ALI HASJMY: PENYELESAIAN KONFLIK DARUL ISLAM ACEH TAHUN 1957-1959
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh Khairul Ummami NIM : 1112022000016
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H. / 2017 M.
ABSTRAK Khairul Ummami Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959 Skripsi ini ingin menjelaskan tentang tiga hal yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu 1953 dan 1959. Pertama terjadi pemberontakan Darul Islam tahun 1935 yang dimotori oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, kedua penyelesaian kasus konflik Darul Islam oleh Gubernur Ali Hasjmy pada tahun 1957-1959. Dalam upaya proses penyelesaian kasus konflik Darul Islam, Pemerintah Daerah Aceh menggunakan cara soft power untuk menyelsaikan konflik tersebut. Dan ketiga kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam Aceh. Skripsi ini menunjukkan bahwa ketokohan Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh sangat berperan penting dalam meredam konflik Darul Islam. Hal ini terlihat ketika ia merumuskan suatu kebijakan atau sebuah konsepsi perdamaian yang terkenal bernama Ikrar Lamteh pada tahun 1957. Pokok Ikrar Lamteh ini berisikan tentang menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau daerah Aceh. Ikrar Lamteh ini juga merupakan sebuah batu loncatan untuk menuju perdamaian yang bersifat resmi dengan pemerintah pusat yang diwakilkan oleh Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi. Skripsi ini membuktikan bahwa pemberian hak otonomi yang luas oleh pemerintah pusat kepada Provinsi Aceh mampu menyelesaikan konflik Darul Islam Aceh yang sudah terajadi selama 6 tahun. Metode yang digunakan dalam penilitian ini adalah kualitatif. Sedangkan pengambilan datanya dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library researcher). Teknik analisis data ini berdasarkan teknik heuristik, verifikasi, interpretasi serta historiografi. Selain itu, untuk menguatkan analisis dalam skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan politik.
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil A’lamin, Allahumma Shalli A’la Muhammad. Segala puji dan puja ke hadirat Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memujaNya. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Berkat perjuangan beliau kita dapat hijrah dari kegelapan (az-zhulamat) kepada zaman ilmu pengetahuan. Penulis sangat bersyukur kepada Allah karena telah diberi kesehatan badan dan fikiran, sehingga skripsi yang berjudul “Ali Hasjmy: Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959” telah selesai ditulis dengan baik. Dalam penyusunan, penulisan sampai tahap penyelesaian, skrispsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan dan menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya dan setelus-tulusnya kepada yang terhormat: 1. Kedua orang tuaku yang telah memberikan kasih dan sayang tanpa pamrih kepada penulis sejak dari kecil sampai dewasa. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dan senantiasa berada dalam keberkahan dunia dan akhirat. Allahumma irham huma kamaa rabbayani sagiraa. 2. Saudara-saudaraku, abang dan kakakku-kakakku yang telah memberikan dukungan dan do’a kepada penulis baik moril maupun materil agar dapat menyelesaian skripsi ini.
ii
3. Prof. Dr. M. Dien Madjid selaku guru besar dan sekaligus sebagai orang tua bagi penulis, yang telah bersedia membimbing dengan penuh kesabaran dan penuh dedikasi tinggi dan telah memberikan inspirasi bagi penulis. 4. Bapak Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu Solikatus Sa’diyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi dan motivasi. 5. Ibu Imas Emelia MA, selaku dosen pembimbing Akademik dan ibu bagi penulis yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis untuk selaku berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. 6. Syifa Fauziah Syukur, yang telah menyemangati penulis dari awal penulisan skripsi sampai selesai, dan terimakasih juga atas segela kesabaran dan kebaikanmu. Semoga allah membalas kebaikanmu. 7. Pegawai Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy, Pegawai Perpustakaan Nasional Repuplik Indonesia (PNRI), Pegawai Arsip Nasioal Indonesia (ANRI), dan Pegawai Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah banyak membantu penulis dalam proses menelusuri sumber. 8. Bung Alkaf teman diskusi sejarah yang telah membantu dalam menginspirasi penulis. Semoga allah membalas kebaikannya. 9. Mulkan yang telah bersedia menampung saya di kosan selama penelitian dan juga Nabila yang telah membantu penulis dalam mengirim sumber
iii
sejarah terkait penelitian ini. Terimakasih atas kebaikan kalian dan semoga Allah membalasnya. 10. Ustadz Safrizal yang telah mengirim koleksi khusus Ali Hasjmy mengenai Penyelesaian Konflik Darul Islam. Semoga Allah membalas kebaikan beliau. 11. Teman-teman Grup Silaturrahmi Yuk, di antaranya Danang, Alfath, Agi, Dliyah, Irma dan Alfi. Semoga persahabatan kita jalan terus. 12. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam angkatan 2012. Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses. 13. Terakhir, terima kasih saya sampaikan kepada sejawat, kawan, serta pihakpihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Harapan saya, semoga skripsi ini bisa menjadi bacaan yang baik, dan bermanfaat bagi kita semua dan juga dapat menjadi bagian dalam pengembangan ilmu sejarah yang dapat dijadikan sebagai referensi. Amiin Yaa Rabbal a’lamiin. Ciputat, 27 Januari 2017 Penulis,
Khairul Ummami
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................ v BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 9 C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 9 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 10 E. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 11 F. Kerangka Teori ..................................................................................... 15 G. Metode Penelitian ................................................................................. 18 H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 21
BAB II
Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh Tahun 1953 ..... 23 A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan .................................................. 23 1. Keresidenan Aceh .......................................................................... 23 2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara .......................................... 27 3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama ............................................ 29 B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh ............... 33 1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus ....................................................... 33 2. Faktor-faktor Lain Pemicu Pemberontakan ................................... 43 C. Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus .......................................... 47 D. Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Peristiwa Darul Islam Aceh ........................................................................................... 53 E. Kebijakan Kabinet Dalam Penyelesaian Konflik Darul Islan Aceh .... 63
v
BAB III
BIOGRAFI ALI HASJMY SELAYANG PANDANG .......................... 69 A. Riwayat Hidup Ali Hasjmy .................................................................. 69 B. Riwayat Intelektual Ali Hasjmy ........................................................... 71 C. Karya-Karya Tulis dan Penghargaan Ali Hasjmy ................................ 76 1. Karya-Karya Tulis Ali Hasjmy ...................................................... 76 2. Penghargaan Yang Diterima Ali Hasjmy ....................................... 83 D. Keterlibatan Ali Hasjmy Dalam Pergerakan Politik ............................ 84 1. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Belanda .................................. 84 2. Ali Hasjmy Pada Masa Pejajahan Jepang ...................................... 87 3. Ali Hasjmy Pada Masa Pasca Kemerdekaan ................................. 89 E. Ali Hasjmy Sebagai Gubernur ............................................................. 92
BAB IV
Ali Hasjmy dan Penyelesaian Darul Islam Aceh ................................... 98 A. Konsepsi Prinsipil Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah Kebijakan Perdamian ............................................................................................. 98 B. Perpecahan Darul Islam Aceh .............................................................. 115 C. Penyelesaian Kasus Konflik Darul Islam Aceh Melalui Missi Hardi .. 121
BAB V
PENUTUP ................................................................................................. 130 A. Kesimpulan .......................................................................................... 130 B. Saran ..................................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberontakan merupakan konflik yang sering terjadi di dalam suatu wilayah. Adapun penyebab terjadinya pemberontakan adalah adanya kesenjangan sosial politik antara pemerintahan pusat dengan wilayah yang bersangkutan. Kesenjangan sosial yang dimaksud bisa dikarenakan adanya perbedaan situasi ekonomi, pendidikan, dan perampasan hak-hak di wilayah tersebut. Pemberontakan yang terjadi dalam sejarah politik Indonesia merupakan gerakan yang selalu. Gerakan pemberontak juga meninggalkan trauma bagi korbannya yang sangat mendalam karena di dalam gerakan pemberontakan apapun bisa terjadi seperti peperangan dan juga menyisakan beragam persoalan sosial politik bagi pemerintah pusat. Dalam pandangan Goerge McTurnan Kahin, seluruh gerakan separatisme pada masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elite daerah atau perwira militer daerah terhadap pemerintah pusat dan tidak jarang pula akibat adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber daya ekonomi dan politik.1 Munculnya beberapa pergolakan pasca kemerdekaan, khususnya dari kalangan Islam memiliki akar sejarah yang beragam meskipun motif latar belakangnya juga berbeda beda, ada yang wujudnya karena kekecawan terhadap kebijakan pemerintah pusat, ada yang bermotif politik dan ekonomi dan ada yang
1
Georg McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Penerjemah Tim Komunitas Bambu (Depok: Komunitas Bambu 2013), h. 63.
1
2
berupa ideologi, dengan cita-cita mendirikan negara bagian Islam seperti halnya yang terjadi di daerah Aceh. Di saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, masyarakat Aceh sangat mendukung kemerdekaan itu karena mereka senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudara yang lain. Peranan yang amat besar dibuktikan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk Republik Indonesia. Sampai tahun 1948 Aceh masih membendung kekuatan Belanda yang hendak ingin merebut kembali kekuasaannya di Indonesia, hingga Aceh menjadi satu-satunya daerah yang aman dari penjajahan. Banyak dukungan dan sumbangsih yang diberikan masyarakat Aceh kepada pemerintahan Republik Indonesia salah satunya pembelian dua pesawat terbang Seulawah I untuk kepentingan perjuangan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki Belanda sehingga Aceh pernah disebut oleh Soekarno sebagai daerah modal2 bagi perjuangan bangsa Indonesia. Memasuki tahun 1950-an banyak akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dianggap bersebrangan dengan pemimpin-pemimpin Aceh, sehingga terjadi beberapa pertikaian dan bahkan pergolakan yang menjurus ke arah pemisahan diri dari pemerintah pusat, yang pada akhirnya berujung pada lahirnya pemberontakan Darul Islam tahun 1953. Gerakan ini dipimpin oleh seorang ulama tekenal bernama Teungku Muhammad Daud Beureuh.
2
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 374. Lihat Juga A.K. Jakobi. Aceh Daerah Modal, (Jakarta: Pradnya Pramita,1979), h. 103.
3
Mengidentifikasi akar masalah gerakan Darul Islam yang terjadi di Aceh tentu memiliki sebab yang paling dasar yaitu penghapusan Provinsi Aceh menjadi Keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara yang membuat masyarakat Aceh kecewa dan merasa tidak puas terhadap pemerintahan pusat. Sebab lainnya ketidakadilan dalam hal perekonomian di Aceh, sumber daya alam Aceh yang pada saat itu sangat banyak dikuasai oleh pemerintah pusat Republik Indonesia sehingga terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara keadaan ekonomi, kehidupan sosial wilayah Aceh dengan di pusat (Pemerintahan RI) hal ini membuat kemarahan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat. Adapun sebab politik yang menjadi latar belakang terjadinya pemberontakan itu yang disebutkan Ali Hasjmy dalam bukunya3 adalah: 1. Kekecewaan
masyarakat
Aceh
kepada
pemerintah
pusat
karena
meleburkan dan memindahkan kesatuan tentara Aceh seperti Batalion Teuku Manyak, Batalion Hasan Saleh dan beberapa batalion lainnya dipindahkan keluar dari Aceh yang kemudian digantikan oleh Mayor Nazir seorang kader Partai Komunis Indonesia (PKI). 2. Menuduh dan memfitnah para ulama dan pemimpin Aceh sebagai kaki tangan Belanda. Politik kotor Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah memfitnah dan menghasut rakyat Aceh untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat yang berujung kepada meletusnya gerakan Darul Islam. Setelah pemberontakan terjadi, orang-orang PKI (Partai Komunis
3
Indonesia)
menghasut
kembali
pemerintahan
untuk
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 408-409.
4
menghancurkan
gerakan
separatis
Darul
Islam
karena
dianggap
membahayakan kepentingan rakyat Indonesia. 3. Pertengahan tahun 1953 di Medan tercecer sebuah daftar misterius yang berisikan nama-nama ulama dan pemimpin Aceh yang akan ditangkap karena kesalahan-kesalahan kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi di dalam bukunya The Stuggle of Islam in Modern Indonesia, menyebutkan sebetulnya surat misterius itu tidak pernah ada. Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh.4 Rentang waktu yang lama sejak meletusnya pemberontakan tahun 1953 sampai 1959 membuat kondisi kehidupan masyarakat Aceh penuh bergejolak pertumpuhan darah terjadi di mana-mana. Kondisi ini menyebabkan sistem sosial, politik, dan lain-lain menjadi stagnan. Cara demi cara dalam penyelesaian dilakukan oleh kalangan tak terkecuali para pemuda Aceh yang membentuk sebuah kongres yang diberi nama Kongres Mahasiswa/Pemuda/Pelajar/ Masyarakat Aceh Se-Indonesia.5 Kongres ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberontakan Darul Islam dan merencanakan pembangunan Aceh dalam segala aspek. Sebulan kemudian, pada pertengahan bulan Oktober 1956 diadakan reuni perwira eks Divisi Gajah I di Yogyakarta untuk membicarakan persoalan pemulihan keamanan di Aceh. Namun, semua usaha itu belum dapat membawa hasil yang diharapkan.
4
B.J. Bolland, The Struggle of Islam In Moderen Indonesia, (The Hugue-Martinus Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 73. Lihat juga Nugroho Dewanto, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak (Jakarta, KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2011), h. 3. 5 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 495.
5
Pada tahun 1956, kesadaran Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo terhadap apa yang terjadi di Aceh telah mengubah cara pandangnya, setelah melihat semakin buruknya kondisi yang diakibatkan oleh konflik Darul Islam, sehingga pada November tahun 1956 keinginan rakyat Aceh terpenuhi dengan pembentukan kembali Provinsi Aceh oleh pemerintah pusat melalui UndangUndang No. 24 Tahun 1956.6 Dengan terbentuknya Provinsi Aceh mengobati kekecewaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Berbarengan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh maka pada awal Desember 1956 pembicaraan mengenai tentang siapa Gubernur Aceh menjadi pemberitaan yang hangat di kalangan rakyat Aceh. Tiga figur penting dicalonkan oleh kabinet untuk mengisi jabatan gubernur, yaitu Ali Hasjmy seorang anggota PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) dan pegawai senior Kementerian Sosial di Jakarta. Calon kedua Zainal Abidin, adalah salah seorang dokter. Waktu itu ia menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan di Kutaraja. Dia adalah seorang pemimpin PSI (Partai Sosialis Indonesia) cabang Aceh dan mempunyai hubungan yang erat dengan Front Pemuda Aceh. Calon terakhir, Abdul Wahab Seulimeum, seorang ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).7 Dari ketiga calon gubernur tersebut Dewan Menteri dalam rapatnya ke-51 tanggal 2 Januari telah menyetujui untuk
6
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 467. Lihat juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). No Arsip 1713, dengan judul arsip Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh. 7 Calon Gubernur Aceh pada saat itu sekitar 7 orang, yakni Mr. T. Mohd. Hasan, M. Insja (Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara), Mayor Syamaun Gaharu, Mr. S.M. Amin, Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum, akan tetapi kabinet hanya memilih 3 dari 7 calon tersebut yaitu Ali Hasjmy, Zainal Abidin, dan Abdul Wahab Seulimeum. Selengkapnya lihat “Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. Lihat juga Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990), h. 272.
6
mengangkat Ali Hasjmy, pegawai tinggi pada Kementerian Sosial, sebagai Gubernur Aceh.8 Terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh mendapatkan dukungan yang besar di kalangan rakyat Aceh termasuk sebagian mereka yang berada dalam Darul Islam yang mendukung Ali Hasjmy menjadi gubernur karena keyakinan mereka bahwa Ali Hasjmy seorang tokoh yang akan berhasil menyelesaikan konflik tersebut. Setelah Ali Hasjmy dilantik menjadi gubernur, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy salah satunya penyelesaian konflik Darul Islam yang berkepanjangan. Maka pertemuan demi pertemuan dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu dengan pemerintah pusat maupun dengan melakukan pendekatan terhadap pemimpin Darul Islam itu sendiri. Pada April 1957 Ali Hasjmy beserta Muhammad Insja (Kepala Polisi Sumatera Utara) dan Syamaun Gaharu (Komandan Militer Daerah Aceh) melakukan pertemuan dengan beberapa pemimpin Darul Islam di antaranya Hasan Ali, Hasan Saleh, Ishak Amin dan Pawang Leman. Pertemuan yang berlangsung di antara kedua belah pihak mencapai kata sepakat yaitu menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat Aceh. Kesepakatan itu kemudian diberi nama Ikrar Lamteh.9 Atas dasar Ikrar Lamteh ini tercapai suatu persetujuan antara pihak Darul Islam dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan tembak-menembak (ceasefire) Pertengahan tahun 1957 kesempatan untuk bertemu langsung dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh oleh pihak pemerintah daerah yang 8
Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. 9 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 484.
7
diwakilkan oleh Gubernur Ali Hasjmy terealisasikan. Pertemuan tersebut dilakukan di Markas Darul Islam yang berada di suatu tempat yang bernama Mardhatillah. Dalam pertemuan itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Aceh memberi pengertian kepada Wali Negara Tgk. M. Daud Bereueh agar berkenan berdamai dengan pemerintah pusat. Agaknya Tgk. M. Daud Beureueh sudah sangat anti terhadap pemerintah pusat. Di samping itu pertemuan kedua belah pihak itu belum mencapai kata sepakat untuk berdamai. Penyelesaian kasus Darul Islam belum mencapai titik temu walaupun tahun 1957 telah berlalu. Walaupun Piagam Lamteh sering terlanggar dan dilanggar, pemberontakan masih terjadi, suara tembakan masih sering terdengar yang menyebabkan keadaan semakin bertambah parah. Berbagai upaya dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy baik itu pertemuan maupun dengan mengirim surat kepada pihak Darul Islam, namun hasilnya tetap tidak ada, karena pemimpin Darul Islam sangat tidak beranjak dari kehendaknya. Dalam proses usaha mencari penyelesaian konflik Darul Islam, Gubernur Ali Hasjmy dikejutkan oleh lahirya gerakan separatis Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Gerakan ini memberi pengaruh besar terhadap Darul Islam Aceh, hal ini terbukti dengan sebagian anggota Darul Islam ikut serta untuk melancarkan beberapa pemberontakan di Sumatera. Namun gerakan separatis ini mampu diselesaikan oleh alat keamanan negara. Seletah penumpasan PRRI, dalam kalangan tokoh-tokoh pemimpin Darul Islam Aceh terjadi perbedaan pendapat yang sangat serius. Hal ini menimbulkan perpecahan dalam tubuh Darul Islam Aceh yang menjadi dua kubu. Pertama kubu Tgk. M. Daud Beureueh, yang para pengikutnya kebanyakan tokoh yang
8
berhaluan keras, yang sukar diajak koperatif. Kedua kubu Hasan Saleh yang berhaluan moderat. Kelompok Hasan Saleh menamakan dirinya Dewan Revolusi. Terbentuknya Dewan Revolusi disambut baik oleh Gubernur Ali Hasjmy. Kelompok Hasan Saleh bersedia melakukan perundingan dengan pemerintah pusat, hal ini didasari oleh keiginan rakyat Aceh yang sudah lama menginginkan perdamaian. Akhirnya pada tahun Mei 1959, pemerintah pusat mengirim suatu missi yang terkenal dengan Missi Hardi untuk melakukan perundingan dengan Dewan Revolusi. Perundingan berlangsung selama 3 hari dengan keputusan perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta pendidikan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih jauh serta mendalam peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam Aceh, menguraikan langkah-langkah serta strategi yang ditempuh oleh Gubernur Ali Hasjmy. Tahun 1957-1959 dijadikan rentangan waktu yang dikaji oleh penulis karena tahun 1957 merupakan pengangkatan Gubernur Aceh pertama ketika Aceh dalam keadaan konflik politik dengan pemerintah pusat. Dan tahun 1959 merupakan tahun keberhasilan Gubernur Ali Hasjmy dalam memediasi Darul Islam Aceh dengan pemerintah pusat, yang berakhir dengan perdamaian di Aceh. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul skirpsi dengan judul “ Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy terhadap Darul Islam Aceh 1957-1959”
9
B. Identifikasi Masalah Sebelum membatasi masalah, peneliti akan terlebih dahulu memberikan identifikasi masalah seputar judul yang diangkat dari latar belakang yang telah dikemukakan. Peneliti berhasil mengidentifikasi beberapa masalah: 1. Adanya ketidakstabilan segi kehidupan di aceh pasca kemerdekaan. 2. Keadaan gerakan Darul Islam yang tidak mampu diselesaikan oleh pemerintah pusat. 3. Mengenai situasi konflik yang berdampak sangat tidak baik yang menyebabkan kehidupan sosial dan agama yang morat marit di Aceh. 4. Tanggapan rakyat Aceh maupun pihak Darul Islam terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh pada masa konflik. 5. Langkah-langkah apa yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy untuk meredam konflik Darul Islam. C. Pembatasan dan Rumusan Masalah Kajian mengenai Aceh memang tidak pernah surut untuk dijadikan bahan penelitian. Tema kajiannya pun beragam, mulai dari masa masuknya Islam, masa Kolonial, zaman pendudukan Jepang, dan masa pasca kemerdekaan. Dengan melihat deskripsi latar belakang di atas, peneliti ingin fokus untuk mengkaji mengenai upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh tahun 1957-1959. Alasan penulis membatasi pembahasan dalam kurun tahun 1957-1959 karena tahun 1957 Ali Hasjmy diangkat menjadi Gubernur Aceh, dan tahun 1959 merupakan keberhasilan Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh.
10
Dari pembatasan tersebut, maka beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Mengapa terjadinya pemberontakan Darul Islam Aceh ? 2. Bagaimana langkah dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam pemberontakan Darul Islam Aceh ? 3. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat pada tahun 1959 dalam menyelesaikan konflik Darul Islam di Aceh ? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Menjelaskan langkah-langkah dan strategi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh 2. Mengetahui kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah pusat dalam menyelesaikan kasus pemberontakan Darul Islam Aceh pada tahun 1959. Sedangkan, kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Memperkaya wawasan pengetahuan kesejarahan, yang terkait dengan biografi
tokoh
dan
sejarah
perjuangan
Ali
Hasjmy
dalam
menyelesaikan pemberontakan Darul Islam di Aceh. 2. Bermanfaat bagi masyarakat Aceh, bahwasanya Aceh pernah memiliki tokoh sehebat Ali Hasjmy yang mampu menyelesaikan persoalanpersoalan bangsa khususnya Aceh. 3. Menjadi inspirasi untuk umum dan Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Apalagi dewasa ini, sangat minim penelitian-penelitian mengenai tokoh Ali Hasjmy yang boleh
11
dikatakan sebagai tokoh yang pernah hidp di tiga zaman: zaman kolonial Belanda, Jepang dan zaman kemerdekaan Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru) E. Tinjauan Pustaka Judul penelitian ini adalah “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959”. Penulis mencari literatur terkait topik tersebut di Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan LIPI, dan Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan dan Museum Ali Hasjmy, Perpustakaan wilayah Provinsi Aceh serta pencarian ke beberapa situs internet yang terpercaya, penulis menemukan beberapa sumber mengenai tema dan judul diatas. Berikut beberapa literature yang dijadikan tinjauan pustaka: 1. Disertasi Hasan Basri, A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya tentang Politik,10 Penelitian yang dilakukan oleh Hasan Basri banya menjelaskan Ali Hasjmy terkait politik Islam. Penelitian Hasan Basri tidak berfokus pada pembahasan mengenai peranan Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam. Oleh sebab itu penelitian Hasan Basri berbeda dengan skripsi ini, yang lebih banyak menjelaskan konflik dan penyelesaian masalah Darul Islam Aceh. Namun disertasi Hasan Basri dapat dijadikan bahan perbandingan dalam pecakan sumber data.
10
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya tentang Politik,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000)
12
2. Buku karya H.A. Ghazaly yang berjudul Biografi Prof. Tgk. Ali Hasjmy,11 kajian yang dilakukan oleh Ghazaly terbatas pada pemaparan riwayat hidup Ali Hasjmy secara sekilas serta pemikirannya dalam bidang dakwah dan aktivitas akademiknya. Hasil kajian Ghazaly, meski ringkas, setidaknya dapat memberikan informasi penting tentang kisah perjalanan hidup Ali Hasjmy.
Namun buku ini masih terdapat beberapa
kekurangannya, terutama sumber data yang digunakan sangat terbatas. Di samping itu, kajiannya bersifat deskripstif tanpa analisis kritis. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa subjek kajiannnya sedikit berbeda. Dalam skripsi ini penulis mengedepankan upaya yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh. 3. Judul skripsi Darmuni, “Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh,12 di dalam skripsi ini Darmuni menyoroti peranan Ali Hasjmy dalam membangun pendidikan untuk memajukan generasi Aceh. Sebagai wujud nyata kepedulian Ali Hasjmy terhadap pendidikan dapat dilihat pada peninggalan monumental berupa berdirinya dua perguruan tinggi atau kompleks Pendidikan Darussalam di Banda Aceh yang masih eksis sampai sekarang. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Ali Hasjmy pantas diberikan penghargaan sebagai “Bapak Pendidikan Aceh”. Penelitian Darmuni juga tidak mengungkapkan totalitas kehidupan dan gagasan Ali Hasjmy secara kritis. Berbeda dengan skripsi ini, penulis hanya fokus pada langkah-langkah maupun strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam meredam konflik Darul Islam Aceh. Namun, penelitian Darmuni 11
A.H. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978) Darmuni Daud, Prof. A. Hasjmy Sebagai Bapak Pendidikan Daerah Istimewa Aceh,” (Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1980) 12
13
cukup membantu dalam memberi gambaran tentang mengenai pendidikan di Aceh pada masa itu. 4. Skripsi Lukman Nusfi yang berjudul Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah13 merupakan suatu penelitian yang lebih menekankan pada ketokohan dan pemikiran dakwah Ali Hasjmy yang meliputi pemikiran dakwah Ali Hasjmy di bidang sastra, budaya Islam, sejarah, strategi dakwah Ali Hasjmy, dan eksistensi Ali Hasjmy dalam rangka memajukan pendidikan dan agama. Kelemahan skripsi Nusfi terdapat pada pembahasannya yang relatif ringkas dan juga pada keterbatasan sumber analisis yang terbatas. Sehingga penulis menarik kesimpulan bahwa subjek kajiannya berbeda. Dalam skripsi ini penulis menitik beratkan pada peranan Gubernur Ali Hasjmy dalam memecahkan penyelesaian kasus konflik Darul Islam Aceh. 5. Karya C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan,14 Mengupas perbedaan dan hubungan antara lima pemberontakan DI/TII di Indonesia. Untuk pemberontakan DI/TII di Aceh, Van Dijk menyebutnya sebagai pemberontakan kaum ulama yang didukung oleh sebagian besar dari Aceh karena menggunakan agama sebagai spirit utama perjuangan. Dengan demikian pemberontakan di Aceh relatif lebih sulit dihadapi oleh pemerintah, namun jika pemerintah mampu menyelesaikan pemberontakan tersebut, maka akan mendorong penyelesaian di daerah-daerah lainnya. Buku ini memang tidak secara khusus mengkaji mengenai keterlibatan Ali
13
Lukman Nusfi, Prof. A. Hasjmy Seorang Tokoh Dakwah,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 1999) 14 C. Van Dijk, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta: Grafiti Pers, 1993)
14
Hasjmy di panggung politik pasca kemerdekaan, namun buku ini sangat membantu penulis sebagai langkah awal mengenal akar pemberontakan yang terjadi di Indonesia khusunya di Aceh. 6. Buku karya Nazaruddin Sjamsuddin yang berjudul Pemberontakan Kaum Republik,15 Buku ini menjelaskan pergolakan yang terjadi di Aceh tahun 1953-1962 di bawah panji Darul Islam pimpinan Daud Bereueh. Buku ini menafsikan gejolak yang terjadi di Aceh yang disebabkan oleh konflik antara ulama dan ulebalang, sedangkan penafsiran yang lain, pergolakan itu sebagai akibat stagnansi sosial. Namun dalam buku ini penulis tidak menemukan proses bagaimana jalannya perundingan yang melahirkan Ikrar Lamteh. Buku ini lebih menitik beratkan kepada persoalan terjadinya pemberontakan dan siapa aktor dibalik pemberontakan di Aceh. berbeda dengan skripsi ini yang secara khusus ingin memfokus kajiannya pada persoalan penyelesaian konflik Darul Islam Aceh yang dilakukan oleh Ali Hasjmy. Namun buku ini banyak memberikan informasi terkait bagaimana terjadinya konflik sosial di Aceh pasca kemerdekaan. 7. Karya Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya,16 merupakan buku yang menggambarkan sejarah Aceh dimulai sejak abad keenam. Dimulai periode zaman kebesaran kerajaan-kerajaan dan perjuangan pahlawan melawan penjajahan sampai lahir Provinsi Daerah Istimawa Aceh. Buku ini menyoroti mengenai perundingan Dewan Revolusi dengan pemerintah pusat, namun buku ini tidak secara rinci
15
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990) 16 Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita Panca Serangkai, 1993)
15
menjelaskannya, kemudian buku ini terlihat subjektif. Ada sedikit perbedaan antara buku ini dengan skripsi ini. Penulis lebih berfokus pada strategi atau langkah yang dilakukan dalam meredam konflik Darul Islam dan juga strategi pendekatan Gubernur Ali Hasjmy kepada beberapa orang di pemerintah pusat seperti Presiden Soekarno, Abdul Haris Nasution dan Perdana Menteri Ir. Juanda. Namun buku ini sangat memberi gambaran terhadap penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Adapun perbedaan kajian skripsi ini dengan kajian di atas adalah penulis lebih berfokus pada penjelasan mengenai langkah dan strategi yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di tahun 1957 sampai 1959 untuk meredam kasus konflik Darul Islam Aceh yang sudah terjadi dari tahun 1953. F. Kerangka Teori Robert Lawang menerjemahkan konflik sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dengan tujuan mereka yang berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.17 Maswadi Rauf membagi antara konflik sosial dan konflik politik. Menurutnya, konflik politik adalah bagian dari konflik sosial, hanya sumbersumbernya, dimensinya dan cakupannya yang berbeda. Tidak semua konflik sosial adalah konflik politik. Konflik politik berkaitan dengan penguasa 17
Robert Lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), h. 53.
16
politik dan atau keputusan yang dibuatnya (keputusan politik). Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang penguasa politik, perbedaan penilaian terhadap sumber-sumber kekuasaan politik yang dimiliki oleh penguasa politik, dan perbedaan penilaian terhadap keputusan politik.18 Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlarut-larut seperti yang terjadi di Aceh, teori-teori konflik memberikan sejumlah rumusan. Salah satu teori yang populer adalah teori resolusi konflik khsusnya transformasi konflik. Dalam pandangan John Burton, studi konflik memiliki dua focus perhatian, yaitu pertama menjelaskan gejala konflik, guna menemukan pendekatan konstruktif untuk memecahkannnya; kedua, memberikan penjelasan terhadap permasalahan konflik, untuk menemukan prinsip-prinsip dari proses dan kebijakan yang diturunkan dari suatu penjelasan mengenai konflik.19 Untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut, salah satu pendekatan yang muncul adalah pendekatan resolusi konflik. Resolusi konflik menekankan bahwa konflik yang sudah komplek, khususnya konflik yang sudah pada tahap perang, perlu ditransformasikan sehingga dapat diselesaikan. Dalam pandangan Burton, resolusi konflik adalah upaya transformasi hubungan yang berkaitan dengan mencari jalan keluat dari suatu prilaku konfliktual sebagai hal utama. Ada perbedaan antara resolusi konflik sebagai perlakuan (treatment) terhadap persoalan akar konflik dengan resolusi konflik sebagai penanganan (seatlement)
18
Maswadi Rauf, “Konflik Politik dan Integrasi Nasional,” dalam Saafroedin Bahar dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 80-82. 19 John Burton, Conflict; Resolution and Prevention, (New York: The Macmillan Press Ltd, 1990), h. 3.
