BAB II TINDAK PERKOSAAN DI WAKTU PERANG
A. Pengertian Perang/Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Perang merupakan suatu bentuk hubungan yang hampir sama tuanya dengan
peradaban
manusia
dimuka
bumi.
Mochtar
Kusumaatmadja
mengatakan bahwa sebagian besar sejarah manusia diwarnai dengan peperangan 14. Menurut Larry May dari Washington University, Amerika Serikat mengatakan ada beberapa argumen moral yang biasa dijadikan pegangan sehingga perang atau konflik bersenjata menjadi diterima sebagai “sesuatu” yang benar. Secara teoritis ini juga yang sering digunakan oleh kalangan militer di Indonesia dalam membenarkan perlunya mengangkat senjata dalam melawan “musuh”, siapapun mereka. Alasan – alasan tersebut, yaitu 15 : a. Prinsip membela diri b. Berkaitan dengan adanya suatu permintaan/kewajiban bahwa kita semua diminta/wajib untuk membantu orang – orang yang tidak bersalah yang menderita. c. Kekerasan senjata “terpaksa” digunakan untuk mencegah kejahatan yang lebih besar lagi.
14
Quincy Wright, A study of War, (The University Chicago Press, Chicago, 1951), p.30-33, dikutip dari Hukum Humaniter Suatu Perspektif, ed. Fadillah Agus, (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hal 1 – 3. 15 Nur Iman Subono, “Konflik bersenjata, Kekerasan Militer dan Perempuan,” dalam Yayasan Jurnal Perempuan, Perempuan di Wilayah Konflik, SMKG Desa Putera, Jakarta : Juli : 2002, hal : 110
14
Universitas Sumatera Utara
15
Meskipun demikian, perang lebih sering digunakan bukan dengan alasan – alasan moral tersebut melainkan demi kekuasaan, uang, dan alat politik. Seorang ahli perang internasional, Quincy Wright mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang yaitu 16 : 1. Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals) ; 2. Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men); 3. Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men); 4. Perang yang menggunakan teknologi modern (by using modern technology). Ia mendefenisikan perang sebagai suatu keadaan hukum yang secara seimbang memperbolehkan dua kelompok atau lebih yang saling bermusuhan melakukan suatu konflik dengan didukung oleh kekuatan senjata. War will be considered the legal condition which equality permits two or more hostile groups to carry out a conflict by armed force 17 (perang akan dipertimbangkan kondisi hukum yang sama memungkinkan dua atau lebih kelompok bermusuhan untuk melaksanakan suatu konflik dengan kekerasan bersenjata) 18
Dalam hukum humaniter, suatu keadaan dikatakan perang berdasarkan dua unsur, yaitu 19 : 1. Adanya konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah.
16
Quincy Wright, Ibid. Quincy Wright, Ibid. 18 Diterjemahkan oleh Penulis 19 Hukum Humaniter Suatu Perspektif, ed. Fadillah Agus, (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hal 2-4 17
Universitas Sumatera Utara
16
2. Intensitas penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir. Sejalan dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan sangketa bersenjata (armed conflict). Hal ini dikarenakan orang berusaha untuk agresor. Tetapi dalam kenyataannya tetap ada konflik yang secara teknis intensitasnya sama dengan perang. Menurut beberapa ahli hukum, istilah ini dianggap lebih sesuai karena lebih masuk akal. Karl Joseph Partsch membedakan anatara sangketa bersenjata internasional (international armed conflict) dan sanketa bersenjata noninternasional (non international armed conflict. Kedua istilah ini dapat ditemukan pada Konvensi Janewa 1949. Pengertian international armed conflict dapat ditemukan antara lain pada commentary Konvensi Janewa 1949, sebagai berikut : Any difference arising between two states and leading to the armed forces is an armed conflct within the meaning of article 2, even if one of the Parties dinies the existence of a state of war. It makes no difference how long the conflict lasts, or how much slaughter take place. (perbedaan yang timbul antara dua Negara dan menyebabkan intervensi anggota angkatan bersenjata adalah konflik bersenjata dalam arti Pasal 2, bahkan jika salah satu pihak dinies adanya keadaan perang. Tidak ada bedanya beberapa lama konflik berlangsung,atau berapa banyak mengambil tempat pembantaian) Dalam Pasal 2 konvensi Janewa 1949 dapat ditemukan bahwa yang dimaksud dengan international armed conflict adalah perang yang terjadi antar negara.
