian tentang fatwa MUI ditulis oleh Mohammad Atho Mudzhar, 1993, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS; Nadirsyah Hosen, 2004, “Behind the Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)” dalam Journal of Islamic Studies, Vol. 15, No. 2, 2004, Oxford Centre for Islamic Studies; Moch Nur Ichwan, 2005, “Ulama‟, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Soeharto,” dalam Islamic Law and Society, Vol. 12 No. 1, 2005, Brill Leiden and Boston, hlm. 45; dan MB. Hooker, 2003, Islam Mazhab Indonesia, Bandung: Mizan. 3 Berdasarkan pengamatan penulis dalam rentang waktu antara 2005 (tahun dikeluarkannya fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah) sampai 2015.
1
berkeyakinan bagi warga Ahmadiyah sangat jelas dijamin oleh konstitusi.4 Seiring dengan itu, aksi praktis memunculkan gelombang kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di sejumlah daerah. Minggu berdarah5 di Cikeusik --yang menewaskan tiga pengikut Ahmadiyah-- adalah ledakan bom waktu dari safari intimidasi yang sebelumnya sudah banyak terjadi di banyak tempat, seperti terjadi di kantong (enclave) Ahmadiyah di desa Maduqa,6 Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang nyaris tidak pernah sepi dari intimidasi sejak tahun 2002. Mereka mengalami apa yang disebut oleh Barkan dan Snowden sebagai kekerasan kolektif (collective violence).7
Fenomena ini juga beriringan dengan tumbuhnya
fundamentalisme Islam trans-nasional pasca Orde Baru. Sebagai enclave Ahmadiyah, mayoritas warga Maduqa telah lama menjadi pengikut Ahmadiyah.8
Dalam sejarahnya, kepala desa Maduqa dijabat oleh
aktivis Ahmadiyah, dan keberhasilan pembangunannya telah diakui oleh Pemerintah setempat, yang ditandai dengan perolehan sejumlah penghargaan. Meskipun demikian, mereka tidak terlepas dari fatwa sesat serta beragam tekanan, baik dari ormas keagamaan, maupun aparat pemerintah.9
4
Lihat Pasal 28 dan 29 UUD 1945; dan kovenan internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM): www.kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.pdf; Ekosob.pdf (akses 22-09-2013). 5 Tragedi sadis ini terjadi pada 06-02-2011 di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Lihat regional.kompas.com; hukum.kompasiana.com; republika.co.id; mediaindonesia.com (akses 08-02-2011). 6 Maduqa merupakan nama samaran untuk desa tempat penelitian ini dilakukan. 7 Kekerasan kolektif merupakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bersama-sama yang melibatkan banyak pelaku, bukan hanya dilakukan oleh satu atau dua orang. Lihat Steven E. Barkan dan L. Snowden, 2001, Collective Violence, Boston: Allyn and Bacon. 8 Djohan Effendi, 1990, Ahmadiyah Qodyan, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an Vol. 1, No. 4, Thn. 1990, hlm. 98; dan Wawancara dengan NHL, Pimpinan Jemaat (04-03-2011). 9 Arif Mustafa, dkk., 2005, Ahmadiyah Keyakinan yang Digugat, Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo, hlm. 112.
2
Menyusul fatwa MUI tersebut, pada 9 Juni 2008 terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri (Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung), mengenai Ahmadiyah. SKB ini melarang Ahmadiyah mendakwahkan sebagian ajarannya yang dinilai “menodai Islam.“ SKB ini merupakan penguatan sekaligus perluasan dari sejumlah SKB yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah yang di wilayahnya terdapat peningkatan aktifitas dari Ahmadiyah, seperti terjadi di Maduqa, Jawa Barat. Ahmadiyah pada dasarnya menolak SKB tersebut karena sangat membatasi ruang aktualitas mereka, yang sejatinya telah dijamin oleh konstitusi. Sikap Ahmadiyah didukung oleh para aktivis HAM dan kalangan muslim progresif. Di sisi lain, SKB ini memperoleh dukungan MUI, muslim konservatif dan kelompok Islam garis keras.10 Dalam situasi semacam itu, Ahmadiyah dan simpatisannya berharap kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Undang-Undang (UU) No.1/PNPS/1965. UU ini seringkali digunakan oleh pemerintah (pusat dan daerah) sebagai rujukan penerbitan SKB untuk mengontrol Ahmadiyah. Namun demikian, upaya dari sejumlah aktivis HAM yang mempelopori judicial review
10
Pertikaian antar berbagai kelompok masyarakat menemukan momentumnya pada insiden Monas 1 Juni 2008, tepat pada hari kelahiran Pancasila. Insiden Monas merupakan istilah yang populer digunakan oleh media mengenai serangan yang menimpa "Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan" (AKKBB). Insiden ini bermula ketika AKKBB akan menggelar aksi di Monas Jakarta, namun belum lama aksi dimulai, kumpulan massa AKKBB diserang oleh massa beratribut Front Pembela Islam (FPI). Tercatat 14 orang terluka dan sembilan di antaranya dirujuk ke rumah sakit. Aksi yang sudah dikoordinasikan dengan polisi ini bubar tercerai berai. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira membantah polisi telah melakukan pembiaran pada aksi yang dikawal oleh polisi ini. Lihat liputan harian Kompas, Selasa 3 Juni 2008, “Negara Tidak Boleh Kalah.“
3
terhadap UU tersebut menemui kekecewaan, karena MK (2009) tidak mengabulkannya.11 Dengan memperoleh tekanan dari sejumlah penjuru, baik yang bersandar pada fatwa agama maupun politik hukum, Jemaat Ahmadiyah tidak menyerah. Jemaat justru mendapat energi melimpah untuk melakukan dekonstruksi terhadap wacana utama yang menganggapnya sesat. Sebagai kelompok minoritas yang telah mewujud sebagai epistemic community,12 Jemaat tidak kenal lelah dalam menghadapi kompleksitas relasi kuasa yang mengitarinya. Sikap Jemaat Ahmadiyah yang pantang menyerang ini merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Mereka tidak gentar menghadapi stigma dan represi yang dapat mengancam keselamatan mereka. Warga Jemaat rela menyerahkan jiwa dan raga mereka demi membela dan menegakkan ajaran Ahmadiyah yang telah diwariskan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
B. Masalah Penelitian Kajian ini berusaha menjawab pertanyaan utama sebagai berikut: Bagaimana cara Jemaat Ahmadiyah untuk mendudukkan diri agar tetap eksis dalam kehidupan masyarakat meskipun mereka mengalami stigmatisasi dan represi dari kekuatan eksternal (Islam arus utama)?.
11
Lihat Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 di www.mahkamahkonstitusi.go.id/ putusan/2010.pdf (akses 31-01-2011). Yudisial Review diajukan oleh 11 pemohon yang terdiri dari 7 organisasi dan 4 perorangan yaitu: Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI, Abdurrahman Whid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. 12 Konsep ini merujuk pada komunitas yang menawarkan kekhasan sebuah struktur pengetahuan (structure of knowledge) atau yang disebut Foucault sebagai formasi wacana (discourse formation).
4
Pokok pertanyaan tersebut di atas, diperinci dengan pertanyaan empiris berikut: 1. Bagaimana bentuk represi yang dihadapi oleh Jemaat Ahmadiyah? 2. Bagaimana strategi Jemaat Ahmadiyah dalam menghadapai represi tersebut?.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian 1. Memahami bentuk-bentuk represi yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah. 2. Memahami ragam strategi perlawanan Jemaat Ahmadiyah dalam menghadapi represi kekuatan eksternal. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis: studi ini memperkuat kajian tentang keunikan minoritas muslim dengan teori perlawanan dan model analisis wacana kritis yang didukung dengan teori yang relevan. Studi ini memperkaya kajian mengenai muslim sub-altern yang dimarginalkan sehingga berguna untuk mengimbangi dominasi studi Islam arus utama di Indonesia. 2. Manfaat praktis: memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah dan lembaga yang terkait dalam usaha mengatur keragaman masyarakat, dan jaminan atas hak warga negara Indonesia dalam berserikat dan berpendapat, meminjam istilah Amartya Sen, individual freedom as a social commitment (kebebasan individu sebagai komitmen sosial).13
Secara praktis-akademik,
studi ini memberikan model pemaknaan “sosiologi pluralitas” dengan
13
Amartya Sen, 2000, Development as Freedom, New York: Anchor Books, hlm. 282.
5
menawarkan pemaknaan inklusif dalam memandang minoritas sebagai bagian dari warga negara yang beradab.
D. Ahmadiyah dalam Ragam Kajian Dalam konteks makro-internasional, Ahmadiyah ditulis secara lengkap oleh Valentine14 yang mengulas mengenai sejarah, ajaran, keyakinan, dan gaya hidup Ahmadiyah, khususnya aliran Qadian. Ia cukup simpatik dalam melihat Ahmadiyah Qadian dengan memandangnya sebagai kelompok reformis Islam yang didirikan pada abad kesembilan belas di India, yang saat ini dipercaya oleh jutaan
pengikut
di
seluruh
dunia.
Kontroversinya
telah
menyebabkan
penganiayaan hebat, terutama di Pakistan yang pemerintahannya telah menyatakan
Ahmadiyah
sebagai
minoritas
non-Muslim.
Valentine
mengeksplorasi keyakinan yang dianut oleh Ahmadiyah, termasuk pernyataannya bahwa Yesus bukannya mati di kayu salib (seperti kepercayaan Kristen) atau naik ke surga setelah penyaliban (sebagaimana kepercayaan Muslim Sunni), namun Yesus melarikan diri dari Roma dan menetap di Srinagar, ibukota Kashmir yang diyakini Ahmadiyah sebagai lokasi makam Kristus. Selain itu, Valentine membahas strategi penyebaran Ahmadiyah di seluruh dunia, peran masjid dan madrasah, posisi perempuan dan ajaran jihad damai. Studi Valentine melihat Ahmadiyah dari pusat (centre) sehingga belum memperhatikan Ahmadiyah dari
14
Simon Ross Valentine, 2008, Islam and the Ahmadiyya Jama'at: History, Belief, Practice, London: Hurst. Lihat juga Spencer Lavan, 1970, The Ahmadiyah Movement its Nature and its Role in Nineteenth and Early Twentieth Century India, Thesis (Ph. D.), McGill University; Margaret Blood, 1974, The Ahmadiyah in Indonesia: Its Early History and Contribution to Islam in The Archipelago, Honours Sub-thesis, Australian National University.
6
pinggiran (peripheral, non-centre), seperti Indonesia yang jauh dari kedudukan khalifah di London Inggris. Studi sejarah Ahmadiyah di Indonesia ditulis cukup lengkap
oleh
Zulkarnain.15 Disertasi yang kemudian dibukukan ini merupakan karya yang menulusuri sejarah kedatangan dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia periode 1920-1942. Studi ini memberi informasi penting mengenai metode dan daerah penyebaran Ahmadiyah Indonesia periode awal. Namun demikian, studi ini masih banyak menggunakan sumber-sumber Ahmadiyah Lahore daripada Qadian.16 Selain itu, fenomena Ahmadiyah kontemporer dan praktek Ahmadiyah di tingkat lokal masih luput dari kajian Iskandar. Seakan melengkapi kekurangan Zulkarnain, sejarah Ahmadiyah Qadian dikaji secara khusus oleh Sofianto, yang memilih Jawa Barat sebagai fokus
15
Iskandar Zulkarnain, 2005, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LKiS. Dari sejumlah literatur yang tersedia, kajian Zulkarnain tentang sejarah Ahmadiyah di Indonesia merupakan karya yang paling detail dan lengkap. Disertasi yang telah dibukukan ini dipuji oleh Azyumardi Azra, “Inilah buku pertama dalam bahasa Indonesia yang secara lengkap membahas gerakan Ahmadiyah di Indonesia, terutama dari sudut pandang sejarah.” 16 Catatan kritis perlu diberikan terhadap disertasi Zulkarnain, setidaknya pada tiga hal, yaitu mengenai ekplorasi kepustakaan, prediksi perkembangan Ahmadiyah, dan kesimpulan. Pada Bab II poin A.1. membahas “Deskripsi Kepustakaan tentang Ahmadiyah di Indonesia”, khususnya tentang “Tulisan-Tulisan dari Kalangan Ahmadiyah yang Berupa Buku.” Zulkarnain menyebut 11 buku tentang Ahmadiyah yang ditulis oleh kalangan Ahmadiyah sendiri. Dari 11 buku tersebut, hanya 2 buku yang ditulis oleh Ahmadiyah Qadian, selebihnya (9 buku) ditulis oleh Ahmadiyah Lahore. Buku Ahmadiyah Lahore cenderung diberi deskripsi dan komentar cukup panjang, sementara buku Ahmadiyah Qadian diberi deskripsi dan komentar relatif pendek. Dilihat dari segi jumlah pilihan buku, deskripsi dan komentar yang diberikan Zulkarnain tidak seimbang dalam melakukan studi perbandingan, mengingat Ahmadiyah Qadian dikenal produktif dalam tradisi tulis. Hanya dua buku yang disebutkan Zulkarnain dalam eksplorasi kepustakaan tentang Ahmadiyah Qadian. Demikian juga tingkat perkembangan Ahmadiah Qadian di luar prediksinya. Di bagian kesimpulan tidak ditemui kritik apapun terhadap fatwa MUI sehingga memberi kesan mengenai persetujuannya. Zulakarnain menyimpulan: “Meskipun sudah ada fatwa dari MUI, namun sampai saat ini Ahmadiyah masih tetap eksis walaupun kurang berkembang, karena tindak lanjut dari pemerintah tentang fatwa itu belum ada.”
7
kajian.17 Disertasi yang dipertahankan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini menggambarkan proses penyebaran ideologi dan respon masyarakat dalam rentang waktu 1931-2000. Karya ini memberi gambaran yang cukup lengkap mengenai sejarah dan perkembangan Ahmadiyah di wilayah Jawa Barat. Sayangnya, disertasi ini hanya sekilas menyebut Ahmadiyah desa Maduqa Jawa Barat, sehingga wacana internal Maduqa yang dinamis masih luput dari pengamatan Sofianto. Kajiannya perlu dilanjutkan dengan studi yang lebih spesifik untuk Jemaat Maduqa. Secara sosiologis, menurut van Bruinessen,18 Ahmadiyah merupakan splinter group dan salah satu bentuk sekte dalam Islam. Ia menyamakan sekte dengan gerakan sempalan (splinter group) yang dilawankan dengan kelompok ortodoks atau keagamaan mainstream,
seperti NU dan Muhammadiyah.
Ahmadiyah Indonesia disebutnya sebagai sekte reformis, yang belakangan menjadi introversionis dan menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Kajian van Bruinessen menggeneralisir Ahmadiyah di Indonesia, kurang menyentuh aspek variasi dan dinamika lokal yang terus berkembang. Tulisan ini
17
Kunto Sofianto, 2011, Gerakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat 19312000: Penyebaran Ideologi dan Respons Masyarakat, Disertasi, Universiti Kebangsaaan Malaysia (UKM). 18 Martin van Bruinessen, 2004, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, dalam Asep Gunawan (ed.) Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: Srigunting Grafindo Persada, hlm. 206-236. Kajian mengenai sekte, lihat juga tulisan Max Weber, 1988, “Sekte-sekte Protestan dan Semangat Kapitalisme,” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, hlm 41-78; E. Troeltsch, 1972, “Medieval Christianity,” dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion, Canada: Penguin Education, hlm. 115-126; B.R. Wilson, 1972, “A Typology of Sect,” dalam Roland Robertson (ed.), Sociology of Religion, Canada: Penguin Education, hlm. 361-383; B.R. Wilson, 1973, Magic and The Millenium, New York: Happer & Row Publishers, hlm 1-69. Kajian mengenai ortodoksi lihat Khaled M. Abou El- Fadl, 2004, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi.
8
dipublikasikan pada awal 1989, sehingga perkembangan dan dinamika baru Ahmadiyah belum tersentuh. Burhani19 menulis disertasi Ahmadiyah Qadian dengan menjelaskan matriks penganiayaan terhadap komunitas tersebut di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto. Dengan pendekatan religious studies yang didukung kepustakaan yang luas, kajian ini menunjukkan bahwa aliansi antara otoritas keagamaan dan kekuasaan negara sering menjadi faktor yang mendasari penganiayaan kelompok yang dianggap sesat. Dalam berurusan dengan penganiayaan, Ahmadiyah memperoleh sebagian besar inspirasi tidak dari teologi Islam, tetapi dari teologi dan sejarah Kristen. Ahmadiyah percaya bahwa cara terbaik untuk menghadapi penganiayaan adalah dengan jalan menerimanya. Ini adalah salah satu alasan mengapa Ahmadiyah bisa menghadapi penganiayaan dengan senyum, tidak dengan menangis. Ini juga salah satu alasan mengapa Ahmadiyah telah mempromosikan ajaran perdamaian dan politik non-pembalasan yang diringkas dalam moto terkenal love for all, hatred for none. Penganiayaan dapat diartikan sebagai ujian iman mereka, media pendidikan, dan sebagai bukti kenabian Ghulam Ahmad, karena pengikut dari setiap nabi sejak nabi Adam akan diuji oleh Tuhan. Oleh karena itu, pengikut Ghulam Ahmad tidak akan dibebaskan dari ujian, yang dimaksudkan untuk membedakan antara orang yang percaya pada 19
Ahmad Najib Burhani, 2013, When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the Discourse on Heresy in Indonesia, dissertation, University Of California Santa Barbara. Burhani menyimpulkan: In dealing with continuous persecution, the Ahmadiyya draw most of the inspirations not from Islamic theology, but from Christian theology and history. Lihat juga Ismatu Ropi, 2010, “Islamism, Government Regulation, and the Ahmadiyah Controversies in Indonesia,” dalam Journal Al-Jami‟ah Vol. 48 No. 2; Ida Novianti, 2006, Kenabian Mirza Ghulam Ahmad Melacak Akar Pemikiran Ahmadiyah, Purwokerto: STAIN Purwokerto Press; Wawan H. Purwanto, 2008, “Menusuk” Ahmadiyah, Jakarta: Cipta Mandiri Bangsa Press.
