BAB III PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG KEADILAN BAGI KAUM PEREMPUAN
Bab tiga merupakan bab dimana penulis menjabarkan dan membahas tentang Soekarno yang adalah tokoh yang sangat populer yang hadir pada masa bangsa Indonesia mengalami penjajahan, masa pergerakan kemerdekaan, dan masa kemerdekaan. Tujuan utama dari pembahasan pada bab ini ialah mengemukakan tentang gagasan-gagasan keadilan bagi kaum perempuan. Adapun topik-topik yang dibahas pada bab ini adalah: Biografi Soekarno, Konteks yang Mendukung Pandangan Soekarno yang dibagi dalam dua sub topik yaitu Kenyataan Bangsa yang Terjajah dan Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan yang dilihat dari aspek Pendidikan, Pernikahan, Fisik dan Seksualitas, Wacana Publik, serta Politik dan diakhiri dengan Kemerdekaan dalam Pandangan Soekarno.
A. Biografi Soekarno Soekarno adalah seseorang yang memiliki tipe pekerja keras, senang membantu orang lain, inspirator, pandai berbicara, cerdas, berjiwa seni, dan berkemampuan. Ia melewatkan sebagian besar masa kecilnya bersama dengan kakeknya di Tulungagung (Kediri). Di sinilah Soekarno diajarkan tentang banyak hal, salah satunya diajarkan untuk selalu bersikap jujur dan berlaku adil. Pada masa kecilnya, Soekarno gemar menyaksikan pertunjukan wayang yang merupakan kebudayaan masyarakat Jawa. Ksatrya merupakan sosok yang hebat pada cerita pewayangan
yang hadir
dengan
ide-ide
tentang
kebaikan,
keadilan,
dan
mengutamakan kemanusiaan. Sosok ini kemudian menjadi mimpi bagi Soekarno
49
dalam memperjuangkan masa depan bangsa Indonesia yang pada saat itu mengalami banyak penindasan dari pihak penjajah.1 Setelah beranjak dewasa, Ia bergabung dengan Sarekat Islam yang dibangun atas dasar untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di dalam pergerakan itu, tekanan yang diberikan kepada anggota-anggotanya ialah untuk melindungi masyarakat dari penindasan serta melindungi kesatuan bangsa. Dengan demikian, ia mulai belajar dalam memperjuangkan dan mempertahankan persatuan serta kesatuan bangsa dengan menyerukan perjuangan melawan “kapitalisme”.2 Ketika menjadi seorang mahasiswa, ia berkenalan dengan dua pandangan yang berbeda secara mendasar satu sama lain mengenai sikap terhadap rezim kolonial: sikap pasif yang diambil oleh Tjokroaminoto. Sebaliknya, ia menjumpai sikap militan pada diri Tjipto Mangunkusumo yang adalah gurunya. Dalam prakteknya, Tjipto menyerukan bagi para pengikutnya agar memiliki keberanian untuk mempertahankan keyakinan dalam berjuang bagi Tanah Air. Pada diri Tjipto, Soekarno menemukan kembali bahasa para ksatrya dari dunia pewayangan yang telah meninggalkan kesan begitu mendalam pada dirinya ketika masih kecil.3 Berdasarkan biografi dari Soekarno, disimpulkan bahwa pemikiran yang dikembangkan oleh Soekarno tentang keutuhan bangsa, keadilan, dan cita-cita kebangsaan sangat dipengaruhi kuat oleh kebudayaan Jawa yang tradisional (pewayangan) dan ideologi anti-Barat yang pada saat itu menjajah bangsa Indonesia serta tidak lepas dari pengaruh ajaran di dalam keluarga yang menekankan baginya untuk menjadi pribadi yang bersikap jujur, berpihak kepada orang-orang yang lemah dan bertindak adil. 1
Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987), 27-28 Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30S (Yogyakarta: Galangpress, 2009), 44. 3 Ibid., 33-68. 2
50
