1
Konstruksi Perilaku Menyimpang terhadap Perempuan pada Qanun di Provinsi Aceh Mulki Makmun dan Muhammad Mustofa Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Ditegakkannya Hukum Syariah di Provinsi Aceh memunculkan serangkaian peraturan bernuansa Islam. Hadirnya peraturan-peraturan yang mengatur perilaku menyimpang kemudian memunculkan diskriminasi terhadap perempuan dalam pelaksanaannya. Penelitian ini kemudian mencoba melihat konstruksi perilaku menyimpang terhadap perempuan yang terkandung di dalam peraturan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan Sosiologi Hukum, Feminist Jurisprudence, dan Kriminologi Kritis melalui Teori Realitas Sosial Kejahatan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai studi dokumen dan wawancara, serta ditambah dengan studi literatur, penelitian ini menemukan bahwa dalam dua Qanun tidak terdapat kalimat bias gender yang diskriminatif terhadap perempuan. Diskriminasi terjadi karena konstruksi budaya dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh patriarki dalam menginterpretasikan Qanun. Kata kunci:Perilaku Menyimpang, Feminist Jurisprudence, Hukum Syariah, Konstruksi, Sosiologi Hukum
Constructions of Deviance towards Women in Qanun of Aceh Province Abstract The implementation of Shariah Law in Aceh Province triggered creation of series of Islam related rules. Several rules that regulate deviance, in time, impose discrimination towards women in the practice. This research tries to oversee the constructed deviance of women that were defined within the rules. This research based on Sociology of Law approach, Feminist Jurisprudence, and Critical Criminology within Social Reality of Crime Theory. Using qualitative approach supported with documents study and interview completed with literature study, this research found that in two Qanun there is no gender-biased lines and discrimination towards women. Discrimination in this case happened because of cultural construction within the local people that influenced by patrialchal views in interpreting Qanun. Keyword: Deviance, Constructions, Feminist Jurisprudence, Sociology of Law, Sharia Law.
Pendahuluan Semenjak Indonesia memasuki masa reformasi, kebijakan desentralisasi memicu pembentukan beragam peraturan daerah berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya (Santoso, 2011; Siregar, 2008). Beberapa daerah kemudian memasukkan nilai Islam dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Rencana Strategis (Renstra), Surat Keputusan, Intruksi atau Surat Edaran Bupati/Walikota dimana paling tidak terdapat 22 kabupaten/kota, termasuk Provinsi Aceh (Kamil, 2013). Penerapan Syariat Islam di Aceh tersebut tercantum dalam UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dimana Provinsi Aceh memiliki kewenangan lebih dari provinsi
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
2
otonomi lain terutama dalam hal bidang politik, kerjasama luar negeri, perekonomian, dan termasuk kewenangan penerapan hukum alternatif berupa penerapan syariat Islam (Siregar, 2008). Peraturan tersebut merupakan hasil dari Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh kelompok separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan konflik (Salim, 2008; Santoso, 2011; Sujatmiko, 2012). Saat ini Aceh telah mengatur tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang kepercayaan, ibadah, dan penyebaran (syiar) Islam pada Qanun No.11/2002, mabuk-mabukan (khamar) pada Qanun No.12/2003, perjudian (maisir) pada Qanun No.13/2003, dan berdua-duaan atau melakukan perbuatan mesum yang mengarah ke zina (khalwat) pada Qanun No.14/2003. Semua pidana khusus tersebut menggunakan hukum cambuk sebagai penindakannya (Santoso, 2011). Ternyata penerapan syariat Islam di Aceh memunculkan kontroversi seperti munculnya kebijakan seperti menyalakan kembang api saat merayakan tahun baru Masehi (liputan6.com, 2013), melarang seseorang bekerja sebagai pemain organ tunggal (Tribun News, 2013), serta menangkap para pria muslim yang tidak melaksanakan ibadah shalat Jumat (rakyataceh.com, 2013). Selain itu, muncul peraturan lain yang secara khusus ditujukan kepada perempuan seperti kebijakan munculnya seruan bersama yang ditandatangani bupati dan pemuka adat setempat yang melarang seorang perempuan duduk mengangkang ketika sedang menaiki motor bersama dengan lelaki, termasuk suaminya (Kompas.com, 2013), seruan melarang perempuan dewasa menari di depan umum (Tempo.co, 2013), serta pelaksanaan Qanun No.11/2002 dianggap bermasalah karena penerapan yang tidak konsisten dan lebih mengkriminalisasi perempuan (Komnas Perempuan, 2010; Human Rights Watch, 2010). Media kemudian merekam beberapa perlakuan diskriminatif seperti adanya laporan dari LBH Apik Aceh bahwa kasus pelanggaran terhadap cara berpakaian dan Qanun larangan khalwat lebih represif terhadap perempuan (BBC.co.uk, 2013). Kemudian terdapat pernyataan diskriminatif dari Bupati Aceh Barat “ketika perempuan tidak berpakaian sesuai hukum (Syariah), mereka minta untuk diperkosa,” (The Jakarta Globe, 2010). Serta terdapat spanduk bertuliskan “Perempuan yang Tidak Berjilbab Adalah Syaitan” (Detik.com, 2006) dan hal yang sama dimuat pada media internasional. “To All women, do not invite men to commit sins with your uncovered body,” read a banner that was hanging in the office of the Central Statistics Agency (BPS) in Banda Aceh, before the Dec. 26 tsunami flattened the City” (Inter Press Service, 2005)
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
3
(Terjemahan Bebas: “Kepada setiap perempuan, jangan mengundang laki-laki berbuat dosa dengan tubuhmu yang tidak tertutup,” terlihat pada spanduk yang tergantung di depan kantor BPS Banda Aceh sebelum tsunami pada 26 Desember.) Fenomena ini menjadi sebuah paradoks karena Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women) pada tahun 1984 yang merupakan instrumen HAM internasional yang menentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2013). Paradoks lain muncul dari keadaan yang menimpa perempuan Aceh saat ini dengan mereka yang hidup pada masa sebelum kemerdekaan. Perempuan pernah menjadi pemimpin tertinggi di Aceh yaitu sebagai Sultanah kerajaan-kerajaan di Aceh. Panjangnya masa pemerintahan mencapai 59 tahun dimana saat itu terjadi empat kali periode pergantian kekuasaan yang dipimpin perempuan secara berturut-turut (BPPPA Provinsi Aceh, 2013). Pada masa penjajahan juga banyak bermunculan pahlawan perempuan terkenal di Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati. Mereka dikisahkan sebagai perempuan hebat yang berjuang melawan para penjajah. Mereka kemudian diilustrasikan hanya memakai selendang dan celana panjang, tidak memakai jilbab dan rok, dan menjadi panutan para perempuan pada masanya (Wahyuningroem, 2005). Penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan Milallos (2007) menemukan bahwa kewajiban menggunakan jilbab bagi perempuan di Aceh merupakan bentuk politik sebagai simbol perlawanan kolektif melawan Pemerintah Indonesia. Kemudian, Santoso (2011) menjelaskan terdapat resiko perlakuan kekerasan terhadap kelompok minoritas atas nama syariah karena adanya regulasi lokal yang bias dan multitafsir serta terdapat pendapat bahwa implementasi dapat melanggar hak asasi manusia karena kerasnya penghukuman yang diterapkan (Santoso, 2011). Jauhola (2010) dalam laporannya mengutip pernyataan Johnson pada buku yang berjudul ‘Voices from Aceh: Perspectives on Syariat Law’ bahwa perempuan menjadi simbol nilai moral di masyarakat yang menjadikan mereka target dari kontrol yang bersifat normatif seperti pengaturan perilaku berbusana atau perilaku seksual lain (Jauhola, 2010). Penelitian Human Rights Watch (2010) di Aceh menemukan fakta bahwa perempuan Aceh menerima perlakuan yang tidak sebanding dengan laki-laki dalam hal peraturan berbusana dan khalwat. Dari razia yang dilaksanakan pada 4 Mei 2010, Polisi Syariah atau Wilayatul Hisbah (WH) menangkap 194 pelanggar peraturan busana Islami dimana 191 merupakan perempuan (Human Rights Watch, 2010). Penelitian Komnas Perempuan (2010)
