MERUMUSKAN PERADILAN ADAT DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL1 Rikardo Simarmata2
‘Pemberdayaan hukum melalui akses terhadap keadilan tidak melalui penolakan melainkan mengkaji ulang peradilan adat sehingga peradilan adat tidak hanya sebagai solusi idiologis melainkan juga solusi praktis’ (Harper 2011)
Tema seminar ini mengingatkan saya pada sebuah artikel yang ditulis oleh seorang teman. Teman saya ini telah bekerja sekian tahun untuk isu reformasi peradilan di Indonesia. Tulisan tersebut dimuat sebagai salah satu artikel dalam sebuah buku kumpulan artikel. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 2007. Dalam tulisan tersebut, teman saya mengamati bahwa reformasi peradilan masih menyisakan sebuah pekerjaan rumah yang fundamental yaitu menentukan status peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Menurutnya, agenda tersebut masih menjadi pekerjaan rumah karena selama ini reformasi sistem peradilan kurang kreatif dan dengan sengaja dijauhkan dari upaya-upaya untuk menyentuh sejumlah isu fundamental. Secara kebetulan, seminar ini mengajak para audiens untuk memikirkan pekerjaan rumah tersebut. Sebuah pekerjaan rumah yang menurut teman saya bersifat fundamental. Tulisan ini saya buat dengan intensi untuk turut membantu audiens memikirkan kembali pekerjaan rumah tersebut. Sumbangan tulisan ini adalah menunjukan pemikiran-pemikiran teoritik yang membahas mengenai peran dan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Berbagai pilihan opsional mengenai peran dan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional akan merupakan bagian dari gambaran pemikiran teoritik tersebut. Pada kesempatan kali akan dikemukakan dua pemikiran yang bisa dirujuk bila membincangkan peranan dan kedudukan peradilan adat dalam menyediakan keadilan atau menyelenggarakan administrasi peradilan. Pemikiran yang pertama berkenaan dengan hubungan hukum dan pembangunan. Dalam pemikiran ini dikemukakan sebuah preposisi bahwa bentuk (sistem) hukum sangat menentukan kemampuan untuk bisa mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Adapun pemikiran yang kedua membicarakan peluang atau kesempatan bagi rakyat untuk bisa mendapatkan keadilan. Salah satu yang ide yang berkembang dalam pemikiran ini adalah menggali sekaligus menguatkan sumberdaya
1
Disampaikan pada seminar ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan Nasional. Diselenggarakan bersama oleh Perkumpulan HUMA dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 10 Oktober 2013. 2 Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
1
hukum rakyat dalam menyediakan keadilan. Nama yang diberikan kepada pemikiran ini adalah akses terhadap keadilan dan penguatan hukum (legal empowerment). Di luar dua pemikiran konseptual tersebut, peranan peradilan adat dapat juga didiskusikan tatkala membahas mengenai manajemen perkara pengadilan formal. Salah satu preposisi dalam pemikiran ini bahwa peradilan adat/informal dapat mengurangi beban peradilan formal dengan cara memberikan kewenangan kepada peradilan adat/informal untuk menangani perkara atau kasus tertentu. Memikirkan kembali pekerjaan rumah sebagaimana dikatakan sebelumnya serta sekaligus merumuskan agenda dan aksi-aksi konkrit, sungguh diperlukan dan merupakan keharusan. Alasan pokoknya adalah untuk menghindari perilaku-perilaku diskresif dan eksesif penyelenggara administrasi peradilan formal dan peradilan adat yang semakin melemahkan kemampuan sistem hukum untuk menyediakan kepastian dan keadilan.
