eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 37-48 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
STRATEGI KAMBOJA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KUIL PREAH VIHEAR PASCA BENTROKAN BERSENJATA DENGAN MILITER THAILAND TAHUN 2011 RUDOLF VOLMAN1 NIM. 0802045247
Abstrak: This research aims to describe the conflict resolution strategies of Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. This type of research is descriptive which describe strategies for conflict resolution Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. The data described is secondary data obtained through literature review and literature such as books, the internet, and others. The analysis technique used is the Library Research Studies. The results show that the strategy used by the parties in resolving disputes Cambodian seizure of territory around the Preah Vihear temple between Thailand and Cambodia is to involve a third party in settlement of the conflict. Cambodia found the desired bilateral settlement mechanism Thai side did not give a peace agreement between the two countries so that the need for a third party in settlement of the case. In resolving the case, the trusted third party is Indonesian Cambodia and the United Nations. Keywords : Strategi Kamboja, Kuil Preah Vihear
Pendahuluan Kuil Hindu Preah Vihear yang berusia kurang lebih 900 tahun menjadi sumber perselisihan antara Kamboja dan Thaiand, setelah pasukan Prancis menarik diri dari kawasan Indochina pada tahun 1954, kedua negara saling mengklaim wilayah tersebut sebagai kedaulatannya masing-masing. Kamboja mengklaim wilayah Kuil tersebut berdasarkan peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand menggunakan peta tahun 1904. Kuil Preah Vihear merupakan kuil yang dibangun oleh suku asli Kamboja (suku Khmer) sehingga atas dasar sejarah itulah pada tahun 1962 Makamah Internasional memutuskan Kuil tersebut merupakan milik Kamboja( http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/20140901
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
konflik-perbatasan-thailand-dan-kamboja/). Tetapi menurut Thailand, sebenarnya wilayah di sekitar kuil Preah Vihear bukan milik siapapun, karena daerah perbatasan tersebut dibuat secara sembarangan pada zaman colonial Prancis, tetapi bangunan tersebut merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat sekitar untuk beribadah. Konflik tersebut semakin berkelanjutan setelah Kuil Preah Vihear yang disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk kedalam daftar warisan dunia (World Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO (United Nations Economic, Social and Organization) pada tahun 2008 lalu. Langkah ini nampaknya tidak dapat diterima oleh Pemerintah Thailand. Sehingga konflik antara Kamboja dan Thailand mulai muncul pada tahun 2008 lalu pasca keputusan UNESCO tersebut. Sejak saat itu kedua pihak telah membangun pertahanan militer di sepanjang perbatasan dan bentrokan secara berkala pernah terjadi sehingga mengakibatkan kematian sejumlah tentara dari kedua pihak. Konflik kedua negara ini disebabkan oleh ketidakjelasan keputusan Makamah Internasional atas wilayah seluas 4,6 Km2 persegi di sekitar kuil Preah Vihear. Sehingga kedua negara saling mengklaim daerah seluas 4,6 km persegi tersebut masuk kedalam wilayah kedaulatannya masing-masing. Tahun 2011 lalu telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer kedua negara di wilayah kuil Preah Vihear, ketegangan di kawasan Candi Preah Vihear semakin meningkat pada bulan februari 2011 setelah Thailand dan Kamboja sama-sama mengklaim menguasai wilayah tersebut. Bentrokan senjata ini terjadi sekitar 100 km dari candi. Tetapi kedua negara membantah sebagai pihak yang pertama kali menembakan senjata. Thailand mengatakan pasukan mereka tengah berpatroli ketika pasukan Kamboja menembak, sedangkan Kamboja mengklaim kalau pasukan Thailand melakukan serangan bersenjata yang agresif ke tentara Kamboja. Akibat dari bentrokan tersebut sepuluh orang tewas dalam bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara tersebut. Beberapa bulan kemudian pada bulan April 2011 lalu kedua negara ini kembali terlibat bentrokan bersenjata dan menewaskan enam orang tewas, duabelas lainnya terluka dan tiga orang dalam keadaan kritis (http://www.bbc.co.uk/Indonesia/dunia/2011/04/110422_cambodiathailand.shtml. Konflik ini telah menjadi komoditi politik domestik di kedua negara. Mengingat kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau menyelesaikan konflik dalam level bilateral. Dalam posisi ini, Thailand secara angka lebih kuat dibandingkan Kamboja. Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN. Keterlibatan pihak luar dipercaya bisa menaikan posisi tawar Kamboja dimata Thailand.. Ketidaksamaan pendekatan yang ingin digunakan oleh kedua negara menyebabkan konflik ini terus berlanjut hingga sekarang(http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/
