Letupan Konflik Aceh 1976 PERIODE kelam itu telah sembilan tahun berlalu. Pada Jum’at (15/8/2014) merupakan momentum penting untuk merefleksikan perdamaian yang disepakati di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam. Peristiwa yang telah lama dinanti-nanti oleh seluruh rakyat Aceh akhirnya terwujud setelah “teguran” Ilahi melalui musibah dahsyat berupa gempa dan tsunami yang terjadi pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Musibah berat yang harus dipikul oleh masyarakat di Provinsi ujung Barat Republik Indonesia ini, mampu memaksa kedua belah pihak yang selama 29 tahun bertikai untuk duduk bersama dalam upaya mengakhiri perang saudara tersebut. Alhasil, kesepakatan pun dicapai antara Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan pemberontak separatis Gerakan Aceh Merdeka melalui penandatanganan nota kesepahaman (Momerandum of Understanding) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, yang dimediasi oleh Lembaga CMI (Crisis Management Initiative) yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari. Sebagaimana fakta sejarah, konflik Aceh bermula pada tahun 1976. Awal penghitungan dimulai saat dideklarasikannya Aceh Merdeka (AM) oleh seorang pria bernama Hasan Muhammad atau lebih dikenal sebagai Hasan Tiro di Gunung Halimun, Pidie, 4 Desember 1976. Sejak itu, militer Republik Indonesia (RI) mulai memfokuskan pemburuan terhadap Hasan bersama pengikutnya yang menginginkan Aceh menjadi wilayah independen (negara) yang terpisah dari RI. Bentuk negara Aceh “impian” Hasan Tiro adalah monarki. Ia menobatkan dirinya sebagai “Wali Nanggroe Aceh”. Semacam penguasa tunggal seumur hidup sekaligus turun-temurun berdasarkan silsilah keturunan seperti di negara-negara monarki absolut. Tatanan negara seperti itulah yang dicita-citakan oleh Hasan. Mengenai monarki absolut, di mana semua orang tunduk pada satu kemauan satu orang, yaitu sang penguasa. Baik itu disebut Raja, Kaisar, Sultan, Tsar, ataupun Duce.1 Dalam hal Aceh yang dikehendaki Hasan Tiro, versi sebutan yang digunakan adalah “Wali Nanggroe”. Salah satu contoh negara monarki absolut adalah Perancis sebelum revolusi yang mengubahnya menjadi Republik Perancis. Peristiwa revolusi itu dikenal sebagai revolusi Perancis, dengan semboyan terkenalnya yaitu: Liberté (kemerdekaan), Égalité (kesetaraan), dan Fraternité (persaudaraan). Pada akhirnya, konflik bersenjata tidak dapat dihindari. Propaganda dan aksi gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah kepemimpinan Hasan Tiro membuat pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) bereaksi keras dengan menggelar operasi militer besar-besaran untuk menumpas separatisme. Sejak 1989, operasi masif untuk menumpas separatis GAM mulai dikobarkan.2 Korban pun terus berjatuhan. Kebanyakan dari kalangan rakyat Aceh. Di lain sisi, Hasan Tiro, Zaini Abdullah, Daud Paneuek, beserta sejumlah pentolan GAM lainnya kabur ke luar negeri untuk Roy C. Macridis dan Bernard E. Brown, Perbandingan Politik (edisi ke- 6), Erlangga, Jakarta, 1996, hlm. 183 2 Forum LSM Aceh dan The Aceh Institute, Kekerasan Dalam Bingkai Demokrasi (Laporan hasil pemantauan peristiwa kekerasan selama Pemilukada Aceh 2012), The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh Press, Banda Aceh, 2012, hlm. 4 1
1|Page
menghindar dari buruan aparat keamanan. Rakyat Aceh yang tak berdosa akhirnya harus mengalami penderitaan panjang akibat ambisi orang-orang yang telah menyulut konflik dan kemudian melarikan diri serta hidup di luar negeri. Selama konfrontasi berlangsung, berbagai penderitaan dirasakan rakyat Aceh akibat banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia. Pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan penembakan adalah cerita yang selalu terjadi mengisi hari-hari yang suram masyarakat Aceh. Selama 29 tahun konflik berkecamuk, korban tewas dan hilang sebanyak 22.353 orang. Sebanyak 31 ribu rumah dibakar dan rusak, serta ada sekitar 2.000 orang yang mengalami cacat akibat penganiayaan berat.3 Gagasan untuk mengakhiri perang saudara di Aceh sebenarnya telah dilakukan banyak pihak sejak tahun 2000. Namun, upaya itu kerap berakhir dengan kegagalan. Pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden RI, untuk pertama kalinya Pemerintah Pusat meminta Yayasan Hendry