Peradilan adat dalam pembangunan Sebagai praktek dan pemikiran, ikhtiar-ikhtiar untuk mencari relasi yang cocok antara pembangunan dengan hukum berkembang sejak periode dekolonisasi pada dekade 50-an. Pemikiran dan gerakan ini meraih kembali momentumnya pada dekade 70-an saat rute menuju kemajuan ala negara-negara Barat hendak direplikasi pada negara-negara berkembang. Sekalipun berlatar belakang idiologis yang relatif berbeda, terdapat kesamaan antara pemikiran dan gerakan hukum dan pembangunan pada dekade 50-an dengan 70-an, yaitu memandang peran dan kedudukan hukum yang harus mendukung tujuan-tujuan pembangunan. Bagi negara-negara yang baru saja melepaskan diri dari kolonisasi pembangunan diarahkan untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju. Demikian tidak sabarnya para elit negara-negara baru merdeka tersebut untuk mengejar ketertinggalannya, sejumlah prinsip-prinsip diimport dari luar seperti emansipasi, sekularisasi dan liberalisasi (Allot 1980). Salah satu syarat untuk bisa mengejar ketertinggalan tersebut adalah meninggalkan keterbelakangan. Ada pemikiran dan keyakinan yang kuat bahwa keterbelakangan tersebut merupakan warisan negara kolonial yang secara sadar dilanggengkan. Salah satu faktor sekaligus rupa dari keterbelakangan tersebut adalah penggunaan hukum adat atau tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kasus Indonesia, menurut sejumlah ilmuan (Lev 1985), kebijakan pemerintah kolonial membiarkan golongan Pribumi diatur dengan hukum adanya merupakan strategi untuk mencegah golongan Pribumi memasuki sektor modern dan menjadi masyarakat modern. Tidak hanya sampai di situ, pandangan ini juga menyimpulkan bahwa fakta pluralitas hukum semasa kolonialisme yang
2
diwariskan pasca dekolonisasi keterbelakangan bangsa jajahan.
merupakan
kesengajaan
untuk
melanggengkan
Berangkat dari pemikiran semacam itu, jalan keluar yang ditawarkan adalah memiliki (sistem) hukum yang meninggalkan tradisi dan pluralitas. Sistem hukum yang demikian ditandai dengan berkembangnya proses unifikasi yaitu memiliki satu (sistem) hukum yang berlaku relatif sama untuk semua golongan penduduk. Logika yang dibangun untuk mengkaitkan tradisi dan pluralitas dengan keterbelakangan bahwa keduanya menyebabkan ketidakpastian. Pluralisme hukum menciptakan kompleksitas yang pada akhirnya membuat administrasi hukum menjadi sulit. Kompleksitas dan kesulitan mengarah pada terciptanya ketidakpastian hukum yang tidak dekehendaki oleh masyarakat modern (Cribb 2010). Selain dengan alasan untuk meninggalkan ketertinggalan dan memajukan bangsa, pemikiran yang mengusulkan unifikasi juga mengemukakan kebutuhan melakukan integrasi bangsa sebagai alasan yang lain. Salah satu instrumen yang dianggap efektif untuk mensegerakan realisasi kemajuan dan integrasi tersebut adalah unfikasi peradilan. Institusi peradilan dianggap penting karena merupakan salah satu simbol otoritas, penjaga perdamaian serta penyedia keadilan (Lev 1973). Berangkat dengan gagasan yang sama dengan para elit negara-negara bekas jajahan, pemikiran dan proyek hukum dan pembangunan dekade 70-an, meyakini bahwa sistem hukum adalah elemen penting bagi pembangunan karena hukum akan menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (Trubek dan Galanter 1974). Dengan metode replikasi, pemikiran dan proyek ini bahkan menganggap bahwa hukum berlaku universal dan karena itu tidak dipengaruhi oleh konteks lokal (Watson 1993). Hukum dari satu tempat bisa dicangkokan kepada sistem hukum di tempat lain. Konsep-konsep hukum Barat seperti rule of law dapat diberlakukan di negara-negara berkembang tanpa perlu mengadaptasikannya dengan kodisi spesifik setempat. Pemikiran yang mengkaitkan hukum dengan pembangunan, baik yang menjadi bagian dari ambisi para elit negara-negara bekas jajahan maupun sebagai gagasan para teoritisi dan praktisi hukum dan pembangunan, telah menuai sejumlah kritik. Ambisi para elit negara-negara bekas jajahan untuk memodernisasi hukum dengan cara memproduksi sejumlah legislasi dianggap gagal memahami batas-batas kemampuan hukum (formal). Secara berlebihan