PEDOMAN PERADILAN ADAT DI ACEH UNTUK PERADILAN ADAT YANG ADIL DAN AKUNTABEL
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
DAFTAR ISI
PEDOMAN PERADILAN ADAT DI ACEH UNTUK PERADILAN ADAT YANG ADIL DAN AKUNTABEL
DISCLAMER
...........................................................
i
KATA PENGANTAR
............................................................ ii
UCAPAN TERIMA KASIH
............................................................ 1
A. PENDAHULUAN
............................................................ 2
B. ASAS-ASAS DALAM PERADILAN ADAT
............................................................ 5
C. DASAR HUKUM PERADILAN ADAT
............................................................ 7
D. BADAN PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT DI ACEH
............................................................ 10
E. TANGGUNG JAWAB DARI PARA PEMIMPIN ADAT
............................................................ 13
F. JENIS PERKARA KEWENANGAN PERADILAN ADAT
............................................................ 15
G. PROSES MENYELESAIKAN PERKARA
............................................................ 17
H. PUTUSAN PERADILAN ADAT DAN PELAKSANAANNYA
............................................................ 27
I. UPAYA BANDING DALAM PERADILAN ADAT
............................................................ 29
J. MEKANISME PELIMPAHAN KASUS DARI PERADILAN ADAT KE PERADILAN FORMAL
............................................................ 30
K. KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PROSES PERADILAN PERDAMAIAN ADAT
............................................................ 31
DAFTAR LAMPIRAN
........................................................... 32
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
DISCLAIMER “The views expressed in this publication are those of the authors and do not necessarily represent those of the United Nations or UNDP.”
“Sudut pandang yang dikemukakan dalam buku ini adalah sudut pandang dari para penulis dan tidak berarti mewakili pandangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun UNDP.”
i
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
ii
“Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat ”,
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
yang maksudnya
“mengamankan kebun dengan kawat, mengamankan negeri dengan adat”
KATA PENGANTAR
P
edoman ini menjadi salah satu unsur mengatur kearifan lokal yang mengikat budaya adat Aceh dalam kehidupan hukum adat. Kondisi kerukunan hidup aman dan tentram merupakan bagian dari nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan masyarakat adat. Perwujudan nilai-nilai ini, amat tergantung pada fungsi dan peran lembaga-lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang tertampung dalam budaya dan struktur kemampuan gampong, mukim, dan lembaga-lembaga adat dalam wilayah masyarakat setempat. Gambaran pranata adat tersebut, merupakan jiwa masyarakat adat yang masih hidup dan berkembang di Aceh. Pranata adat tersebut, mewajibkan pelaksanaan dan sinkronisasi penerapan hukum adat dalam sistem hukum nasional yang mencakup keanekaragaman hukum. Dalam konteks ini, bagi masyarakat dan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) hukum adat membuka ruang pelaksanaan dan kedudukan yang istimewa melalui Undang-undang dan Qanun-qanun yang terkait dengan Adat. Sejalan dengan sifat-sifat hukum tersebut, maka untuk menemukan dan menggali semaksimal mungkin asas-asas hukum adat, Majelis Adat Aceh (MAA) Propinsi NAD, pada tahun 2007, telah melakukan kerjasama penelitian dengan Proyek Keadilan Aceh dari lembaga internasional Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme, UNDP). Hasilhasil penelitian di lapangan, menunjukkan bahwa hukum dan peradilan adat masih hidup, bahkan berlaku dalam mendukung pembangunan asas-asas hukum baru dalam pemerintahan Aceh. Penelitian ini, disadari masih ada banyak kekurangan, terutama menyangkut aspek-aspek khas dari beberapa kaum etnis masyarakat Aceh yang belum sempat diteliti. Namun, penelitian ini tetap penting karena digunakan dan dikembangkan untuk menjadi dasar-dasar Pedoman ini melalui proses konsultatif antara MAA, para anggota lembaga-lembaga adat Aceh, para anggota LSM-LSM Aceh (baik perempuan maupun laki-laki), dan UNDP. Proses ini pula telah mendorong pemberdayaan lembaga-lembaga adat Aceh. Oleh karena itu, saya menganjurkan dan menyambut baik penyusunan “Pedoman Umum Peradilan Adat Aceh” yang dilakukan oleh Tim Kerjasama MAA NAD dengan UNDP, dapat disebarluaskan dalam masyarakat. Semoga buku ini dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam menggali dan membenahi pembinaan peradilan adat yang efektif, akuntabel, dapat dipercaya dan adil. Khususnya untuk menangani hal yang melibatkan pihak perempuan. Buku pedoman ini juga diharapkan dapat menjadi sumber kajian di dalam perencanaan Qanun-qanun bagi pemerintahan Aceh maupun pemerintahan kabupaten dan kota. Kepada semua pihak, khususnya Tim Peneliti dan pihak UNDP, kami ucapkan terima kasih.
Banda Aceh, 1 Mei 2008 Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum
Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam
iii
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
iv
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
UCAPAN TERIMA KASIH
P
edoman Peradilan Adat di Aceh adalah sebuah penelitian kerjasama dan proses konsultasi dalam
skala yang luas, yang dilaksanakan pada tahun 2007-2008. Majelis Adat Aceh dan UNDP berterima kasih kepada tokoh-tokoh adat yang menjadi narasumber dalam penelitian ini dan semua pihak yang ikut serta di dalam pengembangan pedoman ini. Khususnya, ucapan terima kasih dihaturkan kepada Bapak Badruzzaman dan Tim MAA termasuk Bapak Abdurrahman, Bapak Muhammad Hamzah, Profesor Teuku Djuned, dan Bapak Zulfian atas bimbingan ahli dari beliau-beliau, serta umpan baliknya selama proses tersebut berlangsung. Kami juga berterima kasih kepada Bapak Taqwaddin dari UNSYIAH dan Afridal Darmi dari LBH Banda Aceh yang telah bertindak sebagai fasilitator pada sesi-sesi kerja selama konsultasi dengan para pemimpin adat.
Tim Proyek Keadilan Aceh UNDP, yang dipimpin oleh Ibu Sadaf Lakhani, termasuk Fakri Karim, Faisal Fuady, Ross Clarke dan Mercedes Chavez. Ucapan terima kasih teristimewa juga disampaikan kepada dua ahli peneliti utama – Nurdin Husin dan Arie Brouwer.
Secara khusus terima kasih juga kami haturkan kepada seluruh pimpinan adat dan para pihak yang berpartisipasi di dalam diskusi kelompok fokus dan lokakarya peninjauan ulang. Partisipasi dari para pemimpin adat, perwakilan masyarakat sipil, para ahli Aceh, para ilmuwan dan pejabat yang telah memastikan bahwa latar belakang penelitian yang membentuk landasan bagi pedoman ini. Pedoman ini sendiri mencerminkan konteks dan praktek adat Aceh yang berlangsung saat ini dan juga upaya yang sungguh-sungguh dari para pemimpin adat untuk meningkatkan akses keadilan yang diberikan melalui adat.
Pedoman ini adalah bagian dari proyek Bappenas - UNDP untuk Proyek Keadilan Aceh, yang didanai oleh Program Uni Eropa Dukung Aceh Damai.
1
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
A. PENDAHULUAN TUJUAN PEDOMAN INI TUJUAN UTAMA
P
edoman ini bertujuan untuk memperlengkapi para tokoh adat dengan keterangan jelas dan menyeluruh yang akan medukung mereka untuk memenuhi perannya sebagai pengurus peradilan berdasarkan sebuah tata cara yang adil, akuntabel, dan efektif. Dengan memberikan satu set standar prosedur minimum, Pedoman ini kemudian bertujuan untuk mempertahankan hak-hak dari pihakpihak yang bertikai dan mengembangkan pertanggungjawaban dan keadilan yang lebih bermakna dalam penyelenggaraan peradilan adat terhadap kaum perempuan, anak-anak, dan juga laki-laki.
UNTUK SIAPA? Pedoman umum ini bertujuan untuk memudahkan para pemangku adat (atau, para pelaksana peradilan adat) dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan peradilan adat baik di tingkat Gampong maupun di tingkat mukim. Pedoman ini juga berguna sebagai penyedia keterangan – keterangan untuk bahan-bahan pertimbangan peradilan formal seperti Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan Mahkamah Syariah. Kemudian bagi orang-orang yang ingin mengerti prosedur adat dengan lebih baik, termasuk para anggota masyarakat yang mencari pertolongan dari para tokoh adat, juga organisasi-organisasi dan para pejabat pemerintahan yang terlibat dalam pekerjaan yang berhubungan dengan peradilan di tingkat masyarakat di seluruh propinsi Aceh.
MENGAPA PEDOMAN INI PENTING? Sebagian besar dari masyarakat Aceh mencari dan mendapatkan keadilan melalui pemecahan masalah secara tradisional, secara adat. Akan tetapi, ada penelitian yang dilakukan oleh UNDP yang memperlihatkan bahwa anggota masyarakat seringkali tidak menyadari bagaimana pertikaianpertikaian itu diselesaikan menurut adat1. Sifat-sifat dasar adat yaitu: mengalir, lisan dan tidak terstruktur (uncodified) dikaitkan dengan perkembangan hukum di Aceh dan berlakunya sistem hukum formal (Pengadilan Negeri dan mahkamah Syariah) menyebabkan timbulnya berbagai pengertian baik mengenai lembaga adat maupun prosedur umum dari proses penyelesaian perselisihan secara adat. Kondisi tersebut diperparah oleh terjadi kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat yang disebabkan oleh pengungsian dan kematian akibat konflik dan tsunami. Akibat kevakuman dan hilangnya kepemimpinan adat terjadi keterbatasan dalam penyelesaian perselisihan secara adat dan membuahkan perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok-kelompok yang tersisihkan dan rentan seperti perempuan, janda korban konflik, orang cacat, orang tua, yatim piatu, anak dan lain-lain. Pedoman ini diharapkan bisa membahas akibat dan masalah ini dengan menjelaskan peranperan yang sebenarnya dari para penyelenggara peradilan dan dengan memberikan seperangkat standar prosedural untuk diterapkan pada semua perkara adat. Dengan meningkatkan kesadaran akan standar-standar ini, Pedoman ini berusaha memberikan kejelasan dan keadilan yang lebih baik dalam penyelesaian pertikaian adat untuk keuntungan para penyelenggara peradilan dan anggota masyarakat.
2
1
referensi UNDP, ‘Access to Justice in Aceh – Making the Transition to Sustainable Peace and Development in Aceh’, 2006.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pedoman umum ini, sangat penting dalam rangka menciptakan keseragaman pemikiran dan tindakan antara para pemangku adat seperti Keuchik, Tuha Peuet, Imeum Meunasah. Hal ini didasarkan pada temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa masih ada kegamangan dalam penyelenggaraan peradilan adat, terutama di kalangan pemangku adat generasi sekarang ini. Disamping itu, juga bertujuan agar pedoman yang dibuat dalam bentuk tertulis ini dapat mudah dirujuk saat apapun dibutuhkan, pula dengan mencakup legislasi, para tokoh adat dapat melihat asas-asasnya peradilan adat. Oleh karena itu, pada akhirnya para penyelenggara peradilan adat diwajibkan menerapkan pedoman umum ini sehingga putusan yang mereka tetapkan tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan sekaligus tidak bertentangan pula dengan hak asasi manusia.
METODOLOGI Pedoman Adat ini berdasarkan sebuah analisa dari hukum (legislasi) yang mengatur adat di Aceh dan sebuah penelitian lapangan yang rinci mengenai pelaksanaan peradilan adat yang nyata. Penelitian ini dilakukan di 17 Gampong, 10 kecamatan yang terletak dalam 4 kabupaten, yaitu: Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah dan Aceh Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara: (1) Penelitian kepustakaan yaitu dengan menganalisa berbagai bahan bacaan, hasil penelitian terdahulu, dan peraturan perundang-undangan (Qanun-Qanun) yang terkait dengan topik penelitian ini dan (2) Penelitian lapangan, yang datanya diperoleh melalui mewawancarai sejumlah responden yang menggunakan metode diskusi terfokus dan wawancara mendalam secara individu (satu persatu). Yang dipilih sebagai responden untuk penelitian ini adalah para tokoh adat yang terlibat dalam proses persidangan peradilan adat, yaitu Keuchik, Sekretaris Keuchik, Tuha Peuet, Imeum Meunasah, Keujruen Blang, Panglima Laot, dan Pawang Glee serta Peutua Seuneubok. Materi pedoman ini disusun berdasarkan hasil temuan di lapangan dan lokakarya ilmiah pada tanggal 12 Nopember 2007 di Grand Nanggroe Hotel, Banda Aceh, NAD, yang dihadiri oleh Ketua Majelis Adat Aceh dan para perwakilan tokoh adat dari berbagai lokasi penelitian (Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Tengah dan Aceh Selatan). Kemudian pula dihadiri oleh Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Banda Aceh, Mahkamah Syariah Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, perwakilan BRR, United Nations Food and Agricultural Organization (UN-FAO), Oxfam, Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), International Development Law Organization (IDLO), Akademisi Universitas Syiah Kuala (UNSyiah), Jaringan Komunikasi Masyarakat Adat Aceh (JKMA), Lembaga Bantuan Hukum Aceh (LBH Aceh), dan Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI). Pada 13 Nopember 2007 dilanjutkan dengan diskusi mendalam terbatas kepada para penyelenggara peradilan adat yang berasal dari lokasi penelitian. Dari diskusi tersebut, terungkap sejumlah perihal yang sangat penting yang berhubungan dengan proses penyelenggaraan peradilan adat di tingkat Gampong dan mukim. Perihal-perihal tersebut menjadi asas dan kerangka draf Pedoman ini. Setelah diskusi tersebut, diselenggarakan sebuah lokakarya yang dilaksanakan pada tanggal 26 februari 2008 untuk memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang terkait untuk memberikan masukan ke dalam draf Pedoman. Hal ini menyebabkan perubahan-perubahan penting, termasuk pemakaian bahasa yang disederhanakan dan memastikan bahwa Pedoman ini memang dirancang dengan tepat untuk masyarakat pedesaan.
3
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Setelah itu, sebuah bacaan bersama dilakukan dengan beberapa anggota MAA, sekelompok kecil pemangku adat, dengan beberapa wakil pemangku adat untuk memastikan rancangan pedoman adalah mudah digunakan untuk mengimplementasikan sebuah percontohan awal yang kecil (test cetak). Proses ini memberikan kesempatan untuk mendapatkan umpan balik dari MAA juga beberapa pihak yang bersangkutan, termasuk para pemimpin adat tersebut, untuk kemudian diperhitungkan ke dalam isi dan rancangan terakhir. Melalui proses ini, setiap usaha telah dilakukan untuk memastikan bahwa Pedoman ini telah dikembangkan dengan cara konsultatif, didorong oleh kebutuhan para tokoh adat, dan diterima oleh pihak-pihak yang terkait, misalnya MAA yang mencerminkan praktek umum secara tepat. Meskipun diakui bahwa penelitian terbatas yang menghasilkan Pedoman ini tidak merangkum kerumitan dan keanekaragaman dari peradilan adat di seluruh NAD, diharapkan dengan mengenali asas-asas dan pelaksanaan-pelaksanaan umum ini, standar minimum dan baku untuk peran dan prosedur dalam peradilan adat dapat dikenali.