17
konflik dengan cara-cara paksa (coercion) atau dengan cara tawar-menawar (bargaining) atau perundingan (negotiation).20 Dari beberapa penjelasan tersebut di atas, pergolakan yang terjadi di Aceh dapat dianggap sebagai konflik politik. sementara perundingan yang ditempuh oleh pemerintah dan Darul Islam tergolon sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik. Dalam penyelesaiannya, sebagaimana yang telah disebut bahwa resolusi konflik lebih menekankan pada penanganan dengan cara tawar-menawar dan melalui suatu proses perundingan atau negosiasi. Pendekatan ini sering disebut juga sebagai langkah diplomasi. Dalam konteks ini, pendekatan diplomasi ditujukan untuk menghentikan perang dan kekerasan, dengan tahap-tahap sebagai berikut: (a) pencegahan konflik: mencegah perselisihan di antara kelompok-kelompok yang bertikai melalui pembenahan struktural, kelembagaan, ekonomi, dan budaya; dan (b) pencegahan eskalasi: mencegah baik eskalasi konflik vertikal dan horizontal agar tidak lebih memburuk dan mengundang aktor-aktor baru yang terlibat di dalamnya.21 Selain itu, dalam teori resolusi konflik, tujuan dan cara-cara tidakannya juga jelas menggambarkan tiga perdedaan pendekatan, antara instrument militer, ekonomi dan politik.22 Dalam pendekatan tersebut, upaya untuk mencapai kesepakatan dalam sebuah perundingan sehingga dapat mendorong tiga tahap di atas, sering kali menggunakan pihak mediasi yang berfungsi sebagai mediator.
20
John Burton, Conflic: Resolution, h. 3. Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan Krisis Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 131-132. 22 Jenie Leatherman, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik, h. 134. 21
18
Dahrendrof yang mengutip Kerr menekankan bahwa hadirnya pihak ketiga amat penting dalam pengaturan pertentangan.23 Ada beberapa jenis peran pihak pihak ketiga yaitu konsiliasi, mediasi dan arbritasi (penindasan). Bentuk yang cocok dalam konteks penyelesaian pemberontakan di Aceh adalah mediasi dan perundingan. Penelitian ini juga menggunakan pendekaan politik yang digunakan untuk menganalisis kepentingan individu, bahkan kelompok dalam hubungan dengan politik, ekonomi, sosial dan budaya. G. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat analytical history,24 sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya yaitu, pemilihan topik, pengumpulan data (heuristik), kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan langkah terakhir adalah tahap hitoriografi atau penulisan sejarah.25 Topik penelitian adalah masalah atau objek yang harus dipecahkan melalui penelitian ilmiah. Topik yang menjadi pilihan untuk diteliti umumnya telah dikenal sebelumnya meskipun secara garis besar, tidak mendalam, bahkan samarsamar.26 Penetuan topik hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan intelektual dan kedekatan emosional. Dua hal tersebut sangat penting karena akan berpengaruh terhadap aspek subjektif dan objektif penulis.
23
Ralf Dahrendrof, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri: Sebuah Analisa Kritik, Penerjemah Ali Mandan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 283-287. 24 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), h . 218. 25 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 89. 26 Helius Sjamsuddin, Metotelogi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2012), h. 72
19
Topik yang dipilih oleh penulis yakni mengenai upaya Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam 1957-1959. Penulis memilih topik tersebut dikarenakan pada tahun 1957-1959 merupakan pembentukan kembali Provinsi Aceh dan Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur yang kemudian mampu menyelesaikan konflik Darul Islam di tahun 1959. Dalam proses heuristik penulis menggunakan medote library research (kepustakaan) dengan menghimpun sumber-sumber tertulis yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer penulis menggunakan arsip konvensional tahun 1945 yang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan juga buku, di antaranya arsip yang berjudul aktivitas gerakan Darul Islam di berbagai wilayah, dan arsip yang berjudul surat-surat mengenai usul dan pengangkatan Gubernur Aceh. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa surat kabar sezaman, dan koleksi dokumen Ali Hasjmy yang berjudul Dari Darul Harb ke Darussalam. Sedangkan buku primer yang penulis gunanakan di antaranya buku Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, kemudian buku autobiografi Hasan Saleh yang berjudul Mengapa Aceh Bergolak dan laporan-laporan yang berjudul Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Laporan Hasil Perkunjungan Missi Pemerintah Pusat ke Aceh. selebihnya penulis menggunakan sumber-sumber yang bersifat sekunder baik berupa buku, disertasi, dan jurnal yang penulis temukan di beberapa perpustakaan. Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam proses ini, penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi melalui kritik ektern dengan cara mengkritik secara fisik sumber-sember primer yang berupa buku-
20
buku, koran dan arsip-arsip. Dilihat dari tahun dibuatnya, siapa pembuatnya, sumber tersebut masih berbentuk asli. Sedangkan dalam proses kritik intern penulis melakukan uji kelayakan atau kredibilitas dengan cara membandingkan sumber-sumber. Dalam hal ini penulis mendapatkan adanya perbedaan mengenai waktu, misalnya perbedaan waktu yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy di saat melakukan pertemuan dengan pihak Darul Islam, kemudian penulis juga mendapatkan perbedaan mengenai jumlah Tentara Islam Indonesia (TII) Aceh. Misalnya Hasan Saleh mengatakan berjumlah 10.000 anggota TII Aceh,27 sedangkan Nazaruddin Sjamsuddin mengatakan berjumlah 35.000 TII Aceh.28 Menurut penulis, sumber dari Nazaruddin Sjamsuddin yang mengatakan terdapat 35.000 orang TII tidak valid, menurut Statistik Kotamadya Banda Aceh jumlah penduduk Kutaraja (sekarang menjadi Banda Aceh) pada tahun 1957 hanya berjumlah 20.976 penduduk.29 Tahap selanjutnya penulis melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap sumber-sumber yang telah penulis himpun dengan cara penulis membaca sumbersumber bacaan baik itu buku, arsip dan sebagai nya yang berisi suatu kejadian yang berkaitan dengan topik, kemudian penulis menganalisis mengenai peristiwa yang terjadi, setelah itu penulis membandingkan hasilnya dari satu sumber dengan sumber yang lain dan terakhir penulis melakukan penyimpulan dan penafsiran dari hasil yang telah dibuat supaya didapat suatu fakta sejarah yang akan dipakai dan dijadikan data sejarah.
27
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h 361. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 311. 29 Rusdi Sufi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997), h. 11. 28
21
Tahap terakhir adalah historiografi, dalam tahap ini penulis menguraikan fakta hasil temuan yang didapatkan kedalam penulisan sejarah. Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Gerakan Darul Islam Aceh 1957-1959”. H. Sistematika Penulisan Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I
Bab ini berisikan pendahuluan yang tediri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Membahas mengenai terjadinya pemberontakan Darul Islam Aceh, yang meliputi sebab-sebab terjadinya pemberontakan Darul Islam, keterangan Pemerintah Pusat terhadap peristiwa Darul Islam, dan penyelesaiam kasus Darul Islam.
Bab III
Membahas biografi Ali Hasjmy yang meliputi dari riwayat hidup dan intelektualnya, karya-karya serta penghargaan yang pernah diterima oleh Ali Hasjmy, dan keterlibatan Ali Hasjmy dalam pergerakan Politik pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan Pascakemerdekaan.
Bab IV
Membahas mengenai kebijakan Gubernur Ali Hasjmy terhadap Darul Islam Aceh, yang meliputi pengangkatan Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh tahun 1957, langkah atau upaya
22
Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan konflik Darul Islam, dan penyelesain kasus Darul Isla oleh Missi Pemerintah Pusat. Bab V
Berisi penutup yang terdiri atas kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang menjadi motiv awal pengkajian penelitian ini, dan saran-saran kemudian dilanjutkan dengan daftar pustaka dan daftar lampiran.
BAB II Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh A. Aceh Pada Masa Pasca Kemerdekaan 1. Keresidenan Aceh Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan keputusan tentang pembagian wilayah Indonesia yang meliputi bekas wilayah kolonial Hindia-Belanda sebelum Perang Dunia II menjadi 8 provinsi dengan Gubernurnya masing masing, yaitu: Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera, Provinsi Kalimantan, Provinsi Maluku, Provinsi Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan Provinsi Sulewesi.30 Setiap provinsi dipimpin oleh seorang Gubernur. Provinsi dibagi lagi atas Keresidenan31 yang dikepalai oleh seorang Residen. Sebagai Gubernur Provinsi Sumatera waktu itu ditetapkan Mr. T. Moh. Hasan.32 Sedangkan Aceh, ditetapkan sebagai salah satu Keresidenan dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama Teuku Nyak Arif.33 Pemerintah Teuku Nyak Arif harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang sangat berat, dimana segala-segalanya masih dalam taraf penyusunan, masih berada dalam keadaan kacau balau, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat masih sering terjadi. Ditambah lagi dengan pengganasan Jepang dibeberapa 30
Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976), h. 19. Lihat juga T. Alibasjah Talsya, Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Atjeh: Pustaka Putroe Tjanden, 1969), h. 28. 31 Pada waktu itu istilah Keresidenan masih merupakan kesatuan yang bebas mengatur rumah tangganya sendiri. Lihat, Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), h. 125. 32 Pidia Amelia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949 (Medan: Unimed Press, 2013), h. 9. Lihat juga T. Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh (Banda Aceh, Pustaka Putroe Tjanden 1969), h. 28. 33 Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), h. 179-180.
23
24
tempat seperti di Meulaboh, Kutaraja dan Langsa, oleh karena itu Residen pertama lebih menyerupai kemiliteran. Residen Teuku Nyak Arif hanya bertahan selama empat bulan, dikarenakan kondisi kesehatannya yang semakin parah akibat menderita penyakit gula. Kemudian digantikan oleh Teuku Tjhik M. Daudsyah pada pertengahan Januari 1946.34 Sejalan dengan itu susunan Badan Eksekutif Komite Nasional Daerah juga mengalami perubahan, menjadi:35 Ketua
: Residen Teuku Daudsjah.
Wakil Ketua
: Mr. S.M. Amin.
Anggota
: Sutikno Padmo Sumarto : Hasjim. : H. M. Zainuddin. : Mohd. Hanafiah. : R. Insun
Sekretaris
: Kamarusid
Pemerintahan di bawah pimpinan Residen Teuku Daudsjah berjalan dengan baik dan memuaskan. Dalam masa pemerintahan tersebut, Aceh untuk pertama kalinya menerima tamu-tamu dari Pusat Pemerintahan yang bertujuan untuk mengadakan tinjauan dan mempererat hubungan di antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah. Salah satu dari rombongan tamu itu adalah rombongan Mr.
Hermani
beserta
staf-stafnya
anatara
lain
Mr.
Abdul
Madjid
Djojoadiningrat.36
34
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, (Jakarta: Pradyana Paramita, 1984), h. 47. 35 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, (Djakarta: FA Archapada, t.t), h. 37. 36 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 39.
25
Sejalan dengan itu pada bulan Desember 1946, Komite Nasional Daerah Aceh mengadakan sidang pleno untuk membicarakan berbagai hal, antara lain mengenai Agama, Pemerintahan, Kehakiman dan Kesehatan.37 Keputusan yang diambil dalam rapat pleno Komite Nasional Daerah Aceh akan disampaikan dalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Pusat di Bukittinggi pada bulan Februari 1947. Pada awal tahun 1947 keluar penetapan Pemerintah yang menetapkan pembagian Sumatera menjadi 3 Sub-Provinsi. Pembagian 3 Sub-Provinsi itu semata-mata atas pertimbangan sulitnya hubungan komunikasi antara Gubernur Sumatera dengan daerah-daerah yang ada diseluruh Sumatera, sehingga dirasa perlu menetapkan wakil-wakil Gubernur dengan sebutan Gubernur Muda di masing-masing daerah tersebut. 1. Sub Provinsi Sumatera Utara : yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli dengan Gubernur Muda Mr. S.M. Amin. 2. Sub Provinsi Sumatera Tengah : yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat, Riau dan Jambi dengan Gubernur Muda Mr. Muhammad Nasrun. 3. Sub Provinsi Sumatera Selatan : yang meliputi Keresidenan Palembang, Bengkulu, Bangka Belitung dan Lampung dengan Gubernur Muda dr. M. Isa.38 Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militernya ke daerah Republik Indonesia. Dalam waktu yang singkat Belanda berhasil menduduki sebagian daerah Jawa, serta daerah-daerah Palembang dan Sumatera Timur, 37
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 52. Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku Selama 10 Windu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 67. 38
26
sehingga Gubernur beserta stafnya terpaksa mengungsi ke Bukittinggi. Sementara wilayah Aceh masih tetap bertahan dari penyerbuan Belanda, maka atas instruksi Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Hatta, menetapkan dalam surat keputusannya No.3/BPKU/1947 tanggal 26 Agustus 1947, daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah Karo menjadi satu Daerah Militer Istimewa. Sebagai Gubernur Militer ditetapkan Tgk. M. Daud Beureueh.39 Staf Gubernur Militer terdiri dari Soetikno Padmosoemarto, Teungku Abdul Wahab Seulimeum, Ali Hasmy, Nyak Neh Lhok Nga, Hasan Ali dan S. Abu Bakar.40 Empat dari ini adalah orang PUSA. Di instruksi pula bahwa kewajiban Gubernur Militer adalah menyusun dan menyatukan tentara dan laskar dalam daerah kekuasaan Gubernur Militer, agar menjadi satu kesatuan komando.41 Di samping itu Gubernur Militer diserahkan tugas-tugasnya, baik yang mengenai pertahanan maupun militer. Penugasan tersebut berhasil dilakukan oleh Gubernur Militer Tgk. M. Daud Beureueh dengan
39
Latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer karena pada saat itu terjadinya masa Agresi Militer Belanda, dan juga terjadi pergolakan pada sistem pemerintahan di Indonesia yang lebih dikenal dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang pada saat itu hampir seluruh bagian wilayah Indonesia dikuasai kembali oleh Belanda kecuali Wilayah Aceh maka dijadikanlah Daerah Militer. Hal ini ditujukan untuk memperlancar roda pemerintahan baik sipil maupun militer. Maka diangkatlah Gubernur Militer di berbagai daerah di Sumatera, berikut susunan Gubernur Militernya: a. Gubernur Militer untuk Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk. M. Daud Beureueh. b. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing. c. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid. d. Gubernur Militer untuk Daerah daerah Riau adalah R.M. Oetoyo e. Gubernur Militer untuk Daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani. Selengkapnya lihat, Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 400. Lihat juga, T. Alibasjah Talsja, 10 Tahun Daerah Istimewa Atjeh, h. 29. 40 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, diterbitkan oleh Sekretariat DPRD-GR Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, (Banda Aceh, 1968), h. 11. Lihat juga, Ismuha, Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976), h. 71. 41 S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 76.
27
berhasil menyatukan Divisi TRI, Divisi Rencong, Divisi Mujahidin, Divisi Teungku Chik Paya Bakong menjadi satu kesatuan. 2. Pembentukan Provinsi Sumatera Utara Pertama Tahun 1948 terjadi perubahan dalam pemerintahan Keresidenan Aceh. Perubahan tersebut mengacu pada Undang-Undang No.10 tahun 1948 tentang peningkatan status Sub-Provinsi Sumatera Utara menjadi Provinsi Sumatera Utara. Adapun wilayah Provinsi Sumetara Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Sebagai Gubernurnya ditunjuk Mr. S.M. Amin yang sebelumnya menjabat sebagai Sub-Gubernur Suamtera Utara. Sementara Mr. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Komisaris dari Komisariat Pemerintah Pusat Sumatera.42 Pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin dilaksanakan oleh Presiden Soekarno di Kutaraja pada tanggal 19 Juni 1948 bertepatan dengan kunjungannya ke Aceh pada tahun yang sama, seperti yang disampaikan Muhammad TWH dalam bukunya Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama: “Upacara pelantikan di mulai pada pukul 20.00 dan dihadiri oleh pembesar-pembesar sipil dan militer, pemuka-pemuka rakyat, para alim ulama, kaum wanita dan wakil-wakil golongan bangsa Tiongoa, Arab, India, dan Pakistan. Juga hadir romobongan Presiden, Gubernur Militer Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Residen Inspektur Tuanku Mahmud, Residen Aceh Teuku Tjhik M. Daudsyah, Sultan Siak Sjarif Kasim, Jenderal Mayor Husin Al-Mujahid, dan lain-lain.”43
Setelah pelantikan Gubernur Sumatera Utara, tanggal 1 Juli 1948 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 mengenai bentuk, susunan, kekuasaan dan kewajiban Pemerintah Provinsi. Kemudian pada bulan Desember
42
Dewan Perkawakilan Rakyat Atjeh, h. 12. Muhammad TWH, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama, (Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008), h. 145. Lihat juga S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 87. 43
28
1948 dilaksanakan sidang yang pertama di Tapaktuan.44 Sidang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1948, tetapi diundur karena anggota dari Keresidenan Sumatera Timur belum datang dan akan dilaksanakan keesokan harinya. Alasan terpilihnya Tapaktuan sebagai tempat berlangsungnya sidang dikarenakan daerahnya lebih aman dari kota-kota lain, dan juga dipandang lebih kondusif.45 Sidang berlangsung sejak 13 Desember 1948 sampai 16 Desember 1948. Suasana sidang berjalan dengan memuaskan dan menarik perhatian seluruh golongan dan lapisan masyarakat. Hanya harus disesalkan bahwa, pada rapat hari kedua, beberapa anggota menjalankan obstructie dengan meninggalkan rapat, dengan maksud supaya rapat tidak dapat berlangsung. Yang menjalankan obstructie ini adalah beberapa anggota yang bersatu dalam Ikatan Front Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan anggota Residen Abdul Karim M.S. dari PKI (Partai Komunis Indonesia).46 Sidang yang berlangsung sejak 13 Desember sampai dengan 16 Desember 1948 menghasilkan beberapa keputusan, pertama, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPRSU) yang terdiri dari 45 orang dan menetapkan 6 anggota Badan Eksekutif,47 di antaranya: Ketua
: Mr. S.M. Amin
Anggota
: Tgk. M. Nur El Ibrahimy M. Yunan Nasution
44
Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44. S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa, h. 41. 46 Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 45. 47 Nama-nama yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara (DPRSU) selengkapnya lihat, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 76-77. 45
29
Yahya Siregar Amelz Melanton Siregar Perlu diterangkan, bahwa dari sejumlah 45 anggota tersebut, yang hadir hanya 29 anggota. Mereka ini sejumlah 45 anggota mewakili partai-partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Nasional Indonesia (PNI), SOBSI, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pesindo, Parkindo, dan Barisan Tani Indonesia. Kedua, penetapan bahwa Kutaraja menjadi ibukota Suamtera Utara.48 Inilah beberapa keputusan, yang diambil dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara di Tapaktuan. Sidang Dewan Perwakilan Sumatera Utara berakhir pada 16 Desember. Anggota-anggota berpisah satu sama lain dengan tekad, menumpahkan tenaga dan semangat dan fikiran sepenuhnya terhadap keputusan-keputusan yang telah disepakati guna melangkah kearah pemerintahan yang sempurna. 3. Pembentukan Provinsi Aceh Pertama Provinsi Sumatera Utara yang pertama tidak bertahan lama, hanya 5 bulan bila dihitung sejak pelantikan DPRSU (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara), atau 11 bulan sejak pelantikan Gubernur Mr. S.M. Amin. Hal ini dikarekan kekacauan oleh serangan-serangan pihak Belanda yang cukup agresif untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Dengan cepat Belanda melakukan penyerangan terhadap ibu kota Provinsi Sumatera Utara Kutaraja, dan kota-kota lainnya yang berada di pantai laut sebelah utara, maupun disebelah timur dan barat. Presiden dan Wakil Presiden Soekarno-Hatta berserta sejumlah Menteri dan 48
Sebelumnya Komisaris negara telah menetapkan sibolga sebagai ibukota sementara untuk provinsi Sumatera Utara, karena tidak ada persuaian pendapat maka Kutaraja menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara. Lihat Insider, Atjeh Sepintas Lalu, h. 44.
30
pembesar lainnya ditawan oleh Belanda di pulau Bangka. Suatu hal yang sangat membahayakan karena Belanda sangat lihai menyiarkan ke seluruh pelosok dunia, bahwa “Republik Indonesia tidak ada lagi, gerakan kemerdekaan Indonesia telah dapat dibasmi”.49 Keadaan yang demikian gawat harus segera diatasi. Pada saat itu Mr. Syafruddin Prawiranegara bertindak dengan cepat dan tepat. Bersama dengan beberapa teman-temannya dengan izin Presiden Soekarno membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih dikenal dengan Pemrintahan Darurat Republik Indenesia (PDRI) yang berkedudukan di Sumatera Barat.50 Sesuai dengan situasi negara yang sedang bergejolak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) menetaptan tiga hal penting, pertama keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia No.21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, menetapkan bahwa segala alatalat kekuasan sipil dan militer dalam tiap-tiap Daerah Militer Istimewa dipusatkan dalam satu tangan yakni Gubernur Militer, dan menetapkan Provinsi Sumatera Utara menjadi dua Daerah Militer. kedua, keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949 ditetapkan jabatan Gubernur Sumatera Utara ditiadakan; Gubernur dijadikan sebagai Komisaris dan memberikan tugas yang bersifat pengawasan dan tuntutan atas alat-alat pemerintahan, baik sipil, maupun militer.51
49
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 98. Pemerintah Darurat Republik Indonesia terbentuk sejak 22 Desember 1948 di rumah mantan administratur Perkebunan The di Halaban, Payakumbuh Sumatera Barat, Selengkapnya lihat, JR. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, (Jakarta: Arsip Nasional, 1989), h. 9. 51 Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, (Jakarta: Soeroengan, 1957), h. 27. Lihat juga, Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, (Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010), h. 199-200. 50
31
Atas keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), pada tanggal 15 September 1949 terbagilah Daerah Sumatera Utara ke dalam dua Daerah Militer Istimewa yaitu: 1. Daerah Militer Istimewa Langkat dan Tanah Karo sebagai Gubernur Militernya Tgk. Muhammad Daud Beureueh. 2. Daerah Militer Istimewa Tapanuli dan Sumatera Timur, Selatan sebagai Gubernur Militernya dr. F.L Tobing.52 Perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan yang diambil oleh Belanda, bukan saja dilakukan dengan menggerakkan senjata semata, akan tetapi perjuangan memperoleh kedaulatan atas tanah air juga dilakukan dengan cara diplomasi melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilangsungkan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 27 Desember 1949 dengan hasil kemenangan Indonesia serta pengakuan dan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Kabar gembira ini juga di terima oleh seluruh rakyat yang berada di Kutaraja. Sepuluh hari sebelum penyerehan kedaulatan Indonesia, Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegera telah menetapkan peraturan penggatin Presiden No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur. Keputusan ini dibuat karena jasa serta kesetiaan rakyat Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari awal sampai berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB). Adapun rincian peratutan penggatin Presiden No.8/Des/WKPM Tahun 1948 adalah:
52
Al Manak Umum, (Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 108.
32
a. Menghapuskan Keresidenan Atjeh dari Provinsi Sumatera Utara dan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah keresidenan tersebut. b. Menghapuskan Provinsi Sumatera Utara dan membubarkan Daerah Perwakilan Rakyat Provinsi Sumatera Utara. c. Menghapuskan Keputusan-Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia tanggal Juni 1949 No.21/Pem/PDRI dan tanggal 17 Mei 1949 No.24/PDRI. d. Menetapkan Peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Provinsi Aceh.53 Atas ketetapan peraturan Wakil P.M. Syafruddin Prawiranegara tersebut, maka dalam waktu dekat yaitu pada tanggal 30 Januari 1950 diresmikanlah pembentukan Provinsi Aceh dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh dan R. Marjono Danubroto sebagai Sekretaris Daerah.54 Sementara untuk Gubernur Tapanuli Sumatera Timur diangkat dr. Firdinan Lumbang Tobing. Setelah penetapan pembentukan Provinsi Aceh, pemerintahan daerah Provinsi Aceh mengadakan pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kutaraja. Adapun mereka yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berjumlah 27 orang, di antaranya: “Tgk. M. Nur El Ibrahimy, 2. Tgk. Abdul Wahab Seulimum, 3. Abdul Gani (Ayah Gani), 4. A.R. Hasyim, 5. A.R. Hajat, 6. Ismail Usman, 7. Hasan Ali, 8. O.K. H. Salamuddin, 9. Tgk. Ismail Yakub, 10. Usman Aziz, 11. A. Ghafur Akhir, 12. Ismail Thaib, 13. Tgk. Hasan Hanifah, 14. T. Muhammad Amin, 15. Tgk. Abdul Hamid, 16. Zaini Bakri, 17. Banta Cut, 18. Tgk Zamzami Yahya, 19. Ibrahim Abduh, 20. H.A. Halim Hasan, 21. Mahyuddin Yusuf, 22. Mawardi Nur, 23. Tgk. H. Ali Balwi, 24. Bachtiar Junus, 25. N.D Pane, 26. Karim Yusuf, 27. Lim Hong Moh.”55
53
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 14. A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 397. 55 S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 83. 54
33
Seterusnya diadakan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan hasil pemilihan, Tgk. Abdul Wahab Seulimum menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh dan A.R Hajat sebagai Wakil Ketua. Sementara itu pemerintahan sehari-hari dari Provinsi Aceh dijalankan oleh Badan Eksekutif yang diketuai oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh beserta anggotanya yang terdiri dari: 1. Teuku Muhammad Amin (Kepala Pemerintahan Umum dulu) 2. Abdul Gani Usman (Ayah Gani) 3. M. Nur El Ibrahimy 4. Amelz 5. Ali Hasjmy56 Provinsi Aceh berjalan dengan baik, tugas-tugas pemerintahan dilaksanakan dengan memuaskan. Tiba-tiba dalam bulan Maret 1950, sewaktu Provinsi Aceh masih berjalan 3 bulan terdengar kabar tentang sebagian anggota perlemen yang tidak setuju dengan pembentukan Provinsi Aceh. Kabar ini menimbulkan kekecewaan besar golongan masyarakat yang ingin memperjuangkan Provinsi sendiri, sebaliknya kabar ini dianggap menguntungkan bagi golongan yang anti Provinsi Aceh yang senantiasa memperjuangankan agar Provinsi Aceh dileburkan kembali kedalam Provinsi Sumatera Utara. B. Sebab-Sebab Terjadinya Pemberontakan Darul Islam Aceh 1. Akibat Provinsi Aceh Dihapus Pengangkatan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh nampaknya diterima dengan dingin oleh masyarakat. Dua atau tiga hari sesudah 56
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 15. Sedangkan di dalam sumber lain, saudara Ali Hasjmy tidak bersedia dan digantikan oleh Ismail Usman. Lihat, Ali Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 397.
34
pengangkatan itu, atas undangan Hadji Zainuddin (Sekretaris Gabungan Saudagar Indonesia Aceh atau Gesida) diadakan rapat untuk membentuk panitia upacara peresmian pengangkatan Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh pada tanggal 30 Januari 1950. Tetapi rapat tidak dapat berlangsung karena kekurangan minat dari rakyat.57Selain itu, upacara peresmian Provinsi Aceh pertama yang dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 1950, tidak dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri atau wakilnya yang ketika itu sedang berada di Yogkakarta. Ketidak hadiran pejabat pemerintah pusat dalam upacara peresmian Provinsi Aceh menuai beberapa pendapat. Menteri Dalam Negeri, Susanto Tirtoprojo telah berunding dengan anggota-anggota perlemen tentang pembentukan Provinsi Aceh yang menyatakan sebagian dari anggota perlemen tidak menyetujui pembentukan Provinsi Aceh, karena melanggar perjanjian dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang pada saat itu wilayah Indonesia hanya bisa dibagi menjadi 9 Provinsi dan satu daerah Istimewa Jogyakarta. Pemerintah Pusat membentuk panitia yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo untuk mengkaji ulang mengenai provinsi-provinsi yang ada di Sumatera, termasuk Propinsi Aceh. Pada awal bulan Maret 1950, Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtoprodjo beserta rombongan berkunjung ke Kutaraja untuk melakukan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin Aceh. Dalam pertemuan antara Menteri Dalam Negeri dengan pemimpin-pemimpin Aceh, yang dihadiri oleh Gubernur Aceh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, Ketua DPR Provinsi Aceh Tgk. Abdul Wahab, Ketua DPR Kabupaten Aceh Besar Zainy Bakry, dan Abdul Gani. Pada kesempatan itu Menteri Dalam Negeri mengatakan,
57
“Keterangan Pemerintah Tentang Peristiwa Atjeh,” Bintang Timur, 29 Okober 1953.
35
bahwa pemerintah pusat belum menetapkan adanya Provinsi Aceh. Oleh karena itu panitia akan mengumpulkan bahan guna dijadikan pertimbangan untuk menarik kesimpulan perlu tidaknya diadakan Provinsi Aceh.58 Atas keterangan Menteri Dalam Negeri itu, maka Gubernur Aceh, Ketua DPR Aceh dan beberapa anggota DPR Aceh menolak tawaran dari Menteri Dalam Negeri Mr. Susanto Tirtorpojo dan tetap menginginkan Aceh tetap berstatus sabagai Provinsi yang berdiri sendiri.59 Sejak pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan pemerintah daerah Aceh, belum ada tanda-tanda mengenai keputusan dari pemerintah pusat tentang persoalan Provinsi Aceh. Keinginan rakyat Aceh yang tulus akan Provinsi otonomi bagi Aceh sendiri yang disampaikan kepada pemerintah belum ditanggapi hampir 5 bulan proses itu berjalan. Akhirnya pada tanggal 12 Agustus 1950, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh mengadakan sidang dan mengeluarkan mosi tuntutan kepada pemerintah pusat, menuntut agar tetap diberikan status provinsi sendiri, karena rakyat Aceh merasa sangat tertinggal jauh dari rekan-rekan mereka dalam Provinsi Sumatara Utara.60 Dalam mosi yang sangat panjang tersebut juga mengemukakan beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan unsur pengetahuan, Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Agama, Kebudayaan, dan Politik.61 berikut uraian singkat mosi tersebut: “Aceh berlainan kepentingan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli, berlainan adat istiadat, berlainan agama dengan Tapanuli Utara. Hal-hal ini dapat menimbulkan masalah-masalah 58
Mr. S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, h. 29. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), h. 115. 60 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal 43. 61 Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985), h. 107. Amien, KenangKenangan: Dari Masa Lampau, h. 114. 59
36
yang bersifat pertentangan-pertentangan dalam rumah tangga di mana termasuk Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Oleh karena itu kami tidak menghendaki rumah tangga di mana termasuk Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur. Kami menuntut rumah tangga Aceh sendiri, di mana kami dapat mengurus hal-hal dan kepentingan-kepentingan kami tanpa dihalang-halangi oleh anggota-anggota rumah tangga yang berlainan pandangan hidup, adat istiadat, agama dan kepercayaan".62
Pertentangan pendapat antara pro dan kontra mengenai Propinsi Aceh pertama terus berlanjut. Sejalan dengan itu timbul protes-protes pemimpin pemerintahan daerah Aceh dari berbagai kalangan, memprotes tawaran tersebut, baik pemuka masyarakat Aceh, kalangan pamongpraja, dan juga masyarakatmasyarakat lainnya diluar kalangan pemerintahan. Optimisme pemimpin Aceh pudar setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pusat Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950, yang mencabut Peraturan
Wakil
Perdana
Menteri
pengganti
Peraturan
Pemerintah
No.8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang penghapusan Propinsi Aceh dan pembubaran DPRnya.63 Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, status Propinsi Aceh hanya berusia 8 bulan setelah dikeluarkan peraturan undangundang tersebut. Adapun inti undang-undang itu memuat beberapa poin yaitu: 1. Mencabut peraturan Wakil Perdana Menteri pengganti peraturan Pemerintah No. 8/Des/Wpm tahun 1949 tentang pembagian Sumatera Utara menjadi dua propinsi. 2. Mengesahkan penghapusan pemerintahan daerah Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli, serta pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut.
62
Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 123. Lihat juga Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90-91. 63 Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku, h. 90.
