Perlindungan Hak Warga Sipil terhadap Pemindahan Secara Paksa dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional Menurut Hukum Humaniter Internasional. Oleh: David Waltin Pasaribu (1306451591) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jalan Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus UI, Depok, Jawa Barat 16424. E-mail:
[email protected] 1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya setiap manusia sebagai pribadi kodrati meninginkan suatu kehidupan dalam suasana damai, aman, tenteram, dan sejahtera. Hubungan sesama manusia yang terjadi selama ini memiliki tujuan yang pada dasarnya untuk dapat saling membantu dan saling mendukung sesama manusia. Namun, akibat hubungan yang semakin meluas dari individu antar individu hingga negara antar negara atau bangsa, sampai menimbulkan konflik atau perselisihan yang ditimbulkan oleh perbedaan persepsi atau cara pandang dari masing - masing bangsa tersebut. Hal yang sangat memprihatinkan lagi jika konflik tersebut sudah tidak menemukan cara lain selain konflik bersenjata atau peperangan. Eksistensi perang telah ada sejak bumi diciptakan. Sesuai kajian ilmu sejarah perang hampir sama umurnya dengan umat manusia. Hal ini terbukti dari kenyataannya bahwa perang yang pada dasarnya merupakan suatu pembunuhan yang berskala besar bagi pihak-pihak yang berperang merupakan perwujudan daripada naluri guna mempertahankan diri dalam hubungan
diantara
bangsa-bangsa1. Dalam
politik
internasional, tampak
merupakan siklus antara perang, diplomasi, dan damai yang mana seharusnya tujuan damai merupakan tujuan bersama. Pada beberapa tahun terakhir ini banyak konflik bersenjata yang terjadi diberbagai belahan dunia dan tidak jarang hasil dari konflik bersenjata tersebut memakan korban yang sangat besar, serta tidak sedikit anggaran yang dibelanjakan oleh Negara dalam
1
Nasution, Muhammad. “Hukum Internasional (Suatu Pengantar)”. Penerbit Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan: 1992. Halaman 67.
1
mempersenjatai militernya. Dimana situasi dan kondisi dari konflik bersenjata yang bersifat internasional maupun yang bersifat non-internasional2. Mendengar kata perang dan konflik bersenjata membawa kita dalam persepsi atau gambaran situasi dan kondisi yang dimana manusia saling melukai hingga membunuh atau dengan cara apapun berupaya agar pihak lawan menjadi tidak berdaya atau lumpuh sampai memperoleh kemenangan. Menurut logika, ini merupakan salah satu perwujudan dari nurani manusia untuk mempertahankan diri, hal seperti ini wajar kita temukan dalam pergaulan antara manusia atau antar bangsa yang secara natural bahwa manusia adalah makhluk sosial3. Peperangan mempunyai berbagai maksud dan tujuan, diantaranya dengan dalih pembelaan diri untuk mempertahankan nyawa, keluarga, kehormatan maupun untuk mempertahankan bangsanya, hingga masalah idelogi4. Selain dari itu ada yang dikenal juga adanya peperangan karena ingin merampas dan menjajah atau menguasai bangsa lain karena ketertarikan akan kemakmuran dan sumber daya alam yang melimpah dari bangsa lain, bisa juga suatu peperangan diakibatkan karena perebutan wilayah atau perlakuan diskriminasi antar bangsa atau sesama bangsa dalam negara sendiri5. Dalam hal ini, Hukum Internasional membuat sekumpulan ketentuan – ketentuan mengenai perang dan tindakan -tindakan kekerasan lainnya yang ditujukan agar tindakan – tindakan tersebut, yang pada dasarnya merupakan opsi terakhir yang digunakan dalam penyelesaian