Soekarno yang hidup pada masa penjajahan, kemudian bertekad untuk membela kebenaran dan keadilan serta menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tekadnya yang bulat didasarkan pada kenyataan pahit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Adapun hal tersebut akan dibincangkan dalam point berikut ini. B. Konteks yang Mendukung Pandangan Soekarno B.1. Kenyataan Bangsa yang Terjajah Sejarah masa lampau bangsa Indonesia dilatar belakangi oleh konteks kemanusiaan yang sangat memprihatinkan dalam bidang: ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya. Ketidak-adilan, penyelewengan, dan penindasan yang dialami berdampak pada kebebasan dan kemerdekaan dari setiap warga masyarakat. Di bawah kekuasaan bangsa lain, Indonesia mengalami penderitaan antara lain: perendahan martabat sebagai manusia, diskriminasi, dirampasnya tenaga dan harta serta eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh kaum penjajah terhadap rakyat Indonesia. Selama masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengalami penindasan dari pihak koloni yang memerintah berdasarkan kebijakan perdagangan bebas. Pihak koloni memberlakukan kerja paksa yang dikenal dengan sebutan “Sistem Tanam Paksa” bagi masyarakat pribumi dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang besar bagi pihak mereka. Sebaliknya masyarakat pribumi mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kemiskinan yang sangat memprihatinkan. Dengan keadaan terpaksa, rakyat pribumi harus memusatkan segala bentuk perhatian mereka pada tanaman ekspor sehingga menyebabkan turunnya produksi pangan, dan menimbulkan kelaparan, rendahnya upah, besarnya pajak, serta kemiskinan di mana-mana. Sebagai akibatnya, banyak kritik yang dilontarkan lewat tulisan, pidato, yang mendesak agar
51
dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Kritik-kritik ini berhasil membawa masyarakat pribumi pada kualitas hidup yang lebih menjanjikan melalui pemberlakuan Politik Etis dalam tiga bidang yaitu, ekonomi, politik dan pendidikan.4 Dengan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap bangsa Indonesia maka timbulah sikap anti-imperialisme yang ditunjukkan oleh Soekarno. Menurutnya, imperialisme adalah suatu sistem yang ekspolitatif, kapitalisme yang mendorong praktik-praktik imperialis. Imperialisme adalah suatu hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah dan mengatur ekonomi dan negara orang lain.5 Karena itu ia mengajak rakyat Indonesia untuk melawan imperialisme, baik sebagai sistem politik maupun sebagai sistem ekonomi.6 Berakhirnya kekuasaan Belanda tidak berarti Indonesia terbebas dari penderitaan. Hadirnya bangsa baru yakni Jepang membawa perubahan bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia percaya akan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal pendudukannya, Jepang menunjukkan sikap yang baik7 sehingga disambut hangat oleh rakyat Indonesia. Sayangnya, tindakan tersebut hanyalah merupakan upaya untuk 4
Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 5-10. Dalam bidang ekonomi diadakan peningkatan pertanian dengan jalan memperbaiki irigasi dan mengurangi kepadatan penduduk yang ditempuh dengan kebijakan emigrasi. Dalam bidang politik, penguasa kolonial menempuh kebijakan yang lebih terbuka, antara lain dengan membuka peluang otonomi dan demokrasi. Dalam bidang pendidikan adanya perkembangan dengan cara diperluasnya pendidikan bagi kaum pribumi baik pendidikan dasar, menengah, bahkan juga pendidikan tinggi serta dibukanya peluang untuk melanjutkan studi di Belanda bagi pemuda yang berprestasi. Walaupun demikian, terjadinya diskriminasi dalam kebijakan pendidikan Politik Etis. Pendidikan dijalankan dengan dua pola yakni; pendidikan untuk rakyat umum dan pendidikan dengan pola Barat. Pola yang kedua lebih tinggi mutunya, dan hanya dimasuki oleh orang Eropa, Indo, atau kalangan Priyayi pribumi. Lain halnya dengan pendidikan rakyat yang mutunya lebih rendah dan lambat perkembangannya. 5 Baskara T. Wardaya, Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30S (Yogyakarta: Galangpress, 2009), 45. 6 Ibid., 46. 7 Hendri F. Isnaeni & Apid, Romusa: Sejarah Yang Terlupakan 1942-1945 (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2008), 29. Sikap baik yang ditunjukkan oleh pihak Jepang dalam menarik rasa simpati bahkan kepercayaan dari rakyat Indonesia ialah dengan memperbolehkan berkibarnya Bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan, dan bahasa Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat.