9
kebenaran dan orang yang biasa saja atau bahkan munafik. Akibatnya, warga Ahmadiyah harus melihat penganiayaan sebagai media pendidikan untuk meningkatkan iman mereka. Seseorang yang meninggal karena membela imannya akan diberikan tempat tertinggi di hadapan Allah. Paradigma kesyahidan dalam gerakan ini adalah Abdul Latif dan Abdur Rahman yang wafat di Afghanistan di zaman Ghulam Ahmad. Keduanya tidak bersedia untuk melepaskan keyakinan mereka bahwa Ghulam Ahmad adalah Mesiah yang dijanjikan. Ini menjadi alasan pemerintah Afghanistan untuk menyiksanya sampai mati. Kegigihan keduanya telah dipuji oleh Ghulam Ahmad sebagai model yang harus ditiru oleh pengikut Ahmadiyah lainnya. Kesimpulan yang diberikan Burhani bercorak teologis historis, cenderung “romantis” dalam melihat inspirasi pertahanan Ahmadiyah Indonesia dari afinitasnya dengan Kristen di masa lalu. Berbeda dengan studi tersebut, kajian ini lebih melihat perlawanan komunitas Ahmadiyah Maduqa dalam menghadapi musuh-musuhnya dengan beragam cara, baik fisik maupun non fisik. Kajian spesifik mengenai sejarah tafsir Ahmadiyah ditulis oleh Ichwan yang membandingkan perbedaan respon ulama Indonesia dan Mesir terhadap terjemahan dan tafsir Ahmadiyah, The Holy Qur‟an, yang ditulis Muhammad Ali, seorang intelektual Ahmadiyah Lahore.20 Jika di Mesir, kitab tersebut memperoleh hujatan dari para ulama, sebaliknya di Indonesia, kitab tersebut justru memperoleh sambutan yang simpatik dari para intelektual. The Holy Qur‟an merupakan referensi utama Hazairin, Soekarno, Agus Salim, dan 20
Moch. Nur Ichwan, 2001, “Differing Responses to an Ahmadi Translation and Exegesis, The Holy Qur‟an in Egypt and Indonesia,” Archipel 62 Paris, hlm 143-161.
10
Tjokroaminoto. Bahkan Tjokroaminoto menerjemahkan The Holy Qur‟an dalam bahasa Melayu. Sebuah ironi sejarah terjadi, bahwa ketika di zaman pergerakan, kitab tafsir Ahmadiyah dijadikan rujukan oleh kaum intelektual Indonesia, sementara di era kontemporer keberadaan Ahmadiyah dijadikan sasaran fatwa MUI sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Fenomena ini menandai surutnya intelektualisme Islam yang melanda sebagian ulama Indonesia. Kajian Beck21 dalam jurnal Bijdragen secara khusus menganalisis terpisahnya Ahmadiyah dari Muhammadiyah. Dua ormas keagamaan yang namanya mirip ini pada mulanya bagaikan saudara kembar yang berpadu dalam membendung arus kristenisasi di Indonesia. Pada awalnya, rangkap jabatan bukan peristiwa asing bagi pimpinan kedua organisasi ini. Pada 1929, hasil Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo menandai putusnya tali persaudaraan kedua gerakan tersebut. Perbedaan penafsiran dalam beberapa aspek keagamaan dan asas monoloyalitas Muhammadiyah menandai putusnya hubungan itu. Dalam konteks Indonesia kontemporer, sikap sejumlah pimpinan Muhammadiyah yang mendukung fatwa MUI 2005 tentang kesesatan Ahmadiyah, selaras dengan sejarah pertikaian di masa lalu. Ahmadiyah menjadi salah satu topik bahasan Mudzhar22 dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurutnya, fatwa MUI 1980 tentang kesesatan Ahmadiyah Qodian tersebar luas di masyarakat, tetapi tidak menimbulkan pertentangan yang
21
Herman L. Beck, 2005, “The Rupture Between The Muhammadiyah and The Ahmadiyya,” Jurnal Bijdragen Leiden, hlm. 210-246. 22 Mohammad Atho Mudzhar, 1993, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS.
11
tinggi. Kesimpulan Mudzhar (pada tahun 1980) berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada tahun 2005 dan era sesudahnya. Fatwa yang terakhir ini tidak hanya tersebar luas di masyarakat, tetapi sekaligus mengakibatkan pertentangan yang sangat tinggi di antara golongan umat Islam. Kajian Mudzhar memberi kesan tentang penerimaan fatwa MUI oleh masyarakat, namun tidak banyak orang yang peduli akan dampak dari fatwa. Disertasi ini cenderung memihak pada grand narrative (narasi besar), karena Mudzhar lebih menempatkan diri pada sudut pandang MUI. Dalam konteks sekarang, kesimpulan Mudzhar sulit memperoleh dukungan empiris karenanya diperlukan alternatif kajian baru. Berbeda dengan cara pandang Mudzhar, kajian melawan grand narrative (narasi besar) dilakukan oleh Burhanuddin.23 Karya ini
merupakan kajian
epistemologi keagamaan atau filsafat pengetahuan tentang konsep jihad Ghulam Ahmad. Tesis yang dikembangkannya sangat berempati terhadap jihad Ahmadiyah yang diajarkan oleh Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Jemaat Ahmadiyah), yang disebutnya sebagai penganut jihad tanpa kekerasan. Kajian ini bersifat sangat khusus mengenai pandangan pendiri Ahmadiyah, bercorak teologis dan normatif sehingga belum menyentuh aspek aktualisasi ajaran Ahmadiyah di tingkat empiris. Selain studi yang bercorak akademik sebagaimana dipaparkan di atas, kajian Ahmadiyah banyak yang bersifat anti-pati, seperti buku yang ditulis oleh
23
Asep Burhanuddin, 2005, Ghulam Ahmad Jihad Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LKiS. Kajian empatik lainnya, lihat Zainal Abidin EP, 2007, Syarif Ahmad Saitama Lubis: Dari Ahmadiyah untuk Bangsa,Yogyakarta: Logung Pustaka; HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, 1999, Apakah Ahmadiyah Itu?, Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia; Suryawan M.A, 2006, Bukan Sekedar Hitam Putih: Kontroversi Pemahaman Ahmadiyah. Tangerang: Azzahara Publishing, 2006.
12
Hariadi,24 Djamaluddin,25 dan Jaiz.26 Tulisan ini merupakan bentuk hujatan terhadap ajaran Ahmadiyah yang menjadi rujukan kelompok Islam garis keras. Mereka juga melakukan propaganda melalui beragam media untuk mendukung argumen-argumen yang telah mereka tulis. Ahmadiyah dinilainya sebagai aliran yang sesat, menyimpang, dan tidak layak hidup di bumi Indonesia. Pandangan yang terakhir ini dapat disebut a-historis, karena Ahmadiyah lahir lebih dahulu dari mereka dan diikuti oleh ribuan orang Indonesia. Berbalikan dari cara pandang Hariadi, Djamaluddin, dan Jaiz di atas, studi simpatik historis-sosiologis dilakukan oleh Effendi di desa Maduqa Kuningan Jawa Barat.27 Effendi memaparkan peran tokoh Ahmadiyah periode awal dalam membina warga Ahmadiyah dan membangun masyarakat. Kajian ini memberi gambaran tentang keberhasilan aktualitas Ahmadiyah di tingkat lokal (sebelum era Reformasi). Secara teoretik, penelitian ini bercorak fungsional sehingga belum menyentuh ranah konflik komunal, pasang surut dan tantangan yang dihadapi oleh Ahmadiyah Maduqa (di era Reformasi). Namun demikian, studi Effendi ini memberi informasi awal yang sangat berharga untuk dikembangkan dalam penelitian lanjutan. Kajian mengenai sikap pemerintah terhadap konflik Ahmadiyah dan nonAhmadiyah dikaji oleh Rosidin.28 Kajian ini mengambil lokasi yang sama dengan 24
Ahmad Hariadi, 1986, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qodiani, Bandung: Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin. 25 M. Amin Djamaluddin, 2000, Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Qur‟an, Jakarta: LPPI. 26 Hartono Ahmad Jaiz, 2005, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka AlKautsar. 27 Djohan Effendi, 1990. 28 Rosidin, 2013, Sikap Pemerintah Terhadap Konflik Keagamaan: Kasus Ahmadiyah Maduqa, Cirebon: ISIF. Sosialisasi keagamaan di sana lebih mengedepankan nilai “kemutlakan” keyakinan yang dianut secara berlebihan yang memiliki kontribusi terhadap sikap intoleransi di
13
Efffendi, yaitu desa Maduqa.29 Secara empirik, studi ini menjelaskan akibat dari sikap pemerintah terhadap Ahmadiyah yang semakin menguatkan sikap kolonisasi dari kelompok non-Ahmadiyah. Sementara itu, ruang Ahmadiyah semakin sempit untuk mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah keyakinan. Perbedaan pandangan keyakinan dalam agama menjadi potensi dalam melahirkan konflik dan berakibat tidak adanya transformasi internal elemen-elemen doktrin teologis yang diyakini masing-masing kelompok keagamaan. Tokoh agama dianggap gagal dalam membahasakan visinya, sehingga meletakkan posisi agama sebagai sumber radikalisasi yang mengkooptasi massa untuk menolak pandangan yang berbeda. Dari sisi tempat kajian,30 studi ini sama dengan tempat penelitian yang dipilih oleh penulis, namun berbeda dari segi perspektif dan setting penelitian yang dipilih. Kajian tersebut lebih menitikberatkan pada studi kebijakan pemerintah dan konflik antar kelompok sehingga kajian spesifik pertarungan wacana belum mengemuka. Berbeda dengan kajian tersebut, studi yang penulis
kalangan umat sehingga tingkat konflik keagamaan menjadi tinggi. Lihat juga Rosidin, 2011, Sikap Pemerintah Terhadap Konflik Keagamaan (Studi Kasus Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Maduqa Kuningan), tesis, PPs UIN Suka Kalijaga Yogyakarta; Rosidin dan Ali Mursyid, 2007, "Diskriminasi Hak Sipil Minoritas: Pelarangan Pencatatan Pernikahan Jemaat Ahmadiyah Kuningan, dalam Rumadi dan Ahmad Suaedy (ed.), Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute. 29 Beberapa studi di desa Maduqa yang menggunakan perspektif perbandingan agama dan teori konflik dapat dilihat pada kajian Ali Amin, 2005, Intra-Religious Persecution in West Java. Case Study of Ahmadiyah Community in Manis Lor Kuningan, tesis, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM Yogyakarta; Moh. Sulhan dkk, Mencari Akar-Akar Diskriminasi Minoritas Untuk Memantapkan Pluralisme Agama; Penelitian Tentang Kekerasan Ahmadiyah di Kuningan, P3M STAIN Cirebon, 2005; Juarsih, 2003, Konflik Sosial Keagamaan Ahmadiyah Qodian dan Nahdlatul Ulama (Studi Kasus Di Desa Manis Lor Kuningan Jawa Barat), skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Sunardi, 2012, Doktrin Bai‟at dan Perilaku Keagamaan Komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Di Desa Maduqa Kuningan: Analisis Sosio Edukatif, tesis, STAIN Cirebon. 30 Lokasi penelitian dalam studi ini sama dengan lokasi yang dipilih oleh Djohan Effendi, Rosidin, Ali Amin, Juarsih, Sunardi, dan Burhani, tetapi berbeda perspektif dan setting penelitian.
14
pilih lebih menfokuskan pada pertarungan wacana, ruang kognisi sosial dan perlawanan dari Jemaat Ahmadiyah. Studi literatur yang dipaparkan di atas memberi penjelasan tentang minimnya studi sosiologis Ahmadiyah di tingkat lokal dengan perspektif analisis wacana dan perlawanan. Kajian Ahmadiyah sangat didominasi oleh studi yang bersifat umum dengan perspektif historis, teologis, dan fungsional. Perspektif semacam itu bermanfaat untuk menjelaskan tentang jenis ideologi, pengaruh dan perkembangan Ahmadiyah, tetapi kurang memadahi untuk melihat relasi kuasa dan kontestasi wacana yang sedang berkembang dalam konteks politik keagamaan kontemporer. Studi tentang Ahmadiyah perlu dilengkapi dengan analisis wacana dan teori perlawanan,31 agar mampu memotret konstruksi representasi, pertarungan wacana , proses pertahanan dan perlawanan, pasang-surut gerakan serta tantangan yang mereka hadapi di era Reformasi, khususnya pada era pasca fatwa MUI tahun 2005. Kajian ini menempatkan Jemaat Ahmadiyah aliran Qadian sebagai epistemic community yang juga berperan sebagai ”komunitas politik”. Ahmadiyah diletakkan dalam ruang tradisi dan ”teks yang hidup” dalam wacana agama dan politik kontemporer. Dengan demikian, studi ini berbeda dengan karya tulis terdahulu, baik dari sisi perspektif maupun setting penelitian.
31
Secara lebih spesifik studi ini akan memanfaatkan model analisis wacana Stuart Hall, Teuku A. Vandijk dan James C. Scott, sebagaimana akan dijelaskan pada bab II. Analisis wacana pernah didemontrasikan dengan baik oleh Yudi Latif untuk melihat sejarah pertarungan wacana inteligensia di Indonesia. Lihat Yudi Latif, 2008, Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
15
Penelitian ini menegaskan pentingnya perspektif perlawanan kritis untuk membongkar beragam kepentingan yang berada di balik relasi kuasa. Kehendak untuk memahami kepentingan di balik relasi kuasa inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
E. Kerangka Teoretik 1. Berbagai Perspektif Penjelasan Relasi Kuasa Konsep kuasa (power) yang diajukan oleh kalangan Marxis tradisional tidak memadahi untuk menjelaskan realitas Jemaat Ahmadiyah di Maduqa. Pandangan Marxis tradisional menempatkan kuasa sebagai sesuatu yang terkait dengan negara dan hanya dimiliki oleh sedikit orang.32 Konsep monolitik atas kuasa ini meremehkan praktik kuasa yang dilakukan oleh kelompok minoritas Jemaat Ahmadiyah. Berbeda dengan pandangan Marxis tradisional, kajian ini menunjukkan model makna kuasa yang berbeda, dengan tidak menempatkan kuasa sebagai milik negara belaka. Kuasa tidak bersifat tunggal, tetapi menyebar ke seluruh jalinan sosial masyarakat. Kuasa senantiasa hadir dalam proses interaksi sosial, karena kuasa ada dimana-mana dan dapat dijalankan oleh beragam entitas, termasuk oleh kelompok minoritas marginal seperti Jemaat Ahmadiyah. Kuasa tersebar melalui ruang publik (public sphere), tempat wacana diekspresikan dan kegiatan intelektual dan politik diaktualisasikan. Menurut 32
Lihat George Ritzer, Sociological Theory, New York: Alfred A Knopf, 1983, hlm. 70; David Jary & Julia Jary, 1991, Collins Dictionary of Sociology, Great Britain: Harper Collins Publishers, hlm. 374.
16
Habermas, ruang publik Eropa abad ke-18 merupakan bentuk ideal dari keterlibatan masyarakat dalam memperbincangkan kepentingan khalayak luas (public interest) secara setara dan rasional. Terbentuknya tradisi intelektual modern dalam konteks Eropa Barat merupakan bagian dari kemunculan ruang publik borjuis (bourgeois public spere).33 Dalam perkembangannya, ruang publik borjuis ini mengalami perluasan secara terus menerus sehingga menghadirkan lebih banyak partisipan, termasuk dari kelas buruh, yang pada gilirannya menjadi arena konflik kepentingan.34 Mannheim menegaskan bahwa pemikiran seseorang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi kehidupannya. Pemikiran seseorang lekat dengan kepentingannya, karena terdapat pertalian yang sangat erat antara pengetahuan manusia dengan eksistensi dirinya.35 Oleh karena itu manusia selalu menjadi makhluk yang unik dalam proses dialektis antara diri dengan lingkungannya.
33
Jurgen Habermas, 1989, The Structural Transformation of The Public Sphere, Cambridge: Polity Press, hlm 22. Habermas dikenal sebagai generarasi baru teori kritis mazhab Frankfurt yang meneruskan proyek keilmuan para gurunya, yaitu Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert Marcuse. Bersama dengan Adorno, Arendt, Laclau dan Tourine, Habermas dikelompokkan oleh John Lechte dalam aliran post-Marxisme. Post-Marxisme mempertanyakan ciri Marxisme yang reduktif dan anti demokratis, serta semua gerakan politik yang berusaha menjelaskan segala perubahan dalam sejarah dalam kerangka peranan satu kelas atau pelaku istimewa tertentu. Aliran ini menerima ilham yang datang dari keterlibatan politik Marx, tetapi menolak penekanan Marx mengenai ekonomi sebagai faktor yang paling menentukan. Aliran ini juga menolak gagasan tentang adanya satu kelas unversal, yautu kelas proletariat yang akan membawa manusia pada zaman sosialisme. Aliran ini justru mengusulkan terwujudnya demokrasi radikal, yaitu demokrasi yang tersambung erat dengan kebebasan, komunitas, dan hak asasi manusia. Lihat John Lechte, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, London and New York: Routledge, hlm 269. 34 Ibid., hlm. 23. Lihat juga Yudi Latif, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa, Bandung: Mizan, hlm. 60; Mujiburrahman, 2008, Mengindonesiakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 44-47. 35 Karl Mannheim, 1991, Ideologi dan Utopia, diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 100.
