eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (2) 547-566 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
UPAYA PEMERINTAH THAILAND DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI THAILAND SELATAN TAHUN 2004-2009 Lia Aprila Fitra1 Nim. 0902045204 Abstract The research aims to find out how The Thailand Government Efforts on Resolution Conflict In South Thailand At 2004-2009. This type of research is descriptive qualitative using literature study. The data used are secondary data obtained through literature studies conducted on many books and obtained using literature studies conducted on many books and is obtained based on records related to the research, in addition to researchers using the data obtained from the internet. Concept or theories used this research were the Theory of Conflict Causes and Conflict Theory. The results showed that at least three actors involved in the conflict with the Thailand Government in South Thailand. The first is the National Liberation Front of Patani (NLFP) chaired by Tengku Mahyidin. The second is the Liberation Front of Patani Republic (LFRP) chaired by Ustad Karim Haji Hassan. The third is the Patani United Liberation Organization, headed by Kubira Kotanila and Aaron Muleng. Then there were three attempts by the Thailand Government to resolve the conflict in South Thailand. First, it is with the conciliation efforts to resolve the conflict by economic approach that has been taken by the government of Thailand for the provision of subsidies and granting of special autonomy. Second, by making mediation efforts by one of the countries involved, namely Indonesia. Indonesia is believed to mediate the conflict in South Thailand because of the experience of Indonesia who have experienced conflict, other than that Indonesia is a country that is neutral. Third, by coercion attempts have also been made by the Thailand Government to provide military emergency status regions like South Thailand.
Keywords : The Thailand Government Efforts, Resolution Conflict in South Thailand.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
Pendahuluan Seperti kebanyakan negara pada umumnya Thailand juga mengalami konflik internal dalam negaranya. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan separatis di Thailand Selatan (Pattani Raya). Konflik ini bermula pada tahun 1902 setelah terjadi aneksasi yang menyebabkan jatuhnya Pattani Raya ke tangan kerajaan Thailand (Siam) dan terjadinya perjanjian Anglo-Siam pada 1909. (Neil J. Melvin, Conflict in Southern Thailand; Islamism, Violence and the State in The Patani Insurgency, Sweden: SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) Policy Paper No.20, September 2007, hlm. 4). Inti dari perjanjian ini menyebutkan bahwa wilayah Pattani Raya (Thailand Selatan) bukan sebagai sebuah kerajaan Melayu lagi, tetapi menjadi wilayah kerajaan Thailand (Siam). (Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme”. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 1 Tahun 2005, hlm. 91).
Terjadinya aneksasi serta adanya pemberlakuan asimilasi dapat mengancam keberlangsungan budaya di Thailand Selatan. Hal ini jelas membuat penduduk di Thailand Selatan menentang. Akibatnya, muncul gerakan separatis yang ingin memperoleh otonomi khusus atau memerdekakan diri akibat adanya perasaan termarjinalkan dialami oleh masyarakat atau etnis yang tinggal di bagian selatan Thailand. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan serta pendapatan perkapita penduduk yang lebar antara wilayah Metropolis, Timur Laut dan Utara dengan bagian selatan juga menjadi salah satu penyebab. Hal inilah yang membuat kekecewaan dan menimbulkan kecemburuan sosial. Sehingga pada akhirnya, masyarakat Thailand Selatan ingin mengatur diri sendiri dengan cara otonomi atau memerdekakan diri. Gerakan separatis di Thailand Selatan merupakan bentuk perlawanan budaya akibat adanya sikap diskriminasi perlakuan yang diterima. David Wyatt dalam bukunya yang berjudul Hikayat Pattani, Bibliotheca Indonesica 5, menyatakan bahwa munculnya gerakan separatis komunitas Muslim Pattani disebabkan oleh 3 faktor; pertama, sejarah penaklukan oleh Siam, di mana Pattani dahulu adalah sebuah kerajaan yang termahsyur dan pelabuhannya berkembang sebagai pusat perdagangan (trading port) terbesar di Asia Tenggara. Akibat adanya penaklukan atau aneksasi oleh Siam yang kemudian diikuti dengan adanya kebijakan dan tata pemerintahan yang baru, tentu menghadirkan nuansa yang berbeda, sehingga lahirlah gerakan separatis. Penduduk Pattani Raya yang dahulu menjadi kerajaan besar dan memiliki pelabuhan yang termahsyur serta menjadi pusat perdagangan yang ramai, menginginkan kondisi seperti sedia kala. Oleh sebab itu, benturan kepentingan yang bertolak belakang inilah yang pada akhirnya melahirkan gerakan separatis.