37
3. Menetapkan pembentukan Propinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli.64 Tingginya suhu politik antara Jakarta dan Aceh membuat kesepakatan untuk mengirim utusan antara kedua belah pihak selama jangka waktu yang relatif singkat antara bulan Agustus sampai Januari 1951. Dari pihak Aceh dikirim dua orang yaitu Abdul Wahab Seulimeum dan Abdul Gani untuk melakukan pertemuan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Kedatangan delegasi Aceh ke Jakarta sudah tercium oleh sebagian kaum Uleebalang. Mereka berhasil mempengaruhi para pemimpin di Jakarta. Kaum Uleebalang sangat antusias mendukung rencana penghapusan Propinsi Aceh karena mereka pendapat mereka hanya segelintir pemimpin Aceh saja yang menuntut status provinsi dan itu dilakukan demi kepentingan kaum ulama PUSA sendiri.65 Petemuan yang dilakukan antara kedua belah pihak tidak membawa hasil yang baik. Delegasi tersebut gagal dalam meyakinkan pemerintah mengenai status Provinsi Aceh. Keadaan politik di Aceh semakin meningkat, guna meredakan keadaan yang semakin rumit itu pada tanggal 26 September 1950, Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat, Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara dan Ketua P4SU (Panitia Penyelenggaraan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara) Raden Sarimin Reksodihardjo melakukan kunjungan ke Aceh. Pada malamnya diadakan pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Bereueh dan juga dihadiri oleh anggota (Dewan Perwakilan Daerah) DPD T.M. Amin, para Kepala Daerah Kabupaten, kecuali Aceh Selatan. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat memberikan penjelasan bahwa dalam persetujuan Republik Indonesia telah ditetapkan 10 64 65
A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70: Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 401-403. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 46.
38
provinsi yang berotonomi, salah satu dari 10 provinsi itu, adalah Provinsi Sumatera Utara.66 Semua tokoh pendukung otonomi masih tetap mempertahankan status provinsi dengan menegaskan kembali Mosi DPRD Aceh yang berkenaan dengan ke-agamaan, adat istiadat, kebudayaan, pendidikan, dan keuangan.67 Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri memberi tanggapan kepada pendukung otonomi, bahwa mosi yang pernah dikeluarkan oleh DPRD Aceh tidak cukup kuat untuk mempertahankan Provinsi Aceh.68 Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara berusaha memberi pengertian dalam masalah ini. Beliau memberi keterangan “…Pemerintah pusat mempunyai beban yang berat sekali untuk menetapkan apakah Aceh tetap satu provinsi. Beban pemerintah pusat akan bertambah ringan jika Aceh masuk Provinsi Sumatera Utara…". Selanjutnya beliau mengingatkan juga, "…Bahwa yang sekarang menjadi Perdana Menteri adalah seorang Islam, seorang ulama pula. Dalam keadaan seperti ini tentu kedudukan agama Islam akan cukup dapat perhatian beliau. Menteri Dalam Negeri Mr. Assaat pun seorang yang beragama Islam juga…".69 Pertemuan kedua belah pihak diakhiri tanpa ada kata sepakat. Gubernur Tgk. M. Daud Beureueh menutup pertemuan dengan mengatakan “…Bila tuntutan otonomi daerah Aceh tidak dikabulkan kami akan meletakkan jabatan sebagai
66
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 225. 68 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 131. 69 S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 89-90. 67
39
pegawai dan kembali ketengah-tengah masyarakat…70 suasana pertemuan berakhir dalam suasana tegang dan tidak mencapai hasil yang baik. Usaha untuk memperoleh status otonomi terus diupayakan. Pada akhir bulan Oktober 1950 Tgk. M. Daud Beureueh melakukan perjalanan ke Jakarta dengan harapan agar status Provinsi Aceh masih bisa dipertahankan. Ia mungkin berpikir, pemerintah pusat setidaknya akan menghormatinya karena peranan rakyat Aceh pada masa revolusi dan berharap akan mendapatkan hasil yang baik untuk Aceh. Dalam surat kabar Waspada Teungku Muhamammad Daud Beureueh mengatakan bahwa “…Aceh tidak menuntut, tapi rakyat Aceh mempertahankan hak provonsi yang telah diberikan dulu dengan undang-undang oleh pemerintah. Dan apa alasan pemerintah sekarang untuk membubarkannya. Bahwa selama ini di Aceh tidak ada terjadi kekacauan dan kerusuhan. Mengenai sikap Aceh dalam mempertahankan hak propinsi itu dari dulu sampai sekarang seujung rambut belum berubah dan pendirian pamong-pamong praja di Aceh tetap sebagaimna yang telah diucapkan mula-mula…”.71 Mengenai berita-berita yang mengatakan Daud Beureueh telah mencapai kompromi dengan Pemerintah, dibantah keras oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Beliau menambahkan pernyataannya dalam harian Waspada “…Belum ada sesuatu ketegasan dari pemerintah, dan pemerintah masih mencari keterangan lebih lanjut. Berhubung belum adanya sesuatu ketegasan dari pemerintah pusat mengenai Propinsi Aceh, maka sampai sekarang Propinsi Aceh masih tetap ada…”72
70
S.M. Amien, Kenang-Kenangan: Dari Masa Lampau, h. 91. Lihat juga, Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan, h. 91. 71 “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950, h. 1. 72 “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950, h. 1.
40
Suhu politik dan keresahan di Aceh semakin meningkat, maka Wakil Presiden terpaksa datang ke Aceh pada tanggal 27 November 1950 untuk melunakkan hati pemimpin Aceh. Wakil Presiden mengemukakan penjelasanpenjelasan mengenai belum dapat diadakan suatu provinsi tersendiri bagi daerah Aceh, oleh karena dalam Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan bersama tanggal 19/20 Juli 1950, telah ditetapkan daerah Aceh, bergabung dengan daerahdaerah Tapanuli dan Sumatera Timur, dijadikan Provinsi Sumatera Utara.73 Pertemuan yang dilakukan Tgk M. Daud Beureueh dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta bernasib sama seperti pertemuan Menteri Dalam Negeri Mr. Assat yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi semua pihak. Tekanan dari berbagai pihak dialami oleh pendukung otonomi, di antaranya kaum Uleebalang dan beberapa anggota perlemen yang tidak menyetujui status Provinsi Aceh. Untuk memperkuat tuntutan tersebut, PUSA mengadakan kongres di Kutaraja pada tanggal 23-27 Desember 1950. Dalam kongres PUSA terdapat beberapa perbedaan sikap yang harus diambil oleh PUSA, yakni mendesak pemerintah daerah untuk mengambil sikap tegas kepada pemerintah pusat, dengan tuntutan, apabila sampai 1 Januari 1951 status Aceh belum berdiri sendiri sebagai provinsi maka seluruh pejabat pemerintah akan meletakkan jabatan.74 Sebagian anggota PUSA lainnya mengambil sikap yang netral untuk memberi kesempatan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang telah terjadi di Aceh.
73
Sutan Muhammad Amin, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku h, 92. Selengkapnya lihat pidato Wakil Presiden dan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 132. 74 Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, (T.tp.: Staf Umum I Tentara dan Ter I Bukit Barisan, 1956), h. 20.
41
Keputusan yang diambil dalam kongres PUSA ke II lebih menitik beratkan pada tuntutan supaya pemerintah pusat segera memberi otonomi untuk daerah Aceh. Dalam hal ini kongres mengeluarkan resolusi yang mendesak supaya: a. Pemerintah Pusat segera melaksanakan rencana undang-undang otonomi bagi daerah Aceh dan daerah-daerah lain yang menghendakinya. b. Pemerintah pusat segera menepati janjinya dalam memberikan otonomi bagi Aceh. c. Pemerintah Pusat menjalankan segala keinginan-keinginan rakyat menurut dasar-dasar demokrasi.75 Menyikapi persoalan status Provinsi Aceh yang berlarut-larut, pemerintah pusat menugaskan Perdana Menteri Muhammad Natsir bersama Menteri Agama K.H Masykur berkunjung ke Kutaraja pada 22 Januari 1951. Kedatangan P.M. Mohammad Natsir disambut dengan rasa kurang simpatik oleh beberapa pemimpin Aceh, termasuk Tgk. M. Daud Beureueh yang tidak datang untuk menyambut kedatangan P.M. Muhammad Natsir. Selain itu, penginapan P.M. Muhammad Natsir yang semula akan ditempatkan di sebuah hotel, tetapi atas kehendak P.M. Mohammad Natsir sendiri melihat kondisi yang terjadi maka beliau menginginkan dibawa ke Pondopo Gubernur Kutaraja untuk bermalam di sana.76 Pada malamnya diadakan perundingan antara pendukung otonomi dengan rombongan P.M. Mohammad Natsir, perundingan berjalan dengan penuh kebijaksanaan yang bersifat dari hati ke hati. Setelah perundingan dan membujuk para pemimpin Aceh, akhirnya tercapai kesepakatan: 1. Tuntutan Otonomi Aceh diusahakan dan diperjuangkan terus. 75
S.M. Amin, Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, h. 92. M.Natsir, 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978), h. 112. 76
42
2. Pemerintah akan mengurus soal Aceh ber-otonomi itu secara integral untuk seluruh Aceh. 3. Peletakan jabatan secara non kooperatif bila tuntutan otonomi untuk daerah Aceh tidak dipenuhi, masih tetap dipegang penuh.77 Akhirnya Provinsi Aceh dan DPR nya resmi di hapuskan pada bulan Januari 1950.78 Daerah Aceh berubah statusnya kembali menjadi keresidenan. Kota Medan ditetapkan menjadi ibu kota Propinsi Sumatera Utara dan Abdul Hakim aktivis Masyumi dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara. Sementara Residen Aceh ditunjuk R. Maryono Danubroto sebagai Koordinator Pemerintah Daerah Aceh. Tgk. M. Daud Beureueh ditarik ke Jakarta dalam Kementerian Dalam Negeri, tetapi beliau tidak pernah ke Jakarta untuk tugas yang barunya. Tgk. M. Daud Beureeuh kembali ke kampung halamannya, tinggal di sana dan hidup sebagai orang biasa.79 Dua tahun setelah penghapusan Provinsi Aceh pertama, diadakan kongres PUSA yang ketiga di Kuala Simpang pada tanggal 25-29 April 1953. kongres PUSA kali ini selain membicarakan tentang keputusan-keputusan yang telah diambil oleh Kongres Alim Ulama dan Muballigh Islam se-Indonesia,80 yang dilangsungkan di Medan. Juga membicarakan tentang perjuangan kembali status
77
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 134. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17. 79 Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, h. 106. Dalam sumber lain menyebutkan Tgk. M. Daud Beureueh mengambil cuti selama enam bulan masa tugasnya di Kementerian Dalam Negeri Jakarta. Lihat, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 235. 80 Kongres Alim Ulama se-Indonesia yang diadakan di Kota Medan berlangsung pada tanggal 11-15 April yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Di antara keputusan yang diambil dalam kongres tersebut ialah mengadakan kerjasama yang erat dengan instansi-instansi pemerintah dan organisasi-organisasi untuk amar ma‟ruf dan nahi mungkar dan juga dengan tegas akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat memperjuangkan agama Islam dalam pemilihan umum pada tahun 1955. Lihat, A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin, (Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956), h. 10. 78
43
Provinsi untuk daerah Aceh. Kongres ini merupakan kongres terakhir PUSA, karena pada tanggal 21 September 1953 di Aceh meletus peristiwa berdarah atau pemberontakan Darul Islam Aceh di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh. 2. Faktor-Faktor Lain Pemicu Pemberontakan Sejak penghapusan Provinsi Aceh, mulai terlihat tanda-tanda rasa ketidak puasaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat. Perjuangan yang telah banyak dilakukan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah pusat seperti tidak dihargai dan menambah rasa kekecewaan yang mendalam, yang akhirnya menjadi akibat besar bagi pemerintah dikemudian hari. Adapun faktor-faktor yang mempercepat meletusnya pemberontakan Darul Islam Aceh di antaranya: 1.
Tahun 1950, Tentara Nasional Indonesia yang merupakan satu Divisi X, yang disatukan oleh Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1948 dileburkan menjadi satu resimen di bawah Divisi Bukit Barisan di Medan yang dipimpin oleh Mayor Nazir81 yang merupakan kader komunis.82 Sedangkan Kolonel Husen Jusuf, panglima Divisi X diberhentikan. Selama Mayor Nazir bertugas di Aceh sebagai Komandan Resimen, Nazir berhasil membentuk suatu organisasi Badan Keinsyafan Rakyat (BKR).83 Organasasi BKR ini bergerak
81
B.J. Boland, The Struggle of Islam In Modern Indonesia, (The Hague-Martinus Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971), h. 72. 82 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 403. 83 Organisasi Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) didirikan di Kutaraja pada tanggal 8 April 1951. Organisasi ini didirikan atas inisiatif beberapa orang terkemuka di Kutaraja, antara lain Teungku Mohammad Ali Lam Lagang, Ibrahim Lhong Raja. Dalam pasal 5 anggaran dasar Badan Keinsyafan Rakyat salah satu tujuan BKR adalah mempercepat silaturrahim antara rakyat dengan rakyat, golongan dengan golongan dan antara rakyat dengan golongan dan pemerintah. Tetapi maksud dari tujuan BKR yang sebenarnya adalah pengembalian kekuasaan politik kepada golongan Uleebalang. Hal ini terbukti dengan jelas dalam waktu yang singkat sesudah terbentuknya organisasi ini, dengan mengeluarkan suatu resolusi dengan mengambil sikap
44
aktif sebagai pendukung keputusan pemerintahan yang untuk penghapusan Provinsi Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh bertambah pula, terutama di kalangan perwira dan prajurit serta kaum pejuang lainnya dengan pemindahan kesatuan-kesatuan tentara seperti Batalion T. Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalion Alamsyah dipindahkan ke Indonesia Timur, Batalion yang dipimpin oleh Hasan Saleh dipindahkan ke Sulewesi Selatan lalu ke Maluku Selatan. Perwira lain yang berada di Aceh juga dimutasi kemana-mana, sebagai gantinya dimaksukkan batalion dari Tapanuli seperti Batalion Manaf Lubis, Batalion Ulung Sitepu, serta Batalion Boyke Nainggolan, yang secara etnologis dan adat-istiadat sangat berbeda dengan orang Aceh, sebagian besar diantaranya bahkan beragama lain.84 2.
Di tengah-tengah keadaan yang semakin memanas, tersebar isu bahwa pemerintah pusat telah menyusun daftar nama-nama tokoh Aceh yang anti pemerintah untuk ditangkap. Beberapa sejarawan menyatakan, daftar ini yang menjadi penyebab langsung pemberontakan. Boland didalam bukunya menyatakan menurut informasi yang diperoleh di Aceh, kaum politisi sayap kiri di Jakarta sebelumnya pada 1953 menyebarkan desas-desus bahwa Aceh benar-benar mengatur suatu pemberontakan. Akibatnya “Djakarta” mencantumkan dalam daftar 190 orang Aceh terkemuka harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh
menolak terhadap kebanyakan mereka (kaum ulama) yang menamakan dirinya wakil atau pemimpin rakyat yang menduduki kursi-kursi pemerintahan di Aceh, pemimpin-pemimpin yang cita-citanya dan berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan untuk dirinya masing-masing. Resolusi tersebut tidak berhasil dijalankan dan pihak PUSA masih terus memegang pimpinan pemerintahan. 84 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 136.
45
pada Juli 1953 belakangan ternyata bahwa daftar nama ini barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu, karena orang-orang Aceh terkemuka ini merasa bahwa mereka mungkin akan ditangkap, mereka memutuskan lari ke gunung pada 19 September 1953. Ini merupakan pemutusan resmi dengan “Djakarta” dan awal dari apa yang disebut pemberontakan Darul Islam di Aceh.85 Selanjutnya menurut B.J. Bolland, bahwa sebetulnya surat itu tidak pernah ada. Desas-desus itu diembuskan oleh politikus sayap kiri (PKI) di Jakarta untuk menghamtam gerakan Islam di Aceh.86 Hal ini juga diakui oleh Perdana
Menteri
Ali
Sastroamidjojo
dalam
sidang
jawaban
pemerintah tanggal 2 November 1953. 3.
Dalam masa revolusi fisik, daerah Aceh didatangi para pengungsi dari Sumatera Timur, setelah Belanda mengadakan agresi ke daerah tersebut. Perusahan-perusahan perkebunan dan pertambangan minyak tidak dapat berjalan. Kesulitan perekonomian sangat terasa dengan adanya blokade Belanda terhadap pelabuhan-pelabuhan dan beberapa daerah. Daerah Aceh seakan-akan terisolasi dari daerah lainnya.87 Setelah merdeka rakyat Aceh mulai kembali bangkit membangun ekonomi, hal ini di tandai dengan berdirinya Bank Dagang Nasional Indonesia cabang Kutaraja. Pada saat yang bersamaan Aceh sudah memiliki uang kertas URIBA (Uang Republik Indonesia Bagian Aceh).
85
B.J. Boland, The Struggle of Islam, h. 73. Nugroho Dewanto, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan, h. 3. 87 Bambang Suwondo, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1978), h. 192. 86
46
Secara umum devisa yang banyak dihasilkan oleh rakyat Aceh melalui perdagangan hasil bumi seperti kopra, lada, karet, dan kelapa. Perdagangan juga dilakukan dengan cara tradisional sistem barter. Namun pada Februari 1952 pemerintah pusat mengeluarkan keputusan baru mengenai prosedur umum perdagangan dan penghapusan sistem barter diganti menjadi deviezen rezim atau letter of credit dan larangan mengekspor kopra.88 Kebijakan ini sangatlah memukul rakyat Aceh di bidang ekonomi yang sejak revolusi telah terbiasa melakukan perniagaan barter. Tak hanya itu, pada waktu revolusi kemerdekaan pendapatan daerah dialihkan tanggung jawab pengelolanya kepada pemerintahan pusat, dengan demikian daerah Aceh secara ekonomi semakin tergantung sumber pembiayaannya kepada pemerintah pusat, baik untuk biaya rutin maupun pembangunan.89 Keputusan pemerintah pusat yang mengakhiri sistem barter berdampak pada penurunan volume impor dan ekspor. Impor Indonesia dari Penang turun menjadi 2,1 juta di tahun 1952 dan 0,5 juta rupiah pada tahun 1953, penurunan ini sangat drastis dibandingkan pada tahun 1951 dengan nilai 3.3 juta peningkatan volume impor. Hal yang sama juga terjadi pada penurunan volume ekspor yang turun menjadi 141 juta rupiah di tahun 1952 dan pada tahun 1953 menjadi 123,9 juta.90
88
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 244. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 242. 90 Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 77. 89
47
Alasan-alasan di atas merupakan hal yang tidak bisa di pungkiri menyebabkan ketidakpercayaan rakyat Aceh kepada pemerintah pusat semakin mendalam sehingga hal yang tak disangka-sangka oleh pemerintah pusat yang menyebabkan pemberontakan Darul Islam atas apa yang telah pemerintah lakukan ketika masa revolusi fisik. C. Pemberontakan Darul Islam Aceh Meletus Sejak terhapusnya Provinsi Aceh, mulai terlihat kembali pertentangan antara dua kelompok besar dalam masyarakat Aceh pada saat itu, yaitu PUSA (kaum ulama) dengan Uleebalang (kaum bangsawan). Kaum Uleebalang mulai berhasrat ingin merebut kembali hak-hak mereka yang selama ini dianggap tidak adil, yang dipegang oleh kaum ulama. Sementara di pihak PUSA (kaum ulama) mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan termasuk mengadakan kongres Alim Ulama yang diadakan di Medan dari 11 sampai 15 April, dan kongres PUSA yang ke III yang diadakan di Langsa Aceh Timur pada tanggal 25 sampai 29 April. Kedua Kongres ini tidak hanya memberikan titik awal untuk pergerakan seluruh Aceh guna menjelaskan pandangan pemimpin-pemimpin Islam tentang negara Islam dan menghasut rakyat memberontak terhadap pemerintah pusat. Kedua kongres ini juga memberikan dorongan guna memperbaharui usaha untuk meluaskan pengaruh PUSA dalam masyarakat.91 Sejalan dengan itu upaya Tgk. M. Daud Beureueh untuk mempengaruhi rakyat dan pemimpin Aceh untuk melakukan suatu tindakan pemberontakan terus dilakukannya. Gerakan berbisik dari Tgk. M. Daud Beureueh berjalan terus tanpa 91
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Penerjemah Tim PSH (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), h. 284.
48
diketahui oleh pemerintah pusat, hampir semua pamong praja di kecamatankecamatan telah dapat dipengaruhi, demikian juga ketua-ketua rakyat di kampung-kampung.
Pemimpin-pemimpin
yang
telah
dipercayai
dibai‟ah
(disumpahkan) untuk memegang peranan penting di setiap pelosok kota.92 Sebelum pemberontakan itu dilaksanakan, terjadi sebuah pertemuan yang sangat rahasia di rumah kediaman Tgk. M. Daud Beureueh. Pertemuan itu dihadiri oleh lebih kurang 100 wakil dari seluruh Aceh. Pertemuan tersebut membicarakan tentang cara-cara melakukan kudeta serta menyusun satu teoritorium tentara.93 Keputusan hasil dari pertemuan tersebut Tgk. Daud Beureueh akan merencanakan memproklamasikan Darul Islam di Aceh pada 7 Agustus 1953, berhubung rencana tersebut telah terdengar oleh pemerintah pusat maka dibatalkan dan berencana kembali akan melakukan pemberontakan pada tanggal 17 Agustus pertepatan dengan Kemedekaan Indonesia. Namun diundur kembali karena persiapan belum selesai.94 Mengalami beberapa kali penundaan, maka pada tanggal 21 September 1953, bertepatan dengan pembukaan Pekan Olahraga Nasiobal (PON) ke-III di Medan, Tgk. M. Daud Beureueh mengangkat senjata terhadap pemerintah pusat dan memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia.95 Proklamasi itu dilakukan ditempat kediaman beliau sendiri, yaitu di kampung Usi Meunasah Dayah, Blang Malu Kecamatan Mutiara. Walaupun secara umum pemberontakan terjadi sesuai dengan skenario tanggal 21 September 1953, namun 92
A.H Geulanggang, Rahasia Pemberontakan di Aceh, h. 19. Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994), h. 64-65. 94 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 286. 95 Rakyat Aceh menyebutnya “Peristiwa Berdarah”. Sedangkan Perdana Menteri Ali Sastromidjojo menyebut sebagai “Peristiwa Daud Beureueh” atau Pemberontakan Daud Beureueh”. 93
49
sebagian orang kepercayaan Tgk. M. Daud Beureueh yang berada di Idi dan Peurelak telah mendahului gerakan mereka sehari sebelumnya. Kekuatan gerombolan diperkirakan ada sekitar 10.000 orang dengan sejumlah senjata api berkisar 800-1000 pucuk. Pasukan inti berasal dari Pandu Islam. Unsur lain berasal dari kelompok yang tidak puas terhadap pemerintah seperti pamomg praja, Jawatan Agama, termasuk Mahkamah Syariah, Sekolah Agama, dan Pelajar Sekolah Agama.96 Setelah pemberontakan terjadi, Komandan Resimen I Infanteri di Kutaraja mengeluarkan sebuah pengumuman militer. Pengumuman itu menyatakan bahwa di Aceh telah pecah suatu pemberontakan yang digerakkan oleh gerombolan liar. Oleh karena itu diminta kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada, serta memberikan bantuan sepenuhnya kepada alat negara untuk menumpas pemberontak.97 Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim juga mengeluarkan seruan pada 23 September 1953. Seruan ini diseberluaskan lewat radio, adapun bunyi dari seruan tersebut adalah: “Kepada rakyat Indonesia yang berada didaerah Aceh supaya bersama menegakkan keamanan dan ketenteraman kembali. Apa yang terjadi di Aceh dinamakan usaha merampas kekuasaan negara dan bertentangan dengan hukum. Mereka yang terlibat didalam percobaan merampas kekuasaan negara ini, supaya jangan lagi meneruskan perbuatan itu, janganlah dosa kepada negara sendiri itu sampai bertambah dan diharapkannya supaya mereka lekas kembali pada tempat sebenarnya sebagai warga negara Indonesia yang setia”.98
Dalam keterangan yang lain Menteri Peneragan Dr. F.L Tobing pada 1 Oktober 1953 juga menerangkan bahwa “…Keadaan yang sedang bergolak di
96 97
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 292. Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 64-
65. 98
“Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa T‟hadap Negara,” Antara, 24 September 1953.
50
Aceh dewasa ini, masih tetap dapat dikuasai oleh Pemerintah…” Dalam keterangannya lebih lanjut, Menteri Penerangan F.L Tobing mengatakan “…Dalam usaha dan tindakan pemerintah guna memulihkan keamanan di daerah Aceh, pemerintah mendapatkan bantuan penuh dari para alim ulama di Aceh yang tidak menyetujui tindakan kaum pemberontak dan terhadap mereka yang meyerahkan diri, pemerintah akan memberlakukan mereka dengan baik…”99 Pemberontakan DI/TII (Tentara Islam Indonesia) Aceh sering dikatakan sebagai pemberontakan ulama Aceh, namun dalam kenyataannya tidak semua ulama memihak kepada pemberontak. Sebagian ulama Aceh yang tidak bergabung dengan kelompok Tgk. M. Daud Beureueh dengan tegas menyatakan bahwa pemberontakan itu adalah kemungkaran, di antara ulama tersebut adalah Hasan Krueng Kalee, Teungku Makam, Teungku Abdul Salam Meuraxa, Teungku Saleh Meugit Raya, Teungku Muda Wali, dan Labuhan Haji. Para ulama ini membuat seruan dan nasihat terhadap kaum muslimin dan muslimat, khususnya rakyat Aceh supaya jangan sampai rakyat terpedaya dengan ajakan dari kalangan pemberontakan yang menggunakan nama baik Islam.100 Di dalam seruan tersebut Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menerangkan lagi, “…Sebelum peristiwa Daud Beureueh terjadi di Aceh tidak ada pembunuhan dan pembakaran, tetapi sewaktu timbul gerakan mereka itu, kita lihat dengan terang kezaliman-kezaliman yang mengerikan, berapa banyak orang yang telah dibunuh dan berapa pula rumah
99
Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur, 1 Oktober
1953. 100
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
51
yang sudah dibakar…”101 Seruan tersebut ditutup dengan mengajak rakyat Aceh supaya insyaf. Ali Sastroamidjojo yang baru 50 hari menjabat sebagai Perdana Menteri terkejut dengan peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh. Dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo mengutus Wakil P.M. Wongsonegoro untuk berkunjung ke Medan guna memperoleh data lapangan mengenai pemberontakan tersebut. Dua hari kemudian sebuah pertemuan kabinet diselenggarakan di Jakarta untuk membahas agenda pemberontakan. Adapun keterangan yang disampaikan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro pada pertemuan kabinet tersebut membahas tentang usaha pemerintah dalam mengembalikan keamanan dan ketenteraman umum di Aceh, diantaranyanya: a. Menjaga supaya alat-alat senjata dari alat-alat negara jangan lebih banyak jatuh kepada kaum gerombolan. b. Menjaga supaya jangan banyak terjadi pertumpahan darah secara sia-sia. c. Menyadarkan kaum gerombolan kepada tindakannya yang salah itu. d. Memelihara pemerintahan daerah agar dapat berjalan terus e. Tidak segan-segan mengambil tindakan yang keras dan setimpal, jika keadaan menghendaki.102 Dalam keterangannya yg lebih lanjut Wakil P.M. Mr Wongsonegoro mengatakan “…Pemberontakan yang dilakukan dewasa ini di Aceh bukanlah ditujukan kepada pemerintah (Merah-Putih), tetapi kepada Palu Arit…”103
101
“Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat Tuhan Atas Mereka”,Sin Po, 7 Oktober. Lihat juga, Ulama-Ulama Atjeh anjurkan bantu Pemerintah, Bintang Timur, 1 Oktober 1953. 102 “Rentcana Atjeh Sudah ditetapkan di Aceh”, Antara, 28 September 1953 103 “Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan”, Bintang Timur, 1 Oktober 1953.
52
Sementara itu, Komite Pembela atau Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh juga mengeluarkan pernyataan menyerukan kepada partai-partai, organisasi massa dan semua golongan rakyat supaya bersatu menghadapi gangguan keamanan, kekacauan dan pemberontakan baik yang mempertopengkan agama Islam dan lainnya yang hendak memecah belahkan kesatuan rakyat dan ingin memasukkan penjajahan kembali di Indoensia. Adapun seruan singkat dari Komite Pembela atau Penjunjung Pancasila Republik Indonesia sebagai berikut: “Kepada rakyat yang telah terpengaruh, terjerumus kedalam kancah kebinasaan oleh bujukan yang muluk-muluk yang menggunakan ayat-ayat fisabilillah sahid dan sebagainya diharapkan supaya insyaf dan ingatlah kepada jalan yang benar (petunjuk Allah). Jangan mau ditipu mereka yang durhaka dan yang terkutuk itu. Dan kepada semua rakyat Aceh dan semua rakyat Indonesia agar mengadakan bantuan dan penampunganpenampungan pada saudara-saudara kita muhajirin pengungsi-pengungsi Aceh dan lainlainya dan diminta kepada semua partai-partai organisasi massa dan golongan-golongan rakyat lainnya agar dapat bekerja sama dengan kami, antara kita dengan kita dan antara kita dengan Pemerintah.”104
Perbedaan pendapat terhadap pergolakan di Aceh juga terjadi di beberapa partai politik. Di antaranya Partai Islam (PERTI). Menurut K.H. Sirajuddin Abbas: “Pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureueh itu bukanlah soal Islam dan ulamanya, karena di Aceh banyak juga ulama-ulama dan kaum Muslimin yang tidak turut memberontak, misalnya ulama-ulama Perti dan anggota-anggotanya Perti, karena mereka itu merasa bahwa agamanya tidak diganggu-ganggu oleh negara, sejalan dengan itu kekacauan di Aceh akan dapat diatasi dengan lekas, karena rakyat terbanyak di Aceh tidak menyetujui tindakan kekerasan yang dilkukan oleh Daud Beureueh cs itu. Perasaan kurang puas terhadap keadaan memang terdapat dikalangan rakyat, tetapi rakyat pun merasa, bahwa tidak seharusnya karena perasaan yang demikian itu lalu mengambil jalan kekerasan.”105
Sementara Partai Komunis Indonesia (PKI) meminta kepada pemerintah agar menumpas habis pemberontakan DI/TII. Berikut pernyataan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam surat kabar Harian Rakyat:
104
“Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh”, Bintang Timur, 7 Oktober 1953. 105 “Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara”, Antara, 2 Oktober 1953.
53
“Satu satunya jalan bagi Pemerintah adalah bersatu dengan rakyat menghancurkan separatis ini, dalam hubungan ini PKI menyatakan dengan jujur dan ikhlas bahwa PKI berdiri sepenuhnya di belakang Pemerintah Republik Indonesia dalam menghancurkan Darul Islam di Aceh, Jawa Barat dan dimana saja.106
D. Keterangan Pro-Kontra Pemerintah Terhadap Pertistiwa Darul Islam Aceh Sejak pemberontakan yang diproklamasikan oleh Tgk. M. Muhammad Daud Beureueh, situasi Aceh dalam keadaan tidak aman. Suara tembakan terdengar dimana-mana dan terdengar hampir di setiap pelosok daerah Aceh, ribuan rakyat tidak berdosa menjadi korban, banyak perempuan yang menjadi janda, rakyat sangat menderita di segala bidang. Masyarakat tidak ada yang berani keluar dari rumah untuk beraktifitas seperti biasa. Serangan demi serangan terus dilancarkan oleh kelompok Darul Islam, sasarannya adalah tentara atau mobrig dan masyarakat sipil yang dianggap mencurigai. Demikian sebaliknya, aparat keamanan (tentara atau mobrig) menuduh rakyat membantu gerombolan pemberontak, yang tidak ikut memberontak dicurigai sebagai mata-mata. Selain itu kedua belah pihak saling menghancurkan sarana dan prasarana seperti merusak tiang listrik dan memutuskan kabel telpon, pengerusakan sekolah-sekolah serta bangunan pemerintahan dihancurkan.107 Banyak masyarakat Aceh ditangkap dan ditahan oleh tentara atau mobrig karena dicurigai sebagai kaum pemberontak. Rakyat serba salah, mereka dipenjara tanpa diadili. Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh telah menimbulkan kekacauan yang luar biasa dan juga kerugian yang besar bagi masyarakat Aceh dan pemerintah. Korban harta benda dan jiwa yang tak ternilai harganya dalam
106
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
107
A. Hasjmy, Semangat Indonesia 70: Tahun Menempuh Pergolakan, h. 416.
66.