Universitas Sumatera Utara
17
……… the present convention shall aply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high Contracting Parties, even if the state of war is not recognized …… (konvensi ini harus digunakan untul semua kasus menyatakan perang atau konflik bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih dari pihak kontrak tinggi,bahkan jika keadaan perang tidak diaku)
Jika dalam Konvensi Janewa yang dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional adalah yang terjadi antar negara, maka dalam Protokol I 1977 (Protocol Addition to the Geneva Convention of August 1949 Relating to the Protection of the Victims of International Armed Conflict) diatur mengenai CAR conflicts yang juga termasuk dalam sangketa bersenjata internasional. Yang dimaksud dengan CAR conflict (conflict Against Racist Regime) ini adalah fighting against Colonial domination; Alien occupation; and against Racist Regime (pasa 1 ayat (4) Protokol 1 1977). Untuk istilah Non-international Armed Conflict dapat dilihat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa 1949 tidak menjelaskan secara rinci kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mengindentifikasi suatu keadaan sehingga dapat digolongkan kedalam Non-international Armed Conflict. Kriteria – kriteria tersebut baru dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) protokol II 1997. 1. This Protocol, which develops and supplements Article 3 common to the Geneva Conventions of 12 August 1949 without modifying its existing conditions of application, shall apply to all ared conflicts which are not covered by Aricle 1 of the Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflcts (Protocol I) and which take place in the territory of a High Contracting Party between its armed forces and dissident armed groups which, under
Universitas Sumatera Utara
18
responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable the to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol. Protokol ini, yang berkembang dan suplemen Pasal 3 umum untuk Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tanpa mengubah kondisi yang ada aplikasi, akan berlaku untuk semua konflik ared yang tidak tercakup oleh Aricle 1 dari Protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, dan berkaitan dengan Perlindungan Korban Conflcts Bersenjata Internasional (Protokol I) dan yang berlangsung di wilayah suatu Pihak Tinggi antara pasukan bersenjata dan kelompok-kelompok bersenjata pembangkang yang, di bawah komando yang bertanggung jawab, melakukan kontrol tersebut selama bagian dari nya wilayah untuk memungkinkan untuk melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan terpadu dan melaksanakan Protokol ini. 2. This Protocol shall not apply to situations of internal disturbances and tensions, such as riots, isolated and sporadic acts of violence and other acts of a similar nature, as not being armed conflicts 20. Protokol ini tidak berlaku untuk situasi gangguan internal dan ketegangan, seperti kerusuhan, tindakan isolasi dan sporadis kekerasan dan tindakan-tindakan lain yang sifatnya serupa, karena tidak menjadi konflik bersenjata.
Ketika perang atau konflik bersenjata terjadi banyak kerusakan – kerusakan/kerugian yang muncul baik itu bentuknya materi maupun psikis. Untuk meminimalkan kerusakan – kerusakan tersebut maka kemudian dikenal teori – teori yang bertujuan untuk memanusiawikan perang / konflik bersenjata yang terjadi tersebut. Dikenallah teori mengenai Perang yang Adil/Just War Theory yang dikemukakan oleh Douglas P. Lackey, seorang profesor filsafat dari City University, New York. Meskipun dalam teori ini terungkap bahwa perang dapat dibenarkan, tapi sedikitknya ada hal prinsip dasar didalamnya yang harus disimak baik-baik, yaitu 21 :
20 21
Fadillah Agus, Ibid. Nur Iman Subono, hal : 111-112
Universitas Sumatera Utara
19
a. perang tersebut dibenarkan secara moral setelah keadilan, hak asasi manusia, kebaikan umum dan semua konsep moral yang relevan lainnya telah dikonsultasikan dan dipertimbangkan terhadap fakta-fakta dan kaitannya satu sama lain. b. Penggunaan kekerasan tidak boleh ditujukan kepada penduduk sipil yang tidak berdosa. c. Berlakunya prinsip keseimbangan yang merupakan kunci yang membatasi unsur dalam suatu pembenaran kekerasan. Yang dimaksud disini adalah kejahatan dari penggunaan kekerasan harus berada dalam perimbangan dengan kejahatan yang dikurangi oleh kekerasan.