suatu masalah dapat dilaksanakan secara manusiawi dan didasarkan pada prinsip – prinsip HAM (Hak Asasi Manusia). Ketentuan – ketentuan mengenai hal tersebut dalam Hukum Internasional lebih dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional ini sudah memiliki konvensi – konvensi atau perjanjian – perjanjian yang mengikat secara internasional dalam hal prinsip – prinsip HAM. Salah satu konvensi yang terpenting dalam Hukum Humaniter Internasional dan menjadi tonggak bagi Hukum Humaniter Internasional adalah Konvensi Jenewa 1949 Tentang Perlindungan Orang – Orang Sipil dalam Waktu Perang. 2
Ibid. Halaman 69. Lebow, Richard Ned. “Between Peace and War: The Nature of International Crisis”. Johns Hopkins University Press. 1984. Halaman 12. 4 Gasser, Hans-Peter. "International Humanitarian Law An Introduction." International Review of the Red Cross 34, no. 298. 1994. Halaman 88. 5 Nowak, Manfred. “Introduction to the International Human Rights Regime”. Brill Academic Pub. 2003. Halaman 5. 3
2
Konvensi Jenewa sendiri terdiri dari empat perjanjian, dan tiga protokol tambahan, yang menetapkan standar hukum internasional untuk pengobatan kemanusiaan perang. Konvensi Jenewa secara luas didefinisikan pada hak-hak dasar para tahanan perang (warga sipil dan personel militer); mendirikan perlindungan untuk yang terluka; dan mendirikan perlindungan bagi warga sipil di dan sekitar zona perang. Perjanjian tahun 1949 yang diratifikasi, secara keseluruhan atau dengan reverasi, menjadi 196 negara6. Selama pelaksanaan hingga sekarang ini, sudah banyak pula terjadi pelanggaran – pelanggaran terhadap konvensi ini seperti Konflik Kamboja tahun 1975, Konflik Rwanda 1990, Konflik Yugoslavia 1995, Konflik Sudan 2003, dan lain-lain. 2.
Pembahasan
2.1. Isu Permasalahan: Konflik Sudan Republik Sudan telah mengalami perang saudara secara berselang di beberapa wilayah negara tersebut sejak kemerdekaan Republik Sudan pada tahun 1956. Konflik bersenjata Republik Sudan sudah berakar sejak pembentukan negara tersebut. Selama Republik Sudan dijajah oleh pemerintahan kolonial Anglo-Egyptian, kaum Muslim Arab di Utara serta kaum Nasrani dan Animisme di Selatan diperintah sebagai dua entitas yang berbeda, dimana wilayah Utara dimodernisasi sedangkan wilayah Selatan diabaikan, sehingga menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar antara dua wilayah tersebut dengan keragaman dan keterkaitan historis antara dua wilayah tersebut. Suatu perubahan kebijakan pada tahun 1947 untuk menyatukan kedua wilayah tersebut yang akhirnya berujung pada kemerdekaan kedua wilayah tersebut sebagai satu negara pada tahun 1956 dengan nama Republik Sudan7. Pada tahun 1947, Republik Sudan ditinggalkan oleh pemerintahan kolonial dengan kedua wilayah yang berat hati untuk bersatu dan dengan pembentukan pemerintahan Republik Sudan yang terpusat dilakukan oleh wilayah Utara. Wilayah Selatan, yang sudah melakukan protes kesenjangan sosial dan kesenjangan politik, takut akan pemerintahan Republik Sudan yang akan didominasi oleh kaum Arab dan kaum Muslim di wilayah Selatan. Padahal sebelumnya sudah terdapat janji untuk membentuk suatu sistem pemerintahan yang federal, akan tetapi janji tersebut tidak ditepati8. 6
International Committee of the Red Cross. "State Parties / Signatories: Geneva Conventions of 12 August 1949". International Humanitarian Law. 7 Verney, Peter. “Sudan: Conflict and Minorities”. Minority Rights Group. London: 1995. Halaman 11. 8 Ibid. Halaman 12.