548
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Kedua, kepentingan ekonomi. Wilayah Selatan terkenal cukup kaya karena sebagai sumber penghasil minyak dan berbagai penghasil ekonomi lainnya. Namun, mereka tidak dapat menikmati hasilnya, akses ekonomi hanya dinikmati oleh komunitas lain. Sehingga penduduk Pattani merasa tersingkir dan menjadi warga negara nomor dua di Thailand. Ketiga, migrasi internal. Adanya program migrasi penduduk dari wilayah Utara telah menciptakan kesenjangan ekonomi antara komunitas Muslim dengan komunitas non Muslim. Para penduduk dipindahkan dari wilayah utara ke selatan. Mereka dipindahkan ke selatan untuk meratakan jumlah penduduk di wilayah selatan, sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Tidak hanya itu, penduduk yang dipindahkan ke selatan ditempatkan atau diperuntukan mengisi jabatan-jabatan di wilayah selatan. Hal tersebut menjadikan warga Thailand Selatan tersingkir dan tidak mendapatkan perlakuan yang sama. Buntutnya, pengangguran di kawasan setempat pun mulai membludak sehingga rasa tidak suka masyarakat lokal kepada pemerintah pusat terus meningkat hingga akhirnya berujung pada lahirnya kelompok-kelompok bersenjata. Pada era modern, konflik di Thailand selatan sebenarnya dapat diredam hingga awal tahun 2000, hal ini ditandai dengan tidak adanya insiden-insiden besar yang menarik perhatian internasional. Namun konflik kembali memanas sejak tahun 2004 inilah intensitas konflik di Patani mengalami peningkatan. Konflik dalam fase berikutnya melibatkan pemberontak berideologi Islam yang baru terbentuk, misalnya Gerakan Mujahidin Islam Patani (GMIP) & Barisan Islam Pembebasan Patani (BIPP). Selain kelompok-kelompok baru tersebut, para pemain lama seperti Patani United Liberation Organization (PULO) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN) juga ibarat menemukan kembali tajinya pada periode ini. Sebagai gambaran singkat, jumlah anggota pemberontak pada fase ini meningkat tajam jika dibandingkan dengan konflik pada fase-fase sebelumnya yang hanya melibatkan ratusan orang. (http://www.re-tawon.com/2012/02/sejarah-konflikberdarah-di-thailand.html.) Kerangka Dasar Teori dan Konsep Teori Penyebab konflik Ada beberapa teori penyebab konflik salah satunya adalah teori kebutuhan manusia yang dikenalkan oleh Abraham Maslow. Teori kebutuhan manusia merupakan konsep aktualisasi diri yang merupakan keinginan untuk mewujudkan kemampuan diri atau keinginan untuk menjadi apapun yang mampu dicapai oleh setiap individu. Abraham Maslow menerangkan lima tingkatan kebutuhan dasar manusia adalah sebagai berikut: (Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang, UMM Press, 2004, hlm. 254)
549
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
a. Basic needs atau kebutuhan fisiologi, merupakan kebutuhan yang paling penting seperti kebutuhan akan makanan. Dominasi kebutuhan fisiologi ini relatif lebih tinggi dibanding dengan kebutuhan lain dan dengan demikian muncul kebutuhan-kebutuhan lain. b. Safety needs atau kebutuhan akan keselamatan, merupakan kebutuhan yang meliputi keamanan, kemantapan, ketergantungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas kekuatan pada diri, pelindung dan sebagainya. c. Love needs atau kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, merupakan kebutuhan yang muncul setelah kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keselamatan telah terpenuhi. Artinya orang dalam kehidupannya akan membutuhkan rasa untuk disayang dan menyayangi antar sesama dan untuk berkumpul dengan orang lain. d. Esteem needs atau kebutuhan akan harga diri. Semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat yang biasanya bermutu tinggi akan rasa hormat diri atau harga diri dan penghargaan dari orang lain. Kebutuhan ini di bagi dalam dua peringkat: 1) Keinginan akan kekuatan, akan prestasi, berkecukupan, unggul, dan kemampuan, percaya pada diri sendiri, kemerdekaan dan kebebasan. 2) Hasrat akan nama baik atau gengsi dan harga diri, prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status, ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian dan martabat. e. Self Actualitation needs atau kebutuhan akan perwujudan diri, yakni kecenderungan untuk mewujudkan dirinya sesuai dengan kemampuannya. Teori Konflik Konflik merupakan hal yang sulit dihindari dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Konflik dapat muncul karena adanya keanekaragaman yang begitu banyaknya sehingga perbedaan itu menjadi sangat sensitif dan rentan untuk terjadi perselisihan. Konflik sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan hal yang baru dalam sejarah sebuah negara. (Dedi Kurniawan dan Abdul Syani, Faktor Penyebab, Dampak dan Strategi Penyelesaian Konflik Antar Warga Di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 1-12, 2013, hlm. 1-2) Bentuk-bentuk konflik, secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini : 1. Berdasarkan sifatnya Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik konstruktif. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya. Sedangkan konflik
550
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Konstruktif merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi. 2. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik a) Konflik Vertikal, merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor. b) Konflik Horizontal, merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa. c) Konflik Diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh. Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilainilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang disosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik. (Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995, hlm, 77) Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan) dan détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara yang formal, jika cara pertama membawa hasil. Bentuk dari penyelesaian konflik dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Konsiliasi (conciliation) Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. 2. Mediasi (mediation) Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
551
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
3. Abritase Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. 4. Koersi (paksaan) Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, di pakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia 22 II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai. 5. Detente Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkah-langkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa "istirahat" itu. tidak tertentu jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan, bertujuan untuk menggambarkan kejadian pada saat sekarang secara apa adanya dan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data ini diperoleh dengan menggunakan studi literatur yang dilakukan terhadap banyak buku dan diperoleh berdasarkan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian, selain itu peneliti mempergunakan data yang diperoleh dari internet. Adapun tempat yang akan penyusun gunakan untuk memperoleh data sekunder tersebut adalah perpustakaan daerah Samarinda Kaltim dan Perpustakaan Universitas Mulawarman Samarinda Kaltim. Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif bersifat induktif,
552
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
yaitu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Hasil Penelitian Sejarah Konflik Konflik di Thailand Selatan sebenarnya telah lama terjadi tepatnya sejak tahun 1902. Konflik ini dimulai setelah terjadi penaklukan yang Pattani Raya oleh kerajaan Thailand (Siam). Penaklukan Siam atas Patani ini pada akhirnya mengakibatkan konflik antara penduduk Pattani Raya yang merupakan penduduk Melayu dengan pemerintah Thailand. Konflik ini berpangkal dari hilangnya otoritas penduduk di wilayah Thailand Selatan dalam mengurusi wilayahnya karena harus mengikuti kebijakan kerajaan Thailand. Misalnya pemerintah Thailand memberlakukan berbagai program untuk menggantikan identitas agama dan budaya dalam hal ini Melayu-Muslim digantikan dengan Budhaisme. Peraturan-peraturan berbasiskan Islam juga dihapuskan dan masyarakat Thailand selatan diharuskan memakai aksara serta bahasa Thai-menggantikan bahasa Melayu yang selama ini mereka gunakan.