KETERBATASAN-KETERBATASAN Penelitian dan hasilnya yang digunakan sebagai asas Pedoman dilaksanakan cenderung meliputi dan fokus pada daerah pesisir pantai NAD. Oleh karena itu, disadari sepenuhnya bahwa pedoman umum ini lebih banyak diwarnai oleh sistem hukum adat masyarakat pesisir Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun demikian, dalam banyak hal pedoman tersebut sangat membantu para tokoh adat yang berasal dari luar daerah pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini mengingat prinsip-prinsip dasar yang diterapkan dalam peradilan adat adalah sama rata untuk seluruh wilayah Propinsi NAD. Maka dari itu, Pedoman ini terfokus pada proses atau prosedure peradilan adat dibandingkan pada substansi atau unsur. Meskipun perbedaan-perbedaan dalam proses pasti ada dari satu daerah ke daerah yang lain, Pedoman ini menjelaskan beberapa prinsip umum dan pedoman dasar yang masih relevan di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam. Jadi, bukannya mencoba mengatur tindakan para pemimpin adat, akan tetapi Pedoman ini menyatukan seperangkat prinsip-prinsip umum yang bertujuan untuk membangun kepaduan/koherensi dan keadilan yang lebih baik dalam prosedur.
STRUKTUR PEDOMAN UMUM PERADILAN ADAT Pedoman umum di bidang peradilan adat ini menampung sejumlah hal penting misalnya: (1) Asas-Asas dalam Peradilan Adat, (2) Dasar Hukum Peradilan Adat, (3) Badan Penyelenggara Peradilan Adat, (4) Jenis Sengketa dan Prosedur Penyelesaiannya, (5) Teknik Bermusyawarah (mediasi dan negosiasi) dalam Peradilan Adat, (6) Putusan Peradilan Adat dan Pelaksanaannya, dan (7) Mekanisme Pelimpahan Kasus Dari Peradilan Adat Ke Peradilan Formal, (8) Keterlibatan Perempuan Dalam Proses Peradilan Perdamaian Adat.
4
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
B. ASAS-ASAS DALAM PERADILAN ADAT
A
sas merupakan tatanan nilai sosial yang menduduki tingkat tertinggi dari berbagai sistem hukum, dan tidak boleh disimpangi oleh sistem hukum manapun juga. Dalam sistem hukum adat Aceh, dikenal sejumlah asas yang pada umumnya dapat diterima oleh berbagai sistem hukum lainnya. Sejauh ini, ada sejumlah asas yang telah dihimpun2 sebagai berikut:
TERPERCAYA ATAU AMANAH
MUFAKAT
TANGGUNG JAWAB/ AKUNTABILITAS
KETERBUKAAN UNTUK UMUM
KESETARAAN DIDEPAN HUKUM/ NON-DISKRIMINASI
JUJUR DAN KOMPETENSI
ASAS ASAS CEPAT DAN TERJANGKAU
KEBERAGAMAN
IKHLAS DAN SUKARELA
PRADUGA TAK BERSALAH
PENYELESAIAN DAMAI/KERUKUNAN (ULEUE BEK MATE RANTENG EK PATAH)
2
BERKEADILAN
Diperkirakan masih ada beberapa asas lainya yang belum diidentifikasikan ataupun diteliti.
5
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
1.
Terpercaya atau Amanah (Acceptability) Peradilan adat dapat dipercayai oleh masyarakat.
2.
Tanggung Jawab/Akuntabilitas (Accountability) Prinsip ini menggarisbawahi pertanggung jawaban dari para pelaksana peradilan adat dalam menyelesaikan perkara tidak hanya ditujukan kepada para pihak, masyarakat dan negara tetapi juga kepada Allah SWT.
3.
Kesetaraan di Depan Hukum/Non-diskriminasi (Equality before the law/NonDiscriminaton) Peradilan adat tidak boleh membeda-bedakan jenis kelamin, status sosial ataupun umur. Semua orang mempunyai kedudukan dan hak yang sama dihadapan adat.
4.
Cepat, Mudah dan Murah (Accessibillity to all Citizens) Setiap putusan peradilan Gampong harus dapat dijangkau baik yang menyangkut dengan biaya, waktu dan prosedurnya.
oleh
masyarakat
5.
Ikhlas dan Sukarela (Voluntary nature) Keadilan adat tidak boleh memaksa para pihak untuk menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat.
6.
Penyelesaian damai/ kerukunan (Peaceful Resolution) Dalam bahasa Aceh, azas ini dikenal dengan ungkapan “Uleue bak mate ranteng ek patah”, tujuan dari peradilan adat adalah untuk menciptakan keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat.
7.
Musyawarah/Mufakat (Consensus) Keputusan yang dibuat dalam peradilan adat berdasarkan hasil musyawarah mufakat yang berlandaskan hukum dari para pelaksana peradilan adat.
8.
Keterbukaan untuk Umum (Transparency) Semua proses peradilan (kecuali untuk kasus-kasus tertentu) baik yang menyangkut pautkan penerimaan pengaduan, pemanggilan saksi, persidangan maupun pengambilan serta pembacaan putusan harus dijalankan secara terbuka.
9.
Jujur dan Kompetensi (Competence/Authority) Seorang pemimpin adat tidak boleh mengambil keuntungan dalam bentuk apapun baik material maupun non material dari penanganan perkara.
10. Keberagaman (Pluralism) Peradilan adat menghargai keberagaman peraturan hukum yang terdiri dari berbagai sistem hukum adat dan berlaku dalam suatu masyarakat adat tertentu. 11. Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Hukum adat tidak membenarkan adanya tindakan main hakim sendiri. 12. Berkeadilan (Proportional Justice) Putusan peradilan adat harus bersifat adil dan diterapkan berpedoman sesuai dengan berdasarkan parahnya perkara dan keadaan ekonomi para pihak.
6
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
C. DASAR HUKUM PERADILAN ADAT DI ACEH
P
elaksanaan peradilan adat yang dewasa ini didukung oleh sejumlah peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, payung hukum pemberdayaan lembaga-lembaga adat dan hukum adat sangat memadai. Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan peradilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim. Adapun badan-badan resmi yang menyelenggarakan peradilan adat yaitu Lembaga Gampong dan Lembaga Mukim. Di bawah ini adalah hukum-hukum dan peraturan-peraturan utama yang mengatur pelaksanaan adat di Aceh: 1. Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Pasal 3 dan 6 menegaskan bahwa:
•
Daerah diberikan kewenangan untuk menghidupkan adat yang sesuai dengan Syariat Islam.
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII tentang Lembaga Adat mengatakan bahwa:
•
Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat [Pasal 98, Ayat (2)].
•
Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud di atas meliputi3
Tuha Peuet
Majelis Adat Aceh
Imeum Mukim
Imeum Chiek
Keuchik
Imeum Meunasah
Tuha Lapan
LEMBAGA-LEMBAGA ADAT Keujruen Blang
Panglima Laot
3
Syahbanda
Pawang Glee
Peutuwa Seuneubok
Istilah yang ditulis dalam diagram ini ataupun istilah lain
Haria Peukan
7
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3. Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat menegaskan bahwa:
”Lembaga Adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat.” Tugas lembaga adat adalah:
• •
Menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal 5) Menjadi Hakim Perdamaian dan diberikan prioritas utama oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 6 dan 10)
4. Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memberikan wewenang kepada Mukim untuk:
• • • • • •
Memutuskan dan atau menetapkan hukum Memelihara dan mengembangkan adat Menyelenggarakan perdamaian adat Menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihanperselisihan dan pelanggaraan adat Memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat Menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat
5. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah:
• • • •
Menyelesaikan sengketa adat Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat Bersama dengan Tuha peuet dan Imum Meunasah menjadi hakim perdamaian.
6. MoU antara Gubernur, Kapolda, dan MAA NO............., 2007 Perlu dicatat bahwa pada saat tulisan ini dipersiapkan, ada draf yang segera dipersiapkan untuk ditindak lanjuti, yaitu MoU antara Gubernur, Kapolda, dan MAA NO............., 2007. Bahkan dalam prakteknya, di beberapa daerah draf tersebut telah dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan peradilan adat.
8
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Dalam kaitannya dengan peradilan adat, draf MoU tersebut menegaskan bahwa, antara lain: (1) Mengakui bahwa lembaga Peradilan Adat sebagai lembaga Peradilan Perdamaian; (2) Memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada peradilan adat untuk menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan, dan jika gagal baru diajukan ke persidangan Mukim; (3) Ada sengketa perkara yang bukan kewenangan Gampong/Mukim dan oleh karena itu harus diselesaikan oleh lembaga peradilan negara; (4) Menghendaki adanya tertib administrasi peradilan adat.
Perangkat Peradilan Adat/Hakim Perdamaian pada tingkat: 1. Gampong, terdiri atas: a.
Keuchik, sebagai ketua;
b. Sekretaris Gampong, sebagai Panitera; c.
Imeum Meunasah, sebagai anggota;
d. Tuha Peuet, sebagai anggota; e.
Ulama, Tokoh adat/cendikiawan lainnya di Gampong yang bersangkutan (ahli di bidang nya), selain Tuha Peuet Gampong sesuai dengan kebutuhan.
2. Mukim terdiri atas: a.
Imeum Mukim, sebagai ketua;
b. Sekretaris Mukim, sebagai Panitera; c.
Tuha Peuet Mukim, sebagai anggota;
d. Ulama, tokoh adat/cendikiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim sesuai dengan kebutuhan.
Dalam keputusan bersama tersebut juga ditegaskan bahwa: (1) Proses peradilan adat dilakukan menurut mekanisme musyawarah; (2) Adanya perangkat adat dan sistem administrasi peradilan adat yang tertib dan terdokumentasi; dan (3) Putusan tersebut sebaiknya tidak diajukan lagi tuntutannya pada lingkungan peradilan formal.
9
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
D. BADAN PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT DI ACEH
P
ada umumnya penyelengaraan Peradilan Perdamaian Adat dilakukan oleh Lembaga Gampong dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, di beberapa daerah tertentu, seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang, mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap yang sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.
STRUKTUR DAN PERAN PENYELENGGARA PERADILAN ADAT TINGKAT GAMPONG4 KEUCHIK sebagai Ketua Sidang
TUHA PEUET sebagai Anggota
IMEUM MEUNASAH sebagai Anggota
ULAMA, CENDEKIAWAN, TOKOH ADAT, DSB sebagai Anggota
SEKRETARIS GAMPONG
ULEE JURONG
ULEE JURONG
sebagai Panitera
sebagai Penerima Laporan awal
sebagai Penerima Laporan awal
Para penyelenggara peradilan adat sebagaimana ditulis di atas tidak ditunjuk atau diangkat “secara resmi”, tetapi karena jabatannya sebagai Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet, dan Ulee Jurong maka mereka secara otomatis menjadi para penyelenggara peradilan adat. Mereka “secara resmi5” menjadi penyelenggara peradilan adat justru dipercayai oleh masyarakat. Pada saat ini, keanggotaan peradilan adat terbatas pada kaum lelaki, tetapi juga harus melibatkan kaum perempuan. Mereka terlibat dalam proses penyelenggaraan peradilan adat melalui jalur Tuha Peuet dimana salah satu unsur Tuha Peuet harus ada wakil dari kaum perempuan.
10
4
Istilah lain untuk jabatan yang ditulis didalam diagram ini juga berlaku. Kata lain, ex-oficio.
5
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Sementara itu, struktur penyelenggaraan peradilan adat di tingkat mukim dapat digambarkan sebagai berikut:
STRUKTUR DAN PERAN PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT TINGKAT MUKIM6
SEKRETARIS MUKIM sebagai Panitera
MAJELIS ADAT MUKIM
IMEUM CHIEK
IMEUM MUKIM
sebagai Anggota
TUHA PEUET MUKIM
sebagai Ketua Sidang
sebagai Anggota
sebagai Anggota
ULAMA, CENDIKIAWAN TOKOH ADAT, LAINNYA sebagai Anggota
Badan perlengkapan peradilan adat di tingkat mukim dan mekanisme kerjanya hampir sama dengan tingkat Gampong.
Kasus yang tidak bisa diselesaikan pada tingkat gampong:
6
1)
Kasus yang terjadi antar Gampong yang berada dalam juridiksi Mukim
2)
Kasus banding yaitu kasus yang telah ditangani ditingkat Gampong, namun salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut
Ulama, tokoh adat/cendikiawan lainnya, selain Tuha Peuet Mukim dan sesuai dengan kebutuhan.
11
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Hal ini senada dengan yang diperintahkan oleh Perda No. 7, Tahun 2000 bahwa:
•
Gampong diberi wewenang dalam masa 2 bulan dapat menyelesaikan persengketaan, bila tidak selesai dibawa ke rapat adat Mukim [pasal 11 ayat (2)]
•
Mukim diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara selama 1 (satu) bulan terhitung sejak permohonan banding diajukan [pasal 15 ayat (1)]
Kewenangan Mukim untuk menyelenggarakan peradilan adat juga diperintahkan oleh Qanun No. 4, Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi NAD, yang menegaskan bahwa:
•
Lembaga Mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat (Pasal 4, Huruf e);
•
Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat [Pasal 12, Ayat (2)].
khususnya yang menyangkut dengan kasus yang diteruskan ke tingkat Mukim, Qanun 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Desa Dalam Propinsi NAD menegaskan bahwa:
• Pihak-pihak
yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagaimana dimaksud pada Pasal 12, Ayat (2), dapat meneruskannya kepada Imeum Mukim dan keputusan Imeum Mukim bersifat akhir dan mengikat [(Pasal 12 ayat (3)];
Peradilan Tingkat Mukim merupakan upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan dalam jurisdiksi adat. Perkara-perkara pidana berat atau sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Mukim, akan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Negara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang berlaku:
Peradilan Adat Mukim
12
Tiada penyelesaian dan/atau perkara pidana berat
Lembaga Peradilan Negara
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
E. TANGGUNG JAWAB DARI PARA PEMIMPIN ADAT
T
erlibat di dalam penyelesaian perkara adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Para anggota masyarakat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin adat untuk menyelesaikan pertikaian secara adil dan damai. Berikut ini adalah beberapa tanggung jawab para pemangku adat untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip dalam peradilan adat dipegang teguh dalam setiap proses penyelesaian sengketa secara adat.