3
Pada tahun 1965, ketegangan tersebut memuncak sehingga memicu perang saudara yang pertama di Republik Sudan. Konflik tersebut, yang berujung pada suatu kudeta pemerintahan yang berhasil serta pergantian rezim pemerintahan, berakhir dengan Perjanjian Adis Ababa pada tahun 1972 dengan janji akan membentuk otonomi politik di wilayah Selatan9. Sengketa akan penemuan cadangan minyak yang besar di wilayah Selatan pada tahun 1979, bersamaan dengan kebijakan Presiden Nimeiry untuk mengimplementasikan hukum Syariat Islam untuk seluruh wilayah Republik Sudan dan mengakhiri otonomi politik wilayah Selatan, mengakibatkan konflik bersenjata lagi pada tahun 198310. Di tahun yang sama, seorang penduduk wilayah Selatan bernama John Garang membentuk Sudan People’s Liberation Movement/Army (SPLM/A) yang bertujuan untuk berperang hingga mencapai negara kesatuan Sudan yang sekuler11. Dalam kudeta lain, Presiden Nimeiry akhirnya dipecat dan digantikan oleh Sadiq Al-Mahdi setelah pemilihan umum yang dilakukan pada tahun 1986. Namun, Al-Mahdi memberikan kebijakan pemerintahan yang bebas kepada kelompok milisi bersenjata di wilayah Selatan sehingga akhirnya kelompok milisi bersenjata tersebut membunuh, memperbudak, dan memperkosa penduduk setempat12. Pada tahun 1988, sebuah bencana kelaparan menyerang Republik Sudan yang akhirnya pasokan makanan dimanfaatkan sebagai “senjata” dalam konflik. Bencana kelaparan tersebut mengakibatkan kematian sekitar 250.000 jiwa13. Ditambah dengan terjadinya konflik bersenjata maka pada masa itu secara total telah mengakibatkan kematian sekitar dua juta jiwa dan pemindahan secara paksa sekitar empat juta jiwa14. Suatu kudeta yang dilakukan pada tahun 1989 berujung pada Omar Al-Bashir sebagai presiden. Dalam masa pemerintahannya penindasan semakin meningkat, sementara pengabaian di wilayah Selatan serta wilayah pinggiran lainnya sangat memburuk15. Konflik
berkepanjangan
Republik
Sudan
sebagian
besar
diakibatkan
oleh
marginalisasi politik, ekonomi, agama dan budaya dari wilayah perbatasan Republik Sudan 9
Ibid. Halaman 13. Flint, Julie, dan Alex De Waal. “Darfur: A New History of A Long War”. Zed Books. 2008. Halaman 25. 11 Verney, Peter. “Sudan: Conflict and Minorities”. Minority Rights Group. London: 1995. Halaman 13. 12 Ibid. 13 Deng, Luka Biong. "The Sudan Famine of 1998." IDS Bulletin 33, no. 4. 2002. Halaman 28-38. 14 http://www.insightonconflict.org/conflicts/sudan/conflict-profile. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 15 Ibid. 10
4
oleh pemerintah Republik Sudan itu sendiri di ibu kota Khartoum. Akhirnya sebuah terobosan
perdamaian
yang
jelas
dilakukan
ditandai
dengan
ditandatanganinya
Comprehensive Peace Agreement pada tahun 2005, yang berujung pada kemerdekaan Sudan Selatan pada tahun 201116. Namun perjanjian perdamaian tersebut memberikan dampak yang kecil bagi wilayah – wilayah Sudan lainnya dimana ketentuan – ketentuan dari perjanjian perdamaian tersebut yang tersisa sebagian besar tidak diimplementasikan dan konlik bersenjata terus berlanjut17. Sementara itu, ternyata kemerdekaan Sudan Selatan tetap tidak memberikan perdamaian terhadap konflik bersenjata dengan pemerintah Sudan sendiri akibat permasalahan yang tidak terselesaikan mengenai sengketa wilayah perbatasan serta perebutan wilayah Abyei yang mengandung banyak sekali cadangan minyak18. Konflik yang sudah mencapai banyak sekali perang saudara telah menyebabkan banyak sekali pelanggaran HAM berat, kejahatan terhadap kemanusiaan dan krisis kemanusiaan di wilayah Selatan, Kordofan Selatan, serta Nil Biru yang ketiganya merupakan wilayah dari negara Republik Sudan. 2.2. Tindakan Hukum Pada tanggal 14 Juli 2008, Jaksa Agung International Criminal Court (ICC), Luis Moreno Ocampo, menuduh bahwa Omar Al-Bashir bertanggung jawab atas tindak pidana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta kejahatan perang yang dilakukan sejak tahun 2003 di wilayah Darfur. Jaksa Agung ICC tersebut menuduh Omar Al-Bashir karena telah merencanakan dan mengimplementasikan rencana untuk menghapuskan tiga kelompok etnis utama, yaitu Fur, Mashalit, dan Zaghawa dengan tindakan pembantaian, pemerkosaan, serta pemindahan secara paksa (deportasi). Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir didukung oleh NATO, Genocide Intervention Network, dan Amnesty International. Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir dikeluarkan pada tanggal 4 Maret 2009 oleh Majelis Hakim Pra-peradilan ICC yang terdiri atas Hakim Akua Kuenyehia dari Ghana,
16
LeRiche, Matthew, dan Matthew Arnold. “South Sudan: From Revolution to Independence”. Oxford University Press. UK: 2013. Halaman 128. 17 Grawert, Elke. “After the Comprehensive Peace Agreement in Sudan”. Boydell & Brewer. 2010. Halaman 57. 18 LeRiche, Matthew, dan Matthew Arnold. “South Sudan: From Revolution to Independence”. Oxford University Press. UK: 2013. Halaman 129.