54
peristiwa pemberontakan tersebut. Peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh merupakan tragedi yang menguras emosi dan juga masalah nasional yang dihadapi oleh pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana yang diucapkan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 20 Oktober 1953.108 Sebulan setelah terjadinya peristiwa pemberontakan di Aceh, tanggal 28 Oktober P.M. Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan di depan pemerintah dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia yang
berisikan
tentang
latar
belakang
pemberontakan
dan
jalannya
pemberontakan. Dalam keterangan yang panjangnya 33 halaman dan terdapat 4 bagian
keterangan
Pemerintah,109
Perdana
Menteri
Ali
Sastroamidjojo
mengatakan bahwa dalam usahanya menyelesaikan pemberontakan di Aceh, pertama-tama tidak akan melihat siapa bersalah dalam hal ini. melainkan ibarat menghadapi satu rumah yang kebakaran, lebih dulu marilah kita padamkan kebakaran itu dan barulah sesuadah itu dipersoalkan siapa yang bersalah.110 Di dalam latar belakang keterangan pemberontakan yang dikemukakan oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, bahwa tindakan yang terpenting yang harus diambil oleh pemerintah melokalisir kekuasaan kaum pemberontak, yang ternyata hanya 108
Departemen dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h.
179-180. 109
Di dalam rapat Pleno DPR, terdapat 4 bab mengenai keterangan Pemerintah terhadap peristiwa pemberontakan di Aeh, diantara 4 bab tersebut adalah: Bab I : Kejadian-kejadian di Aceh menurut urutan kronologis, sekedar mana yang penting. Bab II : Latar belakang peristiwa Daud Beureueh Bab III : Tindakan-tindakan yang telah dijalankan oleh Pemerintah untuk mengatasi peristiwa tersebut. Bab IV : Tindakan-tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh Pemerintah. Lihat, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud Beureueh, (Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953), h. 8. 110 “Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan Pemberontakan,”Sin Po, 28 Oktober 1953.
55
sebagian saja dari rakyat Aceh yang memihak pemberontak. Adapun tindakan selanjutnya yang akan diambil oleh pemerintah yaitu memerintahkan supaya seluruh pantai dari Peurela, Kutaraja, Aceh Barat sampai Lama Inong disebelah selatan Meulaboh tetap dikuasai oleh pemerintah. Ditempat tempat yang belum ada detasemen tentara atau ditempat yang masih lemah diperkuat dengan ditambah pasukan-pasukan tentara dan Mobrig.111 Pidato itu diikuti dengan acara pemandangan umum lanjutan tentang keterangan
pemerintah
mengenai
pemberontakan
Daud
Beureueh
yang
berlangsung pada tanggal 30 sampai dengan 31 Oktober 1953. Pemandangan Umum tersebut mendapat tanggapan yang antusias dari para anggota sebagaimana terlihat pada jumlah pembicara yang mencapai 17 orang dari berbagai partai. Muhammad Nur El Ibrahimy sebagai pembicara pertama dan berikutnya Amelz mengkritik secara tajam cara pemerintah melakukan operasi pemulihan keamanan. Wakil-wakil partai oposisi, Masyumi dan PSI, berusaha memojokkan posisi pemerintah dalam menangani gerombolan. Sementara itu Wakil PNI Abdullah Jusuf, menegaskan bahwa “…Menjalankan politik keamanan yang menyimpang dari program pemerintah adalah tindakan yang sesat dan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah...” Karena itu pembicara berpendapat, bahwa pemerintah harus mengutamakan tindakan-tindakan tegas untuk terus membasmi pemberontakan itu dengan tidak meninggalkan rasa keadilan.112 Pembicara selanjutnya dalam pemandangan umum adalah Abdulhajat yang menegaskan bahwa “…Apapun juga alasannya, suatu pemberontakan adalah
111
“Keterangan Pemerintah tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan pemberontakan, Sin Po, 28 Oktober 1953. 112 “Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953.
56
kejahatan yang sangat besar terhadap negara dan harus dibasmi…” Abdulhajat tidak membenarkan pendapat anggota yang menganjurkan supaya pemerintah menyelesaikan pemberontakan Daud Beureueh c.s itu dengan jalan damai, sebaliknya pembicara bahkan menganjurkan supaya tiap-tiap kekacauan dimana pun juga terjadinya diambil tindakan-tindakan tegas, diberantas sampai keakarakarnya.113 Pembicara selanjutnya yang memberi keterangan dalam pemandangan umum adalah Mr. Burhanuddin Harahap (Masyumi) yang diberi waktu selama 45 menit untuk berbicara, dengan mengatakan ketidakpuasan Masyumi terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam menyelesaikan gerombolan DI/TII. Burhanuddin Harahap juga menyatakan tidak menyetujui cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk penyelesaian keamanan yang didasarkan pada kekuatan senjata.114 Pendapat lain datang dari Mr. Muhammad Daljono dari Masyumi yang mengatakan “…Pemerintah Republik Indonesia harus dijadikan Negara Republik Islam Indonesia guna memulihkan keamaan di daerah Aceh dan juga di daerahdaerah yang lain yang kini masih terjadi pergolakan pemberontakan…”115 K. Wardojo (SOBSI) dalam pemandangan umumnya sangat menghargai keterangan pemerintah dengan disertai anjuran supaya terus bertindak tegas terhadap kaum pemberontakan yang sudah jelas merupakan bagian usaha gerombolan teror DI/TII Kartosuwirjo. Ia juga memberi keterangan kepada pemerintah agar jangan setengah-setengah dalam membasmi kaum pemberontak,
113
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953 114 “Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953 115 “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953.
57
ditakutkan di kemudian hari akan lebih banyak korban lagi.116 Menurut K. Wardojo, Daud Beureueh dan pengikut-pengikutnya segera diajukan ke pengadilan karena melanggar hukum, harus diadili dan diambil tindakan yang setimpal dengan perbuatannya. Perkara Daud Beureueh telah berjasa apa tidak, itu nanti bisa dikemukakan dalam waktu pengadilan.117 Setelah memberikan keterangan dan pemandangan umum tentang peristiwa pemberontakan tersebut, pada tanggal 2 November 1953 P.M. Ali Sastroamidjojo memberikan jawaban pemerintah atas pemandangan umum tersebut dengan dihadiri oleh 137 anggota, 17 Menteri dan perhatian yang antusias dari publik. Dalam pembukaan pidato P.M. Ali Sastroamidjojo menyatakan kekecewaan terhadap mereka yang mendukung Daud Beureueh yang jelas-jelas pemberontak dan telah merugikan negara dan bangsa. P.M. Ali Sastromidjojo juga menyudutkan kaum oposisi seperti Nur El Ibrahimy dan Amelz yang membelokkan perhatian khalayak ramai ke arah yang lain, sehingga usaha untuk membasmi kekuatan pemberontakan itu menjadi lemah.118 Jawaban dan serangan pemerintah lebih banyak ditujukan kepada Muhammad Nur El Ibrahimy dan Amelz, adapun jawaban keterangan yang diberikan Pemerintah atas pemandangan umum DPR adalah sebagai berikut: “Rakyat seluruhnya sudah merasa jemu dengan gangguan keamanan yang sangat menyulitkan penghidupannya setiap hari, maka pemerintah yang bertanggung jawab. Maka dari itu bagi pemerintah merupakan suatu pertanyaan mengapa anggota-anggota tersebut melihat dalam keterangan pemerintah suatu sikap yang tidak objektif, berat sebelah, meraba-raba, mendasarkan keterangan pada golongan tertentu, yang tidak jujur, dan seakan-akan pemerintah memberikan kesan untuk menimbulkan kebencian di kalangan rakyat terhadap PUSA. Pemerintah mengira, bahwa setiap orang yang mengenal masyarakat Aceh secara dekat, terutama kedua anggota tersebut (M. Nur El Ibrahimy dan Amelz) telah dapat memahami, bahwa keterangan pemerintah itu disusun sedemikian 116
“Tiap Tiap Pemberontak Harus di Basmi, Tindakan Setengah-Setengah Hanya Memperbanjak Korban”, Sin Po, 31 Oktober 1953. 117 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Jalan Pergolakan, h. 428. 118 “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49.
58
rupa, hingga pertanyaan-pertanyaan betapa pun pentingnya dilihat dari sudut lain justru sejak semula berminat untuk meredakan suasana yang sudah meruncing. Oleh karena itu pemerintah sependapat bahwa pribadi Daud Beureueh yang sekarang oleh khalayak ramai dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Mengenai tuduhan di kalangan pemerintah dan pegawai tinggi yang meminta nasihat mengeai soal Aceh kepada pihak Komisariat Agung Belanda, pemerintah menyatakan bahwa tuduhan itu tidak benar.”119
Lebih jauh lagi jawaban dari pemerintah mengatakan bahwa pentolanpentolan PUSA melakukan korupsi. Berikut jawaban pemerintah: “Barang siapa mengikuti perkembangan pemerintah dalam suasana revolusi 1945 dan 1948 di Tanah Air kita ini dapat memahami, bahwa kekuasaan pada waktu itu berada penuh di tangan orang-orang dari golongan yang menghendaki kursi-kursi paling penting dalam pemerintahan daerah dan tidak dapat disangkal lagi, bahwa di masa itu segala kedudukan tersebut ada di tangan orang-orang PUSA. Mengenai peranan PUSA dalam pemerintahan sipil, militer dan dalam lapangan perekonomian dan perniagaan, rakyat mengetahui benar bahwa semula mereka (anggota PUSA) orang yang tidak berada, tetapi sesudah berkuasa mereka mendadak menjadi kaya, sedangkan rakyat mengharapkan bahwa pihak penguasa hendaknya mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan perseorangan dari orangorang yang memerintah.” “Atjeh Trading Company (ATC) asalnya kepunyaan pemerintah, tetapi pada perkembangannya ialah bahwa kebanyakan orang-orang yang duduk dalam ATC mengadakan siasat untuk mengambil keuntungan-keuntungan bagi diri sendiri. Bukan rahasia lagi dikalangan rakyat, bahwa pemimpin-pemimpin PUSA yang duduk dalam pemerintahan mempunyai banyak saham di NV Permai dan Lho Nga Trading Company. Dalam catatan pemerintah Daud Beureueh pernah membeli auto Buick dengan perantaraan NV Permai dan kemudian mengganti harga auto Buick itu dari uang kas negara, dan juga ada bantuan kepadanya dari negeri asing sebanyak 15.000.000 Straits Dollar.”120
Dalam jawaban pemerintah terkait peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, Nur El Ibrahimy tidak bisa menjawab dengan jawaban yang memuaskan. Nur El Ibrahimy hanya menyatakan akan menyelidiki apa yang telah P.M. Ali Sastoamidjojo jelaskan. Pemerintah juga menyatakan bahwa bukti-bukti mengenai dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang PUSA telah berada di tangan pemerintah.121 Jawaban Pemerintah ditutup dengan menyerukan supaya semua orang yang berada di ruangan tersebut bersama-sama berusaha untuk selekas-lekasnya
119
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953. Lihat juga, Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 49. 120 “Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah, h. 51-52 121 Ali Sastroamidjojo, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang, h. 52.
59
mengakhiri tragedi nasional pemberontakan Daud Beureueh, demi kepentingan Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia.122 Tiga bulan setelah peristiwa pemberontakan Darul Islam Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan sidang yang membicarakan tentang rencana pembentukan dan pengiriman suatu komisi untuk menyelediki langsung peristiwa pemberontakan Aceh sekaligus mengumpulkan fakta di lapangan. Dalam sidang yang berlangsung pada tanggal 18 Desember 1953, DPR menyetujui dan memutuskan pengiriman komisi peninjauan Aceh yang terdiri dari 7 anggota, 123 di antaranya: 1. Sutardjo Kartohadikusumo (Ketua dan merangkap sebagai anggota) 2. Idham Khalid (anggota) 3. Ardiwinangun (anggota) 4. Muhammad Nuh (anggota) 5. S. Uratyo (anggota) 6. Sabilal Rasyad. (anggota) 7. Syamsuddin Sutan Makmur (anggota) Komisi yang telah ditugaskan oleh DPR memulai tugasnya dari tanggal 716 Januari 1954124 dengan mengunjungi Sumatera Timur, Kutaraja, Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Timur. Selama berada di Aceh komisi akan melakukan wawancara dengan pramong praja, pemimpin partai politik, organisasi, polisi dan
122
“Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak”, Sin Po, 3 November 1953. 123 A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Lihat juga M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah, h. 323. 124 Terdapat perbedaan tanggal masa penyelidikan yang di lakukan oleh Komisi DPR ke Aceh. Dalam buku Semangat Merdeka di katakan masa peninjauan selama 14 hari, sementara dalam buku Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradsi, masa peninjauan selama 10 hari. Ali Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun: Menempuh Pergolakan, h. 432. Bandingkan, M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 323.
60
tentara serta tawanan yang dipenjara di Tanjung Kasau dan Tebingtinggi.125 Salah seorang putera Aceh yang dipenjara di Tebingtinggi pada saat itu adalah Ali Hasjmy. Hasil dari peninjauan yang dilakukan oleh komisi DRP selama berada di Aceh berisikan tentang situasi keamanan, jalannya pemerintahan dan lain-lain di berbagai daerah di Aceh. Laporan tersebut disampaikan pada perlemen dalam sidang pleno yang berlangsung pada tanggal 10 Februari 1954. Berikut beberapa laporan yang menggambarkan situasi di Aceh selama peninjauan yang dilakukan oleh 7 anggota komisi DPR tersebut: “Kondisi di Kabupaten Aceh Timur, militaire bijstand (bantuan militer) sudah dicabut. Penduduk yang sebagian mula-mula mengungsi, seluruhnya telah kembali ketempat tinggalnya dan melakukan pekerjaan masing-masing seperti biasa, kecuali sebagian kecil yang masuk gerombolan pemberontak dan tidak lagi menampakkan dirinya. Hubungan lalu lintas sudah berjalan kembali. Kendaraan umum bis, mobil, dan kereta api sudah berjalan dari Medan ke Lhoksemawe. Keadaan Kabupaten Aceh Utara dan diseluruh Kabupaten Aceh Timur dengan tidak mendapatkan gangguan. Lowongan-lowongan dalam pamong praja yang terjadi lantaran pejabat-pejabat memihak pemberontak atau mengungsikan diri, sudah semuanya diisi, dari bupati, wedana, camat sampai kepala-kepala mukim, walaupun ada yang masih bersifat sementara. Jawatanjawatan selain dari pada jabatan Pamong Praja yang ada di Kabupaten Aceh Timur pun pada umumnya berjalan kembali. Sementara mengenai keadaan keamanan di Aceh Pidie dan Aceh Besar dimana militaire bijstand (bantuan militer) masih berlaku. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di kedua daerah kabupaten itu hanya di kota-kota saja terdapat keamanan. Tetapi di luar kota pada siang hari kadang-kadang terdapat juga gangguan keamanan. Walaupun demikian petanipetani sudah bercocok tanam seperti biasa. Sementara kendaraan (bus dan lain-lain) dan kereta api ada yang sudah berjalan kembali, walapun hanya trayek-trayek yang pendek. (Pada waktu Komisi Perlemen berada di Kutaraja dan Sigli jalannya kereta api tidak lebih dari 20 km dari Kutaraja dan 15 km dari Sigli). Seterusnya tentang pekerjaan jawatan-jawatan pemerintah dalam dua kabupaten tersebut pada umumnya pekerjaan-pekerjaan rutin jawatan-jawatan lain (misalnya jawatanjawatan Pertanian, Penerangan, Kesehatan, Sosial, Agama) masih intact (utuh), hanya saja belum dapat berjalan sebagai mestinya. Dan keadaan makanan rakyat di Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Pidie pada umumnya adalah mencukupi.126
125
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 324. Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, Vol III, (Jakarta: Kronik Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III), h. 57. 126
61
Hasil peninjauan yang dikemukakan oleh anggota komisi DPR yang meninjau langsung keadaan di Aceh, mendapat antusias dari wakil-wakil rakyat. Maka disarankan kepada pemerintah dalam upaya penyelesaian keamanan perlu ditempuh prinsip-prinsip yang tidak berat sebelah, seperti halnya dalam pengangkatan pamong praja, hendaklah dari kelompok yang netral. Namun saran-saran dari anggota komisi perlemen yang telah meninjau ke Aceh, sekali lagi memperlihatkan betapa susahnya melunakkan hati pemerintah dan tetap pada pendirian masing-masing tentang cara penyelesaian keamanan di Aceh, khususnya masalah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Tgk. M. Daud Beureueh. Pemerintah dalam hal ini P.M. Ali Sastroamidjojo menegaskan di dalam sidang perlemen bahwa setiap pemberontakan atau pengacau harus diberantas dengan senjata pula.127 Pada bulan September 1954 munculah sebuah surat terbuka dari Hasan Muhammad Tiro128 dari New York yang ditujukan kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Surat tersebut berisikan meminta agar kabinet Ali menghentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan rakyat Kalimantan. Hasan Tiro meminta agar P.M. Ali Sastroamidjojo membebaskan semua tahanan di Aceh, Sumatera 127
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 326. Hasan Tiro dilahirkan dari pasangan Tgk. Muhammad, seorang alim di desa Tanjong Bungong (Pidie) dengan Tgk. Fatimah binti Tgk. Mahyuddin bin Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman. Hasan Tiro lahir sekitar tahun 1925. Semenjak kecil Hasan Tiro diasuh oleh ibu dan pamannya Tgk. Umar Tiro (1904-1980). Hasan Tiro menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Sa‟adah Al-Abadiyah di Sigli dan melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Normal Islam, setalah menyelesaikan pendidikannya ia merantau ke Jogyakarta untuk melanjutnya studinya di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Pada tahun 1950, Hasan Tiro mendapatkan beasiswa Colombo Plan dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikannya ke Amerika Serikat. Selama berada di Amerika Serikat, Hasan Tiro bekerja pada staf bagian Penerangan Perwakilan tetap RI di PBB New York hingga September 1954. Di kemudian hari Hasan Tiro mendirikan gerakan pemberontakan dengan menamai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Pidie, Aceh Besar. Lihat, M. Isa Sulaiman, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, (Pustaka Al-Kausar: Jakarta, 2000), h. 12. 128
62
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Kalimantan dan Maluku. Juga meminta agar Kabinet P.M Ali Sastroamidjojo berunding dengan Tgk. M. Daud Beureueh, S.M. Kartosuwiryo, Abdul Kahar Muzakkar dan Ibnu Hajar.129 Jika sampai batas waktu tanggal 20 September 1954 pemerintah tidak menghentikan agresi itu dan tidak melakukan perundingan dengan pemimpin pemberontak, maka Hasan Tiro mengancam130 akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), Benua Amerika, Eropa, Asia dan seluruh negara-negara Islam.131 Ancaman Hasan Tiro tidak diterima oleh P.M. Ali Sastroamidjojo, melalui kedutaan Indonesia di Amerika Serikat, Hasan Tiro diberi kesempatan untuk pulang ke Indonesia sampai tanggal 22 September 1945. Jika Hasan Tiro berkeras kepala, maka paspornya akan dianggap tidak berlaku dan akan menyebabkan Hasan Tiro dapat diusir oleh imigrasi Amerika Serikat.132 Pada tanggal 27 September 1954 paspor diplomatik Hasan Tiro dicabut oleh P.M. Ali
129
Ali Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 458. Isi ancaman yang dikemukakan oleh Hasan Tiro kepada P.M Ali Sastromidjojo, ialah sebagai berikut, (a) Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk PBB, Benua Amerika, Eropa, Asia, dan seluruh negara-negara Islam, (b) Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang kekejaman, pembubuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Hukum Rights yang telah dilakukan oleh regime Komunist-Fasist tuan terhadap rakyat Aceh, (c) Kami akan menuntut rezim tuan dimuka PBB atas kejahatan genocide yang sedang tuan lakukan terhadap suku bangsa Aceh, (d) Kami akan membawa kehadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan oleh rezim Tuan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, Sulewesi Tengah dan Kalimantan, (e) Kami akan mengusahakan pengakuan dunia internasional terhadap Republik Islam Indonesia,yang sekarang de facto menguasai Aceh, sebagian Jawa Barat, dan Jawa Tengah, Sulewesi Selatan, dan Tengah, dan sebagian Kalimantan, (f) Kami akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi internasional terhadap rezim Tuan dan ekonomi dari PBB, Amerika Serikat, dan Colombo Plan, (7) Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materil buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapuskan rezim-teror Tuan dari Indonesia. Lihat, “Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia”, Peristiwa, 7 September 1954. 131 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 328. 132 “Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia”, Antara, 17 September 1954. 130
63
Sastroamidjojo melalui perwakilan imigrasi Amerika Serikat yang mengakibatkan penangkapan atas dirinya. Namun Hasan Tiro dibebaskan kembali setelah membayar denda sebesar US$ 500. Melalui New York Times Hasan Tiro menyampaikan sebuah laporan tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh rezim Ali Sastroamidjojo di Indonesia.133 Pemerintah Indonesia tidak mampu menghentikan Muhammad Hasan Tiro, atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat, dengan demikian Hasan Tiro sangat leluasa melanjutkan kampanye propagandanya di New York. E. Kebijakan Kabinet Dalam Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Dalam upaya penyelesaian keamanan di Aceh, pemerintah pusat sejak awal telah memperlihatkan sikap yang sangat tegas kepada pihak pemberontak. Pemerintah telah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah Militaire Bijstand (Daerah Berbantuan Perang), dengan begitu pemerintah mengirim sebanyak 4 batalyon tentara dan 13 batalyon mobrig dikirim ke Aceh guna menyelesaikan keamanan. Di samping itu untuk mempertahankan operasi-operasi militer, pemerintah juga mengirimkan Angkatan Udara Republik Indonesai (AURI) untuk melancarkan serangan melalui udara. Selain upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah guna mengembalikan keamanan di Aceh, pemerintah juga menggunakan cara lain seperti penangkapan terhadap beberapa orang yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan Daud Beureueh, di antaranya penangkapan terhadap saudara Ali Hasjmy, Syeh Marhaban, dan Nyak Neh Rica.134 Sejalan dengan itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Bambang Sugeng menyatakan dengan tegas terkait langkah 133 134
69.
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 302. Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
64
pemulihan keamanan Aceh harus diambil tindakan secara militer dalam merebut kembali daerah yang dikuasai oleh pihak pemberontak.135 Berlainan dengan Panglima Tentara dan Teritorium I (TT-I) Kolonel Simbolon yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak mungkin menyelesaikan masalah Aceh dengan hanya kekerasan senjata dan menyarankan kepada atasannya jangan melakukan tindakan Staat van Oorlog en Beleg (Keadaan Darurat Perang).136 Gubernur Sumatera Utara S.M. Amin memberi keterangan terkait penyelesaian keamanan di Aceh. Menurut Amin dalam harian Sin Po, Ia menjelaskan secara tegas bahwa “…Untuk mengakhiri pemberontakan PUSA, harus diminta Militaire Bijstand (bantuan militer). Dan apakah untuk seluruh Aceh perlu diumumkan SOB, tergantung daripada kebutuhannya…”137 Meskipun demikian, Gubernur Amin tidak berpendapat bahwa hanya secara militer keadaan di Aceh dapat diatasi. Dalam keterangannya lebih lanjut Gubernur Amin menjelaskan “…Inisiatif dari organisasi, partai, atau perseorangan yang dengan tulus mau menggunakan pengaruhnya guna pemulihan keadaan normal di aceh, akan disambut dengan terbuka…”138 Kebijaksanaan lain yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya penyelesaian kasus Darul Islam Aceh dengan pemberian bantuan 2.000.000 rupiah untuk rencana pembangunan di antaranya pembangunan jalan, irigasi, listrik dan
135
“KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer”, Sin Po, 2 Oktober 1953. 136 “Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata Sadja Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB”, Bintang Timur, 17 November 1953. 137 “Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953. 138 “Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan PUSA”, Sin Po, 10 Oktober 1953.
65
pendidikan. Rencana ini akan dilakukan oleh Wakil P.M. Wongsonegoro dalam waktu enam bulan setelah pemulihan keamanan.139 Di sisi lain kebijaksanaan yang diterapkan oleh P.M. Ali Sastroamidjojo dalam operasi pemulihan keamanan di Aceh dikritik oleh sebagian anggota parlemen di antaranya Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Kekejaman yang diinstruksikan P.M. Ali Sastroamidjojo dan perlakuan semena-mena yang dilakukan oleh unit-unit militer menjadi bahan kritikan mereka. Beberapa surat kabar terbitan Medan dan Jakarta juga mengkritik sejumlah kebijaksanaan pemerintah.140 Kebijaksanaan
yang ditempuh kabinet Ali Sastroamidjojo dengan
pengiriman tentara atau mobrig secara besar-besaran ke Aceh dapat diselesaikan dengan cepat pada akhir tahun 1953 atau paling lambat pada Maret 1954, akan tetapi keyakinan P.M Ali Sastroamidjojo terkait pemulihan keamanan di Aceh meleset sampai jatuhnya kabinet Ali Sastromidjojo pada tahun 1955 upaya pemulihan keamanan di Aceh belum dapat dipulihkan. Jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo yang digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi memberi warna tersendiri terhadap politik pada tingkat nasional. Proses yang ditempuh kabinet Burhanuddin Harahap terhadap upaya penyelesain keamanan di Aceh lebih lunak dibandingkan dengan kabinet Ali Sastroamidjojo. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh kabinet Burhanuddin Harahap seperti, melakukan kontak dengan pihak Darul Islam Aceh pada tahun 1955. Upaya penyelesaian keamanan seperti ini mendapat dukung dari
139
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
140
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h.
71. 71.
66
Muhammad Hatta dan Z.A Lubis untuk melakukan perundingan kepada pihak pemberontak dalam upaya penyelesaian konflik Darul Islam. Burhanuddin Harahap juga menyesalkan tindakan pemulihan keamanan yang diterapkan pada masa kabinet yang lalu dengan menggunakan kekerasan dan tidak mngindahkan fikiran-fikiran dari pemimpin-pemimpin suku Aceh sendiri, hal inilah yang menurut Burhanuddin penyelesaian keamanan susah ditempuh. Maka dalam hal ini kabinet Burhanuddin berpendapat, dalam menghadapi pemberontakan di Aceh, sudah tiba waktunya untuk mengambil langkah damai, dan harus benar-benar dilakukan dari hati, dengan tidak mempunyai maksud yang lain.141 Dalam
proses
upaya
penyelesaian
kemananan
di
Aceh.
Kabinet
Burhanuddin mengirim dua utusan atau kurir yang bernama Hasballah Daud142 (anaknya Tgk. M. Daud Beureueh) dan Abdullah Arif pada tanggal 5 Juli 1955 untuk mengadakan pertemuan guna membicarakan kemungkinan untuk diadakan sebuah perundingan. Di samping itu pihak Darul Islam Aceh menghargai niat dan usaha yang dilakukan pemerintah dalam pengembalian keamanan di Aceh. Pembicaraan kedua belah pihak memberikan harapan, pada akhir bulan September P.M. Burhanuddin Harahap secara resmi memberitahukan Gubernur S.M. Amin tentang maksud pemerintah untuk berunding dengan Daud Beureueh. Gubernur S.M Amin memulai kembali komunikasi dengan pemimpin-pemimpin
141
A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 185. Keberangkatan Hasballah Daud pergi menjumpai orang tuanya untuk menyampaikan konsepsi dari Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyerukan agar pihak Darul Islam Aceh mengakhiri pemberontakan dan pemerintah akan berjanji untuk memberikan ampunan umum (amnesty). Lihat A.H. Gelanggang, Rahasia Pemberontakan Aceh, h. 175. 142
67
Darul Islam dengan menyurati pemimpin-pemimpin Darul Islam guna membicarakan prosedur pemulihan keamanan.143 Surat yang dikirim oleh S.M. Amin mendapat tanggapan dari pihak pemimpin Darul Islam. Pada tanggal 14 November 1955 dalam surat yang di tanda tangani oleh Hasan Ali, pihak Darul Islam Aceh menyatakan 3 butir sikap dan 3 butir tuntutan. Pihak pemberontak sependapat mengakhiri pemberontakan melalui perundingan dengan ketentuan diadakan genjatan senjata terlebih dahulu. Mengenai tempat pertemuan mereka usulkan Montasiek di Aceh Besar atau Keumala Pidie.144 Pihak pemberontak menginginkan perundingan secara terbuka atau resmi dan pihak Darul Islam menginginkan daerah Aceh menjadi bagian dari negara Islam.145 Perdana Menteri menolak tuntutan perundingan yang dimintakan oleh Darul Islam, sebab salah satu poin tuntutan Darul Islam sangat berat dikabulkan. Di sisi lain Perdana Menteri sangat berkepentingan terhadap Aceh. Karena daerah Aceh merupakan daerah pemilihan paling banyak pendukung Masyumi. 146 Penolakan terhadap syarat perundingan antara kabinet Burhanuddin Harahap dengan pihak Darul Islam Aceh menyebabkan kekecewaan, sehingga suasana pemberontakan semakin meningkat, dan serangan terhadap tentara dan mobrig gencar dilakukan oleh pihak pemberontakan. Masa kabinet Burhanuddin yang cukup singkat menyebabkan agenda kabinet lebih banyak tersita dalam hal pemilihan umum, demikian juga berakhirnya masa Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin pada 28 Februari dan 143
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 351. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 352. 145 Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 144
75. 146
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan, h. 77.
68
digantikan oleh Komala Pontas, persoalan pemulihan keamanan di Aceh masih tetap menjadi problem yang susah untuk diselesaikan.147
147
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 352.
BAB III BIOGRAFI ALI HASJMY SELAYANG PANDANG A. Riwayat Hidup Ali Hasjmy Nama aslinya adalah Muhammad Ali bin Hasyim 148, namun lebih dikenal dengan Ali Hasjmy. Ia dilahirkan pada 28 Maret 1914, di Desa Lampaseh Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Ali Hasjmy lahir dari pasangan Teungku Hasjim (1880-1984)149 dan Njak Buleuen. Namun sebelum kelahiran Ali Hasjmy, pasangan suami istri (Teungku Hasjim-Nyak Buleuen) sudah mempunyai seorang anak perempuan, namun meninggal dunia ketika masih bayi.150 Pada usia 4 tahun, Nyak Buleuen meninggal dunia ketika melahirkan adiknya. Setelah ibundanya meninggal dunia, Ali Hasjmy dibesarkan oleh neneknya yang bernama Nyak Puteh sebagai pengganti ibunya. Ayahnya, Teungku Hasyim merupakan seorang pedagang, ia juga aktif sebagai ulama dan da‟i di kampungnya Montasiek, Aceh Besar. Ketika berakhirnya perang Aceh dengan kolonial Belanda, Teungku Hasyim diangkat menjadi pimpinan Badan Baitul Mal oleh Teungku Panglima Polem di Seulimeum. Lima tahun selepas ibunda Ali Hasjmy meninggal dunia, Teungku Hasyim menikah lagi dengan Syarifah. Pernikahan Teungku Hasyim dengan Syarifah melahirkan tujuh orang anak.151 Sebagai anak seorang ulama, pedagang dan pejuang dalam melawan penjajahan Belanda, semua mereka berpendidikan 148
H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, (Jakarta: Penerbit Socialia, 1978), h.
3. 149
Teungku Hasjim mempunyai 2 orang Istri. Istri pertama mempunyai 3 orang anak di antaranya Zuriah, Ali Hasjmy, Inong Agam. Sementara Istri kedua mempunyai 7 orang anak. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4. 150 H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3. 151 Dari hasil pernikahannya dengan Syarifah, Teungku Hasyim dikarunia 7 orang putraputeri, di antaranya: Ainal Mardhiah, Rohana, Syahbuddin, Asnawi, Fachri, Nurwani, dan Fachmy. Dengan demikian, A. Hasjmy mempunyai tujuh saudara seayah (lain ibu). Lihat, A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 4.