TANGGUNG JAWAB UTAMA PEMIMPIN ADAT
melaksanakan proses peradilan
memutuskan dengan adil
melindungi hak para pihak
mencatat proses dan keputusan
Mengarsipkan dokumen
Tangung jawab utama dari pemangku adat tersebut adalah : 1. Melaksanakan proses peradilan adat : Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap setiap tahapan peradilan adat, mulai dari menerima laporan, memeriksa duduk persoalan sampai pada tahap rapat persiapan sidang akhir dan sampai dengan pemberian putusan peradilan adat. 2. Memutuskan dengan adil : Para pemangku adat harus memastikan bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil dari sebuah proses paradilan adat sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa, dimana keputusan yang diambil berdasarkan hasil proses pembuktian dan musyawarah, bukan berdasarkan kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
13
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3. Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak para pihak yang bersengketa mulai dari proses menerima laporan, memeriksa duduk persoalan, proses persidangan sampai pada tahap pelaksanaan putusan-putusan di persidangan. 4. Mencatat Proses dan Keputusan Peradilan Setiap proses dan keputusan-keputusan yang telah diambil harus dicatat secara akurat dalam dokumen administrasi peradilan adat. 5. Mengarsipkan berkas perkara. Berkas perkara termasuk surat pejanjian yang berisi keputusan-keputusan adat harus disimpan atau diarsipkan secara aman oleh pemangku adat, hal ini penting dilakukan untuk menjamin dan mempelancar proses peradilan bagi kasus-kasus lain serta kasus yang sama terulang kembali, sehingga pemangku adat mempunyai referensi dalam melakukan proses peradilan dan mengambil keputusan-keputusan sengketa adat.
14
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
F. KEWENANGAN PERADILAN ADAT
B
eberapa kasus yang menjadi kewenangan peradilan adat (kompetensi) peradilan adat sebagaimana hasil temuan di lapangan dan hasil rapat koordinasi antara MAA dengan lembaga penegak hukum adalah sebagai berikut:
KEWENANGAN PERADILAN ADAT • Batas Tanah • Pelanggaran ketentuan adat dalam bersawah dan pertanian lainnya
• Kekerasan dalam rumah tangga yang bukan kategori penganiayaan berat
• • Pembagian harta warisan • Wasiat • Fitnah • Perkelahian • Pertunangan dan perkawinan • Pencurian • Ternak (ternak makan tanaman dan
Perselisihan antar dan dalam keluarga
pelepasan ternak di jalan sehingga dapat mengganggu kelancaran lalu lintas)
• Kecelakaan lalu lintas (kecelakaan ringan) • Ketidakseragaman turun ke sawah
DI LUAR KEWENANGAN PERADILAN ADAT • Pembunuhan • Perzinahan • Pemerkosaan • Narkoba, ganja dan sejenisnya • Pencurian (berat, eg. Kerbau, kendaraan bermotor dan lain-lain)
• Suversif • Penghinaan terhadap pemerintah yang syah (Presiden dan Gubernur)
• Kecelakaan lalu lintas berat (kematian) • Penculikan • Khalwat, dan • Perampokan bersenjata
Berdasarkan rancangan konsep MOU antara gubernur, MAA dan Polda NAD bahwa perkaraperkara ringan yang memungkinkan diselesaikan di tingkat komunitas menjadi kewenangan paradilan adat. Di satu sisi pembagian kewenangan peradilan adat untuk perkara-perkara ringan atau sederhana, namun dalam realitasnya penanganan perkara-perkara ini jauh lebih rumit dilakukan. Hal ini karena ada perkara-perkara pada awalnya merupakan perkara ringan, namun pada tahap selanjutnya perkara ini menjadi perkara berat, atau pada awalnya perkara tersebut bersifat perdata misalnya perkara pertikaian batas tanah, dapat saja berkembang menjadi perkara yang bersifat pidana, karena terjadinya tindak kekerasan.
15
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Sebagai hasilnya, sebuah tingkat keluwesan/fleksibilitas diperlukan pada waktu menentukan perkara mana yang sesuai untuk diselesaikan dalam forum yang mana. Secara khusus, pada waktu keselamatan dari pihak yang bertikai terancam lebih sesuai jika melibatkan pihak kepolisian. Hal ini seringkali terjadi ketika pertikaian tersebut merupakan kekerasan atau melibatkan seseorang yang rentan seperti seorang perempuan atau anak-anak. Dalam perkara-perkara seperti ini, pertimbangan khusus harus diberikan terhadap kewenangan seorang pemimpin adat untuk menyelesaikan perkara secara efektif sambil memastikan bahwa hak-hak semua pihak dijunjung. Jika kekhawatiran seperti ini muncul, sudah selayaknya untuk menghubungi pihak kepolisian dan meminta bantuan tambahan. Lebih lanjut, tanggung jawab-tanggung jawab dari seorang tokoh adalah untuk memastikan bahwa para pihak telah diinformasikan mereka mempunyai pilihan untuk membawa kasusnya ke bidang penyelenggaran peradilan formal (merujuk ke bagian K untuk detail yang lebih rinci). Tokoh adat tersebut juga boleh merujuk para pihak ke Pos bantuan Hukum ataupun LSM-LSM yang sesuai, untuk didampingi. Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang bukan penganiayaan berat, jika perempuan menginginkan penyelesaian dengan peradilan adat, maka perlu diupayakan mekanisme perlindungan terhadap korban oleh pemangku adat, sehingga jika upaya damai telah dilakukan dan perempuan/istri telah kembali ke rumah suami/orang tuanya kekerasan terhadap perempuan/istri tidak terulang kembali
16
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
G. PROSES MENYELESAIKAN PERKARA
H
ukum adat tidak membedakan antara kasus perdata dan pidana. Namun untuk memudahkan penjelasan prosedur penanganannya, ada pertimbangan-pertimbangan dan prosedur-prosedur yang perlu diterapkan jika kasus pidana sedang ditangani dan diselesaikan. Kasus/perkara pidana yang paling umum jatuh dibawah payung adat adalah pencurian dan kekerasan. Untuk kasus-kasus tersebut, prosedur yang berlaku tercatat dibawah ini. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan khusus, terutama jika perempuan dan/atau anak terlibat. Secara umum prosedur penyelesaian sengketa melalui peradilan perdamaian adat dilakukan dengan prosedur dan tahapan-tahapan sebagai berikut:
I. PENYELESAIAN SENGKETA Untuk sengketa perdata, maka para pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1.
Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada Kepala Dusun (Kadus) atau kepala lorong atau Peutuwa Jurong tempat dimana peristiwa hukum tersebut terjadi (asas teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat juga langsung ditujukan kepada Keuchik. Adakalanya kepala dusun atau Peutuwa Jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka kepala dusun segera melapor kepada Keuchik;
2.
Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau dari pihak korban, maka Keuchik membuat rapat internal dengan Sekretaris Keuchik, Kepala Dusun, dan Imeum Meunasah guna menentukan jadwal sidang; Pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di Meunasah;
3.
Sebelum persidangan digelar, Keuchik dan perangkatnya (Sekretaris Keuchik atau Sekretaris Gampong, Imeum Meunasah dan Para Kadus atau Peutuwa Jurong) melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada saat pendekatan tersebut, para pelaksana peradilan adat akan menggunakan berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan;
4.
Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh Keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan oleh orang bijak lainnya. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri Keuchik atau tokoh perempuan bijak lainnya;
5.
Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka Sekretaris Keuchik akan mengundang secara resmi kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;
17
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
6.
Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara;
7.
Persidangan bersifat resmi dan terbuka yang biasanya digelar di Meunasah atau tempattempat lain yang dianggap netral;
8.
Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya formil secara adat;
9.
Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut: Keuchik, selaku Ketua Sidang, duduk dalam satu deretan dengan Tuha Peuet, Imeum Meunasah, Cendikiawan, Ulama dan Tokoh Adat Gampong lainnya. Di sebelah kiri Keuchik, agak sedikit ke belakang, duduk Sekretaris Keuchik (sebagai Panitera). Di deretan depan atau di hadapan Keuchik merupakan tempat untuk para pihak atau yang mewakilinya. Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap kiri dan kanan forum persidangan. Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat Gampong dan keluarga serta sanak saudara dari para pihak;
TATA LETAK SIDANG PERADILAN ADAT GAMPONG
SEKRETARIS DESA (Panitera)
IMEUM
KEUCHIK
TUHA PEUET
(Anggota Sidang)
(Ketua Sidang)
(Anggota Sidang)
SAKSI
PARA PIHAK
PENGUNJUNG SIDANG (Masyarakat Setempat dan Sanak Saudara Para Pihak)
18
ULAMA, CENDIKIAWAN, TOKOH ADAT LAINNYA
DAN
(Anggota Sidang)
SAKSI
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
10. Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan Keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera (Sekretaris Gampong); 11. Keuchik mempersilahkan para saksi untuk menyampaikan kesaksiannya dan biasanya, jika dirasa perlu, para saksi sebelum menyampaikan kesaksiannya akan diambil sumpah terlebih dahulu; 12. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet atau Tuha Lapan menanggapi sekaligus menyampaikan alternatif penyelesaiannya; 13. Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh menanggapi dan menyampaikan jalan keluar terhadap kasus tersebut;
adat
lainnya
untuk
14. Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan dijatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap menerima putusan damai tersebut. Jika jawaban mereka adalah menerima putusan itu, maka panitera menulis diktum putusan tersebut yang sering disebut surat perjanjian perdamaian; 15. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan Mukim; 16. Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguhsungguh; 17. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim; 18. Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian:
•
Kepada salah satu atau kedua belah pihak akan dikenakan sanksi, yang berat ringannya sangat tergantung pada jenis pelanggaran atau pidana adat yang mereka lakukan;
•
Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan membebankan sesuatu pada para pihak atau pada satu pihak tergantung keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan);
Bila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di Meunasah dihadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, maka pelaksanaan eksekusi dilakukan di Meunasah di depan umum, atau di tempat lain di rumah atau Mesjid (atas persetujuan bersama).
19
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
19. Putusan penyelesaian sengketa itu dicatat dalam sebuah buku induk registrasi kasus yang di dalam buku tersebut memuat hal-hal sebagai berikut: a)
Nomor
b)
Tanggal pelaporan dan nama pelapor;
c)
Jenis kasus
d)
Uraian singkat pokok perkara
e)
Tanggal penyelesaiannya
f)
Uraian singkat putusan perdamaian (Merujuk ke Lampiran II Buku Induk Registrasi Kasus)
II. PENYELESAIAN KASUS YANG BERSIFAT PIDANA Prosedur dan kerangka penyelesaian perkara pidana hampir sama dengan prosedur yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada beberapa tindakan awal yang harus dilakukan oleh para pelaksana peradilan adat guna menghindari terjadinya sengketa yang lebih berat. Dengan demikian, prosedur penyelesaian kasus yang bersifat pidana biasanya diawali dengan langkah-langkah berikut: a)
20
Memberi pengamanan secepatnya melalui pemberian perlindungan, kepada kedua belah pihak, dengan jalan berikut ini: 1.
Mengamankan pihak pelaku di suatu tempat yang dirahasiakan. Lembaga adat Gampong tidak mengenal rumah tahanan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Biasanya diamankan sementara di rumah keluarga atau rumah Keuchik, atau untuk sementara meninggalkan Gampong, pergi ke tempat lain yang aman dan terlindung.
2.
Jika korban perempuan dan anak, maka pemangku adat juga harus memberikan perlindungan pada mereka dengan menempatkan korban di rumah salah satu pemangku adat sampai jangka waktu tertentu hingga perkara tersebut telah ada putusan dengan upaya damai atau korban dipastikan aman untuk pulang ke rumah.
3.
Jika laporan perkara diterima berupa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat meminta istri pemangku adat atau tokoh perempuan untuk melakukan penanganan awal perkara.
4.
Mengkondusifkan suasana damai, terutama pihak keluarga yang dirugikan;
5.
Perangkat Gampong berinisiatif dan proaktif menghubungi berbagai pihak;
6.
Siapapun yang melihat/mengetahui/menyaksikan peristiwa pidana tersebut, tertangkap tangan, dapat segera melaporkan/mengadu kepada Keuchik untuk segera mengambil langkah-langkah pengamanan dan penyelesaian. Selanjutnya, pengaduan dapat terjadi atas pelaporan langsung para pihak atau oleh salah satu pihak kepada Keuchik (tidak terikat prosedural waktu dan tempat), tergantung bagaimana kondisi berat atau ringannya pelanggaran. Situasi pelaporan yang demikian dimaksudkan agar dapat diambil tindakan preventif (supaya tidak cepat meluas/berkembang korban). Misalnya, perkelahian, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain-lain.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
b)
Keuchik bersama perangkat Gampong, langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada para pihak, dengan berbagai cara pendekatan, diluar persidangan musyawarah formal. Keuchik harus sudah dapat menemukan prinsip-prinsip keputusan berasaskan “damai” Keuchik atau ‘ureung tuha gampong’ lainnya, seperti Tuha Peuet atau tokoh lain bersama Keuchik, terus mengusut, menyelidiki dan menyidik sesuai dengan kemampuan dan keyakinan yang dimilikinya terhadap sebab-sebab terjadi sengketa pada para pihak dan mencari bukti-bukti kebenaran pada pihak saksi lainnya yang mungkin mengetahui atau melihat proses sengketa tersebut.
c)
Selama proses penyelesaian tersebut seperti yang tertera pada poin di atas, orang-orang tua dari keluarga para pihak harus terus berupaya membuat suasana damai dan sejuk terhadap para pihak melalui penyadaran atas segala perbuatan dan tingkah laku yang menyebabkan mereka bersengketa.
d)
Membuka sidang penyelesaian di Meunasah. Apabila suasana sejuk dan kondusif telah mampu dipertahankan dan data-data pembuktian sudah lengkap, barulah para pihak, wakil keluarga beserta pihak “ureung-ureung tuha” dibawa ke sidang musyawarah di Meunasah (bila warga se Gampong) atau ke Mesjid (bila sengketa itu melibatkan warga antar Gampong yang berlainan). 1.
Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak atau kasus yang terkait dengan persoalan rumah tangga, maka persidangan perkara tersebut harus ditutup untuk masyarakat luas.
2.
Jika kasus tersebut merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka pemangku adat harus memastikan adanya pendamping bagi perempuan dan anak pada proses persidangan.
e)
Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan data/bukti yang telah diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai landasan hukum pertama dalam penyelesaian perkara adat. Dalam proses perdamaian ini, diberikan kesempatan kepada masing-masing pihak secara formal dalam persidangan untuk menyatakan penerimaan atau penolakan terhadap proses proses dan hasil perdamaian.
f)
Keputusan sidang perdamaian diambil berdasarkan pertimbangan yang matang dan bijak oleh semua anggota majelis peradilan adat agar dapat diterima oleh para pihak untuk mengembalikan kedamaian dan keseimbangan dalam masyarakat.
g)
Eksekusi (atau pelaksanaan) keputusan oleh Keuchik dilakukan dalam suatu upacara yang ditetapkan pada waktu yang telah disetujui bersama. Dalam upacara perdamaian tersebut disiapkan surat perjanjian yang harus ditandatangani oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang menimbulkan sengketa. Jika kasus tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, keputusan harus disertai dengan sebuah perjanjian tertulis yang didalamnya memuat pelaku tidak boleh melakukan kekerasan secara berulang, dan pelaku harus mengikrarkan kalimat tersebut di hadapan majelis adat.
h)
Pemangku adat harus melakukan pemantauan setelah proses eksekusi, karena setelah upacara damai, perkara dapat saja terjadi secara berulang, sehingga pemangku adat dapat mengambil langkah-langkah lain termasuk mengupayakan rujukan.