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
4
juga menemukan bahwa peraturan berbusana pada pelaksanaannya lebih tertuju pada perempuan, yang dijadikan simbol identitas ke-Islaman Aceh (Komnas Perempuan, 2010). Peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa peraturan di Aceh, yaitu Qanun yang berasal dari nilai Islam mampu menghasilkan penerapan yang bias gender dan diskriminatif. Peneliti kemudian mencoba mengetahui bagaimana proses yang mendasari pembuatan peraturan tersebut menggunakan pemahaman sosiologi hukum dan penjelasan teoritis Quinney mengenai realitas sosial kejahatan. Pada akhirnya peneliti bertujuan memberikan analisis kritis terhadap kemunculan perlakuan diskriminatif dengan dibantu oleh pandangan feminist jurisprudence. Selain karena belum ditemukannya penelitian yang secara spesifik membahas tentang konstruksi perilaku menyimpang terhadap perempuan di Aceh dalam Qanun, peneliti mencoba untuk memberikan perspektif kriminologi dalam memahami permasalahan tersebut. Tinjauan Teoritis Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah Hukum Syariah, Qanun, perilaku menyimpang, konstruksi, reaksi sosial formal, feminist jurisprudence, hijab, dan perspektif Sosiologi Hukum. Sedangkan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah proposisi realitas sosial kejahatan oleh Richard Quinney. Secara etimologis, syariah berarti jalan menuju ke sumber air atau jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (Kamil, 2013). Syariah secara terminologis diartikan sebagai sejumlah ketentuan hukum dan aturan Allah yang menjadi kewajiban bagi pemeluk agamanya dalam menaatinya (Chalil, 2011). Syariah dalam literatur Islam identik dengan fikih, yaitu dalam arti sempit hukum Islam walaupun karakter keduanya berbeda (Sabil et al, 2009). Syariah saat ini dipahami sebagai hukum Islam yang meskipun diformulasikan melalui penafsiran wahyu, tetapi harus diakui terpengaruh oleh kompleksitas teks sumber, terutama hadis, juga oleh geografis dan historis pemahaman ulama oleh karena itu walaupun memiliki sakralitas yang sebagiannya tidak berubah, tetapi juga memiliki banyak sisi relativitas dan partikularitas (Kamil, 2013). Dalam memahami Syariah, terdapat dua pandangan, yaitu literal (skriptural) dan rasional (liberal/kontekstual). Syariah yang literal adalah produk pemikiran hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap ayat-ayat atau hadis hukum sesuai bunyi dengan apa adanya. Aliran ini merupakan aliran mainstream yang dianut dalam syariah tradisional (klasik dan pertengahan). Di Indonesia, literalisme dalam memahami syariah dianut oleh kalangan
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
5
garis keras seperti FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahir Indonesia). Syariah yang rasional atau liberal adalah produk pemikiran syariah yang tidak terikat oleh bunyi teks ayat tetapi pada makna hakiki di balik ayat sehingga dapat disebut pemahaman kontekstual. Pemahaman ini dianggap dapat mengakibatkan penyimpangan, akan tetapi dengan pendekatan yang tepat dengan mengamati konteks historis dan sosiologis masyarakat Islam, pendekatan ini lebih mampu menangkap semangat dan jiwa ayat dan hadis. Ini dimungkinkan dengan cara mentrasformasi/mereformasi materi syariah dengan memahami secara benar tujuan syariahnya (Kamil & Bamulian, 2007). Syariat Islam dalam undang undang diatur dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 125 yang berisi: (1)
Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak.
(2)
Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (Hk.Keluarga), mualamah (Hk.-Perdata), jinayah (Hk. Pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
(3)
Pelaksanaan Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh Qanun merupakan produk hukum sebagai pelaksana Hukum Syariah di Aceh dan
digunakan sebagai istilah untuk Peraturan Daerah. Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi Aceh dan disahkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama. Qanun kemudian dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu mengatur tentang institusi dan prosedur untuk mengaplikasikan Hukum Syariah, dan yang mengatur tentang peraturan yang diimplementasikan di daerah (Salim, 2008). Reaksi masyarakat terhadap kejahatan atau gejala sosial seperti perilaku menyimpang sangat bermacam-macam baik sifat maupun bentuknya. Mustofa (2010) menjelaskan bahwa reaksi masyarakat dapat bersifat formal, informal, maupun non-formal dengan tujuan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan masyarakat lain tidak meniru perbuatan tersebut. Konsep ini menempatkan Qanun sebagai sebuah bentuk dari reaksi sosial formal di masyarakat Aceh dalam menghadapi gejala sosial yang terjadi di wilayahnya (Abubakar, 2009). Selain itu, pada penelitian ini juga akan membahas reaksi non-formal masyarakat terhadap perilaku menyimpang tersebut. Dalam Kriminologi terdapat urutan derajat keseriusan ketika gejala sosial yang tidak disukai oleh masyarakat dilihat melalui aspek moralitas. Pada tingkatan teringan adalah penyimpangan tingkah laku, dengan diikuti oleh pelanggaran hukum pidana, dan tingkat terberat adalah kejahatan (Mustofa, 2010).
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
6
Penyimpangan tingkah laku dapat berbentuk seperti perjudian, prostitusi, pemabukan, masyarakat akan bereaksi dengan memberikan kecaman sebagai tindakan yang tidak bermoral. Bila suatu bentuk penyimpangan tingkah laku dipandang sangat serius, maka masyarakat akan mengambil tindakan yang lebih keras daripada sekedar mengecam saja, misalnya mengusir pelaku penyimpangan (Mustofa, 2010). Konstruksi perilaku menyimpang juga tidak bisa lepas dari anggapan kerusakan moral. Istilah "moral" apabila mengalami gangguan akan dianggap sebagai ancaman bagi tatanan sosial. Howard
Becker
(1991)
menyebutkan
peran
moral
entrepreneurs
dalam
mendefinisikan perilaku dan individu yang disebut menyimpang. Becker (1991) beranggapan bahwa masyarakat seringkali disetir oleh media melalui usaha dari para moral entrepreneurs yang berusaha mengarahkan opini publik dalam membuat gerakan sosial untuk memberikan tekanan pada pemerintah dalam membuat regulasi moral. Moral entrepreneur dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu rule creator yang merupakan pihak penguasa yang menciptakan hukum, dan rule enforcers yang merupakan pihak penegak hukum (Adler, 2000). Feminist jurisprudence atau Feminist Legal Theory melihat hubungan antara perempuan dan hukum dimana terjadi ketidaksetaraan dan ketidakadilan di dalamnya (Barnett, 1998). Perspektif ini tidak bisa dilepaskan dari konsep gender dan patriarki karena berkaitan dalam menjelaskan pembuatan hukum yang disorot oleh perspektif tersebut. Beasley (2005) menyebutkan gender adalah proses sosial dimana terjadi pembagian kelompok dan perilaku di masyarakat berdasarkan identitas seksual. Kemudian menurut Herdt (1994) dalam Beasley (2005), masyarakat pada umumnya melakukan pembagian tersebut secara binary, yaitu membagi menjadi dua walaupun terkadang lebih pada lain tempat, waktu, dan kebudayaan. Proses gendering ini pada umumnya diikuti oleh pengukuhan hierarki dimana satu atau lebih kelompok yang terbagi dalam identitas seksual tersebut diistimewakan atau dirugikan (Beasley, 2005). Konsep patriarki dalam hal ini memberikan pengaruh dalam pemberian privilege terhadap salah satu kelompok. Patriarki menurut Beasley (2005) merupakan suatu dominasi secara sistemik dan trans-historical oleh laki-laki terhadap perempuan dan ini memberikan superioritas pada laki-laki dibandingkan perempuan. Oleh karena terdapatnya hierarki dan kerugian dalam konstruksi gender akibat patriarki, maka feminist jurisprudence mencoba melihat bagaimana proses penciptaan hukum yang didominasi patriarki memberikan suatu ketidakadilan, yang pada umumnya diderita oleh perempuan. Proses ini kemudian berujung pada advokasi dan perjuangan untuk menghilangkan ketidakadilan tersebut (Barnett, 1998) .