5
Hakim Anita Usacka dari Latvia, dan Hakim Sylvia Steiner dari Brazil 19 mendakwakan Omar
Al-Bashir
dengan
(pembunuhan/pembantaian,
lima
tuduhan
pemusnahan
penyiksaan dan pemerkosaan)
20
etnis,
kejahatan
terhadap
pemindahan
secara
kemanusiaan paksa/deportasi,
serta dua tuduhan kejahatan perang (perampokan dan
serangan terhadap warga sipil dengan sengaja)21. Pra-peradilan ICC tersebut menilai tidak terdapat cukup bukti untuk menuduh Omar Al-Bashir dengan tuduhan melakukan genosida22. Namun, satu dari tiga Hakim pra-peradilan menulis sebuah dissenting opinion bahwa terdapat dasar-dasar yang cukup untuk menuduh Omar Al-Bashir telah melakukan kejahatan genosida23. Republik Sudan tidak menjadi negara peserta Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan ICC maka dengan demikian Republik Sudan berpendirian bahwa Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir tidak harus dieksekusi sendiri oleh Republik Sudan. Namun, Resolusi United Nations Security Council (UNSC) 1593 pada tahun 2005 merujuk Republik Sudan kepada ICC dan atas rujukan tersebut mengakibatkan ICC memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh Omar Al-Bashir selaku Presiden dari Republik Sudan. Oleh karena itu pula, Republik Sudan diwajibkan untuk bekerja sama dengan ICC untuk mengeksekusi Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir24, ditambah dengan desakan dari Amnesty International dan organisasi – organisasi lainnya yang mendukung eksekusi dari Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir yang dikeluarkan oleh ICC25. Amnesty International menyatakan bahwa Omar Al-Bashir harus menyerahkan diri dan otoritas pemerintah Republik Sudan harus menahan Omar Al-Bashir dan menyerahkannya pada ICC jika ia menolak untuk menyerahkan diri26.
19
Bohlen, Rachel. "Questioning Authority: A Case for the International Criminal Court's Prosecution of the Current Sudanese President, Omar Al-Bashir." Geo. Wash. Int'l L. Rev. 42. 2010. Halaman 687. 20 International Criminal Court. “Decision on Prosecution’s Application for a Warrant of Arrest Omar Hassan Ahmad Al Bashir.” 2009. 21 Ibid. 22 http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/7923102.stm. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 23 International Criminal Court. “Decision on Prosecution’s Application for a Warrant of Arrest Omar Hassan Ahmad Al Bashir.” 2009. 24 Amnesty International. “Sudan: Amnesty International Calls for Arrest of President Al Bashir” 2009. 25 http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/7527376.stm. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 26 https://www.amnesty.org/en/latest/news/2009/03/icc-issues-arrest-warrant-sudanese-president-al-bashir20090304. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016.