Akibat dari pengahapusan terhadap sejumlah budaya dan peraturan ini membuat penduduk di Thailand Selatan menentang yang pada akhirnya muncul gerakan separatis yang ingin memperoleh otonomi khusus atau memerdekakan diri akibat adanya marjinalisasi yang dialami oleh masyarakat atau etnis yang tinggal di bagian Selatan Thailand. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan serta pendapatan perkapita penduduk antara wilayah Thailand Selatan dengan wilayah lain di Thailand juga turut memicu konflik di Thailand Selatan. Konflik semacam ini timbul akibat dari adanya kekecewaan dan kecemburuan sosial, sehingga masyarakat Thailand Selatan ingin mengatur diri sendiri dengan cara otonomi atau memerdekakan diri. Konflik di Thailand Selatan sebenarnya berhasil di selesaikan hingga awal tahun 2000. Keberhasilan pemerintah Thailand dalam meredam konflik di Thailand Selatan karenanya adaya kerjasama politik dengan pemerintah Malaysia dan pemberian otonomi khusus. Kerja sama dengan pemerintah Malaysia menyebabkan tokoh-tokoh penting dari kelompok pemberontak Thailand selatan yang bersembunyi di Malaysia berhasil ditangkap dan pemberlakukan otonomi khusus dapat meningakatkan kesejahteraan. Masa damai di Thailand Selatan ternyata tidak berlangsung lama, konflik kembali terjadi pada tahun 2004. Konflik ini dipicu karena pembubaran Badan Otonomi khusus oleh pemerintah Thailand. Padahal badan otonomi khusus ini memiliki sejumlah program percepatan pembangunan sebesar 300 juta dolar AS ditambah 400 juta dolar AS untuk subsidi dengan memberikan kredit mikro bagi masyarakat muslim untuk mengembangkan sarana pendidikan dan komunikasi. Kebijakan tersebut kemudian berdampak pada semakin besarnya peluang dan kesempatan kerja penduduk di wilayah provinsi Selatan dan memberi kesempatan bagi penduduk untuk ambil bagian dalam pengelolaan SDA.
553
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
Pembubaran badan otonomi khusus ini kemudian meyebabkan banyaknya peristiwa-peristiwa pemberontakan. Salah satu peristiwa yang menjadi pemicu meluasnya konflik di Thailand Selatan adalah proses penangkapan para milisi yang bersembunyi di Masjid Krue Se. Masjid ini merupakan masjid yang di sakralkan oleh masyarakat sekitar. Para aparat keamanan kemudian menembaki masjid dan menewaskan milisi-milisi yang bersembunyi di dalamnya. Peristiwa tersebut langsung memancing kemarahan dari para penduduk Muslim setempat sehingga sejak saat itu, konflik di Thailand selatan pun semakin diwarnai oleh sentimen agama. Dari gambaran singkat di atas maka dapat dikatakan bahwa Konflik bukanlah suatu yang muncul secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui suatu proses panjang. Begitu juga halnya konflik antara Patani dengan pemerintah Thailand. Agar memudahkan dalam pemahaman kronologis konflik di Thailand Selatan maka dapat dilihat pada tabel dibawah ini mengenai beberapa peristiwa yang terjadi dalam konflik di Thailand Selatan.
Tahun 1902
Sejarah konflik di Thailand Selatan dari tahun 1902-2015 Peristiwa
1921 1922
1930 1948 1970 1975 1990
1990-2000 2001 2002
2003
554
Terjadi aneksasi yang menyebabkan jatuhnya Pattani Raya ke tangan kerajaan Thailand (Siam) Pemerintah Thailand memberlakukan Compulsary Education Act dimana pemerintah mewajibkan para orang tua mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah sekuler. Terjadi Pemberontakan yang melibatkan beberapa pemimpin agama dan kaum bangsawan Melayu termasuk mantan raja Pattani, Raja Abdul Kadir. Tujuan dari pemberontakan itu adalah kemerdekaan. Alasan pemberontakan karena adanya penghapusan syariah Islam Peraturan-peraturan lokal berbasiskan Islam juga dihapuskan & masyarakat Thailand selatan diharuskan memakai aksara serta bahasa Thai - menggantikan bahasa Melayu yang selama ini mereka pakai. Muncul sebuah kelompok organisasi Gabungan Melayu Pattani Raya (GEMPAR) yang menginginkan Melayu di Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun untuk menuntut kemerdekaan dari Siam (Thailand) Lebih dari 20 organisasi separatis muncul di perbatasan Thailand dengan Malaysia yang menuntut merdeka. Militer Thailand melakukan pemaksaan kepda enam orang pemuda Melayu Islam menyembah berhala Buddha dan kemudian dibunuh Terjadi demonstrasi besar-besaran telah diadakan oleh orang Melayu untuk menuntut kerajaan Thailand supaya membenarkan mereka memperbaiki Masjid Kerisik. Masjid ini merupakan yang tertua di Asia Tenggara dan sebagai tanda kedatangan agama Islam di Patani. Tidak ada kejadian (konflik) di Thailand Selatan Konflik menewaskan 19 orang anggota Polisi Thailand dan juga tewasnya 50 orang anggota di tiga provinsi utama di Thailand Selatan yakni Pattani, Yaladan Narathiwat Sejumlah kantor polisi diserang oleh segerombolan gerliyawan yang berhasil merebut sejumlah besar amunisi senjata dan bahan peledak, insiden ini terjadi 75 kali dalam tahun 2002 dan menewaskan 50 orang anggota polisi Insiden penyerangan masih terus bertambah dan tercatat sebanyak 119 insiden bersenjata terjadi di tahun2003.