17
Habermas mengisyaratkan bahwa proses sosial politik tidak hanya terkait dengan praksis kerja tetapi juga praksis komunikasi.36 Penggelaran kekuasaan tidak terbatas pada pengendalian sistem reproduksi materi, tetapi juga manipulasi sistem reproduksi ideologi. Aspek yang terakhir ini sangat terkait dengan konsep hegemony yang diajukan oleh Gramsci.37 Penjelasan konseptual atas bentuk-bentuk pengendalian sosial yang menekankan determinasi kultural-ideologis ini sangat diperhatikan oleh Gramsci yang menawarkan istilah hegemoni (hegemony) yang dibedakan dengan kekuatan (force).38 Force diartikan sebagai penggunaan daya paksa, sedangkan hegemony berarti perluasan dan pelestarian kepatuhan yang bersifar aktif dari kelompok yang didominasi oleh kelas berkuasa melalui penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik yang mewujud dalam bentuk kooptasi institusi dan manipulasi teks dan tafsirnya.39 Konsep hegemony yang ditawarkan oleh Gramsci masih terlalu umum jika digunakan untuk menganalisis kasus Ahmadiyah. Oleh karena itu, perlu diketengahkan dua jenis hegemoni yang lebih memungkinkan penajaman analisis, yaitu hegemoni ekonomis-politis dan hegemoni kultural-ideologis. Hegemoni yang pertama berfungsi sebagai penentu (dalam jangka panjang) arah gejala materiil di sekitar kita. Hegemoni yang kedua berfungsi sebagai penentu (juga 36
Jurgen Habermas, 1977, Theory and Practice, Translated by John Viertel, London: Heinemann, hlm. 253. 37 Lihat Antonio Gramsci, 1957, The Modern Prince and Other Writings, ed. and trans. Louis Marks, London: Lawrence and Wishart. Bandingkan dengan David Jary & Julia Jary, 1991, Collins Dictionary of Sociology, Harper Collins Publishers, hlm. 271: hegemony is “the ideological/cultural domination of one class by another, achieved by 'engineering consensus' through controlling the content of cultural forms and major institutions.” 38 Ibid. 39 Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 16.
18
dalam jangka panjang) arah gejala non-materiil di sekitar kita, khususnya sehubungan dengan apa saja yang boleh mengisi diri kita, baik aspek pikiran, nilai, maupun cita-cita.40 Hegemoni kultural-ideologis inilah yang seringkali hadir dalam konstruksi sosial agama. Dengan demikian umat beragama perlu mencurigai setiap bahasa agama yang hegemonik, karena bahasa bukan semata-mata alat komunikasi, tetapi lebih dari itu, ia merupakan suatu kegiatan sosial ideologis yang berperan dalam mengonstruksi kenyataan sosial. Sistem nilai selalu hadir dalam kehidupan manusia sehingga manusia dan kekuasaan yang mengiringinya tidak pernah bebas dari ideologi. Ideologi merupakan serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik yang terbentuk melalui proses sosial. Dengan ideologi, manusia memberi makna pada realitas sosial, yang pada gilirannya bahasa tertentu membentuk realitas sosial yang tertentu pula.41 Selain bercorak ideologis, kuasa (power) juga ditopang oleh para cendekiawan, yang menurut Dhakidae,42 cendekiawan --dalam konteks ini termasuk juga ulama-- senantiasa terlibat dalam speech community, yaitu suatu komunitas yang mempergunakan bahasa sebagai alat, modal, dan medium untuk mengontrol kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan pada umumnya. Studi ini
40
Lihat Mochtar Pabottingi (ed.), 1986, Islam Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni BukanMuslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; Mochtar Pabottingi, “Bahasa, Kramanisasi, dan Kekuasaan,“ dalam Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed.), 1996, Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Pustaka Mizan, hlm. 154-155. 41 Ibid. 42 Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia, hlm. 28.
19
memfokuskan pada dampak efektif wacana yang didorong oleh berbagai rangsangan di baliknya, beserta respon maupun perlawanan yang diberikannya.43 Menurut Foucault, kekuasaan juga akan melahirkan anti kekuasaan,44 sehingga politik kekuasaan dapat dipahami melalui pembongkaran mekanisme dan strateginya. Politik kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari tubuh manusia karena kepentingannya untuk memperoleh kepatuhan.45 Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan, dan terdapat teknik tertentu untuk membentuk individu melalui pengetahuan. Individu merupakan hasil representasi ideologis masyarakat, tetapi individu juga merupakan realitas yang diciptakan oleh mekanisme kekuasaan.46 Subyek tidak lagi dominan sebagai titik tolak analisis, tetapi ia lebih menekankan kepada konstelasi kekuatan apa yang ada dalam proses pembentukan dan reproduksi makna. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar pemakainya. Bahasa sebagai representasi berperan pula dalam
43
Lihat Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Kompas; dan Muhammad A.S. Hikam, 1996. Pihak yang berkuasa dengan menggunakan otoritasnya mempunyai kewenangan yang sah untuk menuntut warga negara untuk mematuhi kekuasaan. Penggunaan kekuasaan yang tanpa kontrol dapat melahirkan karakter hukum yang represif, yaitu hukum yang ditundukkan oleh politik kekuasaan. Nonet dan Selznick mengajukan tiga model tipologi hukum, yaitu hukum represif (pelayan kekuasaan), hukum otonom (cenderung netral), dan hukum responsif (fasilitator dari kebutuhan dan aspirasi sosial. Lihat Phillippe Nonet and Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, New York: Harper & Row. Hukum responsif hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang mampu melakukan komunikasi secara memuaskan. Menurut Habermas, masyarakat komunikatif melakukan kritik melalui argumentasi, bukan revolusi atau jalan kekerasan. Menurutnya, ada dua jenis argumentasi, yaitu diskurusus (discourse) dan kritik. Dengan berlangsungnya dua argumentasi (discource dan kritik), akan mengarahkan masyarakat menuju otonomi dan kedewasaan. Lihat F. Budi Hardiman, 2009, hlm. 19. 44 Michel Foucault, 1980, hlm. 78. 45 Ibid. hlm. 79. 46 Ibid, hlm. 80.
20
membentuk jenis subjek tertentu, tema wacana tertentu, maupun strategi yang digunakannya.47 Sudut pandang Foucault dapat membuka banyak kemungkinan untuk melakukan eksplorasi yang jauh dalam rangka interpretasi makna yang di dalamnya melibatkan proses hegemoni dan hegemoni tandingan
(counter
hegemony). Menurut Foucault, bahasa merupakan ruang bagi pergelaran kuasa tertentu karena bahasa berfungsi sebagai representasi dari hubungan sosial yang senantiasa membentuk subyek, strategi, dan tema wacana tertentu.48 Kuasa, dengan demikian, merupakan sesuatu yang dapat diperebutkan (contestable) dan bersifat timbal balik (riversible).49 Paparan di atas menegaskan bahwa pandangan Foucault tentang relasi kuasa (power relations) dan wacana dapat dinilai sebagai pandangan yang sangat relevan untuk dijadikan perspektif dalam studi ini.
2. Relasi Kuasa dan Wacana Melalui wacana, hubungan antar kuasa (power) di satu sisi dengan pengetahuan di sisi yang lain dapat berlangsung. Kehidupan diatur bukan melalui serangkaian represi, tetapi dengan kekuatannya menciptakan regulasi. Kuasa dapat memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya terpinggirkan atau bahkan terpendam dan 47
Muhammad A.S. Hikam, 1996, ”Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice,” damYudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed.), Bahasa dan Kekuasaan, Bandung: Pustaka Mizan. Bahasa tidak lagi alat atau medium netral seperti yang dipahami oleh kaum empiris, melainkan merupakan representasi dalam dirinya sendiri dari hubungan-hubungan politis, dan merupakan ruang bagi penggelaran sebuah kuasa. 48 Michel Foucault, 1980, Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books; Michel Foucault, 2002, Pengetahuan dan Metode, Karya-karya Penting Foucault, terjemahan Arief, Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 75. 49 Yudi Latif, 2005, Inteligensia Muslim dan Kuasa, Bandung: Mizan, hlm. 41.
21
hilang. Kuasa menyebar di mana-mana, yang dapat dijelaskan dengan metode arkeologi dan genealogi.50 Arkeologi merupakan proses kerja melalui arsip-arsip sejarah dari berbagai masyarakat untuk menjelaskan pembentukan wacana dan peristiwa wacana yang telah menghasilkan bidang pengetahuan dan pembentukan wacana dari berbagai zaman. Obyek dari arkeologi adalah episteme, yaitu: kerangka pemikiran khas suatu zaman; dan struktur pemikiran atau cara memberi makna pada dunia.51 Sementara itu, genealogi merupakan proses menganalisis dan menyingkap hubungan sejarah antara kebenaran, pengetahuan, dan kekuasaan. Pengetahuan dan kebenaran dihasilkan melalui perjuangan antar institusi dan dalam institusi, bidang, dan disiplin, kemudian dinyatakan sebagai abadi dan universal. Obyeknya adalah masalah-masalah kekuasaan, cara bagaimana kekuasaan menunjukkan pada tubuh subyek karena berbagai peristiwa tertulis dalam tubuh.52 Arkeologi dan genealogi ini terkait dengan politik wacana (a politics of discourse) serta terhubung dengan politik ruang (a politics of space). Dalam ruang itulah digelar praktik wacana yang lahir dari sejarah penaklukan kultural yang panjang sehingga dimenangkannya kompetisi oleh kekuatan yang paling dominan 50
Michel Foucault, 1976, hlm 101. Foucault adalah tokoh yang sulit ditempatkan dalam alur sejarah filsafat yang normal. Pada awalnya, Dreyfus dan Rabinow menduganya sebagai penganut stukturalisme, yang jauh berbeda dengan pandangan John Lechte yang menempatkan Foucault sebagai tokoh post-strukturalis (poststructuralism). Bersama Foucault, tokoh utama aliran ini adalah Bataille, Deleuze, Derrida, dan Levina. Menurut Simon Blackburn, poststrukturalisme merupakan varietas posmodernisme yang dibentuk oleh reaksinya terhadap strukturalisme Perancis. Aliran ini menyoroti apa yang dimaksudkan oleh kata-kata dengan menyelidiki relasi mereka satu sama lain lebih daripada menelusuri hubungan kata-kata dengan realitas di luar bahasa. Aliran ini sangat berminat dalam menelusuri bahasa dalam relasinya dengan kuasa dan dinamika bawah sadar manusia. Lihat John Lechte, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, London and New York: Routledge, hlm. 153; Simon Blackburn, 2008, The Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, hlm. 681. 51 Haryatmoko, 2003, hlm. 227. 52 Ibid. hlm. 228.
22
dan hegemonik yang pada gilirannya, secara sadar atau tidak, menentukan rekayasa politik wacana.53 Sejalan dengan konsep genealogis dari Foucault yang membicarakan genelogis sebagai suatu lokasi strategi (location strategy) untuk melakukan teoretisasi berdasarkan pandangan tertentu tentang bahasa. Genealogi melihat bahasa tidak hanya sebagai referensi tetapi sebagai aset diskursif yang menyediakan sejumlah kemungkinan identitas manusia. Genealogi mencoba mengurai kekuasaan yang berfungsi melalui strategi diskursif, melalui identitas yang diproduksi dalam bentuk pengetahuan dan penafsiran yang menormalkan subyektivitas manusia. Dengan melakukan observasi terhadap operasi kekuasaan pada level yang halus, genealogi hendak mengingatkan bahwa bentuk hegemoni semacam ini tidak kalah resikonya dengan bentuk-bentuk monopoli
alat-alat
produksi.54 Hegemoni terhadap dunia simbolis ini mengandung efek represif yang kuat tetapi tidak terlihat secara fisik. Ketika ruang pemaknaan diisolir dalam legitimasi oleh negara semata, ia hanya membuka peluang bagi terbangunnya pandangan kebudayaan semacam karikatur yang dengan begitu mudah memberi stigma hitam-putih, benar-salah pada setiap potensi kritis di luar mainstream wacana kuasa sistem negara-agama.55 Secara sosial, bahasa dikonstruksi dan
53
Ibid., hlm. 229-230. Ibid. Relasi dominasi dan penaklukan tidak hanya beroperasi melalui aparatur negara, tetapi juga melalui produksi dan reproduksi kuasa yang masuk dalam ruang kultural, tempat makna hidup dibentuk dalam wacana yang saling berinterkasi. 55 Muhammad A.S Hikam, 1996, hlm 82-83. Proses inilah yang melahirkan semacam imperialisme bahasa yang secara praktis menciptakan imperalisme doktrinal atau dalam istilah Berger, imperalisme kognitif, yaitu ketika kekuatan dominan memaksakan dan menyeragamkan cara penilaian dan tindakan. 54
23
direkonstruksi dalam kondisi khusus dan situasi sosial tertentu, daripada tertata menurut hukum yang diatur secara universal, ilmiah dan formal.56 Ideologi bersifat socially shared, yang terbentuk melalui proses sosial, dan dirumuskan secara jelas oleh elit intelektual dan kemudian disebarkan kepada anggota komunitas politik lainnya. Dalam perumusan dan penyebaran ideologi, peranan bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Dengan ideologi orang memberi makna pada realitas social.57 Fokus kajian Foucault menggeser peran manusia (subyek) kepada bahasa, sebagai konsekwensi kritiknya terhadap nalar pencerahan yang mengagungkan universalisme dan narasi besar (grand narative).58 Dalam kenyataan hidup seharihari, pemikiran keagamaan selalu disampaikan dengan medium bahasa, baik tulisan maupun lisan. Bahkan ayat-ayat al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam yang paling utama, diterima oleh Nabi Muhammad saw dari Tuhan melalui medium bahasa, yang kemudian ditulis dan dikodifikasi oleh para sahabat menjadi 56
Ibid. hlm. 81. Makna kata sangat bersifat subyektif karena bukan bahasa yang memberi makna pada dirinya, tetapi manusia yang memberinya. Bahasa menyimpan ideologi dalam fungsi preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik. 57 Ibid. hlm. 87. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan dan penyimpanan makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu, yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat, membentuk realitas sosial yang tertentuBandingkan dengan the social constructionist movement yang melihat bahasa sebagai sebuah proses simbolik yang didasarkan pada empat asumsi: pertama, dunia ini tidaklah tampak secara objektif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi bahasa. Kedua, kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional, karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat tertentu. Ketiga, bagaimana realitas dipahami pada waktu tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan lebih banyak tergantung pada perubahan sosial daripada realitas objektif di luar pengalaman manusia. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan lain yang penting. Bagaimana kita berfikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas kita. 58 Michel Foucault, 1980, Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, edited by Colin Gordon, New York: Pantheon Books, 1980, hlm. 134.
24
sebuah ”Kitab Suci al-Qur‟an” dengan menggunakan bahasa Arab yang bersifat partikular dan sarat dengan kultur patriarkis.59 Di sini mucul pertanyaan: mengapa al-Qur‟an (yang disampaikan dengan medium bahasa Arab) dapat diterima oleh jutaan orang dari berbagai belahan bumi, meskipun bahasa Arab itu bersifat partikular dan berkarakter patriarkis?. Mengikuti argumen Foucault, pengetahuan dapat diterima atau ditolak sangat tergantung pada relasi kuasa (power relations) di masyarakat, tempat dan situasi pengetahuan itu dihadirkan. Menurut Foucault, pengetahuan merupakan kekuasaan itu sendiri,60 misalnya sebuah karya tetap berpengaruh meskipun penulisnya telah mati, tergantung sejauh mana karya tersebut menemukan taman subur persemaian. Ajaran Ahmadiyah dari Ghulam Ahmad sangat berpengaruh di kalangan Ahmadiyah, meskipun Ghulam Ahmad sudah lama wafat, dan bahkan ajarannya memperoleh hujatan bertubi-tubi dari para penentangnya. Ajaran Ahmadiyah memperoleh dukungan kuat dari para pengikutnya melalui sistem produksi dan reproduksi pengetahuan. Foucault sebagai penganut post-strukturalis meninjau tulisan sebagai sumber subyektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, sedangkan sebelumnya ia 59
Misalnya, hakekat Allah swt menurut kognisi sosial muslim tidak berjenis kelamin (bukan laki-laki dan bukan perempuan), namun ditulis dalam bahasa Arab dengan struktur teks laki-laki, Qul Huwa Allahu Ahad (Lihat QS al-Ikhlas [112]: 1 dalam Al-Qur‟an terbitan Departemen Agama atau QS al-Ikhlas [112]: 2 terbitan JAI). Huwa merupakan tanda untuk kata ganti laki-laki. Sementara itu, untuk nama Tuhan palsu/berhala (Latta, Uzza, Manata) menggunakan kata ganti perempuan, Hiya Latta. Jadi, Allah swt (Tuhan yang sebenarnya) ditulis dengan tanda laki-laki, sementara Latta (Tuhan yang palsu) dirangkai dengan tanda perempuan. Dengan demikian sangat jelas, stuktur bahasa dibatasi oleh ruang dan waktu, tempat manusia membangun kebudayaan. Lihat juga Fr. Louis Ma‟luf dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, 2011, alMunjid Fillughah al-Arabiyyah al-Mu„aashirah, Thab‟ah Tsaaniyah, Bairut: Daarul alMasyriq/Maktabah Masyriqiyyah. 60 Michel Foucault, 1980, hlm. 134-135.