38
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
columns/politikinternasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesiadalam-konflik-thailand-kamboja). Perbedaan asumsi Thailand yang hanya ingin menyelesaikan konflik secara bilateral dan tidak ingin adanya pihak luar dalam penyelesaian konflik kuil tersebut, ini membuktikan bahwa Thailand ingin konflik tersebut terus berlanjut karena Thailand ingin mempertahankan klaimnya terhadap wilayah disekitar kuil Preah Vihear. Hal ini merupakan tantangan yang serius bagi pemerintah Kamboja, oleh sebab itu Kamboja harus mempersiapkan strategi untuk menyelesaikan konflik tersebut sehingga dapat menjaga wilayah kedaulatannya di Kuil Preah Vihear. Berkaitan dengan judul dan latar belakang masalah, maka penulis membatasi masalah pada bagaimana strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011? Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011. Landasan Teori dan Konsep A. Teori Konflik Konflik secara konseptual yaitu dengan konflik dimaksudkan perwujudan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua orang atau bahkan golongan besar seperti Negara. Kadang-kadang konflik dugunakan untuk menyebut pertentangan antara pandangan dan perasaan seseorang (BN.Marbun,1996:34). Soerjono Soekanto menyebutkan sebab-sebab terjadinya konflik dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Perbedaan antara individu-individu. 2. Pebedaan Kebudayaan. 3. Perbedaan Kepentingan. 4. Perubahan Sosial (Soerjono Soekanto,1990:107-108). B. Konsep Strategi Penyelesaian Konflik Menurut Wijono, untuk mengatasi konflik individu/kelompok diperlukan tiga strategi yaitu : Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy) Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penegah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu, maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh
39
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu : a. Arbitrasi (Arbitration) Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penegah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi (Mediation) Mediasi dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemenkonflik-definisi-ciri-sumber.html).
Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari bukubuku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Jenis data yang digunakan adalah data Skunder. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisa isi (content analysis) yang menjelaskan dan menganalisa data hasil penelitian yang telah dibaca dan dirangkum dari sumber tertulis yang berhasil diperoleh dan kemudian menyajikan hasil penelitian tersebut ke dalam suatu penulisan yaitu strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011. Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik dan keterlibatan pihak ketiga Pembahasan Wijono menjelaskan tentang strategi penyelesaian konflik yaitu dengan menggunakan strategi kalah-kalah (Lose-Lose Strategy) (http://jurnalsdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html) yang di maksudkan dengan strategi kalah-kalah disini adalah kedua negara yang bertikai baik itu pihak Thailand maupun pihak Kamboja saling mengalah dan tidak memperlihatkan sikap egoisme masing-masing negara tentang mekanisme penyelesaian yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa kedua negara. Kedua negara mengambil jalan tengah (berkompromi) dan melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa wilayah perbatasan kedua negara. Didalam konflik yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan wilayah seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear ini, awalnya pemerintah Thailand bersikukuh ingin menyelesaikan konflik ini secara bilateral, tanpa
40
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