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
2004 2005 2006 2007 2008
2009 2010
2011 2012
2013 2014 2015
sekitar 100 orang bersenjata menyerang pangkalan militer di Thailand selatan & merampas stok persenjataan yang tersimpan di dalamnya. sebuah bom rakitan seberat 50 kg meledak di perbatasan ThailandMalaysia. Sebulan kemudian, beberapa buah bom meledak di bandara, supermarket, & hotel Provinsi Songkhla. Para pemberontak meledakkan 22 bank di kota Yala. Sekelompok militan menyerang seorang Muslim yang berusia 45 tahun dan dua orang anaknya, masing-masing berusia 11 dan tujuh tahun, yang sedang mengendarai sepeda motor. Gerombolan pemberontak muslim Thailand Selatan menghentikan sebuah van padat penumpang di Yala. Mereka menembak kesembilan penumpangnya, termasuk tiga wanita dan seorang bocah sekolah, dan melukai dua lainnya. Penyerangan brutal dengan senapan serbu otomatis yang menewaskan 11 orang dan melukai 19 jamaah Shalat Isya di Masjid Al-Pukon, Distrik Joh AiRong, Narathiwat. Lima warga desa muslim termasuk di antaranya bocah laki-laki berusia enam tahun tewas dalam penembakan yang diduga dilakukan oleh militan separatis di propinsi penuh kekerasan Thailand selatan, demikian dikatakan polisi, Ahad. Seorang laki-laki berusia 45 tahun dan istrinya ditembak hingga tewas Sabtu ketika dalam perjalanan menuju perkebunan karet di propinsi Pattani. Gerilyawan Islam diduga menembak mati seorang guru sekolah yang menentang perjuangan kemerdekaan. Sebuah bom truk meledak di Thailand selatan & mengakibatkan sekurangkurangnya 1 orang tewas. Serangkaian bom meledak pada hari yang sama di Pattani, Yala dan Hat Yai menewaskan sedikitnya 16 orang, termasuk seorang warga negara Malaysia, dan mencederai lebih dari 500 korban Beberapa pria dengan wajah tertutup kain menyerang sebuah sekolah di Thailand Selatan. Mereka membunuh tiga guru Budha di depan para kolega dan muridnya. Serangkaian serangan bom yang diduga dilakukan pemberontak telah menewaskan satu orang dan mencederai lebih 20 lainnya Kelompok bersenjata menembak mati dua tentara dalam serangan di Thailand selatan.
Aktor-aktor yang Terlibat dalam Konflik Konflik panjang yang terjadi di Thailand Selatan melibatkan banyak kelompok. Haryono kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik di Thailand Selatan dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok utama yang didasarkan pada idiologi, struktur kepemimpinan dan keanggotaan, yaitu: 1. National Liberation Front of Patani (NLFP) National Liberation Front of Patani (NLFP) yang dalam bahasa Melayu dikenal dengan sebutan Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP) terbentuk pada tahun 1960 dan merupakan organisasi yang palinglama terlibat konflik dengan pemerintah Thailand. Organisasi ini didirikan oleh Tengku Mahyaddin. Tengku Mahyaddin adalah putra Raja Pattani yang terakhir yaitu Abdul Kadir setelah perang Dunia II. Ketika Mahyaddin meninggal dunia pada tahun 1953 kemudian digantikan oleh Adul. Pemimpin asli BNPP itu sebagian besar anggota Melayu Patani tradisional elit dan fungsionaris agama seperti ulama dan imam masjid dan madrasah. Sejak 1977,
555
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
organisasi ini diambil alih oleh sebuah kelompok baru yang secara terangterangan bertujuan memulihkan Pattani kedalam kejayaannya yang lama, di bawah pimpinan seorang raja atau sultan. Tujuan akhirnya, tampaknya adalah otonomi dalam Federasi Malaysia. Di daerah Pattani Raya, BNPP dengan sangat menentang upaya pemerintah mendirikan pemukiman-pemukiman Buddhis. Sejak masa Sarit Thanarat (1957-1973), pemerintah pusat berusaha untuk memperbesar jumlah penduduk Buddhis di daerah itu. Menurut data sejak tahun 1960 sekitar 100.000 orang Thai dari Thai Timur-laut telah dipindahkan ke daerah Pattani,Yala dan Narathiwat. Sedikitnya 650.000 orang ThaiBuddhis lagi akan dipindahkan ke daerah Muslim. Menurut dokumen-dokumen pemerintah Thailand organisasi BNPP membiayai kegiatan-kegiatan subversif denganuang hasil pemerasan atau pungutan uang perlindungan yang tiga puluhp ersen dari padanya harus disetor kepada dana pusat. 2. Liberation Front of Republic Patani (LFRP) Organisasi separatis yang kedua adalah Barisan Revolusion Nasional (BRN) atau Liberation Front of Republic Pattani (LRFP). Barisan Revolusi Nasional Melayu Pattani (BRN) adalah sebuah organisasi yang berbasis diMalaysia utara dan beroperasi di Thailand selatan. Dibentuk oleh Ustaz Karim Haji Hassan pada Maret 1963. BRN merupakan cabang lain dari Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP). Seperti terlihat dari namanya, organisasi ini bertujuan republik dan cenderung ke arahsuatu bentuk sosialisme Islam. Jauh lebih terfokus pada organisasi politik khususnya di sekolah-sekolah agamadari pada kegiatan gerilya. Menurut sumber-sumber pemerintah Thailand, basis organisasi ini berada di kota dan memiliki pasukan gerilya yang baik perlengkapannya. Kebanyakan pemimpinnya berpendidikan luar negeri, khususnya Malaysia dan Indonesia. BRN yang dipimpin oleh seorang mantan guru pondok dan seorang guru agama Haji Karim Hassan, bertujuan mencetuskan suatu revolusi sosial dan membebaskan daerah Pattani dengan kekerasan. Kecemasan pemerintah Thailand terhadap pergerakan BRN adalah karena BRN mempunyai hubungan yang dekat dengan Partai Komunis Malaya (CPM) dan giat menyebar luaskan ideologi komunis-sosialis di kalangan penduduk Melayu. Ideologi kelompok ini sering disebut sebagai sosialisme Islam. BRN bekerja sama dengan pihak komunis terasing beberapa pendukung yang lebih konservatif di Malaysia dan Timur Tengah yang giat menyebarkan ideologi komunis dikalangan penduduk Melayu. Organisasi ini berhaluan sosialisyang ingin mendirikan hubungan dekat dengan partaikomunis di Malaysia dan Thailand. 3. Patani United Liberation Organization Pattani United Liberation Organization (PULO) atau Pertubohan Persatuan Pembibasan Pattani (PPPP) dibentuk pada tahun 1968 sertai diketuai oleh