25
dipikirkan sebagai sesuatu yang bersifat sekunder.61 Pemikiran ini sering dikaitkan dengan karya Derrida yang meninjau berbagai perbedaan pemahaman dalam semua segi dan mendapatkan bahwa Saussure mempertahankan beberapa pra-anggapan tertentu tentang subyektivitas dan bahasa.62 Singkatnya, aliran ini memiliki sikap penolakan yang tegas terhadap obyektivitas, realitas, dan kebenaran.63 Foucault sendiri lebih senang disebut sebagai ”pengamat sejarah” suatu istilah yang dekat dengan istilah lain yang sering disebut untuk menggambarkan cara dan pendekatannya, yaitu arkeologis. Ia menampilkan diri sebagai otherness secara lebih konkrit dengan analisisnya, yang bagi kalangan modernis dianggap tidak lazim, seperti orang gila, rumah sakit, tubuh, seksualitas dan sejenisnya. Dengan cara dan gaya demikian, Foucault telah membuka cakrawala dan wilayah wacana baru.64 Analisis wacana menawarkan analisis yang unik, yaitu menempatkan realitas ideologi dan
agama dalam ruang tradisi (space tradition). Menurut
terminologi Michel Foucault,65 “wacana merupakan kumpulan pernyataan yang membentuk satu sistem formasi tertentu, misalnya wacana klinik, psikiatrik, ekonomi, politik, dan lain sebagainya.” Kumpulan pernyataan (the goup of statements) mengandung maksud sejumlah pernyataan, bukan sekedar satu atau dua pernyataan. Sebagai contoh, 61
John Lechte, 1994, hlm. 110. Ibid. 63 Simon Blackburn, 2008, hlm. 181. 64 I Bambang Sugiharto, 2002, ” Foucault dan Posmodernisme,” dalam Basis No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002, hlm. 54. 65 Michel Foucault, 1976, The Archeology of Knowledge & The Discourse on Language, Translated by A.M. Sheridan Smith, New York: Harper Colophon Books, hlm.107. 62
26
fatwa kesesatan Ahmadiyah adalah wacana MUI yang di dalamnya mengandung sejumlah pernyataan mengenai Ahmadiyah yang dipandang memiliki nabi sendiri, kitab suci sendiri, kiblat sendiri, dan seterusnya. Sistem formasi tertentu (a single system of formation) mengacu pada sistem formasi keilmuan tertentu. Wacana kesesatan Ahmadiyah tidak hadir dalam ruang kosong teologi, tetapi lahir dari sistem formasi teologi ortodoksi sunni, sebuah teologi yang dianut oleh kelompok Islam arus utama (mainstream) di Indonesia. Sebagai perbandingan, wacana bahaya laten PKI lahir dalam formasi politik Orde Baru yang tidak populer dalam formasi politik Orde Lama maupun Orde Reformasi. Wacana yang diperkenalkan Foucault ini jauh berbeda dengan istilah wacana sehari-hari sebagaimana dirumuskan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan arti komunikasi verbal atau percakapan. Argumen Foucault sejalan dengan pendapat Thomas Kuhn ketika ia menjelaskan tentang sejarah perkembangan dan kemunduran ilmu pegetahuan. Keunggulan paradigma keilmuan tidak diukur oleh derajat kesahihan argumentasi tetapi lebih ditentukan oleh kekuatan rezim yang menopangnya.66 Misalnya, aliran positivisme tumbuh subur sepanjang sejarah Orde Baru karena didukung secara konsisten oleh rezim penguasa. Di sana bertemu antara kepentingan ilmu pengetahuan dan rezim kekuasaan sehingga ideologi modernisme dapat tumbuh subur sepanjang sejarah developmentalisme Soeharto.
66
Sosiologi yang merupakan bagian dari kajian ilmu sosial tidak terlepas dari kecenderungan tersebut, dan sangat diwarnai dengan keragaman paradigma sehingga muncul istilah “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.”
27
Analisis wacana dapat ditempatkan sebagai jalan tengah antara faham esensialisme dan relativisme. Esensialisme67 memandang adanya universalitas kebenaran atas sebuah ideologi atau agama sehingga ada pengakuan atas sebuah kebenaran dengan merendahkan jalan kebenaran lainnya. Kajian Geertz68 dapat dikelompokkan pada faham esensialisme, ketika ia memandang varian santri lebih unggul daripada abangan Jawa. Demikian juga kajian Gellner,69 ketika ia memilah adanya Islam tradisi tinggi (hight tradition) dan Islam tradisi rendah (low tradition). Islam puritanisme dinilai lebih unggul daripada Islam ritualisme karena puritanisme dipandang lebih bersesuaian dengan isi dan misi kitab suci. Sebaliknya, faham relativisme70 menempatkan kebenaran ideologi atau agama dalam posisi yang setara. Menurut faham ini tidak ada yang disebut sebagai kebenaran tunggal yang dapat menafikan kebenaran lainnya. Faham seperti ini umumnya ditolak oleh kalangan agamawan atau ilmuwan yang berlatar belakang agama. Dalam analisis wacana, fatwa MUI dapat dipandang sebagai salah satu wujud teks yang diwacanakan. Sosialisasi fatwa dapat menjadi medan politik
67
Esensialisme sering disebut dengan faham universalisme. Benhabib telah membuat dua kategori bahwa dalam konteks justifikasi, nalar universalisme moral diperlukan dan di dalam konteks aplikasi, perbedaan dan pluralitas diperjuangkan. Lihat Gadis Arivia, 2011, Pijakan Moral Pluralitas dan Perbedaan Menurut Pemikiran Seyla Benhabib, Makalah Kuliah Umum Komunitas Salihara. 68 Lihat Clifford Geertz, 1960, The Religion of Java, New York: Chicago Press. 69 Lihat Ernest Gellner, 1992, Posmodernisme, Reason, and Religion, London: Routledge. 70 Relativisme sering disebut juga dengan faham nominalisme. Lihat Mujiburrahman, 2008, Mengindonesiakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Jean Francois Lyotard, seorang filosof yang terkenal dengan gagasannya tentang penolakan grand narrative (narasi besar), yaitu suatu cerita besar yang mempunyai fungsi legitimasi karena bersifat menyatukan, universal, dan total. Penolakan narasi besar, berarti penolakan terhadap penyatuan, universalitas dan totalitas. Inilah salah satu ciri pembeda yang paling menonjol antara filsafat postmodernisme dengan filsafat modernisme. Dalam etika dikatakan bahwa semua moralitas sama-sama baik, dalam epistemologi dapat juga dikatakan bahwa semua keyakinan atau sistem kepercayaan adalah sama-sama benar.
28
pertarungan antara pihak yang memproduksi fatwa (MUI) dengan pihak yang menjadi sasaran fatwa (Ahmadiyah). Teks perlu dilihat dalam kaitannya dengan relasi kuasa karena kuasa merupakan aspek yang inheren dalam teks, berfungsi untuk merepresentasikan sesuatu atau sebaliknya untuk menyingkirkannya. Nilai dan norma ditentukan oleh pengetahuan-kekuasaan,71 sehingga fatwa pada dasarnya juga merupakan hasil relasi pengetahuan-kekuasaan. Wacana merupakan praktik sosial yang berperan dalam mengontrol dan mendisiplinkan individu. Masyarakat dapat ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik tetapi dengan wacana dan sistem regulasi.72 Dengan kekuasaan, pengetahuan dapat membentuk realitas sosial karena kekuasaan dan pengetahuan berhubungan secara langsung. Relasi kuasa antar para aktor sosial akan selalu membentuk arena pengetahuan,73 sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak secara bersamaan membentuk relasi kuasa.74 Bagi Foucault, semua wacana memiliki fungsi ideologis, sehingga produksi pengetahuan selalu berjalin dengan rejim kekuasaan historis tertentu yang bersifat spesifik yang berfungsi untuk normalisasi.
71
Kontrol dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti, dan hukuman bagi yang melanggar. Kekuasaan bekerja secara tidak terlihat, tanpa disadari melalui praktik disiplinisasi. Lihat Haryatmoko 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 2017; Haryatmoko, 2010, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; dan Haryatmoko, 2002, “Kekuasaan Melahirkan AntiKekuasaan” Dalam Basis No. 01-02, Tahun 51, Januari-Februari 2002. 72 Michel Foucault, 1972, The Archeology of Konwledge, Translation AM Sheridan Smith, New York: Pantheon Book, hlm. 107. 73 Michel Foucault, 1977, Discipline and Punish: the Birth of the Prison, Trans. A. Sheridan, Harmondsworth: Peregrine, 1977, hlm. 27. 74 Haryatmoko, 2003, hlm. 218.
29
Dengan demikian dapat dilihat, mengapa sebuah ajaran agama dapat bekerja dengan efektif, the effective operations of these discipline,75 ataupun sebaliknya. Suatu fatwa lahir pada masa tertentu, bukan lahir pada masa yang lain, dengan segenap dampak sosial politik yang ditimbulkannya. Ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh fatwa tersebut. Kekuasaan beroperasi terus menerus menciptakan pengetahuan dan begitu juga sebaliknya, pengetahuan mengasumsikan sebentuk implikasi dari kekuasaan, sehingga pengetahuan dan kekuasaan terintegrasi satu sama lainnya.76 Kerangka pemikiran Foucault di atas menjadi acuan penting dalam studi ini, meskipun ada sejumlah isu yang terlewatkan oleh Foucault, yaitu mengenai sistem representasi, kognisi sosial dan seni perlawanan yang berfungsi sebagai basis solidaritas yang sejatinya menjadi senjata andalan bagi kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dalam menghadapi tekanan kelompok dominan. Oleh karena itu, sejumlah pandangan Foucauldian akan dimanfaatkan dalam kajian ini untuk mengisi ruang analisis yang belum diperhatikan oleh Foucault. Stuart Hall,77 mengajukan dua konsep penting untuk memahami produksi wacana sebagai strategi untuk menghadapi kekuatan eksternal, yaitu representasi (representation) dan identitas (identity). Representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses produksi makna dan pertukarannya, karena representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam membentuk kebudayaan. Representasi
75
Michel Foucault, 1972, hlm. 28. Michel Foucault, 1980, Power/Knowledge: Selected interviews and Other Writings, 1972-1977, C. Gordon (ed), Bringhton: Harvester, hlm. 52. 77 Lihat tulisan seorang Faucouldian, Stuart Hall, 2003, “The Work of Representation,” dalam Stuart Hall (ed.), Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publication, hlm. 17. 76
30
adalah salah satu cara untuk memproduksi makna yang bekerja melalui sistem representasi (system of representation). Sistem representasi ini terdiri dari dua komponen utama yakni “konsep dalam pikiran“ dan “bahasa“ yang keduanya saling berelasi. Konsep seseorang dalam pikirannya akan membuatnya mengetahui makna yang terkandung dalam konsep tersebut yang kemudian dikomunikasikan melalui medium bahasa. Sebagai misal, dalam literatur Islam dikenal konsep al-Qur‟an dan hadis yang setiap muslim pada umumnya mengetahuinya, yang tentunya berbeda dengan pemahaman non-muslim yang kebetulan tidak mengetahui tentang konsep tersebut. Aspek penting dalam sistem representasi ini adalah kesamaan kelompok dalam kebudayaan yang memproduksi dan bertukar makna sehingga dapat menciptakan suatu pemahaman yang relatif sama. Sirkuit budaya (circuit of culture) merupakan rujukan penting untuk memahami bagaimana proses sebuah makna diproduksi dan dipertukarkan dalam kebudayaaan. Dalam circuit of culture terdapat lima konsep penting yaitu representasi, identitas, regulasi, produksi, dan konsumsi.78 Untuk kepentingan penelitian ini, dipilih dua konsep yaitu reprensetasi dan identitas sebagai dua konsep kunci yang relevan untuk memahami fenomena keagamaan, dengan tidak meninggalkan sama sekali tiga konsep lainnya. Anggota dari sebuah kebudayaan biasanya berbagi konsep, gambar, dan ide yang memungkinkan mereka untuk “berpikir“ dan “merasa“ tentang sebuah 78
Annabelle M Leve, 2012, “The Circuit of Culture as A Generative Tool of Contemporary Analysis: Examining The Construction of An Education Commodity,” Paper AARE APERA International Conference, Sydney, hlm. 4; Stuart Hall (ed.), 2003, Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publication, hlm. 1-3.
31
dunia dengan cara yang sama. Mereka berbagi kode budaya yang sama (the same cultural codes) karena “pikiran“ dan “perasaan“ itu sendiri merupakan sistem representasi (system of representations). Sebagai sistem representasi, “berpikir” dan “merasa” berfungsi untuk memaknai sesuatu dengan dukungan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan ide sebagai cultural codes.79 Representasi memproduksi makna dari sebuah konsep yang ada dalam “pikiran” dan “perasaan” manusia melalui sarana bahasa. Bahasa selalu dilibatkan dalam proses pemaknaan, karena bahasa tidak dapat memaknai dirinya sendiri, yang dalam ungkapan Hall, things don‟t mean. Dalam proses pemaknaan, manusia adalah aktor utama yang mengkonstruksi makna dan menggunakan konsep sistem representasi dan tanda-tanda (representational systems-concepts and signs).80 Konsep dalam pikiran, dan tanda yang berwujud bahasa menjadi bagian penting yang digunakan masyarakat dalam memproduksi makna. Proses produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi, serta kesamaan latar belakang pengetahuan suatu kelompok sosial terhadap suatu konsep. Jika tidak ada kesamaan konsep antar kelompok akan terjadi pemaknaan yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Semisal, fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah lahir dari tidak adanya kesamaan konsep mengenai “Islam yang benar,” karena masing-masing kelompok memiliki sistem representasi yang berbeda. 79
Ibid., hlm. 13. Ibid., hlm. 14.
80
32
Ada tiga pendekatan representasi yang diperkenalkan Hall, yaitu reflektif, intensional, dan konstruksionis (the reflective, the intentional and the constructionist approaches to representation).81 Masing-masing pendekatan berusaha untuk menjawab pertanyaan: dari mana datangnya makna?; dan bagaimana cara menentukan makna yang benar dari sebuah teks?.” Menurut pendekatan reflektif, makna terletak pada obyek, manusia, ide atau kejadian nyata, dan bahasa berfungsi sebagai cermin untuk merefleksikan makna sebenarnya seperti yang sudah ada sebelumnya. Sementara itu, pendekatan intensional memiliki asumsi yang berseberangan dengan pendekatan reflektif. Menurut pendekatan intensional, makna dibentuk sebagaimana komunikator ingin menyampaikannya, dan kata memiliki makna seperti yang diinginkan orang yang menyampaikannya. Pendekatan konstruksionis mencoba untuk menjembatani terhadap dua pendekatan di atas. Pendekatan ini berasumsi bahwa things tidak memiliki makna apa pun, namun komunikator membentuk makna dengan menggunakan sistem representasi yaitu konsep dan tanda. Pendekatan ini menempatkan komunikator tidak terperangkap dalam dunia material, tempat benda dan manusia berada serta berlangsungnya proses simbolik representasi, makna dan bahasa.82
81
Ibid. hlm. 15. Ibid. Dalam proses produksi makna, obyek yang dimaknai tidak pernah berdiri sendiri, karena di baliknya selalu hadir subyek dalam arti manusia aktif yang mendorong munculnya aneka pemaknaan antar mereka. Oleh karena itu, seseorang tidak hanya memberi makna pada obyek namun juga memberi makna pada orang lainnya. Dengan memberi makna kepada yang lain, berarti “kita” memberi atribut tertentu kepada “mereka.” Pemberian makna ini merupakan sebuah proses seseorang untuk menentukan identitas pada yang lainnya. Dengan demikian, representasi sangat erat kaitannya dengan identitas, karena seseorang mendapatkan identitas ketika dirinya dimaknai oleh orang lain. Identitas, dalam arti identitas budaya merupakan sebuah identitas yang berubah-ubah tergantung dengan siapa seseorang berinteraksi dan ia juga terjalin erat dengan konteks ruang dan waktu. 82
33
Pendekatan konstruksionis berkarakter kritis, karena tidak mengakui kemandirian dunia material, melainkan memahaminya sebagai sistem bahasa yang membentuk makna, karena makna tidak bergantung pada kualitas material dari tanda yang digunakan, melainkan pada fungsi simboliknya. Sebuah kitab suci, “al-Qur‟an“ misalnya, dicetak di atas kertas yang sama sebagaimana “koran“ dicetak, tetapi keduanya memiliki makna simbolik yang berbeda bagi kaum muslim. Stuart Hall83 menegaskan bahwa identitas adalah sebuah proses untuk “menjadi“ (identities are about becoming) bukan sesuatu yang “jadi” (being) yang tumbuh dalam sejarah, bahasa dan budaya. Proses pengalaman ini memerlukan kehadiran wacana yang lebih besar, melalui apa yang disebut Hall dengan suturing into the story (penjahitan ke dalam cerita).84 Formulasi yang ditawarkan Hall menekankan pada pembangunan identitas diri di dalam dan melalui budaya serta dalam proses konstruksi yang sebagian dibangun melalui fantasi dan imajinasi. Sebagai contoh, konstruksi khilafat (kultural) yang dibangun oleh Ahmadiyah sangat berbeda dengan konstruksi khilafat (politik) Hisbut Tahrir, karena perbedaan fantasi dan imajinasi mereka tentang apa itu khilafat.
83
Stuart Hall, 1997, “Introduction: Who Needs Identity?,” dalam Stuart Hall and Paul Du Gay, Questions of Cultural Identity, London: SAGE Publications, London, hlm. 1-17; Stuart Hall, 1993, “Cultural Identity and Diaspora,” dalam Patrick William & Laura Chrisman (eds.), Colonial Discourse & Postcolonial Theory: A Reader, Harvester Whaeatsheaf, hlm. 227-237; 84 Stuart Hall menyatakan: Identities are therefore constituted within, not outside representation. They relate to the invention of tradition as much as to tradition it self, which they oblige us to read not as an endless reiteration but as 'the changing same' (Gilroy, 1994): not the so-called return to roots but a coming-to-terms-with our 'routes'. They arise from the narrativization of themself, but the necessarily fictional nature of this process in no way undermines its discursive, material or political effectivity, even if the belongingness, the 'suturing in to the story' through which identities arise is, partly, in the imaginary (as well as the symbolic) and therefore, always, partly constructed in fantasy, or at least with in a fantasmatic field. Lihat Stuart Hall, 1997, hlm. 4.