21
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
III. PERKARA-PERKARA TERHADAP PEREMPUAN ATAU ANAK Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus di bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat agar tersedianya mekanisme perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara, proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah proses damai. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun jika penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan anak dalam proses penyelesaian perkara tersebut merupakan suatu keharusan sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan untuk menerima sebuah keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut mesti berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang dituangkan dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan agar pelaku tidak lagi melakukan tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara berulang maka pemangku adat harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk melaporkan perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut. Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau korbannya adalah perempuan, seperti perkelahian antar perempuan atau pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga maka laporan tersebut dapat saja disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh perempuan setempat, dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat bahwa penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan, namun jika langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua laki-laki, maka pemangku adat harus menyerahkan perkara tersebut kepada istri-istrinya atau tokoh perempuan agar melakukan penanganan awal. Upaya ini menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan untuk perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat membantu untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan persoalan yang bersifat sangat pribadi akan lebih nyaman dilakukan sesama perempuan. Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian perkara, maka keterlibatan perempuan di dalamnya proses persidangan dan keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas. Jika tidak ada perempuan dalam struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan yang menjadi korban pada saat persidangan di lakukan.
22
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
SKEMA LANGKAH-LANGKAH YANG DILAKUKAN OLEH PEMANGKU ADAT DALAM MENANGANI KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK:
Menerima laporan perkara
Menyerahkan penanganan awal pada perempuan
Melindungi perempuan dengan menempatkan pada salah satu rumah pemangku adat jika kasus tersebut pada tahap kekerasan
Melakukan upaya-upaya lain termasuk rujukan perkara jika kasus berulang
Melakukan pemantauan setelah upaya damai dilakukan
Mendamaikan kedua belah pihak setelah ada kesepakatan dengan surat perjanjian
Menggali informasi pada kedua belah pihak dan saksi
Melakukan mediasi untuk jalan keluar dan memberitahu hak-hak mereka dalam hukum positif nasional
IV. TEKNIS BERMUSYAWARAH DALAM PERADILAN ADAT Meskipun prosedur penanganan perkara-perkara di bawah peradilan adat memberikan kerangka kerja yang penting untuk menyelesaikan pertikaian, ada beberapa ketrampilan tambahan yang diperlukan oleh para pemimpin adat untuk secara efektif bisa memfasilitasi penyelesaian sebuah perkara secara bersama dan damai. Ketrampilan-ketrampilan ini termasuk bermusyawarah, mendengarkan dengan hati-hati, berbicara dengan jelas dan memastikan komunikasi secara efektif di antara semua pihak. Dalam praktek penyelenggaran peradilan perdamaian adat jelas kelihatan bahwa ada sebagian kasus yang tidak sanggup diselesaikan karena kurangnya keahlian bermusyawarah dari para tokoh adat. Oleh karena itu, kemampuan dan keahlian tata bermusyawarah sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan kemasyarakatan. Dua konsep yang dikenal dalam bahasa Inggris yaitu ‘mediation’ (mediasi) dan ‘negotiation’ (negosiasi) dimana kedua-duanya secara khusus berguna. Jika dilaksanakan di seluruh proses peradilan adat, ketrampilan-ketrampilan ini bisa membantu para pemimpin adat untuk menentukan masalah-masalah dalam perkara, mengenali kemungkinan-kemungkinan penyelesaian dan memfasilitasi persetujuan dari semua pihak.
23
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Meskipun hal-hal ini adalah konsep-konsep dengan nama-nama asing, sebenarnya mirip sekali dengan bermusyawarah seperti yang diterapkan dalam peradilan adat. Perbedaannya adalah, bahwa mediasi dan negosiasi memberikan pendekatan yang lebih terstruktur dengan langkahlangkah tertentu. Namun, para pemimpin adat harus mempertimbangkan penjelasan berikut ini mengenai mediasi dan negosiasi karena berhubungan erat dengan bermusyawarah. Informasi di bawah menjabarkan konsep-konsep khusus ini dan para pemimpin adat seharusnya mencoba dan memakai strategi-strategi ini pada waktu berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sebuah perkara. Penggunaan teknis/tata bermusyawarah (mediasi dan negosiasi) dalam pelaksanaan peradilan adat mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan untuk dapat tidaknya peradilan tersebut diselenggarakan. Kasus serumit apapun punya kemungkinan untuk diselesaikan jika para pelaksana peradilan adat menerapkan teknik mediasi dan negosiasi secara tepat. Bermusyawarah (mediasi) adalah suatu proses dimana mediator dalam hal ini para pelaksana peradilan adat membantu para pihak yang bersengketa untuk dapat menyelesaikan persoalannya dengan hasil yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
A . Karakteristik atau Sifat Perantara Agar keberadaan mediator, atau perantara, dapat diterima maka yang bersangkutan harus mempunyai sifat-sifat berikut:
1. Amanah 2. Jujur 3. Tidak memihak 4. Tidak punya kepentingan pribadi 5. Bertekad untuk menyelesaikan pertikaian yang dapat diterima kedua belah pihak 6. Ramah dan percaya diri 7. Mampu mengendalikan emosi para pihak 8. Mampu memahami kehendak dan aspirasi para pihak 9. Mampu menerjemahkan keinginan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya dengan menggunakan bahasa yang santun dan sejuk 10. Mampu melakukan pendekatan yang berunsur agama, sosial, dan psikologi 11. Piawai dalam menggunakan bahasa yang menyejukkan 12. Mampu menggunakan “hadih maja” secara tepat
24
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
B . Peran dan Fungsi Mediator Peran dan fungsi mediator, atau perantara, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Membantu para pihak untuk menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, tetapi untuk diselesaikan 2. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah 3. Membantu para pihak untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah
C . Tahapan Pertemuan Mediasi dan Proses yang harus ditempuh: Tahapan mediasi dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu: Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Pertemuan dengan pihak 1
Pertemuan dengan pihak 2
Pertemuan bersama dalam rangka menciptakan kesepakatan bersama yang telah dicapai dalam Tahap 1 dan 2.
Sementara itu proses mediasi yang harus ditempuh adalah: 1. Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Dalam rangka menjalin hubungan tersebut, mediator harus:
• Membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa • Membangun citra diri • Memberikan wawasan dan pemahaman tentang pentingnya penyelesaian sengketa secara damai 2. Mengumpulkan dan menganalisis informasi latar belakang sengketa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
• Mengumpulkan data tentang konflik yang sedang terjadi • Menganalisis konflik 3. Menyusun rencana mediasi. Hal-hal yang berkaitan dengan rencana mediasi yang harus ditetapkan adalah:
• • • • •
Siapa saja yang terlibat dalam perundingan Dimana sebaiknya perundingan diselesaikan Bagaimana pengaturan tempat duduk para peserta perundingan Bagaimana aturan perundingan ditetapkan Bagaimana kondisi psikologis para pihak
25
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
4. Membangun kepercayaan. Dalam hal ini, perantara berusaha mengatasi atau memecahkan masalah yang dapat menghambat jalanya proses mediasi dengan cara:
• Mengadakan pertemuan secara terpisah dengan para pihak • Memodifkasikan pesan dalam bahasa yang mudah dimengerti • Membatasi pembicaraan yang sensitif dan dapat menyinggung perasaan pihak lain D . Strategi Pertemuan dengan Para Pihak yang Bersangkutan Pertemuan dengan para pihak harus dilakukan secara terpisah dan isi pembicaraan bersifat rahasia bagi pihak lain. Tujuan petemuan terpisah itu adalah: 1.
Untuk menjalin hubungan lebih intensif dengan para pihak
2.
Membangun saling kepercayaan salah satu pihak untuk mengungkapkan kepentingan yang tidak ingin mereka ungkapkan di hadapan mitra rundingnya
3.
Memungkinkan mediator untuk mencari informasi garis dasar dan menyelidiki agenda tersembunyi
4.
Membantu mediator dalam memahami motivasi para pihak dan mereka dan membangun empati serta kepercayaan secara individual
5.
Memberikan para pihak waktu dan kesempatan yang cukup untuk menyalurkan emosi kepada mediator tanpa membahayakan kemajuan mediasi
6.
Memungkinkan mediator untuk menguji seberapa realistis pilihan-pilihan yang diusulkan
7.
Memungkinkan mediator untuk mengarahkan para pihak guna melaksanakan perundingan yang berguna
8.
Memungkin mediator dan para pihak untuk mengembangkan dan mempertimbangkan alternatif-alternatif baru
9.
Memungkinkan mediator untuk meyakinkan para pihak untuk menerima penyelesaian
tambahan,
mengetahui prioritas
10. Menyediakan ruang dan waktu yang memadai kepada para pihak supaya dapat menyampaikan persoalannya secara pribadi mengenai:
• • • •
26
Apa yang sedang terjadi Apa yang dirasakan Bagaimana hal ini bisa diselesaikan Apakah proses mediasi dengan pendekatan sama-sama menang (win-win) bisa membantu.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
H. PUTUSAN PERADILAN ADAT DAN PELAKSANAANNYA
P
utusan peradilan adat merupakan hasil musyawarah dalam rangka mencapai kedamaian di antara kedua belah pihak. Oleh karena itu putusannya berupa sanksi mulai dari sanksi yang sangat ringan seperti menasihati sampai pengusiran dari Gampong. Pada saat mencapai suatu keputusan pentinglah digarisbawahi bahwa kedua belah pihak harus menyetujui secara bebas dan mandiri sanksi atau hukuman yang akan diberikan.
HUKUMAN ATAU SANKSI YANG TIDAK BERLAKU DALAM HUKUM ADAT*/ BUKAN SANKSI ADAT
HUKUMAN ATAU SANKSI YANG MASIH BERLAKU DALAM HUKUM ADAT
• Nasehat • Peringatan • Minta maaf di depan umum • Ganti rugi • Diusir dari Gampong • Pencabutan gelar adat • Dikucilkan dalam pergaulan • Diboikot
• Dimandikan dengan air kotor • Ditenggelamkan ke sungai • Dikeroyok/dianiaya • Dicambuk • Dipukuli
Karena dianggap bertentangan dengan hak azasi manusia (HAM), hukum Islam, dan hukum Nasional serta merendahkan harga diri manusia
*
I. PELAKSANAAN SANKSI ADAT SANGAT BERVARIATIF Pelaksanaan sanksi adat segera dilakukan setelah putusan disampaikan oleh Keuchik, terutama terhadap sanksi adat yang berupa nasehat, peringatan, dan permintaan maaf. Untuk sanksi ganti rugi pelaksanaan putusannya lebih longgar yaitu tergantung kepada kemampuan ekonomi pelanggar untuk menyediakan ganti rugi tersebut. Demikian pula, dalam hal sanksi adat yang berupa pengusiran dari Gampong, maka pelaksanaannya tidak dilakukan segera setelah putusan tersebut dibacakan, tetapi kepada pelanggar norma adat itu masih diberikan waktu secukupnya untuk bersiap-siap meninggalkan kampung halamannya.
27
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
II. PUTUSAN YANG TERTULIS Dewasa ini ada keinginan kuat dari para penyelenggara peradilan adat bahwa sebaiknya penetapan putusan adat dibuat secara tertulis, karena dengan bentuk tertulis akan menambah bobot putusan itu sendiri. Di samping itu, pemantauan terhadap putusan tersebut akan lebih mudah diawasi. Diharapkan juga agar salinan putusan tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan (para pihak), lembaga mukim, dan pihak kepolisian. Hal ini, bertujuan agar supaya mereka mengetahui kalau suatu perkara telah diselesaikan di tingkat peradilan Gampong dan mereka tidak perlu memeriksa kembali, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang memang bukan merupakan kewenangan Gampong. Jika perkara ini di kemudian hari akan dimintakan banding, sebuah keputusan tertulis akan menjadi bukti penting dalam penentuan perkara banding. (Sebuah contoh keputusan tertulis diberikan dalam Lampiran I). Setelah putusan didokumentasikan, termasuk ditandatangani oleh semua pihak, detaildetail dan data mengenai kasus yang sedang ditangani harus dicatat dalam Buku Induk Registrasi. Detail-detail dan data yang perlu dicatat termasuk: nomor kasus, tanggal pelaporan, nama pelapor, jenis kasus, uraian singkat pokok perkara, tanggal penyelesaiannya (jika ada) dan uraian singkat putusan perdamaian (merujuk pada Lampiran II “Buku Induk Registrasi Kasus).
28
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
I. UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI TINGKAT MUKIM
P
enyelesaian sengketa di tingkat mukim (Peradilan Adat Mukim) merupakan upaya terakhir bagi para pencari keadilan secara adat. Penyelesaian sengketa ini baru terjadi jika salah satu pihak tidak puas atas putusan yang telah diputuskan oleh peradilan tingkat Gampong. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi NAD, bahwa:
•
Lembaga Mukim berwenang untuk memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. (Pasal 4, huruf e).
Khususnya yang menyangkut dengan banding ke tingkat mukim, Qanun 5 Tahun 2003tentang Pemerintahan Desa Dalam Propinsi NAD menegaskan bahwa:
•
Pihak-pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), dapat meneruskannya kepada Imeum Mukim dan keputusan Imeum Mukim bersifat akhir dan mengikat (Pasal 12, ayat 3).
Pengajuan penyelesaian sengketa ke tingkat Mukim oleh para pihak bisa dilakukan setelah putusan tingkat Gampong tidak bisa diterima/tidak disepakati oleh salah satu pihak atau para pihak. Pernyataan tidak dapat menerima putusan peradilan adat tingkat Gampong sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis dan berdasarkan penolakan itulah perkara tersebut dapat diterima ditingkat Mukim.
29
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
J. MEKANISME PELIMPAHAN KASUS DARI PERADILAN ADAT KE PERADILAN FORMAL
P
elimpahan kasus tidak hanya dapat dilakukan dari peradilan adat keperadilan formal tetapi juga sebaliknya, yaitu dari peradilan formal ke peradilan adat. Pelimpahan tersebut dapat terjadi karena beberapa hal: 1. Bukan kompetensi dan jurisdiksi adat; 2. Para pihak tidak mau menyelesaikannya melalui peradilan adat; dan 3. Hukum Adat tidak mampu menyelesaikannya; Kasus-kasus yang bukan kewenangan (kompetensi) peradilan adat meskipun terjadi dalam jurisdiksi adat seperti pembunuhan, perzinahan, pemerkosaan, narkoba, ganja dan sejenisnya, pencurian (berat, eg. Kerbau, kenderaan bermotor dan lain-lain), suversif, penghinaan terhadap pemerintah yang syah (Presiden dan Gubernur), Kecelakaan lalu lintas berat (kematian), Penculikan, dan Perampokan bersenjata, maka dalam hal ini Keuchik segera memberitahukan kepada pihak kepolisian di tingkat kecamatan (polsek). Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan. Dalam hal para pihak tidak mau menyelesaikan perkaranya melalui peradilan adat Gampong, maka yang bersangkutan dapat membawa kasusnya ke pengadilan formal yang diikuti oleh surat keterangan pelepasan kasus dari Keuchik. Surat keterangan pelepasan kasus tersebut sangat penting sebagai dasar bagi peradilan formal untuk memeriksa kasus tersebut. Hal ini sesuai dengan perintah Perda No. 7 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa: Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Keuchik dan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing (Pasal 10). Jika peradilan adat baik di tingkat Gampong dan mukim merasa bahwa ada perkara pidana berat yang tidak mungkin mereka selesaikan maka akan diselesaikan oleh lembaga peradilan negara sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan yang berlaku. (Pasal 1, draft MoU Tahun 2007).