campur tangan dari pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN. Sebaliknya Kamboja berharap agar konflik tersebut harus diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga agar tidak ada lagi bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara. Atas desakan dari PBB akhirnya Thailand setuju untuk melibatkan pihak ketiga dalam kasus tersebut dan meminta konflik perbatasan ini diselesaikan melalui ASEAN. Jika dilihat dari keinginan pihak Thailand yang hanya ingin menyelesaikan konflik tersebut dengan mekanisme bilateral, hal ini dikarenakan jika penyelesaian konflik tersebut menggunakan mekanisme bilateral maka dengan cara ini posisi Thailand akan lebih di untungkan karena power yang dimiliki Thailand baik itu kekuatan militer maupun ekonomi secara angka lebih tinggi dibandingkan power yang dimiliki Kamboja dan harapan untuk memiliki wilayah seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear akan lebih mudah dicapai oleh pihak Thailand. Hal tersebut tentunya merupakan ancaman bagi pihak Kamboja karena sebagian besar wilayah tersebut masih didalam kedaulatan Kamboja. Sehingga pada bulan Februari 2011 lalu pasca bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer kedua negara di kawasan Kuil Preah Vihear Kamboja langsung membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional. Sebenarnya pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, pemerintah Thailand dan pemerintah Kamboja sebenarnya sudah sepakat untuk melibatkan pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN dalam penyelesaian konflik perebutan wilayah perbatasan tersebut, dan yang menjadi penghambatnya adalah adanya perbedaan antara pemerintah Thailand dan pihak militernya. Di Thailand, pihak militer berperan sangat penting dalam pemerintahan dan dalam kebijakan luar negeri Thailand. Dalam pemerintahan Thailand, terjadi perbedaan pendapat antara Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri mengenai cara penyelesaian konflik perbatasan dengan Kamboja ini. Departemen Pertahanan menolak peran pihak ketiga sebagai penengah untuk menengahi konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Pihak militer Thailand ingin menyelesaikan konflik ini secara bilateral dengan Kamboja. Sedangkan Departemen Luar Negeri Thailand mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN dalam menyelesaikan konflik perbatasan dengan Kamboja. Kamboja beranggapan jika konflik perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 di perbatasan kedua negara tersebut hanya diselesaikan melalui mekanisme bilateral maka konflik tersebut akan semakin berlanjut dan tidak akan menemukan kesepakatan damai antara keduanya. Hal inilah yang mendasari Kamboja meminta adanya peran pihak ketiga dalam kasus tersebut. a. Keterlibatan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN tahun 2011 Wijono menjelsakan Mediasi adalah prosedur yang dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena
41
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihakpihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. Pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan wilayah perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear, yang berperan menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia dipilih sebagai mediator atas permintaan DK PBB yang meminta Indonesia untuk dapat menjadi penengah dalam penyelesaian konflik tersebut, mengingat kedua negara tersebut merupakan anggota ASEAN oleh sebab itu Indonesia di anggap sebagai pihak yang berkompeten untuk menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut, karena pada saat itu Indonesia masih menjabat sebagai ketua ASEAN. Pada bulan Februari 2011 lalu, setelah pertemuan informal Menteri Luar Negeri ASEAN, kedua negara sepakat untuk melibatkan Indonesia didalam penyelesaian konflik sengketa wilayah disekitar Kuil Preah Vihear dan menunjuk Indonesia menjadi peninjau konflik kedua negara yang bersengketa. Pada kasus antara Thailand dan Kamboja tersebut, Indonesia tidak mengambil alih tanggung jawab kedua negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung hal tersebut dan melaporkan secara akurat temuan yang ada di lapangan. Indonesia sebagai mediator memang pada dasarnya tidak memiliki hak untuk memutuskan siapa yang berhak atas wilayah yang disengketakan antara Thailand dan Kamboja tersebut. Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut hanya sebatas memfasilitasi dan memberikan solusi-solusi yang terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut. Pada tanggal 7-8 April tahun 2011 lalu Indonesia memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara pada Pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri Sekretaris Menlu Thailand Chavanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan untuk mencapai perdamaian kedua negara. Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua negara merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya untuk merundingkan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan. Perundingan Antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara lain mengenai : Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand mengenai isi dari kesepaktan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand menolak tawaran tersebut. Thailand berkeras menginginkan agar parlemen