52
menghimpun dukungan dari rakyat pribumi demi kepentingan ekonomi mereka. Pada akhirnya, Jepang mulai membentuk sistem tenaga kerja paksa yang dikenal dengan sebutan romusha8 bagi rakyat pribumi untuk bekerja di pabrik, pelabuhan, atau perkebunan, dengan bayaran murah atau malah tanpa dibayar, tanpa jaminan kesehatan dan makanan yang baik. Dengan demikian penulis melihat bahwa secara kasat mata rakyat sangat menderita. Dengan liciknya dua kekuasaan besar yang berkuasa pada saat itu yakni Belanda dan Jepang memperdaya rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan mereka. Melalui cara kekerasan; tenaga, waktu, ladang yang merupakan harta yang dimiliki oleh rakyat pribumi diperas habis-habisan. Para penguasa pribumi juga dijadikan alat yang efektif untuk memaksa rakyat melaksanakan keinginan penjajah yang tidak lain untuk memenuhi kepentingan mereka. Dalam kondisi ini, kaum perempuan pun turut mengalami keadaan yang tertindas dan terdiskriminasi dari berbagai aspek. Pokok ini akan dibicarakan dalam pembahasan berikut. B.2. Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan Diskriminasi merupakan sebuah gambaran yang tertuju pada kelompok ataupun pribadi seseorang yang sementara berada pada suatu keadaan yang tidak berdaya, keadaan yang tidak menguntungkan, dan keadaan yang tidak adil. Pada fokus pembicaraan ini, kata diskriminasi diarahkan pada posisi yang tidak adil yang 8
Romusha adalah sistem kerja paksa yang ditetapkan oleh Jepang bagi rakyat Indonesia. Pada kenyataannya, keadaan yang dialami oleh romusha sangat memprihatinkan. Kemiskinan, penindasan, penderitaan yang berakibat pada kematian merupakan suatu hal yang tidak dapat ditolak oleh romusha. Dalam menjalankan pekerjaannya, terdapat pembagian jatah yang tidak layak bagi para romusha. Misalnya, pemberian makanan hanya diperuntukkan bagi mereka yang terdaftar sebagai romusha, bagi yang tidak terdaftar sebagai romusha tidak memperoleh jatah makanan. Jatah makanan yang diberikan bagi para romusha diberikan dalam porsi yang tidak sebanding dengan tenaga yang harus mereka keluarkan. Namun, untuk mempertahankan hidup, dengan unsur keterpaksaan mereka harus tetap bertahan sebagai romusha. Dalam kondisi yang demikian, maka sebagian romusha meninggal. Selain itu, pakaian yang diberikan oleh para romusha berupa baju dan celana yang terbuat dari karung goni untuk laki-laki dan lempengan karet untuk perempuan. Bagi mereka, memakai pakaian tersebut adalah siksaan dan sangat tidak nyaman karena menyebabkan panas dan gatal-gatal, juga menyebabkan iritasi kulit apabila bergesekan dengan serat-seratnya yang kasar. Beratnya beban kerja yang diberikan bagi romusha pun berdampak pada kondisi fisik dan psikis mereka.