30
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
K. KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM PROSES PERADILAN PERDAMAIAN ADAT
M
asa kini, kaum perempuan jarang dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat karena beberapa pertimbangan yaitu: (1) Peradilan adat sering dilakukan pada malam hari dan menurut pandangan masyarakat perempuan tidak etis berada di luar rumah pada malam hari. (2) Perempuan kurang tegas dan tegar dalam menangani perkara. Namun hal tersebut tidak berarti bahwa perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat. Tetapi justru mereka mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan peradilan adat. Meskipun secara formal keberadaannya sebagai perangkat adat (informal justice providers) tidak terdapat dalam struktur pemerintahan Gampong, namun jasa mereka sering dipergunakan oleh Keuchik atau Tuha Peuet untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan berbagai kasus terutama kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam workshop dua hari dengan para tokoh adat terungkap bahwa mulai saat ini tidak ada alasan lagi perempuan tidak dilibatkan dalam proses peradilan perdamaian adat dan bahkan keterwakilan mereka dalam Tuha Peuet wajib ada. Peradilan adat tidak boleh diskriminatif. Artinya semua orang, apakah kaya, miskin, laki-laki atau perempuan mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum adat. Dalam praktiknya, jika perempuan mempunyai persoalan hukum maka ia atau yang mewakilinya dapat secara langsung melaporkan kepada Keuchik atau peutua jurong. Kemudian Keuchik beserta perangkatnya akan segera menyelesaikan kasus tersebut. Semua kasus akan diselesaikan dengan tanpa melihat siapa pelakunya (laki-laki atau perempuan).
31
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Daftar Lampiran Lampiran I Contoh Lembaran Putusan Perdamaian Gampong MAJELIS PERADILAN PERDAMAIAN GAMPONG Gampong : …………………… Mukim : …………………… PUTUSAN PERDAMAIAN Nomor Perkara : …………………… 1.
Jenis Perkara :
2.
Para Pihak
:
a. Pelapor 1. (Nama, Umur Pekerjaan, Alamat/T. Tinggal) 2.
3.
Duduk Pekara
:
b. Terlapor 1. (Nama, Umur Pekerjaan, Alamat/T. Tinggal) 2.
4.
Putusan Perdamaian :
Bahwa …………………………………………………………………………………………………………………….. .……………………………………………………………………………………...........................................…… ………………………………………………………………………………………….. Majelis Peradilan Perdamaian 1.
Keuchik (Ketua Majelis) Ttd
4.
(Nama Terang) 2.
Tgk Meunasah (Anggota Majelis) Ttd
(Nama Terang) 5.
(Nama Terang) 3.
Tuha Peuet 1 (Anggota Majelis) Ttd (Nama Terang)
Tuha Peuet 2 Ttd
Tuha Peuet 3 Ttd (Nama Terang)
6.
Tuha Peuet 4 Ttd (Nama Terang) Sekretaris Gampong (Sekretaris Majelis) Ttd (Nama Terang)
32
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran II BUKU INDUK ADMINISTRASI PERADILAN PERDAMAIAN ADAT ACEH
No
Hari/tanggal
Nama Pelapor
Jenis Perkara dan Uraian Singkat
Nama Para Pihak
Uraian Singkat ttg Putusan dan tgl Putusan
Keterangan
33
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran IV PERDA NO. 7 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH MEMUTUSKAN: Menetapkan
: PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT.
ISTIMEWA
ACEH
TENTANG
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
34
1.
Daerah adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh;
2.
Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Aceh;
3.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh;
4.
Camat adalah Camat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh;
5.
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh;
6.
Mukim adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari beberapa Gampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri;
7.
Imum Mukim adalah Kepala Mukim dan Pemangku Adat di Kemukiman;
8.
Tuha Lapan adalah suatu Badan Kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Agama, unsur Pimpinan Adat, Pemuka Masyarakat, unsur cerdik pandai, unsur pemuda/wanita dan unsur Kelompok Organisasi Masyarakat;
9.
Gampong adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak menyelenggarakan tangganya sendiri;
10.
Keuchik adalah orang yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat serta diangkat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memimpin Pemerintahan Gampong;
11.
Tuha Peuet adalah suatu badan kelengkapan Gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsur Agama, unsur Pimpinan Adat, unsur Cerdik Pandai yang berada di Gampong dan Mukim yang berfungsi memberi nasehat kepada Keuchik dan Imum Mukim dalam bidang Pemerintahan, Hukum Adat, Adat Istiadat dan Kebiasaan-kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di Gampong dan Mukim;
oleh dan dan
sebagai rumah
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
12.
Imum Meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di Gampong yang berkaitan dengan bidang agama islam dan pelaksanaan Syariat Islam;
13.
Keujruen Blang adalah orang yang membantu Keuchik di bidang pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan;
14.
Panglima Laot adalah orang yang memimpin Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut termasuk mengatur tempat/ areal penangkapan ikan, dan Penyelesaian sengketa;
15.
Peutua Seuneubok ketentuan tentang perkebunan;
16.
Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar Gampong;
17.
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai;
18.
Hukum Adat adalah Hukum Adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah;
19.
Adat istiadat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimuliakan sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup;
20.
Kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari Hukum Adat atau Adat Istiadat akan tetapi hal tersebut telah diakui oleh umum dan telah dilaksanakan secara berulang-ulang dan terus menerus.
adalah orang yang memimpin dan pembukaan dan Penggunaan lahan
mengatur ketentuanuntuk perladangan/
BAB II LEMBAGA ADAT Pasal 2 Hukum Adat. Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku, hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, sepanjang tidak bertentangan dengan Syariat Islam harus dipertahankan. Pasal 3 Syariat Islam menjadi tolok ukur penyelenggaraan kehidupan Adat di Daerah. Pasal 4 Lembaga-lembaga Adat dijadikan alat sosial kontrol dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Pasal 5 (1)
Lembaga-lembaga Adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Daerah tetap dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara, diberdayakan dan dibakukan.
(2)
Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara lain: a. Imum Mukim; b. Keuchik; c. Tuha Peuet; d. Tuha Lapan; e. Imeum Meunasah; f. Keujruen Blang; g. Panglima Laot; h. Peutua Seneubok; i. Haria Peukan; j. Syahbanda.
35
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Termasuk juga Lembaga Adat sebagaimana tersebut dalam ayat (1) adalah Lembagalembaga Adat yang disebut dengan nama lain di Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan Lembaga-lembaga Adat sebagaimana tersebut di atas. Lembaga-lembaga Adat yang masih hidup dan belum cukup berperan seperti Panglima Uteun, Pawang Glee dan nama-nama lain yang sejenis di inventarisir untuk diberdayakan kembali sesuai dengan fungsi dan tujuannya. (3)
Lembaga Adat sebagaimana tersebut dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) merupakan alat penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan termasuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Pasal 6
Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada pasal 5 berfungsi sebagai alat kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain: a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat. BAB III TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 7 1)
Tujuan Peraturan Daerah ini adalah untuk membakukan, mendorong, menunjang dan meningkatkan partisipasi masyarakat guna kelancaran penyelenggaraan kehidupan adat istiadat dan hukum adat di Daerah.
2)
Tujuan adat adalah untuk membentuk manusia berakhlak mulia, bermartabat dan berbudaya. Pasal 8
Fungsi Kehidupan Adat guna melaksanakan dan mengefektifitaskan adat istiadat dan hukum adat untuk membina kemasyarakatan. BAB IV PEMANGKU DAN PEMBINA ADAT Pasal 9
36
1)
Gubernur, Bupati/Walikota adalah Pemangku dan Pembina Adat dan dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh sebuah Badan yang bernama Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA)
2)
LAKA dan pengurusnya dibentuk/diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur untuk tingkat Propinsi dan oleh Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota
3)
Pembentukan dan pengangkatan pengurus lembaga adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing Daerah Kabupaten/Kota.
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB V PENYELESAIAN SENGKETA Pasal 10 Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Keuchik dan Imum Mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing. Pasal 11 (1)
Keuchik berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketan/ Permasalahan yang terjadi di Gampong, baik masalah-masalah dalam keluarga, antar keluarga dan masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampong.
(2)
Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di Gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat tingkat Keuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh Imum Mukim dalam Rapat Adat Mukim. Pasal 12
(1)
Rapat Adat Gampong dipimpin oleh Keuchik dan Tengku Gampong (Imum Meunasah) dan dibantu oleh Sekretaris Gampong dan Tuha Peuet/Tuha Lapan Gampong.
(2)
Rapat Adat mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh Mukim serta dihadiri oleh seluruh anggota Tuha Peuet/ Tuha Lapan Mukim.
Sekretaris
Pasal 13 Pada prinsipnya tiap persengketaan/perselisihan/permasalahan keluarga, antar keluarga atau antara masyarakat, diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat. Pasal 14 (1)
Segala perselisihan dan persengketaan yang telah didamaikan oleh Keuchik dan Imum Mukim dalam suatu rapat adat bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih/ bersengketa.
(2)
Para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat tingkat Keuchik atau Imum Mukim akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam masyarakat. Pasal 15
(1)
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum Mukim tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat penegak hukum.
(2)
Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat dalam menyelesaikan perkara.
yang bersengketa penegak hukum
37
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 16 Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di masing-masing Daerah Kabupaten/Kota/ Kecamatan/Mukim dan Gampong. Pasal 17 Dalam menyelesaikan perkara di pengadilan, Keuchik dan Imum Mukim dapat dijadikan saksi ahli dalam perkara-perkara dimaksud, sepanjang perkara tersebut telah diputuskan oleh Rapat Adat yang bersangkutan. Pasal 18 Tiap-tiap penyelesaian sengketa oleh Keuchik dan Imum Mukim dibuat Berita Acara dan dituangkan dalam keputusan serta diumumkan kepada masyarakat.
BAB VI JENIS PENYELESAIAN Pasal 19 Jenis-jenis penyelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai berikut: a)
Nasehat;
b)
Teguran;
c)
Pernyataan maaf di hadapan orang banyak di Meunasah atau Mesjid, diikuti dengan acara Peusijuk;
d)
Denda;
e)
Ganti kerugian;
f)
Dikucilkan oleh masyarakat Gampong;
g)
Dikeluarkan dari masyarakat Gampong;
h)
Pencabutan gelar adat; dan
i)
Lain-lain bentuk sanksi sesuai dengan adat setempat. Pasal 20
Keluarga si pelanggar adat harus ikut bertanggung jawab atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya. Pasal 21 Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa/masalah dilaksanakan di Meunasah pada tingkat Gampong dan di Mesjid pada tingkat Mukim, atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik dan Imeum Mukim.
38
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB VII PEMBERDAYAAN ADAT Pasal 22 Dalam rangka pemberdayaan adat, Pemerintah Daerah menyelenggarakan penataran adat bagi Pemerintahan Gampong dan Mukim. Pasal 23 Pengetahuan tentang Hukum Adat dan Adat Istiadat Aceh dimasukkan dalam kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah tersendiri. Pasal 24 Aparat Pemerintah yang berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh harus mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat Aceh dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat adat.
BAB VIII PEMBIAYAAN Pasal 25 Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam APBN, APBD Propinsi, APBO Kabupaten/Kota, serta sumber-sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Lembaga Adat yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini dinyatakan sebagai Lembaga Adat menurut Pasal 5 ayat (2) dan tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 27 Segala Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan yang ada dan mengatur tentang penyelenggaraan kehidupan Adat di Daerah, masih tetap berlaku selama belum dicabut, diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan dan pedoman yang berlaku.
39
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 29 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Disahkan di Banda Aceh Pada tanggal 25 Juli 2000 22 Rabiul Akhir 1421 H Diundangkan Dalam Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor: 32 Tanggal 25 Agustus 2000. Seri “D” Nomor 23 SEKRETARIS DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH Cap/dto PORIAMAN SIREGAR, SH PEMBINA UTAMA NIP. 390 004 536
40
PENJABAT GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA ACEH, Cap/dto H. RAMLI RIDWAN, SH
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHIDUPAN ADAT I. PENJELASAN UMUM Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, bidang adat merupakan salah satu keistimewaan yang diakui oleh Pemerintah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan, pengaturan masalah Lembaga Adat telah mempunyai landasan hukum yang konkrit. Dengan demikian Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat mengatur pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat. Fungsi umum Adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat berlandaskan kepada Adat Bak Po teu Meurehom, Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut”. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehidupan adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diatur dalam suatu Peraturan Daerah. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 s/d Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 ayat (1) Yang dimaksud Rapat Adat Gampong adalah rapat adat yang terdiri dari atas unsur-unsur Tuha Peuet Gampong dan Pemuka Adat lainnya yang terkait. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Yang dimaksud dengan musyawarah adat adalah suatu penyelesaian yang dilaksanakan oleh Tuha Peuet Gampong yang dihadiri oleh para pihak yang terkait. Pasal 14 s/d Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Huruf a sampai dengan Huruf c Cukup Jelas Huruf d
41
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran V QANUN NO. 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSSALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang: a.
bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka perlu pengaturan tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
b.
bahwa Mukim di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, telah mendarah daging dalam masyarakat, turun temurun mengakar dalam sistim sosial budayanya dan merupakan satu kesatuan masyarakat adat yang kelangsungan dan keberadaannya masih tetap diakui;
c.
bahwa Mukim telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan dan pembangunan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga tidak dapat diabaikan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan, maka perlu dipelihara dan dikembangkan dengan memberikan kedudukan, fungsi dan peranan yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan ketatanegaraan dan tuntutan pembangunan nasional;
d.
bahwa untuk maksud tersebut perlu diatur dengan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat:
42
1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103
2.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839
3.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848)
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
4.
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893)
5.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134). Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN :
Menetapkan: QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1.
Kabupaten atau Kota atau nama lain adalah Kabupaten atau Kota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Bupati atau Walikota atau nama lain, adalah Bupati atau Walikota dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
3.
Kecamatan atau nama lain, adalah perangkat daerah Kabupaten atau Kota yang dipimpin oleh Camat atau nama lain
4.
Mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.
5.
Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri
6.
Harta kekayaan dan sumber keuangan Mukim adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh Mukim yang ada pada waktu pembentukan Gampong atau nama lain tidak diserahkan kepada Gampong, dan sumber keuangan lainnya yang sah
7.
Tanah ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah Mukim yang dikuasai dan diatur oleh Hukum Adat
8.
Hukum adat adalah semua aturan adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Aceh, bersifat mengikat dan menimbulkan akibat hukum
9.