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
7
Hijab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariah. Penelitian yang menunjukkan adanya singgungan permasalahan antara perempuan dengan syariah Islam yang berhubungan dengan jilbab sebagai hijab kemudian dibahas oleh Kamil (2007) dengan menganggap bahwa sebenarnya hukum berjilbab masuk dalam ranah khilafiah (kontroversi). Terdapat dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Dalam syariah tradisional jilbab merupakan kewajiban seorang Muslimah, tetapi dalam pemikiran hukum Islam kontemporer, jilbab bukanlah suatu yang diwajibkan (Kamil & Bamulian, 2007) . Kemudian, pada kaum perempuan beragama Islam di Indonesia, penggunaan hijab mengalami proses perkembangan. Dulu perempuan Indonesia hanya memakai kerudung, baru setelah masa 1980an perempuan Indonesia menggunakan jilbab. Kerudung sendiri merupakan kain yang menutupi rambut secara tidak ketat sedangkan jilbab menutupi seluruh rambut dan leher hingga menutupi seluruh permukaan kulitnya (Candraningrum, 2013). Kamil dan Bamulian (2007) beranggapan bahwa Al Quran maupun hadis tidak memberikan rincian dan bentuk konkret tentang model pakaian sebagai penutup aurat karena bentuk pakaian menjadi bagian dari kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya yang dipengaruhi ruang dan waktu. Dalam Islam tidak ada ketentuan harus memakai kebaya atau baju kurung, tidak ada pula larangan memakai gaun atau rok karena yang ditentukan Islam adalah pakaian sopan. Pemahaman Hijab pada penelitian ini dipandang sebagai cara untuk mengurangi kemerosotan moral akibat pergaulan bebas antara kedua jenis kelamin pada masyarakat Aceh. Pemahaman tersebut didasarkan pada pandangan bahwa hijab dipandang sebagai tradisi yang universal di dunia timur untuk mengurangi akar-akar kemerosotan moral dengan alasan untuk menghindari fitnah (Kamil & Bamulian, 2007). Pada akhirnya, hijab pada penelitian ini dipahami sebagai konstruksi masyarakat untuk memberikan batas pergaulan bebas laki-laki dan perempuan yang tidak hanya terbatas pada urusan busana Islami, tetapi juga pada larangan khalwat dan himbauan tentang larangan duduk mengangkang. Dalam Ilmu Sosial, konsep konstruksi muncul dalam menjelaskan bagaimana sesuatu tersebut bersifat “nyata” di mata individu dan masyarakat. Contoh konstruksi akan sesuatu adalah nasionalitas, buku, dan lembaran uang yang sebenarnya tidak memiliki arti apapun jika masyarakat tidak memberikan arti pentingnya wujud tersebut. Manusia memberikan interpretasi atas dunia dan membuat gambaran-gambaran tertentu dalam pikiran mereka, yang mereka percayai sebagai sesuatu yang merefleksikan pada realita. Sebuah realita sosial dapat berubah tergantung kepada sejauh mana peradaban manusia dapat membebaskan diri mereka dari konstruksi sosial yang telah mereka ciptakan sendiri (Miller, 2009) .
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
8
Selain hijab, contoh lain konstruksi sosial yang berhubungan dengan penelitian ini adalah mengenai gender. Pada awalnya gender hanya membedakan antara jenis kelamin yang kemudian berkembang menjadi aturan main yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aturan tersebut disosialisasikan melalui pendidikan, pengasuhan, agama, media massa, bahasa, dan bahkan oleh negara. Akibatnya terjadi konstruksi baku terhadap aturan main dalam berperilaku antara laki-laki dan perempuan yang terkadang memiliki unsur diskriminasi dan subordinasi di dalam konstruksi tersebut (Murniati, 2004). Quinney (1970) kemudian menganggap bahwa kejahatan juga merupakan konstruksi. Quinney kemudian menjelaskan proses konstruksi tersebut terjadi ketika definisi kejahatan menjadi jelas di kalangan pihak penguasa masyarakat, yang diikuti dengan proses pembuatan peraturan untuk mencegah, mengatur, dan menindak mereka yang melakukan kejahatan, yang akhirnya ditegakkan dan disosialisasikan secara luas sehingga menjadi suatu kenyataan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan di masyarakat. Proses tersebut Quinney rumuskan menjadi enam proposisi (Quinney, 1970). Proposisi pertama menjelaskan kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia dalam hukum yang diciptakan oleh penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi secara politik. Proposisi kedua hingga kelima menjelaskan proses pengkonstruksian definisi kejahatan di masyarakat, dimulai dari perumusan definisi oleh kelompok masyarakat yang memiliki kuasa dalam membuat kebijakan, penerapan definisi melalui sistem peradilan pidana, berkembangnya pola tingkah laku, hingga akhirnya konsep kejahatan dikonstruksikan dan digabungkan ke dalam tatanan masyarakat. Pada proposisi terakhir dijelaskan bahwa terbentuk realitas sosial kejahatan melalui perumusan dan penerapan definisi kejahatan, perkembangan pola tingkah laku yang berhubungan dengan definisi kejahatan, dan pembentukan konsep kejahatan (Quinney, 1970). Penelitian ini menggunakan proposisi di atas untuk menjelaskan konstruksi perilaku menyimpang di masyarakat. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Subyek penelitian ini adalah Qanun dan peraturan pendukung yang memunculkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan di Provinsi Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen, wawancara, dan penelusuran data sekunder. Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari Qanun No. 11/2002, Qanun No. 12/ 2003, serta Seruan Bersama Walikota Lhokseumawe 002/2013 yang berisi larangan duduk
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
9
mengangkang bagi perempuan. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan klarifikasi dalam bentuk wawancara terstruktur kepada narasumber yang memiliki hubungan dengan peraturan tersebut. Narasumber tersebut berasal dari Dinas Syari’ah Islam Provinsi Aceh, Majelis Adat Aceh (MAA), Bidang Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Diterskrimum Polda Aceh, dan Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Aceh. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan studi kepustakaan untuk mendapatkan data pendukung. Penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan suatu kajian atas bahan-bahan tertulis atau literatur yang memuat masalah yang akan diteliti, diantaranya data dari hasil pencarian di internet, kajian jurnal ilmiah nasional dan internasional, laporan, buku, dan juga skripsi, tesis dan disertasi yang memuat masalah serupa dengan yang akan dibahas peneliti. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada masyarakat Aceh, nilai yang dominan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Hubungan yang dapat dilihat dari sisi historis ini menjadikan sumber dan dasar dari para pemegang kekuasaan untuk membuat kebijakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Quinney (1970) yang menganggap pihak dominan yang kemudian meletakkan interest atau kepentingannya dalam memformulasi hukum. Dalam hal ini masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam meletakkan kepentingan dan nilai Islamnya pada hukum masyarakat sehingga muncul Hukum Syariah di Aceh. Alasan para pembuat kebijakan dalam menerapkan Hukum Syariah semakin kuat ketika munculnya anggapan bahwa akibat konflik berkepanjangan dan dampak perubahan struktur gampong serta mukim di Aceh (Ismail, 2013) mengakibatkan perubahan tatanan sosial di masyarakat dimana terdapat anggapan kuat menurunnya nilai Aceh pada pemudanya. Anggapan ini muncul karena pada masa konflik dan pemegangan kekuasan oleh Orde Baru, tidak terjadi proses pembelajaran nilai-nilai Aceh pada pemudanya. Nilai-nilai yang hilang tersebut salah satunya adalah keluasan berpikir dalam memahami ajaran Islam yang juga termasuk di dalamnya pemahaman gender dalam Islam (Ismail, 2013). Selain itu juga terdapat anggapan degradasi moral pemuda Aceh karena masuknya nilai asing dan teknologi yang semakin canggih. Hukum Syariah kemudian semakin dianggap sebagai solusi terbaik untuk mencegah semakin merosotnya moral pemuda dan masyarakat Aceh (Ismail, 2013). Dapat dilihat berdasarkan pemahaman narasumber, perubahan tatanan sosial dianggap mengganggu tatanan moral dan kebudayaan masyarakat Aceh. Perubahan ini memberikan
