BAB II KONFLIK PERBATASAN THAILAND DAN KAMBOJA
II.1 Thailand Thailand merupakan sebuah kerajaan yang dahulunya disebut dengan nama Kerjaan Siam yang didirikan pada abad ke-14. Kerajaan yang tidak pernah mengalami masa penjajahan oleh bangsa Eropa ini berubah nama menjadi Thailand pada tahun 1939. Thailand memiliki bentuk pemerintahan monarki konstitusi dimana pemimpin dari pemerintahan Thailand berada di bawah kendali seorang Perdana Menteri dan kepala negara dari Thailand ialah seorang Raja. Negara ini memiliki luas daerah sekitar 514.000 km2 dan memiliki letak geografis yang berbatasan langsung Laos, Malaysia, dan Kamboja (Bappenas, 2014). Ibu kota dari Thailand ialah Bangkok dan sebagain besar penduduknya berasal dari etnis Thai dan Budha. Mayoritas penduduk Thailand memeluk agama Budha yang dapat dilihat dari 85% kehidupan dari masyarakat Thailand. Peran dari seorang tokoh agama Budha yang disebut dengan Biarawan juga sangat penting pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Thailand. Hal ini karena seorang biarawan merupakan seorang pemimpin spiritual dalam kehidupan masyarakat Thailand. Selain itu filosofi agama Budha yang diterapkan oleh para biarawan ini sangat
16
17
berpengaruh terhadap kegiatan religius dan sosial di dalam kehidupan masyarakat Thailand (Mulder, 1967). Penduduk Thailand yang beragama Budha sering melakukan persembahyangan di sebuah kuil yang terletak di daerah Pegunungan Dangrek yang disebut dengan Kuil Preah Vihear. Kuil tersebut juga digunakan sebagai tempat persembahyangan oleh umat Hindu Thailand yang tinggal di sekitar kawasan Preah Vihear. Umat Hindu yang berasal dari Thailand ini jumlahnya hanya 1% dari populasi penduduk di Thailand. Kuil Hindu-Budha ini terletak di daerah perbatasan Thailand dan Kamboja. Oleh sebab itu masyarakat Kamboja yang ada di sekitar Kuil Preah Vihear juga melakukan persembahyangan di dalam Kuil Preah Vihear (Library of Congress – Federal Research Division, 2007). II.2 Kamboja Kamboja merupakan sebuah negara yang dahulu disebut dengan Kerajaan Khmer dan sekarang memiliki nama resmi Kerajaan Kamboja. Negara dengan iklim tropis ini resmi merdeka dari penjajahan Perancis pada tanggal 9 November 1953. Sistem pemerintahan di Kamboja merupakan Monarki Kostitusional dimana Perdana Menteri yang menjadi kepala dari pemerintahan Kamboja dan seorang raja yang menjadi kepala negaranya (United Nations, 2004). Kamboja ialah sebuah negara yang memiliki keberagaman agama dan suku. Mayoritas penduduk Kamboja memeluk Agama Budha yang berjumlah 96,9% dari bagian populasinya. Sisanya memeluk Islam, Kristen dan lainnya.
18
Suku asli dari Kamboja ialah Suku Khmer yang dapat dilihat dari 95% penduduk Kamboja yang berasal dari Suku Khmer. Walaupun demikian, di dalam kehidupan masyarakat Kamboja juga ada yang berasal dari Suku China, Vietnam,
dan suku lainnya. Namun jumlah mereka
tidaklah terlalu banyak dan mereka tergolong sebagai suku minoritas di Kamboja (CIA, 2015). Jumlah Suku Khmer yang dominan, mengakibatkan suku ini hidup di setiap sudut kota Kamboja. Sebagian kehidupan dari suku ini dapat dilihat dari kehidupan para pendeta suku Khmer yang tinggal di daerah Pegunungan Dangrek. Para pendeta ini membangun gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat pertapaan di daerah Pegunungan Dangrek. Sehingga dibangunlah sebuah kuil yang dijadikan tempat persembahyangan di daerah Pegunungan Dangrek yang disebut dengan Kuil Preah Vihear. II.3 Kuil Preah Vihear Kuil Preah Vihear merupakan sebuah kuil yang terletak di daerah Pegunungan Dangrek yang terlentang di daerah perbatasan Thailand dan Kamboja. Kuil dengan luas 2.828,9 ha ini terbentang sepanjang 800 meter di tebing Pegunungan Dangrek (UNESCO, 2015). Kuil Preah Vihear lebih mudah diakses dari Thailand dari pada Kamboja karena letaknya di daerah pegunungan (BBC, 2014). Kuil Preah Vihear merupakan kuil terbesar yang dibangun oleh Suku Khmer pada abad ke-9. Arsitektur dari bangunan kuil ini sangat kental dengan kehidupan Suku Khmer. Pada awalnya suku ini membuat gua-gua di daerah Pegunungan Dangrek yang dijadikan tempat untuk persembahyangan dan hidup para petapa. Melihat banyaknya petapa
19
yang hidup di lereng Pegunungan Dangrek ini membuat Pangeran dari Suku Khmer saat itu yakni Pangeran Indrayudha membangun Kuil Preah Vihear yang digunakan sebagai tempat persembahyangan para petapa tersebut (UNESCO, 2014).