Musyawarah Mukim adalah permusyawaratan dan permufakatan dalam berbagai kegiatan adat, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang dihadiri oleh para Keuchik, Lembaga-lembaga adat dan para pemimpin agama yang dipimpin oleh Imeum Mukim
43
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
10. Rapat Adat Mukim adalah permusyawaratan dalam penyelesaian berbagai perkara adat, perselisihan antar penduduk ataupun persengketaan-persengketaan hukum adat dalam Kemukiman yang dihadiri oleh Imeum Mukim dan Tuha Peuet Mukim 11. Imeum Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim 12. Tuha Peuet Mukim atau nama lain merupakan kelengkapan Lembaga Mukim yang terdiri dari unsur Ulama, Tokoh Adat, Pemuka Masyarakat dan cerdik pandai BAB II KEDUDUKAN, TUGAS DAN FUNGSI Pasal 2 Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat Pasal 3 Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam Pasal 4 Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 tersebut di atas, Mukim mempunyai fungsi. a.
penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya
b.
pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual
c.
pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat
d.
peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat
e.
penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat BAB III ORGANISASI DAN KELENGKAPAN MUKIM Pasal 5
Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim atau nama lain Pasal 6
44
1.
Imeum Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atau Walikota atas usulan Camat dari hasil pemilihan yang sah Imeum Mukim diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atau Walikota atas usulan Camat dari hasil pemilihan yang sah
2.
Pemilihan Imeum Mukim dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh rakyat Mukim yang bersangkutan
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3.
Masa jabatan Imeum Mukim selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali 1 (satu) kali periode untuk masa jabatan berikutnya Pasal 7
Syarat-syarat menjadi Imeum Mukim: a.
beriman dan taqwa kepada Allah Subhanahuwata’ala dan menjalankan Syari’at Islam
b.
setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya berpengetahuan yang sederajat
d.
berumur minimal 30 (tiga puluh) tahun pada saat pencalonan, sudah berumah tangga/ berkeluarga
e.
berasal dan berdomisili sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun berturut-turut di Kemukiman dan mengenal serta dikenal oleh masyarakat Kemukiman yang bersangkutan
f.
sehat jasmani dan rohani
g.
tidak pernah dihukum penjara karena tindak pidana
h.
berpengalaman di bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan peradatan
i.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
Sekolah
Lanjutan
Tingkat
Pertama
atau
Pasal 8 Imeum Mukim berhenti karena: a.
meninggal dunia
b.
mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri
c.
berakhir masa jabatan dan telah dilantik Imeum Mukim baru
d.
tidak lagi memenuhi syarat seperti yang dimaksud dalam Pasal 7
e.
mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus-kasus yang melibatkan tanggung jawabnya dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh Tuha Peuet Mukim Pasal 9
Untuk kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan Mukim, maka dibentuk kelengkapan Mukim terdiri dari: a.
Sekretariat Mukim
b.
Majelis Musyawarah Mukim
c.
Majelis Adat Mukim
d.
Imeum Chiek Pasal 10
1.
Sekretariat Mukim dipimpin oleh seorang Sekretaris diberhentikan oleh Camat atas usul Imeum Mukim
Mukim
yang
diangkat
dan
2.
Untuk kelancaran Sekretariat Mukim, dibentuk seksi-seksi yang meliputi Seksi Tata Usaha, Seksi Pemerintahan, Seksi Perekonomian dan Pembangunan, Seksi Keistimewaan Aceh dan Seksi Pemberdayaan Perempuan
45
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
3.
Pedoman susunan organisasi dan tata kerja Mukim dan Sekretariat Mukim ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Pasal 11
1.
Majelis Musyawarah Mukim berfungsi sebagai badan musyawarah guna memberi masukan, saran dan pertimbangan kepada Imeum Mukim dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, perekonomian dan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan serta menetapkan syarat-syarat lainnya untuk menjadi calon Imeum Mukim.
2.
Majelis Musyawarah Mukim terdiri dari : a.
Imeum Chiek;
b.
Para Keuchik;
c.
Tuha Peuet Mukim;
d.
Sekretaris Mukim;
e.
Para Pimpinan Lembaga Adat yang ada di Mukim yang bersangkutan.
3.
Majelis Musyawarah Mukim dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua yang dipilih oleh dan dari Anggota Majelis Musyawarah Mukim
4.
Majelis Musyawarah Mukim mengadakan pertemuan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
5.
Masa kerja Majelis Musyawarah Mukim selama 5 (lima) tahun. Pasal 12
1.
Majelis Adat Mukim dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris Mukim serta dihadiri oleh seluruh anggota Tuha Peuet Mukim
2.
Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai badan yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusankeputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaraan adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat
3.
Keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim menjadi pedoman bagi para Keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan Gampong sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
4.
Majelis Adat Mukim dilakukan atas usul Imeum Mukim, untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat Pasal 13
Imeum Chiek diangkat dan diberhentikan oleh Camat atas usul Imeum Mukim berdasarkan hasil kesepakatan Majelis Musyawarah Mukim Pasal 14 Imeum Chiek mempunyai tugas:
46
a.
mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan kemakmuran mesjid
b.
mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan keagamaan dan peningkatan peribadatan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB IV PEMBENTUKAN MUKIM Pasal 15 1.
Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dimungkinkan untuk dilakukan pembentukan, pemekaran dan penggabungan Mukim
2.
Tata cara pembentukan, pemekaran dan penggabungan atau penghapusan Mukim diatur lebih lanjut dengan Qanun Kabupaten atau Qanun Kota
3.
Substansi materi yang perlu diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat antara lain a.
penegasan mengenai pengertian pembentukan Mukim, yang diartikan pembentukan Mukim baru diluar Mukim yang sudah ada, pembentukan baru akibat dari pemekaran, penggabungan dan penghapusan
b.
pembentukan Mukim antara lain memperhatikan persyaratan jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah Gampong, kondisi sosial budaya, kondisi ketentraman dan ketertiban, potensi ekonomi dan sumber daya alam, sarana dan prasana pemerintah
c.
penegasan mengenai batas wilayah Mukim dalam setiap pembentukan Mukim
d.
mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan Mukim, mulai dari usul Imeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota setelah mendapatkan persejutuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota mekanisme pelaksanaan pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan Mukim, mulai dari usul Imeum Mukim melalui Camat atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Camat sampai dengan penetapannya dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota setelah mendapatkan persejutuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota
e.
pembagian wilayah Mukim
f.
perincian tentang kewenangan Mukim Pasal 16
Perubahan batas Mukim dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan musyawarah Mukim dari Mukim-mukim yang berbatasan dan perubahan batas Mukim ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota yang bersangkutan Pasal 17 1.
Pusat Pemerintahan Mukim berkedudukan di salah satu Gampong yang dipandang strategis yang dapat meningkatkan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat
2.
Pusat Pemerintahan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Wali Kota
47
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB V HARTA KEKAYAAN DAN PENDAPATAN MUKIM Pasal 18 a.
Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
b.
Jenis dan jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisasikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati atau Wali Kota berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim
c.
Pengawasan terhadap harta kekayaan Mukim dilakukan oleh Tuha Peuet Mukim Pasal 19
1. Pendapatan Mukim terdiri dari
2.
a.
pendapatan sendiri yang diperoleh dari hasil kekayaan Mukim
b.
hasil-hasil dari tanah Meusara yang dikuasai Mukim
c.
bantuan Pemerintah
d.
uang adat, dan
e.
bantuan dan sumbangan pihak lain yang sah dan tidak mengikat
Pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Mukim (APBM) yang disusun oleh Imeum Mukim dengan persetujuan Tuha Peuet Mukim Pasal 20
1.
Pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada Pasal 19, dipergunakan untuk kepentingan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan peningkatan pelayanan masyarakat
2.
Tata cara pengelolaan dan penggunaan pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dan ditetapkan dalam Musyawarah Mukim BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21
Mukim yang telah ada sekarang dinyatakan sebagai Mukim untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 4 Qanun ini
48
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 1.
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Dengan berlakunya Qanun ini maka segala ketentuan yang mengatur tentang Mukim yang bertentangan dengan Qanun ini dinyatakan tidak berlaku lagi Pasal 23
Qanun ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 15 Jumadil Awal 1424
GUBERNUR PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
dto
ABDULLAH PUTEH Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 16 Jumadil Awal 1424
SEKRETARIS DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
49
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
dto
THANTHAWI ISHAK
LEMBARAN DAERAH PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 17 SERI D NOMOR 7
Lampiran VI QANUN NO. 5 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN Gampong DALAM PROPINSI NAGGROE ACEH DARUSSSALAM BAB II KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, DAN WEWENANG Gampong Pasal 2 Gampong merupakan organisasi pemerintahan terendah yang berada di bawah Mukim dalam struktur organisasi Propinsi NAD Pasal 3 Gampong mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam. Pasal 4 Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 tersebut di atas Gampong mempunyai fungsi: a.
menyelenggarakan pemerintahan, baik berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya yang berada di Gampong.
b.
Melaksanakan pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan hidup maupun pembangunan mental spritual di Gampong;
c.
Pembinaan kemasyarakatan di bidang pendidikan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Gampong;
d.
Peningkatan pelaksanaan Syariat Islam;
e.
Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
f.
Penyelesaian sengketa hukum dalam hal adanya persengketaan–persengketaan atau perkara-perkara adat dan adat istiadat di Gampong.
peradatan,
sosial
budaya,
Pasal 5 (1)
Kewenangan Gampong meliputi: a.
50
kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Gampong dan ketentuan adat dan adat istiadat;
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
b.
kewenangan yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c.
kewenangan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan belum menjadi/ belum dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten dan pemerintah Kota, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Mukim;
(2)
tugas pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta tenaga pelaksana;
(3)
pemerintah Gampong berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan disertai dengan pembiayaan, sarana/prasarana serta tenaga pelaksana.
yang
tidak
BAB III PEMBENTUKAN, PENGGABUNGAN DAN PENGHAPUSAN Gampong Pasal 6 (1)
Gampong dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan yang ditentukan sesuai kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
persyaratan
(2)
Pembentukan Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terjadi sebagai akibat dari pemekaran Gampong yang sudah ada;
(3)
Gampong yang kondisi sosial budaya masyarakat dan wilayahnya tidak memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung dengan Gampong lain. Pasal 7
Dalam wilayah Gampong terdapat sejumlah Dusun/Jurong atau nama lain dikepalai oleh kepala Dusun/Jurong atau nama lain, yang merupakan unsur pelaksana wilayah dari Pemerintah Gampong. Pasal 8 (1)
tata cara pembentukan, penggabungan, pemekaran ditetapkan dengan Qanun Kabupaten dan kota.
dan
penghapusan
Gampong
(2)
Qanun Kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi antara lain: (a) penegasan mengenai pengertian pembentukan Gampong yang diartikan pembentukan Gampong baru di luar wilayah Gampong yang sudah ada, pembentukan baru sebagai akibat dari pemekaran, penggabungan dan penghapusan; (b) persyaratan terbentuknya Gampong yaitu: 1. jumlah penduduk minimal; 2. jumlah wilayah; 3. jumlah dusun/jurong 4. kondisi sosial budaya; 5. potensi ekonomi dan sumber daya alam; 6. sarana dan prasarana pemerintahan. (c) penegasan mengenai batas wilayah Gampong dalam setiap pembentukan Gampong;
51
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(d) Mekanisme pelaksanaan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan Gampong, mulai dari pengusulan Keuchik atas prakarsa masyarakat setelah mendapatkan persetujuan Tuha Peuet Gampong melalui Imeum Mukim dan Camat, sampai dengan penempatannya dengan putusan Bupati atau wali kota setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan daerah Kabupaten/Kota. (e) pembagian wilayah Gampong; (f) Perincian tentang kewenangan Gampong (3)
pemberian nama Gampong memperhatikan nuansa keacehan. BAB IV BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN Gampong Bagian Kesatu Umum Pasal 9
Di Gampong dibentuk Pemerintahan Gampong Tuha Peuet Gampong, yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan Gampong; Pasal 10 Pemerintahan Gampong terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong. Bagian Kedua Keuchik Pasal 11 Keuchik adalah kepala badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Pasal 12 (1)
52
Tugas dan Kewajiban Keuchik adalah: a.
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampong
b.
membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syariat Islam dalam masyarakat;
c.
menjaga dan memeliharan kelestarian adat dan adat istiadat, kebiasan-kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
d.
membina dan memajukan perekonomian masyarakat serta memelihara kelestarian lingkungan hidup; memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat;
d.
menjadi hakim perdamaian antar penduduk dalam Gampong;
e.
mengajukan Rancangan Reusam Gampong kepada Tuha Peuet Gampong untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadi Reusam Gampong;
f.
mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong kepada Tuha Peuet Gampong untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadi
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Anggaran Pendapatan Belanja Gampong; g.
Keuchik mewakili Gampongnya di dalam dan di luar pengadilan berhak menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya.
(2)
Keuchik sebagai hakim perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, dibantu oleh Imeum Meunasah dan Tuha Peuet Gampong.
(3)
pihak-pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat meneruskannya kepada Imeum Mukim dan keputusan Imeum Mukim bersifat akhir dan mengikat. Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 12, Keuchik wajib bersikap dan bertindak adil, tegas, arif dan bijaksana. Pasal 14 (1)
Keuchik memimpin penyelenggaraan pemerintahan Gampong yang ditetapkannya dengan persetujuan Tuha Peuet Gampong;
berdasarkan
kebijakan
(2)
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Keuchik bertanggung jawab kepada rakyat Gampong pada akhir masa jabatan atau sewaktu-waktu diminta oleh Tuha Peuet Gampong.
(3)
Keuchik wajib melaporkan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Imeum Mukim, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun yaitu pada akhir tahun anggaran atau sewaktu-waktu diminta oleh Imeum Mukim. Pasal 15
Keuchik dipilih secara langsung oleh penduduk Gampong melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Pasal 16 Masa jabatan Keuchik 5 tahun, terhitung mulai tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pasal 17 Seseorang dapat ditetapkan menjadi calon Keuchik, adalah warga negara RI yang memenuhi syaratsyarat: a.
Taat dalam menjalankan syariat Islam secara benar dan sungguh-sungguh;
b.
Setia kepada negara RI dan pemerintah yang sah
c.
Telah tinggal dan menetap di Gampong sekurang-kurangnya selama lima tahun secara terus menerus.
d.
Telah berumur sekurang-kurangnya 25 tahun dan setinggi-tingginya 60 tahun pada saat pencalonan;
e.
Berpendidikan sekurang-kurangnya berpengetahuan sederajat;
f.
Sehat jasmani dan rohani;
sekolah
lanjutan
tingkat
pertama,
atau
53
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
g.
Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
h.
Berkelakuan baik, jujur dan adil serta bersikap tegas, arif dan bijaksana;
i.
Tidak pernah dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
j.
Tidak pernah dihukum penjara, kurungan percobaan karena melakukan suatu tindak pidana;
k.
Mengenal kondisi geografis, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya Gampong serta dikenal secara luas oleh masyarakat setempat;
l.