6
Omar Al-Bashir menjadi Kepala Negara pertama yang didakwa oleh pengadilan ICC. Akan tetapi, Liga Arab27 dan Uni Afrika28 menolak untuk menjalankan Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir dari ICC. Setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan atas diri-nya, Omar Al-Bashir telah melakukan kunjungan ke Negara Cina, Nigeria, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Ethiopia, Kenya, Qatar dan beberapa negara lainnya. Semua negara yang dikunjungi oleh Omar Al-Bashir tersebut menolak untuk menangkapnya saat kedatangan Omar Al-Bashir dan menolak untuk menyerahkannya kepada ICC. Salah satu negara anggota ICC, Chad juga menolak untuk menangkap Omar Al-Bashir pada tahun 2010 saat kunjungan kenegaraan-nya ke negara Chad29. Atas tindakan – tindakan beberapa negara yang menolak untuk menangkap Omar Al-Bashir, Luis Moreno Ocampo (Jaksa Agung ICC) serta Amnesty International menyatakan bahwa pesawat yang membawa Omar Al-Bashir dapat dicegat di wilayah udara internasional. Namun, Republik Sudan menyatakan bahwa pesawat kepresidenan akan selalu dikawal dan dijaga oleh jet tempur milik Angkatan Udara Republik Sudan untuk mencegah penangkapan Omar Al-Bashir. Pada Maret 2009, tepat sebelum kunjungan Omar Al-Bashir ke Qatar, pemerintah Republik Sudan mempertimbangkan untuk mengirim jet tempur milik Angkatan Udara Republik Sudan untuk mengawal pesawat kepresidenan dalam perjalanannya menuju Qatar. Dalam respon terhadap laporan tersebut, Perancis menyatakan dukungan pangkalan militer-nya yang berada di negara Djibouti dan negara Uni Emirat Arab untuk mencegat pesawat kepresidenan Republik Sudan di wilayah udara internasional30. Surat Perintah Penangkapan Omar Al-Bashir yang kedua dikeluarkan oleh ICC pada tanggal 12 Juli 201031. ICC menambahkan 3 tuduhan terhadap Omar Al-Bashir dimana ketiga tuduhan tersebut merupakan tuduhan atas kejahatan genosida atas penghapusan etnis Fur, Mashalit dan Zaghawa32. Surat Perintah Penangkapan yang baru ini sudah termasuk kesimpulan Majelis Hakim ICC bahwa terdapat dasar – dasar yang cukup untuk mencurigai Omar Al-Bashir bertindak dengan motif khusus untuk menghancurkan sebagian kelompok 27
http://news.bbc.co.uk/2/hi/7971624.stm. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. https://www.amnesty.org/en/latest/news/2009/07/african-union-refuses-cooperate-bashir-arrest-warrant20090706. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 29 http://www.theguardian.com/world/2010/jul/22/chad-refuses-arrest-omar-al-bashir. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 30 http://www.ethiopianreview.com/index/9071. Diakses pada hari Selasa 31 Mei 2016. 31 http://bashirwatch.org. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 32 Ibid. 28
7
etnis Fur, Mashalit, dan Zaghawa di daerah Darfur33. ICC kemudian mengeluarkan pernyataan lebih lanjut bahwa dakwaan terhadap Omar Al-Bashir telah termasuk dakwaan atas genosida dengan pembunuhan, genosida dengan menyebabkan luka berat fisik dan perusakan mental, serta genosida dengan sengaja menyengsarakan kondisi kehidupan setiap kelompok etnis yang bertujuan pada kehancuran kelompok etnis secara fisik34. Dakwaan tambahan tersebut dipisah menjadi 3 dakwaan yang berdiri sendiri masing-masing35. Setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan yang kedua atas diri-nya, Omar Al-Bashir tetap berpendirian bahwa Republik Sudan tidak menjadi negara peserta dalam Perjanjian ICC dan tidak bisa diharapkan untuk mematuhi ketentuan – ketentuan ICC seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia36. Omar Al-Bashir menuduh balik Luis Moreno Ocampo dengan tuduhan beberapa kali berbohong untuk menghancurkan reputasi dan kedudukan Omar Al-Bashir37. Ada-nya Surat Perintah Penangkapan kedua atas Omar Al-Bashir ini pula tidak merubah kedudukan Liga Arab serta Uni Afrika untuk menolak melakukan eksekusi atas Surat Perintah Penangkapan tersebut38. 2.3. Analisa Hukum Penindasan yang didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan, atau kekayaan, atau setiap ukuran lainnya terhadap warga sipil telah diatur dengan Pasal 3 ayat (1) Konvensi Jenewa tahun 1949. Dalam pemberlakuan Konvensi Jenewa terhadap suatu permasalahan/isu, terdapat syarat utama yaitu permasalahan/isu tersebut melibatkan suatu konflik bersenjata. Agar dapat dikatakan suatu konflik bersenjata, permasalahan/isu itu harus memenuhi syarat konflik bersenjata yang terdapat pada Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 yang menyatakan bahwa: “Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan ‘sengketa bersenjata’ (armed conflict), dibatalkan. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik bersenjata yang tidak bersifat 33
Weldehaimanot, Simon M. "Arresting Al-Bashir: The African Union's Opposition and the Legalities." Afr. J. Int'l & Comp. L. 19. 2011). Halaman 208. 34 Ibid. 35 Ibid. 36 http://www.theguardian.com/world/2011/apr/20/omar-al-bashir-sudan-darfur. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016. 37 Ibid. 38 Ibid.