Dunant Centre (HDC) berperan sebagai mediator perdamaian tersebut.4 Singkat peristiwa, setelah mengalami beberapa kegagalan dalam upaya mengakhiri perang saudara di Aceh, maka pasca-pemilu 2004, tekad untuk mewujudkan perdamaian Aceh akhirnya kian menguat tatkala tokoh Indonesia asal Makassar beretnis Bugis yang juga terpilih sebagai Wakil Presiden RI periode 2004-2009, M. Jusuf Kalla, memberi perhatian serius terhadap upaya penyelesaian konflik Aceh. Rumor yang berkembang dikalangan akademisi dan sejarawan Aceh, etnis Bugis erat kaitannya dengan Dinasti terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Lewat jaringannya, Jusuf Kalla sepakat melibatkan Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator penyelesaian konflik. Semangatnya untuk mendamaikan Aceh semakin meningkat tatkala bencana besar menerjang Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004.5 Upaya perundingan yang dipimpin oleh mediator sekaligus Ketua CMI yang juga menjabat sebagai Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, di Helsinki terus di percepat dan berlangsung dalam lima tahap. Pada tahap ke enam sebagai puncak perundingan, nota kesepahaman (Momerandum of Understanding) untuk mewujudkan perdamaian Aceh ditandatangani oleh kedua belah pihak yang berseteru di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. *** Pertumpahan darah di Aceh sudah dimulai pada tahun 1520 dalam perang mengusir Portugal. Aceh juga menorehkan sejarah dalam perang melawan penjajahan. Perang Aceh dimulai sejak Belanda melakukan invasi pada 26 Maret 1873 dan berakhir pada 12 Maret 1942, bersamaan dengan masuknya kolonial Jepang ke Aceh. Perang ini merupakan peristiwa militer yang belum ada bandingnya bagi Belanda, itu pun tidak menguasai Aceh secara penuh. Walaupun mampu menaklukkan Kesultanan Aceh, tapi Ibid., hlm. 5 Loc. cit 5 Ibid., hlm. 8 3 4
2|Page
perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlanjut di bawah pimpinan tokohtokoh lokal seperti Ulama. Hingga hari berakhirnya masa pendudukan kolonial Belanda, tak kurang dari 100.000 orang menjadi korban yang sebagian besar merupakan rakyat Aceh. Namun, korban di pihak Belanda juga cukup banyak. Catatan di dinding makam Kerkoff Peucut, Banda Aceh, menjadi salah satu bukti ganasnya perlawanan rakyat Aceh. di antara para korban tewas dari pihak Belanda, termasuk Mayor Jenderal JHR Kohler yang tewas pada 14 April 1873.6 Pasca-tahun 1942 dan kemerdekaan Republik Indonesia, bumi Aceh yang terletak di ujung Barat Sumatera ini juga belum terlepas dari deraan konflik. Berbagai peristiwa kelam di kemudian hari muncul seperti, perang Cumbok, perang DI/TII hingga konflik tahun 1976 yang dipelopori oleh Hasan Tiro. Hasil investigasi salah satu majalah lokal terkemuka di Aceh pasca-penandatangan MoU Helsinki, konflik Aceh 1976 bermula tatkala Pemerintah RI menolak proposal Hasan Tiro untuk menjadi kontraktor gas di Arun, Lhokseumawe. Penolakan itu disebut-sebut sebagai pemicu awal kemarahan Hasan Tiro kepada Pemerintah RI karena menganggap orang lokal tidak diutamakan.7 Seandainya proposal Hasan Tiro diterima oleh Pemerintah RI untuk menjadi kontaktor gas Arun, maka kemungkinan besar konflik panjang selama 29 tahun (1976-2005) yang berdarah-darah dan menyebabkan penderitaan mendalam bagi masyarakat Aceh itu tidak akan pernah terjadi. Gas alam cair (LNG) pertama kali ditemukan di Arun tahun 1974, dan mulai berproduksi tahun 1976, Aceh sepanjang tahun 1979-1997 menyumbang devisa sebesar US$ 45.223.448. melalui APBN dan Inpres kecipratan 0.05 persen dari total sumbangan LNG itu. Aceh merana di tengah kelimpahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 1993 menyebutkan, dari delapan provinsi di Sumatera, Aceh merupakan provinsi yang memiliki desa miskin terbanyak. Dari total 5.643 desa di Aceh, 40.23 persen (2.275 desa) masuk peta Inpres Desa Tertinggal. Di Kabupaten Aceh Utara, pusat industri besar, terdapat paling banyak desa miskin yakni 692 desa.8 Setiap hari, gas di Arun memproduksi 38.800 meter kubik LNG dan 25.200 barrel kondensat. Tahun lalu saja, perusahaan ini mengapalkan 113 kargo LNG yang setara dengan 6, 42 juta ton gas cair. Sedang total kondensat yang diekspor adalah 9, 3 juta barrel yang diangkut dalam 24 kali pengapalan. Semua hasil produksi PT. Arun dikerahkan untuk memasok kebutuhan gas cair di Jepang dan Korea Selatan.9 Konflik berkepanjangan di Aceh terus berlanjut. Sang proklamator (Hasan Tiro), setelah tiga tahun bergerilya bersama pendukungnya di pedalaman Aceh, pada 29 Maret 1979 Bungaran Antonius Simanjuntak dkk, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 11 7 Setelah Gagal Meminang Arun?, http://www.acehkita.com/berita/setelah-gagal-meminang-arun/ 8 Bungaran Antonius Simanjuntak, Op. cit, hlm. 12 9 Kisah Mesin Penangguk Uang Bernama Arun, http://www.tempo.co/read/news/2003/05/12/05616890/KisahMesin-Penangguk-Uang-Bernama-Arun. 6