mereka menempatkan hukum sebagai benda ajaib atau merupakan kondisi yang diinginkan yang akan terjadi di masa depan. Hukum berkarakter determinatif karena bisa sebagai instrumen untuk mencapai perubahan-perubahan ekonomi dan sosial yang diinginkan (Moore; 1973; F. Benda-Beckmann 1989). Kenyataan di lapangan tidak mendukung hipotesa-hipotesa tersebut. Di sejumlah negara Afrika, modernisasi hukum pertanahan, menemui kegagalan atau tidak berlaku efektif karena berbenturan dengan otoritas adat yang dalam banyak hal lebih berpengaruh pada perilaku petani atau masyarakat adat (Ubink dan van Rooij 2011). Begitu juga nasib proyek hukum dan pembangunan yang hanya berumur satu dekade. Implementasi legislasi3
legislasi baru menemui kendala karena perilaku aparatur penyelenggara negara lebih ditentukan nilai dan aturan main dengan jaringan-jaringan sosial mereka. Budaya patronase membuat aparatur negara memilih untuk tidak menjalankan legislasi-legislasi baru tersebut demi mengamankan kepentingan pribadi dan jariangan patronasenya (Gray 1986; ). Tidak efektinya implementasi atas legislasi-legislasi baru tersebut sebagian juga disebabkan oleh perilaku para pelaksana lapangan yang mengembangkan kepekaan dan solidaritas dalam melaksanakan dan menegakan hukum (Simarmata 2012). Sebagai upaya untuk memperbaiki pemikiran mengenai relasi hukum dan pembangunan, setelah melakukan kritik, sejumlah pihak mencoba mengemukakan koreksikoreksi. Terhadap konsep mengenai negara hukum (rule of law), ada dua pemikiran korektif yang dikemukakan. Pertama, meluaskan cakupan pengertian kata ‘hukum’ untuk juga mencakup hukum non negara selain hukum negara. Selain untuk memberi ruang pada hukum-hukum non negara (utamanya hukum adat), maksud lain dari usulan korektif ini adalah untuk memastikan bahwa hukum-hukum non negara juga tidak menyebabkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Kedua, memaknai elemen legalitas formal (formal legality) dari negara hukum tidak hanya kalau sudah tersedia dalam rupa teks-teks hukum tetapi memastikan bahwa perilaku aparatus pelaksana dan penegak hukum sesuai dengan bunyi teks tersebut. Dengan kata lain, kepastian hukum tidak berhenti ketika substansi hukum (legislasi dan putusan pengadilan) sudah menentukan sesuatu dengan jelas dan terang melainkan berlanjut sejauhmana substansi hukum tersebut dijalankan secara konsisten. Konsep yang disebut dengan real legal certainty ini memberi peluang untuk memperhitungkan pengaruhpengaruh sistem-sistem normatif yang lain terhadap sistem normatif kreasi negara. Adapun terhadap pemikiran-pemikiran yang super yakin dengan kemampuan hukum sebagai instrumen, sejumlah temuan-temuan lapangan dipakai untuk mempertanyakan kebenaran asumsi-asumsi pemikiran ini. Laporan-laporan yang berisi temuan lapangan tersebut menunjukan bahwa alih-alih kehilangan legitimasi akibat kehadiran hukum negara, hukum adat tetap eksis. Khusus mengenai peradilan adat, temuan-temuan lapangan tersebut menunjukan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, peradilan adat punya resiliensi yang tinggi. Di beberapa negara Afrika, peradilan adat (customary justice system) bahkan kembali tampil ke depan dan bahkan dominan (Ubink dan van Rooij 2011). Bukti atas dominasi tersebut bisa dilihat pada kutipan pernyataan Sage and Woolcock (2006) berikut ini: ‘Peradilan adat mengatur kehidupan keseharian lebih dari tiga perempat masyarakat di sebagian besar negara-negara di Afrika’. Berangkat dari temuan-temuan lapangan tersebut sejumlah ilmuan dan belakangan lembaga-lembaga donor internasional menganjurkan dan mengadvokasi agar sistem peradilan nasional memberi tempat pada sistem peradilan adat. Argumen-argumen yang dipergunakan untuk mengemukakan anjuran dan melakukan advokasi tersebut akan digambarkan pada bagian berikut ini. 4