8
internasional. Walaupun usul ini tidak diterima secara resmi (karenanya tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri di dalam Konvensi Jenewa), namun kiranya bermanfaat untuk diperkirakan dalam keadaan bagaimana Konvensi Jenewa akan berlaku. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : a.
Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, di pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.
b.
Bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler (angkatan bersenjata) untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional;
c.
Adapun Pemerintah de jure tempat di mana pemberontak tersebut berada : a). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; b). telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; c). telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan d). bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi;
d.
Adapun pihak pemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki : a). suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai ‘negara’; b). penguasa sipil (civil authority) dari pemberontak tersebut dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap
orang-orang
dalam
wilayah
tertentu; c).
Bahwa
pasukan
pemberontak tersebut melakukan operasi-operasi militernya di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut; e.
Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat pada ketentuan Konvensi”39
39
https://www.icrc.org/ihl.nsf/COM/365-570006?OpenDocument. Diakses pada hari Selasa, 31 Mei 2016.
9
Namun, dalam Pasal tersebut secara spesifik tidak menyebutkan mengenai hal pemindahan secara paksa. Hal ini dikarenakan pada saat itu, pemindahan secara paksa belum dikenal secara internasional dan dalam kasusnya pun sangat jarang ditemukan. Baru pada Konvensi Jenewa Bagian 4 akhirnya dimasukkan mengenai hal pemindahan secara paksa yakni pada Pasal 49 yang menyatakan: “Pemindahan-pemindahan paksaan individu atau massal, demikian pula deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah yang diduduki ke wilayah Kekuasaan Pendudukan atau ke wilayah negara lain manapun, baik yang diduki maupun yang tidak, adalah terlarang, apapun alasan-alasannya. Walaupun demikian, Kekuasaan Pendudukan dapat mengadakan pengungsian total atau sebagian dari suatu daerah tertentu, apabila keamanan penduduk atau alasn-alasan militer yang mendesak menghendakinya. Pengungsian demikian tidak boleh mengakibatkan dipindahkannya orang-orang yang dilindungi keluar perbatasan wilayah yang diduduki, kecuali apabila karena alasan-alasan yang sangat beralasan perpindahan demikian tak mungkin dihindarkan. Orang-orang yang diungsikan itu harus dipindahkan kembali ke tempat tinggal mereka segera setelah permusuhan di daerah itu berakhir. Kekuasaan Pendudukan yang melakukan pemindahan-pemindahan atau pengungsian demikian harus menjamin, sejauh mungkin, bahwa perumahan yang patut disediakan atau menerima orang-orang yang dilindungi, bahwa penyikiran-penyingkiran itu diselnggarakan dalam keadaan yang memenuhi syarat-syarat kebersihan, kesehatan, keselamatan dan gizi yang memuaskan, dan bahwa anggota-anggota dari keluarga yang sama tidak dipisahkan satu sama lain. Negara Pelindung harus diberitahu tentang setiap pemindahan dan pengungsian sesegera hal demikian itu terjadi. Kekuasaan Pendudukan tidak boleh menahan orang-orang yang dilindungi di daerah yang sangat banyak menghadapi bahaya peperangan, kecuali apabila keamanan penduduk atau alasan-alasan militer yang mendesak menghendakinya. Kekuasaan Pendudukan tidak boleh mendeportir atau memindahkan sebagian dari penduduk sipilnya ke wilayah yang didudukinya.”