69
70
yang cukup. Ainal Mardhiah dan Ruhana berpendidikan Sekolah Menengah Islam; Syahbuddin berpendidikan Sekolah Menengah Ekonomi Atas; Asnawi dan Fachmy menempuh pendidikan hingga memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H); Fachri menempuh pendidikan sampai Sarjana Teknik (S.T) dan Nurwani berpendidikan Sekolah Rakyat Islam (SRI).152 Hal ini tidak terlepas dari kuatnya tanggung jawab Teungku Hasyim terhadap pendidikan anak-anaknya. Selepas Ali Hasjmy menamatkan pendidikan di Padang, ia kembali ke Aceh untuk mengajar di Perguruan Islam Seulimeum. Dalam kesibukannya mengajar, pada 21 hari bulan Rajab 1360 H, bertepatan dengan tarikh 14 Ogos 1940, Ali Hasjmy melangsungkan pernikahan dengan Zuriah Aziz, seorang perempuan yang masih mempunyai pertalian keluarga.153 Pernikahan dari pasangan Ali Hasjmy dan Zuriah melahirkan tujuh orang anak yaitu:154 1. Mahdi A. Hasjmy, lahir 15 Desember 1942, ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Depatement of Commerce Hitotsubasi University Tokyo. 2. Surya A. Hasjmy, lahir 11 Februari 1945, ia memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 3. Dharma A. Hasjmy lahir 9 Juni 1947, ia memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada.
152
H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 3-4. Zuriah Hasjmy,“Suka Dukanya Bersuami Seorang Pejuang”, dalam Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 11. 154 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 6-7. Lihat juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 4. 153
71
4. Gunawan A. Hasjmy lahir 5 September 1949, ia meninggal dunia ketika masih bayi (12 September 1949). Meninggal dunia karena sakit infeksi tali pusat. 5. Mulya A. Hasjmy lahir 23 Mach 1951, ia memperoleh gelar Dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. 6. Dahlia A. Hasjmy lahir 14 Mei 1953. Pernah belajar (tidak tamat) pada Jabatan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala. 7. Kamal A. Hasjmy lahir 21 Jun 1955, ia memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya. Ali Hasjmy dan Zuriah Aziz termasuk orang tua yang telah berhasil dalam mendidik anak-anaknya melalui jalur pendidikan sekolah formal hingga ke tinggat perguruan tinggi dalam bidang yang berbeda-beda sesuai minat mereka masingmasing.155 Namun tak ada satu pun di antara anak-anaknya yang mengikuti jejak A. Hasjmy dalam bidang sosial keagamaan dan terlibat langsung dalam kehidupan politik. B. Riwayat Intelektual Ali Hasjmy Ali Hasjmy tumbuh dalam lingkungan religius yang sangat baik. Pendidikan pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah dari neneknya Njak Puteh (w. 1953 di Medan) pengganti ibunya. Selain neneknya Nyak Puteh, Ali Hasjmy juga dibesarkan dan mendapat didikan dari ayahnya Teungku Hasyim dan kakeknya Pang Abbas. Merekalah yang mewarnai sisi kehidupan serta membuka cakrawala pemikirannya.
155
Hasan Basri, Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat UlamaUmara,” dalam Ensklopedi Pemikiran Ulama Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 467468.
72
Di bawah bimbingan neneknya Njak Puteh, A. Hasjmy belajar membaca huruf Arab, dengan perantaraan buku pelajaran pertama yang terkenal di Aceh pada masa itu “Qur‟an Cut” atau Juz ‘Amma. Mengenai Njak Puteh, Ali Hasjmy berkomentar bahwa “…Beliau yang menjadi guru saya pertama, beliau pertama sekali mengajarkan Surah Al- Alaq, dengan mengajarkan kami menghafalkannya dan diberi arti dan tafsirnya. Surah Al Alaq ini, kemudian sangat mempengaruhi kehidupan ilmiyah saya…”156 Selain itu Njak Puteh juga mengajarinya pelajaran dasar agama Islam, berupa rukun Iman, rukun Islam, doa, tata cara shalat lima waktu dan sejarah Islam, seperti sejarah hidup Nabi Muhummad dan sejarah para sahabat. Sejarah-sejarah ini diajarkan dalam bentuk hikayat secara puitis, seperti Hikayat Muhammad Aneuk Abdullah, Hikayat Sahabat Peuet, Hikayat HasanHusen, dan Hikayat Prang Bada.157 Di samping mengajarkan pelajaran agama, neneknya juga menceritakan sejarah peristiwa peperangan dalam melawan kolonial Belanda di Aceh. Dari neneknya ini, Ali Hasjmy banyak menyerap informasi tentang sejarah perang kolonial di Aceh. Dari cerita yang diserap sejak kecil ini kemudian mempengaruhi kepribadiannya dan pemikirannya di kemudian hari. Pendidikan formal pertama yang diterima oleh Ali Hasjmy adalah Sekolah Rakyat (Volkschool) di Lampaseh pada tahun 1921. Di sekolah tersebut menurut keterangan Ali Hasjmy, tenaga pengajar kebanyakan bukan dari Aceh, akan tetapi mereka berasal dari Mandailing (Tapanuli Selatan) dan dari Minangkabau.158
156
Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, (Perpustakaan dan Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, pada tanggal 15 Januari 1991), h. 2. 157 Hikayat-hikayat ini berkembang secara lisan dan turun temurun di kalangan masyarakat Aceh masa lalu. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 33. 158 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 37.
73
Kemudian, Ali Hasjmy melanjutkan ke sekolah Gouvernement Inlandsche School (Sekolah Rendah Tinggi) di Montasik. Setelah tamat dari Gouvernement Inlandsche School, Ali Hasjmy melanjutkan belajar di Dayah159 Montasiek, kemudian pindah ke Dayah Keunaloe di Seulimeum. Pimpinan Dayah tersebut seorang ulama muda yang berwawasan luas, namanya Teuku Abdul Wahab.160 Pada tahun 1931 Ali Hasjmy melanjutkan sekolah ke Madrasah Thawalib tingkat Tsanawiyah di Padang Panjang (Sekolah Menengah Islam Pertama). Madrasah ini mempunyai dua tingkat pendidikan, pertama tingkat Ibtidaiyah (Tingkat Dasar) dan tingkat Sanawiyah (Tingkat Menengah/Lanjutan) pelajar yang diterima adalah lulusan Ibtidayah atau dari dayah. Di Madrasah Thawalib Padang Panjang Ali Hasjmy menyelesaikan belajarnya tahun 1935.161 Setelah menyelesaikan pendidikan tahap Tsanawiyah di Sumatera Barat, Ali Hasjmy kembali ke Aceh dan diangkat menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeum. Di bawah bimbingan Teungku Abdul Wahab Seulimeum,162 Ali Hasjmy bersama rekannya Muhammad Ali Ibrahim yang telah pulang lebih dulu selapas belajar dari Sumatera Barat, menyempurnakan sistem pendidikan Islam di perguruan tersebut.163 Perguruan ini juga diisi oleh beberapa tokoh lainnya yang kemudian memiliki peran besar dalam revolusi sosial berikutnya di Aceh. Selain 159
Dayah adalah pendidikan tradisional Islam yang berada di Aceh A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 41. 161 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 48. Lihat juga, H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7. 162 Teungku Abdul Wahab Seulimeum seorang ulama Aceh yang terkenal yang berasal dari Seulimeum Aceh Besar. Ia lahir pada tahun 1898. Pendidikan pertamanya di sekolah Belanda Governement Inlandscheschool di Seulimeum. Selain sebagai tokoh ulama, Teungku Abdul Wahab Seulimeum juga merupakan tokoh pendidik. Melalui cita citanya, Teungku Abdul Wahab Seulimeum berhasil mendirikan sebuah dayah yang diberi nama “Madrasah Najdiyah”, di kemudian hari berubah namanya menjadi Perguruan Islam Seulimeum. Teungku Abdul Wahab Seulimeum juga dikenal sebagai pengusaha, pengacara dan juga sebagai pemimpin. Lebih jelas lihat, A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 91-95. 163 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53. 160
74
Ali Hasjmy dan Muhammad Ali Ibrahim, perguruan Seulimeum mempunyai dua tokoh progresif sebagai tenaga pengajar, yaitu Said Abu Bakar (tamatan Madrasah Thawalib, Padang Panjang, dan Al Jami‟ah Al Islamiyah, Padang), dan Ahmad Abdullah (tamatan sekolah Normal Islam, Padang).164 Perguruan Islam Seulimeum yang dibina oleh Ali Hasjmy bersama temantemannya mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sistem pendidikannya seperti kurikulum pembelajaran hampir sama dengan Madrasah Thawalib Padang Panjang dan Perguruan Muslim Bukittinggi. Dengan usaha yang sungguhsungguh, Perguruan Islam Seulimeum menjelma menjadi salah satu perguruan agama yang berbobot dan terkenal di tanah Aceh, yang pelajarnya datang dari seluruh Aceh.165 Ketika Perguran Islam Seulimeum berjalan baik dengan kurikulum baru, Pada tahun 1938 A. Hasjmy bersama Said Abu Bakar berangkat ke Padang untuk melanjutkan pendidikan pada Al-Jami‟ah al-Islamiyyah jurusan Adab al-Lughah wa Tarikh al-Islamiyyah (Perguruan Tinggi Islam jurusan Sastra dan Kebudayaan Islam) yang dipimpin oleh Uztadz Mahmud Yunus, Alumnus al-Ulum Kairo. AlJami‟ah al-Islamiyyah ini setingkat “Akademi” yang masa belajarnya selama empat tahun.166 Tahun pertama Ali Hasjmy belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, merupakan tahun percobaan yang berat baginya. Kesulitan ekonomi melanda dirinya. Dalam otobiografinya itu, Ali Hasjmy menceritakan bagaimana ia keluar dari kesulitan tersebut dengan menulis dua karangan, pertama karangannya yang berjudul Dewan Sajak dan Melalui Jalan Raya Dunia, setelah itu Ali Hasjmy menulis juga 164
A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid, h. 93. A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53. 166 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 53. 165
75
novel yang berjudul Suara Azan dan Lonceng Gereja167 yang diterbitkan oleh N.V. Syarikat Tapanuli tahun 1940. Dari sejak itu ia lebih rajin menulis walaupun dalam catatan sejarah hidupnya Ali Hasjmy mulai menulis sejak tahun 1935 ketika menjadi guru di Seulimeum. Dalam mengarang Ali Hasjmy sering menggunakan
nama
samaran168
karena
beberapa
tulisannya
dianggap
membahayakan bagi pihak kolonial Belanda. Pendidikan yang ditempuh di Al-Jamiah Al-Islamiyah tidak selesai sampai empat tahun, kerana situasi ketika itu kekuasaan Belanda telah jatuh ke tangan tangan Nazi Jerman. Dalam suasana demikian Ali Hasjmy dan sejumlah pelajar Aceh lainnya kembali ke Aceh dengan niat semangat perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Pada saat yang bersamaan di Aceh telah didirikan sebuah organisasi agama non politik yang dinamakan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).169 Organisasi ini kemudian memobilisasi rakyat untuk berjuang berebut kemerdekaan. Selepas dari belajar di Al-Jamiah Al-Islamiyah dalam waktu yang singkat, Ali Hasjmy kembali mengajar pada Perguruan Islam Seulimeum, kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah pada tahun 1939-1942.170 Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1950-an, Ali Hasjmy pernah mengikuti kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan
167
Dalam menyelesaikan Novel Suara Azan dan Lonceng Gereja, Ali Hasjmy membutuhkan waktu selama 4 bulan. Setiap minggu Ali Hasjmy hadir di gereja dan bergaul selama berbulan-bulan di gereja Katolik Padang untuk menemukan ide. Setelah menyelesaikan novel tersebut Ali Hasjmy tidak pernah datang lagi kegereja. Novel ini mengisahkan percintaan seorang gadis Katolik dengan pemuda Islam. 168 Dalam tahun 30-an dan 40-an Ali Hasjmy sering menggunakan nama samaran sebagai penulis puisi dan cerita pendek (cerpen), dia antara nama samarannya yaitu, Al Hariry, Aria Hadiningsun dan Asmara Hakiki. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 237. Lihat juga “Peringatan 70 Tahun Prof. A. Hasjmy: Belajarlah Sekali Pun di Sekolah Kafir,” Harian Umum, 30 Maret 1984. 169 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 81. 170 H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 11.
76
tahun 1951-1953.171 Tampaknya di universitas itu, Ali Hasjmy tidak sempat menyelesaikan studinya karena terjadinya pergolakan di Aceh. Pada tahun 1968, Ali Hasjmy menduduki jabatan Dekan pada Fakultas Dakwah/Publistik IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Selama Ali Hasjmy menjadi Dekan Fakultas Dakwah/Publistik, ia telah berhasil mencetak sarjana-sarjana yang militant.172 Puncak karir intelektual Ali Hasjmy ditandai ketika Ali Hasjmy di kukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas IAIN Ar-Raniry pada tanggal 20 Mei 1976.173 Keputusan tersebut diperkuat dengan hasil keputusan rapat Senat dengan ketetapan tanggal 7 April 1975 No. 390/AR/B-11/3/7 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama tanggal 11 Maret 1976 No. B-l 1/3/7-d/1386, telah menetapkan mengangkat Bapak H. Aly Hasjmy sebagai Guru Besar Luar Biasa (Professor) dalam Ilmu Dakwah pada Fakultas Dakwah.174 Dalam perjalanan karirnya, Ilmu Dakwah tidak hanya ia tekuni sebagai ilmu secara teoritis tetapi diaplikasikan dalam kehidupan keseharian dan semangat dakwah pun telah menyatu dalam dirinya. C. Karya –Karya Tulis dan Penghargaan A. Hasjmy 1. Karya-Karya Tulis Ali Hasjmy Ali Hasjmy merupakan tokoh ulama intelektual yang sangat produktif dalam menulis dan berkaya. Karya-karyanya meliputi banyak kajian atau bidang ilmu, di antaranya sejarah, kebudayaan, agama, politik, pendidikan, akhlak,
171
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998, h. 24. Lihat juga, “Tasyakkuran 70 Tahun Ulama dan Sastrawan A. Hasjmy,” Berita Buana, 30 Maret 1984. Lihat juga, Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 411. 172 H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 93 173 “A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976. Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 94. 174 “A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah”, Harian Duta, 16 April 1976. Lihat juga A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy , h. 95.
77
dakwah, dan sastra. Ali Hasjmy selain menulis buku-buku yang bersifat ilmiah, juga mengarang buku-buku ringan seperti novel dan roman. Dalam catatan sejarah hidupnya, ia mulai menulis sejak tahun 1935 ketika ia menjadi guru di Seulimeum, karya tulisnya yang pertama adalah kumpulan syair, dengan judul Kisah Seorang Pengembara. Menurutnya dalam harian Kompas, “…Menulis bagi saya, adalah dakwah dan jihat…”175 Ketika memasuki usia senja naluri menulisnya terus hidup, bahkan ketika terbaring di rumah sakit tahun 1992, ia tetap menulis seperti yang dikisahkan Robby Tandiari, dokter yang merawat Ali Hasjmy, selama dalam ruang perawatan dia tetap menulis kadang-kadang sampai larut malam. Hasil tulisanya adalah sajak-sajak yang kemudian diberi judul Malam-Malam Sepi di RS MMC.176 Dari karya tulis yang dihasilkan oleh Ali Hasjmy hampir semuanya sarat dengan dakwah dan semangat perjuangan. Karya-karyanya banyak termuat dalam bentuk buku, lembar kerja, roman dan lain sebagainya. Dalam kesempatan yang terbatas, penulis tidak mungkin untuk meninjau semua isi dari tulisan Ali Hasjmy, untuk itu penulis membatasi hanya beberapa karya-karyanya. Berikut buku-buku yang sudah diterbitkan:
Suara Azan dan Lonceng Gereja, adalah sebuah roman yang diterbitkan oleh Syarikat Tapanuli, Medan 1940. Buku ini kemudian dicetak ulang oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta tahun 1978, dan Pustaka Nasional Singapura, 1982. Roman Suara Azan dan Lonceng Gereja merupakan roman “propaganda”, yaitu propaganda agama Islam. Dalam roman ini
175
“Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat”, Kompas 20 Mei 1984, h. 1. RS MMC singkatan dari Rumah Sakit Metropolitan. Lebih lanjut, lihat Robby Tandiari, “Malam-malam Sepi di Rumah Sakit MMC,” dalam, Badruzzaman Ismail, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 143. 176
78
disajikan suatu kontroversi antara dua agama, akan tetapi roman ini dipastikan tidak mengandung unsur sara. Makna atau pesan yang muncul justru terwujud dalam suatu anjuran agar siapa pun yang menganut dan mempercayai suatu agama tertentu harus benar-benar meyakini dan mendalami agamanya.
Dimana Letaknya Negara Islam, diterbitkan oleh Pustaka Nasional, Singapura 1970, dan Bina Ilmu, Surabaya 1984. Buku ini merupakan karya Ali Hasjmy mengenai politik Islam. ditulisnya buku ini dikarenakan beberapa sebab di antaranya, pasca kemerdekaan sebagian kelompok ingin menjadikan negara Indonesia sacara utuh menjadi negara agama Islam. Hal ini mendorong Ali Hasjmy menulis buku ini. Isi utama dalam buku ini membicarakan tentang dasar-dasar negara Islam, syarat-syarat pemimpin, khilafah, kewajiban dan hak khalifah dan umat, sistem pembaiatan dalam Islam, dan kesetaraan hak kepemimpinan pria dan perempuan. Unsur-unsur tata negara menurut Ali Hasjmy diharapkan dapat menjadi bahan bagi penyempurnakan “Hukum Tata Negara” Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.177
Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini memuat semangat untuk melawan penjajahan yang terjadi di tanah Aceh, selain itu buku ini juga membicarakan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Quran tentang semangat jihad. Bagian terpenting dalam buku ini
177
Dalam pandangannya terhadap politik Islam A. Hasjmy sepertinya bersikap netral. Pada sisi lain, keinginan Ali Hasjmy jelas bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya menerapkan sistem politik Islami dalam negara Pancasila tanpa harus merubah dasar dan bentuk negara.
79
adalah Hikayat Prang Sabi yang menjadi motivasi berperang melawan kafir kolonialis Belanda.
Dustur Dakwah Menurut Al-Qur’an, diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1974 dan 1994. Buku ini dicetak sebanyak 3 kali. Buku ini mengulas mengenai teori dakwah dalam Islam. Ali Hasjmy mengindentifikasikan etika dakwah dengan menyebutnya sebagai norma-norma dakwah dan akhlak dakwah dengan alasan bahwa rambu-rambu yang harus dimiliki oleh para juru dakwah merupakan etika yang menjadi prinsip dasar dalam merealisasikan tujuan dan esensi dakwah Islamiah.
Iskandar Muda Meukuta Alam, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1975. Buku ini berisikan tentang asal usul Iskandar Muda, silsilah rajaraja, sistem pemerintahan masa Iskandar Muda, undang-undang yang berlaku pada masa itu, dan kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Buku ini penting karena memuat landasan Kerajaan Aceh Darussalam seperti rumoh aceh, masjid Jami’ Baiturrahman, yang lama dan baru gunongan dan pinto khob.
Sejarah Kebudayaan Islam, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1975 dan 1993. Buku ini berisikan sejarah tamaddun (peradaban) Islam masa lalu, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun seni budaya. Buku ini memuat kajiannya dimulai dari kebudayaan dunia sebelum Islam sampai kepada revolusi Islam dan kemajuan peradabannya. Secara historis, kemajuan Islam tidak terlepas dari kecintaan umat Islam kepada ilmu pengetahuan. Maka, tidak heran umat Islam pernah menggenggam peradaban ilmu pengetahuan dunia selama beberapa abad.
80
59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1977. Buku ini menjelaskan secara umum mengenai kepemimpinan empat orang ratu secara berturut-turut di Kesultanan Aceh Darussalam diantaranya, Ratu Safiatuddin (1641-1675 M), Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678 M), Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Ratu Kamalat Syah (1688-1699 M). Hal penting dari buku ini dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan sejarah politik Islam, Aceh sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan, ini terlihat dari kepemimpinan perempuan di Aceh masa kerajaan dulu.
Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, di terbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1978. Dalam buku ini termuat kutipan dan tanggapan para pakar sejarah tentang rupa revolusi yang bergejolak di Tanah Aceh, seperti revolusi wanita, revolusi terhadap negara Sumatera, revolusi dunia pendidikan, revolusi kaum ulama, revolusi pemuda terhadap sisa kekuasaan Jepang, dan revolusi bawah tanah terhadap kekuasaan Hindia Belanda menjelang kedatangan Jepang.
Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta 1985. Buku Semangat Merdeka buku yang paling tebal yang pernah ditulis oleh A. Hasjmy sendiri setebal 772 halaman. Buku ini merupakan catatan atau rekaman mengenai kejadian penting yang dialami penulis, baik yang terlibat langsung dalam kejadian tersebut, maupun tidak langsung. Buku ini menghimpun fakta-fakta sejarah, yang secara sosio-historis dan politisi, telah ikut mempengaruhi kahidupan dan kepribadian Ali Hasjmy secara
81
total. Kisah perang melawan penjajahan sejak dari awal sampai Indonesia merdeka, bahkan masa-masa sesudahnya. Buku ini banyak menceritakan tentang kehidupan dan peranan diri penulis dalam berbagai pengalaman, dan kisah perjuangannya, maka buku ini dapat disebut sebagai karya autobiografi yang komprehensif. Selain pelbagai buku tersebut banyak pula kertas kerja Ali Hasjmy dan beberapa kertas kerja orang lain yang kemudian diedit dan dikemas menjadi buku atau masih dalam bentuk dokumen, bahkan ada pula buku sebagai hasil karya bersama, di antaranya seperti berikut:
Apa sebab Belanda sewaktu agresi pertama dan kedua tidak dapat memasuki Atjeh. Dlm. T. Alibasjah Talsya, Modal revolusi 45, Daerah Istimewa Aceh: Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Musjawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Aceh, 1960.
Hasjmy, Konsepsi Ideal Darussalam Dalam 10 Tahun Darussalam dan hari pendidikan propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Yayasan Pembina Darussalam, 1969.
A. Hasjmy, Peranan Departemen Agama dalam pembinaan manusia pancasila. Dlm. Panitia Hari Jadi ke X Jami‟ah ar-Raniry, 10 Tahun IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh: t.pt, 1973.
A. Hasjmy, Nafas Islam dalam Kesusasteraan Aceh, dalam Panitia Penyelenggara
Musabaqah
Tilawatil
Qur‟an
Tingkat
Nasional
(PPMTQTN) ke-12, Dari Sini Ia Bersemi, Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981.
82
A. Hasjmy, Perdjuangan rakjat Atjeh dari zaman ke zaman. Dlm. Panitia Penjambutan Pym. Presiden R.I dan Peresmian Universitas Sjiah Kuala Seksi Penerangan, Bung Karno dan Rakjat Atjeh, Univesitas Sjiah Kuala: Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri Sjiah Kuala, 1961.
A. Hasjmy, IAIN Jami‟ah Ar-Raniry wujud sebuah cita-cita umat. Dlm. Ramly Maha et al., 15 tahun IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Banda Aceh: Panitia Hari Jadi ke XV IAIN Jami‟ah Ar- Raniry, 1978.
A. Hasjmy, Kapankah kalanya, O Maha Kuasa, dalam Widjaja, 17 Ogos 1948 yang disadurkan kembali oleh Badruzzaman Ismail at al., Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia A. Hasjmy Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
A. Hasjmy, Dengan Trikarya-utama menudju masjarakat sosialis Indonesia. Dlm. T. Alibasjah Talsya (pnyt.), Banda Atjeh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1963.
A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan. Dlm. Ismail Suny at al., Bunga rampai tentang Aceh, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980.
A.
Hasjmy,
Pidato
Pembukaan
Rapat-khusus/Ramah-tamah
oleh
Gubernur/ Kepala Daerah Propinsi Atjeh. Dokumen Hasil Perkundjungan Misi Pemerintah Pusat dbp. Wk. P.m. I mr. Hardi, Kutaradja: t.pt., tgl. 25 dan 26 Mei 1959.
A. Hasjmy, Pengaruh Surah Al-Alaq Aalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, Dokumen Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy pada 15 Januari 1991.
83
A. Hasjmy et al., 50 Tahun Aceh membangun, Banda Aceh: MUI Aceh, 1995.
A. Hasjmy et al. Ilmu Dakwah, Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry, 1985. Inilah sebagian karya penting A. Hasjmy yang memuat berbagai pesan dan
kesan perjuangan, motivasi, semangat keilmuan politik dan kebudayaan. Pelbagai karyanya yang lain seperti khutbah, surat, dan dokumen yang belum diterbitkan masih tersimpan di Perpustakaan dan Museum Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy Banda Aceh. 2. Penghargaan Yang Diterima Ali Hasjmy Besarnya peranan Ali Hasjmy dalam pembangunan daerah Aceh dan jasanya terhadap Indonesia, tentu banyak lembaga yang memberi penghargaan atas dirimya, beberapa penghargaan178 atas dirinya di antaranya:
Bintang Maha Putera R.I tahun 1993
Bintang Adat Bak Po Teumerehoom Kelas I
Bintang Istimewa Republik Arab Mesir Kelas I
Bintang Angkatan 45
Bintang Satya Lencana Kebaktian Sosial
Bintang Karya Kelas I
Bintang Masyarakat Sejarawan Indonesia
Bintang Emas ar-Raniry
Bintang BKKBN
Bintang Panca Cita Kelas I
Bintang Emas Iqra 178
Penghargaan Yang Dimiliki Prof. A. Hasjmy, (Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy, 1998).
84
Bintang Veteran R.I
Bintang Perintis Kemerdekaan
D. Keterlibatan Ali Hasjmy Dalam Pergerakan Politik Dalam harian Republika, Ali Hasjmy dilukiskan sebagai sosok pejuang yang melakukan aktivitas perjuangan dalam tiga bidang, yaitu perjuangan fisik, diplomasi dan birokrasi.179 Tidaklah berlebihan jika penulis menyebut tokoh Ali Hasjmy adalah ulama multitalenta yang hidup tiga zaman; zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan. Perjuangannya ke dalam kancah pergerakan dan organisasi didorong oleh semangat agama dan patriotisme. Ali Hasjmy memulai perjuangannya dalam usia 20 tahun. Lebih jelasnya berikut keterlibatan Ali Hasjmy dalam pergerakan politik nasional. 1. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Belanda Sejak hijrah ke Padang Panjang Sumatera Barat, Ali Hasjmy memiliki semangat yang luar biasa di dalam pergerakan. Pada usia yang terbilang muda sekitar 20 tahun, Ali Hasjmy aktif dalam beberapa organisasi pemuda Islam. Organisasi yang pertama yang ia masuki adalah HPII (Himpunan Pemuda Islam Inonesia) Cabang Padang Panjang (1932-1935), ia terpilih menjadi sekretaris. Satu tahun aktif dalam organisasi HPII (Himpunan Pemuda Islam Inonesia) Ali Hasjmy dipilih menjadi Wakil Ketua pimpinan cabang. Dalam tahun yang sama Ali Hasjmy aktif sebagai anggota partai politik PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) dan ia terlibat juga dalam PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia).180 Pada saat itu, baik PERMI maupun PSII adalah partai yang menganut sistem non
179
“Ali Hasjmy Bapak Pendidikan Aceh”, Republika, 20 November 2011. A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 60. Lihat juga, H.A.Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 7. 180
85
koperasi terhadap pemerintah Hindia-Belanda, sehingga setiap aktivitasnya selalu dicurigai dan diawasi oleh Belanda. Tahun 1935, bersama sejumlah pemuda yang baru Pulang dari Padang, Ali Hasjmy mendirikan Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) dan ia menjadi salah satu pengurus besarnya.181 Dalam waktu yang relatif cepat, Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) mengalami kemajuan, hal ini ditandai dengan berdirinya cabang di seluruh Aceh. Dalam kongresnya yang pertama yang berlangsung di Montasiek, Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) berubah nama menjadi PERAMINDO (Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia). Perubahan nama menjadi PERAMINDO menjadikan gerakan ini bersifat radikal dalam menentang penjajahan Belanda. Di dalam susunan pengurus baru Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia (PERAMINDO) tidak terdapat nama Ali Hasjmy, dikarenakan persiapannya berangkat ke Padang untuk melanjutkan studi pada Al Jami‟ah Al Islamiyah. Selama masa belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, Ali Hasjmy aktif dalam organisasi Persatuan Mahasiswa Al Jami‟ah Al Islamiyah (PERMAI). Dalam organisasi ini Ali Hasjmy dipilih menjadi sekretaris periode 1939-1940. Dalam tahun yang sama Ali Hasjmy aktif dan menjadi ketua umum dalam organisasi PPPA (Persatuan Pemuda Pelajar Aceh) di Padang selama periode 1939-1941. Pada masa pendudukan kolonial Belanda Ali Hasjmy juga aktif bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi Majalah Matahari di Padang tahun 1939-1940; 181
Susunan Pengurus Besar Serikat Pemuda Islam Aceh (SPIA) terdiri dari: Ketua Umum : Abu Bakar, Guru Perguruan Islam Seulieum Sekretaris Umum : Thamrin Amin,Jadam Montasiek. Bendahara : Ali Hasjmy Komisaris : Abdul Jalil Amin, Muhammad Ali, Suleiman Ahmad, Muhammad Ali Cotgu, Yahya Hasyimi dan M. Arsyad. Lihat, A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 77.
86
pembantu tetap majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat sebelum Perang Dunia Kedua.182 Majalah ini mengembangkan misi kebudayaan Islam, pendidikan, dan kebangkitan dunia Islam. selama masa belajar, Ali Hasjmy banyak menyerap ide-ide pembaharuan yang kelak menjadi semangat dalam mempengaruhi sistem pendidikan di Aceh. Sewaktu Ali Hasjmy masih belajar di Al Jami‟ah Al Islamiyah, di Aceh telah berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1939 yang dipimpin oleh Teungku M. Daud Beureuh, ia aktif dalam pergerakan PUSA dan aktif sebagai anggota pengurus pemuda PUSA. Organisasi non politik yang juga bergerak menentang Belanda. Ali Hasjmy juga aktif di bidang kepanduan dan menjadi wakil kwartir kepanduan Kasysyafatul Islam (KI) Aceh Besar.183 Dalam perang kemerdekaan Indonesia 1945, pemuda-pemuda hasil didikan Kasysyafatul Islam ini banyak berperan sebagai tenaga pimpinan, yang kemudian menjadi perwira dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada masa pendudukan Belanda, sewaktu Ali Hasjmy baru kembali dari Al Jami‟ah Al Islamiyah Padang, ia bersama pemuda-pemuda PUSA lainnya mencetuskan Gerakan Fajar. Gerakan ini bertujuan untuk mengadakan 182
A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari
1998, h. 24. 183
Kasysyafatul Islam awalnya bernama Kepanduan Taman Siswa yang didirikan di Bireuen pada 1934, kemudian Kepanduan Taman Siswa bergabung dengan PUSA dan berubah namanya menjadi Kasysyafatul Islam (KI). Anggota Kasysyafatul Islam tidak terbatas pada anak tingkat Sekolah Dasar, akan tetapi meluas sampai pada pemuda tingkat menengah atas. Susunan pengurus K.I Ketua : Teuku Muhammad Sekretaris : M. Nur El-Ibrahimy Anggota : Tgk. Syekh Abdul Hamid, Abdul Gani Umar, H. Abdul Gani. Kwartir Daerah : Hadi Rafiuddin Kwartir-Kwartir Distrik : Marah Adam, Ahmad Abdullah, Ayah Rahman, P.S. Mauny, Ibrahim Insya, Rahmat, dan Jamaluddin. M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985), h. 87. Lihat juga A. J. Piekaar, Aceh dan Peperangan Dengan Jepang, Penerjemah Aboe Bakar, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1981), h. 35.