556
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Kubira Kotanila dan Harun Muleng. Organisasi ini memiliki sistem pengorganisasian yang lebih efektif. Basis pendukungnya lebih luas, tersebar di kota-kota maupun di desa-desa. Landasan ideologinya dikenal dengan istilah‚ Ubang Tapekema yang merupakansingkatan dari Ugana (baca: Agama), Bangsa, Tanah Air, dan Perikemanusiaan. Dengan landasan ideologi yang demikian ini PULO mampu merangkul semua golongan dan lapisan dalam masyarakat Melayu-Muslim di Thailand Selatan. Selain itu organisasi PULO juga mampu membangun jaringan internasional yang luas. Organisasi ini berada dibawah kepemimpinan kaum intelektual muda yang lebih terorganisir dan militan dan mendapat dukungan finansial dari Syria dan Libya. Dalam kasus gerakan Melayu-Muslim di Thailand Selatan, faktor ras, bahasa, agama, adat istiadat dan kesadaran akan suatu identitas kolektif yang khas telah dimobilisasikan untuk memperkuat solidaritas kolektif dalam melawan setiap upaya pengintegrasian dan pengasimilasian yang dilakukan pemerintah Thailand.Gerakan Melayu Muslim di Thailand Selatan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan kesejarahan, dimana sejumlah aktor memperjuangkan hak kesejarahan mereka sebagai bangsa . PULO adalah organisasi induk yang mengkoordinasikan banyak kelompok gerilya yang memerangi pemerintah Thai. PULO dianggap lebih praktis dan dengan sengaja meluaskan pengaruhnya kepada semua unsur dalam masyarakat Melayu-Muslim. Struktur organisasinya menunjukkan adanya tingkat-tingkat pimpinan. Menariknya adalah tingkat paling atas yang menentukan kebijakan berada di Mekkah, Saudi Arabia. Menurut Komite Khusus Parlemen yang menyelidiki masalah separatism, PULO memiliki organisasi yang baik dan didukung oleh lebih dari 8.000 Muslim. Faktor-Faktor Pemicu Konflik di Thailand Selatan Secara umum Brown mengidentifikasikan empat faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam konflik internal, yaitu: struktur, politik, sosial ekonomi dan kultur. Keempat faktor tersebut dapat menjadi penyebab utama (underlying causes) dan juga penyebab pemicu (proximate causes). 1. Faktor Penyebab Utama a. Struktur Faktor struktur dalam faktor utama yang menyebabkan konflik ini disebabkan oleh demografi etnik. Demografi merupakan ilmu yang mempelajari struktur dan proses sumber daya manusia di suatu wilayah secara statistik dan matematis tentang besar komposisi dan distribusi penduduk dan perubahannya sepanjang masa. Di Thailand, etnis Melayu Muslim memang merupakan kelompok minoritas. Jumlah mereka adalah 977.282 jiwa atau 2,84% dari seluruh penduduk Thailand yang sekitar 45 juta jiwa. Ada sekitar enam juta Muslim di Thailand, namun angka resmi jauh lebih kecil. Angka resmi hanya memberikan presentasi seluruh Muslim dengan penduduk sekitar empat persen, padahal angkanya lebih 12%. Hal ini merupakan bagian dari usaha pemerintah Thai untuk mengurangi pentingnya
557
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
penduduk Muslim. Muslim hidup di seluruh Thailand, tetapi ada tiga daerah pemusatan Muslim selatan, dari perbatasan Malaysia sampai Genting Tanah Kra (Isthmus of Kra) utara, di daerah Chiang Rai dan wilayah ibukota. Dari uraian di atas secara demografi memang jumlah penduduk muslim di Thailand selatan jumlahnya relatif kecil. Kecilnya jumlah penduduk muslim ini membuat pemerintah Thailand menganggap mereka tidak terlalu penting, sehingga mereka menyembunyikan fakta jika penduduk muslim jumlahnya mencapai 12% dari seluruh penduduk di Thailand. b. Politik Secara politik faktor utamanya adalah adanya diskriminasi politik bagi penduduk muslim di Thailand Selatan. Hal ini dapat dilihat dari tata pemerintahan dimana ada pembatasan suku melayu di wilayah Patani untuk duduk di parlemen atau untuk bekerja di pemerintahan. c. Sosial Ekonomi Faktor pemicu utama dari segi ekonomi juga merupakan faktor yang memicu konflik. Setelah adanya aneksasi maka wilayah Thailand Selatan yang dahulunya memiliki otoritas sendiri harus bergabung mengikuti kebijakan kerajaan Thailand. Akibat dari aneksasi terhadap Pattani raya oleh kerajaan Thailand maka secara resmi pula provinsi Melayu yang dahulunya adalah wilayah Pattani Raya menjadi bagian wilayah kerajaan Thailand (subordinat Thailand). Oleh sebab itu, kerajaan Thailand pun memberlakukan kebijakan baru terhadap wilayah-wilayah tersebut. Misalnya dengan memberlakukan berbagai program untuk menggantikan identitas agama dan budaya Melayu-Muslim dengan Budhaisme. Selain itu peraturan-peraturan lokal berbasiskan Islam juga dihapuskan dan masyarakat Thailand selatan diharuskan memakai aksara serta bahasa Thai menggantikan bahasa Melayu yang selama ini mereka gunakan. Hal tersebut pada gilirannya menimbulkan masalah baru bagi penduduk Thailand selatan yang tidak fasih berbahasa Thailand karena peluang mereka mendapatkan pekerjaan jadi menipis. Menipisnya peluang untuk mendapatkan pekerjaan inilah yang pada akhirnya memicu kemarahan penduduk Pattani terhadap pemerintah. d. Kultur Faktor pemicu utama yang selanjutnya adalah problem historis. Secara historis penduduk Thailand selatan dahulunya adanya kerajaan muslim, sehingga adat dan tradisi yang mereka anut adalah budaya Islam. Pasca di satukan nya wilayah Pattani dengan kerajaan Thailand maka kebudayaankebudayaan Islam yang selama ini mereka anut sulit untuk dilakukan. Kesulitan ini ditandai dengan penghapusan peraturan-peraturan lokal berbasiskan Islam dan masyarakat Thailand selatan diharuskan memakai aksara serta bahasa Thai-menggantikan bahasa Melayu yang selama ini mereka gunakan. Konflik ini juga disebabkan kebijakan pemerintah