Peradilan adat dan akses terhadap keadilan Konsep atau teori mengenai akses terhadap keadilan saat ini telah menjadi konsep atau teori sentral dalam menggambarkan realitas sekaligus signifikansi sosial peradilan adat. Peran sentral tersebut tidak lepas dari sejarah dan fokus konsep atau teori tersebut yaitu penyelesaian sengketa secara informal oleh komunitas-komunitas lokal. Konsep atau teori yang cikal-bakalnya dari kajian antropologik ini kemudian berkembang dan menjadi obyek kajian disiplin ilmu lain seperti sosiologi dan administrasi publik. Studi ilmu hukum sebenarnya juga memiliki tradisi mendiskusikan akses terhadap keadilan. Tema akses terhadap keadilan dibahas dalam konteks hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan. Salah satunya adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum selama proses hukum berlangsung. Akses terhadap keadilan bahkan dimasukan ke dalam salah satu elemen negara hukum. Dalam kajian antropologi dan sosiologi, akses terhadap keadilan dikatakan ada apabila tersedia institusi dan mekanisme formal dan informal yang memiliki kemampuan untuk mendengar keluhan dari pihak-pihak yang mengalami ketidakadilan dan kemudian menangani keluhan tersebut secara tepat sehingga membuahkan keadilan bagi pihak pencari keadilan. Proses mendengar dan menangani keluhan tersebut harus didasarkan pada prinsip negara hukum atau hak asasi manusia (UNDP 2005; Bedner dan Vel 2011). Ada dua poin penting yang perlu digarisbawahi terhadap definisi di atas. Pertama, institusi atau mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud tidak hanya institusi formal melainkan juga institusi non formal seperti peradilan adat. Kedua, institusi dan mekanisme untuk mendengar dan menangani keluhan tersebut tidak hanya institusi peradilan tetapi juga lembaga-lembaga pemerintah (government agencies). Pengurusan pemenuhan kebutuhan publik semacam KTP dan pemberian layanan jaminan sosial saat ini dibahas juga dengan konsep akses terhadap keadilan. Pembahasan peradilan adat dalam tema akses terhadap keadilan mendapat perhatian yang lebih besar. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan bahwa sistem peradilan adat lebih mampu menyediakan keadilan bagi masyarakat atau komunitas lokal. Peradilan adat lebih mudah diakses oleh anggota komunitas lokal dengan berbagai alasan baik karena faktor jarak, bahasa, proses maupun faktor budaya. Selain empat faktor tersebut, peradilan adat memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan masyarakat adat atau kamonitas lokal. Tiga karakter peradilan adat yang dianggap mewakili secara kuat falsafah tersebut masing-masing pengutamaan harmoni, restoratif dan konsensual (Harper 2011, Simarmata 2013). Mengenai karakter pengutamaan harmoni Slaats dan Portier (1992) mengatakan: ‘Di mata anggota masyarakat adat, signifikasi proses penanganan sengketa bukan terletak pada isi putusan melainkan pada proses menemukan solusi yang bisa
5
diterima oleh para pihak yang bersengketa dan yang memulihkan harmoni atau menciptakan keseimbangan baru dalam relasi sosial antar anggota komunitas’. Di daerah-daerah pasca konflik, peradilan adat dianggap yang paling cocok karena karakternya yang mengambalikan atau memulihkan integrasi. Merujuk pada fakta kemampuan peradilan adat menyediakan akses terhadap keadilan di satu sisi dan tidak efektifnya sistem peradilan negara dalam menangani kasuskasus yang melibatkan komunitas adat pada sisi yang lain, sejumlah negara, dengan bantuan lembaga donor internasional dan LSM setempat, mengembangkan program dan kebijakan untuk menguatkan sistem peradilan adat. Lewat program tersebut ditemukan berbagai model bagaimana memberi peran sekaligus mendudukan sistem peradilan adat dalam sistem peradilan negara. Pada kesempatan ini saya akan menguraikan pengalaman Eritrea dan Bougainville (Papua Nugini). Eritrea Eritrea merupakan satu-satunya negara di Sub-Sahara Africa yang hampir semua hukum adatnya dituliskan (23 dari 27 golongan hukum adat). Pada tahun 1992 pemerintah Eritrea membentuk peradilan desa sebagai peradilan tingkat pertama. Karena tidak effektif lalu menggabungkannya dengan peradilan perdamaian (mediasi, konsiliasi) yang memungkinkan penerapan hukum dan kebiasaan. Selanjutnya pada tahun 2003 dibentuk Peradilan Komunitas sebagai kombinasi dari peradilan adat dan peradilan perdamaian. Peradilan komunitas didudukan sebagai