53
dialami oleh kaum perempuan. Perempuan diperlakukan sebagai boneka, sebagai benda mati dan diperlakukan seenaknya oleh kaum yang merasa bahwa dirinya lebih unggul (laki-laki) dari kaum perempuan. Dalam membahas tentang diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan maka penulis berkaca dari pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno berkaitan dengan cerita-cerita dalam agama-agama monotheisme untuk menjelaskan dan menguraikan tentang kedudukan serta peran yang tidak sejajar antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada diskriminasi. Berikut simak uraiannya:9 Cerita Yahudi-tua tentang pembuatan Siti Hawa, bukan menurut “gambar Tuhan”, tetapi dari tulang rusuk Adam, tidakkah cerita ini bermaksud menggambarkan bahwa perempuan itu adalah “kelas kedua” dari laki-laki? Dan bukanlah orang katakan pula, bahwa Hawalah yang menjadi sebabnya Adam terusir dari surga? Bukankah oleh karena itu perempuan lantas dikatakan “makhluk dosa” dan makhluk yang tak suci? Di agama Yunani pun digambarkan salahnya aturan mengambil keturunan dari garis ibu itu dengan perkataan Dewa Apollo yang berbunyi: “bukan ibu yang membuat anak, dia hanyalah menjaga benih yang ditanamkan kepadanya oleh laki-laki. Orang juga dapat menjadi bapa dengan tidak beristeri”... Begitu pula dengan Hindu-tua perempuan direndahkan. Dalam Kitab Rig Veda dituliskan sabda Manu bahwa perempuan itu “selalu memikirkan kesyahwatan, selalu marah, selalu palsu dan tidak jujur... Menurut tabiatnya, perempuan itu “selalu mau menggoda kaum laki-laki, oleh karena itu laki-laki mesti selalu hati-hati kepadanya... Perempuan tak pernah dapat berdiri sendiri”. Di lain tempat Manu berkata: “Orang hilang kehormatannya karena perempuan; asalnya permusuhan adalah perempuan; karena itu jauhilah perempuan.” Agama Budha pun, yang umumnya begitu adil, sekonyong-konyong menjadi tidak adil terhadap perempuan kalau membicarakan kedudukan kaum perempuan: “perempuan itu makhluk dosa; romanmuka perempuan seperti keramat, tetapi hatinya seperti setan.”
Disimpulkan bahwa uraian di atas mejelaskan pada dasarnya cerita-cerita yang bernuansa agama pun turut menghadirkan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak lagi dilihat sebagai pembawa berkat tetapi sebaliknya sebagai pembawa bencana dan sumber dosa. Keberadaan perempuan hanya dipandang sebagai “alat” yang dapat menghadirkan keturunan. Selebihnya, perempuan tidak memiliki posisi yang sama dengan laki-laki karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karena itu perempuan adalah makhluk kelas dua. Kenyataan ini memberikan 9
Sukarno, SARINAH: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.( Jakarta : Inti Idayu Press, 1984), 53.
54
kontribusi terhadap penafsiran bagi kedudukan serta posisi antara laki-laki dan perempuan. Artinya ialah, sebagai makhluk kelas dua, perempuan harus patuh terhadap laki-laki karena laki-laki memiliki kekuasaan lebih dibandingkan dengan perempuan. Perempuan harus mengabdikan seluruh hidup dan kerjanya dalam mengurus urusan rumah tangga. Hal ini berkaitan erat dengan adanya anggapan terhadap ketidakmampuan bahkan kelemahan kondisi fisik dari perempuan itu sendiri yang seakan-akan menjadi pendukung terjadinya diskriminasi bagi kaum perempuan. Adapun ketidakadilan/diskriminasi yang dialami kaum perempuan dapat dikaji melalui beberapa aspek, antara lain: B.2.1. Pendidikan Pada masa penjajahan, perempuan terisolasi dan terdiskriminasi dari berbagai macam aspek, salah satunya ialah pendidikan. Sejak kecil hingga besar, laki-laki mendapat kesempatan duduk pada bangku-bangku sekolah. Sebaliknya, banyak kaum perempuan dikurung, tidak diizinkan untuk bersentuhan dengan dunia luar dan tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Soekarno mengatakan bahwa:10 “...banyak perempuan yang masih dikurung, banyak yang tidak dikasih kesempatan maju ke muka di lapangan masyarakat, banyak yang baginya diharamkan ini dan itu, maka tidak heran kita, kurang banyak kaum perempuan yang ilmunya membumbung ke udara. Tapi ini tidak menjadi bukti bahwa kualitas dan ketajaman otak perempuan kalah dengan otak laki-laki. Kualitasnya sama, ketajamannya sama, kemampuannya sama, hanya kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu..... kita wajib berikhtiar membongkar ketidakadilan masyarakat terhadap kaum perempuan itu!