42
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan. Kedua adalah pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dulu. Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk melangsungkan pertemuan General Border Committee (GBC). Pihak Kamboja mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena Indonesia sudah mendapatkan mandat DK PBB untuk ikut dalam negosiasi Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga Satu-satunya hal yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya "check point" antara kedua negara. Pertemuan antara kedua Menlu Thailand dan Kamboja tersebut diprakarsai Indonesia selaku Ketua ASEAN, hal tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja bekerja sama dengan ASEAN sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai. Pihak Kamboja berpendapat bahwa pihaknya sudah lama melakukan proses negosiasi dengan pihak Thailand namun antara kedua negara belum mencapai kesepakatan apa pun sehingga pihak Kamboja memerlukan pihak luar sebagai mediator dan yang terbaik adalah Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua ASEAN dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara. Pertemuan ini merupakan upaya terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun 2011. Dalam pertemuan tersebut, Marty Natalegawa menjelaskan Thailand akhirnya menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon permintaan ini. Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu. Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim
43
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
peninjau, yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan KambojaThailand. Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga rekomendasi yang di hasilkan pada pertemuan kedua negara yang difasilitasi Indonesia. Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, meng-aktifkan pertemuan GBC (General Border Committee). Rekomendasi kedua, kedua negara melihat kembali nota ke-sepahaman (MOU) yang telah disepakati pada tahun 2000 lalu. Adapun rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual trust, kehadiran observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah disepakati tahun 2000 meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain dari kawasan sengketa, yaitu di sekitar kuil kuno Phrea Vihear. MOU 2000 itu menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari pasukan atau rakyat sipil di kawasan yang dipersengketakan. Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua negara untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan militer kedua negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua negara tersebut dan rekomendasi yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya (Obsever) kedaerah perbatasan yang disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau (Obsever) dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau genjatan senjata antara pasukan militer Thailand dan Kamboja. b. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Wijono menjelaskan Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penegah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. Dalam kasus sengekata wilayah antara Thailand dan Kamboja tersebut, pemerintah Kamboja meminta PBB untuk menjadi pihak ketiga (Abriator) dalam penyelesaian perebutan wilayah kedua negara tersebut. Pada tahun 2011 lalu, pasca bentrokan bersenjata antara kedua negara yang terjadi pada awal bulan Februari tersebut Kamboja meminta ke Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan tahun 1962 itu dan menjelaskan tentang kepemilikan tanah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear. Langkah Kamboja yang mengadukan permasalahannya kepada Dewan Keamanan PBB dan meminta PBB untuk mengirim pasukan perdamaian ke daerah sekitar Kuil Preah Vihear langsung di tanggapi dengan cepat oleh pihak Dewan Keamanan PBB. Sehingga pasca bentrokan bersenjata kedua negara pada bulan Februari 2011 lalu, Pihak PBB mengundang Indonesia sebagai pemimpin ASEAN melalui Menteri Luar