558
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Thailand untuk mengubah kurikulum pesantren-pesantren di Thailand selatan menjadi kurikulum pendidikan berbau sekuler. 2. Faktor Penyebab Pemicu a. Struktur Faktor penyebab pemicu dalam struktur ini disebabkan oleh bentuk perubahan demografi. Adanya kebijakan dari pemerintah Thailand Nikhom Sang Tong Eng yaitu memindah orang Thai-Buddha dari sebelah timur, barat dan utara membentuk penempatan baru di selatan Thailand dan diberi tanah percuma untuk di garap. Keadaan ini memberi tekanan kepada Orang Melayu Islam Patani karena sumber daya alam yang ada di wilayah mereka di garap oleh orang lain. Adanya kebijakan ini maka secara struktur demografi telah mengalami perubahan dari yang dulunya mayoritas menjadi minoritas. b. Politik Transisi politik ini dimulai dari pada tahun 1902, sejak Kerajaan Siam melaksanakan Undang-Undang Thesaphiban. Dengan Undang-Undang itu, maka sistem pemerintahan kesultanan Melayu resmi dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok pada tahun 1909, Patani telah diakui oleh Inggris sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan keinginan penduduk asli Melayu Patani. Sejak saat itu masyarakat Patani resmi hidup di bawah kekuasaan kerajaan Siam. Meskipun melawan dan melakukan sejumlah pemberontakan, bahkan dengan meminta bantuan raja-raja Melayu, Singapura dan Inggris, namun Muslim Patani tetap saja tidak berhasil membebaskan diri dan wilayah mereka dari kekuasaan kerajaan Siam. Secara politik wilayah Pattani berada dalam kekuasaan kerajaan Siam. Penaklukan ini berdampak pada peraturan-peraturan yang berlaku di Thailand Selatan. Seperti penghapusan bahasa Melayu dan pelarangan penduduk Muslim untuk duduk di parlemen serta penghapusan sistem pendidikan pesantren yang pada akhirnya memicu konflik yang berkepanjangan. c. Sosial Ekonomi Faktor pemicu dari sosial ekonomi adalah timbulnya kesenjangan ekonomi. Berdasarkan hasil kajian Dr. Srisompob tahun 2009 berkenaan ekonomi penduduk di tiga wilayah, seramai 699 orang daripada 1,143 responden menyatakan mereka tidak cukup pendapatan. Mereka kehilangan peluang pekerjaan sehingga memicu konflik yang kian meruncing. Selain itu, berlaku ketidakseimbangan ekonomi kerana jurang antara kaum yang menguasai ekonomi juga sangat ketara, kebanyakan perusahaan dalam bidang pertanian, perindustrian dan perikanan dikuasai oleh kaum Cina dan Thai-Buddha. Kebanyakan yang menguasai sektor ekonomi seperti perindustrian, perkebunan dan perikanan adalah dikalangan orang Thai-
559
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
Buddha dan Cina. Sehingga penduduk lokal (Melayu) tidak mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha lain dan hanya mampu menjalankan usaha-usaha kecil. d. Kultur Faktor pemicu konflik selanjutnya adalah adanya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap penduduk Melayu. Adanya aneksasi maka wilayah Thailand Selatan yang dahulunya memiliki otoritas sendiri harus bergabung mengikuti kebijakan kerajaan Thailand. Akibat dari aneksasi terhadap Pattani raya oleh kerajaan Thailand maka secara resmi pula provinsi Melayu yang dahulunya adalah wilayah Pattani Raya menjadi bagian wilayah kerajaan Thailand (subordinat Thailand). Oleh sebab itu, kerajaan Thailand pun memberlakukan kebijakan baru terhadap wilayah-wilayah tersebut. Misalnya dengan memberlakukan berbagai program untuk menggantikan identitas agama dan budaya Melayu-Muslim dengan Budhaisme. Selain itu peraturan-peraturan lokal berbasiskan Islam juga dihapuskan dan masyarakat Thailand selatan diharuskan memakai aksara serta bahasa Thai menggantikan bahasa Melayu yang selama ini mereka gunakan. Upaya Penyelesaian Konflik di Thailand Selatan Secara umum bentuk penyelesaian konflik yang dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan) dan détente. Dari berbagai dokumen, yang penyusun peroleh setidaknya ada 3 hal yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan yaitu sebagai berikut: 1. Konsiliasi (conciliation) Penyelesaian konflik dengan konsiliasi ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang dipertentangkan. Upaya penyelesaian konflik di Thailand Selatan dengan cara semacam ini dibuktikan dengan pendekatan ekonomi telah dilakukan berupa pemberian subsidi dan pemberian otonomi khusus dan pemberian subsidi. Pemberian otonomi khusus dan subsidi ini berdampak pada kembalinya masa damai di Thailand Selatan. Pemberian otonomi khusus dan pengucuran subsidi lebih dari pemerintah pusat ke Thailand selatan diharapkan kepentingan-kepentingan dari masyarakat Thailand selatan bisa terakomodasi, maka mereka tidak akan melakukan pemberontakan lagi. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Thailand ini diharapkan dapat mengatasi gerakan separatis di wilayah Selatan. Adanya otonomi khusus di Thailand Selatan berdampak pada meluasnya kesempatan kerja dalam sektorsektor publik, sehingga kebijakan ini penduduk di wilayah Selatan dapat ambil bagian dalam mengelola sumber daya yang ada. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah Thailand kepada provinsi-provinsi di Thailand Selatan maka dibentuklah badan otonomi khusus. Kebijakan yang dikeluarkan