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
10
dampak buruk karena merusak nilai-nilai yang dianggap baik di masyarakat Aceh. Alasan ini sesuai dengan peran moral entrepreneur yang dijelaskan oleh Becker (1991) untuk mengkonstruksikan nilai yang harus ada di masyarakat sehingga penerapan Hukum Syariah di Aceh semakin tak terhindarkan dan bersifat mendesak. Argumen di atas juga didukung oleh Kamil (2007) bahwa faktor yang mendorong gagasan penerapan syariah Islam adalah perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari arus globalisasi dan modernisasi. Masyarakat menganggap terjadi perubahan sosial yang mengagungkan gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan permisifme terhadap beragam budaya dan pola hidup yang tidak asli Islam. Apabila dikaji melalui Sosiologi Hukum dalam kaitannya untuk mencari tahu apa yang menjadi sebab Hukum Syariah diterapkan, maka peneliti secara umum mencoba mengkategorikan Hukum Syariah di Aceh berdasarkan kategori Weber (1978) berdasarkan tingkatan formalitas dan rasionalitas hukum dan Friedman (1972) berdasarkan tujuan penghukuman menggunakan pendekatanutilitarian dan fundamental. Menurut peneliti, Hukum Syariah yang berada di Aceh masuk ke dalam kategori irasional formal walaupun di dalam masyarakat Aceh sendiri bentuk irasional tersebut menjadi suatu bentuk yang rasional karena konstruksi apa yang dianggap nyata dan benar dipengaruhi oleh ajaran dan kebenaran agama Islam. Peneliti mengkategorikan hukum ini sebagai bentuk irasional adalah karena hukum tersebut didasarkan pada muatan Islam yang dasarnya bersifat transendental karena merupakan sebuah kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan, yakni Allah yang bersifat gaib dan metafisika. Akan tetapi pemahaman mengenai ajaran Islam yang transendental tersebut menjadi suatu yang rasional dimana dalam ajaran Islam mengandung sifat rasionalisasi seperti ijtihad / pertimbangan para Ulama sebagai tokoh agama dan dalam penghukuman yang memiliki prosedur dan tata cara yang sistematis dalam menerapkan hukum. Sehingga Hukum Syariah di Aceh tidak serta merta menjadi hukum yang tidak bisa diprediksi penindakannya karena memiliki prosedur dan tata cara yang diatur dalam kelembagaan. Peneliti kemudian mengkategorikan Hukum Syariah kepada hukum formal karena penindakan diaplikasikan berdasarkan hukum yang dirumuskan dalam suatu kekuasaan kelembagaan dimana. Lembaga dalam Hukum Syariah di Aceh adalah Polisi Syariah, Polda Aceh, Kejaksaan Provinsi Aceh, dan Mahkamah Syar’iyah memiliki prosedur yang dituangkan kedalam undang-undang sehingga memiliki sistematika penindakan yang sama dan identik terhadap perlakuan yang sama.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
11
Ketika merujuk pada pendapat Friedmann (1972), Hukum Syariah di Aceh termasuk pada hukum yang tercipta berdasarkan pendekatan fundamentalis dimana fungsi hukum merupakan penjaga dan pelindung nilai moral di masyarakat. Hukum Syariah di Aceh juga menggunakan hukum cambuk yang sifatnya merupakan penghukuman retributif berupa penebusan dosa yang terjadi akibat bertentangan dengan nilai masyarakat. Untuk mengetahui latar belakang yang mendasari perlakuan diskriminatif, penelitian ini melihat dari aspek historis perempuan Aceh. Perempuan Aceh pada masa kesultanan pernah menjabat sebagai posisi tertinggi, yaitu sebagai pemimpin kesultanan. Sri Ratu Safiatuddin memimpin selama 34 tahun dimana pada masa tersebut penuh dengan tekanan politik asing dari Belanda, Portugis, Inggris, serta masa VOC berkuasa, ditambah lagi dengan pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut kursi kekuasaan. Pemerintahannya yang sulit tak akan mungkin dilalui dengan selamat apabila Sultanah bukan seorang yang arif dan bijaksana dengan kepribadian yang tangguh luar biasa. Setelah Sultanah Sri Ratu Safiatuddin mangkat pada 1675, beliau digantikan berturut-turut dengan 3 (tiga) Sultanah lagi sampai dengan tahun 1699 dimana keseluruhan pemerintahan perempuan terjadi lebih kurang selama 59 tahun. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013) Pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Safiatuddin, hidup ulama besar Aceh, Syech Abdur-Rauf atau yang sering disebut Syiah Kuala. Pada masa Ulama tersebut aktif mendidik rakyat di Aceh, tidak ada keresahan masyarakat untuk mengakhiri rezim perempuan di Aceh, baru setelah 6 (enam) tahun ia meninggal (1690), muncul keinginan golongan tertentu untuk mengakhiri pemerintahan perempuan di Aceh. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013) Selain itu, sejak masa Iskandar Muda sampai dengan masa pemerintahan Sultanah, kerajaan Aceh yang dasar negaranya Quran dan Hadist dengan Qanun Meukuta Alam, membolehkan kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam Lembaga Negara, termasuk majelis Mahkamah Rakyat (parlemen), yang anggotanya berjumlah 73 orang dengan 18 diantaranya perempuan. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013) Selain Sultanah-sultanah, pada zaman pemerintahan Sultan Alaidin Ri’ayat Syah IV, nenekanda Sultan Iskandar Muda, telah dibentuk Armada yang para prajutnya merupakan janda pahlawan yang telah tewas yang dinamakan “Armada Inong Balee.” Armada tersebut dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, dengan 2000 prajurit perempuan yang gagah berani berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda. Kemudian juga terdapat tokoh perempuan terkenal seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Biehue, Cut Po Fatimah dan lain-lain, yang diakui keperkasaannya sama dengan laki-
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
12
laki di medan perang. Keberanian para perempuan Aceh tersebut diakui oleh Belanda antara lain ditulis oleh H.C. Zentgrafft dalam bukunya “Aceh.” (BPPPA Provinsi Aceh, 2013) Pada masa sekarang, perempuan Aceh mengalami perubahan peran dan posisi di masyarakat. Dari jumlah total PNS pada Pemerintahan Aceh tahun 2012 sebanyak 8.921 orang dengan jumlah laki-laki 5.510 dan jumlah perempuan 3.411, walaupun dianggap bukan masalah serius, akan tetapi pada golongan dan pangkat yang lebih tinggi jumlah perempuan menjadi semakin sedikit. Demikian juga perempuan yang menduduki posisi strategis di pemerintahan (BPPPA Provinsi Aceh, 2013). Lemahnya kesadaran terhadap pentingnya kesetaraan gender pada pimpinan dan para pengambil
kebijakan
menyebabkan
adanya
praktik
dimana
perempuan
kurang