44
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan dihadiri oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB (Republik Rakyat Cina, Rusia, Prancis, Britania Raya, Amerika Serikat, Bosnia/Herzegovina, Brazil, Kolombia,, Gabon Jerman, India, Lebanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan) Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya. Hal tersebut guna mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik antara kedua negara. Dalam sidang tersebut, Marty Natalegawa menegaskan Indonesia selaku Ketua ASEAN berkomitmen tidak akan ada lagi baku tembak antara pasukan Thailand dan Kamboja di kawasan perbatasan kedua negara. Dalam tipe arbitrasi ini peranan PBB dalam kasus ini adalah sebagai hakim (abriator) dalam penyelesaian kasus sengketa tersebut dan memiliki wewenang penuh untuk menentukan tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik perebutan wilayah kedua negara tersebut. Dalam hal ini, keputusan yang di tetapkan pada pertemuan yang diadakan oleh PBB tersebut memiliki kekuatan yang mengikat dan pihak Thailand dan Kamboja harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan pada pertemuan tersebut. Pasca bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara di daerah perbatasan Pada 28 April 2011 lalu, Kamboja mengajukan permohonan kepada Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan pada tahun 1962 atas Kuil Preah Vihear beserta wilayah seluas 4,6 km2 disekitar Kuil tersebut. Hal ini disertai dengan satu permintaan Kamboja yang meminta Thailand segera dan tanpa syarat apapun untuk menarik pasukan dari daerah sekitar Kuil Preah Vihear di perbatasan kedua negara. Dilain pihak, pihak militer Thailand menentang tindakan Kamboja yang mengadukan masalah sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional. Thailand menganggap bahwa untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut tidak perlu adanya intervensi dari pihak luar. Sebaliknya, walaupun pihak militer Thailand menentang tindakan tersebut, baik pemerintah Thailand maupun Kamboja sepakat untuk mengupayakan agar konflik tersebut dapat segera diselesaiakan. Selama menunggu penafsiran keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962 tersebut, Mahkamah Internasional memerintahkan Kamboja dan Thailand pada 18 Juli 2011 untuk segera menarik pasukan militer kedua negara dari kawasan sengketa dan menetapkan daerah seluas 17,3 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear sebagai Zona Demiliterisasi dan memungkinkan pengamat ASEAN untuk memasuki ke PDZ untuk memantau gencatan senjata. Keputusan mahkamah Internasional ini pada awalnya belum di tanggapi oleh kedua negara, pasukan militer kedua negara masih berjaga-jaga di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan para aktivis nasionalis Thailand menolak perintah dari Mahkamah Internasional untuk menarik pasukan dari kawasan sengketa kedua negara dan meminta pengadilan internasional tersebut untuk
45
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
memerintahkan pemerintah Thailand menarik diri dari kasus yang diajukan oleh Kamboja ke Mahkamah Internasional dan menolak pengikatan hukum suatu putusan pengadilan. Walaupun adanya penolakan dari pihak aktifis Thailand, dilain pihak Para Menteri Pertahanan dan Pemimpin Angkatan Darat dari kedua negara yang bersengketa itu setuju untuk menarik pasukan dari daerah Kuil Preah Vihear. Ketegangan kedua negara menurun sejak bulan Agustus 2011 setelah Perdana Menteri Thailand yang baru Yingluck Shinawarta, mulai berkuasa. Perdana Menteri Thailand yang baru tersebut merupakan teman dan mantan penasihat ekonomi Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Pada akhirnya kedua negara pada saat yang bersamaan setuju untuk membentuk satuan kerja untuk memindahkan personel militer secara menyeluruh dan bersama-sama dari posisi-posisi sekarang di zona demeliterisasi sementara ini. Dan meminta Indonesia untuk mengamati penarikan pasukan militer kedua negara dari kawasan yang disengketakan secara bersama-sama. Penarikan mundur pasukan militer kedua negara ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Internasional, (ICJ), untuk meredakan konflik selama beberapa tahun belakangan dan mencegah terjadinya bentrokan antara kedua pasukan militer kedua