34
Identitas budaya seringkali menyembunyikan hubungan yang tidak setara antara entitas yang berbeda. Dalam konteks identitas Eropa, Hall memberikan kritik atas dominasi yang ditutup-tutupi. Menurutnya, hubungan eksternal Eropa dengan yang lain telah menjadi pusat sejarah Eropa sejak awal yang tidak banyak berubah.85 Kisah identitas Eropa yang seolah-olah tidak ada kehadiran identitas “yang lain“ memberi pengetahuan tentang bagaimana identitas budaya dibangun sebagai imagined communities,86 melalui penandaan yang berbeda dengan yang lain. Identitas Eropa menyembunyikan hubungan yang tidak seimbang dengan lainnya, tempat di mana identitas Eropa dibangun.87 Selain konsep representasi dan identitas sebagaimana dijelaskan di atas, konsep produksi dan konsumsi berperan penting dalam sirkuit budaya, karena dalam proses produksi dan konsumsi makna, bahasa memiliki fungsi untuk menyampaikan gagasan sehingga terjadi pertukaran makna. Seseorang atau kelompok dapat memproduksi makna yang kemudian makna tersebut dikonsumsi oleh yang lain. Menurut Hall, bahasa mengambarkan hubungan encoding dan decoding melalui metafor produksi dan konsumsi. Proses produksi mencakup
85
Stuart Hall, 1991, “Globalization, Europe‟s Other Self,” Marxism Today, August 1991, hlm. 18-19. 86 Lihat Benedict Anderson, 1982, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Rise of Nationalism, London: Verso. Gagasan Anderson mengenai bangsa sebagai imagined communities menyangkut empat hal pokok: imagined, limited, sovereign, and community (terbayang, terbatas, berdaulat, dan komunitas). 87 Stuart Hall menegaskan: Europe's external relations with its Others has been central to the European story since its inception, and remains so. The story of European identity is often told as if it had no exterior. But this tells us more about how cultural identities are constructed - as 'imagined communities', through the marking of difference with others - than it does about the actual relations of unequal exchange and uneven development through which a common European identity was forged. Lihat Stuart Hall, 1991, hlm. 18-19.
35
gagasan, ideologi dan ilmu pengetahuan, serta berbagai asumsi lainnya seperti politik, moral, dan kebudayaan.88 Dalam konteks Ahmadiyah, bahasa termanifestasikan melalui teks-teks yang mempromosikan ajaran Islam yang diwariskan oleh Ghulam Ahmad. Teks tersebut dapat berupa pemilihan model, kalimat, dan penempatan semua struktur yang membangun sebuah “promosi ajaran.“ Dari sini dapat dilihat apa yang direpresentasi oleh sebuah ajaran (Ahmadiyah), kepada siapa ia memberi identitas dan bagaimana makna diproduksi oleh produsen (khilafat Ahmadiyah), serta apa yang berada di balik produksi makna tersebut. Dalam konteks ini, ajaran Ahmadiyah dikonsumsi oleh konsumen (khalayak), baik anggota Ahmadiyah maupun orang luar yang mungkin tertarik kepada ajaran tersebut. Dalam proses produksi dan konsumsi sangat berkaitan dengan regulasi, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemegang otoritas, seperti pemerintah. Dalam konteks “promosi ajaran“, terdapat intervensi pemerintah yang menentukan aturan main mengenai bagaimana suatu ajaran harus diproduksi, dikonsumsi, dan dipertukarkan. Persoalannya, seringkali sebuah regulasi mengandung stigma kepada sebuah kelompok yang tidak disukai, atau dengan kata lain, pemerintah belum dapat menjadi wasit yang adil dalam ruang kontestasi dan promosi sehingga terjadi kompleksitas masalah. Pemerintah seringkali gagal memahami perbedaan kognisi sosial dari setiap kelompok yang pada umumnya mereka membawa sistem representasinya masing-masing.
88
Lihat Annabelle M. Leve, 2012, hlm. 5-6; Stuart Hall (ed.), 2003, hlm. 1-12.
36
Dalam perspektif kritis, bahasa dipandang mengandung muatan ideologi karena muncul dalam kognisi sosial tertentu. Pendekatan kognisi sosial berasumsi bahwa teks tidak mempunyai makna dalam dirinya sendiri tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa atau proses kesadaran mental pemakai bahasa.89 Perhatian tehadap kognisi sosial yang diajukan oleh Teun van Dijk90 sangat bermanfaat untuk menjembatani jarak yang terbentang luas antara teks (mikro) dan masyarakat (makro). Dua kutub yang jauh ini perlu ditengahi dengan kognisi sosial (meso) untuk melengkapi studi klasik sosiolinguistik yang mengalami kesulitan dalam menjembatani antara keduanya. Pendekatan tersebut dapat digunakan untuk melihat dinamika yang terjadi dalam historisitas Islam,91 baik yang terjadi dalam internal Ahmadiyah maupun Islam pada umumnya. Sebagai ilustrasi, jumlah hari yang tujuh dalam lektur Islam muncul istilah hari Jum‟at yang tidak konsisten dengan hari lainnya yang menggunakan urutan angka, yang dimulai dari hari ke 1 atau Ahad (diserap dari bahasa Arab waahidun, Ahadun, 1). Jika konsisten dengan urutan angka, semestinya hari Jum„at disebut hari “Satun, “Situn“ atau “Sitatun“ (“hari ke 6“) atau gubahan kata yang mendekati arti “hari ke 6.“92 Mengapa umat Islam
89
Teun A. van Dijk, 1994, “Discource and Cognition in Society,“ dalam David Crowley dan David Mitchel (ed), Communication Theory Today, Cambridge: Polity Press, hlm. 107. 90 Teun A. van Dijk, 1994, hlm.108. 91 Istilah historisitas sering digunakan untuk membedakan atau melawankan dengan normatifitas. Lihat Amin Abdullah, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 Mei 2000; dan 2006, Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga. 92 Secara berurutan hari-hari tersebut merupakan serapan dari bahasa Arab yang dimulai dari Ahad (waahid, ahadun, 1), Senin (tsaani,itsnaani, 2), Selasa (tsaalits, tsalaatsun, 3) Rabu (raabi„, arba„un, 4) Kamis (khaamis, khamsun, 5) Jum‟at (jama„a, jum‟ah, berkumpul) dan Sabtu (saabi‟, sab‟un, sab„atun, 7). Apabila konsisten, semestinya antara 5 dan 7 adalah 6 (saatun,
37
menyebut hari ke 6 dengan Jum‟at yang secara logika gramatika bahasa jelas tidak benar? Di sinilah kesadaran mental berpengaruh karena kata Jum‟at disebut dalam Alquran --sebagai referansi pokok umat Islam-- dan pada hari tersebut mereka berkumpul untuk beribadah shalat Jum„at secara berjama‟ah (Jama„ah Jum‟at). Jadi pilihan konsep hari Jum‟at --yang tidak konsisten dengan hari lainnya-- tidak serta merta muncul begitu saja, tetapi ada interest yang menyertainya. Dalam konteks dinamika umat --sejak zaman Nabi Muhammad--, hari Jum‟at merupakan pembeda (difference) umat Islam terhadap umat Kristiani yang beribadah pada hari Ahad (Minggu atau Manggo) dan umat Yahudi yang beribadah pada hari Sabtu (Saabi‟un, Sab„un, Sab„atun atau Sabat).93 Dengan demikian, teks terjalin berkelindan dengan kognisi sosial para pemakainya. Pembacaan kritis semacam itu --yang melibatkan konteks eksternal--, tentu saja jauh berbeda dengan pembacaan positivisme bahasa yang bertumpu pada gramatika --internal semata. Sebagai contoh, penggunaan kata “masjid“ secara bahasa tidak konsisten karena semestinya dibaca “masjad“ (masjadun dalam bahasa Arab berarti “tempat untuk melaksanakan shalat“). Mengapa umat Islam mengucapkan “masjid“ bukan “masjad?.“ Apakah ada interest yang menyertai pembentukannya?. Belum ditemukan penjelasan yang bertumpu pada kognisi sittun, sittatun), jadi semestinya ada hari yang namanya “Satun“ atau “Situn“ atau serapan bahasa Arab yang mendekati makna kata tersebut yang menempati hari Jum‟at. Secara kognisi sosial dapat dipahami apabila umat Kristiani lebih suka menyebut hari Minggu, bukan Ahad yang dianggapnya milik umat Islam. Bahkan sebagian umat Islam di Indonsia juga terbiasa mengucapkan hari Minggu daripada hari Ahad. Di sini terjadi proses silang budaya dan akulturasi yang menantang untuk kajian antropologi bahasa. 93 Sejumlah madrasah dan sekolah di Indonesia meliburkan peserta didiknya pada hari Jum‟at dengan argumen untuk memberi kesempatan mereka beribadah lebih khusu„ dan leluasa. Singkat kata, hari Jum‟at adalah hari besar umat Islam, yang dalam khutbahnya sang Khatib menyebutnya sebagai sayyidul ayyaam. Di sini terjadi proses personifikasi, karena kata sayyid pada umumnya dilekatkan pada nama orang, seperti Sayyidul Anbiyaa„ wal Mursaliin, Sayyidinaa Muhammad dan Sayyidinaa „Ali.
38
sosial, yang tersedia adalah jawaban secara gramatika yang dijelaskan dalam kamus besar bahasa Arab, al-Munjid. Di sini dijelaskan bahwa ada sejumlah kata yang tidak konsisten dalam gramatika, salah satunya adalah kata “masjid.“ Jadi penyebutan “masjid“ dapat dibenarkan secara gramatika, karena “masjid“ termasuk kata yang dikecualikan cara pengucapannya.94 Pembacaan kritis melibatkan faktor eksternal yang tentunya terkait dengan aspek makro dan mikro yang dapat dijembatani oleh kognisi sosial. Di sini diperlukan kejelian, karena kognisi sosial terjalin berkelindan dengan proses pertukaran ilmu pengetahuan yang terus berlangsung di masyarakat. Proses tersebut terjadi dalam sebuah ruang kontestasi yang seringkali tidak seimbang sehingga melahirkan perlawanan dari kelompok yang dirugikan. Dalam konteks inilah seni bertahaan Ahmadiyah dapat ditelaah lebih mendalam.
3. Seni Bertahan (the Arts of Defense) James C. Scott, adalah tokoh penting yang rajin menekuni studi tentang perlawanan yang dilakukan oleh kelompok marginal. Dalam kajian ini, dua karya utama Scott digunakan sebagai pisau analisis yaitu Domination and the Arts of Resistance,95 dan The Art of Not Being Governed.96
94
Sebelas (11) lafadz yang dikecualikan dari ismul-makaan wa ismuz-zamaan minatstsulaatsi „alaa wazni maf‟alun mengikuti maf‟ilun, yaitu: masjidun, atau al-masjidu, alMasyriqu, al-Maghribu, al-Mathli‟u, al-Majziru, al-Marfiqu, al-Maghriqu, al-Maskinu, alMansiku, al-Manbitu, al-Masqitu. Lihat Fr. Louis Ma‟luf dan Fr. Bernard Tottel al-Yassu‟i, 2011 al-Munjid Fillughah al-Arabiyyah al-Mu„aashirah, Thab‟ah Tsaaniyah, Bairut: Daarul alMasyriq/Maktabah Masyriqiyyah, hlm. nun; atau al-Munjid Fillughah wal a„laam, terbitan tahun 1975 hlm. hak. 95 James C. Scott, 1990, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven & London: Yale University Press. 96 James C. Scott, 2009, The Art of Not Being Governed, An Anarchist History of Upland Southeast Asia, New Haven & London: Yale University Press.
39
Karya Scott menginspirasi penulis untuk memilih konsep the Arts of Defense. Istilah ini merupakan perluasan dari konsep ”seni melawan” dan ”seni tak mau diperintah” yang diajukan Scott. Konsep tersebut dipilih karena realitas lapangan penelitian menunjukkan keragaman bentuk relasi kuasa. Misalnya, Jemaat Ahmadiyah mempraktekkan salah satu bentuk relasi kuasa yang belum banyak diekplorasi dalam ulasan Scott, yaitu strategi ”mendekat.” Perlawanan yang dilakukan oleh kelompok subordinat (subordinate groups) merupakan faktor yang sangat penting untuk dimengerti agar dapat diperoleh pemahaman yang seimbang. Mereka memberikan pengetahuan tentang kondisi pertentangan yang pada awalnya bersifat tertutup berubah menjadi terbuka. Kondisi itu didorong oleh sebuah kenyataan bahwa gagasan dari bentuk perlawanan itu telah lama terkandung dalam catatan tersembunyi (hidden transcript) sebelum muncul ke permukaan.97 Perlawanan terhadap kelompok dominan pada umumnya dirasakan oleh pelakunya sebagai bentuk ekspresi mengenai kebenaran, sekaligus menghasilkan pengalaman batin yang mendalam. Pengalaman ini memperoleh pematangan dalam proses pembelaan ideologi yang diyakininya sebagai tugas mulia. Dalam konteks Islam muncul istilah jihad dengan beragam maknanya, dari yang lunak sampai yang keras seperti bom bunuh diri. Mengikuti argumen James C. Scott, dominasi menghasilkan perlawanan sehingga menghadirkan apa yang disebut dengan hidden transcript, yang
97
Lihat James C. Scott, 1990., hlm xii; dan Laksmi W. Pamuntjak, 1994, “Dominasi dan Seni Perlawanan” dalam Prisma No. 2 Februari 1994, hlm 99-104.
40
menggambarkan kritik halus mengenai kekuasaan. Kehadirannya merupakan anti tesis dari catatan publik (public transcript) 98 yang melukiskan interpretasi yang diungkapkan secara terbuka mengenai hubungan antara yang mendominasi dengan yang didominasi, antara yang menindas dan yang ditindas. Kaum yang tertindas ini dalam sosiologi Islam dikenal dengan istilah mustadh‟afiin. Hidden transcript pada umumnya dimaknai secara diam-diam dalam tindakan dengan menciptakan suatu wacana samar yang secara ideologis maupun geografis jauh dari arena percaturan politik utama. Subordnat groups menciptakan ruang gerak sosial, menawarkan ideologi alternatif, menggalang solidaritas kelompok senasib, dan merumuskan bentuk perlawanan secara tidak langsung.99 Pilihan strategi kaum tertindas membentuk infra politik kaum tertindas,100 sebuah terminologi yang lahir dari analogi radiasi infra merah yang biasanya tidak tampak oleh mata tetapi sejatinya merupakan sesuatu yang sangat penting keberadaannya. Ketika dominasi memperoleh perlawanan halus secara terus menerus, para penjaga kekuasaan tidak cukup energi untuk menghadapinya. Dengan pembacaan atas teks tertulis maupun teks sosial, studi ini memotret latar belakang ideologi Ahmadiyah serta argumentasinya dalam usahanya membangun pertahanan dan sekaligus perlawanan.101 Dalam konteks relasi kuasa, James C. Scott mengkritik posisi sejumlah teori neo-Marxis yang cenderung melihat kaum tertindas hanya sebagai konsumen
98
Ibid. James C. Scott, 1990, hlm. 191. 100 Lihat Laksmi W. Pamuntjak, 1994, hlm 100; dan James C. Scott, 1990, hlm. 19. Scott menyebut fenomena tersebut sebagai infrapolitics of subordinate groups. 101 Kajian analisis wacana kritis ini pernah dilakukan oleh Munawar Ahmad, 2010, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS. 99
41
ideologi dominan dan menilai keterampilan memanipulasi hanya dimiliki oleh pihak penguasa. Meskipun demikian, Scott mengakui adanya pertimbangan realistis dari pihak yang lemah apabila mereka memilih untuk diam atau menunjukkan sikap menghindar.102 Diantara problem yang dialamai oleh kaum marginal, seperti petani miskin adalah: apa yang tersisa, bukan berapa banyak yang dapat diambil. Kenyataan subsistensi menyajkan perspektif yang sangat berbeda tentang eksploitasi dibandingkan dengan yang disajikan oleh teori-teori ekonomi modern. Kecendergungan ini menunjukkan pentingnya memahami fenomenologi petani dan kelompok marginal lainnya dalam menghadapi ancaman.103 Ancaman dan intimidasi seringkali berpotensi untuk memperlemah semangat perlawanan. Banyak sistem dominasi menciptakan sebuah budaya penaklukan melalui kontrol atas lembaga pemerintah. Sejumlah institusi yang dikuasai seringkali diubah menjadi kepanjangan tangan penguasa yang berfungsi untuk mengekalkan legitimasi yang mendukung keabsahan penguasa. Meskipun demikian, manusia mempunyai suatu kebutuhan dasar akan otonomi dan kebebasan yang apabila dirintangi dapat berubah menjadi suatu reaksi oposisi dan perlawanan.104 Berbeda dengan karya sebelumnya yang menekankan hidden transcript kaum petani Malaysia dalam menghadapi dominasi elit dalam ruang negara (state 102
James C. Scott, 1990, hlm. 70-72. Tesis Scott kurang cocok untuk melukiskan kekuasan yang bersifaat impersonal, sebagaimana diakui oleh Scott sendiri: may analysis is thus less relevant to forms of impersonal domination by say, “scientific techniques,” bureaucratic rules, or by market forces of supply and demand. 103 James C. Scott, 1985, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, New Haven: Yale University Press, hlm. 10-11. 104 Lihat Laksmi W. Pamuntjak, 1994, hlm. 102.