Kuil Preah Vihear tidak hanya digunakan sebagai
tempat persembahyangan oleh Suku Khmer dari Kamboja. Penduduk Thailand yang beragama Hindu juga menggunakan kuil ini sebagai tempat pemujaan untuk Dewa Siwa karena letaknya di perbatasan Thailand (Volman, 2014). GAMBAR 2 Kuil Preah Vihear
Sumber : UNESCO, 2014 Kuil Preah Vihear ini terdiri dari empat tingkatan yang memiliki arsitektur yang berbeda-beda. Kuil ini juga memiliki empat pengadilan serta lima pagoda (pintu masuk) menuju paviliun Kuil Preah Vihear. Sebagian
20
besar arsitektur dari kuil ini mengambarkan keagungan dari Dewa Siwa. Hal tersebut dapat dilihat dari pagoda yang berada di sebelah utara kuil terdapat ukiran gambar tarian Dewa Siwa. Tarian Dewa Siwa ini menggambarkan sosok Dewa Siwa yang berdiri diatas gajah dan bertangan sepuluh. Hal ini menceritakan tentang kisah Dewa Siwa yang sudah mengalahkan setan. Sehingga masyarakat yang tinggal disekitar kuil pun bersumpah akan setia untuk memuja Dewa Siwa di Kuil Preah Vihear (UNESCO, 2015) GAMBAR 3 Gambar Tarian Dewa Siwa
Sumber : UNESCO, 2014 Masyarakat yang tinggal di daerah Kuil Preah Vihear juga berasal dari Suku Kuy. Mayoritas suku Kuy memeluk agama Budha dan sisanya anemisme (kepercayaan terhadap roh). Dahulu, suku ini merupakan kelompok identitas terbesar yang ada di Kamboja. Selain itu masyarakat
21
dari Suku Kuy juga berasal dari tiga negara yang berbeda, yakni dari bagian utara dan timur laut Kamboja, bagian timur laut dan selatan Thailand dan berasal dari bagian selatan Laos. Namun, walaupun hidup dalam satu lingkungan yang sama, keadaan perekonomian mereka berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan mata pencaharian suku tersebut. Suku Kuy yang berasal dari Kamboja memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin senjata dan baju besi yang biasanya dikirim ke Angkor, Kamboja. Sedangkan Suku Kuy yang berasal dari Thailand lebih memilih untuk berternak gajah dan pandai dalam menjinakkan gajah liar. Suku Kuy ini memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kehidupan Suku Khmer. Suku ini tidak hanya menggunakan Kuil Preah Vihear sebagai tempat persembahyangan namun juga menggunakan kuil ini sebagai tempat untuk ziarah dan melakukan upacara adat seperti pernikahan (Swift, 2013). Peradaban Suku Kuy mengalami perubahan ketika Kamboja sudah mendapatkan kemerdekaannya. Masyarakat dari Suku Kuy kini mulai berbaur dengan masyarakat Suku Khmer. Suku Kuy yang berasal baik dari Kamboja maupun Thailand juga mulai mengembangkan mata pencaharian mereka. Mereka mulai hidup untuk bertani dan membuka lahan di ladang di sekitar Kuil Preah Vihear. Mereka mulai bekerjasama untuk meningkatkan perekonomian mereka, yang mana sebelumnya perekonomian Suku Kuy yang berasal dari Kamboja lebih baik dibandingkan dengan perekonomina Suku Kuy yang berasal dari Thailand.