Memahami secara baik Qanun, Reusam dan adat istiadat serta tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar adat istiadat dan kebiasaankebiasaan tersebut;
m. Bersedia mencalonkan diri atau dicalonkan oleh pihak lain. Pasal 18 Seseorang yang dapat ditetapkan mempunyai hak menjadi Keuchik, adalah warga negara RI yang memenuhi syarat-syarat: a.
telah berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau sudah menikah/pernah menikah;
b.
telah tinggal menetap di Gampong yang bersangkutan;
c.
nyata-nyata sedang tidak terganggu jiwa/ingatannya;
d.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
e.
terdaftar sebagai pemilih; Pasal 19
(1)
Untuk pelaksanaan pemilihan Keuchik, Tuha Peuet Gampong Independen Pemilihan Keuchik yang terdiri dari anggota masyarakat;
(2)
Panitia Pemilihan Keuchik terdiri dari 1 orang ketua, satu orang wakil ketua, satu orang sekretaris, satu orang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 5 orang anggota;
(3)
Pengawasan Mukim;
(4)
Anggota Panitia Pemilihan Keuchik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang ikut mencalonkan diri atau dicalonkan pihak lain diberhentikan dari keanggotaannya dan digantikan dengan anggota yang tidak ikut dalam pencalonan.
(5)
Di tempat pemungutan suara dapat ditugaskan beberapa anggota petugas keamanan yang ditunjuk oleh Keuchik.
terhadap
pelaksanaan
pemilihan
Keuchik
membentuk
dilaksanakan
oleh
Komisi
Pemerintah
Pasal 20
54
(1)
Pemilihan Keuchik dilaksanakan melalui tahap-tahap pencalonan, pelaksanaan pemilihan, serta pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan calon ketua terpilih;
(2)
Tahap pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui: a.
pendaftaran pemilih yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilih Keuchik;
b.
pendaftaran dan seleksi administratif bakal calon oleh Panitia Pemilih Keuchik;
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(3)
(4)
c.
pemaparan rencana kerja (program) oleh bakal calon dihadapan Tuha Peuet Gampong;
d.
penetapan bakal calon oleh Tuha Peuet Gampong sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
e.
Penetapan calon oleh Tuha Peuet Gampong.
Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan melalui: a.
Pemungutan suara Pemilihan Keuchik;
untuk
pemilihan
calon
Keuchik
dilaksanakan
b.
Perhitungan suara di tempat pemungutan suara segera setelah pemungutan suara dinyatakan selesai, yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Keuchik secara terbuka, disaksikan oleh Imuem Mukim, Imeuem Meunasah dan Tuha Peuet Gampong serta dapat dihadiri oleh para pemilih.
c.
Pembuatan laporan dan berita acara hasil perhitungan suara yang ditandatangani oleh ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris Panitia Pemilihan Keuchik dan para saksi;
d.
Penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Pemilihan Keuchik kepada Tuha Peuet Gampong;
e.
Penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara oleh Tuha Peuet Gampong, didampingi Imeum Mukim kepada Bupati atau Walikota melalui Camat.
Perhitungan
Suara
oleh
oleh
Panitia
Panitia
Tahap pengesahan dan pelantikan Keuchik terpilih meliputi; (a) pengesahan Keuchik terpilih oleh Bupati atau Walikota dengan menerbitkan keputusan pengangkatannya; (b) Keuchik dilantik oleh Bupati atau Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Bupati atau Walikota dalam suatu upacara yang khusus diadakan untuk itu di Gampong yang bersangkutan. Bagian Ketiga Imeum Meunasah Pasal 25
Imeum Meunasah atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi memimpin kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama, untuk anak-anak remaja dan masyarakat, memimpin seluruh kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran Meunasah/ Mushalla dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Bagian Keempat Perangkat Gampong Pasal 27 (1)
Perangkat Gampong membantu Keuchik dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewajibannya.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perangkat Gampong langsung berada di bawah Keuchik dan bertanggung jawab kepada Keuchik.
(3)
Perangkat Gampong diangkat dari penduduk Gampong yang memenuhi syarat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
55
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(4)
Perangkat Gampong diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Keuchik, setelah mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong. Pasal 28
Perangkat Gampong sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 27, terdiri dari: A.
B.
unsur staff yaitu sekretaris Gampong yang dipimpin oleh seorang sekretaris Gampong atau nama lain, yang dalam pelaksanaan tugasnya, dibantu oleh beberapa orang staff sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Gampong seperti: 1.
Kepala Urusan Pemerintahan;
2.
Kepala Urusan Perencanaan dan Pembangunan;
3.
Kepala Urusan Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial;
4.
Kepala Urusan Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat;
5.
Kepala Urusan Pemberdayaan Perempuan;
6.
Kepala Urusan pemuda;
7.
Kepala Urusan Umum;
8.
Kepala Urusan Keuangan.
Unsur pelaksana, yaitu pelaksana teknis fungsional yang melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, seperti: 1.
Tuha Adat atau nama lain, yang mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat yang memiliki asas manfaat;
2.
Keujruen Blang atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan kegiatan persawahan;
3.
Peutua Seuneubok atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan pengaturan bidang perkebunan, peternakan dan perhutanan;
4.
Pawang Laot atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan usaha penangkapan ikan di laut, termasuk pengaturan tentang usaha tambak sepanjang pantai, usaha-usaha pelestarian terumbu karang dan hutan bakau di pinggir pantai serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan sektor perikanan laut.
5.
Haria Peukan atau nama lain mempunyai fungsi dan melaksanakan tugas yang berhubungan dengan tugas kegiatan pasar Gampong;
6.
Dan lain-lain unsur pelaksana teknis yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat Gampong dengan penyebutan nama/istilah masing-masing.
C.
Unsur wilayah adalah pembantu Keuchik di bagian wilayah Gampong yaitu Kepala Dusun/Kepala Jurong atau nama lain sesuai dengan kelaziman setempat. Bagian Kelima Kedudukan Keuangan Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet Gampong dan Perangkat Gampong
56
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 30 (1)
Kepada Keuchik Imum Meunasah, Tuha Peuet Gampong dan Perangkat Gampong diberikan penghasilan tetap setiap bulannya, yang dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota pada setiap tahun anggaran;
(2)
Perincian jenis penghasilan dan tunjangan yang akan diberikan kepada Keuchik, Imeum Meunasah, Tuha Peuet Gampong dan Perangkat Gampong ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Walikota. BAB V TUHA PEUET Gampong Pasal 31
(1)
(2)
Unsur Tuha Peuet Gampong terdiri dari: a.
Unsur Ulama Gampong
b.
Tokoh masyarakat termasuk pemuda dan perempuan;
c.
Pemuka adat;
d.
Cerdik pandai/cendikiawan.
Jumlah anggota Tuha Peuet Gampong ditentukan berdasarkan jumlah penduduk Gampong sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya pada Gampong setempat. Pasal 33
(1)
Tuha Peuet Gampong dibentuk melalui musyawarah Gampong sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 Qanun ini.
(2)
Pengesahan pengangkatan Tuha Peuet Gampong dilaksanakan oleh Bupati atau walikota sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (4) huruf b. Pasal 34
(1)
Tuha Peuet Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong, merupakan wahana untuk mewujudkan demokratisasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan Gampong;
(2)
Tuha Peuet Gampong berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Gampong dalam menyelenggarakan Pemerintahan Gampong; Pasal 35
(1)
Tuha Peuet Gampong mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: a.
meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan Syariat Islam dan adat dalam masyarakat;
b.
memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat yang masih memiliki asas manfaat;
c.
melaksanakan fungsi legislasi, yaitu membahas/merumuskan dan persetujuan terhadap penetapan Keuchik terhadap Reusam Gampong;
d.
melaksanakan fungsi anggaran, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan persetujuan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong;
e.
melaksanakan
fungsi
pengawasan,
yaitu
meliputi
pengawasan
memberikan
terhadap
57
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
pelaksanaan Reusam Gampong, pelaksanaan Anggaran Pendapatan Gampong, pelaksanaan Keputusan dan kebijakan lainnya dari Keuchik; f. (2)
dan
Belanja
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Gampong.
Pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Tata Tertib Tuha Peuet Gampong, dengan memperhatikan Pedoman Umum yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota. Pasal 36
(1)
Pimpinan Tuha Peuet Gampong terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua merangkap anggota;
(2)
Pimpinan Tuha Peuet Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih secara demokratis oleh dan dari Anggota Tuha Peuet Gampong;
(3)
Rapat pemilihan Pimpinan Tuha Peuet Gampong untuk pertama kalinya dipimpin oleh anggota yang tertua dan dibantu oleh anggota yang termuda usianya. Pasal 37
Pimpinan dan Anggota Tuha Peuet Gampong tidak dibenarkan merangkap jabatan dengan Pemerintahan Gampong. Pasal 38 (1)
Untuk kelancaran pelaksanaan Sekretariat Tuha Peuet Gampong.
tugas
dan
fungsi
Tuha
Peuet
Gampong
dibentuk
(2)
Sekretariat Tuha Peuet Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipimpin oleh seorang Sekretaris, (bukan anggota) yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Tuha Peuet Gampong;
(3)
Sekretaris Tuha Peuet Gampong dapat dibantu oleh beberapa orang tenaga staf sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Gampong
(4)
Sekretaris dan Tenaga Staf Sekretariat Tuha Peuet Gampong tidak boleh dari unsur Perangkat Gamong;
(5)
Sekretaris dan tenaga staf Sekretariat Tuha Peuet Gampong diangkat dan diberhentikan oleh Keuchik berdasarkan usulan dari Pimpinan Tuha Peuet Gampong. Pasal 39
(1)
Pimpinan, Anggota, Sekretaris dan Tenaga staff Sekretariat Tuha Peuet Gampong dapat diberikan uang sidang sesuai dengan kemampuan keuangan Gampong;
(2)
uang sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong. Pasal 40
58
(1)
Untuk keperluan kegiatan Tuha Peuet Gampong disedakan biaya rutin, sesuai dengan kemampuan keuangan Gampong, yang dikelola oleh sekretaris Tuha Peuet Gampong.
(2)
Biaya rutin sebagaimana dimaksud pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong.
ayat
(1),
ditetapkan
setiap
tahun
dalam
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 41 (1)
Pengaturan lebih lanjut mengenai Tuha Peuet Gampong ditetapkan dengan Qanun Kabupaten dan Qanun Kota.
(2)
Qanun Kabupaten dan Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi antara lain: a.
mekanisme pelaksanaan Tuha Peuet Gampong;
musyawarah
Gampong
dalam
b.
hak Tuha Peuet Gampong
c.
hak anggota Tuha Peuet Gampong;
d.
Kewajiban Tuha Peuet Gampong;
e.
Larangan bagi Tuha Peuet Gampong;
f.
Pengaturan tentang Peraturan Tata Tertib Tuha Peuet Gampong
g.
Pemberhentian dan masa jabatan;
h.
Pergantian antar waktu;
i.
Sekretariat Tuha Peuet Gampong;
j.
Tindakan kepolisian terhadap Tuha Peuet Gampong
rangka
pengangkatan
BAB VI KEUANGAN Gampong Bagian Pertama Sumber Pendapatan Gampong Pasal 42 (1)
Sumber pendapatan Gampong terdiri dari: a.
pendapatan asli Gampong yang meliputi: 1. hasil usaha Gampong; 2. hasil kekayaan Gampong; 3. hasil swadaya dan partisipasi; 4. hasil gotong royong masyarakat; 5. zakat, dan 6. lain-lain pendapatan Gampong yang sah
b.
bantuan dari pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota, yang meliputi: 1. Bagian dari perolehan pajak dan retribusi Kabupaten atau Kota; 2. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota.
c.
dan
daerah
yang
diterima
bantuan lain dari pemerintah atasan: 1. Sumbangan dari pihak ketiga; dan 2. pinjaman Gampong.
Sumber pendapatan Gampong yang sudah dimiliki dan dikelola oleh Gampong tidak boleh dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah yang lebih atas tingkatnya.
59
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 43 (1)
Hasil usaha Gampong sebagaimana dimaksud pada pasal 42 ayat (1) huruf a adalah pungutan Gampong;
(2)
Kekayaan Gampong sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) huruf a terdiri dari: a.
tanah milik Gampong;
b.
pasar, kios dan los milik Gampong;
c.
bangunan milik Gampong;
d.
objek rekreasi yang dimiliki dan diurus Gampong;
e.
pemandian umum yang dimilki dan diurus Gampong;
f.
hutan adat Gampong;
g.
perairan pantai dalam batas tertentu yang diurus Gampong;
h.
tempat-tempat pemancingan yang diurus Gampong;
i.
tempat pendaratan ikan/tempat pelelangan ikan yang dimiliki dan diurus oleh Gampong;
j.
lain-lain kekayaan milik Gampong; Pasal 44
(1)
Sumber Pendapatan Kabupaten atau Kota yang berada di Gampong, baik pajak maupun retribusi yang telah dipungut oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota, tidak boleh ada pungutan tambahan oleh Pemerintah Gampong.
(2)
Sumber pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diberikan bagian kepada Gampong yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil. Pasal 45
(1)
pemberdayaan potensi sumberdaya alam Gampong untuk meningkatkan sumber pendapatan Gampong dapat dilakukan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Gampong atau melakukan pinjaman.
(2)
Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Pedoman umum tentang Badan Usaha Milik Gampong, kerjasama dengan pihak ketiga, kerjasama antar Gampong atau melakukan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Putusan Bupati atau putusan Walikota. Pasal 46
Sumber pendapatan Gampong sebagaimana dimaksud pada Pasal 42, dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG). Pasal 47 (1)
60
Pengaturan lebih lanjut mengenai sumber pendapatan Gampong sebagaimana dimaksud pada Pasal 42, ditetapkan dengan qanun Kabupaten atau qanun Kota
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
(2)
Qanun Kabupaten atau Kota sebagaimana dimaksud pada, memuat materi antara lain: a.
jenis-jenis pendapatan asli Gampong sesuai dengan kondisi setempat;
b.
Jenis-jenis kekayaan Gampong;
c.
Pegurusan dan pengembangan sumber pendapatan Gampong;
d.
Pengawasan terhadap sumber pendapatan Gampong; BAB VII REUSAM Gampong Pasal 53
(1)
Rancangan Reusam Gampong diajukan oleh Keuchik atau Tuha Peuet Gampong;
(2)
Reusam Gampong dibahas bersama antara Keuchik dan Tuha Peuet Gampong;
(3)
Keuchik menetapkan Reusam Gampong setelah mendapatkan persetujuan Tuha Peuet Gampong. Pasal 54
(1)
Dalam rangka pembahasan terhadap Rancangan Reusam Gampong sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) Pasal 53, Tuha Peuet Gampong mengadakan rapat/sidang yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota;
(2)
Keputusan diambil sekurang-kurangnya dengan persetujuan 50% ditambah 1 (satu) dari anggota yang hadir. Pasal 55
(1)
Reusam Gampong ditandatangani oleh Keuchik dan Ketua Tuha Peuet Gampong.
(2)
Reusam Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (10), harus disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Imeum Mukim dan camat selambat-lambatnya 45 hari setelah ditetapkan;
(3)
Bupati atau Walikota harus sudah mengesahkan Reusam Gampong paling lama 45 hari sejak diterima.