42
spaces),105 dalam The Art Not Being Governed, Scott melangkah lebih jauh dalam mengarungi Zomia sebagai ruang tanpa negara (nonstate spaces). Scott menggambarkan Zomia sebagai wilayah yang teriliminasi secara sempurna (complete elimination).106 Zomia merupakan sebutan baru bagi kawasan virtual di ketinggian di atas sekitar tiga ratus meter merentang dari Dataran Tinggi Tengah Vietnam hingga Timur Laut India dan melintasi negara-negara Asia Tenggara (Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand dan Birma) serta empat provinsi Cina (Yunani, Guizhou, Guangxi dan sebagian Sichuan). Ia membentang hingga 2,5 juta km2, dan ditinggali oleh sekitar seratus juta minoritas suku-suku yang berpindah-pindah dan beragam bahasa. Secara geografis, ia juga dikenal sebagai kumpulan pegunungan dataran utama Asia Tenggara.107 Zomia diremehkan dalam konstruksi peta dunia karena jauh dari pusat pemerintahan dan perekonomian modern. Masyarakat Zomia cenderung tidak teratur, dengan ciri khas keberagaman budaya dan bahasa sehingga sulit untuk diperintah. Mereka bergerak dinamis, tidak terikat oleh pola organisasi yang permanen, serta tidak tunduk pada model kepemimpinan yang mapan. Pola kehidupan mereka selalu berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain seakan
105
Tesis Scott kurang cocok untuk melukiskan kekuasan yang bersifaat impersonal, sebagaimana diakui oleh Scott sendiri: may analysis is thus less relevant to forms of impersonal domination by say, “scientific techniques,” bureaucratic rules, or by market forces of supply and demand. Lihat James C. Scott, 1990, hlm. 21. 106 James C. Scott, 2009. hlm 10-11. 107 Area Zomia yang sangat luas ini merupakan batas terluar sembilan negara dan tidak menjadi bagian utama negara manapun, karena ia manjangkau penanda umum regional (Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan), dan karena keberagaman ekologinya yang sangat menarik begitupun relasinya terhadap negara. Zomia merepresentasikan sebuah objek studi baru, semacam Appalachia transnasional, dan sebuah cara baru untuk menimbang studi wilayah. Lihat James C. Scott, 2009, hlm. ix
43
tanpa meninggalkan bekas. Mereka memiliki sejumlah identitas sebagai strategi adaptasi untuk menghindar dari kekuasaan. 108 Bentuk-bentuk subsistensi dan kekerabatan biasanya diterima begitu saja, sebagai takdir ekologis dan kultural. Dengan menganalisis berbagai bentuk budidaya, pertanian tanaman tertentu, struktur pertanian tertentu dan pola mobilitas fisik sebagai bentuk jalan keluar mereka, Scott melihat semua itu sebagai pilihan politik. Pegunungan sebagai tempat pelarian bagi orang-orang yang menolak negara, termasuk para gerilyawan, menjadi tema geografis yang penting. Scott mengembangkan gagasan tentang friksi wilayah, yang menjadi cara baru memahami politik ruang dan kesulitan-kesulitan pembentukan negara di masyarakat pra-modern.109 Menurut Scott, untuk memahami ladang berpidah dan pencarian berkeliling sebagaimana dipraktikkan selama beberapa abad ini di Asia Tenggara bukanlah rute mata pencaharian sebelum bertanam seperti di beberapa skema evolusi masyarakat, namun mereka justru melakukan adaptasi sekunder, sebuah indikasi atas sebuah pilihan politik. Dengan kata lain, tidak hanya individu dan kelompok bergeser diantara identitas-identitas etnis sebagai konsekuensi memposisikan diri mereka sendiri, namun identitas-identitas tersebut bersifat
108
Konsep zomia yang digunakan oleh Scott menagacu kepada zomia yang dirumuskan oleh Willem van Schendel. Kata zomia berasal dari bahasa Tibet-Burma “zomia”, yang biasa digunakan oleh penduduk di sekitar perbatasan India, Bangladesh, dan Burma untuk menyebut orang yang tinggal di dataran tinggi seperti perbukitan. Zo berarti sesuatu yang terpencil (remote) dan mempunyai konotasi kehidupan di pegunungan, sedangkan Mi berarti penduduk (people). Sebagaimana umumnya dipahamai oleh masyarakat Asia Tenggara, Mi-zo atau Zo-mi digunakan untuk menyebut penduduk yang tinggal di pegunungan yang terpencil. Lihat James C. Scott, 2009, hlm. 14-16. 109 James C. Scott, 2009, hlm. xi.
44
labil, karena sekumpulan keputusan yang mereka ambil memiliki dampak reposisi pemaknaan identitas etnis tersebut.110 Scott mengajukan konsep penting mengenai perbedaan antara karakteristik menjauhkan negara dan mencegah pembentukan negara. Mereka berhubungan namun tidak identik. Sifat menjauhkan negara adalah mempersulit negara untuk menguasai atau menggabungkan sebuah kelompok dan mengaturnya, atau untuk secara sistematis merampas produksi materialnya. Sifat mencegah dari pembentukan
negara, di satu sisi, adalah menutup kemungkinan sebuah
kelompok mengembangkan struktur hirarki, bertahan lama secara internal, miripnegara.111 Fitur-fitur menjauhkan negara yang berulangkali telah ditemui pada analisis sebelumnya dapat diringkas dalam bahasan umum. Sebuah masyarakat yang secara fisik mudah bergerak, menyebar luas dan cenderung terpecah kedalam unit-unit lebih kecil atau baru, akan relatif tidak lolos dari penguasaan negara untuk alasan jelas. Fitur-fitur ini, kemudian, sangat berkorelasi dengan pilihan rutinitas mata pencaharian. Berternak, berburu dan bercocok tanam atau melaut mendorong mobilitas, penyebaran dan pemecahan. Seseorang bisa saja dengan mudah menetapkan rangkaian atau menurunnya mobilitas, penyebaran dan pemecahan yang berganti dari pengumpul menjadi ladang berpindah dan kemudian pertanian menetap dan sawah teririgasi. Di luar Asia Tenggara, 110
Ibid., hlm. 280-281. Di Zomia, pergeseran sepanjang setengah abad merupakan peristiwa bersejarah. Setelah itu sebagian besar Zomia menjadi wilayah pengungsi bagi masyarakat dan fragmen-fragmen masyarakat yang kabur atau memilih menghuni wilayah-wilayah di luar jangkauan negara. Serpihan identitas etnis yang diberikan merupakan bukti sejarah panjang dan kompleks atas migrasi yang berlangsung terus-menerus ditandai oleh pemberontakan, perang dan reformulasi budaya. 111 Ibid., hlm. 278-279
45
rangkaian ini juga termasuk beternak berpindah, dengan kelebihan pada mobilitas dan penyebaran.112 Fitur menjauhkan negara merupakan struktur sosial yang sangat egaliter yang mempersulit negara untuk memperluas aturannya melalui ketua-ketua lokal dan kepala desa. Strategi untuk merintangi negara adalah menjauh dari pusatpusat pemerintahan, atau keterpencilan friksi wilayah. Hingga hampir di abad ke20, keterpencilan sendiri cukup untuk menempatkan beberapa kelompok di luar jangkauan negara. Sebagai strategi membuat jarak, keterpencilan dapat menggantikan strategi menjauhkan-negara lainnya.113 Orang-orang tertentu sudah lama memanisfestasikan karakter-karakter merintangi negara hingga meyebutkan nama mereka memunculkan gagasan tentang ketidak-bernegaraan – seringkali disebut sebagai “liar” atau “kasar” atau “barbar” oleh negara-negara tetangga. Dengan dimungkinkannya untuk menjadi berbeda-beda seiring waktu dan pecahnya kelompok etnis, seorang individu bisa saja menggunakan sesuatu seperti karakteristik merintangi negara di skala tertentu sesuai dengan kelompok tertentu.114
112
Ibid. hlm. 280. Ibid. hlm. 281. 114 Ibid. Di sudut lain, skala dilabuhkan dengan apa yang disebut karakteristik “mengadaptasi-negara”: berhunian padat, menetap, masyarakat bertanam ditandai oleh kepemilikan tanah dan ketimpangan kekuasaan dan kemakmuran yang didukungnya. Karakteristik-karakteristik tersebut, tentu saja, direkayasa secara sosial dalam ruang negara. Orang-orang yang memanisfestasikan fitur-fitur mengadaptasi-negara dan karenanya yang pastinya ditandai oleh sifat “kenegaraan” mereka seperti komunitas Shans, Birma, Thailand, Mons, Pyus, Khmer dan Kinh/Viet. Mengikuti kalimat Fernand Braudel, tidak semua lalu lintas manusia di dunia yang bergeser diantara kedua kutub ini berarti menghapus asosiasi-asosiasi yang tak terbantahkan ini. Di sudut ekstrim ketidak-bernegaraan kita mendapati peternak yang menggembala berpindah-pindah, bergerak atau sekumpulan kecil hunian penduduk disepanjang wilayah-wilayah terpencil jauh dari pusat pemerintahan manapun; di sudut lainnya, petani pembayar-pajak, bertanam padi berada di seputaran inti negara. 113
46
Zomia yang secara geografis jauh dari negara, sangat berbeda dengan JAI Maduqa yang secara geografis melekat dengan negara, dan secara administratif berada dalam negara. Oleh karenya, tidak semua kerangka pemikiran model Zomia dapat diaplikasikan di Maduqa, melainkan dipilih yang relevan untuk alat analisis di Maduqa. Dalam konteks JAI Maduqa, perlawanan yang mereka lakukan perlu dibaca dalam konteks terjalinnya wacana dengan solidaritas. Kekuatan wacana yang merupakan struktur permukaan (surface stucture) tidak akan berfungsi efektif jika tidak didukung oleh kekuatan solidaritas,115 yaitu solidaritas keyakinan, solidaritas sosial dan solidaritas ekonomi. Solidaritas keyakinan merupakan stuktur dalam (deeper structure) yang dibangun di atas landasan teologis tertentu, yang kemudian bersimbiotik dengan solidaritas sosial dan ekonomi116 Kekuatan solidaritas keyakinan yang menopang keberlangsungan wacana tidak menjadi perhatian serius Foucault maupun Foucauldian, yang justru semestinya tidak dapat diabaikan dalam ruang kontestasi antar masyarakat dan komunitas yang berbasis agama. Dengan tidak dapat lepasnya wacana dengan solidaritas ini, maka penggunaan analisis wacana saja tidaklah mencukupi. Oleh karena itu, penelitian ini memanfaatkan pendekatan etnografi yang mengandalkan verstehen dengan metode observasi partispasi dan wawancara mendalam.
115
Konsep solidaritas diperkenalkan oleh sosiolog Emile Durkheim yang memunculkan istilah solidaritas mekanik dan organik. 116 Selama dan setelah menghadapi beragam kekerasan di Maduqa, terjadi peningkatan jumlah pengorbanan (pembayaran iuaran Jemaat) sekitar 10%. Wawancara dengan NHL (10-022012).
47
Wacana memerlukan dukungan solidaritas agar tidak berhenti sebagai wacana belaka. Wacana dapat tumbuh subur karena memperoleh topangan dari solidaritas sebuah komunitas. Dalam persilangan wacana dan solidaritas inilah Jemaah Ahmadiyah menarik untuk dikaji. Uraian kerangka teoretik di atas dapat digambarkan dalam tabel berikut.
Tabel 1 Kerangka Pemikiran
1
Teori
2
Pendeka tan
Perlawanan Kaum Marginal Wacana Kritis sebagai Strategi Perlawanan
3
Model Analisis
the Art of Resistance and the Art of Not Being Governed representation and identity social cognition
Perlawanan dan Wacana Kritis
Kajian ini menempatkan James C. Scott dalam payung Foucauldian,117 bersama Stuart Hall dan Teun A. van Dijk. Keduanya mengajukan analisis wacana kritis untuk mendukung teori perlawanan James C Scott. Dengan demikian, Scott lebih berkonsentrasi pada seni perlawanan yang diekspresikan oleh kaum lemah, sedangkan dua nama yang terakhir lebih banyak melakukan analisis wacana yang difungsikan sebagai medium perlawanan terhadap ideologi
117
James C. Scott adalah seorang Foucauldian, berdasarkan diskusi penulis dengan Prof. Noorhaidi Hasan (09-05-2014). Demikian juga Stuart Hall dan Teun A. van Dijk adalah Foucauldian, berdasarkan hasil diskusi penulis dengan Prof. Fritz Schulz (13-08-2014).
48
dominan. Dengan pemaduan tersebut, studi ini hendak memaknai Jemaat Ahmadiyah dengan cara yang lebih komprehensif.
F. Metode Penelitian 1. Kualitatif: Relasi Emik-Etik Ketepatan pilihan metode penelitian merupakan faktor determinan dalam menunjang proses dan hasil penelitian.118 Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang bersumber dari tulisan, lisan dan perilaku yang dapat diamati. Dalam kaitan ini individu dipandang sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari latar sosialnya, tempat ia hidup dan beraktivitas.119 Penelitian ini bersifat deskriptif-interpretatif, berparadigma kritis dengan memanfaatkan analisis wacana kritis yang didukung dengan metode verstehen, yaitu menafsirkan dan memahami (interpretative understanding).120 Sebuah 118
Penelitian pada dasarnya bertujuan untuk menemukan masalah (problem finding), identifikasi masalah (problem identification), kemudian mengatasi masalah (problem solution). Sifat penelitian ada 3: eksploratif, yaitu dilakukan jika pengetahuan suatu gejala kurang sekali atau diduga belum ada; deskriptif, yaitu memberikan data atau informasi yang sangat teliti dan menggambarkan gejala sesuatu; eksplanatoris, yaitu menguji hipotesis-hipotesis tertentu. Bentuk penelitian ada 3: diagnostik, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh keterangan mengenai sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala; preskriptif, yakni penelitian dalam rangka mendapatkan saran mengenai apa yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi masalah tertentu; evaluatif, yakni penelitian untuk menilai program yang telah dijalankan. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 9-11 dan 50-51; Lihat juga Sulistyowati Irianto & Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan JHMP-FHUI, 2009), hlm. 297-315. 119 Norman K Denzin dan Yvonna S. Lincoln, 1994, Handbook of Qualitatif Research, London: SAGE Publications; dan Lexy Moleong, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 120 Verstehen merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Max Weber. Kajian ini juga mengembangkan pendekatan integrasi-interkoneksi model Amin Abdullah: relasi hadarah annass, hadarah al-„ilm, hadarah al-falsafah. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Lihat M. Amin Abdullah, “Interconnected Link Keilmuan: Hubungan antara Syari‟ah, Fikih dan Faqih”, Makalah Lokakarya Peradilan Agama dan PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 25 Februari 2011.
49
penelitian sangat membutuhkan triangulation, dengan cara memadukan sejumlah aspek, yaitu data triangulation (membandingkan data wawancara dengan dokumen Ahmadiyah), theory triangulation (membandingkan teori Foucault dengan teori lainnya), dan methodological triangulation (membandingkan dan menyandingkan analisis wacana dengan verstehen).121 Peneliti berada dalam posisi diantara etik dan emik, tetapi dalam konseptualisasi wacana, peneliti berusaha untuk menggunakan kategori emik, misalnya menggunakan istilah Jemaat untuk menyebut Ahmadiyah di tingkat empiris lokal Maduqa. Posisi yang dipilih oleh peneliti adalah ”menjadi murid yang sedang berguru” kepada Jemaat Ahmadiyah. Selain itu --ini lebih penting untuk ditegaskan-- studi ini tidak hendak menfokuskan pada kelembagaan Ahmadiyah, tetapi fokus utamanya adalah "komunitas Jemaat Ahmadiyah". Pilihan fokus pada "komunitas" semakin terasa penting, jika dikaitkan dengan pernyataan Mannheim, yaitu: ……melainkan manusia dalam kelompok-kelompok tertentu yang telah mengembangkan suatu gaya pemikiran tertentu dalam rangkaian tanggapan terus menerus terhadap situasi-situasi khusus tertentu yang mencirikan posisi umum mereka.122 121
Ada 5 tipe dasar triangulasi (triangulation): a. data triangulation, yaitu menggunakan beragam sumber data dalam sebuah penelitian; b. investigator triangulation, yaitu melibatkan sejumlah peneliti atau tim evaluasi dalam sebuah penelitian; c. theory triangulation, yaitu menggunakan beragam perspektif teoretik untuk mengintrepretasikan data penelitian; d. methodological triangulation, memanfaatkan sejumlah metode untuk menelaah sebuah problem penelitian; e. interdisciplinary triangulation yaitu memadukan beragam disiplin keilmuan untuk meminimalkan dominasi keilmuan tertentu yang dianggap tidak relevan. Dikombinasikan dari tulisan Denzin dan Janesick. Lihat Norman K. Denzin, The Research Act: a Theoretical Introduction to Sociological Methods (New York: McGraw-Hill, 1978); dan Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitatve Research Design: Metaphor, Metodholatry, and Meaning,” dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research (New Delhi dan California: SAGE Publication, 1997), hlm. 214-215. Penelitian ini bergerak di antara ranah interobyektif dan inter-subyektif spatial theory model Kim Knott, The Location of Religion: A Spatial Analysis, Vol. I (London: Equinox Publishing, 2005), hlm. 12-13. 122 Mannheim, 1991, hlm. 3.