87
pemberontakan terhadap pemerintah Belanda yang kedudukannya sebagai penguasa di Indonesia sudah mulai goyah.184 Ali Hasjmy bersama-sama temannya bergerilya melawan Belanda selama 26 hari di kaki Bukit Barisan. Perlawanan fisik terhadap tentara Belanda dimulai dengan mengepung markas tentara Belanda dan rumah Countroleur di kota Seulimeum. Setelah penyerbuan terhadap markas tentara Belanda dan rumah Countroleur di Seulimeum, besoknya tanggal 21 Februari 1942 dilanjutkan dengan pertempuran di Keumire, kira-kira 10 kilometer dari Seulimeum. Dalam pertempuran tersebut, beberapa perwira dan serdadu Hindia Belanda mati, termasuk Kepala Eksploitasi Aceh Tram, sementara di pihak mujahidin syahid tiga orang, yaitu Ismail, Ibrahim dan Ahmad.185 2. Ali Hasjmy Pada Masa Penjajahan Jepang Tahun 1942, Jepang mendarat di Aceh setelah terjadi pertempuran yang mengakibatkan militer Belanda menyingkir keperbatasan Aceh dengan Sumatera Timur, yaitu di daerah Alas, dan di sanalah militer Belanda menyerah kepada Jepang. Kekalahan Belanda disambut gembira oleh seluruh rakyat khususnya rakyat Aceh. Peninggalan harta benda yang ditinggal oleh Belanda menjadi harta rampasan oleh masyarakat Aceh, keadaan kota sudah tak terurus. Polisi yang seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan. Dalam situasi seperti itu, Kasysyafatul Islam atas instruksi Ali Hasjmy mengerahkan anggota Kasysyafatul Islam ke bagian-bagian daerah Kutaraja yang rawan untuk mengamankan dan menertibkan para penjarah. Dalam melakukan tugasnya Kasysyafatul Islam menggunakan pendekatan Islam (Ukhwah Islamiyah) dan mengajak rakyat untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. usaha yang 184 185
M. Daud Remantan, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953),” h. 335. A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 96-98.
88
dilakukan oleh Kasysyafatul Islam memperoleh keberhasilan, sehingga situasi berangsur-angsur pulih kembali.186 Keberhasilan Ali Hasjmy ketika mengamankan dan menertibkan keadaan di Kutaraja, mendapat perhatian dari S. Matsubaci, seorang pemimpin Fujiwarakikan yang kemudian mengangkat Ali Hasjmy menjadi Kepala Polisi Aceh. Dalam waktu yang relatif singkat Ali Hasjmy yang dibantu oleh Yakob dan Hasyim bekas anggota polisi kerajaan Belanda, berhasil membentuk kembali kepolisian dan juga berhasil mengembalikan keamanan kota dalam jangka waktu tertentu. Atas keberhasilan itu Jepang sangat senang, karena Ali Hasjmy berhasil mengembalikan keadaan kota dengan waktu yang singkat. Oleh karena hal demikian Matsubuci memberi tugas yang sama kepada Ali Hasjmy untuk membentuk kembali kepolisian di daerah barat dan selatan Aceh yang ditinggal oleh anggota polisi akibat perang melawan Belanda. Dalam menjalani tugasnya Ali Hasjmy tidak banyak mengalami kesulitan, hanya kurang 3 bulan pembentukan kepolisian di daerah barat dan selatan dapat ia lakukan dengan cepat.187 Setelah terbentuk kembali kepolisian daerah barat dan selatan Aceh, sewaktu kembali dari melakukan tugas tersebut, Ali Hasjmy mendapat kabar dari saudaranya Nyak Neh bahwa Jepang telah mengangkat kembali pada Uleebalang menjadi penguasa Sunco dan Gunco (Camat dan Wedana) di Aceh. Mendengar kabar itu, Ali Hasjmy meletakkan jabatannya sebagai Kepala Polisi dan masa tugasnya hanya bertahan selama 15 hari. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat
186
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 105-107. A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 109. Lihat juga H.A. Ghazaly, Biografi Prof. Tgk. H. Ali Hasjmy, h. 15. 187
89
Aceh khususnya ulama yang kemudian hari melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tahun 1942 Ali Hasjmy diminta oleh Matsubaci untuk bekerja di kantor berita Atjeh Sinbun dan ia langsung diangkat sebagai redaktur pelaksana serta merangkap sebagai sekretaris redaksi. Surat kabar Atjeh Sinbun mempunyai peran penting dalam pertentangan golongan dan propaganda adu domba yang dirancang Jepang. Untuk mengimbangi propaganda Jepang, Ali Hasjmy menjadikan kantor Atjeh Sinbun sebagai markas pemuda yang tidak resmi untuk membicarakan missi khusus dalam rangka mengantisipasi taktik Jepang dalam mewujudkan kolonialisme.188 Dari sinilah kemudian Ali Hasjmy dan kawan-kawan menyusun gerakan bawah tanah dengan jaringan yang lebih luas dan dengan fasilitas komunikasi yang sangat dibutuhkan saat itu, seperti radio dan surat kabar, bersama-sama kawan yang bekerja di Domei untuk melawan Jepang yang sudah mulai diketahui kelicikannya.189 3. Ali Hasjmy Pada Masa Pascakemerdekaan Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, sejumlah pemuda PUSA termasuk Ali Hasjmy dan bersama sejumlah pemuda lainnya yang bekerja di Atjeh Sinbun dan Domei mengadakan pertemuan yang amat rahasia di sebuah ruangan kantor Atjeh Sinbun, pertemuan itu menghasilkan sebuah keputusan dengan mendirikan Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) dimana Ali Hasjmy terpilih menjadi
188
Hasan Basri, “A. Hasjmy (1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual dan Pemikirannya Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000), h. 84. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 125. 189 Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 345.
90
ketuanya.190 Pada waktu itu Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) masih merupakan satu kelompok yang relatif kecil jika dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Gerakan pemuda ini betul-betul menjadi aktif sesudah kejadian di Medan. Gelombang kegiatannya dimulai dari daerah sebelah timur Aceh dalam bentuk suatu rapat umum besar dan pawai pada pada 1 Oktober di Langsa.191 Pada 6 Oktober 1945 di Medan, Ikatan Pemuda Indonesia (IPI) berubah namanya menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Organisasi ini menjadikan dirinya suatu gerakan yang mencakup seluruh Aceh. Pengurus Barisan Pemuda Indonesia (BPI) sebagian besar dipilih dari anggota-anggota pemuda PUSA.192 Pada 17 Oktober organisasi kepemudaan ini berubah nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Pengurusnya PRI merupakan pemuda perkotaan hasil didikan Jepang yang berorientasi nasional. Untuk kesekian kalinya organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) berubah namanya menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO). Setelah ditetapkan oleh Ali Hasjmy tanggal 20 November 1945.193 Setelah meletusnya peristiwa Madiun pada tanggal 19 Oktober 1948, PESINDO daerah Aceh melepaskan hubungan organisasinya dengan PESINDO pusat yang telah terlibat dalam pemberontakan tersebut.194 Pasca kemerdekaan di Aceh juga didirikan suatu organisasi pertahanan dan keamanan yang bernama Angkatan Pemuda Indonesia (API) di bawah pimpinan
190
Ali Hasjmy dan T. Alibasyah Talsya, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah Modal, (Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1976), h. 11-12. 191 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 313-314. 192 Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi, h. 316. 193 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 201. 194 Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO) secara nasional adalah organisasi yang berasaskan pada faham sosialis-komunis yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun pembentukan PESINDO di Aceh oleh Ali Hasjmy berasaskan pada paham ajaran Islam, sesuai dengan agama dan adat istiadat masyarakat Aceh, bukan mengikuti pada paham sosialis-komunis. Pertimbangan. Lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 236.
91
komandan Syamaun Gaharu, pergerakan ini beberapa kali berganti nama menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) dan terakhir menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sehubungan dengan dibentuk nya alat negara yang dinamai API atau TKR, beberapa pemimpin partai dan pemuda membentuk pula barisan-barisan kelasykaran seperti Kesatria PESINDO yang kemudian namanya dirubah menjadi Divisi Rencong yang dipimpin oleh Ali Hasjmy yang berkedudukan di Kutaraja. Selaku pimpinan pasukan Divisi Rencong, Ali Hasjmy selalu ikut penjagaan rutin di lapangan terbang Lhoknga Aceh. Pasukan Divisi Rencong inilah yang menunggu pendaratan rahasia pesawat-pesawat yang membawa obat-obatan dan persenjataan ringan dari orang-orang Aceh di Singapura, India, dan Burma.195 Pada periode kemederdakaan, Ali Hasjmy juga aktif sebagai pegawai negeri, dan menduduki berbagai jabatan, di mana di antaranya menjadi kepala Jawatan Sosial Daerah Aceh Kutaraja (1946-1947), menjadi Kepala Jawatan Keresidenan Aceh dengan pangkat bupati (1949), menjadi Instruktur Kepala Jawatan Sosial Provinsi Aceh (1950), Kepala Bagian Umum pada Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial dari Kementerian Sosial di Jakarta (1955), diangkat menjadi Gubernur Aceh Kepala Daerah Propinsi Aceh (1957-1960), kemudian diangkat menjadi Gubernur Kepala Daerah Propinsi Istimewa Aceh (1960-1964), pernah diangkat menjadi pembantu Menteri Dalam Negeri di Jakarta (1964-1968), pemimpin Harian Nusa Putera di Jakarta (1964-1968) dan pemimpin umum atau penanggung jawab majalah Sinar Darussalam di Banda
195
Sayed Mudhahar Ahmad, “Ali Hasjmy, Antara Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Muhammad Daud Beureueh,” dalam Badruzzaman Ismail ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan, h. 248,
92
Aceh (sejak 1969) dan pensiun dari pegawai negeri atas permintaan sendiri tahun 1966. Setelah pensiun tahun 1966, ia diangkat menjadi anggota MPRS utusan Daerah Istimewa Aceh dan diangkat menjadi Dekan Fakultas Dakwah/Publisistik IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (1968), diangkat dan dikukuhkan sebagai Guru Besar (Professor) dalam Ilmu Dakwah (1976), setahun kemudian diangkat menjadi Rektor IAIN Jami‟ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh (1977 sampai November 1982). Ketika Partai Golkar Berjaya pada era 1980-an, Ali Hasjmy dinobatkan sebagai penasehat dalam kancah politik Orde Baru. Beliau juga pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1982). Ali Hasjmy dipercaya juga menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh dalam masa bakti 1983-1987.196 Aktivitas Ali Hasjmy selama masa pasca kemerdekaan telah banyak memberi kontribusi yang amat luar biasa kepada masyarakat Aceh. secara politis, keterlibatannya
dalam
panggung
kehidupan
pergerakan
dan
organisasi
menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang tokoh politik birokrasi tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan yang aktif. Semangat nasionalismenya terus berkobar seiring perkembagan waktu dan perkembangan zaman. E. Ali Hasjmy Sebagai Gubernur Aceh Pemberontakan Darul Islam menimbulkan suasana yang panas sehingga pemerintah Indonesia pada 29 November 1956 mengeluarkan Undang-Undang No
196
Moch Subandi, “Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar Umum, 8 April 1984, h. 11. Lihat juga A Rahim Abdullah, “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998, h. 24. Lihat juga Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 432.
93
24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh yang berotonomi.197 Menurut Undang-Undang No 24 Tahun 1956 menyatakan bahwa provinsi Aceh akan diresmikan pada tanggal 1 Januari 1957. Selanjutnya masih ada persoalan penting lainnya yang harus diputuskan kabinet, yaitu siapa yang harus diangkat menjadi gubernur Provinsi Aceh yang baru. Pada awal Desember 1956, dalam satu pertemuan antara Menteri Dalam Negeri Mr. Sunaryo dengan Ali Hasjmy (pegawai Kementerian Sosial sebelum menjadi Gubernur), ia pernah ditanyakan mengenai kesediaannya untuk menjadi Gubernur Aceh, kemudian Ali Hasjmy memberi jawaban: “…Saya akan pulang ke Aceh sebagai Gubernur dengan membawa air, bukan bensin dan api”.198 Sejalan dengan itu pada awal Desember 1956 pembicaraan dan persiapan maupun pemilihan gubernur terdengar luas oleh rakyat Aceh. Banyak surat yang dilayangkan kepada Pemerintah Pusat mengenai pengusulan calon Gubernur Aceh. Persiapan dari berbagai partai, lembaga, maupun ulama masing-masing mengusulkan calon Gubernur Aceh sesuai selera dan pertimbangan dari pihak yang mengusulkan. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) mengajukan calon Ali Hasjmy sebagai Gubernur, Partai Masyumi mencalonkan Teungku Abdul Wahab Seulimeum, PSI (Partai Sosialis Indonesia) mencalonkan dr. Zainal Abidin, Badan Musjawarat dan Kemadjuan Kesenian Atjeh” Seksi Tari Seudati Atjeh Timur, Djulok Rajeuk, Atjeh mengajukan Mr. T. Mohd. Hasan, Kaum Buruh Tani Djulok Bandar Baru (K.B.T.D.B.B) Kutabindjai Idi Atjeh mencalonkan Mr. T. Mohd.
197
Mengenai isi singkat Undang-Undang No 24 Tahun 1956 selengkapnya lihat Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh, No Arsip 1713. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 467-468. 198 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 470.
94
Hasan, Tgk. Hadji Sjeh Radjab (a/n. Ulama Atjeh Timur) mencalonkan Mr. T. Mohd. Hasan, Pimpinan Badan Pentjalonan Moh. Insya Gubernur Atjeh (B.P.M.I.G.A) mencalonkan M. Insya (Kepala Polisi Provinsi Sumatera Utara), Pimpinan Umum Perusahaan T.M.S.U. (Djulo‟ Rajou‟, Paso, Piadah Lho‟ Sukun (Daerah Atjeh) mencalonkan Mr. T. Mohd. Hasan, Nja‟ Makam Esha (Guru Sekolah Rakjat Negeri) mengajukan Mayor Syamaun Gaharu, dan terakhir DPP. Front Pemuda Atjeh Cabang Wilajah Sumatera Timur Mr. S. M. Amin.199 Dewan Menteri mengadakan rapat ke-51 pada tanggal 2 Januari 1957, dalam rapat tersebut Dewan Menteri menyetujui untuk mengangkat Ali Hasjmy (seorang pegawai senior Kementerian Sosial) sebagai Gubernur Aceh.200 Adapun beberapa sebab Ali Hasjmy terpilih menjadi Gubernur, pertama dukungan beberapa partai terhadap dirinya seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Nadhlatul Ulama (NU), Kedua, terpilihnya Ali Hasjmy didasari atas perjuanganya selama masa revolusi fisik 1945, dan ketiga pemerintah menghendaki seorang pemimpin yang populer, namun tidak terlalu dekat dengan pemberontak. Hal tersebut diduga kuat terpilihnya Ali Hasjmy menjadi Gubernur Aceh. Ali Hasjmy resmi dilantik menjadi Gubernur Aceh pada 27 Januari 1957. Pelantikan Gubernur Ali Hasjmy dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintahan sipil dan militer, pemuka-pemuka masyarakat, dan juga dihadiri Menteri Dalam Negeri bersama sejumlah pejabat tinggi lainnya, di antaranya Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution bersama sejumlah perwira tinggi dan
199
Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. 200 Proses pemilihan dan pengangkatan Ali Hasjmy, lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 468-471. Lihat juga Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713.
95
Gubernur Sumatera Utara.201 Untuk kelengkapan dalam pemerintahan yang baru, pada 11 Februari 1957 dilantik juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh, anggota yang dilantik berjumalah 30 orang yang terdiri dari 23 orang Masjumi, 4 orang Perti, 1 orang PNI, 1 orang PKI dan 1 orang Parkindo, yang mencerminkan hasil-hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Anggotaanggota DPRD tersebut ialah:202 No
Nama
Partai
1
M. Abduh Sjam
Masjumi
Keterangan 11 Februari ditetapkan menjadi Ketua
2
Ainal Mardhijah Ali
Idem
3
Fatimah Daoed (1)
Idem
4
Ibrahim Abduh
Idem
5
Ibrahim Metarem (2)
Idem
6
T. Sulaiman Effendy
Idem
7
Abdullah Aly
Idem
8
M. Husen Maun
Idem
9
Oesman Aly
Idem
10
T. Sjahbuddin
Idem 11 Februari ditetapkan menjadi
11
H. M. Ali Balwy
Idem Wakil Ketua
12
T.M. Zaen
201
Idem
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 527. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, h. 17-18. Lihat selengkapnya mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Swatantra Tinggkat I Aceh, Al Manak Umum, (Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959), h. 94-104. 202
96
13
H. Abdullah Adiq
Idem
14
A. Ghaffar Samad
Idem
15
Tgk. M. Bakri (3)
Idem
16
Njak Ana Hamzah
Idem
17
Sjarifah Chatidjah
Idem
18
T. Ali Keurukon
Perti
19
T. Nya‟ Gani Aminullah
Idem
20
Tgk. M. Saleh
Idem
21
Thaib Adamy
P.K.I
22
B. Tumpulon (4)
Parkindo
23
H. Sjamaun
P.N.I
24
A. Latief Rousjdy
Masjumi
25
T. Njak Obor
Idem
26
Ismail Arief
Idem
Ismail
Thaib
27
Paja Idem
Budjok 28
T. Sjahdan
Idem
29
M. Djoened Joesoef
Idem
30
T. R. Ramli Nhagoersjah Perti Mutasi Anggota DPRD Peralihan Provinsi Aceh adalah sebagai berikut: 1. Fatimah Daoed: Mengundurkan diri tanggal 25 Juni 1958 dan digantikan oleh Tgk. Hamzah Junus.
97
2. Ibrahim Metarem: Mengundurkan diri karena pindah ke Medan dan digantikan oleh Tgk. Hasan Lhok Kadju mulai tanggal 30 Agustus 1957. 3. Tgk. M. Bakri: Meninggal dunia tanggal 16 September 1958 digantikan oleh M. Salim Jahja. 4. B. Tumpulon: Atas permintaannya sendiri telah mengundurkan diri dari keanggotaan DPRD Peralihan pada tanggal 20 Agustus 1957 digantikan oleh Humala Napitupulu. Sejak saat itu Ali Hasjmy sebagai Gubernur Provinsi Aceh mulai lebih keras berjuang guna mengembalikan situasi konflik yang telah lama terjadi. Dalam usahanya tersebut Ali Hasjmy bekerja sama dengan Letnan Kolonel Syamaun Gaharu yang bertugas sebagai Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
BAB IV ALI HASJMY DAN PENYELESAIAN KASUS DARUL ISLAM ACEH A. Konsespsi Prinsipil & Bijaksana dan Ikrar Lamteh: Sebuah Kebijakan Perdamaian Pemerintah pusat telah menetapkan Aceh sebagai Provinsi yang berotonomi dengan saudara Ali Hasjmy Gubernurnya. Hal ini menandai babak baru untuk Ali Hasjmy sebagai seorang Gubernur dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam yang sudah terjadi selama 6 tahun. Dalam upaya menyelesaikan kasus konflik Darul Islam, Ali Hasjmy dibantu oleh Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Komisaris Polisi Muhammad Isya, mereka merupakan bekas rekan seperjuangan di waktu zaman revolusi kemerdekaan.203 Sebelum Ali Hasjmy dilantik menjadi Gubernur Aceh, Syamaun Gaharu204 (Panglima Komando Daerah Militer Aceh) telah lebih dulu memulai tugasnya dalam usaha menyelesaikan pergolakan Darul Islam. Pada pertengahan Januari 1957, ia merusmuskan suatu kebijakan yang terkenal dengan nama Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Konsepsi ini pada dasarnya merupakan suatu proses penyelesaian
keamanan
yang
diawali
oleh
proklamasi
pemberhentian
permusuhan, lalu diikuti dengan perundingan antara pemerintah dengan pihak Tgk. Muhammad Daud Beureueh.205 Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana mendapat dukungan yang baik dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution pada tanggal 24 Januari 1957, dengan syarat penyelesaian pokok yang dicapai adalah kembali ke 203
M. Isa sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 375. Setelah menjadi komandan KDMA, pangkat Syamaun Gaharu dinaikkan saru tingkat dari Mayor menjadi Letnan Kolonel. 205 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 374. 204
98
99
pangkuan Republik Indonesia. Adapun isi detail Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana sebagai berikut: 1.
Perlu diketahui
keadaan sebenarnya
mengenai
semua
aspek
gerombolan-gerombolan pengacau (maksudnya GDIA) dan untuk ini perlu diadakan hubungan, antara lain pembicaraan informa, feeling, korespondensi dan lain-lain. 2.
Pernyataan Pemberhentian Permusuhan.
3.
Pengerahan segala tenaga untuk mengadakan kampanye perdamaian melalui Jawatan Penerangan, Jawatan Agama, Jawatan Penerangan Agama, Partai-partai politik, organisasi massa, tokoh-tokoh ulama, tokoh masyarakat lainnya untuk mengambil bahagian yang aktif dalam kampanye perdamaian ini.
4.
Di daerah-daerah yang mendapat kerusakan oleh kejadian pengacauan gerombolan atau akibat-akibatnya yang terjadi, sesuatu yang rusak harus diperbaiki dan yang musnah harus diganti seperti rumah-rumah, sekolah, stasion kereta api, rumah-rumah rakyat, dan lain-lain, sekurang-kurangnya dapat dikembalikan kepada keadaan seperti sebelum terjadi sesuatu kekacauan.
5.
Soal-soal pokok yang harus dirundingkan dengan pihak Daud Beureueh cs. adalah: a. Tuntutan hukum terhadap mereka. Dalam proses ini dapat diperguankan opportuniteit beginsel, sehingga dengan cara ini tidak didapat kesulitan-kesulitan.
100
b.
Rehabilitas. Daud Beureueh cs. terdiri dari bermacam-macam golongan masyarakat, di antaranya terdapat anggota-anggota TNI, pamong praja, pegawai-pegawai pemerintah, ulama-ulama, rakyat biasa yang terbawa-bawa dalam dalam persoalan ini baik secara terpaksa maupun karena kepatuhan mereka kepada yang tersebut di atas dan lain sebagainya.
(1) Anggota-anggota TNI. Sesuai dengan tuntutan hukum seperti yang tersebut di atas yaitu dengan mempergunakan dasar opportuniteitbeginsel, maka tuntutan terhadap mereka sebagai deserteur tidak akan dilakukan. Jumlah mereka resmi adalah satu kompi lengkap di bawah pimpinan Letnan Ibrahim Saleh yang lari dari Sidikalarang. Tetapi kemudian persenjataan mereka bertambah-tambah baik yang meraka dapat/rampat dari pertempuran-pertempuran dengan alat negara, maupun yang mereka dapat beli dari luar negeri dengan jalan penyelundupan-penyelundupan dan lain sebagainya. Dalam keadaan sekarang perlu pemerintah menerima mereka sekurang-kurangnya 1 batalyon organiek di dalam susunan TNI. Pelaksanaan penerimaan mereka dapat dijalankan sesuai dengan rencana recrutering yang sedang dihasilkan dengan member beberapa dispensasi/keistimewaan. Selanjutnya mereka dapat disalurkan melalui Depot Batalyon dan lain sebagainya. Untuk ini perlu segera dibangunkan 1 asrama lengkap sebagai Depot Batalyon. (2) Pamong Praja dan Pegawai Negeri. Di antara mereka yang memberontak masih terdapat pegawai-pegawai negeri yang masih
101
menerima hak mereka. Ada pula di antara mereka yang telah dischors dan dipecat. Dengan adanya status propinsi untuk daerah Aceh, maka rehabilitasi terhadap mereka itu dapat disalurkan kepada pembentukan propinsi sebagai pegawai otonomi. (3) Rakyat biasa yang ikut karena kepatuhan mereka kepada pemimpinpemimpin mereka, yang ikut-ikutan/terbawa-bawa dan yang terpaksa karena keadaan, sebenarnya dapatlah mereka kembali ke dalam masyarakat seperti biasa, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang perlu dilindungi dan dibekali terlebih dahulu sebelum mereka masuk ke dalam masyarakat biasa. Untuk ini perlu diusahakan jalan atau usaha-usaha yang tertib dalam menampung kembali ke dalam masyarakat biasa itu. (4) Tahanan-tahanan. Mereka yang masih dalam tahanan dan yang sedang menjalani hukuman segera dibebaskan. (5) Kaum pengungsi. Kemudian ada lagi satu golongan yang sebenarnya harus mendapat pula perhatian dari pemerintah, yaitu mereka yang tetap setia kepada Republik Indonesia, tidak mau malah menentang gerakan illegal dari Daud Beureueh cs. Mereka ini terpaksa juga meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan harta-hartanya pergi mencari tempat-tempat yang dianggap mereka aman dan dapat meneruskan hidup mereka. Mereka ini adalah kaum-kaum pengungsi. Terhadap kaum pengungsi ini pun sudah selayaknya kalau pemerintah memberikan penghargaan dengan mengganti kerugian alakadarnya.
102
(6) Jika hasil dari permusyawaratan itu telah mendapat persetujuan dari segala pihak yang bersangkutan, maka dipilihlah suatu saat yang baik untuk memproklamirkan “Perdamaian dan Persaudaraan yang abadi di Aceh”. Proklamasi ini diikuti secara adat di kampung-kampung, di kecamatan-kecamatan dan kabupaten-kabupaten di seluruh Aceh untuk mengadakan kenduri secara bergotong royong dan orang-orang yang bersangkutan di daerah masing-masing terutama orang-orang yang dirinya tersangkut di dalam persoalan-persoalan itu dan menyatakan keikhlasan mereka bermaaf-maafan. Di sini dikerahkan kembali massa untuk diberi penerangan seperti yang tersebut di atas dengan jiwa perdamaian/persaudaraan, poster-poster, sari-sari ucapan dari tokoh-tokoh ulama di daerah ini dan lain-lain disiarkan dengan seluas-luasnya. Harus diusahakan sekurang-kurangnya 15 hari, supaya semarak hari Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan itu yang dapat dirasakan (meresap) dalam hati sanubari dan dinikmati oleh seluruh penduduk Aceh. (7) Sesudah Proklamasi Perdamaian/Persaudaraan yang abadi ini, pemerintah harus melaksanakan rencana-rencana pembangunan di Aceh dalam arti yang luas (pembangunan daerah dalam segi sosial, ekonomi, pembangunan rakyat dalam segi mental dan pendidikan untuk menempatkan fungsi Aceh dalam susunan Indonesia sebagai suatu nation seperti yang sudah-sudah.206
206
Naskah asli konsepsi prinsipil dan bijaksana ditandatangani oleh Letnan Syamaun Gaharu berjudul Penyelesaian Peristiwa Pemberontakan di Aceh. Lihat Teuku Haji Ibrahim
103
Di samping Penguasa Perang Daerah (Syamaun Gaharu) melakukan pendekatan dengan pihak gerombolan, Gubernur Aceh Ali Hasjmy yang baru beberapa hari dilantik juga melakukan pendekatan dengan caranya sendiri. Langkah dan strategi pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan para pemimpin Darul Islam terutama mereka yang mempunyai hubungan kedekatan dan kekerabatan dengannya pada saat pergerakan zaman Hindia Belanda dan masa Revolusi 45 setelah Indonesia merdeka. Langkah Gubernur Ali Hasjmy semakin lancar setelah ia menerima surat yang berisi ucapan selamat dari Teuku Ahmad Hasan (Menteri Kesehatan Darul Islam).207 Pada tanggal 30 Januari 1957 Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi berangkat ke suatu daerah yang benama Dham untuk menemui pemimpinpemimpin Darul Islam, di antaranya Ishak Amin (Bupati Darul Islam Aceh Besar), A. Jalil (Komandan Istimewa Tentara Islam Indonesia), dan Muhammad Ali Piyeung (Kepala Polisi Darul Islam).208 Pertemuan Gubernur Ali Hasjmy dengan tokoh-tokoh pemimpin Darul Islam tersebut untuk membicarakan mengenai penyelesaian masalah keamanan di Aceh.209 Di samping itu, tokoh Darul Islam memberitahu nama orang-orang penting Darul Islam yang bermukim dalam kota. Pertemuan pertama yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy di “Pertemuan Dham” merupakan suatu langkah dalam mencari formasi kearah perundingan yang lebih formal. Pertemuan itu juga mempunyai arti penting dalam melunakkan sikap gerombolan terhadap pemerintah.
Alfian, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dengan “Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana”, Jurnal Ketahanan Nasional, No VI (2), (Agustus 2001): h. 42-45. 207 Mengenai isi surat Teuku Ahmad Hasan lihat A.Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 524-525. 208 C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, h. 314. 209 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 478.
104
Setelah pertemuan di Dham diawal bulan Februari 1957, Gubernur Ali Hasjmy melakukan pertemuan dengan ulama-ulama besar, pemimpin-pemimpin masyarakat yang terdiri dari organisasi, dan kalangan politik yang berada di Kutaraja untuk bertukar pikiran tentang langkah dan strategi pemulihan keamanan dan pembangunan Aceh. Dari pertemuan tersebut, Gubernur Ali Hasjmy banyak mendapatkan bahan dan informasi dari ulama dan pemimpin organisasi-organisasi yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian pihak mendukung konsepsi pemulihan yang telah dirumuskan oleh Syamaun Gaharu, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) saja yang memberikan usulan pembersihan anasir sabotase pro geromolan dalam tubuh pemerintahan sipil dan mendesak Gubernur Ali Hasjmy terhadap pelaksanaan pemulihan keamanan di Aceh harus dilaksanakan dengan cara kekerasan.210 Upaya Gubernur Ali Hasjmy dalam menyelesaikan kasus konflik Darul Islam Aceh tidak saja dilakukan melalui pertemuan dengan pemimpin Tokoh Darul Islam, ia juga mengirim surat kepada beberapa para pemimpin Darul Islam, baik yang berada di Aceh maupun yang berada di luar negeri. Buktinya pada pertengahan Maret 1957 dalam perjalanannya dari Jakarta menuju Belawan, Gubernur Ali Hasjmy singgah di Singapura untuk mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh Darul Islam Aceh di Singapura dan Semenanjung Tanah Melayu, seperti Abdullah NH. Dari Singapura Gubernur Ali Hasjmy
mengirim surat
kepada Wakil Darul Islam Aceh di Amerika Serikat, Hasan Muhammad Tiro.211
210
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 530 Mengenai Isi Surat Gubernur Ali Hasjmy kepada Muhammad Hasan Tiro, lihat Dokumen A, Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid I. lihat juga, A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 533. 211
105
Berdasarkan hubungan kontak dan pertemuan di Dham, juga melalui korespondensi yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy kepada para pemimpin Darul Islam Aceh, maka pada tanggal 8 April 1957 bertepatan dengan bulan ramadhan, masing-masing pihak baik dari pemerintah daerah dan Darul Islam melangkah ke negosiasi yang bersifat formal. Pertemuan di antara kedua belah pihak itu berlangsung di kediaman salah seorang tokoh Darul Islam Pawang Leman di desa Lamteh. Dalam pertemuan itu hadir Gubernur Ali Hasjmy, Kepala Polisi Muhammad Isya dan Komandan Militer Daerah Aceh Syamaun Gaharu, sementara pihak Darul Islam dihadiri oleh Perdana Menteri Darul Islam Hasan Ali, Menteri Pertahanan Darul Islam Hasan Saleh, Bupati Aceh Besar Darul Islam Ishak Amin dan seorang tokoh Darul Islam lainnya Pawang Leman.212 Pertemuan yang terjadi di antara kedua belah pihak, yang telah lama berpisah itu berlangsung dalam suasana bahagia. Namun, ketika kedua belah pihak itu mulai membicarakan mengenai persoalan keamanan Aceh dan bentuk administrasi pemerintahan di Aceh, pembicaraan terasa sangat alot dan hampir mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak berada pada pendirian yang berlawanan. Dalam suasana yang sangat tegang itu, kedua belah pihak disadarkan oleh suara keras dan penuh haru dari Pawang Leman yang isinya “…Kalau bapakbapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini supaya kita puas dan agar cucu kita di belakang hari akan menuduh kita sebagai pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung jawab…”213
212
Mengenai perjalanan Ali Hasjmy, Muhammad Isja, dan Syamaun Gaharu menemui pihak Darul Islam lihat T. Alibasjah Talsya, 10 tahun Daerah Aceh Istimewa Aceh, h, 15. Lihat juga Ali Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, h. 141. 213 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 310.