22
II.4 Konflik Thailand dan Kamboja Penduduk Thailand dan Kamboja dapat hidup berdampingan di daerah Kuil Preah Vihear, tetapi kedua negara ini ternyata masih memperebutkan batas wilayah mereka di kuil tersebut. Kedua negara tersebut saling mengklaim bahwa Kuil Preah Vihear masuk dalam kedaulatan negara mereka. Perebutan status atas Kuil Preah Vihear akhirnya memicu konflik perbatasan yang terjadi antara Thailand dan Kamboja. Masalah perbatasan antara Thailand dan Kamboja ini sebenarnya sudah lama terjadi. Konflik ini terjadi ketika Perancis masih menduduki Kamboja dan Thailand masih disebut dengan Kerajaan Siam. Awalnya Perancis dan Pemerintahan Kerajaan Siam telah melakukan kesepakatan terkait garis perbatasan Thailand dan Kamboja. Kesepakatan ini telah menghasilkan sebuah perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Franco-Siamese yang disepakati pada tanggal 13 Februari 1904. Namun dalam perjanjian ini tidak dijelaskan letak Kuil Preah Vihear secara jelas, apakah masuk dalam kedaulatan Kerajaan Thailand atau justru merupakan bagian dari kedaulatan Kerajaan Kamboja (Mangku, 2011). Sehingga akhirnya Pemerintah Kamboja mengajukan masalah status kepemilikan kuil ke Mahkamah Internasional (Volman, 2014).
23
II.4.1
Status Kuil Preah Vihear A.
Mahkamah Internasional Pada
tahun
kemerdekaannya,
1953
Kamboja
ketika mulai
Kamboja
meraih
mengangkat
kasus
kepemilikan Kuil Preah Vihear. Kamboja mulai mengajukan masalah kepemilikan kuil ini secara resmi ke Mahkamah Internasional pada tanggal 2 Februari 1962. Dimana Mahkamah Internasional merupakan Pengadilan Utama dalam PBB. Pengadilan ini dibentuk pada bulan Juni 1962. Proses pengadilan terkait kepemilikan kuil ini dimulai dengan cara mendengarkan opini dari perwakilan Thailand dan Kamboja (International Court of Justice, 2013). Tahap mendengarkan opini pada proses pengadilan ini dimulai pada bulan Maret 1962. Thailand dan Kamboja diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka terkait sengketa kepemilikan Kuil Preah Vihear. Kedua negara tersebut saling mengklaim status kepemilikan Kuil Preah Vihear. Thailand mengklaim atas kepemilikan kuil berdasarkan peta yang dibuat pada tahun 1904. Saat itu Pemerintahan Kerajaan Siam menyepakati sebuah perjanjian dengan Perancis bahwa Kuil Preah Vihear berada di dalam kedaulatan Thailand.
24
Sedangkan Kamboja juga mengklaim atas kepemilikan kuil ini. Klaim yang dilakukan oleh Kamboja berdasarkan peta tahun 1907 yang disepakati oleh Pemerintah Perancis bersama Pemerintah Kerajaan Siam bahwa Kuil Preah Vihear terletak di dalam kedaulatan Kamboja (Menas Border, 2014). Keputusan Mahkamah Internasional pada tanggal 15 Juni 1962, menetapkan secara resmi status kepemilikan Kuil Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kerajaan Kamboja. Keputusan dari Mahkamah Internasional ini didasarkan pada sejarah dari Kuil Preah Vihear yang dibangun oleh suku asli Kamboja
yakni
Suku
Khmer.
Keputusan
Mahkamah
Internasional menyatakan bahwa Thailand harus menarik pasukan militernya yang ada disekitar Kuil Preah Vihear, yang sudah ditempatkan dari tahun 1954. Hal ini bertujuan untuk menghormati kedaulatan Kamboja.
Thailand
juga harus
mengembalikan semua prasasti dan arca yang dulu pernah diambil dari Pemerintah Kamboja agar diletakan kembali di dalam Kuil Preah Vihear (International Court of Justice,1962). Penetapan kuil ini juga berdasarkan peta yang telah disepakati Perancis saat masih menduduki Kamboja dengan Pemerintahan Siam pada tahun 1907, yang mana Kuil Preah Vihear masuk dalam kedaulatan Kamboja (Putra, et al, 2013). Sehingga Thailand harus menerima keputusan Mahkamah Internasional
karena
keputusan
Mahkamah
Internasional
25
bersifat mutlak dan pihak yang bersengketa tidak dapat melakukan banding. Untuk itu, Thailand pun menerima keputusan Mahkamah Internasional terkait penetapan letak dari Kuil Preah Vihear. Namun walaupun Thailand telah menerima keputusan terkait status kepemilikian Kuil Preah Vihear, Thailand masih terus berupaya untuk memperebutkan 4,6 km2 daerah
disekitar
kuil
yang
belum
dinyatakan
status
kepemilikannya dalam keputusan Mahkamah Internasional (Volman, 2014). B.