B. Posisi Perempuan sebagai Korban dalam Konflik Bersenjata Perkosaan terhadap perempuan terjadi diberbagai negara tanpa dibatasi oleh usia, suku, ras dan agama ataupun status sosial. Kedudukan perempuan yang seringkali dianggap sebagai warga negara kelas dua semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang lemah
dan seringkali
dimanfaatkan sebagai obyek kekerasan baik oleh masyarakat, negara dan bahkan dilingkup terkecil masyarakat sekalipun keluarga. Di berbagai belahan dunia setidak – tidaknya satu dari tiga orang perempuan menjadi korban pemukulan, pemaksaan seksual atau menjadi
Universitas Sumatera Utara
20
korban kekerasan seumur hidupnya. Pelaku kekerasan yang paling sering adalah anggota keluarga mereka sendiri 22. Ketika sebuah konflik bersenjata terjadi, kedudukan perempuan yang pada masa damai sudah dianggap sebagai obyek semakin tersudutkan dengan adanya sangketa yang terjadi yang selalu diiringi dengan perebutan kekuasaan. Rape is also a crime of extreme violence. It is an expression of dominance, power and contempt, a rejection of the woman’s right to self determination , a denial of heir being. Rape is not passion or lust gone wrong. It is first and foremost an act of aggresion with a sexual manifestation 23. (perkosaan juga merupakan tindak pidana kekerasan ekstrem.itu adlah ekspresi dari dominasi,kekuasaan dan penghinaan,penolakkan terhadap wanita untuk menentukan nasib sendiri,penyangkalan terhadap dirinya.perkosaan tidak gairah atau nafsu yang tidak beres. Pertamatama dan terutama dan bertindak agresif dengan manifestasi sexual)
Perkosaan adalah suatu bentuk pernyataan akan adanya dominasi, kekuatan dan penghinaan. maka sangatlah tidak heran kekerasan perkosaan sangat sering terjadi dalam suatu konflik bersenjata. Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan 24: a. sadistic rape dalam tipe ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram dan kekejaman, serta tindakan – tindakan merusak.
22
“Ending Violence Against Women” http://www.jhuccp.org/pr/111edsum.stm, diakses tanggal 26 Juni 2010 23 Chaterine N. Niarchos, “Women, War, and Rape : Challenges Facing The International Tribunal for the Former Yugoslavia” http://muse.jhu.edu/demo/humanrightsquarterly/17.4niarchos.html diakses tanggal 20 juni 2010. 24 Steven Box, Powe, Crime and Mystification (New York : Tavistock Publications, 1983), p. 127-129. Dikutio dari Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana (Jakarta : IND-HLL CO, 1997), hal 22-23.
Universitas Sumatera Utara
21
b. anger rape adalah penyerangan seksual dimana seksualitas menjadi sara untuk mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik. c. domination rape motif dari pemerkosa adalah untuk mendemonstrasikan kekuatannya dan kekuasaannya atas si korban. d. Seduction-turned intor-rape Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima”, tetapi dimana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus” e. Exploitation rape Merujuk pada suatu tipe dimana si pria memperoleh keuntungan dari mudah diserangnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan hukum bagi siperempuan. Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut diatas, tiga dari kelima tipe
tersebut
menggambarkan
bahwa
perkosaan
dilakukan
sebagai
pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman dan penunjukkan kekuatan dari pelakunya. Gambaran emosi tersebut merupakan emosi yang seringkali muncul pada saat suatu perang/konflik bersenjata sedang berlangsung, hal ini menunjukkan alasan yang sangat tepat untuk menjawab kenapa perkosaan diwaktu perang sangat sering terjadi.