560
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
pemerintah Thailand pada tahun 2005 diharapkan dapat mengatasi gerakan separatis di wilayah Selatan. Bahwa warga Thailand Selatan diberikan kesempatan kerja dalam sektor-sektor publik juga akan diberikan pelatihan dan magang. Maka dengan adanya kebijakan ini, penduduk di wilayah Selatan dapat ambil bagian dalam mengelola sumber daya yang ada. Upaya konsiliasi ini dilakukan dengan cara pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan yakni dengan memberikan peluang kesempatan kerja bagi penduduk yang berada di wilayah Selatan Thailand. 2. Mediasi (mediation) Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka. Konflik di Thailand Selatan yang tidak kunjung selesai maka pemerintah Thailand melibatkan negara lain dalam menyelesaikan konflik di Thailand Selatan untuk menjadi mediator. Salah satu negara yang dipercaya dalam menyelesaikan konflik adalah Indonesia. Salah satu alasan Thailand memilih Indonesia adalah netralitas. Posisi sebuah negara merupakan faktor penting dalam setiap upaya penyelesaian konflik. Salah satu hal penting yang mendukung keberhasilan peran mediasi Indonesia adalah Indonesia tidak terlibat dalam konflik tersebut. Berbeda dengan Malaysia, Indonesia dianggap tidak memiliki sejumlah agenda politik yang langsung berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Malaysia sudah lama ingin jadi juru damai dalam konflik tersebut, namun belum berhasil meyakinkan pemerintah Thailand. Dampaknya, berbagai perundingan antara pemerintah Thailand dan Malaysia belum mencapai titik temu. Niat Malaysia tersebut berkali-kali disampaikan pemerintahnya. Yang terakhir, PM Ahmad Badawi menyatakan keinginannya bertemu dengan PM Thailand Samak Sundaravej pada Februari 2008. Bahkan, sejak 2005 secara terbuka Malaysia menyatakan keinginannya untuk berperan. Namun, sampai saat ini, hal tersebut belum terwujud karena Thailand khawatir gagasan itu akan sangat berbahaya jika terjadi sesuatu di luar kendali. Pemerintah Malaysia secara langsung berkepentingan atas konflik di Thailand Selatan karena keinginan rakyat di daerah tersebut bergabung dengan Kedah dan Kelantan sebagai negara bagian Malaysia yang paling dekat dengan Thailand Selatan. Proses mediasi yang dilakukan oleh Indonesia menghasilkan tiga kesepakatan yaitu: a. Kedua belah pihak yang berkonflik sepakat akan menyelesaikan konflik dalam koridor konstitusi Thailand. b. Kedua belah pihak sepakat untuk menjaga keutuhan integritas wilayah Thailand c. Kedua belah pihak yang berkonflik siap melanjutkan perundingan tahap kedua yang akan berlangsung pada pertengahan November di Istana Bogor.
561
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
Hasil yang telah disepakati dalam perundingan tersebut gagal karena bocornya hasil perundingan tersebut di media. 3. Koersi (paksaan) Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, di pakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia 22 II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai. Salah satu bukti bahwa upaya penyelesaian konflik di Thailand Selatan dilakukan dengan pendekatan koersi adalah pemerintah Thailand telah mengeluarkan status darurat militer di tiga provinsi di wilayah selatan yakni Pattani, Yala dan Narathiwat pada bulan Agustus tahun 2005. Kebijakan tersebut dapat memberlakukan banyak hal, misalnya penyadapan, penggeledahan dan penangkapan terhadap orang yang dicurigai dan mengacaukan situasi. Tidak hanya itu, pemerintahan Thailand mengeluarkan kebijakan seperti mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi para Muslim yang dituduh mendalangi serangan di Thailand Selatan. Selanjutnya, pemerintahan juga menginstruksikan untuk menyita semua bahan peledak dan melakukan penyebaran tentara dan polisi bersenjata berat di wilayah selatan. Kendati demikian, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Thailand bukanlah sebuah solusi yang baik. Kebijakan tersebut justru semakin meningkatkan ketegangan dan membuat suasana semakin rumit serta menimbulkan ketakutan di wilayah Selatan Thailand. Pendekatan militer yang digunakan pemerintah Thailand dalam meredam konflik ternyata tidak berhasil. Kebijakan militer justru memicu konflik kembali memanas pada tahun 2004 ditandai dengan munculnya berbagai peristiwa yang di awali pada 4 Januari 2004 dimana terjadi penyerangan ke atas Kem Tentera di Kg. Pileng, Daerah Pecah Airong dalam wilayah Narathiwat oleh sekumpulan militan yang tidak dikenali. Dalam serangan tersebut, empat anggota tentera telah terbunuh dan 366 laras senjata jenis M16, 24 laras Gun, 7 laras RPG (M79) dan 2 laras M60 telah di rompak. Dalam bulan yang sama 18 sekolah di Narathiwat turut dibakar. Sebelum memasuki Kem tersebut, kelompok ini menabur paku-paku di setiap jalan keluar masuk serta menebang pokok-pokok supaya dapat mencegah pasukan keamanan. Kemudian bulan April 2004 juga menjadi saksi di mana salah satu momen paling kontroversial dalam konflik di Thailand selatan terjadi. Pada akhirnya, hingga saat ini konflik masih terus terjadi dan belum ada satu formula pun yang dapat meredam dan mengakhiri konflik tersebut.