negara kembali terjadi di kawasan sengketa tersebut. Pada bulan Juli tahun 2011 lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan agar militer kedua belah pihak ditarik secara menyeluruh dan bersamaan dari kawasan seluas 17,3 Km2 di sekeliling Kuil Preah Vihear, yang ditetapkan sebabai kawasan demilitarisasi. Sebagi gantinya, polisi kedua negara yang dikerahkan di kedua perbatasan. Tepat setahun setelah perintah Mahkamah Internasional tahun 2011 lalu, akhirnya pada Juli 2012 lalu, kedua negara sepakat menarik seluruh pasukan militernya dari kawasan yang disengketakan. Pemerintah Kamboja menarik sekitar 500 personel militernya dari kawasan Kuil Preah Vihear dan menempatkan sekitar 250 polisi dan 100 petugas keamanan di kawasan tersebut. Keputusan kedua negara ini untuk menarik pasukan militernya dari wilayah kuil Preah Vihear yang diperebutkan merupakan keputusan yang di tunggu selama ini oleh berbagai pihak. Hal ini di karenakan jika masih ada pasukan militer yang di tempatkan oleh kedua di daerah yang di seketakan tersebut, maka sudah pasti akan terjadi kembali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer tersebut. Langkah kedua negara ini merupakan titik terang untuk menuju perdamaian antara kedua belah pihak di masa depan. Didalam kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, peran pihak ketiga memang sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut kerena dengan adanya pihak ketiga sebagai penegah di dalam penyelesaian konflik antara kedua negara maka solusi dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik kedua negara
46
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
sudah pasti akan ditemukan dengan mudah dan kesepakatan damai antara keduanya pasti akan tercapai. Kesimpulan Strategi yang digunakan oleh pemerintah Kamboja untuk menyelesaikan sengketa perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear antara Thailand dan Kamboja yaitu dengan melibatkan pihak ketiga didalam penyelesaian konflik yang melibatkan kedua negara tersebut. Keinginan pihak Kamboja yang meminta adanya peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik sengketa tersebut karena pihak Kamboja beranggapan bahwa mekanisme penyelesaian secara bilateral tidak memberikan kesepakatan damai antara kedua negara melainkan bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara terus terjadi. Oleh sebab itu, pihak Kamboja berkeinginan perlunya peran pihak ketiga untuk menjadi penengah dalam penyelesaian sengketa tersebut. Didalam upaya penyelesaian konflik antara Thailand dan Kamboja tersebut Indonesia selaku pemimpin ASEAN tahun 2011 dipilih sebagai mediator dan memfasilitasi pertemuan antara kedua negara. Peran Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik tersebut hanya sebagai pihak yang mendengarkan dan memberikan rekomendasi yang harus dilakukan untuk meredakan konflik kedua negara. Selain itu juga, Kamboja mengadukan kasus tersebut kepada Mahkamah Internasional (PBB) dan meminta Mahkamah Internasional untuk mejelaskan tentang kepemilikan wilayah yang disengketakan. Saran Selama menunggu keputusan dari Mahkmah Internasional tentang kepemilikan wilayah disekitar Kuil Preah Vihear kedua negara harus menjalin hubungan baik antar keduanya. Baik pihak Thailand dan pihak Kamboja harus menjaga perdamaian dan berkerja sama untuk membangun kawasan perbatasan yang disengketan antara kedua negara. Selanjutnya, jika Mahkamah Internasional telah mengumumkan keputusannya tentang siapa yang berhak atas wilayah disekitar Kuil Preah Vihear kedua negara harus bisa menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut dan tidak mempermasalahkan wilayah tersebut kembali. DAFTAR PUSTAKA Buku BN. Marbun, S.H, 1996. Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press Jakarta Internet Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja, http://id.shvoong.com/law-andpolitics/international-law/2014090-konflik perbatasan-thailanddan-kamboja/
47
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand-Kamboja, http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politikinternasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesiadalam-konflik-thailand-kamboja Pasukan
Thailand-Kamboja Bentrok, http://www.bbc.co.uk/ dunia/2011/ 04/11 0422_cambodiathailand. shtml,
Indonesia/
Menajemen Konflik: Definisi, Ciri, Sumber, Dampak, dan Strategi Mengatasi Konflik, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemenkonflik-definisi-ciri-sumber.html
48