EXECUTIVE SUMMARY PENOLAKAN PENCANTUMAN ‘ISLAM’ PADA E-KTP BAGI PENGANUT JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI MANISLOR KUNINGAN
P
asca terbitnya SKB 3 Menteri Tahun 2008 terkait Ahmadiyah, kasus terkait Ahmadiyah di Indonesia cenderung menurun. Dengan SKB ini pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dilarang menyebarkan paham kenabiannya, dan warga masyarakat dilarang melakukan kekerasan terhadap warga JAI. Dua-sisi larangan ini menyebabkan semua pihak menahan diri. Namun demikian, dua-tiga tahun kemudian, terjadi lagi satu-dua kasus terkait Ahmadiyah, antara lain penyerangan warga JAI dan perusakan rumah ibadat. Yang terjadi tahun 2015 ini adalah kasus penolakan warga masyarakat atas pencantuman kata “Islam” pada kolom agama pada KTP warga JAI di Desa Manislor, Kuningan. Warga menolak status Islam bagi Ahmadiyah, karena memandang Ahmadiyah bukan bagian dari Islam. Di sisi lain, pihak JAI merasa dan menyatakan diri Muslim, dengan syahadat dan berbagai aktivitas ibadat Islamnya. Warga JAI di Manislor yang notabene mayoritas kemudian mengadukan perihal hak sipilnya ini ke pemerintah setempat. Bupati Kuningan lalu menyampaikan surat kepada Menteri Agama dan Menteri
~1~
Dalam Negeri, meminta arahan dan kebijakan terkait persoalan ini. Terhadap kasus ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian, yang mengungkap dinamika hubungan antara warga JAI dan masyarakat, khususnya terkait kasus penolakan warga masyarakat atas pencantuman kata “Islam” pada e-KTP warga Ahmadiyah. Secara terperinci, pertanyaan penelitian ini, sbb: (1) Bagaimana dinamika penolakan pencantuman kata “Islam” pada e-KTP warga JAI Manislor? Siapa aktor utamanya? Apa latar belakang dan motivasinya?; (2) Bagaimana posisi keyakinan dan kemasyarakatan warga JAI pasca SKB 3 Menteri, apakah sesuai atau tidak dengan 12 butir klausul penjelasan PB JAI? Lalu, apakah tuntutan SKB terpenuhi?; dan (3) Faktor apa yang mendorong bergulirnya kasus ini, adakah isu-isu non agama? Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengumpulkan data dan informasi dengan mewawancarai sejumlah pihak baik di kalangan JAI, masyarakat sekitar Manislor, aparat keamanan, maupun tokoh kunci lainnya. Selain itu, studi dokumentasi atas berkas-berkas dan referensi terkait Ahmadiyah pun dilakukan. Observasi ke Desa Manislor, Kuningan, dan sekitarnya dilakukan selama tujuh hari, pada 12-18 Mei 2015. Penelitian ini menemukan dan memaparkan kronologi penolakan warga Kuningan atas warga pengikut JAI di Manislor, mulai dari kedatangannya ke Kuningan, rangkaian
~2~
penolakan dari masa ke masa, hingga kasus penolakan pencantuman kata “Islam” pada e-KTP warga JAI tersebut. Bahwa penolakan terhadap eksistensi Ahmadiyah di Kuningan telah terjadi sejak kedatangan tahun 1954, khususnya di Desa Manislor, di mana banyak sekali warganya yang menjadi pengikut JAI. Bahkan pada tahun 2002 ada Pernyataan Bersama MUI, Ormas Agama Islam, dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Kabupaten Kuningan tentang Pembekuan dan Pembubaran Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan. Bahkan telah terbit juga Keputusan Bersama Muspida, DPRD, MUI, Pimpinan Pondok Pesantren dan tokoh masyarakat yang hendak melarang dan membubarkan JAI. Dalam momentum adanya keharusan membuat identitas dalam e-KTP, maka aspirasinya adalah pelarangan warga JAI menuliskan kata “Islam” pada eKTP-nya, karena dipandang bukan Islam. Jika diberikan, ada ancaman terjadinya gesekan atau konflik horizontal. Di sisi lain, ketika tidak diberikan status Islam di e-KTP, sesuai keinginan dan pengakuan yang bersangkutan, maka Pemerintah Daerah (Bupati dan/atau Dukcapil) terancam diPTUN-kan atas kelalaian pelayanan hak warga negara. Untuk itu, pertanyaannya, apakah JAI Islam atau bukan Islam? Untuk ini, penelitian ini mencoba menjawabnya dengan menguji 12 butir penjelasan PB JAI dan implementasi SKB 3 Menteri. Setelah dievaluasi dan dianalisis kesesuaian antara diktum-diktum tertulis (12 butir) dengan fakta di lapangan dan dalil-dalil teoritik terkait, ditemukan bahwa secara umum telah sesuai atau dapat dipahami, kecuali dua hal. Pertama, ganjalan ~3~