peradilan tingkat pertama di bawah pengadilan distrik, pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Setiap kasus pada Peradilan Komunitas ditangani oleh 3 orang, masing-masing 2 lakilaki dan 1 perempuan. Kompetensi Peradilan Komunitas adalah menangani kasus kehidupan sehari-hari yang tidak kompleks seperti perdata (sengketa batas tanah, benda bergerak dan tidak bergerak dengan nilai tertentu); dan pidana (intimidasi, kerusakan harta milik disebabkan ternak, dll). Hukum yang dipakai oleh hakim dalam menangani kasus atau perkara bisa hukum negara dan hukum adat. Hakim mendahulukan mediasi atau konsiliasi dan baru akan mengadili secara hukum bila mediasi dan konsiliasi gagal. Pihak yang tidak menerima putusan Peradilan Komunitas dapat meneruskan kasusnya ke pengadilan distrik. Sejak tahun 2003, sengketa yang diselesaikan di Peradilan Komunitas sebanyak 60%. Program dan kebijakan mengakui dan memberi tempat pada Peradilan Komunitas dimaksudkan untuk memperluas partisipasi publik dlm proses peradilan dan meringankan beban peradilan negara menangani perkara. Peradilan komunitas dianggap mewakili sebuah gagasan yaitu membawa sistem peradilan negara semakin dekat dengan masyarakat dan pada saat yang sama mengintegrasikan dan memformalisasi peradilan informal menjadi peradilan tingkat bawah.
6
Bougainville Secara kultural Bougainville merupakan bagian dari Kepulauan Salomon namun secara administratif merupakan bagian dari Papua Nugini. Sejak tahun 2005 Bougainville menjadi daerah otonom. Tahun 1989 pemerintah Papua Nugini mengadakan asesmen yang menyimpulkan bahwa peradilan formal tidak memadai untuk merespon kebutuhan masyarakat dan tidak memberdayakan masyarakat dalam penyelesaian sengketa. Berdasarkan asesmen tersebut, pemerintah menunjuk Pusat Perdamaian dan Rekonsiliasi Bougainville untuk melatih masyarakat mengenai penyelesaian konflik terutama lewat mediasi. Peserta pelatihan menjadi mediator dalam Forum Penyelesaian Sengketa. Forum ini dibedakan dengan peradilan desa (village court magistrate) yang merupakan bagian dari peradilan formal. Masyarakat merasakan dampak positif dari pelatihan-pelatihan tersebut karena sejumlah alasan berikut: (i) para pihak merasa mendapat informasi yang memadai mengenai hak-haknya; (ii) peradilan informal/adat dianggap obyektif dan tidak bias; (iii) peradilan informal/adat dianggap mampu memulihkan keharmonisan kelompok; dan (iv) terdapat perubahan kesadaran dan perilaku mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Berbagai opsi kedudukan peradilan adat Tidak dapat disangkal bahwa perbincangan mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional relatf sepi. Tidak seramai diskusi mengenai kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Perbincangan mengenai adat yang dikaitkan dengan peradilan formal tidak berkenaan dengan peradilan adat melainkan hukum adat. Dikatakan bahwa putusan-putusan peradilan formal menjadi salah satu sumber hukum adat dalam kurun Indonesia merdeka (Hooker 1978). Sepertinya ada dua sebab mengapa perbincangan mengenai peradilan adat dalam sistem peradilan nasional sepi. Pertama, ada asumsi bahwa topik mengenai hukum adat secara otomatis mencakup topik mengenai peradilan adat. Lebih lanjut, menurut logika ini, bila hukum adat diakui dalam produk legislasi dan putusan peradilan maka dengan sendirinya peradilan adat diakui. Kedua, berbeda dengan pengakuan legislasi atas hukum adat, pengakuan legislasi atas peradilan adat sudah tertutup semenjak kebijakan unifikasi peradilan dibuat sejak tahun 1951. Setelah unifikasi sistem peradilan, kebijakan-kebijakan yang keluar lebih mendorong ‘peradilan adat’ sebatas forum-forum penyelesaian sengketa atau forum perdamaian. Kebijakan semacam ini misalnya bisa dilihat pada UU Pemerintahan Desa dan berbagai peraturan organiknya. Kebijakan serupa berlanjut di Era Reformasi seperti yang bisa dibaca pada UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004. Pengecualiannya adalah UU Otsus Papua No. 21/2001 yang eksplisit mengakui peradilan adat yang diberikan kompetensi menyelesaikan kasus perdata dan pidana.