50
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode etnografi yang berpegang pada tiga prinsip pengumpulan data,123 yaitu menggunakan multi sumber bukti, menciptakan data dasar studi kasus, dan memelihara rangkaian bukti. Studi kasus di sini tidak dalam pengertian khusus tetapi dalam pengertian umum, yaitu sebuah penelitian empiris dengan memilih satu kasus (Jemaaat Ahmadiyah) yang berada di sebuah wilayah kecil (desa). Secara emik, penulis memandang Jemaat Ahmadiyah sebagai komunitas muslim, karena Ahmadiyah memiliki konsep dasar tentang Islam, mengaku sebagai muslim dan megamalkan ajaran Islam sesuai dengan penafsirannya. Menurut Ahmadiyah,124 Islam merupakan sebuah nama yang diberikan oleh Allah kepada agama Islam (QS. A-Maidah [5]:4).125 Islam berasal dari kata Arab yang secara harfiah berarti ketaatan dan kedamaian; akar kata Arab, salima berarti perdamaian, kemurnian, kesucian, penyerahan dan ketaatan. Jadi Islam berarti jalan orang-orang yang taat kepada Allah dan menciptakan kedamaian denganNya, dengan makhluk-Nya, dan pengikutnya disebut muslim. Menurut Ahmadiyah, Islam bukanlah agama baru, karena pada dasarnya, pesan dan bimbingan yang sama telah Allah turunkan kepada semua nabi sebelum Nabi Muhammad saw, sebagaimana firman Allah: Katakanlah, Kami beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail dan 123
Robert K. Yin, 1996, Studi Kasus, Desain dan Metode, diterjemahkan oleh M. Djauzi Mudzakir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 118-130. 124 Lihat ahmadiyya.or.id (akses 09-08-2014). 125 Lihat QS al-Maidah [5]:5 dalam al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama. Substansi al-Qur„an terbitan Ahmadiyah dan Departemen Agama adalah sama, hanya berbeda dalam metode penomoran. Al-Qur‟an terbitan Ahmadiyah memberi nomor 1 pada kalimat bismillah di setiap awal surat, sementara Al-Qur‟an terbitan Departemen Agama tidak memberinya nomor, kecuali pada surat al-Fatihah. Dengan demikian terdapat selisih 1 angka pada penomoran surat di setiap ayat.
51
Ishak dan Yakub dan generasi demi generasi, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan nabi-nabi lainnya dari Tuhan mereka; Kami tidak membeda-bedakan seorangpun dari antara mereka dan kami berserah diri kepada Nya.126 Ahmadiyah meyakini enam rukun iman dalam Islam, yaitu iman kepada Allah, semua malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, nabi-nabi-Nya, hari kiamat, dan ketentuan/ketetapan Allah. Mereka juga meyakini lima rukun Islam, karena untuk menjadi muslim, seseorang harus memahami, meyakini, dan menerima dengan sungguh-sungguh lima prinsip dasar Islam serta menerapkannya. Mereka merujuk pada Hadhrat Ibnu Umar yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Islam berlandaskan pada lima rukun Islam, yaitu: bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji.
2. Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau yang dikenal dengan Ahmadiyah aliran Qadian. Ahmadiyah merupakan istilah yang sering digunakan dalam karya akademik dan surat kabar yang terbit di Indonesia.127 Istilah Ahmadiyah juga digunakan oleh kalangan Ahmadiyah Indonesia secara umum untuk menunjuk nama organisasi. Dalam bab-bab awal,
126
QS Ali Imran (3): 85. Lihat karya-karya berbahasa Indonesia yang dipaparkan dalam studi literatur di atas. Sayang sekali, Ahmadiyah luput dari pengamatan Antropolog Clifford Geertz dalam karya master peace-nya. Lihat Clifford Geertz, 1963, The Religion of Java, New York: Chicago Press. Edisi Indonesia terbit tahun 1983 diberi judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. 127
52
digunakan istilah Ahmadiyah sebagai bentuk konvensi akademik yang patut ditempuh. Adapun Jemaat merupakan istilah yang tidak banyak digunakan dalam karya akademik di Indonesia, karena istilah ini bersifat spesifik. Dengan kata lain, istilah Jemaat lebih banyak ”diucapkan” dalam kehidupan sehari-hari warga Ahmadiyah, sebagaimana yang ”terdengar” dan ”teramati” di desa penelitian ini. Oleh karena itu, istilah tersebut akan banyak digunakan pada bab-bab akhir yang membahas Jemaat Ahmadiyah di tingkat empiris. Dalam kajian etnografi, cara ini sering disebut dengan ”emik”128 atau sudut pandang subyek penelitian. Mereka dihargai untuk menuliskan sejarahnya sendiri. Jadi peneliti mengikuti konstruksi yang dibangun oleh subyek penelitian, bukan membangun konstruksinya sendiri. Dua istilah (Jemaat dan Ahmadiyah) digabung dan digunakan untuk menamai Ahmadiyah Indonesia (aliran Qadian)129 yang secara resmi menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).130 Dalam situs JAI disebut nama Jamaat Muslim Ahmadiyah Indonesia.131 Dari aspek yuridis,132 nama JAI berguna untuk
128
Emik mengacu pada pandangan warga masyarakat yang dikaji (native‟s viewpoint), sedangkan etik mengacu pada pandangan peneliti (scientist‟s viewpoint). Konstruksi emik dilakukan oleh subyek penelitian, sedangkan konstruksi etik diberikan oleh pengamat. Lihat Margaret Mead, 1973, Changing Styles Of Anthropological Work, Annual Review of Anthropolology, Issue 2: 1-27. 129 Nama Qadian merujuk pada tempat kelahiran pendiri Ahmadiyah. Ahmadiyah didirikan tahun 1889 (versi Qadian) oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, suatu desa kecil di daerah Punjab India, lihat www.ahmadiyya.or.id (akses 11-08-2014). 130 Ahmadiyah aliran Qadian dengan organisasi yang bernama Jemaat Ahamadiyah Indonesia (JAI), berpusat di Parung Bogor Jawa Barat dan Jakarta, sedangkan Ahmadiyah aliran Lahore dengan organisasi yang bernama Gerakan Jemaat Indonesia (GAI), berpusat di Baciro Yogyakarta. 131 Lihat www.ahmadiyya.or.id: istilah yang dipilih adalah Jamaat (bukan Jemaat), menyesuaikan dengan istilah yang biasa digunakan di level internasional, dan ada kata muslim sebuah penegasan bahwa Ahmadiyah adalah komunitas muslim, sebagaimana juga tertera dalam situs Ahmadiyya internasional. Lihat www.alislam.org, dan www.ahmadiyya.or.id (situs resmi JAI ini memuat visi, misi, sejarah, program dan kegiatan Ahmadiyah di berbagai daerah. Hak cipta oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia © 2003-2014).
53
membedakan dengan Ahmadiyah aliran Lahore133 yang secara resmi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI).134 Dua organisasi ini telah membuka sejumlah cabang di wilayah hukum Indonesia. Diantaranya, JAI135 telah membuka cabang di desa tempat penelitian ini dilakukan.
3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Informasi Teknik penelitian yang digunakan adalah: observasi terlibat (participant observation), wawancara mendalam (indepth-interview), riwayat hidup (life history), studi literatur dan dokumentasi. Observasi terlibat dipilih karena ruang gerak penelitian ini berada di wilayah nilai dan wacana yang tentu saja tidak cukup dengan survay. Cara ini dilakukan
untuk
melihat
secara
langsung
aktivitas
intelektual
dan
sosial-keagamaan mereka, yaitu meliputi pengamatan pada setting sosial,
132
Pada akhir tahun 1952 M, Pengurus Besar JAI mengajukan surat kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai Badan Hukum, dan pada tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman RI Indonesia melalui Surat Keputusan No. JA.5/23/13 menetapkan, bahwa Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah Badan Hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26. Di beranda situs tersebut tertulis “Muslim yang percaya kepada Masih Mau‟ud dan Imam Mahdi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani (as). Lihat www.ahmadiyya.or.id (akses 11-08-2014). 133 Nama Lahore merujuk pada tempat meninggalnya pendiri Ahmadiyah. Berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini yang lahir pada 13 Pebruari 1835 di desa Qadian Punjab, India dan meninggal tahun 1908 di Lahore. Gerakan Ahmadiyah lahir di India pada tahun 1888 (versi Lahore). Lihat Iskandar Zulkarnain, 2005. 134 Lihat situs resmi GAI: ahmadiyah.org (akses 11-08-2014). GAI didirikan pada tanggal 28 September 1928 dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum dengan Keputusan Pemerintah, atau Gouvernements Besluit, tanggal 4 April 1930 No. 1x (Extra bijvoegel Jav. Courant 22 April 1930 No. 32), kemudian terdaftar di Departemen Agama RI Tanggal 27 Desember 1963, Nomor 18/II, dan termuat dalam Berita Negara pada lampiran No. 35 yang diumumkan pada tanggal 28 November 1986 Nomor 95 sebagai organisasi kemasyarakatankeagamaan (Islam). Di beranda situs tertulis ”Gerakan Ahmadiyah Indonesia Menegakkan Kedaulatan Allah.” 135 JAI telah membuka 340 Cabang di Indonesia yang didukung oleh 250-an mubaligh dan diikuti oleh lebih dari 50 ribu Ahmadi.
54
fenomena kultural, dimana tempatnya, bagaimana bentuk interaksinya, yang kesemuanya itu kemudian diinterpretasikan untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya. Peneliti terlibat dalam berbagai kegiatan mereka, seperti shalat berjamaah, pengajian, penyembelihan hewan kurban, dan resepsi pernikahan. Ketika Jemaat memperoleh serangan dari pihak luar, peneliti juga ikut ronda malam bersama mereka. Ronda malam ini dilakukan karena seringkali ada serangan dari pihak luar pada malam hari. “Mereka para penyerang itu boleh jadi teman kita di siang hari, tetapi musuh kita di malam hari,“ kata salah seorang dari mereka.136 Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa para penyerang Jemaat ini terdiri dari orang dalam (warga desa setempat yang non-Ahmadiyah), selain para bala bantuan dari pihak luar desa. Dalam sebuah pengakuan dari ghaer137 (orang non-Ahmadiyah), mereka mulai dari anak-anak dan remaja sudah sejak lama “tergoda“ untuk melempari rumah warga atau masjid Ahmadiyah, yang pada awalnya hanya tindakan “iseng“ belaka. Sayang sekali,“keisengan“ itu memperoleh energi dari provokasi pihak luar yang kemudian berubah menjadi kekerasan kolektif. Wawancara mendalam digunakan khusus untuk orang yang menjadi key person. Dengan cara ini, corak pemikiran dan fokus perhatian, serta aktivitas mereka dapat diungkap lebih rinci dan mendalam. Key person menyediakan 136
Disampaikan warga Jemaat yang sedang memperoleh giliran ronda malam. Sebagian mereka ada yang mengeluhkan situasi penyerangan ini, karena mereka harus ikut giliran ronda malam, sementara di pagi hari harus bekerja sehingga dapat terserang rasa kantuk. 137 Istilah ghaer merupakan pengucapan sehari-hari warga Jemaat untuk menunjuk orang di luar anggota Jemaat Ahmadiyah. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab ghair atau ghairun yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan the other, dan dalam bahsa Indonesia berarti “yang lain” atau “liyan.”
55
pemahaman yang dalam mengenai setting sosial penelitian, mampu memberikan sejarah setting, apa yang terjadi ketika peneliti tidak berada di lapangan. Di sini key person dapat bertindak sebagai observer's observer.138 Wawancara mendalam tidak hanya ditujukan kepada pimpinan Ahmadiyah dan elit desa seperti kepala desa maupun tokoh agama seperti ketua Jemaat dan para mubaligh, tetapi juga ditujukan kepada warga biasa.139 Informasi dari warga biasa menyediakan hidden trancrip yang seringkali berbeda dari teks resmi yang tersedia. Seorang warga Jemaat yang kurang taat dalam ritual agama menyatakan: ……meskipun saya tidak menjalankan shalat dengan teratur, tetapi saya tidak rela kalau Jemaat diserang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Keyakinan ini sudah diajarkan oleh kakek nenek kita sejak dulu di Maduqa, jadi kalau diserang saya harus membelanya.140 Peneliti mewancarai puluhan orang, baik dari kalangan muda maupun kalangan tua. Wawancara juga ditujukan kepada kelompok ibu dan anak-anak yang selama ini banyak ditinggalkan oleh umumnya peneliti. Wawancara dengan kalangan non-Jemaat (ghaer, the other) dilakukan untuk memberikan data pembanding, sehingga dapat mempertajam analisis. Teknik riwayat hidup (life history) digunakan untuk menelusuri sejarah dan pengalaman hidup mereka. Dalam teknik riwayat hidup ini penulis tidak hanya menggali informasi mengenai pengalaman hidup dari mereka yang diwawancarai seperti kepala desa dan ketua Jemaat, tetapi juga riwayat tokohtokoh terdahulu (yang sudah meninggal) yang berperan mengawal dan
138
Bogdan dan Taylor, 1984, hlm 25. Wawancara secara medalam ditujukan kepada 20 informan, selain kepada puluhan orang yang ditemui secara acak. 140 Wawancara dengan KBR (22-09-2010). 139
56
mengembangkan Jemaat. Teknik ini bermanfaat untuk memberikan konsep dasar dalam memaknai Jemaat dari sudut pandang emik. Studi literatur pertama-tama dilakukan dengan pembacaan atas karya akademik dari para peniliti sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab “Ahmadiyah dalam Ragam Kajian.“ Untuk memperluas wacana perdebatan, penulis melakukan pembacaan terhadap literatur dan dokumen yang dikeluarkan oleh Ahamdiyah maupun
para penentangnya. Cara ini ditempuh untuk
mengetahui sudut pandang dan jenis ideologi yang membingkai masing-masing pandangan. Teknik dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dokumen yang dimiliki oleh Jemaat lokal maupun nasional, dan melalui situs remi yang mereka terbitkan, baik situs Indonesia mapun situs internasional. Cara ini dilakukan untuk menghubungkan wacana lokal, nasional, dan internasional. Selain itu, juga dilakukan penelusuran situs-situs para penentang Ahmadiyah. Studi dokumentasi berguna untuk mengungkap doktrin yang dikonstruksi Ahmadiyah dan modus operasi yang dikembangkannya. Dokumen yang diperlukan adalah buku-buku yang memuat paham dan ajaran pokok yang didakwahkan secara berkesinambungan oleh para mubaligh dan pimpinan Ahmadiyah. Doktrin yang terpenting menyangkut beberapa masalah seperti alMahdi, al-Masih, kenabian, kewahyuan, khilafat, dan jihad akbar. Teknik dokumentasi dilakukan juga untuk mengamati kebijakan pemerintah khususnya kebijakan mengenai pembinaan kehidupan keagamaan, seperti UU No. 1/PNPS/ 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan
57
Agama; Aturan-aturan yang terkait dengan pembinaan keagamaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kuningan, seperti SKB antara Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kuningan tentang pelarangan Ajaran Ahmadiyah. Dokumen ini mencakup surat, maklumat, dan buku mengenai tanggapan Jemaat atas fatwa MUI, maupun kelompok lain yang tidak setuju dengan keberadaan Jemaat; Dokumen mengenai Temu Wicara antara Jemaat dengan DPR RI, maupun dengan Komnas HAM, lembaga Advokasi, serta lembaga terkait lainnya; dan Fatwa MUI berupa Keputusan Munas II MUI: No.05/Kep/Munas II/MUI/1980 dan Keputusan Munas VII MUI: No.11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah. Ditelusuri juga data struktur kelembagaan, karakteristik tokoh dan pengikut, kebijakan dan program kerja; Sistem keyakinan, ritual, dan tindakan yang dikemas untuk mempertegas posisi kawan dan lawan, membangun persamaan persepsi, dan mempengaruhi opini publik; Isu sosial politik dan keagamaan yang dipergunakan sebagai saluran pembelaan dan perlawanan; Model kerjasama yang dibangun untuk menyalurkan berbagai kepentingan; dan Jaringan komunikasi yang dipergunakan untuk memberi makna dan manfaat gerakan.
4. Lokasi dan Waktu Beberapa argumen atas pilihan komunitas tersebut adalah: Jemaat Maduqa dikenal sebagai ideal type Jemaat Ahmadiyah Indonesia; Mayoritas penduduk
58
desa tersebut adalah pengikut Jemaat;141 Kepala desa dijabat oleh aktivis Jemaat; Mereka mengalami pasang surut tekanan dan teror dari para penentangnya.142 Pilihan waktu pasca fatwa MUI 2005 sampai 2013, karena pada era tersebut terjadi kontestasi politik keagamaan yang tinggi diantara berbagai kelompok dalam merespon fatwa dengan segenap implikasinya. Seiring dengan itu, Jemat Ahmadiyah merasa terpojokkan, tetapi sekaligus mampu membangun solidaritas dan mengakumulasi energi untuk melakukan perlawanan.