Universitas Sumatera Utara
22
Perkosaan moral yang dilakukan secara sistematis ini dilakukan dengan restu atau bahkan keterlibatan langsung/tidak langsung dari pemerintah/negara terkait. Yang dimaksud dengan keterlibatan langsung adalah ketika pemimpin negara dengan resmi menggunakan perkosaan sebagai alatnya dalam mencapai tujuan. Sedangkan yang dimaksud keterlibatan tidak langsung adalah ketika negara tidak melakukan apapun pada saat perkosaan masal tersebut terjadi sehingga seolah – olah negara membiarkan dan setuju dengan tindakan tersebut. Alasan lainnya yang menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap tindak kekerasan perkosaan dalam perang adalah karena adanya pandangan bahwa perempuan adalah milik kaum laki-laki yang terlibat dalam peperangan. Perang yang terjadi zaman sekarang juga ditandai oleh penaklukan suatu kelompok melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok yang ditaklukan tersebut 25. Pandangan bahwa perempuan adalah harta milik terus berlangsung sampai saat ini di kalangan masyarakat, karena itu tidak mengherankan bila perang yang terjadi zaman sekarang juga ditandai oleh penaklukan suatu kelompok melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok yang ditaklukkan tersebut. Bahkan, penaklukan terhadap suatu kelompok musuh dianggap dapat dilakukan melalui penaklukan terhadap perempuan milik kelompok tersebut. Untuk dapat memenangkan suatu pertarungan maka yang 25
Sulistyowati Irianto, “Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan Terhadap Perempuan” (makalah disampaikan dalam Sesi tentang Kesukubangsaan dan negara” dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia “Memasuki Abad ke-21 : Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa”, di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Depok, 6-8 Mei 1999), hal 7.
Universitas Sumatera Utara
23
harus dilakukan adalah mengambil apa yang menjadi harta milik kelompok musuh tersebut, dengan demikian kelompok yang harta miliknya diambil akan merasa malu dan kalah. Karena dianggap sebagai hak milik seorang pria maka perempuan seringkali disiksa (diperkosa) dengan maksud untuk menunjukkan kepada kaum pria kelompoknya bahwa sesungguhnya mereka telah kalah. Hal ini berlangsung terus menerus dan saling berbalasan sehingga kaum perempuan pun semakin banyak yang menjadi korban. Margaret A. Schuler menunjukkan bagaimana kekerasan seksual terhadap perempuan yang pada waktu perang digunakan oleh militer sebagai bagian dari strategi perangnya, dinyatakan 26: d. Perkosaan telah digunakan dengan tujuan – tujuan sebagai berikut : 1. Menteror atau melakukan teror terhadap penduduk sipil dan sebagai dampak ikutannya mendorong penduduk sipil untuk meninggalkan rumah dan desa mereka. 2. Merendahkan musuh dengan cara menaklukkan kaum perempuannya. 3. Merupakan “bonus” bagi para tentara serta untuk meningkatkan keberanian mereka di medan perang. e. Pelacuran paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan moral para tentara dan pegawai dan 2. Merupakan cara untuk membuat atau menjadikan kaum perempuan merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang terjadi. 26
Nursyahbani Karjasungkana, “Militer dan Kekerasan Terhadap Perempuan” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, cet.1. Edited by Kartini Syahrir, (Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation Indonesia, 2000), hal 239-240.