106
Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya tercapai juga kata sepakat di antara kedua belah pihak yang menginginkan Aceh menjunjung tinggi kehormatan agama dan kepentingan rakyat atau Daerah Aceh, untuk itu perlu dilaksanakan gencatan senjata sebagai landasan bagi perundingan lebih lanjut. Kesepakatan yang amat penting itu diberi nama “Piagam Lamteh” atau sering disebut “Ikrar Lamteh”.214 Adapun bunyi Ikrar Lamteh itu ialah: a. Kami sebagai putera-puteri Aceh bertanggung jawab terhadap hari depan Aceh yang kami cintai, dan merasa berkewajiban untuk membangun Aceh kembali dalam segala bidang. b. Pembangunan yang sangat dirindukan oleh Rakyat Aceh, yang harus kami laksanakan, yaitu pembangunan dalam bidang Agama Islam dalam arti yang luas, pembangunan dalam bidang fisik juga dalam arti yang luas dan pembangunan dalam bidang pendidikan, kebudayaan dan adat, yang kesemuanya harus tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. c. Untuk dapat melaksanakan cita-cita pembangunan Aceh kembali, kami bersepakat untuk secepatnya menghentikan pertempuran antara sesama putera Indonesia di Aceh.215 Ikrar Lamteh yang berhikmat itu ditandatangani oleh beberapa putera Indonesia yang berada di Aceh, yang pada waktu itu merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan Aceh dari kemusnahan. Di antara putera Aceh tersebut 214
Naskah asli Ikrar Lamteh belum diketahui dimana tersimpan. Penulis yang telah berkunjung ke Museum dan Pendidikan Ali Hasjmy tidak menemukan teks naskah ikrar tersebut baik yang asli maupun salinan. Dalam buku Semangat Merdeka 70 Tahun, Ali Hasjmy menerangkan bahwa naskah Ikrar Lamteh tersebut ditulis di atas lembaran kertas buku tulis anak sekolah karena pada waktu tersebut tidak ada kertas yang lain. Sehingga salinan yang tulis lebih merupakan semacam ingatan terhadap apa yang mereka tandatangani, sehingga redaksi kalimatnya sering berbeda satu sama lain. 215 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 484.
107
yaitu Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Gubernur Ali Hasjmy, Major T. Hamzah, Komisaris Besar Polisi Muhammad Isja dan dari pihak pemimpin DI/TII saudarasaudara Hasan Ali, Hasan Saleh, dan Ishak Amin.216 Atas dasar Ikrar Lamteh di atas, pada tanggal 9 April 1957 Letnan Kolonel Syamaun Gaharu mengeluarkan surat perintah penghentian gerakan-gerakan militer yang ditujukan kepada semua komandan sektor PDM (Perwira Distrik Militer). Surat tersebut berisikan perintah menghentikan operasi militer atau pertempuran dan keizinan kepada semua perwira bersangkutan melakukan kontak dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam.217 Kemudian Syamaun Gaharu mengirim dua rombongan utusan ke seluruh Aceh untuk mengadakan pendekatan dengan para pemimpin Darul Islam diseluruh kabupaten. Adapun dua rombongan utusan ini yang diberikan tugas oleh Sjamaun Gaharu adalah: 1. Kelompok pertama menjalankan misi sosialisasi damai di sepanjang pantai barat dan selatan yang dipimpin oleh Kapten Usman Nyak Gade, bertugas mengunjungi para tokoh pergerakan Darul Islam Acehdi Aceh Barat dan Aceh Selatan. 2. Kelompok kedua menjalankan misi sosialisasi sekaligus penetrasi damai di sepanjang pantai utara (Aceh Utara), timur (Aceh Timur) dan ke Aceh Tengah yang dipimpin oleh Rivai Harahap.218 Di samping genjatan senjata, Gubernur Ali Hasjmy juga melakukan upaya dalam menyelesaikan kasus tahanan Darul Islam. Sejak tangga 25 Maret Gubernur Ali Hasjmy telah mengirim surat kepada Ketua Pengadilan Negeri Medan yang
216
“Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 3. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 382-383. 218 Jarah Dam-I, Dua Windhu Kodam I/Iskandar Muda, (Banda Aceh: Sejarah Militer Kodam I/Iskandar Muda, 1972), h. 245. 217
108
pada waktu itu dijabat oleh saudara Husni Atmawijaya. Surat tersebut mendapat tanggapan dari pihak kejaksaan dan kehakiman, pada tanggal 11 April 1957 terjadi pembebasan tahanan Darul Islam sekitr 86 orang dan kemudian disusul oleh pembebasan lainnya sebanyak 50 orang pada tanggal 4 Mei 1957.219 Dengan diberlakukan genjatan senjata tersebut maka terbuka peluang bagi pemberontak untuk kembali pulang ke kampung untuk menjenguk keluarga yang telah ditinggal selama bertahun-tahun. Genjatan senjata juga memberikan kesempatan untuk Letnan Kolonel Syamaun Gaharu dan Gubernur Ali Hasjmy untuk bersilaturrahmi dengan pemimpin pemberontakan. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik mungkin oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan pendekatan dengan pemimpin gerombolan untuk bersama-sama membicarakan mengenai masalah penyelesaian konflik Aceh. Pada bulan Mei tahun 1957, sebagai tindak lanjut pelaksanaan Ikrar Lamteh, Gubernur Ali Hasjmy melakukan kontak dengan Saudara Hasan Ali (Perdana Menteri Darul Islam Aceh). Dari hubungan kontak tersebut pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Kolonel Syamaun Gaharu, Kepala Polisi Daerah Aceh Muhammad Isja, dan beberapa perwira lain antara lain Usman Nyak Gade melakukan kunjungan ke markas Darul Islam yang berada di suatu tempat yang benama Mardhatillah220 untuk mengadakan pembicaraan dengan Wali Negara Darul Islam Teungku Muhammad Daud Beureueh guna melunakkan sikap pendiriannya agar berdamai dengan pemerintah. Dalam pertemuan kedua belah pihak terjadi perbincangan yang sangat panjang, masing-masing saling memberi penjelasan. Ali Hasjmy yang ditunjuk 219
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 383. Mardhitillah adalah suatu daerah yang tertelak di pedalaman Trienggadeng. Lihat, T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16. 220
109
sebagai juru bicara, menjelasakan mengenai maksud kedatangannya dan juga membicarakan mengenai Ikrar Lamteh dan Konsepsi Prinsipil Bijaksana, demikian juga Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan panjang lebar bercerita mengenai perjuangan dan pengorbanan rakyat Aceh pada masa revolusi 1945, kemudian Teungku Muhammad Daud Beureueh meneruskan bercerita mengenai kekecewaannya terhadap Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Suasana pertemuan ketiga tokoh (Ali Hasjmy, Syamaun Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh lebih menyerupai pertemuan antara junior dan senior. Oleh karenanya ketiga tokoh itu lebih banyak mendengarkan pembicaraan Teungku Muhammad Daud Beureueh dibandingkan melakukan pembicaraan yang substansial dengan pemimpin Darul Islam itu.221 Adapun inti pembicaraan ketiga tokoh tersebut dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh yaitu: “saudara bertiga telah mendapat rahmat dari Allah, yang menjadi kewajiban penerima rahmat bersyukur kepada Allah. Saudara yang telah diangkat menjadi Komandan Tentara di Aceh (menunjuk Syamaun Gaharu) pergunakanlah rahmat Allah itu untuk memajukan agamanya dan untuk menyelamatkan Rakyat Aceh. Saudara telah diangkat menjadi Gubernur Aceh (menunjuk Ali Hasjmy) pergunakanlah jabatan Gubernur saudara sebagai rahmat Allah untuk membela agamanya dan untuk membangun Aceh yang telah hancur. Saudara telah diangkat menjadi Kepala Polisi (menunjuk Muhammad Isya) pergunakanlah jabatan saudara sebagai karunia Allah untuk meninggikan agamaNya dan membangun tanah Aceh yang telah remuk binasa. Saya doakan, semoga saudara-saudara tetap mendapat bimbingan Allah”.222
Pertemuan ketiga tokoh pemerintah daerah itu (Ali Hasjmy, Syamaun Gaharu dan Muhammad Insja) dengan Wali Negara Teungku Muhammad Daud Beureueh memberi kesimpulan bahwa harapan atau usaha yang dilakukan ketiga tokoh itu untuk sampai pada tahap perundingan masih tetap ada, sekalipun Tgk.
221
Mengenai kisah perjalanan tiga tokoh itu ke daerah Dham, lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 493-500. 222 A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 499
110
M. Daud Beureueh sangat marah kepada Soekarno, terutama kepada Ali Sastroamidjojo karena tidak menepati janji rakyat Aceh.223 Gubernur Ali Hasjmy menyadari bahwa persoalan yang sedang ia selesaikan mengalami kesulitan dan juga sikap Tgk. M. Daud Beureueh yang sangat teguh terhadap pendiriannya, dalam hal ini pemerintah daerah masih memerlukan jalan yang panjang untuk sampai kepada puncak perundingan. Di samping itu, upaya dan strategi Gubernur Ali Hasjmy dalam mencari solusi penyelesaian masalah Aceh untuk perdamian terus digiatkan dengan meyakinkan pemerintah pusat, khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, agar pemerintah pusat mau memberikan kelonggaran atau konsensi terhadap gerombolan. Namun Perdana Menteri Juanda menegaskan hanya bersedia memberikan otonomi yang luas dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial dan kebudayaan asalkan tidak keluar dari pada Undang Undang Dasar yang ada, yang menjadi pegangan pemerintah.224 Usaha Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat khususnya Perdana Menteri Ir. H. Juanda membuahkan hasil, melalui kesediaannya pada tanggal 19 Oktober 1957 Perdana Menteri Republik Indonesia Ir. H. Djuanda dan rombongannya melakukan kunjungan kerja ke daerah Aceh untuk melihat lebih dekat kondisi yang timbulkan dari konflik Darul Islam, serta ingin melihat peninjauan dari dekat pembangunan dan pemulihan
223
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 500. Lihat juga, Abdul Murat Mat Jan, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, Akademika, No 8, (1976): h. 40-41. 224 Lihat Pidato Wakil Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra Tingkat I Atjeh, Gubernur A. Hasjmy, dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Propinsi Atjeh tanggal 17 Maret 1958.
111
keamanan di Provinsi Aceh. Rombongan yang hadir ke Aceh terdiri dari Menteri Agama K.H. Iljas, Menteri Sosial Muljadi Djojomartono, Menteri Perhubungan Antar Daerah Dokter F.L Tobing, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Ir. Pangeran Mohd. Nur, Sekjen Kem. Keuangan H. M. Saubari, Kepala Biro Keamanan Surapto, Pembantu Pribadi Perdana Menteri Walajer, Pembantu Menteri Agama K.H. Djunaidi dan Iskandar, Pembantu Menteri Hubungan Antar Daerah Kapten Tony Suhartono, Pembantu Kepala Biro Keamanan I.P. Sutoro, Pembantu Kepala Biro Keuangan Suparto, Pembantu Menteri Sosial Amral, Pegawai Tinggi Kementerian Keuangan Sachrawi, bekas Menteri Muda Pertanian Sjech Marhaban, dan Officier Auri Letnan Tamudji.225 Di lapangan Udara Blang Bintang rombongan Perdana Menteri Djuanda disambut oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi Aceh Ali Hasjmy, Komandan KDMA/Iskandar Muda Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu, para pamongpraja anggota-anggota DPD dan DPRD Peralihan, dan penduduk setempat. Dalam perjalanannya dari Bandara Blang Bintang menuju ke kantor Gubernur Aceh rombongan Perdana Menteri Juanda disambut oleh barisan murid-murid sekolah rakyat, sekolah menengah pertama dan atas, murid-murid sekolah tionghoa dan rakyat banyak. Dalam pertemuan yang berlangsung di Aceh, beberapa di antara tokohtokoh tersebut menyampaikan pidato, di antaranya Gubernur Ali Hasjmy. Di dalam pidatonya, Gubernur Ali Hasjmy menekankan aspek pembangunan daerah Aceh yang sebagian telah hancur baik sarana maupun prasarananya yang disebabkan oleh konflik. Seperti yang dikemukakan dalam pidatonya: 225
Selengkapnya mengenai kunjungan Ir. Juanda dan rombongan lihat, Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dan Rombongan Ke Atjeh, (T.tp.: Djawatan Penerangan Prop Atjeh, t.t), h. 23.
112
“Untuk suatu daerah yang telah demikian hebat mengalami kehancurannya, tidaklah berlebih-lebihan rasanya kalau kami memohon perhatian yang khusus kepada Pemerintah Pusat, yang terlepas sama sekali dari kenyataan, bahwa di masa yang lampau pernah satu kali Atjeh digelarkan payung terakhir tempat berlindung 80 juta rakyat Indonesia untuk melanjutkan perang kemederkaan”.226
Gubernur Ali Hasjmy menambahkan dalam pidatonya mengenai rencanarencana yang dapat dilaksanakan secara berangsur-angsur jika keamanan telah pulih kembali, berikut uraian singkat pidato lanjutan Gubernur Ali Hasjmy: Perbaikan jalan negara Kutaraja- Sigli-Bireuen-Lho‟ Seumawe- Langsa sepanjang 500 km. Perbaikan jalan Propinsi Bireuen- Takengon sepanjang 100 km, Kutaradja- TjalangTjalang- Meulaboh- Lamie ke Tapak Tuan sepanjang 500 km. dan Sigli- TangseGeumpang sepanjang 100 km. Pembuatan jalan baru: Seulimeum- Tangse sepanjang 50 km, dan Geumpang- Tut TutTakengon sepanjang 150 km. sentral listrik di Sigli, Bireuen, Kualasimpang dan Langsa akan diperluas.227
1. 2.
3.
Pada kesempatan yang sama Komandan KDMA/Iskandar Muda Letnan Kolonel Syamaun Gaharu juga berkesempatan menyampaikan pidato kepada rombongan Perdana Menteri Ir. H. Juanda. Adapun inti pidato Syamaun Gaharu adalah: “…Kami, petugas-petugas di daerah ini, rakyat dan penduduk Aceh mempunyai keinginan agar daerah ini menjadi suatu daerah yang aman dan makmur, dimana seluruh rakyat dan penduduk merata dapat mengecap kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Kami lapurkan kepada yang mulia beserta rombongan bahwa akibat dari peristiwa 20 September 1953, petugas-petugas di daerah ini masih bekerja keras untuk mempertahankan sang dwi warna yang telah dikibarkan di atas tumpukan tulang-tulang pahlawan-pahlawan dan patriot-patriot kita masih membanting tulang untuk menegakkan hukum-hukum negara, serta memberi jaminan dan keamanan hidup pada rakyat dan penduduk dan masih memeras keringat untuk member mereka kemerdekaan berfikir, kemerdekaan mengeluarkan pendapat membebaskan mereka dari ketakutan dan kemiskinan Tidak ringan beban dan tanggung jawab dari petugas-petugas ini. Beban dan tanggung jawab ini akan lebih berat pula jika pengertian serta bantuan yang sungguh dari Pemerintah (Pusat) tidak ada. Tugas dan tanggung jawab ini akan menjadi lebih berat lagi jika sikap Pemerintah dalam menghadapi persoalan daerah ini masih tetap seperti yang sudah-sudah, yaitu dalam keragu-raguan, tidak tegas dan tidak berterus terang sehingga keadaan petugas-petugas seolah ditempatkan pada suatu posisi yang sulit, tiada berpedoman dalam kebimbangan”. Cahaya yang member harapan kepada rakyat dan penduduk di daerah ini, ialah setelah mendengar akan diadakannya Musyawarah Nasional dan lebih memberi harapan lagi 226 227
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda, h. 14. Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 15.
113
setelah mengetahui hasil-hasil yang telah dicapai dalam musyawarah tersebut. Tetapi rakyat dan penduduk daerah inipun dapat merasakan bahwa yang penting bukanlah musyawarah dan hasil musyawarah nasional, tetapi mereka menunggu dan mengharapkan bahwa keputusan-keputusan dari musyawarah itu betul-betul akan dilaksanakan dengan segala kesanggupan dan keberanian. Inilah penghargaan yang terakhir dari rakyat dan penduduk di daerah ini.228
Sambutan juga disampaikan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda ketika berkunjung ke Provinsi Aceh. Adapun inti dari pidato sambutan tersebut: “…Kita datang ke daerah ini untuk menambah bahan-bahan dan mendapatkan bahan yang lebih lengkap tentang keadaan di Aceh dan khususnya di Kabupaten ini. Kita di pemerintah pusat merasa berbahagia, merasa bangga bahwa semenjak bulan April tahun ini sampai sekarang daerah Aceh sudah jauh lebih aman dibandingkan pada masa sebelumnya, dan kita amat menghargai keadaan yang demikian ini, keadaan aman ini. Kita menghargai menyokong sepenuhnya segala apa yang telah dikerjakan oleh pemerintah militer yang dikepalai disini oleh Let. Kol Sjamuan Gaharu dan pemerintah sipil di Popinsi Aceh yang dipimpin oleh Gubernur sdr. Ali Hasjmy. Kedatangan kita ini justru untuk menekankan sekali dan jika mungkin untuk menyatakan penghargaan kita terhadap apa yang telah dicapai dalam lapangan keamanan sampai saat ini. Harapan kita dan segala ikhtiar yang akan dilakukan pemerintah pusat bersamaan dengan pemerintah di propinsi adalah seterusnya mempertahankan keadaan aman ini. dan jika mungkin melangkah lebih lanjut lagi, yaitu supaya diberikan dasar yang lebih kuat untuk memelihara dan memperbaiki keamanan yang telah dicapai ini.229
Kunjungan Perdana Menteri Juanda ke Aceh dimanfaatkan dengan baik oleh Gubenur Ali Hasjmy untuk mempertemukan tokoh pemimpin Darul Islam seperti Hasan Ali dan Hasan Saleh dengan Perdana Menteri Juanda. Pertemuan itu terjadi di kediaman KDMA (Komando Daerah Militer Atjeh) Sjamuan Gaharu. Inti pembicaraan di antara kedua belah pihak yaitu pihak Darul Islam menuntut status Negara Bagian Aceh dari Negara Republik Indonesia, akan tetapi dengan sikap tegas Perdana Menteri Juanda tidak dapat menerima tuntutan tersebut, karena
bertentangan
dengan
sumpah
jabatannya
yaitu
membela
dan
mempertahankan dasar negara dan konstitusi. Perdana Menteri Juanda menegaskan kembali pendirian pemerintah yang bersedia memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah Aceh asalkan bukan menjadikan negara bagian. 228 229
Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 10-11. Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda. h. 18-24.
114
Pertemuan antara tokoh pemimpin Darul Islam dan PM Juanda lebih bersifat informal dan tidak menghasilkan apapun.230 Ketegasan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda tentang penyelesaian masalah Aceh tidak keluar dari bingkai Negara Kesatuan negara. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, sebagaimana yang ditulis oleh Hasan Saleh, yaitu “…Kalau Saudarasaudara benar ingin menempuh jalan damai, maka tuntutlah sesuatu yang lebih luas dan lebih tinggi dari otonomi biasa, tetapi bukan negara bagian. Tuntutlah yang lain, yang berada dalam batas perundang- undangan yang ada. Insyaallah saya bantu…”231 Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Juanda tidak terbatas pada daerah Kutaradja saja, Perdana Menteri Djuanda juga melakukan kunjungan ke beberapa daerah di Atjeh seperti Bireuen, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Utara, dan daerah Langsa untuk meninjau beberapa objek pembangunan di Provinsi Aceh. Perlu diketahui pada tiap-tiap daerah yang dikunjungi rombongan Perdana Menteri Djuanda, senantiasa mendapat sambutan yang meriah dari penduduk. Kedatangan Perdana Menteri Juanda beserta rombongan ke Aceh membawa dampak yang baik dan berkah untuk penduduk Aceh. Hal ini terbukti pada tanggal 21 Oktober 1957 Menteri Agama K.H. Ilyas menyediakan bantuan senilai Rp. 500.000 sebagai tanda permulaan pekerjaan pembangunan dan renovasi Masjid Raya Kutaraja. Pemberian bantuan tersebut didasari oleh Keputusan No. 44 tentang pernyataan Masjid Raya Kutaraja sebagai milik negara, sehingga secara hukum wajib bagi pemerintah untuk merawat dan membangun.232
230
Isi pembicaran antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Hasan Aly) dengan Perdana Menteri Juanda, lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 329-330. 231 Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 330. 232 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 388.
115
Di samping itu Menteri Agama K.H. Ilyas mengeluarkan penetapan No 58 Tahun 1957 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syariah di Aceh. Melalui penetapan ini, pemerintah mengesahkan 16 Pengadilan Agama di kotakota besar di Aceh dan sebuah Pengadilan Tinggi Agama di Kutaraja.233 B. Perpecahan Darul Islam Aceh Proses usaha dan upaya yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dalam mewujudkan perdamaian dan pembangunan daerah Aceh, mendapat gangguan dari gerakan separatis PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang terbentuk pada awal tahun 1958 di bawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara dan juga berdirinya gerakan OSM (Operasi Sabang Marauke), kedua gerakan ini berlawanan tehadap pemerintah pusat. Keterlibatan beberapa putera Aceh dalam gerakan separatis PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan OSM (Operasi Sabang Marauke) seperti Amelz, Mayor Sayid Usman, Mayor Nukum Sasani, Kapten Hasanuddin dan Letnan Sayid Ali Alaydrus cukup mengkhawatirkan Gubernur Ali Hasjmy dalam melakukan usaha keamanan di Aceh.234 Melihat kondisi yang terjadi pada saat itu, penguasa perang Aceh Syamaun Gaharu langsung mengadakan rapat Penguasa Perang Daerah (Paperda) di Kutaraja. Rapat yang dihadiri oleh pejabat pemerintah daerah dan tokoh masyarakat itu mengambil suatu kesepakatan untuk melanjutkan perundingan dengan pemimpin gerombolan Darul Islam. Sesuai dengan kesepakatan rapat Paperda, pada Maret 1958, Gubernur Ali Hasjmy secara pribadi mengadakan
233
Dua Setengah Tahun Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Pidato Sambutan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh, 17 Agustus 1959, h. 41 234 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 394. Lihat juga Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 334.
116
pertemuan dengan salah satu pemimpin Darul Islam Hasan Ali di desa Lamteh. Pertemuan yang berlangsung cukup lama itu membicarakan mengenai tindak lanjut perdamaian yang diusulkan pemerintah daerah, akan tetapi pendirian Hasan Ali masih tetap sama yaitu pihak Darul Islam menginginkan Aceh dijadikan negara bagian yang berdasarkan Islam.235 Permintaan Hasan Ali sulit untuk diterima oleh Gubernur Ali Hasjmy, sehingga pertemuan di antara kedua belah pihak tidak mendapat hasil yang baik. Kegagalan mencapai kata sepakat dalam pertemuan di Desa Lamteh membuat khawatir Gubernur Ali Hasjmy, hal ini juga dikarenakan perkembangan gerakan separatis di luar Aceh (PRRI dan OSM) memberi pengaruh yang tidak baik kepada gerakan Darul Islam, di samping itu gerakan PRRI dan OSM berhasil merekrut beberapa anggota militer seperti T. Manyak (Komandan Batalyon 136 Kutaraja), Muhammad Isja (Kepala Polisi Kutaraja) dan juga dari kalangan masyarakat sipil di antaranya Tgk. M. Abduhsyam (Ketua Dewan Perwakilan Peralihan Daerah Aceh),236 A. Latif Rusdi (Wakil Ketua Masyumi Aceh Besar), A.R Hajad dan Usman Ali. Kekhawatiran Gubernur Ali Hasjmy semakin bertambah disaat mengetahui beberapa tokoh PRRI pada awal tahun 1958 telah berkunjung ke tempat Teungku Muhammad Daud Beureueh yang berada di Cangek yang terletak antara Pante Raja dengan Trieng Gadeng untuk membicarakan aliansi gerakan mereka. Pertemuan yang dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan pihak Darul Islam Aceh di Desa Lamteh kemudian dilaporkan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Aceh pada tanggal 17 Maret 1958. 235 236
A. Hasjmy, Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan, h. 506. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 395.
117
Dalam sidang itu Gubernur Ali Hasjmy menuturkan bahwa dalam menjalankan tugasnya menyelesaikan masalah keamanan di Aceh kadang-kadang maju kadangkadang mundur, yang membuat sulit dalam mencapai kesepakatan dikarenakan Darul Islam telah memproklamirkan keluar dari Republik Indonesia dan bergabung dengan NII (Negara Islam Indonesia) Kartosuwirjo dan juga Darul Islam telah membentuk NBA (Nagara Bagian Aceh) sejak September 1955. Sebaliknya Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu sebagai aparatur pemerintah berpegang kepada negara kesatuan yang berdasarkan pancasila.237 Konspirasi unsur sipil/militer dengan gerombolan Darul Islam diketahui oleh Komando Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu. Dengan langkah yang cepat Syamaun Gaharu melakukan penangkapan secara besar-besaran terhadap mereka yang terlibat PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) termasuk Mayor T. Manyak238 beserta beberapa pemimpin sipil yang diduga kuat ikut berkomplotan dengan PRRI termasuk Teungku Abduh Sjam, dan A. Latif Rusdi.239 Gerakan separatis PRRI dan OSM dapat diselesaikan oleh keamanan negara melalui Operasi Tegas, Operasi 17 Agustus dan Operasi Bukit Barisan.240 Dalam hal ini terjadi pengunduran pasukan OSM dan PRRI dari Medan ke perbatasan Aceh-Sumatera Timur.241 237
Notulen Sidang Peperda I Aceh Dengan Tokoh Masyarakat di Kutaraja, tanggal 16
Maret 1958. 238
Mayor Teuku Manyak seorang Komandan Batalion dan Komandan Sektor Aceh Besar. Keterlibatan Teuku Manyak dalam PRRI tidak diketahui oleh KDMA(Komando Daerah Militer Aceh) Syamaun Gaharu sampai kemudian Sjamaun Gaharu mulai merasakan kecurigaan yang dipekuat oleh pengumaman pengumuman pengambilalihan KDMA (Komando Daerah Militer Aceh) oleh Teuku Manyak. Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 285. 239 Abduh Sjam merupakan ketua DPRD Peralihan yang terpilih pada 11 Februari 1957, ia ikut terlibat dalam gerakan separatis PRRI, dan A. Latif Rusdi merupakan Wakil Ketua Masyumi Cabang Aceh. 240 Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 347. 241 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 285.
118
Beberapa bulan setelah penangkapan Mayor T. Manyak, dalam sebuah Konferensi di Panca pada tanggal 14 Agustus 1958, Hasan Saleh (Menteri Urusan Peperangan Darul Islam) dipersalahkan atas penangkapan T. Manyak, padahal jelas Tgk. M. Daud Beureueh sendiri yang menyatakan bertanggung jawab apabila Mayor T. Manyak ditangkap oleh Letnan Kolonel Syamaun Gaharu.242 Situasi demikian kelihatannya menimbulkan pengaruh terhadap pendirian sebagian pemimpin gerombolan yang bersikap realistis (sudah bosan dengan perang) dan juga rasa ketidak puasaan di kalangan elit gerombolan terhadap gaya kepemimpinan Wali Negaranya yang dalam pandangan mereka yang agak otoriter. Rasa tidak puas sebagian pemimpin-pemimpin Darul Islam memuncak pada pertengahan tahun 1958, sumber pemicunya adalah penyalahgunaan uang oleh Hasan Saleh (Menteri Urusan Peperangan Darul Islam) dan Ibrahim Saleh (Saudara Hasan Saleh),243 dan persoalan Hasan Ali, Hasan Saleh dan A. Gani Usman telah mengadakan perundingan sepihak dengan P.M. Juanda, Syamun Gaharu, dan Gubernur Ali Hasjmy. Tuduhan itu nyaris menimbulkan perpecahan dalam tubuh pemimpin Darul Islam. Meskipun terjadi perselisihan di antara Teungku Muhammad Daud Beureueh dengan beberapa pemimpin Darul Islam Aceh, mereka tetap sepakat untuk meneruskan perjuangan dan janji akan mengangkat senjata kembali pada permulaan tahun 1959 sepulang Menteri Hasan Ali dari luar negeri. Akan tetapi di kemudian hari apa yang mereka sepakati tidak dipegang sungguh-sungguh
242
Mengenai pembicaraan Mayor Teuku Manyak dengan Wali Negera Teungku Muhammad Daud Beureueh lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak. h. 319-324. 243 Mengenai penyalahgunaan uang oleh Hasan Saleh lihat M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 400.
119
terutama di kalangan kelompok Hasan Saleh dan A. Gani Usman, mereka justru menghidupkan kembali perundingan dengan pemerintah daerah Aceh yang telah lama terhenti sejak 14 Maret 1958. Setelah Konferensi di Panca, pada bulan Oktober 1958 terjadi pertemuan antara pihak Darul Islam (Hasan Saleh dan Abdul Gani Usman) dengan pemerintah daerah yang diwakili oleh Gubernur Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu. Pertemuan kedua belah itu berlangsung dalam suasana yang cukup baku, akan tetapi lambat laun pertemuan antara ketiga rekan seperjuangan itu berlangsung secara akrab kembali dan mencapai kesepakatan bahwa mereka akan memulai kembali pembicaraan damai yang sempat terhenti karena terjadinya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Syamaun Gaharu sendiri meminta Hasan Saleh dan A. Gani Usman untuk menyusun konsep perdamaian.244 Pertemuan yang berlangusng pada bulan Oktober 1958 antara Hasan Saleh, Abdul Gani Usman dengan perwakilan pemerintah daerah memperlihatkan titik terang ke arah perdamaian. Di samping itu, Penguasa Perang Aceh Syamaun Gaharu melakukan hubungan dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution, ia juga mengirim proposal yang sangat rahasia kepada A.H Nasution (KSAD) yang bertanggal 18 Oktober, 21 dan 28 November 1958. Secara garis besar isi proposal tersebut berisikan usulan tentang penyelesaian pemulihan keamanan Provinsi Aceh dan juga permintaan atas status Daerah Istimewa Aceh dalam bidang keagamaan, ekonomi, pembangunan, pendidikan, pengajaran,
244
Mengenai suasana pertemuan yang berlangsung di rumah Syamaun Gaharu lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 338-339.
120
kebudayaan dan usulan rehabilitasi dan penampungan pemberontak ke dalam tubuh Republik Indonesia.245 Dalam usaha memperjelas proses perdamaian tersebut Syamaun Gaharu berhasil mempertemukan Kepala Staf Angkatan Darat A. H. Nasution dengan pimpinan Darul Islam Hasan Saleh dan A. Gani Usman. Dalam pertemuan yang berlangsung di rumah Panglima KDMA di Neusu Kutaraja tanggal 22 Desember 1958, Hasan Saleh dan A. Gani Usman telah menjamin tidak akan ada perang lagi sebagaimana ucapannya “…Bismillahirrahmanirrahim, dengan ini saya atas nama seluruh rakyat Aceh, mengikrarkan di depan Pak Nas bahwa saya menjamin keamanan Aceh dan akan menggagalkan usaha untuk berperang kembali pada tanggal satu bulan satu tahun sembilan belas lima sembilan…”.246 Sebagai konsekuensinya KSAD A. H. Naustion akan berusaha mematuhi tuntutan yang diajukan oleh Hasan Saleh. Pertemuan pemimpin Darul Islam (Hasan Saleh dan A. Gani Usman) dengan KSAD A.H. Nasution telah menyebabkan Teungku Muhammad Daud Beureueh
marah,
sebab
pertemuan
dilakukan
tanpa
sepengetahuannya.