7
Berbeda dengan rute yang dipilih oleh pemerintah Eritera yaitu membentuk Pengadilan Komunitas atau otoritas Bougainville yang memperkuat Forum Penyelesaian Sengketa, Mahkamah Agung Republik Indonesia memilih cara lain untuk mengatasi tumpukan perkara di pengadilan. Cara lain tersebut adalah melahirkan kebijakan yang membolehkan pengadilan negara menyelesaikan kasus dengan cara mediasi. Kebijakan ini dapat ditemui pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sejauh ini negara atau Mahkamah Agung belum secara serius melirik atau mempertimbangkan peradilan adat sebagai institusi yang bukan saja bisa membantu mengurangi tumpukan perkara di peradilan formal tapi juga institusi yang mampu menyelenggarakan administrasi keadilan. Sebelum masuk ke dalam usulan opsi-opsi mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasonal, ada baiknya menoleh masa lalu peradilan adat di Nusantara. Lewat kebijakan membiarkan golongan penduduk Hindia Belanda diatur dengan hukum yang berbeda, hukum adat dan peradilan-peradilan adat diakui. Hukum adat diakui dan dipakai dalam penanganan kasus di pengadilan negara seperti Landraad. Hakim pada peradilan Landraad merupakan hakim negara namun menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris adat yang diundang resmi dalam persidangan (Ball 1982). Di daerahdaerah yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, peradilan adat (inheemscherechtspraak) diakui sekalipun perangkat peradilan tidak diadministrasi oleh negara atau pemerintah. Di daerah-daerah yang diperintah langsung, peradilan adat bahkan diatur oleh peraturan formal sejak 1938. Pada tahun yang sama, atas perjuangan Ter Haar putusan Landraad bahkan bisa dibanding ke Raad van Justitie di Batavia (Hooker 1978). Dari gambaran sangat singkat mengenai kedudukan peradilan adat pada masa pemerintahan kolonial tersebut, kita disuguhi sebuah pengetahuan bahwa Indonesia pernah memiliki periode sejarah mengenai bagaimana mendudukan peradilan adat dalam sistem peradilan formal atau nasional. Seperti pengalaman Eritrea, pemerintah kolonial Belanda menjadikan peradilan adat (landraad) sebagai bagian dari sistem peradilan formal. Konsekuensinya, hakim pengadilan adat oleh pemerintah dan dengan demikian peradilan adat diadministrasi oleh pemerintah. Konsekuensi kedua bahwa putusan peradilan adat dapat dibanding ke pengadilan formal yang lebih tinggi. Namun khusus di daerah-daerah yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, peradilan adat bukan merupakan bagian dari peradilan formal dan karena itu tidak diadministrasi oleh pemerintah. Konsekuensinya, putusan peradilan adat di daerahdaerah ini tidak bisa dibanding ke pengadilan negara karena peradilan adat tidak diintegrasikan ke dalam peradilan formal. Sebagai pemikiran awal, kebijakan atau tindakan yang diambil oleh pemerintah Eritrea, otoritas Bougainville dan pemerintah Hindia Belanda dapat dijadikan bahan untuk menentukan opsi sekaligus memilih bentuk kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Hal terpenting yang perlu diingat adalah seberapa jauh perbincangan 8