(4)
Apabila tenggang waktu 45 hari sebagaimana dimaksud dalam ayat mendapat pengesahan, maka Reusam Gampong tersebut dinyatakan berlaku.
(3)
belum
dengan
Qanun
Pasal 56 (1)
pengaturan lebih lanjut mengenai Kabupaten atau Qanun Kota.
Reusam
Gampong
ditetapkan
(2)
Qanun Kabupaten atau Qanun Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat materi antara lain: a.
bentuk Reusam Gampong;
b.
muatan materi reusam Gampong;
c.
mekanisme dan tata cara pembahasan Rancangan Reusam Gampong;
d.
pengaturan lebih lanjut apabila jumlah anggota Tuha Peuet Gampong yang hadir
61
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
tidak mencapai sekurang-kurangnya 2/3; e.
kedudukan Reusam Gampong terhadap kepentingan umum, Qanun Kabupaten atau Qanun Kota dan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya.
f.
Ketentuan sanksi terhadap pelanggaran Reusam Gampong.
Lampiran VII KEPUTUSAN BERSAMA GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT DI Gampong DAN MUKIM
RANCANGAN MOU, 2 OKTOBER2007: KEPUTUSAN BERSAMA GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT DI Gampong DAN MUKIM NOMOR NOMOR NOMOR GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :
62
a.
bahwa adat dan hukum adat merupakan bagian dari tatanan perilaku yang hidup dan berkembang dalam membangun keamanan, ketertiban dan keadilan bagi kesejahteraan masyarakat Aceh; sesuai dengan Syari’at Islam.
b.
bahwa kehidupan masyarakat Aceh telah memberi kedudukan dan peran lembaga-lembaga Adat untuk menjalankan peradilan adat hukum adat dalam mewujudkan keamanan, ketertiban, kerukunan dan kedamaian masyarakat serta sejalan dengan kebijakan Perpolisian Masyarakat (POLMAS) untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
bahwa berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Majelis Adat Aceh dengan Penegak Hukum, tanggal 3-4 Desember 2004 dan kelanjutannya tanggal 25 September 2007 di Banda Aceh, disepakati Keputusan Bersama, untuk mengakui dan memberi pedoman dalam penyelenggaraan Peradilan Adat/Peradilan Damai di Gampong-Gampong dan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dipandang perlu menetapkan dalam Keputusan Bersama
huruf
a,
b
dan
c
Mengingat : 1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Negara Nomor 1103);
2.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3839);
3.
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
4.
Undang-undang Nomor l i Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62. Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633)
5.
Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1991 Nomor 13);
6.
Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 1996 tentang Mukim sebagai Kesatuan Masyarakat Adat dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1996 Nomor 195 Seri D Nomor 194);
7.
Peraturan Daerah (Qanun) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 35);
8.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 20);
9.
Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Pemerintahan Gampong dalam Propinsi Nanggroe Aceh
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Nomor 60. Tambahan Lembaran Negara
Tahun 2003 tentang Darussalam (Lembaran
63
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 21); 10. Qanun Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan tata Kerja Majelis Adat Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( Lembaran Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5 ). Memperhatikan : 1. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, NO. POL: SKEP/737/ X/2005, Tanggal 13 Oktober 2005, Tentang Kebijakan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri 2. Hasil Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Majelis Adat Aceh (MAA) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 25 September 2007 di Banda Aceh MEMUTUSKAN: Menetapkan :
KEPUTUSAN BERSAMA GUBERNUR, KEPALA KEPOLISIAN DAERAH DAN KETUA MAJELIS ADAT ACEH PEMERINTAHAN NANGGROE ACEH DARUSSALAM, TENTANG PENYELENGGARAAN PERADILAN ADAT/ PERADILAN DAMAl Dl Gampong DAN MUKIM Pasal 1
(1)
Untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, kerukunan dan kedamaian masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di Gampong-Gampong dan Mukim dalam Nanggroe Aceh Darussalam, dapat difungsikan lembaga Peradilan Adat sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara-perkara atau sengketa adat sebagai lembaga Peradilan Damai
(2)
Perkara-perkara pidana berat atau sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Mukim, akan diselesaikan oleh lembaga peradilan negara sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan Peraturan yang berlaku Pasal 2
Lembaga Peradilan Adat/Peradilan Damai adalah lembaga peradilan untuk menyelenggarakan kekuasaan peradilan adat dalam menegakkan, keamanan, ketertiban, kerukunan dan kedamaian mewujudkan keseimbangan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat Gampong/ Mukim, berdasarkan kaedah-kaedah hukum adat yang hidup dan berlaku pada masing-masing wilayah setempat Pasal 3 Tata cara penyelenggaraan Peradilan Adat/Peradilan Damai adalah berdasarkan tatanan adat istiadat/hukum adat yang berlaku dalam wilayah setempat, melalui musyawarah/ mufakat lembaga perangkat Gampong dan atau perangkat Mukim sesuai dengan wewenang dan kompetensinya masing-masing dengan pengaturan/inventarisasi teknis administrasi yang baik dan tertib Pasal 4 Perangkat Peradilan Adat/Hakim Perdamaian pada tingkat:
64
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
1.
Gampong, terdiri atas : a.
Keuchik, sebagai Ketua
b.
Sekretaris Gampong, sebagai Panitera
c.
Imeum Meunasah, sebagai anggota
d.
Tuha Peuet, sebagai anggota
e.
Ulama, Tokoh adat/cendekiawan lainnya di Gampong yang bersangkutan (ahli di bidangnya), selain Tuha Peuet Gampong menurut kebutuhan
2.
Mukim terdiri atas : a.
Imeum Mukim, sebagai Ketua
b.
Sekretaris Mukim, sebagai Panitera
c.
Tuha Peuet Mukim, sebagai anggota
d.
Ulama, Tokoh adat (cendekiawan lainnya ahli di bidangnya) selain Tuha Peuet Mukim menurut kebutuhan Pasal 5
(1)
Setiap persengketaan/perselisihan yang terjadi di Gampong-Gampong, Aparat penegak hukum harus memberi kesempatan lebih dahulu kepada Gampong untuk menyelesaikannya dan bila tidak memuaskan para pihak atau salah satu pihak dapat meneruskan perkara itu ketingkat Mukim untuk mendapatkan penyelesaian terakhir
(2)
Polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ Perpolisian Masyarakat (POLMAS) membantu dan memfasilitasi untuk kelancaran penyelesaian sengketasengketa dimaksud pada ayat (1) Pasal 6
(1)
Setiap putusan yang ditetapkan oleh Peradilan Adat Gampong atau Mukim karena diktum amaran putusannya bersifat “damai“ (persetujuan para pihak), maka putusan itu adalah bersifat “ putusan tetap “
(2)
Untuk mendapatkan “putusan tetap“, prosesi peradilan adat dilakukan menurut mekanisme musyawarah perangkat adat dan sistem administrasi peradilan adat yang tertib dan terdokumentasi
(3)
Putusan damai sebagai putusan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas tidak dapat diajukan lagi tuntutannya pada lingkungan peradilan negara Pasal 7
(1)
Gubernur, Bupati/ Walikota sebagai Kepala Daerah beserta jajarannya bertanggung jawab untuk membina dan mengawasi terlaksananya Peraradilan Adat/Peradilan Damai sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Bersama ini,
(2)
Kepala Kepolisian Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam beserta jajarannya, bertanggung jawab untuk memberikan pengamanan dan dukungan sesuai dengan tujuan POLMAS terhadap Keputusan Bersama ini
(3)
Ketua Majelis Adat Aceh Propinsi/Kabupaten/Kota, beserta jajarannya, memberi bimbingan dan pengawasan tentang pembinaan dan pengembangan materi-materi hukum adat, sesuai dengan tatanan dan tradisi hukum adat/adat istiadat yang hidup pada lingkungan masyarakat setempat
65
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Pasal 8 (1)
Semua instansi yang terkait dalam keputusan bersama, dapat menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk dapat melaksanakan keputusan bersama ini dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab
(2)
Setiap “penetapan putusan adat/damai“ melalui musyawarah yang menyangkut dengan perkara-perkara peradilan adat. dibuat dalam bentuk tertulis diatas segel untuk diberikan kepada masing-masing pihak yang ditanda tangani oleh Keuchik dan Sekretaris tingkat Gampong atau Imeum Mukim dan Sekretaris Mukim pada tingkat Mukim Pasal 9
Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan Bersama ini, sepanjang menyangkut teknis pelaksanaan dan atau masalah-masalah lainnya dapat dimusyawarahkan oleh masing-masing perangkat Peradilan Adat sebagaimana dimaksud pada pasal 4 dan atau dengan instansi terkait/jajarannya menurut kebutuhan Pasal 10 Keputusan Bersama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan
Ditetapkan di : Banda Aceh Pada tanggal
Gubernur Propinsi NAD
dto
Kapolda Prov.NAD
dto
Ketua MAA Prov. NAD
dto
Catatan : Rancangan konsep ini dilahirkan dalam Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Majelis Adat Aceh tanggal 2 September 2007 di Banda Aceh
66
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Lampiran VIII HADIH MAJA YANG RELEVAN DENGAN PERADILAN ADAT Lemoh hukom diatoe lee pangkat Leumoh adat jahee raja Leumoh kanun tinggai bak kalam Leumoh Reusam gadoh budaya (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Law enforcement, yang tidak didukung oleh perangkat adat yang kuat (informal justice providers)
Leumoh Leumoh Leumoh Leumoh
tanoh keubue meukubang geudeubang digob panglima nanggroe sabee dalam prang parang beusoe tan meulila
(Ungkapan di atas sangat relevan dengan Kewibawaan dan kekuatan pemimpin)
Hukom Hukom Hukom Hukom
lillah sumpah bek adat ikat bek ade pakee bek meujroh meupoh bek
(Ungkapan di atas sangat relevan dengan Prinsip damai dalam penyelesaian sengketa dalam hukum adat).
Urueng peurintah yang atoe buet Urueng tuha puet peuputoh haba (Ungkapan di atas amat relevan dengan keberadaan Tuhan Peut dalam majelis peradilan adat)
Bek peusaban kai ngon aree Bek peusaree naleh ngon gunca Barang gapue buet bek teumiree Bak meugeuree jiet sampurna (Ungkapan di atas relevan untuk pelatihan/training peradilan adat)
Sesat jalan. Kusut Rambut. Kusut Benang Kusut Sarang burung Tempua (Strategi/teknis menyelesaikan sengketa)
Meunyoe tan ileumee hukom han peutoh
67
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Meunyoe tan peng meksud han troeh Meunyoe tan akai binasa teuboh Meunyoe tan useuha reuziki pih jioh (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Tingkat kemampuan Informal Justice Providers)
Meunyoe carong tapeulaku Boh labu jiet keu asoe kaya Meunyoe han carong tapeulaku Aneuk tengku jiet keu beulaga (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Kemampuan tokoh adat dalam menyelesaikan perkara).
Meunyoe carong tapeuantok Dalam bak jok diteubiet saka Meunyoe han carong tapeuantok Siuroe seuntok lalee meudakwa (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Kemampuan negosiasi para informal justice providers)
Salah cok tapulang, Salah jalan tagisa Tameupake alang Tameuprang papa (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Strategi penyelesaian sengketa dengan menggunakan teknik mediasi dan negosiasi)
Mantong di reubong jiet tapeukiwieng Oh jiet keu trieng han jiet taputa. (Ungkapan di atas sangat relevan dengan usaha penyelesaian sengketa sedini mungkin)
Meunyoe get dalam hatee, Lahee bak ie rupa Meunyoe brok dalam hatee, Lahee bak peugah haba Meunyoe get niet ngon hasat La’ot darat Tuhan peulara (Ungkapan di atas sangat relevan dengan kemampuan para informal justice providers dalam menilai para pihak)
Geupeuna utak geuyue seumikee Geupeuna hatee geuyue peurasa Padupna ek gop peugah sabee Leubeh meusampe ingat lam dada (Ungkapan di atas sangat relevan dengan Nasihat2 yang diberikan kepada para pihak setelah menyelesaikan perkara)
Bek tamse asap yang mita manyang
68
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Siat meulayang gadoh dimata Bah lagee reudok yang mita baroh Siat hujuen troeh ie raya teuka (Ungkapan di atas sangat relevan dengan sifat damai dalam putusan adat, dimana damai itu harus selama-lamanya)
Meunyoe tapateh pue kheun kitab U tupee kap han tateumee rasa Meunyoe han tapateh pue kheun kitab Jiet keubangsat siumue masa (Ungkapan di atas relevan dengan sifat damai dalam putusan adat, dimana damai itu harus selama-lamanya)
Dari pada crah leubeh get beukah Dari pada sihet rhoe bah habeh Pakriban crah lagenyan beukah Pakriban manoe lagenyan basah (Ungkapan di atas relevan dengan sifat konsistensi hukum adat, dimana damai itu harus selama-lamanya)
Meeleuha langai watee me’ue blang Meuleuha parang watee cah paya Meuleuha pa’i watee nanggroe prang Meuleuha pawang dalam Glee raya (Ungkapan di atas relevan dengan tugas dan tanggung jawab Pawang Glee)
Let let kadilet di lhoe Oh lheueh dilhoe hatee jih saket Tameugetget sabee keudroe droe Oh uroe dudoe hana meupalet. (Ungkapan di atas relevan dengan sifat damai dalam putusan adat)
Soe yang pajoh camplie, nyan yang keu’ueng Soe yang meuaneuk, nyan yang meuadeueng (Ungkapan di atas relevan dengan sifat penerapan hukum adat yang tidak memilih kasih sosial status)
Paleh Paleh Paleh Paleh
umong cot teungoh geuboh asoe Inong geuteumanyong ban wo lakoe Agam sipat kuah bileueng asoe Tengku lagee geuneuku hana gigoe
(Ungkapan di atas relevan dengan sifat ketidak mauan tokoh atau cendikiawan dalam menyelesaikan masalah di tingkat Gampong)
Paleh Paleh Paleh Paleh
tuha geuboh tungkat tukang geuboh seunipat Tengku geuboh ayat meukat geuboh keunira
(Ungkapan di atas relevan dengan sifat ketidak konsistenan dan sifat curang para pelaksana peradialan adat)
69
Pedoman Peradilan Adat di Aceh
Paleh Paleh Paleh Paleh
inong hana lakoe nanggroe zalem Raja gasien hana hareukat kaya hana himat
(Ungkapan di atas relevan dengan sifat Pemimpin)
Paleh Paleh Paleh Paleh
umong hana meuateung ureueng hana agama on u hana meupeureh wareh hana meuhaba
(Ungkapan di atas relevan dengan sifat dan karakter seseorang )
Lagee Lagee Lagee Lagee
peucok aron sigoe saho aneuk yee teubiet tamong pukat hana pawang meuprang hana panglima
(Ungkapan di atas relevan dengan kondisi hukum adat dewasa ini, dimana penegakkannya sulit sekali.)
Mate anuk meupat jirat Mate adat hanpat tamita Peuteh teulueng di dalam jrat Mantong teuingat guna gata (Ungkapan di atas relevan dengan sifat konsistensi dalam penerapan hukum)
Adat bak po teumeureuhom Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak putroe Phang Reusam bak Lakseumana
70