10
Melalui Pasal 49 tersebut maka jelaslah bahwa pemindahan secara paksa menjadi suatu tindakan yang melanggar Konvensi Jenewa sehinnga pemindahan secara paksa dianggap sebagai suatu pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Namun, pertama – tama harus lah kita meneliti apakah konflik bersenjata di Republik Sudan ini merupakan konflik bersenjata yang dapat diimplementasikan kepada Konvensi Jenewa 1949 atau tidak. Secara sekilas, konflik bersenjata yang terjadi di Republik Sudan ini terlihat dapat diimplementasikan kepada Konvensi Jenewa 1949, hal ini terlihat jelas bahwa konflik bersenjata di Sudan telah memenuhi syarat – syarat suatu konflik bersenjata dalam Komentar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 pada huruf (a), huruf (b), serta huruf (d). Akan tetapi, permasalahan sebenarnya ada pada huruf (c) dan huruf (e) dari syarat – syarat suatu konflik bersenjata tersebut. Jika kita hubungkan dengan konflik bersenjata yang ada pada Sudan maka sangat jelas bahwa konflik bersenjata Sudan tidak dapat menjadi obyek dari Konvensi Jenewa 1949. Hal tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya hal “status pemberontak sebagai belligerent hanya diakui untuk kepentingan Konvensi ini saja.” Pada huruf (c) dan tidak terpenuhinya huruf (e) yaitu persetujuan penguasa sipil dari pihak pemberontak untuk terikat pada ketentuan Konvensi Jenewa 1949. Bila kita perhatikan pula dari para pihaknya dalam konflik bersenjata Sudan, pihak yang didakwakan atau pihak yang dinyatakan bersalah adalah justru pemerintah Sudan itu sendiri dengan pertanggungjawaban atas Omar Al-Bashri sebagai Presiden Republik Sudan. Sedangkan dalam Konvensi Jenewa secara hampir keseluruhan mengatur mengenai konflik bersenjata yang kesalahannya selebihnya tidak terdapat pada pihak pemerintah, melainkan kesalahan terdapat pada pihak pemberontak. Maka dari itu, telah sesuai lah Jaksa Agung ICC dalam tidak menggunakan ketentuanketentuan dalam Konvensi Jenewa sebagai acuan dakwaan terhadap Omar Al-Bashri. Dimana, Jaksa Agung ICC lebih memilih ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma 2002 yang telah secara jelas mengatur mengenai keberlakuan Statuta Roma terhadap kejahatan genosida (Pasal 6), kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7), serta kejahatan perang (Pasal 8) dimana ketiga pasal ini telah mencakup mengenai dakwaan yang dituduhkan pada Omar Al-Bashri. Namun kembali lagi terjadi perdebatan dimana Republik Sudan menyatakan tidak menjadi negara peserta Statuta Roma sehingga lepas dari yurisdiksi
11
ICC. Sedangkan Resolusi UNSC tetap merujukkan Republik Sudan sehingga atas Resolusi UNSC tersebut ICC mendasarkan yurisdiksinya. Terkhususnya, kejahatan pemindahan secara paksa yang juga jelas telah terjadi dalam konflik bersenjata di Sudan, dimana pemindahan secara paksa tersebut dilakukan terhadap kelompok etnis Fur, Mashalit, dan Zaghawa di daerah Darfur. Kejahatan ini juga dimasukkan dalam dakwaan terhadap Omar Al-Bashri, dimana pemindahan secara paksa diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (d) Statuta Roma 2002 dan masuk dalam keberlakuan Statuta Roma atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Statuta Roma pula dengan jelas mengatur mengenai definisi dari “pemindahan secara paksa” yang tertera pada Pasal 7 ayat (2) huruf (d) yang menjelaskan bahwa “pemindahan secara paksa” adalah pemindahan paksa orang atau sekumpulan orang-orang dengan pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka berada secara sah, serta pengusiran atau tindakan pemaksaan lainnya tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas menurut hukum internasional. Pemindahan secara paksa pun juga diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma mengenai Kejahatan Perang. Dalam hal ini jelaslah bahwa ketentuan pemindahan secara paksa dalam Pasal 7 dengan Pasal 8 memiliki perbedaan dalam sudut pandangnya, dimana pemindahan secara paksa dalam Pasal 7 dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan Pasal 8 dipandang sebagai kejahatan perang. Perbedaan tersebut sangat jelas mengingat ketentuan pemindahan secara paksa dalam Pasal 7 berarti pemindahan secara paksa tidak harus dalam keadaan berperang atau dalam keadaan adanya konflik bersenjata, sedangkan Pasal 8 berarti pemindahan secara paksa harus dalam keadaan berperang atau dalam keadaan konflik bersenjata. Namun dalam penggunaannya, Pasal 7 dianggap sebagai ketentuan lebih umum mengenai pemindahan