Universitas Sumatera Utara
24
f. Penghamilan dan kehamilan paksa telah digunakan untuk tujuan – tujuan sebagai berikut : 1. Memperdalam penghinaan terhadap korban perkosaan. 2. Melahirkan
bayi-bayi
dengan
etnis
yang
sama
dengan
pemerkosaannya. Berdasarkan alasan – alasan yang dikemukakan oleh Margaret A. Schuler terlihat bahwa perempuan seringkali hanya dianggap sebagai obyek yang digunakan untuk memenangkan perang atau sebagai alat mencapai tujuan ketika suatu konflik bersenjata terjadi. Kedudukan perempuan sebagai korban tidak selesai ketika perkosaan tersebut selesai. Selain penderitaan fisik dan mental yang dihadapi karena diperkosa. Para korban perkosaan juga seringkali mengalami “penyiksaan mental” dalam bentuk lain ketika ia diharuskan berhadapan dengan keluarga dan masyarakat disekitarnya. Ketika terjadi penyerangan balik di Rwanda, dibeberapa tempat terjadi perkosaan terhadap remaja – remaja yang selamat dari penyerbuan. Perkosaan tersebut dilakukan oleh para milisi. Banyak dari remaja – remaja tersebut yang dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat disekitarnya karena kemudian hamil. Beberapa diantara mereka kemudian tidak menghiraukan bayinya dan tidak sedikit pula yang melakukan bunuh diri 27. Dalam beberapa kasus perempuan – perempuan yang mengalami perkosaan atau kekerasan sesksual dalam bentuk lainnya bukan merupakan 27
“Sexual violence as a weapon of war” http://www.unicef.org/sow96ok/sexviol.htm diakses tanggal 20 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
25
satu-satunya pihak yang mengalami trauma. Pihak – pihak lain seperti misalnya, anak korban, anggota keluarga lainnya atau teman – teman korban juga ikut mengalami trauma karena menyaksikan, mendengar teriakan atau melihat akibat fisik dan mental yang dialami oleh korban 28. Begitu seringnya kasus perkosaan terhadi dan dampak yang ditimbulkan dari kasus tersebut menyebabkan persoalan ini jagan lagi dianggap sebagai masalah pribadi atau negara saja tapi sudah merupakan masalah masyarakat secara umum 29.
C. Kasus-kasus Perkosaan di Waktu Perang yang Pernah dan sedang Terjadi Kasus perkosaan yang dilakukan secara berencana dan sistematis terjadi dibeberapa tempat didunia. Diantaranya kasus Jepang pada perang Asia Pasifik (1932-1945), kasus Bosnia-Herzegovina (1991-1995), dan kasus perang suku di Rwanda (1994). Ketiga kasus tersebut dapat menggambarkan bagaimana perkosaan secara sistematis sungguh telah terjadi dan telah dilakukan dengan berbagai alasan yang berbeda.