Keputusan UNESCO Pada tahun 2001 sebagai langkah perlindungan terhadap Kuil Preah Vihear, Pemerintah Kamboja mengajukan agar kuil ini mendapatkan perlindungan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia dari UNESCO (Volman, 2014). Sesuai dengan Conventation World Heritage tahun 1972, apabila sebuah situs kebudayaan telah mendapatkan status sebagai Warisan Budaya Dunia maka situs tersebut akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat dunia (UNESCO, 2015). Tahun 2008, UNESCO akhirnya menetapkan Kuil Preah Vihear sebagai Warisan Dunia milik Kamboja. Penatapan ini dikarenakan Kuil Preah Vihear memiliki kriteria bangunan dan detail dekorasi yang dibangun oleh Suku Khmer yang dinilai sangat luar biasa. Keaslian bangunan ini juga menjadi dasar
26
dalam penetapan Kuil Preah Vihear sebagai Warisan Dunia. Bangunan kuil ini terdiri dari arsitektur pahatan di bebatuan yang menggambarkan kondisi alam sekitar dan filosopi dari umat agama Hindu. Pembangunan kuil ini juga didedikasikan untuk pemujaan dan menghormati Dewa Siwa. Di dalam kuil ini juga terdiri dari serangkaian tempat suci yang panjangnya 800 meter yang saling berhubungan (UNESCO, 2014). Penetapan Kuil Preah Vihear ini mendapatkan penolakan dari pihak Thailand. Pada awalnya Thailand menerima keputusan Mahkamah Internasional terkait status penetapan letak Kuil Preah Vihear menjadi bagian dari kedaulatan Kamboja, namun ketika kuil ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia milik Kamboja oleh UNESCO. Sehingga pada akhirnya memicu timbulnya konflik antara Kamboja dan Thailand. Sampai pada akhirnya di tahun 2011 konflik ini mengalami puncaknya sehingga menelan korban jiwa. Melihat kondisi ini, Pemerintah Kamboja segera meminta bantuan pihak ketiga dalam membatu penyelesaian konflik yang telah terjadi (Putra, et al, 2013). II.4.2
Penolakan Thailand Terhadap Status Kuil Preah Vihear Penetapan status Kuil Preah Vihear oleh Mahkamah Internasional dan UNESCO memicu timbulnya penolakan dari pihak Thailand. Penetapan status kuil oleh Mahkamah Internasional mendapat reaksi
27
negatif dari Thailand. Penetapan yang didasarkan pada peta yang dibuat pada tahun 1907 ini dianggap tidak sah karena peta ini hanya dibuat secara sepihak oleh Perancis. Selain itu Thailand beranggapan bahwa, jika menggunakan garis daerah aliran sungai yang benar dalam penetapan garis batas seharusnya Kuil Preah Vihear masuk dalam daerah kedaulatan Thailand. Sehingga dengan demikian Thailand meminta agar Mahkamah Internasional meninjau kembali keputusannya terkait penetapan Kuil Preah Vihear. Namun Mahkamah Internasional menolak permintaan Thailand karena keputusan tersebut sudah dianggap sah dan mutlak untuk menetapkan Kuil Preah Vihear masuk dalam kedaulatan Kamboja (Putra, et al, 2013). Thailand juga menolak penetapan status terhadap Kuil Preah Vihear yang dilakukan oleh UNESCO. UNESCO menetapkan kuil ini sebagai Warisan Budaya Dunia yang berasal dari Kamboja. Adapun alasan dari penolakan yang dilakukan oleh Thailand ialah karena Thailand menganggap bahwa kuil ini bukan milik Kamboja, karena bukan hanya masyarakat Kamboja saja yang melakukan persembahyangan di dalam Kuil Preah Vihear namun masyarakat Thailand yang hidup di sekitar kuil ini juga bersembahyang di dalam kuil tersebut. Thailand juga mempermasalahkan 4,6 km2 daerah di sekitar Kuil Preah Vihear. Baik dalam penetapan yang telah dilakukan oleh Mahkamah Internasional dan UNESCO, daerah ini belum ditetapkan masuk dalam kedaulatan Thailand ataupun Kamboja. Sehingga konflik antara Thailand dan Kamboja pun terus berlanjut. Untuk menyelesaikan
28