Amarahnya tercermin dalam sebutan yang ia berikan kepada menteri urusan perangnya, "Hasan Salah", yang berarti Hasan Saleh yang telah berbuat kesalahan.247 Kemelut politik yang terjadi dalam kalangan pemberontak ini mencapai puncaknya pada tanggal 15 Maret 1959, pukul 08.00 pagi yang bertempat di desa Meutareum, Kolonel TII (Tentara Islam Indonesia) Hasan Saleh selaku Menteri urusan peperangan NBA (Negara Bagian Aceh)/ NII (Negara 245
M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 404. Mengenai pertemuan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution dengan pemimpin Darul Islam (Hasan Saleh dan A. Gani Usman) lihat selengkapnya, Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 341-346. 247 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 292. 246
121
Islam Indonesia) didampingi wakil Perdana Menteri A. Gani Usman secara sepihak dihadapan kurang lebih 1000 pengikutnya menyatakan mengambil alih pimpinan NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer dari tangan Wali Negara Teungku Muhammad Daud Beureueh.248 Tanggal 15 Maret 1959 kelompok Hasan Saleh, Amir Husein Al Mujahid, dan A. Gani Usman, memisahkan diri dari Tgk. M. Daud Beureueh dan membentuk Dewan Revolusi. Sementara Tgk. M. Daud Beureueh, Hasan Ali dan pengikut-pengikutnya yang setia tetap melanjutkan perjuangan. Tgk. M. Daud Beureueh juga mengeluarkan pernyataan bahwa Dewan Revolusi tidak sah. Bahkan Tgk. M. Daud Beureueh menyatakan Pemerintah RI (KDMA) ikut berperang dalam mendorong terbentuknya Dewan Revolusi tersebut.249 C. Penyelesain Kasus Konflik Darul Islam Melalui Missi Hardi Pemerintah daerah ikut berperan dalam mendorong lahirnya Dewan Revolusi, oleh karena itu mereka menyambut dengan antusias tindakan Hasan Saleh dan A. Gani Usman. Esok hari KDMA Syamaun Gaharu mengeluarkan sebuah seruan yang berisikan pujian terhadap Dewan Revolusi yang menginginkan penyelesaian keamanan di Daerah Aceh sesuai dengan prinsip Ikrar Lamteh dan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana. Dalam seruan itu juga Syamaun Gaharu mengecam pendirian Tgk. M. Daud Beureueh yang tetap menghendaki penyelesaian masalah dengan caranya sendiri.250
248
Mengenai proses pengambilan kekuasan Darul Islam, selengakpanya lihat Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 356. Lihat juga, “Hasan Saleh Cs Ambil Alih Pimp DI-TII Dari Tgk. Mohd. Daud Beureueh,” Peristiwa, 22 Maret 1959, h. 1. Lihat juga, “Dgn Diambil Alih Pimpinan DI TII Oleh Hasan Saleh Cs Apakah Atjeh Bisa Aman Atau Tidak,” Peristiwa, 2 April 1959, h. 1. 249 M. Nur Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureueh Peranan Dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta: Gunung Angung, 1982), h. 166. 250 Lebih jelas lihat seruan yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Syamaun Gaharu tanggal 16 Maret 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II
122
Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar Komunike No. 2 dari Dewan Revolusi yang menyatakan Dewan Revolusi NBA/NII akan meneruskan permusyawaratan dengan Pemerintah Republik Indonesia serta akan menjadikan musyawarah ini sebagai prinsip bukan taktik.251 Sejalan dengan pernyataan Komunike No. 2, Dewan Revolusi juga mengirim surat kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan perundingan resmi. Surat itu bertanggal 21 April 1959. Korespondensi juga dilakukan oleh Gubernur Ali Hasjmy dengan mengirim surat kepada Perdana Menteri Juanda agar pemerintah Pusat mengirim utusan untuk berunding dengan Dewan Revolusi.252 Awal Mei 1959 Perdana Menteri Djuanda mengudang Ali Hasjmy dan Syamaun Gaharu dalam suatu sidang istimewa kabinet guna menyampaikan pendapat mereka. Kedua tokoh Pemerintah Daerah (Ali Hasjmy-Syamaun Gaharu) juga menegaskan bahwa kasus konflik Darul Islam akan dapat diselesaikan atas dasar Ikrar Lamteh. Kemudian kabinet setuju untuk mengadakan perundingan resmi dengan Dewan Revolusi. Dalam hal perundingan, kabinet merencanakan untuk mengirim suatu missi pemerintah di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi (dari PNI) ke Aceh.253 Missi ini lebih dikenal dengan sebutan Missi Hardi.
251
Maksud dari “prinsip bukan taktik” adalah bermusyawarah memperbincangkan semua soal melalui diplomasi, dan bukan diartikan dengan menyerah. Dan dengan musyawarah bukan maksud untuk mencari menang atau kalah melainkan hasil hasil muswarah kelak sebagai dari citacita kedua belah pihak. Jadi inilah yang dinamakan perdamaian. Adanya persatuan dan kembali bersatu sebagai hasil musyawarah kelak, bukanlah sama sekali penyerahan atau menyerah, melainkan kewajiban kita untuk damai dan bersatu selanjutnya untuk melanjutkan revolusi 17 Agustus tahun 1945, yang sudah pernah menjadi kewajiban suci kita umat Islam di daerah Aceh masa yang lalu. Lihat Pernyataan Wali Negara NBA-NII Aceh Besar, 26 Maret 1959, Komunike Dewan Revolusi No,2. 252 Lebih jelas lihat Surat Ali Hasjmy kepada Perdana Menteri RI Juanda dalam Dari Darul Harb ke Darussalam 253 Dalam menentukan siapa yang akan memimpin missi pemerintah ke Aceh A. Hasjmy menyarankan kepada Perdana Menteri Djuanda agar yang memimpin missi itu sebaiknnya Wakil
123
Perdana Menteri Djuanda juga meminta Gubernur Ali Hasjmy dan KDMA Syamaun Gaharu agar bertemu dengan Presiden untuk meminta persetujuannya. Pada hari Selasa awal bulan Mei 1959, Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh Syamaun Gaharu menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Di dalam Istana Merdeka Presiden di dampingi oleh PM Djuanda, Kepada Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution, Kepala Staf Angkatan Laut Subijakto dan Kepala Staf Angkatan Udara Kolo Udara Surjadarma. Kemudian Gubernur Ali Hasjmy dan Komandan Daerah Militer Aceh (KDMA), berpidato memberi penjelasan yang mana penjelasan kedua pejabat tersebut diterima baik oleh Perdana Menteri Djuanda, dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Nasution. Kepala Staf Angkatan Laut Soebijakto menolak, dengan alasan bahwa Angkatan Laut cukup kuat untuk menghancurkan pemberontakan Darul Islam di Aceh. Kepala Staf Angkatan Udara bersikap moderat dengan menyatakan dalam menyelesaikan peristiwa Aceh perlu dicarikan jalan yang paling baik. Akhirnya Perdana Menteri Juanda member tanggapan panjang lebar dengan bahasa yang halus mengatakan “…Kalau rakyat Aceh kini ibarat seorang anak nakal, bapaknya tidak harus memukul anak itu. Selama ada jalan bagi anak nakal menjadi baik kembali haruslah kita pergunakan jalan itu. Kelihatannya jalan itu ada dan alangkah tidak bijaksananya seorang ayah tidak pandai menggunakan jalan itu.”254
Akhirnya Presiden Sukarno memutuskan, bahwa keamanan Aceh akan diselesaikan dengan cara damai, serta mendukung Mr. Hardi untuk menjalankan Missi perdamaian ke Aceh.255
Perdana Menteri I Mr. Hardi. Selengkapnya lihat A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun, h. 515. 254 A. Hasjmy, dkk., 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: MUI, 1995), h. 143. 255 T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 16. M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, h. 415.
124
Pada tanggal 23 Mei 1959 Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi beserta rombongan tiba di Kutaraja. Kedatangan Wakil Perdana Menteri (WKPM) Mr. Hardi disambut dengan baik Gubernur Ali Hasjmy, Letnan Komandan Teuku Hamzah, instansi-instansi sipil dan militer serta wartawan-wartawan di ibukota. Dalam rombongan delegasi pemerintah hadir Mr. Soegianto (Pembantu Wakil Perdana Menteri I), Achmad (Biro Keamanan Pusat), Kolonel Soeprajogi (Menteri Negara Urusan Stabilisasi Ekonomi), Major Kaswati (Pembantu MBAD), Jenderal Mayor Gatot Subroto (Wakil KSAD), dan Wilujo (MBAD Pusat Overste).256 Pertemuan antara Missi Hardi dengan Dewan Revolusi berlangsung di Aula Penguasa Perang Daerah (Peperda) Aceh pada tanggal 25 sampai dengan tanggal 26 Mei 1959. Pada sidang pertama yang berlangsung pada tanggal 25 Mei 1959 ada tiga pembicara, yaitu (1) kata sambutan oleh Gubernur/Kepala Daerah Aceh, (2) pidato sambutan pertama Abdul Gani Usman, selaku Ketua Dewan Revolusi, dan (3) Uraian mengenai kebijaksanaan Pemerintah Pusat oleh Ketua Missi Pemerintah Pusat. Adapun pokok pokok pikiran yang dituangkan dalam pidato pembukaan Gubernur Ali Hasjmy adalah sebagai berikut: 1. Kedatangan Missi Wakil Perdana Menteri I kedaerah Aceh ialah sebagai tindak lanjut dari Ikrar Lamteh yang terjadi pada tanggal 7 April 1957. 2. Kedatangan Missi Hardi kedaerah Aceh ialah untuk kepentingan daerah dan rakyat Aceh. 3. Bahwa bangsa Indonesia pada umumnya, dan satu setengah juta rakyat Aceh khususnya, mengarahkan mata dan telinganya ke Banda Aceh, 256
“Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa, 27 Mei 1959, h. 1.
125
dengan harapan agar musyawarah menghasilkan sukses, hingga membuka kemungkinan datangnya zaman yang membawah kerukunan, perdamaian, ketenteraman, dan kemajuan bagirakyat Aceh.257 Sesudah Gubernur Ali Hasjmy yang bertindak sebagai tuan rumah secara resmi membuka perundingan, maka pada kesempatan yang sama ketua Dewan Revolusi, Abdul Gani Usman menyampaikan pidato yang bertajuk pada prinsipprinsip
Naskah
Perdamaian
Darussalam
yang membentangkan
cita-cita
perjuangan Darul Islam Aceh dan usul-usulnya untuk dibahas dalam musyawarah. Kata sambutan terakhir disampaikan oleh Ketua Missi Pemerintahan Pusat, Mr. Hardi Ia menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting, dalam pidatonya beliau menampilkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan dalam rangka menyelesaikan pemberontkan Darul Islam dengan cara damai.258 Acara pembukaan yang berlangsung di antara kedua belah pihak berjalan dengan baik dan lancar, namun ketika mulai memasuki pembahasan inti, keadaan berubah menjadi alot dan tegang, hal ini disebabkan tuntutan-tuntutan dari pihak Dewan Revolusi yang mengarah kepada Naskah Perdamaian Darussalam259 yang cukup luas dan mendasar dan tidak mungkin akan terselesaikan dalam waktu yang singkat oleh Missi Hardi. Di samping itu para pemimpin Dewan Revolusi mengusulkan agar Aceh mempunyai semua kekuasaan, kecuali dalam urusan luar 257
Mengenai isi pidato Gubernur Ali Hasjmy, Ayah Gani Usman, dan Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23. Lihat juga Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, (Jakarta: Cita PancaSerangkai, 1993) h. 163. 258 Hardi, Daerah Istimewa Aceh, h. 12. Lihat juga Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 5-23. 259 Naskah Prinsip-Prinsip Perdamian Darussalam dibuat pada 10 Mei 1959 dan ditandatangani oleh Abdul Gani Usman dan A.G. Mutyara. Naskah itu terdiri dari 12 butir dan tebalnya 20 halaman. Naskah Perdamaian Darussalan berisi tentang prinsip-prinsip dan tuntutan yang diajukan kepada Wakil Perdana Menteri I Mr Hardi dalam perundingan yang terjadi di Aceh. Lihat selengkapnya Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 35-51.
126
negeri, pertahanan, dan keuangan. Sebagai tambahan, mereka mengaitkan otonomi yang demikian luas itu dengan prinsip kebebasan beragama yang menegaskan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Mereka juga menuntut, amnesti dan abolusi yang ditawarkan Pemerintah Pusat kepada Darul Islam harus dilengkapi dengan rehabilitasi kepada anak buah mereka.260 Kerumitan yang terjadi dalam perundingan itu hampir mengalami kegagalan. Dalam hal ini Wakil Perdana Menteri Hardi menolak tuntutan itu, karena tidak mungkin menerima tuntutan Dewan Revolusi yang menginginkan Aceh berstatus Daerah Istimewa yang bersifat federal. Mr. Hardi mengatakan kepada Dewan Revolusi bahwa pemerintah akan memberikan status otonomi khusus dalam bidang keagamaan, pendidikan, adat dan hukum tapi bukan status Daerah Istimewa yang bersifat federal. Namun, Dewan Revolusi tidak bersedia melepaskan tuntutan mereka. Kerumitan yang terjadi dalam perundingan itu hampir mengalami kegagalan. Suasana yang tegang dalam perundingan tersebut membuat Ali Hasjmy selaku pimpinan Musyawarah mengistirahatkan majelis dan memberi kesempatan kepada Delegasi Dewan Revolusi untuk memikirkan kembali tuntutan meraka. Pada waktu istirahat para anggota Dewan Revolusi mengadakan pembicaraan khusus di ruangan lain dengan Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi. Adapun isi pembicaraan itu sebagaimana yang dikisahkan oleh Hasan Saleh dalam bukunya Mengapa Aceh Bergejolak, Mr. Hardi menanyakan: “Apa yang menyebabkan kami bersikeras menuntut daerah istimewa untuk Aceh. Kemudian saya menjawab Pak Juanda sebagai PM, maupun Pak Nasution sebagai KSAD, membenarkan kami untuk menuntut sesuatu yang tidak bertentangan dengan konstitusi RI. 260
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 310. Lihat “PrinsipPrinsip Naskah Perdamaian Darussalam” dalam Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja, h. 5.
127
Kedua, beberapa hari yang lalu kami menerima tembusan surat KSAD kepada PM Juanda, yang isinya meminta kabinet untuk mempertimbangkan status daerah istimewa untuk Aceh. Yang ketiga, kata saya selanjutnya, status daerah istimewa ini juga dikenal dalam negara RI, yaitu untuk Daerah Yogyakarta. Keempat, kami yakin bahwa dengan tiga keistimewaan yang kami tuntut, Aceh akan dapat mengejar ketinggalannya selama ini, akibat perang yang terus-menerus, baik selama melawan Belanda dulu, maupun karena pemberontakan sekarang ini.261
Pada malam hari tanggal 25 Mei 1959 permusyawaratan dilanjutkan terus, tanpa ada tanda-tanda akan berhasil, sehingga sidang perundingan antara kedua belah pihak ditutup dengan tidak mencapai kata apapun dan musyawarah akan dilanjutkan besok pagi jam 11.30. Kebuntuan yang terjadi di saat perundingan memberikan kesempatan kepada para penguasa Aceh atau lokal untuk memainkan peranan yang lebih penting dalam perundingan tersebut. Sejalan dengan itu, Mr. Hardi merasa yakin bahwa perantara penguasa lokal diperlukan dalam melunakkan sikap Dewan Revolusi. Pada saat itulah Gubernur Ali Hasjmy sebagai Kepala Daerah Provinsi Aceh ikut campur tangan dalam hal ini. Sepanjang malam Gubernur Ali Hasjmy dan Kepala Staf Kodam I Letkol T. Hamzah memanfaatkan pengaruh Bupati Aceh Besar Zaini Bakri untuk membujuk para pemimpin Dewan Revolusi. Ia mendesak mereka agar bersikap moderat dan menerima kompromi yang telah disetujui Perdana Menteri Hardi.262 Upaya dan usaha yang dilakukan Zaini Bakri akhirnya berhasil. Menjelang subuh tanggal 26 Mei Dewan Revolusi setuju untuk berkompromi dengan Missi Pemerintah.263 Perundingan terakhir antara Delegasi Pemerintah Pusat dengan Dewan Revolusi pada 26 Mei 1959 mencapai beberapa kesepakatan, di antaranya, pertama penyatuan diri Dewan Revolusi ke dalam Republik Indonesia untuk 261
Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, h. 361. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 312. Lihat juga A. Hasjmy, Semangat Merdeka 70 Tahun Menempuh Pergolakan, h. 521. 263 T. Alibasyah Talsya, 10 Tahun Daerah Istimewa Aceh, h. 17. 262
128
melanjutkan Revolusi Nasional tahun 1945. Kedua, berkompromi dengan pengertian bahwa kedua belah pihak harus mencari kemungkinan untuk selanjutnya membicarakan masalah-masalah yang belum diselesaikan. Ketiga meleburkan organisasi NBA (Negara Bagian Aceh) sipil dan militer ke dalam tubuh Pemerintah Republik Indonesia.264 Setelah itu Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi mengeluarkaan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 tanggal 26 Mei tentang perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta pendidikan.265 Hasil perundingan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kemenangan bagi pihak Aceh, walaupun pemerintah pusat tidak mengabulkan semua tuntutan Dewan Revolusi. Tetapi yang lebih penting bagi para pemimpin Dewan Revolusi adalah bahwa hasil perundingan itu sangat tidak mempermalukan mereka, sebab ini merupakan prestasi yang harus dihargai oleh rakyat. Meskipun misi pemerintah pusat menolak konsep otonomi luas mereka, pada kenyataannya mereka telah memperoleh sebagian besar dari apa yang mereka tuntut, baik secara tertutup maupun terbuka, termasuk pelaksanaan syariat Islam di Aceh.266 Keesokan harinya Gubernur Ali Hasjmy dan Komando Daerah Militer Aceh Teuku Hamzah mengeluarkan pernyataan bersama yang mengandung 11 butir kronologis perundingan dan keputusan yang diambil, yang kemudian
264
Lihat Surat Pernyataan Dewan Revolusi, Gerakan Repolusioner Islam Atjeh bertanggal Aceh Darussalam, 26 Mei 1959 dalam Dari Darul Harb ke Darussalam Jilid II. 265 Mengenai surat keptusan Perdana Menteri Republik Indonesia tentang status Daerah Istimewa Aceh lihat Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. h, 67. 266 Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik, h. 313.
129
disebarluaskan kepada masyarakat.267 Untuk merealisasikan keputusan itu Gubernur Ali Hasjmy melakukan pidato melalui radio yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya agar semua gerombolan turun gunung untuk ikut gabung dalam merealisasikan keputusan tersebut. Pada tanggal 30 Mei Gubernur Ali Hasjmy berpidato dengan judul Daerah Istimewa Aceh dengan Otonomi Seluas-Luasnya, beliau menyerukan agar jangan ada yang coba-coba berdiri di atas dua perahu, jangan terpengaruh dengan bujukan orang-orang yang bersuka ria dan hidup mewah di atas penderitaan rakyat, waspada terhadap hasut fitnah yang bertujuan menimbulkan pertumpahan darah, dan bergabung dengan pemerintah untuk mengisi momentum sejarah ini.268 Abdul Gani Usman sebagai Ketua Dewan Revolusi merasa perlu untuk memberitahukan kepada masyarakat terutama para gerombolan tentang apa yang telah Dewan Revolusi lakukan. Pidato radio pada tanggal 30 Mei diberi judul Menempuh Zaman Baru. Dalam pidato itu Abdul Gani Usman menguraikan kronologis perundingan dengan Pemerintah Pusat. Ia mengatakan bahwa apa yang dihasilkan itu merupakan fajar harapan yang harus ditindaklanjuti demi kejayaan Aceh pada masa-masa yang akan datang. Abdul Gani Usman juga menyadarkan kepada rekan-rekannya betapa kehancuran yang telah dialami oleh rakyat Aceh sejak pemberontakan meletus. Karena itu, menurutnya kita perlu menekankan perasaan, menenangkan perhitungan dan meletakkan suatu dasar yang baik lagi kuat guna kepentingan masyarakat.269
267
Isi lengkap pernyataan Gubernur Ali Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah lihat “Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar Undang-Undang I/57 Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959, h. 1-6. 268 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 418. 269 M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan, h. 419.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian melalui literature-literatur yang ada, yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yakni mengenai Kebijakan Gubernur Ali Hasjmy Terhadap Darul Islam Aceh sejak tahun 1957-1959, memetakan kronologi sejarah terbentuknya Darul Islam Aceh, serta menemukan latar belakang dan faktor penyebab terjadinya konflik di Aceh, maka dapat disimpulkan bahwa kemunculan konflik ini dapat dianalisis bahwa sebenarnya terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara pemerintah pusat dan daerah Konflik ini merupakan ketidakadilan yang dirasakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang yang dirasa kurang memperhatikan kesejahteraan dan keinginan rakyat Aceh, padahal yang kita ketahui pada awal kemerdekaan Indonesia, Aceh banyak memberikan dukungan moril dan ekonomi. Rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh, sepakat mengumpulkan dana demi perjuangan dan berperan aktif untuk tetap menjaga keutuhan tanah air. Melihat besarnya sumbangan rakyat Aceh, Presiden Soekarno menjuluki Aceh sebagai daerah modal dan menjanjikan diterapkannya syariat Islam di Aceh. Ternyata di kemudian hari Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang telah dijanjikan, bahkan sebaliknya Aceh kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatra Utara dan Daud Beureueh disingkirkan dari Pemerintahan. Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan di tahun 1953.
130
131
Konflik yang terjadi antara Pemerintah Pusat dengan Darul Islam memakan waktu yang relatif lama, sehingga dalam menangani pergolakan di Aceh, pemerintah menetapkan pembentukan kembali Provinsi Aceh dan memilih Ali Hasjmy sebagai gubernurnya. Pengembalian status provinsi dan komando militer menghidupkan lagi harapan rakyat Aceh, dan membuat para pemimpin baru dipandang sebagai pahlawan sejati. Dari satu segi, penerimaan rakyat terhadap kepemimpinan Hasjmy serta pendekatannya dalam penyelesaian pemberontakan secara damai. Sejalan dengan itu pemberian status otonomi saja belum mempunyai dampak yang berarti untuk menghentikan pergolakan DI/TII. Oleh karena itu melalui Gubernur Ali Hasjmy, melakukan pendekatan terhadap DI/TII agar mau berdamai dengan Republik Indonesia. Akhirnya dengan pendekatan yang dilakukan Gubernur Ali Hasjmy, kelompok DI/TII yang berhaluan moderat atau yang dikenal dengan „Dewan Revolusi‟ setuju untuk berdamai dengan emerintah pusat dengan ketentuan memberlakukan syariat Islam di Aceh sesuai dengan keputusan Perdana Menteri No. I/Missi/1959 B. Saran 1. Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam menggagas perdamaian di Aceh. 2. Kajian ini ditunjukkan kepada para pemimpin, tokoh masyarakat, dan orang-orang berpengaruh lainnya, dengan melihat figur Ali Hasjmy diharapkan bisa lebih menambah rasa antusias, dan memotivasi diri dalam hal pemimpin
132
sebuah daerah. Serta diharapkan menjadi sosok yang berkharismatik dan tenang dalam memimpin seperti yang ditunjukkan oleh Gubernur Ali Hasjmy. 3. Penelitian ini hanya sebuah karya sederhana dan jauh dari kesempurnaan, bagi peneliti yang ingin meneruskan penelitian ini disarankan melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait yang masih hidup.
1
Daftar Pustaka Buku Amelia, Pidia, Gubernur Pertama dan Lahirnya Propinsi Sumatera Utara Perjuangan Mr. SM Amin Mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara dan Aceh 1945-1949 Medan: Unimed Press, 2013. Amin, S.M., Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau, Jakarta: Pradyana Paramita, 1984. …….. Sekitar Peristiwa Berdarah di Aceh, Jakarta: Soeroengan, 1957. Amin, Sutan Muhammad, Mr. S.M Amin Krueng Raba Nasution Perjalanan Hidupku Selama 10 Windu, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Bahar, Saafroedin dan A.B. Tangdililing, Integrasi Nasional Teori, Masalah dan Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996. Basri, Hasan, “A.
Hasjmy
(1914-1998): Kajian Sosial-Intelektual
dan
Pemikirannya Tentang Politik Islam,” (Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000). …….. Teungku A. Hasjmy: Pengembang Tradisi Keilmuan dan Perekat UlamaUmara,” dalam Tim Penyusun IAIN ar-Raniry, Ensklopedi Pemikiran Ulama Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004. Boland, B.J., The Struggle of Islam In Modern Indonesia, The Hague-Martinus Nijhoff: Verhandelingen KITLV, 1971. Burton, John, Conflict; Resolution and Prevention, New York: The Macmillan Press Ltd, 1990. Chaniago, JR. PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Khasanah Kearsipan, Jakarta: Arsip Nasional, 1989.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. ……..Sejarah
Revolusi
Kemerdekaan
Daerah
Istimewa
Aceh,
Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Dijk, C. Van, Darul Islam, Sebuah Pemberontakan, (terj.), Jakarta: Grafiti Pers, 1993. Gelanggang, A.H., Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik Mr. S.M. Amin, Kutaraja: Pustaka Murni Hati, 1956. Ghazaly, H.A., Biografi Prof Tgk H. Ali Hasjmy, Jakarta: Penerbit Socialia, 1978. Hardi, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta: Cita Panca Serangkai, 1993. Hasjmy, A. dan Talsya, T. Alibasyah, Hari-Hari Pertama Revolusi 45 di Daerah Modal, Banda Aceh: Departemen P & K dan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 1976. …….. Al Manak Umum, Kutaradja: Atjeh Press Service, 1959. …….. 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: MUI Aceh, 1995. …….. Malam-Malam Sepi di Rumah Sakit MMC, Banda Aceh, Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1992. …….. Pengaruh Surat Al Alaq Dalam Kehidupan Ilmiyah A. Hasjmy, Perpustakaan dan Musem Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, 1991. …….. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. …….. Semangat Indonesia 70 Tahun Menempuh Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
3
…….. Ulama Aceh Mujahid Kemerdekaan dan Pembangun Tamadun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997. Ibrahimy, M. Nur El, Tgk. Daud Beureueh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: PT Gunung Agung, 1982. Insider, Atjeh Sepintas Lalu, Djakarta: FA Archapada. Ismail, Badruzzaman, ed., A. Hasjmy, Aset Sejarah Masa Kini dan Masa Depan: Delapan Puluh Tahun Melalui Jalan Raya Dunia, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Ismuha, Ulama Aceh Dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: LEKNAS-LIPI, 1976. Jakobi, Tgk. A.K., Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Kahin, Georg McTurnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2013. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995. Lawang, Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiolog, Jakarta: Universitas Terbuka, 1994. Leatherman, Jenie, dkk. Memutus Siklus Kekerasan Pencegahan Konflik dan Krisis Intranegara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004 Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta: Kencana, 2014. Memorandum Tentang Peristiwa Pemberontakan DI-TII Di Atjeh, T.tp.: Staf Umum I Tentara dan Ter I Bukit Barisan, 1956.
4
Muhammad Gade Ismail, dkk., Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1994. Piekaar, A. J., Aceh dan Peperangan Dengan Jepang, (terj.), Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1981. Ramadhan K.H. dan Hamid Jabbar, Syamaun Gaharu: Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Sumatera, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Remantan, Daud, “Pembaharuan Pemikiran Islam di Aceh (1914-1953).” Disertasi S3 Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Jakarta 1985. Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992. Sastroamidjojo, Ali, Keterangan dan Djawaban Pemerintah Tentang Daud Beureueh, Jakarta: Kementerian Penerangan RI, 1953. Sjamsuddin, Helius, Metotelogi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2012. Sjamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1990. Sufi, Rusdi, dkk., Sejarah Kotamadya Banda Aceh, Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 1997. Sulaiman, M. Isa, Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000. …….. Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
5
Suwondo, Bambang, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Depdikbud, 1978. Talsya, T. Alibasjah, Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh: Pustaka Putroe Tjanden, 1969. Tempo, Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan yang Berontak, Jakarta KPG (Kepustkaan Populer Gramedia, 2011). Tim Monograf Daerah Istimewa Aceh, Monograf Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1976. TWH, Muhammad, Gubernur Pertama dan DPR Sumatera Utara Pertama, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 2008. Usman, Abdullah Sani, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah Pemerintahan di Aceh, Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010. Surat Kabar “A Hasjmy Tokoh Besar Dalam Kenangan,” GAPENA, 20 Januari 1998. “A. Hasjmy Diangkat Menjadi Professor Ilmu Dakwah,” Harian Duta, 16 April 1976. “Ali Hasjmy Bapak Pendidikan Aceh,” Republika, 20 November 2011. “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950. “Atjeh Pertahankan Hak Propinsi, Belum Ada Ketegasan Dari Pusat,” Waspada, 30 Oktober 1950. “Atjeh Sudah Dapat Disebut Daerah Istimewa Atjeh Dengan Isi Dasar UndangUndang I/57 Tentang Otonomi Jang Luas,” Peristiwa, 6 Juni 1959.
6
“Di New York Didirikan, Rep Islam Indonesia,” Peristiwa, 7 September 1954. “Gub. Hasjmy Dengan Ikrar Lamtehnya,” Peristiwa, 22 Maret 1959. “Gubern. Hakim Berseru SPJ Orang Djangan Berdosa t‟hadap Negara,” Antara, 24 September 1953. “Gupernur Amin: Militaire Bijstand Harus Diminta Untuk Mengachiri Pemberontakan PUSA,” Sin Po, 10 Oktober 1953. “Hasan Tiro Diberi Waktu Sampai 22 Sept Untuk Pulang Ke Indonesia,” Antara, 17 September 1954. “Kedatangan Pemerintah Pusat Adalah Dengan Suatu Tugas Khusus,” Peristiwa, 27 Mei 1959 “Keterangan Pemerintah Tentang Atjeh: Tindakan Pertama-tama Memadamkan Pemberontakan,” Sin Po, 28 Oktober 1953. “Keterangan Pemerintah Tentang Peristiwa Atjeh,” Bintang Timur, 29 Okober 1953. “Kol. Simbolon Berterus Terang di Djakarta: Djangan Pakai Kekerasan Sendjata Sadja Terhadap Pemberontak dan Djuga Djangan Umumkan SOB,” Bintang Timur, 17 November 1953. “KSAD Bersikap Tegas: Pemberontakan Atjeh Harus Ditindas Setjara Militer,” Sin Po, 2 Oktober 1953. “Partai Islam Perti Anjurkan Anggotanya Bantu Alat-Alat Negara,” Antara, 2 Oktober 1953. “Pemerintah Buka Kedoknya Pembela-Pembela Kaum Pemberontak,” Sin Po, 3 November 1953.
7
“Peringatan 70 Tahun Prof. A. Hasjmy, Belajarlah Sekali pun di Sekolah Kafir,” Harian Umum, 30 Maret 1984. “Prof. A. Hasjmy, Sastrawan dan Pejuang Tiga Zaman,” Mimbar Umum, 8 April 1984. “Professor A. Hasjmy Menulis itu, Dakwah dan Jihat,” Kompas 20 Mei 1984. “Rakjat Atjeh Jg Terdjepit Melarikan Diri Kehutan-Hutan, Bintang Timur,“ 1 Oktober 1953. “Rentcana Atjeh Sudah Ditetapkan di Aceh,” Antara, 28 September 1953. “Seruan Komite Pembela/Penjunjung Pancasila RI untuk Aceh,” Bintang Timur, 7 Oktober 1953. “Tasyakkuran 70 Tahun Ulama dan Sastrawan A. Hasjmy,” Berita Buana, 30 Maret 1984. “Ulama Besar Tgk. H. Hasan Krueng Kale Kutuk Pemberontakan PUSA; La‟nat Tuhan Atas Mereka,” Sin Po, 7 Oktober. “Ulama-Ulama Atjeh Anjurkan Bantu Pemerintah, “Bintang Timur, 1 Oktober 1953. Dokumen Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik), Surat-Surat Mengenai Usul dan Pengangkatan Gubernur Aceh, No Arsip 1713. Arsip Konvensional Setelah Tahun 1945 (Republik). Berkas Mengenai Status Provinsi Aceh Tahun 1956, No Arsip 1713. Bagian Dokumentasi, Sekitar Peristiwa Daud Beureueh, vol III, (Jakarta: Kronik Kementerian Penerangan, t.t., Jilid III).
8
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Sekretariat DPRD-GR Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Banda Aceh, 1968. Dua Setengah Tahun Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Pidato Sambutan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh, 17 Agustus 1959. Hasil Perkundjungan Missi Pemerintah Pusat dpb Wk. P.M. I Mr. Hardi Tanggal 25 dan 26 Mei 1959 di Kutaradja. Kunjungan Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dan Rombongan Ke Atjeh, (T.tp.: Djawatan Penerangan Prop Atjeh, t.t). Koleksi Terbatas Dokumen A. Hasjmy, Dari Darul Harb Ke Darussalam Djilid II Notulen Sidang Peperda I Aceh Dengan Tokoh Masyarakat di Kutaraja, tanggal 16 Maret 1958. Penghargaan Yang Dimiliki Prof. A. Hasjmy, Banda Aceh, Yayasan Pendidikan A. Hasjmy, 1998 Jurnal Alfian, Teuku Haji Ibrahim, “Penyelesaian Masalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dengan Konsepsi Prinsipil dan Bijaksana”, Jurnal Ketahanan Nasional, Volume VI, No 2, 2001. Jan, Abdul Murat Mat, “Gerakan Darul Islam di Aceh 1953-1959”, dalam Akademika 8, 1976.
LAMPIRAN