3|Page
akhirnya meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan mengasingkan diri ke luar negeri. Ia sempat ke Amerika Serikat dan beberapa negara lain sebelum akhirnya mendapat suaka politik ke Swedia pada tahun 1980-an atas bantuan Komisi Tinggi Pengungsi PBB (UNHCR). Dia memilih menjadi warganegara di negara yang terpaut hampir 8.000 mil dari tempat ia pertama kali mengobarkan konfik pada 4 Desember 1976.10 Di sisi lain, alokasi dana pembangunan yang masih bersifat jawasentris (berpusat di Jawa) menimbulkan sentimen etnis sebagai jawaban atas perlakuan yang tidak adil. Pada tahun 2000-2002 diperkirakan 50.000 transmigran asal Jawa diusir dari rumah mereka di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tengah. Sebagian besar adalah transmigran asal Jawa di era Soeharto dan sebagian lagi adalah mereka yang telah tinggal dan hidup berketurunan di Aceh berpuluh-puluh tahun silam, khususnya mereka yang berada di Aceh Tengah, yang datang di masa penjajahan Belanda dan menjadi kuli di perkebunan kopi.11 Selain memakan korban jiwa dan harta, konflik Aceh juga ikut merenggut hak pendidikan anak-anak. Hal ini tidak terlepas dari upaya pembodohan terhadap generasi muda Aceh melalui pembakaran sejumlah gedung-gedung sekolah. Pada hari kedua atau Selasa, 20 Mei 2003, pasca-pemberlakuan darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003, puluhan sekolah telah hangus dibakar oleh pihak yang kontra terhadap RI.12 Segala konflik terhenti total setelah musibah gempa bumi dan tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004, serta proses-proses perdamaian setelah itu yang dimediasi oleh lembaga internasional CMI yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Aceh pun mendapat otonomi yang khusus dengan kewenangan yang luar biasa melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang ini mempertegas isi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi NAD. Nama Aceh pun berubah dari Daerah Istimewa (D.I) Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Masalah pembagian keuangan dari pusat ke Aceh berhasil meredam sebagian besar masalah. Kini Aceh disibukkan dengan masalah penerapan Syari’at Islam dan masalah-masalah lokal, termasuk pro-kontra tentang pelaksanaan hukuman cambuk.13 Syari’at Islam sendiri mulai dipertanyakan tujuan penerapannya, sebab banyak menimbulkan problema baru seperti diskriminasi terhadap perempuan dan menghambat investor dari luar yang hendak menanamkan modalnya di Aceh, yang pada dasarnya berdampak positif bagi peningkatan sektor perekonomian masyarakat sekaligus sangat efektif dalam upaya untuk mengurangi jumlah pengangguran yang jumlahnya kian membengkak di provinsi ujung Barat Indonesia ini. Semoga peristiwa suram masa lalu tidak lagi terulang. Sebab, yang menderita adalah rakyat Aceh. Sedangkan pihak yang memicu konflik justru kabur ke luar negeri. Huh! Bungaran Antonius Simanjuntak , Op.cit., hlm. 11 Ibid., hlm. 12-13 Schools Torched in Aceh Conflict, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3042211.stm. 13 Bungaran Antonius Simanjuntak , Op.cit., hlm. 13 10
11 12
4|Page
Daftar Pustaka Buku: Forum LSM Aceh dan The Aceh Institute, Kekerasan Dalam Bingkai Demokrasi (Laporan hasil pemantauan peristiwa kekerasan selama Pemilukada Aceh 2012), The Aceh Institute dan Forum LSM Aceh Press, Banda Aceh, 2012 Macridis, Roy C. dan Bernard E. Brown, Perbandingan Politik (edisi ke- 6), Erlangga, Jakarta, 1996 Simanjuntak, Bungaran Antonius dkk, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010 Internet: Kisah Mesin Penangguk Uang Bernama Arun, tempo.co School Torched in Aceh Conflict, news.bbc.co.uk Setelah Gagal Meminang Arun, acehkita.com
5|Page