konflik ini, Kamboja meminta bantuan kepada pihak ketiga. Namun Thailand menginginkan konflik ini dapat diselesaikan dengan cara bilateral (Volman, 2014). Keinginan dari Thailand ini didasarkan pada kepercayaan diri Thailand terhadap kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan dari Thailand jauh lebih besar dibandingkan kekuatan yang dimilki oleh Kamboja. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bawah ini. TABEL 1 Perbandingan Kekuatan (power) Thailand-Kamboja Kekuatan
Thailand
Kamboja
Size (ukuran)
513.120 km
181.035 km
Populasi (2009)
67.764.000 jiwa
14.805.000 jiwa
Ekonomi (2009)
US$ 263.889
US$ 10.798
Militer
306.600 personil
124.300 personil
Sumber : KOMPAS, 2014 Tabel yang diinformasikan oleh penulis di atas menunjukan data-data seperti ukuran luas daerah, populasi, ekonomi dan militer dari Thailand dan Kamboja pada tahun 2009. Thailand memiliki luas wilayah yang jauh lebih besar dari Kamboja. Luas wilayah Thailand hampir 5 kali luas wilayah Kamboja. Begitu pula dengan populasi, ekonomi dan militer yang dimiliki oleh Thailand lebih besar dibandingkan Kamboja. Sehingga melihat power
29
Thailand yang lebih kuat menjadi salah satu alasan Thailand lebih memilih menyelesaikan konflik secara bilateral. II.4.3Konflik Bersenjata Kamboja dan Thailand Penetapan status Kuil Preah Vihear oleh UNESCO ini memicu munculnya konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja. Konflik ini di mulai pada tanggal 15 Juli 2008. Hal ini dilihat dari tertangkapnya 3 demonstran asal Thailand yang memasuki daerah Preah Vihear. Disini juga mulai muncul isu adanya ranjau yang sudah disebarkan di daerah Kuil Preah Vihear. Sehingga tanggal 3 Agustus 2008 untuk pertama kalinya terjadi kontak senjata antara pasukan militer Thailand dan Kamboja. Konflik ini mengakibatkan terlukanya seorang tentara asal Kamboja. Kontak senjata antara pasukan militer kedua negara itu terus terjadi hingga 15 Oktober 2008. Tiga tentara Kamboja dan seorang tentara Thailand tewas dalam konflik ini (Antaranews, 2014). Penetapan status Kuil Preah Vihear oleh UNESCO juga berakibat terhadap pembatalan MoU yang telah dilakukan oleh Thailand dan Kamboja. MoU kedua negara tersebut membentuk Commission for the Bilateral Cooperation. Dalam MoU ini kedua negara sepakat untuk bekerjasama untuk mencegah terjadinya penyelundupan narkoba dan perdagangan manusia di daerah perbatasan Kamboja dan Thailand. Penetapan ini juga telah membatalkan kesepakatan Thailand dan Kamboja pada tahun 2004 untuk melakukan pembangunan dan perlindungan bersama
30
terhadap Kuil Preah Vihear. Thailand berencana untuk membangun pintu akses masuk dari Thailand menuju Kuil Preah Vihear (Yoosuk, 2013). Konflik kedua negara ini terus berlanjut. Kedua negara baik Kamboja maupun Thailand juga membangun pangkalan militer dan melakukan patrol di sekitar Kuil Preah Vihear. Thailand mulai memperluas penyebaran pasukan militernya dengan menduduki daerah Ta Maon. Menanggapi sikap dari Thailand ini, Kamboja pun menurunkan pasukan militer untuk berpatroli di sekitar daerah Kuil Preah Vihear dan menduduki daerah Ta Krabei yang terletak dekat Ta Maon. Kedua pasukan militer ini saling melakukan patroli di sekitar kuil sehingga memicu munculnya kontak senjata diantara pasukan militer kedua negara tersebut (Crisis Group Asia Report, 2011). Kontak senjata yang terjadi antara Thailand dan Kamboja mengalami puncaknya pada tanggal 22 April dan 3 Mei 2011, yang diperkirakan menelan 18 korban nyawa. Sehingga Kamboja kembali membawa kasus pertikaian perebutan Kuil Preah Vihear ke Mahkamah Internasional. Kamboja meminta agar Mahkamah Internasional meninjau kembali keputusan yang telah dibuat pada tahun 1962 terkait penetapan status kepemilikan Kuil Preah Vihear. Mahkamah Internasional pun menegaskan kembali Kuil Preah Vihear berada dalam bagian kedaulatan Kerajaan Kamboja, oleh sebab itu Thailand harus menarik pasukan militernya dari daerah Preah Vihear. Mahkamah Internasional juga menyatakan untuk menetapkan zona demiliterisasi seluas 17km di daerah sekitar Kuil Preah Vihear. Melalui penetapan zona demiliterisasi ini, baik