dipertimbangkan dalam promosi jabatan. Selain itu, lemahnya kesadaran juga menyebabkan adanya kebiasaan dimana pendelegasian tugas untuk menghadiri pelatihan yang berkaitan dengan isu gender diberikan kepada perempuan. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013) Kemudian dalam partisipasi politik, jumlah perempuan yang terpilih pada Pemilu Legislatif 2009 berjumlah 50 orang atau 7% dari 714 orang anggota legislatif se-Aceh. Adanya keterwakilan perempuan minimal 30% ternyata belum menjadi perhatian pemerintah Aceh. Selain itu, dalam jajaran kepengurusan partai politik pada bagian inti, yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara, dari 15 partai politik peserta pemilu 2014 ditemukan data bahwa hanya satu partai yang menempatkan perempuan dalam posisi kepengurusan inti, yaitu sebagai bendahara. Partai lainnya menempatkan pengurus laki-laki dalam tiga posisi utama tersebut. Narasumber menggambarkan perubahan posisi perempuan Aceh sebagai berikut: “Kalau kita lihat dari zaman kerajaan, tidak hanya Sultanah, dalam parlemen, perempuan lebih banyak dari posisi sekarang. Tapi kalau hal ini dibandingkan dengan sekarang, memang, untuk kondisi Aceh, sangat-sangat mundur dibandingkan dengan kondisi dulu. Sekarang, dari sekian puluhan, 50-an pejabat eselon II, hanya 2 perempuan. Saya dari tahun 2000-2008 sebagai Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan. Sekarang kondisinya lebih mundur, saya tidak tahu apa perempuan dianggap tidak berkualitas atau memang perjuangan berat untuk perempuan, kalau ada laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama, dia harus punya nilai lebih yang bisa memenangkan dia dengan laki-laki. Saya waktu Kabbag masih hirarki jabatan, ga turun SK karena tidak punya jabatan eselon. Teman-teman saya (yang laki-laki) sudah jadi Sekda, saya masih disitu-situ saja. Kalau tidak ada biro perempuan ini, saya tidak bisa naik jadi kepala. Pangkat saya tertahan bertahun-tahun, ada yang 8
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
13
tahun, ada yang 7 tahun, begitulah sangat berat perjuangan perempuan, apalagi legislatif begitu. Secara umum di Aceh ini juga yang pegang uang itu bapak-bapak, walaupun perempuan mencari uang, uang tetap dipegang oleh laki-laki, dianggap sebagai kepala rumah tangga, dan selalu harus minta izin kepada suami, walaupun itu uang bersama, tapi kalau laki-laki dia bisa mengambil keputusan tanpa perlu tanya-tanya. Biasanya, tapi tidak semua.”(Wawancara dengan Lailisma, 28 April 2014) Perempuan mengalami pergeseran posisi dan peran karena beberapa hal, yaitu: •
Konflik Aceh yang berkepanjangan.
•
Sistem politik dan kenegaraan mengalami perubahan
•
Putusnya sistem pembinaan kepemimpinan dan keteladanan
•
Pendidikan tak dapat berkembang secara berkesinambungan
•
Ekonomi dan pembangunan tidak stabil
•
Tatanan budaya adat tidak berkembang
•
Rakyat hidup dalam tekanan tanpa kebebasan
•
Media komunikasi tidak berjalan
•
Informasi berceceran, dan seterusnya (Ismail, 2013)
Kemudian narasumber penelitian yang berasal dari MAA menambahkan sebagai berikut: “Konflik Aceh ini berkepanjangan, konflik dengan Belanda, dengan Jepang, kemudian konflik dengan Indonesia, dan dengan GAM, nah ini kalau kita lihat dari sisi itu tidak hanya perempuan yang tertinggal, laki-laki juga tertinggal. Jadi (karena konflik) tidak ada peluang mengakibatkan dia tidak bisa mengambil peran. Ya lakilaki satu dua yang lepas, ada yang sekolah ke Jawa, ada sekolah ke tempat lain, itu aja yang bisa lepas, karena ndak berani kirim perempuan, masalahnya tidak ada jaminan.”(Wawancara dengan Badruzzaman pada 06 Mei 2014) Konflik juga menyebabkan hilangnya nilai-nilai Aceh yang dulunya menjunjung kesetaraan antara perempuan dan laki-laki baik di rumah, maupun di lembaga pemerintahan atau ruang publik lain. Pengaruh paham Orde Baru juga memberikan andil dalam menguatnya paham patriarki di masyarakat. Masyarakat Aceh yang dibesarkan pada masa konflik melihat
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
14
realitas bahwa perempuan hanya berada di ranah domestik karena dianggap tidak aman jika bepergian keluar sendirian tanpa pendamping serta munculnya paham patriarki dalam masa Orde Baru seperti pembentukan Panca Dharma Wanita dan sejenisnya (Murniati, 2004). Dapat disimpulkan, masyarakat Aceh menghadapi realitas di kehidupannya dimana ketika konflik selesai, budaya patriarki masih tertanam kuat tetapi prinsip kesetaran dalam pemahaman masyarakat Aceh dulunya dalam melihat kedudukan perempuan menghilang. Bukti dari mundurnya prinsip kesetaraan dilihat dari keterlibatan perempuan Aceh dalam parlemen/ lembaga legislatif jauh menurun berdasarkan proporsi dan jumlah pada masa kesultanan dibandingkan pada masa sekarang. Sulitnya mendapatkan peran juga terlihat di lembaga pemerintahan Provinsi Aceh dalam menduduki kursi Kepala Bagian di suatu Biro atau instansi lain. Bukti lain kuatnya budaya patriarki adalah kebiasaan masyarakat Aceh dimana dalam pengelolaan uang bersama dalam rumah tangga, dikendalikan oleh laki-laki sebagai suami. Perempuan harus meminta izin suami ketika ingin memakai, sedangkan lakilaki tidak perlu meminta izin istrinya untuk memakai uang rumah tangga. Kemudian untuk memahami peraturan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan, peneliti melakukan studi dokumen pada Qanun yang membahas perilaku menyimpang secara umum tetapi memunculkan perbedaan perlakuan pada penerapannya antara laki-laki dan perempuan, yaitu Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam dan Qanun No. 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum. Kedua Qanun tersebut apabila dikaitkan dengan Realitas Sosial Kejahatan oleh Quinney (1970) termasuk pada proposisi II yang merupakan formulasi definisi. Disini terjadi formulasi pendefinisian perilaku menyimpang dimana dalam peraturan akan menindak seseorang apabila tidak berbusana Islami dan melakukan khalwat atau perbuatan bersunyisunyian yang mengarah ke perbuatan seksual/zina. Qanun merupakan produk esensial diperlukan dalam pelaksanaan Hukum Syariah bagi kelompok dominan karena ia merupakan bentuk terjelas dari pengaplikasian kontrol sosial di masyarakat. Formulasi ini kemudian tidak menuliskan secara eksplisit perilaku yang dilarang dilakukan perempuan dalam pasalnya. Peneliti juga tidak menemukan kalimat membedakan atau mendiskriminasi perempuan di dalam Qanun. Dapat disimpulkan pada setiap penulisan di dalam hukum bersifat gender netral dan umum. Akan tetapi, terdapat ketidakjelasan definisi yang memunculkan potensi ketidakadilan dalam penerapannya. Ketidakjelasan tersebut terdapat pada kedua Qanun di atas. Pada Qanun No.11 Tahun 2002, definisi busana Islami, tertulis “menutup aurat yang tidak tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk lekuk tubuh.” Bentuk lekuk tubuh disini dapat
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
15