secara paksa sedangkan Pasal 8 dianggap sebagai ketentuan lebih khusus mengenai pemindahan secara paksa dimana hanya dalam kondisi perang atau konflik bersenjata saja. Mengenai pemindahan secara paksa dalam kejahatan perang secara spesifik disebutkan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf (a) romawi (vii) serta Pasal 8 ayat (2) huruf (b) romawi (viii). Dalam Pasal – pasal ini lah yang menjadi dasar bagi perlindungan hak warga sipil terhadap pemindahan secara paksa dalam suatu konflik bersenjata. Sedangkan untuk sanksi/hukuman terhadap kejahatan – kejahatan pemindahan secara paksa berdasarkan Statuta Roma, hal ini diatur secara umum yang artinya diatur sama dengan kejahatan – kejahatan lainnya yang juga diatur dalam Statuta Roma. Berdasarkan 12
Pasal 77 Statuta Roma menyatakan vonis hukuman terhadap seorang pelaku tindak pidana kejahatan – kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma dapat berupa pidana penjara serta pidana denda. Sesuai Pasal 77 ayat (1) bahwa pidana penjara maksimum adalah 30 tahun penjara untuk seluruh tindak kejahatan dalam Statuta Roma, akan tetapi sesuai dengan ayat (2) bahwa pidana penjara seumur hidup dapat dijatuhkan apabila hal tersebut didukung dengan hal pemberat kejahatan ekstrem dari Statuta Roma dan keadaan individu dari terdakwa. Namun, jika kita membicarakan mengenai vonis hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Statuta Roma, kita tidak dapat hanya melihat pada Pasal 77 Statuta Roma saja, melainkan harus juga merujuk pada Pasal 80 Statuta Roma dimana menyatakan bahwa ketentuan pemidanaan/vonis hukuman ini tidak membatasi hukum ketentuan pidana dalam suatu negara mengenai vonis hukuman-nya. Statuta Roma hanya menjadi standar, tidak menghalangi keberlakuan ketentuan vonis hukuman yang berlaku di suatu negara. 3.
Kesimpulan Berdasarkan isu permasalahan serta analisa yang telah dijabarkan sebelumnya, maka pada akhirnya dapatlah ditarik kesimpulan dimana perlindungan hak warga sipil terhadap pemindahan secara paksa dalam konflik bersenjata secara materil telah diatur secara spesifik dan menyeluruh tanpa membatasi penggunaan hukum nasional. Namun sayang sekali, kelemahannya terdapat pada keberlakuan aturan mengenai perlindungan hak warga negara sipil ini hanya terbatasi dengan sejauh mana suatu negara tersebut meratifikasi atau mengimplementasikan Statuta Roma. Dalam hubungannya dengan kasus konflik bersenjata di Republik Sudan, maka jelaslah bahwa pemindahan secara paksa dalam konflik bersenjata tersebut sebenarnya memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Statuta Roma. Namun, karena Republik Sudan sudah menyatakan bahwa ia tidak lagi meratifikasi Statuta Roma maka keterikatan Republik Sudan terhadap ICC dapat diperdebatkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang berujung pada tidak terlindunginya hak warga sipil atas perlindungan terhadap pemindahan secara paksa.
13
DAFTAR PUSTAKA Amnesty International. “Sudan: Amnesty International Calls for Arrest of President Al Bashir” 2009. Bohlen, Rachel. "Questioning Authority: A Case for the International Criminal Court's Prosecution of the Current Sudanese President, Omar Al-Bashir." Geo. Wash. Int'l L. Rev. 42. 2010. Halaman 687. Deng, Luka Biong. "The Sudan Famine of 1998." IDS Bulletin 33, no. 4. 2002. Halaman 28-38. Flint, Julie, dan Alex De Waal. “Darfur: A New History of A Long War”. Zed Books. 2008. Gasser, Hans-Peter. "International Humanitarian Law An Introduction." International Review of the Red Cross 34, no. 298. 1994. Halaman 88. Grawert, Elke. “After the Comprehensive Peace Agreement in Sudan”. Boydell & Brewer. 2010. International Committee of the Red Cross. "State Parties / Signatories: Geneva Conventions of 12 August 1949". International Humanitarian Law. International Criminal Court. “Decision on Prosecution’s Application for a Warrant of Arrest Omar Hassan Ahmad Al Bashir.” 2009. Lebow, Richard Ned. “Between Peace and War: The Nature of International Crisis”. Johns Hopkins University Press. 1984. LeRiche, Matthew, dan Matthew Arnold. “South Sudan: From Revolution to Independence”. Oxford University Press. UK: 2013. Nasution, Muhammad. “Hukum Internasional (Suatu Pengantar)”. Penerbit Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan: 1992. Nowak, Manfred. “Introduction to the International Human Rights Regime”. Brill Academic Pub. 2003. Verney, Peter. “Sudan: Conflict and Minorities”. Minority Rights Group. London: 1995.
14