C.1. Asia Pasifik – Jepang Kasus perkosaan yang dilakukan tentara Jepang pada masa kependudukannya di beberapa negara di Asia selama perang Asia Pasifik 28
“Rape”, http://www.4woman.org/violance/index.cfm, diakses tanggal 26 Juni 2010. Rape is no longer a state (read : family) matter but rather an international (read : public) concern. Laura Thorton, “Defenition of Rape in Bosnia-Herzegovina : Implication for International Norms,” April 19 1998, http://www.princeton.edu/~sociologo/curran/curranthorton.tml diakses tanggal 26 juni 2010. 29
Universitas Sumatera Utara
26
(tahun 1932-1945) merupakan tragedi menyedihkan lainnya dari sekian banyak akibat perang. Kegiatan perbudakan seksual secara sistematis telah dilakukan oleh tentara Jepang sejak tahun 1931/1932 dan terus berlanjut selama masa kependudukannya pada perang Asia Pasifik berlangsung. Pada masa itu para perempuan dikumpulkan secara paksa, dengan ancaman dan bahkan dengan berbagai tipuan dengan tujuan melayani para petugas militer Jepang. Para perempuan ini dikenal dengan isitilah “comfort women” atau Jugun Ianfu dikalangan militer Jepang. Meskipun tidak ada kepastian yang jelas mengenai jumlah tepatnyam diperkirakan lebih kurang 200.000 perempuan telah menjadi “comfort women” selama pendudukan Jepang di Asia Pasifik Perang Asia Pasifik 30. Setidak-tidaknya tercatat kasus perkosaan yang dilakukan terhadap ribuan perempuan di negara – negara Asia tersebut terjadi di Filipina, Korea Selatan, Cina, Birma dan Indonesia. Angka mencatat bahwa kasus terbanyak terjadi di Korea Selatan (80% dari total seluruh korban yang diketahui). Perkosaan yang dilakukan tentara Jepang tersebut merupakan kasus perkosaan secara sistematis yang pertama kali dikenal oleh dunia secara internasional. Tuntutan atas pertanggung jawaban Jepang terhadap kekerasan perkosaan yang mereka lakukan selama pendudukannya di negara-negara Asia tersebut mulai muncul kepermukaan pada awal tahun 1990-an ketika sejumlah mantan Jugun Ianfu yang berasal dari Korea Selatan mengajukan tuntutan 30
“Japan’s Crimes Against Humanity : why Japan’S Hitler, Hirohito, Not Hanged?” http://www.kimsoft.com.kr-japan.htm, diakses tanggal 4 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
27
terhadap pemerintah Jepang atas tindakan mereka melakukan perkosaan terhadap perempuan-perempuan penduduk sipil. Mereka dijadikan pelacur secara paksa untuk memuaskan nafsu seksual para tentara Jepang yang berada di wilayah pendudukan. Tuntutan dari perempuan-perempuan Korea tersebut tak lama kemudian diikuti oleh perempuan-perempuan dari negara bekas pendudukan Jepang lainnya yang juga mengalami kekerasan perkosaan yang serupa, termasuk diantaranya Cina, Filipina dan Indonesia. Tidak
lepas
dari
cengkraman
para
serdadu
Jepang
dimasa
pendudukannya di Asia Pasifik adalah beberapa perempuan warga negara Belanda ke pemerintahan kekaisaran Jepang. Mereka pun mengalami kekerasan dan ikut mengajukan tuntutan meminta pertanggungjawabn pemerintah Jepang atas tindakan serdadu mereka selama perang dunia II. Berbagai bukti dokumen yang membuktikan bahwa kegiatan perbudakan seksual tersebut sungguh terjadi selama masa pendudukan Jepang telah dipublikasikan secara internasional. Tetapi pemerintah Jepang sampai saat ini masih menutup mata atas kejahatan perang yang telah mereka lakukan. Berkaitan dengan Indonesia, investigasi yang dilakukan di Tokyo menemukan empat dokumen yang mengacu atau menunjukan adanya perempuan – perempuan penghibur semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945. Dokumen pertama merupakan laporan dari pemerintah sipil di Sulawesi Selatan mengenai tata cara pengelolaan di tempat-tempat perempuan penghibur termasuk mengenai makanan dan gaji para perempuan penghibur tersebut. Dokumen kedua merupakan surat dari seorang komandan militer
Universitas Sumatera Utara
28
tentara pendudukan Jepang di Taiwan yang meminta tambahan perempuan penghibur sebanyak 50 orang dari Kalimantan. Dokumen ketiga dari kepala staf tentara pendudukan Jepang di Taiwan kepada Ajudan Departemen Pertahanan Jepang di Tokyo, berupa permintaan tambahan perempuan penghibur sebanyak 20 orang untuk dibawa ke Kalimantan. Sedangkan dokumen keempat merupakan sebuah laporan tentara pengelola tempat perempuan penghibur di pulau Jawa oleh seorang pengelolanya 31. Meskipun ada banyak dokumen resmi yang dapat membuktikan keterlibatan pemerintah Jepang dalam praktek prostitusi selama masa pendudukannya di Asia selama Perang Dunia II namun, tidak ada satu pun pernyataan resmi dari pemerintahan Jepang yang mengakui bahwa tindakan perbudakan seksual tersebut sungguh terjadi. Bahkan sampai saat ini tidak ada satu pun bentuk permintaan maaf yang secara resmi di keluarkan oleh pemerintah Jepang atas tindakan mereka terhadap para perempuan diwilayah pendudukannya selama perang Asia Pasifik 32.