diartikan bahwa seorang perempuan dilarang memakai celana panjang karena memperlihatkan bentuk kakinya yang merupakan aurat perempuan menurut ajaran Islam. Argumen ini juga ditulis dalam laporan Komnas Perempuan (2010) yang menyatakan aturan berbusana menimbulkan perdebatan tentang boleh tidaknya menggunakan celana panjang. Tidak terdapatnya kriteria dan standar yang jelas dalam busana yang dapat ditoleransi menyebabkan munculnya perbedaan pelaksanaan dalam penerapannya. Politik simbolisasi penerapan syariat Islam ini yang didominasi oleh patriarki kemudian memunculkan penerapan seperti razia yang dilakukan oleh Polisi Syariah menjadi lebih menyasar perempuan yang tidak memakai jilbab dibandingkan laki-laki yang memakai celana pendek di atas lutut. Pada Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat dapat diinterpretasikan sesuai dengan persepsi pihak yang melihat karena tidak terdapat indikator yang jelas pada pemahaman “yang mengarah kepada perbuatan zina” pada pendefinisian tersebut. Apabila seseorang melihat laki-laki dan perempuan berdua di satu tempat, sore hari atas kepentingan kerja atau berelasi lain, mereka dapat dituduh melakukan khalwat karena dianggap melakukan pertemuan dengan lawan jenisnya di tempat sepi. Penafsiran tersebut dapat menjadi salah satu faktor terbesar yang menyebabkan kriminalisasi seseorang saat berelasi sosial dalam situasi apapun dengan lawan jenisnya. Kemudian peneliti menemukan pemahaman salah satu narasumber akan terjadinya pelanggaran baik itu berupa khalwat hingga ke perbuatan zina, lebih besar andil perempuan di dalam tanggung jawab terhadap pelanggarannya. Disini juga terlihat adanya pemahaman yang lebih memberatkan dan menyalahkan perempuan karena seharusnya sebagai perempuan, layaknya tidak menggoda laki-laki sehingga terhindar dari perbuatan zina. Penulis mengutip pernyataan Campbell (2005) yang menyatakan bahwa regulasi keeping the lady safe dengan membatasi gerak dan tubuh perempuan seperti mengharuskan memakai jilbab menimbulkan dampak dilematis. Pertama, realitas sosial yang muncul dalam masyarakat yang mewajibkan perempuan berjilbab demi menghindari perkosaan akan memberi penambahan dampak buruk bagi mereka yang tidak memakai karena muncul anggapan bahwa perempuan yang tidak memakai jilbab layak dan sudah sewajarnya menjadi korban perkosaan. Ini meningkatkan pandangan blaming the victim pada perempuan. Kedua, perempuan yang memakai jilbab juga tidak serta merta lepas dari ancaman perkosaan. Secara tidak sadar pemahaman akan budaya patriarki mempengaruhinya dalam melihat persoalan penerapan larangan khalwat. Narasumber beranggapan bahwa perempuan merupakan godaan bagi laki-laki dimana perempuan juga disamakan kedudukannya dengan perhiasan. Sesuai dengan pemahaman Beauvoir (1949) dalam bukunya The Second Sex,
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
16
perempuan sebagai subjek tereduksi menjadi sebuah benda yang hanya dilihat sebagai unsur pemicu hasrat seksual bagi laki-laki dan ini memicu pelaksanaan hukum yang lebih menyorot kaum perempuan (Barnett, 1998). Terlihat adanya pemahaman perempuan hanya sebagai objek penggoda dan ini merupakan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan interpretasi paham patriarki. (Rizal, 2011) Pada pelaksanaan peraturan lain, yaitu Seruan Bersama Walikota Lhokseumawe No. 002/2013 yang berisi larangan duduk mengangkang bagi perempuan ketika dibonceng di sepeda motor, terdapat pemahaman Walikota bahwa peraturan tersebut adalah untuk mendukung penerapan syariat Islam secara kaffah atau holistik dan menjaga nilai budaya dan adat Aceh. Dapat dikategorikan bahwa regulasi bermuatan moral ini memiliki bias gender dalam penulisannya. Disini perempuan mengalami diskriminasi dimana terjadi pembatasan perilaku hanya pada perempuan. Peneliti menganalisa bahwa pemikiran yang menjadi dasar keluarnya Seruan Bersama ini adalah paham bahwa perempuan yang duduk mengangkang di ruang publik dianggap akan menggoda laki-laki dan mengundang laki-laki untuk melakukan tindakan yang mengarah ke zina. Disini terjadi pengaruh budaya patriarki dalam penulisan dimana terdapat relasi subordinasi dan superodinasi. Superordinasi dimiliki laki-laki dalam peraturan ini karena kuatnya anggapan bahwa perempuan patut disalahkan jika mengundang syahwat laki-laki, padahal kesalahan juga terdapat pada laki-laki yang lemah hatinya dan tidak berusaha menundukkan pandangan. (Romli, 2010) Dapat terlihat bahwa sebenarnya seruan ini merupakan ekses akibat perbedaan pemahaman antara rule creator dengan rule enforcer di bidang provinsi dengan di bidang Kota/Kabupaten sehingga menyebabkan munculnya seruan seperti ini. Pelaksanaan ini sesuai dengan anggapan Becker (1991) dimana pada umumnya bahkan para rule enforcer akan menambah beberapa peraturan administratif yang lebih ketat demi anggapan meningkatkan efektivitas penjagaan moral. Terlihat segregasi seksual pada masyarakat Aceh berkembang menjadi lebih dari sekedar busana Islami dan ini dianggap dibenarkan melalui paham adat. Pada akhirnya peraturan ini menyulitkan dan merugikan perempuan dari segi keselamatan dan dari segi konstruksi
realitas
masyarakat
terhadap
perilaku
perempuan
dimana
seakan-akan
mempersalahkan perempuan yang duduk mengangkang karena asumsi memperlihatkan bagian tubuh ketika mengangkang akan menggoda laki-laki yang berpotensi mengundang ke perbuatan zina.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
17
Peneliti kemudian menganggap bahwa telah terjadi realitas sosial perilaku menyimpang pada masyarakat Aceh terhadap perempuan sesuai dengan proposisi VI Quinney akibat pengaruh konstruksi budaya dalam memahami peraturan Qanun tersebut. Pemahaman adat masyarakat Aceh dan pemahaman ajaran Islam yang sudah terdegradasi dan terpengaruh patriarki kemudian membuat peraturan diinterpretasikan secara bias. Ini yang kemudian memunculkan serangkaian konstruksi perilaku yang dianggap layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan di ruang publik di Aceh. Kemudian apabila melihat dari perspektif feminist jurisprudence, menurut Hilaire Barnett (1998), walaupun penulisan di dalam peraturan tidak memperlihatkan secara eksplisit perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, tidak berarti hal tersebut telah menjunjung nilai keadilan. Ini sesuai dengan gerakan feminis gelombang kedua yang melihat bahwa sebenarnya permasalahan terletak pada konstruksi budaya masyarakat yang kental dengan patriarki. Dalam konteks pelaksanaan Qanun ini, walaupun tulisan di dalam peraturan bersifat umum, tetapi karena pelaksanaan di masyarakat masih dipengaruhi oleh patriarki, maka muncul pemahaman yang mengsubordinasi dan menyalahkan perempuan karena memunculkan godaan dan hasrat pada laki-laki sehingga patut disalahkan. Konstruksi budaya tersebut dipengaruhi oleh konflik dimana pelestarian nilai kesetaraan tidak tersampaikan oleh para tokoh budaya Aceh, tetapi terjadinya penguatan budaya patriarki melalui pengaruh Orde Baru. Hal ini yang menyebabkan berbedanya hasil dan tujuan pelaksanaan Qanun. Peneliti menangkap bahwa perbedaan pemahaman terlihat dari adanya cara menginterpretasikan Qanun yang diformulasikan untuk mengikat laki-laki dan perempuan. Perbedaan pemahaman juga dipicu adanya perbedaan latar belakang bahwa rule creator merupakan generasi masyarakat yang lahir dan merasakan keadaan pada masa sebelum konflik dimana saat itu pemahaman akan kesetaraan gender lebih baik daripada sekarang. Sedangkan para penegak hukum atau rule enforcer yang mayoritas lahir dan besar pada masa konflik tidak memiliki pemahaman akan kesetaraan gender kemudian menegakkan hukum sesuai dengan interpretasi ajaran agama yang bernuansa patriarki. Pandangan yang bernuansa patriarkis sendiri mendapat pertentangan di beberapa tokoh Islam. Hal ini dapat dilihat dalam konteks pemahaman Islam moderat menurut Qasim Ali dalam Romli (2010) yang menganggap bahwa sebenarnya Islam juga menyuruh laki-laki untuk mengontrol perilakunya seperti menundukkan pandangan apabila takut tergoda oleh perempuan. Menurut Qasim, laki-laki yang tergoda adalah permasalahan pada mereka sendiri karena memiliki hati/iman yang lemah (kontrol diri), bukan permasalahan pada perempuan.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