5. Tantangan sebagai Peneliti Banyak pertanyaan yang selalu menyertai penulis, ketika harus memutuskan untuk mengkaji tentang Ahmadiyah dalam realitas konkrit (in concreto), dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kajian yang melihat konteks pasang-surut dan tantangan Ahmadiyah dalam menghadapi serangan lawanlawannya. Keputusan ini tidak mudah, tetapi harus dipilih, mengingat kajian tentang Ahmadiyah selama ini banyak didominasi oleh studi yang bersifat abstrak (in abstracto), yaitu kajian yang cenderung melihat teks semata, bahkan “apa yang dibayangkan orang tentang Ahmadiyah”. Pembacaan “dari jauh” semacam itu
141
Pengikut Ahmadiyah Cabang Maduqa sebanyak 3000an anggota (sekitar 70% penduduk). 142 Penyerangan terhadap anggota jemaat dan pengrusakan tempat ibadat jemaat seringkali terjadi di Maduqa. Pada 29 Juli 2005, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan secara resmi menutup satu masjid, yaitu masjid an-Nur, dan tujuh musola serta satu gedung pertemuan Fadhal Umar milik jemaat Ahmadiyah. Tindakan ini merupakan tindak lanjut dari surat keputusan bersama (SKB) antara Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Departemen Agama Kabupaten Kuningan pada 20 Desember 2004, lihat Aris Mustofa dkk, 2005, hlm 112-113; Majalah Pemuda Ahmadiyah GEMA, Edisi II Th. IV/Februari 2004, hlm 44; dan Dokumen Mata Rantai Tindakan Aniaya terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
59
cenderung bias dan mengadili tanpa konfirmasi, sehingga kehilangan arti dan relevansi.143 Kaum muslimin di Indonesia, dan juga kalangana akademik, masih banyak yang belum mengenal apa itu sebenarnya Ahmadiyah?. Manakah yang aliran Ahmadiyah Lahore dan manakah yang aliran Ahmadiyah Qadian?. Sebagian masyarakat melihat Ahmadiyah sebagai aliran agama Islam yang “memiliki nabi sendiri”, yang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah dianggap aliran yang “aneh” (tidak dimusuhi, tetapi juga tidak dibenci) atau dianggap sebagai aliran yang “sesat menyesatkan”, dan “murtad” (dimusuhi, sekaligus dijadikan lawan). Pandangan yang terakhir menjadi pilihan fatwa MUI, untuk kemudian dijadikan argumen oleh sebagian kelompok masyarakat untuk menyikapi keberadaan Ahmadiyah. Meskipun demikian, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang bersimpati kepadanya. Penulis semakin yakin bahwa penelitian mengenai Ahmadiyah sangat penting dilakukan, meskipun sejumlah peneliti menghadapi kesulitan dalam mendekati Ahmadiyah di masa-masa mereka menghadapi stigma sesat dan represi yang bertubi-tubi. Dengan pendektatan kekeluargaan, kedatangan penulis disambut dengan baik oleh mereka. Beberapa pesan dan harapan dari keluarga Ahmadiyah Maduqa disampaikan kepada penulis, diantarnya dapat disimak berikut ini:
143
Ilmu pengetahuan dan agama perlu digerakkan ke arah relevansi akademik dan sosial sekaligus, sehingga tidak menjadi menara ganding tetapi menjadi menara air, saling mengisi, bersentuhan satu sama lain, dan bermanfaat untuk kehidupan manusia dan lingkungannya. Dalam konteks yang lebih luas, pembangunan haruslah membebaskan. Lihat Amartya Sen, 2000, Development as Freedom, New York: Anchor Books.
60
“Mohon do‟a semoga Allah swt memberi kekuatan dan ketabahan serta senantiasa melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada Jemaat di Maduqa yang sedang mendapat ujian dan cobaan, Amien. Kami senang sekali Bapak menginap di rumah kami.” “Mohon maaf apabila banyak kekurangan dalam penerimaan maupun pelayanan selama Bapak berada di Maduqa. Mohon do‟a untuk Jemaat di Maduqa agar diberi kekuatan dan ketabahan dalam menerima segala ujian. Harapan kami, Bapak dapat menjembatani pandangan Jemaat kepada semua pihak seperti apa yang dilihat dan dirasakan sendiri oleh Bapak. Salam untuk keluarga. Wass.wr.wb.“144 Harapan tersebut disampaikan pada beberapa hari pasca peristiwa penyegelan Masjid Ahmadiyah dan “peristiwa berdarah” di Maduqa menjelang hari raya Idul Adha 1428 H, bertepatan dengan tanggal 20 Desember 2007 M. Peristiwa Maduqa tidak saja menjadi berita publik dan keprihatinan Ahmadiyah di Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian khusus Khalifah Ahmadiyah yang berkedudukan di Inggris. Amir JAI menginformasikan: “Hudzur atba mendo‟akan warga di Maduqa dan menyebutkan kejadian di sini dalam khutbah „ied di London.”145 Gambaran ini menunjukkan bahwa penderitaan yang dirasakan oleh warga Ahmadiyah juga dirasakan oleh pemimpin mereka. Dalam sebuah kesempatan sehabis
shalat isya‟ berjamaah, penulis
berbincang-bincang dengan sejumlah warga Ahmadiyah di Masjid An-Nur Maduqa. Masjid ini merupakan masjid utama yang berada dalam satu komplek dengan “rumah misi” yang dihuni oleh mubaligh Ahmadiyah sekeluarga. Penulis memperkenalkan diri sebagai orang NU (Nahdlatul Ulama) yang sedang menulis 144
Disampaikan oleh SNT (25-12-2007). SNT adalah anak salah seorang tokoh terkemuka Jemaat Ahmadiyah Maduqa generasi pertama. SNT tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan Jemaat di Maduqa maupun di tempat tinggalnya yang sekarang. Dia sesekali berkunjung ke rumah orang tuanya di Maduqa. SNT tidak pernah masuk dalam struktur pengurus organisasi, tetapi dia memiliki ikatan kultural yang kuat dengan Jemaat. 145 Disampaikan oleh ABB (20-12-2007). ABB adalah tokoh yang dipercaya untuk menduduki posisi Amir Nasional Ahmadiyah tiga periode berturut-turut. Dia mengalami masamasa yang sulit karena Ahmadiyah memperoleh serangan dari berbagai penjuru, baik yang datang dari para agamawan maupun pejabat pemerintah.
61
disertasi di program S3 UGM mengenai Ahmadiyah. Dengan nada bergurau, seorang warga Ahmadiyah146 bertanya kepada penulis: “Mas, Anda ini dari NU yang mana?, NU-nya Gus Dur atau NU-nya Ma‟ruf Amin?147 Penulis cukup terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dengan termenung sejenak, penulis segera menjawab: “Ya Pak, saya dari NU-nya Gus Dur.” Mereka tampak sangat senang memperoleh jawaban tersebut. Pada saat itu, Gus Dur dikenal sebagai cendekiawan muslim yang sangat gigih membela Ahmadiyah. Nama Gus Dur sangat mereka kenal, meskipun dari mereka banyak yang belum pernah bertemu langsung dengan Gus Dur. Dibandingkan dengan Gus Dur, Ma‟ruf Amin kurang dikenal oleh Ahmadiyah. Sejumlah warga Ahmadiyah yang terdidik mengenal Amin Ma‟ruf sebagai pimpinan MUI yang memotori fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah. Fatwa ini sangat populer, seiring dengan pelabelan negatif dan kekerasan yang menimpa mereka. Secara umum, orang NU terpecah menjadi dua kelompok, yaitu pro dan kontra Ahmadiyah. Gus Dur dan Ma‟ruf Amin seakan mewakili kenyataan warga NU dan umat Islam pada umumnya yang juga terbelah dalam menyikapi keberadaan Ahmadiyah, termasuk Ahmadiyah Maduqa. Gambaran ini tentunya tidak memungkiri adanya kelompok ketiga, yaitu kelompok moderat, baik yang
146
Pertanyaan disampaikan oleh UBM (18-12-2007). UBM adalah salah seorang pengurus Cabang Ahmadiyah Maduqa yang sangat terpelajar dan mengikuti perkembangan berita Ahmadiyah di tanah air. Sayangnya, ia tidak cukup aktif di kegiatan Ahmadiyah Maduqa karena sering bolak-balik Maduqa-Jakarta untuk urusan keluarga. Dia menyimpan dan menunjukkan kepada penulis sebuah artikel yang ditulis oleh Djohan Effendi tentang Ahmadiyah Maduqa yang dimuat di Jurnal Ulumul Quran pimpinan Dawam Rahardjo. 147 Gus Dur yang dimaksud adalah K.H. Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Tanfidziah PB NU dan Presiden RI (1999-2001); K.H. Ma‟ruf Amin adalah Pengurus Syuriah PB NU, Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama (2007-2009 dan 2010-2014).
62
muncul ke permukaan maupun yang “diam.”148
Ragam pandangan tersebut
semakin menampakkan corak kontroversial Ahmadiyah sebagai teks sosial yang terbuka untuk dibaca dengan perspektif analisis wacana kritis.
6. Analisis Data Data yang terkumpul akan dianalisis dengan mengikuti model interaktif tiga alur kegiatan yang berlangsung bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.149 Tiga hal utama tersebut bergerak bersamaan, jalinmenjalin pada saat sebelum, selama, dan setelah pengumpulan data, dalam bentuk yang sejajar untuk membentuk wawasan umum yang disebut analisis. Kegiatan ini merupakan proses siklus dan interaktif. Data yang tersedia dianalisis dengan pendekatan analisis wacana Foucauldian dengan model análisis kritis dan perlawanan yang dikembangan oleh Stuart Hall, Teun A. Vandijk dan James C Scott. Kajian ini mempelajari bagaimana kuasa150 disalahgunakan atau bagaimana dominasi dan hegemoni
148
Beberapa orang yang penulis temui di masjid LHD (basis penyerangan Ahmadiyah) tidak terlalu tertarik pada kasus penyerangan, baginya yang penting Maduqa segera tenang. Bahkan aparat kepolisian yang bertugas di lapangan pada dasarnya tidak terlalu paham dengan sebab penyerangan yang berlangsung di sana. Di masjid LHD, beberapa menit sebelum khutbah Jum‟at dimulai seringkali digunakan untuk ceramah yang mengecam keberadaan Ahmadiyah oleh tokoh setempat. Pada sebuah kesempatan (19-12-2007), penulis mendengar kebingungan aparat ketika berbincang-bincang sesama kolega mereka, “di sini ceramah begini di sana begitu, terus yang benar yang mana?.” 149 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: UI Press, hlm. 16. 150 K. Bertens menulis point penting dalam konteks kuasa Foucault, yaitu: kuasa bukanlah milik melainkan strategi; kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat dimana-mana; kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi; kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Efek kuasa tidak selalu negatif: seolah-olah kuasa meniadakan, merepresi, menyensor, dan menyembunyikan, pada kenyataannya kuasa memproduksi. Kuasa memproduksi realitas dan lingkup obyek serta ritus-ritus kebenaran, baik manusia perorangan maupun pengetahuan yang dapat diperoleh daripadanya. Lihat K. Bertens, 1996, Filsafat Barat Abad XX : Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 321-324.
63
diproduksi dan direproduksi melaui teks dalam sebuah konteks sosial politik. Model kajian ini merupakan upaya untuk mengembalikan studi sosial budaya pada akar tradisinya sebagai studi kritis (crtical studies).151 Kriteria utama dalam studi kritis adalah analisis kontekstual dengan memperhatikan interkoneksitas keilmuan. Kualitas kajian ini bertumpu pada penempatan teks dalam konteks yang utuh, melalui pertautan antara analisis pada jenjang teks dengan analisis terhadap konteks pada jenjang yang lebih tinggi. Dengan
demikian,
kajian
ini
menekankan
multilevel
analysis
yang
menghubungkan analisis pada jenjang teks (mikro) dengan analisis pada jenjang meso dan makro.152 Penganut paradigma kritis dari aliran post-strukturalis sangat berhati-hati dalam menyikapi teks, mulai dari formulasi sampai interpretasinya. Interpretasi dominan cenderung mengutamakan nilai-nilai dominan saja sehingga yang marginal kurang diperhatikan. Aliran ini justru ingin memusatkan perhatiannya pada yang marginal dan cenderung menolak aspek yang dominan. Pusat tidak selalau memegang peranan penting dalam sebuah teks.153 Studi ini menempatkan wacana tidak sekedar sebagai bahasa, tetapi menghubungkannya dengan konteks. Perspektif kritis menjadikan kajian ini berbeda dengan pandangan kaum positivisme-klasik maupun konstruktivisme. 151
Dedy N. Hidayat, 2003, “Pengantar Analisis Wacana,” dalam Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKiS, hlm. ix. 152 Ibid., hlm. xi: Lihat juga Eriyanto, 2003, hlm. 18. Sebuah teks sebagai wacana tidak dapat dilepasan dari kuasa, karena pesan dalam teks menyembunyikan kepentingan untuk melakukan dominasi dan hegemoni. Wacana adalah suatu alat representasi yang memberikan kemungkinan bagi suatu kelompok mendominasi kelompok yang lainnya. Dalam banyak kasus, kelompok atas meminggirkan kelompok bawah, dan kelompok mayoritas memarginalkan kelompok minoritas 153 Norman K Denzin dan Yvonna S. Lincoln, 1994, Handbook of Qualitatif Research, London: SAGE Publications.
64
Kajian ini menyelidiki bagaimana bahasa digunakan kelompok sosial di masyarakat untuk bertarung dalam ruang publik.154 Di sini praktik wacana menampilkan efek ideologi, yaitu dengan memproduksi dan mereporduksi relasi kuasa.
7. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan disertasi disusun dalam 6 bab, yang dimulai dengan pendahuluan, kerangka pemikiran, analisis dan temuan penelitian, dan diakhiri dengan pentup. Bab I PENDAHULUAN terdiri dari Latar Belakang, Masalah Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Ahmadiyah dalam Ragam Kajian, kemudian kajian mengenai Berbagai Perspektif Penjelasan Relasi Kuasa, Relasi Kuasa dan Wacana, serta sejumlah pandangan Foucauldian. Secara lebih khusus bab ini menjelaskan analisis wacana dan perlawanan yang diajukan oleh Stuart Hall (Represenasi dan Identitas) dan Teun A. van Dijk (Kognisi Sosial), serta James C. Scott (Seni Melawan dan Menolak Perintah). Bagian akhir bab ini mengulas Metode Penelitian yang mencakup pilihan metode Kualitatif: Relasi Emik-Etik, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Informasi, Lokasi dan Waktu, Tantangan sebagai Peneliti, dan Analisis Data. Bab II membahas
SEJARAH, DOKTRIN DAN IDENTITAS
AHMADIYAH, diawali dengan Pengantar, Apa itu Ahmadiyah, Sejarah dan
154
Norman Fairlough dan Ruth Wodak, 1997, “Critical Discourse Analysis,” dalam Teun A. van Dijk (ed.), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction, London: SAGE Publication, hlm. 257-258. Bandingkan dengan Jurgen Habermas, 1989.
65
Dinamika yang mencakup: Sang Pendiri, Setting Kelahiran, Perkembangan, Menyapa Dunia dengan MTA, dan Hadirnya Ahmadiyah di Tanah Air. Selanjutnya membahas Doktrin dan Identitas Ahmadiyah yang membicarakan isu berikut, yaitu: Trilogi Ahamdi (al-Mahdi+ al-Masih+ Nabi), Konsep Kewahyuan, Konsep Khilafat, Peace: Menolak Jihad Asghar, Chandah Sebagai Sitem Infak, Tanda Jasa: Makam al-Washiyat, Tapal Batas: Masjid dan Keluarga. Bab ini memberikan ilustrasi keberhasilan Ahmadiyah dalam membangun pembeda yang khas dari komunitas muslim di luarnya. Bab III membahas MADUQA: POTRET EKSISTENSI JEMAAT, diawali dengan Pengantar, Sketsa Desa, Kedatangan Jemaat, Kelembagaan dan Kemapanan. Bab ini menguaraikan ciri khas desa dan dinamika Jemaat setempat, serta peran para tokoh dan tantangan yang dihadapinya untuk memberi gambaran pergulatan mereka dalam mengawal eksistensi Jemaat. Dengan militansi yang mereka miliki, mereka menunjukkan kekuatan solidaritas yang mereka bangun dari waktu ke waktu. Bab
IV
membahas
TAKDIR
JEMAAT:
REPRESI
DAN
REPRESENTASI, diawali dengan Pengantar, Sejarah dan Bentuk Represi. Bab ini juga membahas ide Anti Kekerasan Ahmadiyah dan problem di lapangan dalam relasi Doktrin, Inspirasi dan Aksi Menghadapi Kekerasan. Sebagai upaya menghidari balas dendam kekerasan (dari luar), Jemaat Ahmadiyah memilih tiga representasi diri (dari dalam) yang mereka idealkan, yaitu: Muslim yang Benar, Warga Negara yang Baik, dan Manusia yang Terpilih. Kemudian mengkaji Jemaat dalam membangun sistem Representasi dan Diferensiasi yang mencakup
66
Rasionalitas dalam Representasi, Dari Dekonstruksi ke Diferensiasi. Dengan representasi yang dipilihnya, Ahmadiyah berusaha menghindari kekerasan yang dibalas dengan kekerasan. Ban VI membahas SENI PERLAWANAN: WACANA DAN AKSI MENGHADAPI KEKUATAN EKSTERNAL, diawali dengan Pengantar, menampilkan tiga bentuk wcana tanding, yaitu: Ideologis-Teologis, YuridisPolitis, dan Sosiologis-Kultural. kemudian menjelaskan
mengenai cara
Ahmadiyah Melawan Dominasi: The Arts of Resistance yang terdiri dari tiga stategi, yaitu: Menghindar, dan Melanggar, Mendekat. Berikutnya mengkaji strategi Jemaat dalam membangun Eufemisme di Ruang Publik, dinamika kuasa Ahmadiyah Dari Dominasi Eksternal ke Hegemoni Internal dengan ciri Kultural Ideologis: Ekskomunikasi dan Eksklusi, dan ciri Ekonomi Politik: Marginalisasi dan Deligitimasi. Bab ini menegaskan tentang kekuatan strategi Jemaat dalam membendung arus represi dan dominasi kekuatan eksternal. Bagian akhir adalah Bab VII PENUTUP yang berisi Kesimpulan dan Rekomendasi. Kesimpulan disertasi ini menjawab dua perincian masalah penelitian sebagaimana diajukan pada bab I. Rekomendasi bersifat akademik untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan praktik untuk perbaikan kebijakan pemerintah, ormas keagamaan, lembaga pendidikan Islam dan pesantren.
67