teologis karena warga JAI tidak bersedia bermakmum dengan umat Islam lain. Dan kedua, persoalan krusial konsep kenabian “Muhammad sebagai nabi penutup.” Analisis peneliti, kedua hal ini dapat masuk dalam ruang perbedaan pemahaman dalam Islam, dan tidak harus sampai pada pengkafiran. Ada dalil, misalnya, sepanjang seseorang masih bersyahadat maka dia adalah Islam. Penelitian ini menyimpulkan: (1) dinamika penolakan pencantuman kata “Islam” pada e-KTP warga JAI Manislor merupakan satu babak dari rangkaian penolakan warga masyarakat Kuningan terhadap eksistensi JAI di Manislor. Para aktor, yakni umat Islam Kuningan, melakukan penolakan karena memandang Ahmadiyah bukan Islam. (2) Posisi keyakinan dan kemasyarakatan warga JAI pasca SKB 3 Menteri umumnya sesuai kecuali dua hal krusial, yakni soal konsep khatamun nabiyyin dan keengganan bermakmum. Keduanya masih dapat dijelaskan dalam kerangka keragaman pemahaman. Dan (3), faktor apa yang mendorong bergulirnya kasus ini, adakah soal pemahaman keagamaan, dan tidak terlalu menonjol adanya isu-isu non agama. Dari penelitian ini dapat dipertimbangkan untuk warga JAI Manislor diberikan e-KTP dengan pencantuman Islam dalam kolom agamanya. Hal ini ini didasari atas beberapa pertimbangan yaitu: pertama, semata-mata dalam rangka memenuhi hak-hak konstitusional warga JAI Kuningan dan menjalankan peraturan perundangan yang ada (UU HAM, UU Adminduk, dan lainnya), sehingga akan lebih bersifat ~4~
memberikan kepastian hukum. Persetujuan atas status Islam itu memang bukan wilayah justifikasi Negara, namun Negara sesuai konstitusi, harus memberikan perlindungan dan jaminan atas kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua, dalam lingkup sosial kemasyarakatan, kehidupan masyarakat di Manislor khususnya dan di Kabupaten Kuningan pada umumnya relatif semakin membaik, pengurus JAI Manislor sering melakukan kunjungan dan silaturahmi dengan banyak pihak di Kab. Kuningan, khususnya yang selama ini menentang mereka, meski sebaliknya (dari pihak luar JAI) justru minim. Ketiga, penolakan pencantuman Islam dalam kolom agama di e-KTP bagi warga JAI saat ini hanya terjadi di Manislor Kabupaten Kuningan saja, dan yang menolak itupun tidak bisa dikatakan semua warga Kuningan. Sebelumnya warga JAI sebenarnya sudah mencantumkan Islam dalam KTP mereka (KTP biasa bukan e-KTP) dan tidak bermasalah. Secara komparatif-pun penolakan e-KTP bagi JAI, tidak terjadi di daerah lain di luar Kab. Kuningan. Atas dasar pemikiran tersebut, selanjutnya perlu penguatan keamanan pasca keputusan pemberian e-KTP kepada warga Manislor Kab. Kuningan, sehingga pihak Kominda harus dapat berperan maksimal. Dalam persoalan yang menyangkut aspek teologi, hingga kini diakui berdasarkan kajian ini, masih terdapat pemahaman keagamaan yang berbeda antara keyakinan/faham JAI Manislor dengan pandangan mayoritas umat Islam, yaitu soal ~5~
Khatamun Nabiyyin dan status Mirza Gulam Ahmad. Perbedaan tersebut karena adanya interpretasi yang berbeda atas nash (al-Quran dan al-Hadits). Untuk itu hasil kajian ini merekomendasikan, jika pandangan JAI tersebut dianggap kontroversial dan karenanya dinilai meresahkan oleh mayoritas umat Islam, maka dibutuhkan proses dialog yang tenang tanpa intimidasi (tekanan) untuk mengajak mereka (JAI) untuk mengklarifikasi dan berdiskusi, sehingga dapat dicapai kesepahaman dalam menafsirkan pemahaman tentang Islam yang tidak kontroversial.
~6~