562
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sedikitinya ada tiga aktor yang terlibat konflik dengan pemerintah Thailand di Thailand Selatan. Pertama adalah National Liberation Front of Patani (NLFP) yang diketuai oleh Tengku Mahyidin. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk membentuk Otonomi Patani dalam Federasi Malaysia. Kedua adalah Liberation Front of Republic Patani (LFRP) yang diketuai oleh Ustad karim Haji Hassan. Tujuan dari organisasi ini adalah Mendirikan suatu Republik Patani berdasarkan idiologi Sosialisme-Islam. Ketiga adalah Patani United Liberation Organization yang diketuai oleh Kubira Kotanila dan Harun Muleng. Tujuan dari organisasi ini adalah menuntut pemerintah agar Thailand Selatan diberikan otonomi dengan idiologi Agama, bangsa, tanah air dan prikemanusiaan. Munculnya organisasi-organisasi tersebut tidak terlepas dari beberapa hal yaitu karena ada beberapa kebijakan dari pemerintah Thailand yang tidak mendukung kepentingan penduduk di Thailand Selatan seperti penghapusan peraturan berbasis Islam, adanya kesenjangan ekonomi dan penambahan penduduk bergama Budha di daerah Thailand Selatan. Adanya kebijakan-kebijakan tersebut pada akhirnya mempersempit ruang gerak penduduk yang mayoritas Melayu (Islam) menjadi sempit baik dalam ekonomi maupun politik. Konflik yang terjadi di Thailand Selatan sebenenarnya telah diupayakan untuk diselesaikan oleh pemerintah Thailand. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada 3 upaya yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan. Upaya-upaya tersebut adalah sebagai berikut: 1. Konsiliasi (conciliation) Upaya penyelesaian konflik dengan cara konsiliasi dibuktikan dengan pendekatan ekonomi telah dilakukan berupa pemberian subsidi dan pemberian otonomi khusus dan pemberian subsidi. Hal ini dibuktikan bahwa kembalinya masa damai di Thailand Selatan salah satu disebabkan salah satunya dengan pemberian otonomi khusus dan pengucuran subsidi dari pemerintah pusat. Pemberian otonomi khusus dan pengucuran subsidi lebih dari pemerintah pusat ke Thailand selatan diharapkan kepentingan-kepentingan dari masyarakat Thailand selatan bisa terakomodasi, maka mereka tidak akan melakukan pemberontakan lagi. 2. Mediasi (mediation) Bentuk dari upaya ini dilakukan karena upaya sebelumnya yaitu konsiliasi gagal. Salah satu negara yang terlibat dalam upaya mediasi ini adalah Indonesia. Dipercaya nya Indonesia untuk menjadi mediator konflik di Thailand Selatan karena pengalaman Indonesia yang telah mengalami konflik, selain itu Indonesia merupakan negara yang netral.
563
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
3. Koersi (paksaan) Upaya paksaan juga telah dilakukan oleh pemerintah Thailand dengan memberikan status darurat militer bagai wilayah Thailand Selatan. Status darurat militer ini diberikan setelah terjadinya demonstrasi besar-besaran pasca di cabut nya status otonomi daerah Thailand Selatan. Demonstrasi besarbesaran ini kemudian ditanggapi keras oleh pemerintah Thailand, sehingga banyak korban yang berjatuhan. Banyaknya korban inilah yang di kemudian hari konflik Thailand Selatan menjadi konflik agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan menurut penyusun kurang berhasil. Dari ketiga upaya yang telah dilakukan hanya pemberian subsidi dan pembentukan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil. Hal ini dikarenakan dengan pemberian otonomi dan pemberian subsidi dapat meningkatkan lapangan kerja serta pemulihan perekonomian. Sementara itu upaya mediasi dan koersi gagal dalam mengatasi konflik di Thailand Selatan, karena mediasi yang melibatkan Indonesia tidak dapat dilanjutkan karena pihak mediator membocorkan hasil perundingan ke media. Sedangkan koersi justru menyebabkan konflik semakin rumit. Daftar Pustaka Buku Ahmad Ubbe. 2011. “Laporan Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Penanganan Konflik Sosial”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press Anshori Azhar, Malaysia-Thailand Saling Kecam, Kompas, 7 September 2005 Che Mohd Aziz Bin Yaacob. 2009. “Konflik Pemisah Di Selatan Thailand: Isu, Aktor Dan Penyelesaian”, Tidak dipublikasikan, Universiti Sains Malaysia Dedi Kurniawan dan Abdul Syani, Faktor Penyebab, Dampak dan Strategi Penyelesaian Konflik Antar Warga Di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 1-12, 2013, p. 1-2 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jamil, M.K. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo Mediation Center
564
Upaya Thailand Menyelesaikan Konflik di Thailand Selatan (Lia Aprila F)
Jhon Funston. 2010. Malaysia and Thailand’s Southern Conflict: Reconciling Security and Ethnicity, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Vol. 32, No. 2. 2010. Michael E. Brown. 2001. Ethnic and internal conflicts: causes and implication,” dalam Chester A. Crocker (ed.), Turbulent Peace: The Challenge of Managing International Conflict. Washington: United States Institute of Peace Redaksi, Tajuk Rencana; PM Thaksin Bereaksi Cepat Atas Pergolakan di Thailand Selatan, Kompas, Kamis, 08 Januari 2004 Robert H. Lauer. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Robert Lawang. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka Saiful Muzani, 1993. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3S Internet Ian Storey, Peran Malaysia Dalam Pemberontakan Thailand Selatan, http://www.jamestown.org/single/%3Fno_cache%3D1%26tx_ttnews% 255Btt_news%255D%3D 1043. Diakses pada 22 Februari 2016. Konflik
di Thailand Selatan Kembali Pecah, 7 Tewas, terdapat di http://metrotvnews.com/read/newsvideo/2011/05/09/127849/konflik-dithailand-selatan-kembalipecah-7-tewas/. Diakses pada tanggal 22 Februari 2016.
Pemimpin Malaysia-Thailand Lakukan Kunjungan Perdamaian, terdapat di http://www.iannnews.com/news.php?kat=6&bid=102&PHPSESSID=3ba4 0125a0844f11d336dae 1ff284bd6. Diakses pada 22 Februari 2016 Perdana Menteri Thailand Ingin Mempererat Kerjasama Regional, terdapat di http://www.asiacalling.org/in/arsip/1133-thai-pm-calls-forgreater-regional-security-cooperation. Diakses pada 22 Februari 2016 Sejarah Konflik Berdarah di Thailand Selatan, terdapat di http://www.retawon.com/2012/02/sejarah-konflik-berdarah-di-thailand.html. Diakses pada 7 Agustus 2015
565
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 547-566
Separatis Langgar Hak Asasi, terdapat di http://www.mediaindonesia.com/read/2011/09/28/263448/75/19/SeparatisLanggar-Hak-Asasi. Diakses pada 22 Februari 2016 Thailand Siaga Penuh di Selatan jelang 8 Tahun Peristiwa Peristiwa Pembataian Tak Bai, terdapat di http://www.voa-islam.com/read/worldworld/2012/10/19/21263/thailand-siaga-penuh-di-selatan-jelang-8-tahunperistiwa-pembataian-tak-baik. Diakses pada 6 agustus 2015
566