18
Sehingga berdasarkan pandangan Qasim sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi dasar alasan perbuatan khalwat terjadi hingga memunculkan pembenaran untuk diberikan kontrol lebih ketat dibandingkan laki-laki.. Peneliti menganggap bahwa feminist jurisprudence pada intinya menolak penerapan peraturan yang walaupun dituliskan dengan kalimat yang tidak secara eksplisit mendiskriminasi perempuan tetapi tetap memunculkan perlakuan diskriminasi. Peraturan akan tetap mendapatkan bias dari interpretasi budaya patriarki yang menyalahkan perempuan sehingga akan tetap rentan mendiskriminasi kaum perempuan di masyarakat. Kesimpulan Adat ngon Hukom lagei Zat ngon sifeut (Adat dengan Hukum seperti zat dan sifat) merupakan filsafah pada kebudayaan masyarakat Aceh yang memperlihatkan kedekatan hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara adat masyarakat dengan Hukum Syariah. Hukum Syariah sendiri mengalami proses panjang hingga dapat menjadi sebuah reaksi sosial formal di masyarakat yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Sejarah Aceh yang penuh dengan cerita kejayaan kerajaan dan kesultanan Islam, kemudian diwarnai dengan konflik berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dengan pemberontakan DI/TII serta GAM, hingga pemberian keistimewaan untuk mendirikan Pemerintahan Aceh sebagai bentuk perjanjian damai turut mendasari latar belakang ditegakkannya Hukum Syariah di Aceh. Hukum Syariah yang telah disahkan untuk menjadi dasar hukum masyarakat Aceh memiliki beragam interest dalam perkembangannya. Terdapat keinginan kelompok dominan di masyarakat Aceh untuk tetap mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan, keinginan tokoh adat dan ulama untuk melestarikan nilai dan budaya Aceh, hingga muncul anggapan politisasi agama Islam untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan maksud untuk menegakkan moralitas di masyarakat. Para pembuat kebijakan merasa memiliki tanggung jawab untuk mencegah semakin merosotnya moral pemuda Aceh. Ini didasarkan anggapan bahwa akibat krisis konflik berkepanjangan serta faktor luar yang masuk melalui teknologi dan masyarakat asing pasca tsunami telah meruntuhkan nilai Islam yang dijunjung tinggi oleh setiap orang yang berada di wilayah yang dijuluki Serambi Mekkah ini. Muncul Qanun yang mengatur tentang tata cara berperilaku. Dua merupakan fokus dari penelitian ini, yaitu Qanun No 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Sy’iar Islam yang di dalamnya mencantumkan peraturan berbusana
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
19
Islami dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yang melarang terjadinya perilaku yang mengarah pada tindak zina. Kedua peraturan ini dalam Kriminologi masuk kepada kelompok perilaku menyimpang. Pada pelaksanaannya ternyata kedua Qanun memunculkan berbagai ketidakadilan dalam penerapan akibat ketidakjelasan penafsiran. Tidak jelas standar busana Islami yang ditoleransi dan tidak jelas apa yang merupakan perilaku yang mengarah ke perbuatan zina atau khalwat. Ketidakadilan tersebut ternyata lebih berdampak pada perempuan karena mereka mendapatkan perlakuan lebih keras dan diskriminatif. Jika dikaji menurut isi dan kandungan kedua Qanun tersebut, tidak terdapat penulisan yang bias gender dan mendiskriminasi perempuan. Tetapi, perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki di dalam penerapan kedua Qanun tersebut bersumber dari muatan yang mendasari pembuatan kedua peraturan tersebut, yaitu Hukum Syariah Islam yang didominasi budaya patriarki dalam pelaksanaannya. Terjadi konstruksi perilaku menyimpang pada tataran aplikasi kebijakan. Akibat adanya konstruksi budaya yang mempengaruhi interpretasi Qanun, maka terjadi serangkaian bentuk diskriminasi yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kuasa. Mereka bebas menginterpretasikan kandungan Qanun menurut pemahaman Islamnya. Interpretasi tersebut mulai dari pihak pejabat di tingkat Walikota yang membuat seruan bersama larangan duduk mengangkang dengan dalih adat dan upaya penegakan syariat, interpretasi dari para penegak hukum yang kurang sensitif terhadap perempuan ketika melakukan razia dimana bahkan terdapat oknum penegak hukum yang memiliki pandangan berbeda tentang boleh tidaknya memakai celana panjang walaupun tidak ketat untuk kaum perempuan, hingga masyarakat yang main hakim ketika menemukan pihakpihak yang dianggap akan melakukan khalwat. Disini kemudian terbentuk realitas sosial perilaku menyimpang bahwa perempuan dan laki-laki tidak boleh bersama di ruangan sepi karena merupakan sebuah penyimpangan. Pemberian label penyimpangan adalah hasil dari realitas yang terbentuk bahwa berdua-duaan di tempat sepi merupakan penodaan terhadap moralitas masyarakat. Perempuan kemudian dikonstruksikan sebagai pihak yang lebih mempunyai andil dalam mengundang perilaku penyimpangan oleh karena itu harus menggunakan pakaian yang tidak menggoda laki-laki, yaitu yang menutup aurat. Perempuan yang tidak menaati peraturan tersebut akan dicap sebagai perempuan penggoda yang mengundang laki-laki untuk berbuat dosa. Pada akhirnya perempuan muslim yang masih belum memiliki kesadaran diri dan keikhlasan dalam menggunakan busana Islami akan terpaksa untuk mengenakan busana tersebut karena apabila tidak digunakan, maka ia tidak akan bisa masuk ke ruang publik di wilayah Provinsi Aceh.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
20
Saran Penelitian ini menuntut adanya perbandingan pemahaman dan pemilihan pendapat yang proporsional dari pandangan pihak akademisi Islam, baik dari pihak yang mendukung maupun yang menolak pelaksanaan peraturan, serta dari pandangan pihak aktivis perempuan dan akademis berperspektif feminis. Peneliti kemudian lebih menyetujui peraturan busana Islami tidak diberikan sanksi dan tidak menjadi subjek penegakan hukum seperti razia seperti saat ini. Sedangkan untuk peraturan khalwat, dibutuhkan evaluasi menyangkut efektivitas dan pendefinisian sehingga tidak menyasar yang tidak bersalah, tidak berat sebelah pada kelompok sosial ekonomi tertentu, dan tidak menyebabkan efek stigmatisasi yang merugikan pasca penangkapan. Peneliti berpendapat bahwa lebih baik penggunaan busana Islami muncul dari rasa kesadaran dan keikhlasan mereka yang ingin menggunakannya dibandingkan dengan cara represif. Dalam hal ini justru pemaksaan akan memunculkan suatu pengamalan Islam yang semu dan hanya bersifat simbolis dan politis. Jika tujuan yang ingin dicapai adalah pengembalian tatanan masyarakat Islami dan bermoral, lebih baik menggunakan sosialisasi berupa penyuluhan dan pembelajaran sehingga ajaran Islam menjadi sebuah nilai yang terinternalisasi di masyarakat Aceh daripada hanya menjadi sebuah nilai yang dipaksakan. Akan tetapi, jika pelaksanaan peraturan ini akan tetap dilanjutkan, lebih baik segera dilakukan program yang meningkatkan sensitivitas gender para penegak hukum sehingga tidak lagi muncul oknum yang hanya cenderung menyalahkan perempuan dan diskriminatif, terutama pada kasus pelanggaran larangan Khalwat. Serta juga membuat program untuk masyarakat demi menangkal pemberian label buruk pasca penangkapan yang dapat merugikan pelaku secara sosial dan berkepanjangan. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi dan pencegahan terhadap kemungkinan munculnya peraturan-peraturan lain atau himbauan lain seperti larangan duduk mengangkang atas dasar interpretasi Qanun yang mungkin akan dapat mendiskriminasi perempuan lebih jauh akibat pengaruh budaya patriarki di anggota masyarakat yang memiliki kuasa. Daftar Referensi Abubakar, A. Y.(2009). Wilayatul Hisbah: Polisi Pamong Praja dengan Kewenangan Khusus di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam Aceh. Adler, P. A., & Adler, P. (2000). Constructions of Deviance: Social Power, Context, and Interaction. Belmont: Wadsworth.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
21
Arfiansyah. (2009). The Politicization of Shari'ah: Behind the Implementation of Shari'ah in Aceh - Indonesia. Montreal, Canada: Institute of Islamic Studies, McGill University. BBC.co.uk. (2013, June 6). Perda syariat 'sumbang' kekerasan terhadap perempuan Aceh. Retrieved February 22, 2013, from BBC Indonesia: http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130605_acehwomen.shtml Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh. (2013). Profil Gendeer Aceh 2013.Banda Aceh: BPPPA Provinsi Aceh. Barnett, H. (1998). Introduction to Feminist Jurisprudence. London: Cavendish Publishing Limited. Beasley, C. (2005). Gender & Sexuality: Critical Theories, Critical Thinkers. London, Thousand Oaks, and New Delhi: SAGE Publications. Becker, H. S. (1991). Outsiders: Studies dalam the Sociology of Deviance. Dalam P. A. Adler, & P. Adler, Constructions of Deviance (pp. 139-146). Belmont: Wadsworth. Campbell, A. (2005). Keeping the 'Lady' Safe: The Regulation of Femininity Through Crime Prevention Literature. Critical Criminology , 119-140. Candraningrum, D. (2013). Negotiating Women's Veiling: Politics & Sexuality in Contemporary Indonesia. Bangkok: IRASEC. Chalil, Z. F. (2011). Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh. Detik.com. (2006, March 3). Perempuan dan Syariat Islam. Retrieved March 3, 2014, from detiknews : news.detik.com/read/2006/03/20/145526/562037/10/perempuan-dan-syariatislam?nd771108bcj. Friedmann, W. (1972). Law in a Changing Society. Baltimore: Stevens & Sons. Human Rights Watch. (2010). Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan Syariah di Aceh, Indonesia. New York: Human Rights Watch Inter Press Service. (2005, January 20). Population-Indonesia: Regional Autonomy Restricts Women’s Rights. Retrieved March 3, 2014, from Inter Press Service News Agency: http://www.ipsnews.net/2005/01/population-indonesia-regional-autonomy-restrictswomens-rights/ Jauhola, M. (2010). Building Back Better? - Negotiating Normative Boundaries of Gender Mainstreaming and Post-Tsunami Reconstruction in Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Review of International Studies , 29-50.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
22
Kamil, S. (2013). Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syari'ah. Jakarta: PSIA UIN Jakarta. Kamil, S., & Bamulian, C. S. (2007). Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil. Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Hajarta: Center for the Study of Religion and Culture (CSRC). Kingsbury, D. (2007). The Free Aceh Movement: Islam and Democratisation. Contemporary Asia , 166-189. Komnas Perempuan. (2010). Atas Nama Otonomi Daerah. Komnas Perempuan. (2013, July 24). Pernyataan Media Tentang Peringatan 29 Tahun Ratifikasi Cedaw. Retrieved March 13, 2014, from Komnas Perempuan: http://www.komnasperempuan.or.id/2013/07/pernyataan-media-tentang-peringatan-29tahun-ratifikasi-cedaw/ Kompas.com. (2013, 01 04). Perempuan dilarang duduk mengangkang saat dibonceng. Retrieved 05 28, 2013, from Kompas.com: http://regional.kompas.com/read/2013/01/04/10070286/Perempuan.Dilarang.Duduk.Men gangkang.Saat.Dibonceng Liputan6.com. (2013, December 31). Aceh Larang Perayaan Tahun Baru, Polisi Syariah Disebar. Retrieved February 10, 2014, from news.liputan6.com: http://news.liputan6.com/read/788664/aceh-larang-perayaan-tahun-baru-polisi-syariahdisebar Milallos, M. T. (2007). Muslim veil as Politics: Political autonomy, women, and Syariah Islam in Aceh. Cont Islam , 289-301. Miller, J. M. (Ed.). (2009). 21st Century Criminology: A Reference Handbook. California: SAGE. Murniati, A. N. (2004). Getar gender; Buku Kedua. Magelang: IndonesiaTera. Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama. Quinney, R. (1970). The Social Reality of Crime. Boston: Little, Brown and Company. Rakyataceh.com. (2013, February 1). Tidak Sholat Jumat, Laki-laki Dipenjara. Retrieved February 10, 2014, from Rakyataceh.com: http://rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=30739&tit=Berita+Lalu++Tidak+Sholat+Jumat,+Laki-laki+Dipenjara
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
23
Ritzer, G. &. (2004). Teori Sosiologi. (I. R. Muzir, Ed., & Nurhadi, Trans.) New York: Kreasi Wacana. Rizal, S. (2011). Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam Aceh. Romli, M. G. (2010). Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute. Sabil, J., & dkk. (2009). Syari'at Islam di Aceh: Problematika Implementasi Syari'ah. Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam Aceh. Salim, A. (2008). Challenging the Secular State : The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: The University of Hawai'i Press. Santoso, T. (2011). Implementation of Islamic Criminal Law in Indonesia: Ta'zir Punishment As a Solution? Hum Law Journal , 123-148. Siregar, H. B. (2008). Lessons Learned from the Implementation of Islamic Shari'ah Criminal Law in Aceh, Indonesia. Journal of Law and Religion , 143-176. Sujatmiko, I. G. (2012). Conflict Transformation and Social Reconciliation: The Case of Aceh, Indonesia. Asian Social Science , 104-111. Tempo.co. (2013, Mei 25). Perempuan dewasa dilarang menari di depan tamu. Retrieved Mei 28, 2013, from Tempo.co: http://www.tempo.co/read/news/2013/05/25/058483175/Perempuan-Dewasa-DilarangMenari-di-Depan-Tamu The Jakarta Globe. (2010, August 18). West Aceh District Chief Says Shariah Law Needed or There Will Be Hell to Pay. Retrieved March 13, 2014, from The Jakarta Globe: http://www.thejakartaglobe.com/archive/west-aceh-district-chief-says-shariah-lawneeded-or-there-will-be-hell-to-pay/391699/ Tribun News. (2013, September 2). Aceh Tamiang Haramkan Organ Tunggal Digelar Sampai Malam. Retrieved February 10, 2014, from Tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/regional/2013/09/02/aceh-tamiang-haramkan-organ-tunggaldigelar-sampai-malam Wahyuningroem, S. L. (2005). Peran Perempuan di Era Baru Nangroe Aceh Darussalam. Antropologi Indonesia , 93-101. Weber, M. (1978). Economic and Society. (G. a. Roth, Ed.) California: California Press.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014