tersebut melihat peradilan adat sebagai solusi idiologis atau solusi praktis. Salah satu bahaya bila terlalu kental melihatnya sebagai solusi idiologis adalah tumpulnya kepekaan melihat realitas-realitas seperti yang digambarkan dalam diskusi akses terhadap keadilan. Dalam konteks ini baik rasanya membuka kembali apa yang pernah ditulis oleh Robert Cribb (2010) mengenai cara berpikir hukum warisan kolonial Belanda. Menurut Cribb, sebagian orang Indonesia terjebak dalam pemikiran hukum kolonial yang tidak melihat hukum sebagai representasi nilai-nilai universal melainkan sebagai representasi identitas (kultural) dan beraspek kekuasaan. Ada dua pesan penting dari pernyataan tersebut untuk diskusi mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Pertama, mengakui dan memberikan kedudukan pada peradilan adat pada hukum adat tidak lantas berbanding lurus dengan kurangnya kekuasaan negara atas administrasi keadilan dan terfasilitasinya identitas-identitas kultural yang sempit. Kedua, pengakuan dan pemberian kedudukan peradilan adat dlam sistem peradilan nasional seyogyanya dengan ikhtiar untuk menjadikan hukum (baik hukum negara maupun hukum adat) sebagai representasi nilai-nilai universal, bukan representasi nilai-nilai kelompok-kelompok kepentingan yang sempit.
9
Referensi Allot, Antony (1980), The Limits of Law. London: Butterworths. Assegaf, Rifqi S (2007), ‘‘Judicial Reform in Indonesia 1998-2006, dalam Naoyuki Sakumoto dan Hikmahanto Juwana (eds.), Reforming Laws and Institutions in Indonesia: An Assessment. Institute of Developing Economies Japan External Trade Organization. Ball, John (1982) ‘Indonesian Legal History 1602-1848. Sydney: Oughtershaw Press. Bedner, Adriaan dan Jacqueline A.C. Vel (2011), ’An analytical framework for empirical research on access to justice. Law, Social Justice and Global Development 1-29. Cribb, Robert (2010), ‘Legal Pluralism and Dutch Criminal Law and Colonial Order. Indonesia 90: 4766. Gray, Williamson Cheryl (1986), Indonesian Public Administration and Policy Reform and the Legal Process. PhD thesis at Harvard University. Lev, Daniel S (1973), ‘ Judicial Unification in Post-Colonial Indonesia. Indonesia, Vol. 16: 1-37. __________ (1985), ‘Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State. Indonesia, 40:57-74. Harper, Erica (2011), Customary Justice: From Program Design to Impact Evaluation. Rome: IDLO. Hooker, M.B (1978) ‘Adat Law in Modern Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Moore, Sally Falk (1973), ‘Law and social change: the semi-autonomous social field as an appropriate subject of study’. Law and society review 7(4):719-746. Slaats, Herman dan Karen Portier (1992) ‘Traditional decision-making and law: institutions and processes in an Indonesian context. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Simarmata, Rikardo (2011), Indonesian Law and Reality in the Delta A Socio-Legal Inquiry into Laws, Local Bureaucrats and Natural Resources Management in the Mahakam Delta, East Kalimantan. Leiden: Leiden University Press. ________________ (2013) ‘Filosofi dan Prinsip Peradilan Adat. Makalah pada workshop, ‘Memperkuat Kapasitas Peradilan Adat Melalui Penyusunan Pedoman Peradilan Adat di Kalimantan Tengah, diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan SAJI Project UNDP, Palangkaraya, 18 Juli 2013. Trubek, David M., dan Marc Galanter (1974), ‘Scholars in Self-Enstrangement: Some Reflections on the Crisis in the Law and Development Studies in United States, Wisconsin Law Review 4: 10621102. Trubek, David (2007), ‘The Owl and the Pussy-cat: Is there a future for law and development? Wisconsin International Law Journal 235. Van Benda-Beckmann, Franz (1989), ‘Scape-Goat and Magic Charm Law in development theories and practice’. Journal of legal pluralism and unofficial law 28:129-148. Watson, Alan (1993), Legal Transplants: an approach to comparative law. Athens dan London: The University of Georgia Press.
10