C.2. Bosnia – Herzegovina Sejarah Bosnia-Herzegovina merupakan keunikan sebuah negara yang mempunyai 4 agama. (Yahudi, Katolik Roma, Kristen Orthodoks dan Islam) Pada tahun 1389, Turki mencaplok Kosovo (dan menduduki Bosnia dan Herzegovina pada tahun 1963). Terjadi suatu eksodus besar-besaran
31 32
“Pemerintah Jepang Minta Maaf,” Kompas, Selasa, 7 Juli 1992. Jepan’s Crimes Against Humanity : Why Japan’s Hitler, Hirohito Not Hanged?”
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
29
warga Serbia dan baru 500 tahun kemudian mereka kembali. Kosovo menjadi penting secara historis bagi Serbia 33. Tak lama setelah berdiri, Yugoslavia sebenarnya nyaris mengalami perpecahan seperti sekarang. Pemilu pada 1920 melahirkan kekuatan yang relatif setara dari sejumlah partai yang mewakili setiap etnis di Yugoslavia. Akibatnya, pada 6 Januari 1929 konstitusi dibatalkan dan Yugoslavia memasuki sistem pemerintahan kerajaan diktatorial di bawah Raja Alexander. Sistem pemerintahan republik dengan konstitusi barus diterapkan selepas PD II pada November 1945 di bawah kepemimpinan Josip Broz Tito. Pada 1991, keruntuhan Yugoslavia menjadi kenyataan. Diawali Slovenia dan Kroasia yang menyatakan memisahkan diri dari Yugoslavia, menjadi negara berdaulat. Menyusul Slovania dan Kroasia, Bosnia melalui suatu referendum pun menyatakan pemisahan diri dari Yugoslavia dan menjadi negara berdaulat dipimpin Presiden Alija Izatbigovic. Inilah yang memicu pembantaian rakyat Muslim Bosnia oleh bangsa Serbia pimpinan Slobodan Milosevic pada 1992. Serbia berupaya mempertahankan kesatuan Yugoslavia. Etnis Serbia yang umumnya beragama Kristen Ortodox ini dingin mendominasi pemerintahan, militer dan administrasi negara. Di Serbia terdapat sekitar 6 juta etnis Serbia, sedangkan di Bosnia 1,36 juta jiwa dan di Kroasia 0,5 juta jiwa. Milosevic berobsesi mewujudkan Negara Serbia Raya yang bersifat
33
Seno Joko, Suyono dan Irfan Budiman, “ Kisah Sang Jagal dari Balkan”, Tempo, 29 Oktober 2000, hal 72.
Universitas Sumatera Utara
30
monoetnis, maka ia menentang habis-habisan berdirinya Bosnia-Herzegovina yang mayoritas Muslim dengan melakukan pembersihan etnis non-Serbia 34. Pembersihan etnis inilah yang kemudian menjadi sorotan masyarakat internasional karena kekejaman yang dilakukan oleh bangsa Serbia. Pembunuhan masal dan perkosaan masal dilakukan sebagai cara untuk menghilangkan etnis lain selain etnis Serbia. Ribuan perempuan muslim Bosnia diperkosa untuk mencapai tujuan tersebut termasuk pula diantaranya anak-anak. Menghadapi aksi Serbia yang membabi buta, pada 1994 etnis Kroasia di Bosnia dan Muslim Bosnia bersatu melawan Serbia. Namun karena persenjataan yang tak berimbang, mereka jadi bulan-bulanan Serbia. Perang sipil selama 44 bulan itu, diperkirakan memakan korban tak kurang 200 ribu jiwa, jutaan lainnya kehilangan rumah dan terpencar-pencar dari keluarga. Mayoritas dari mereka adalah umat Islam 35. Milosevic
didukung
Panglima
Angkatan
Bersenjata
Radovan
Karadzic, melakukan pembantaian membabi buta. Saat itulah nama BosniaHerzegovina mencuat ke dunia dan mengundang simpati khususnya dari negara-negara Islam. Karena memang jumlah etnis selain Serbia yang paling banyak di bekas Yugoslavia adalah muslim, maka korban dari etnis muslim merupakan korban yang paling banyak (40%) dari 3,6 juta penduduknya beragama Islam.