31
itu pasukan tentara dari Kamboja maupun Thailand dilarang untuk memasuki atau melakukan patroli di daerah tersebut (Volman, 2014). Masalah kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan terjadi sengketa yang kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di wilayah sekitar Kuil Preah Vihear. Konflik bersenjata tersebut telah menewaskan tiga tentara Kamboja dan membuat empat tentara Thailand luka-luka. Kemarahan warga Kamboja yang merupakan korban dari konflik perbatasan ini menyebabkan dibakarnya kedutaan Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand yang berada di Kamboja. Melihat konflik yang terjadi, Pemerintah Kamboja dan Thailand berupaya untuk menyelesaikan konflik ini. Berbagai pertemuan bilateral baik formal mupun informal telah dilakukan oleh kedua negara ini. Namun sayangnya pasukan militer kedua negara masih melakukan kontak senjata. Sehingga untuk menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja ini, Pemerintah Kamboja memutuskan meminta bantuan pada pihak ketiga, yakni Dewan Keamanan PBB. Keputusan Kamboja untuk membawa masalah konflik perbatasan ini ke Dewan Keamanan PBB dikarenakan kurangnya kepercayaan Kamboja terhadap ASEAN dalam menyelesaikan konflik. ASEAN selama ini bersikap kurang proaktif dalam menanggapi konflik yang terjadi diantara negara anggotanya. ASEAN biasanya hanya sebatas mengeluarkan pernyataan agar konflik yang sedang terjadi dapat segera diselesaikan dengan jalan damai. Menanggapai permintaan Kamboja di tahun 2011 ini, Dewan Keamanan PBB memerintahkan ASEAN agar segera menyelesaikan konflik ini.
32
Sikap Thailand dalam menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja ini sangat dipengaruhi oleh keadaan pemerintahan yang berlangsung dalam negaranya. Dalam Pemerintahan Thailand terjadi perbedaan pendapat dalam penyelesaian konflik ini. Departemen Pertahanan Thailand menolak adanya bantuan dari pihak lain dalam hal ini ASEAN, mereka menginginkan konflik ini dapat diselesaiakan dengan Kamboja secara bilateral. Namun Departemen Luar Negeri Thailand justru menerima bantuan pihak ketiga yakni ASEAN dalam penyelesaian konflik ini. Pada pemilu tahun 2011, Thailand mengadakan sebuah pemilu dan mengalami pergantian Perdana Menteri. Terpilihnya Perdana Menteri Yingluck Shinawatra ternyata berdampak cukup positif dalam konflik yang terjadi antara Thailand dengan Kamboja. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Yingluck, Thailand mulai menerima peran ASEAN dalam membantu kedua negara untuk menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dan Kamnoja. Hal ini dikarenakan di tahun yang sama Thailand mengalami bencana yakni banjir sehingga saat itu Pemerintah Thailand lebih fokus untuk menyelesaikan urusan dalam negerinya. Keterbukaan Pemerintah Thailand ini menjadi awal dari keterlibatan ASEAN dalam menyelesaikan konflik perbatasan antara Thailand dengan Kamboja. Dalam penyelesaian konflik ini,
ASEAN menggunakan
mekanisme penyelesaian konflik melalui jalur mediasi. ASEAN selaku mediator melakukan pendekatan dengan kedua negara yang berkonflik sehingga dapat memberikan rekomendasi penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun rekomendasi dari ASEAN ini
33
bersifat tidak memaksa atau mengikat. Baik Thailand maupun Kamboja berhak untuk menerima ataupun menolak rekomendasi yang diajukan oleh ASEAN.