34
“Bangsa-bangsa Muslim : Bosnia-Herzegovina” http://www.pesantren.net/sejarah/bangsa-20001113155900-bos.shtml, diakses tanggal 17 Juli 2010. 35 “Bangsa-bangsa Muslim; Bosnia – Herzegovina,” Ibid.
Universitas Sumatera Utara
31
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)-lah yang akhirnya menghentikan aksi brutal Serbia dengan serangan udara ke Serbia dan Montenegro. NATO kemudian memaksa Serbia menandatangani perjanjian damai yang dilakukan di Dayton, Ohio, Amerika Serikat pada penghujung 1995 (perjanjian ini dikemudian hari lebih dikenal dengan nama Perjanjian Dayton/Dayton Agreement). Setelah melewati perjuangan yang panjang, akhirya melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. S/RES/755 pada tanggal 20 Mei 1992, BosniaHerzegovina telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai sebuah negara yang merdeka 36. Terlibatnya negara dalam kegiatan perkosaan yang secara masal dan sistematis sungguh terjadi sebagaimana yang terjadi dengan perempuan-perempuan muslim Bosnia dalam konflik Semenanjung Balkan tahun 1991-1995. Hal ini dapat dilihat dalam salat satu konsideran statuta ICTY (Resolusi Dewan Keamanan no. 827 (1993)). Dalam perang ini, perkosaan juga digunakan sebagai strategi militer dimana lebih kurang 20.508 orang dinyatakan hilang selama perang Bonisa ini berlangsung 37. C.3. Rwanda Perang suku yang terjadi di Rwanda antara suku Hutu dan suku Tutsi terjadi akibat pendudukan Belgia yang pembantaian tersebut melibatkan aparat militer, politisi, para pengusaha dan sejumlah masyarakat sipil 38.
36
“Scrotan Sejarah” http://www.partipas.org/ulamak/dunia/Bosnia/Bosnia2.html diakses tanggal 17 Juli 2010. 37 International Committee of The Red Cross (ICRC) Annual Report 2000, hal. 152 38 “Rwanda: Haw the Genosida happened” http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/1288230.stm , diakses pada 17 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
32
Sebuah kelompok sipil yang berjumlah lebih kurang 30.000 orang yang dikenal dengan nama Interahamwe (berarti mereka yang menyerang bersama-sama) digerakkan dalam pembersihan etnis Tutsi tersebut. Kelompok ini terbentuk dan bergerak atas dorongan dari penjaga keamanan presiden dan berbagai propaganda di radio. Selama Genosida berlangsung lebih kurang 100 hari (bulan April sampai Juni tahun 1994), lebih dari 800.000 orang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut yang mendominasi adalah korban dari suku Tutsi. Pembuhan yang bertujuan pemusnahan ras ini dilakukan oleh suku Hutu terhadap suku Tutsi.Dalam perang antar suku ini perkosaan secara sistematis telah digunakan sebagai salah satu cara pemusnahan ras (genocida) 39. Perempuan-perempuan suku Tutsi diperkosa dan dibunuh oleh anggota suku Hutu.
39
“Rwanda : How the Genosida Happened” Ibid
Universitas Sumatera Utara