Dengan tidak dapat dibantah lagi, apa yang dikatakan oleh Soekarno merupakan sebuah kebenaran yang harus diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sama, memiliki keunggulan yang sama. Karena itu laki-laki dan perempuan harus diberi kesempatan yang sama. Hanya dengan tindakan yang benarbenar adil yakni dengan menghilangkan interpretasi yang negatif bahwa perempuan 10
Ibid., 30
55
tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki, dan memberikan kebebasan bagi kaum perempuan untuk keluar dari zona gelapnya dan berbaur dengan laki-laki dalam dunia pendidikan rendah hingga pendidikan yang lebih tinggi agar dapat mengejar ketertinggalannya. Wanita yang terpelajar, dapat bekerja dan mencari nafkah sendiri dan hidupnya tidak tergantung dari saudara laki-laki atau suaminya serta tidak menjadi orang yang mudah dibodohi. B.2.2. Pernikahan Dalam kehidupan keluarga lebih tepatnya kehidupan pernikahan, suami dan isteri akan berhadapan dengan berbagai macam permasalahan dan secara bersamasama pula mencari jalan keluar bagi permasalahan yang mereka alami. Namun, pada banyak kasus yang dialami oleh sepasang suami isteri terkadang adanya pembiaran terhadap masalah-masalah tertentu, misalnya masalah ketidakadilan karena adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan yang terjadi dalam rumah tangga. Soekarno mengawali pandangannya tentang ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan di dalam rumah tangga dengan sebuah pengalaman yang dia alami sewaktu masih menjadi orang interniran11. Berikut ini akan diceritakan mengenai kisah tersebut:12 “Pada suatu hari ia bertamu dengan seorang kawan beserta isterinya pada salah seorang kenalannya. Setelah dipersilahkan duduk, salah seorang menanyakan tentang keberadaan nyonya rumah. Dengan wajah yang menjadi sedikit kemalu-maluan, tuan rumah (suami) menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Ia mengatakan bahwa isterinya berada dalam keadaan yang baik-baik saja, tetapi untuk saat ini isterinya tidak berada di rumah, - ia menengok bibinya yang sedang sakit. Singkat cerita, Soekarno yang duduk berhadapan dengan kain yang tergantung di pintu, melihat kain tersebut bergerak dan terlihat sepasang bola mata yang sedang mengintai, pun terlihat kaki dan ujung sarung perempuan! Soekarno mengenal dengan begitu baik bahwa perempuan tersebut adalah nyonya rumah.”
11
Ibid., 13. Orang interniran: orang tahanan status diasingkan. 12 Ibid., 13, 14.
56
Cerita di atas memberikan sebuah gambaran bahwa dalam kehidupan rumah tangga, kemanusiaan seorang perempuan tidak dihormati oleh laki-laki. Ini merupakan salah satu permasalahan yang hendak ditegaskan oleh Soekarno. Baginya, banyak suami yang menghargakan istrinya sebagai mutiara, tetapi sebenarnya merusak kebahagiaan istrinya. Dengan gaya bahasanya yang khas, ia mengatakan demikian:13 “Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya sebagai mutiara, - tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan.”
Bagi penulis, kalimat di atas diumpamakan sebagai selembar uang kertas yang memiliki gambar berbeda ditiap sisinya tetapi berada pada satu helai kertas yang tidak dapat dipisahkan. Perumpamaan tersebut hendak menjelaskan kalimat sebelumnya yang menggambarkan bahwa pada satu sisi, perempuan diperlakukan bagaikan dewi. Sebagai bentuk penghargaan terhadap perempuan, maka si perempuan harus tetap berada di rumah karena dianggap sebagai tempat yang aman, tempat di mana perempuan tidak merasa terancam dari gangguan orang luar. Di sisi lain, perempuan diperbudak, dikekang, tidak dapat menikmati haknya sebagai manusia yang bebas, tidak memperoleh keadilan, dan tidak diberikan kesempatan untuk berekspresi. Sayangnya, perempuan-perempuan yang berada pada posisi demikian tidak dapat bertindak untuk keluar dari situasi yang memperbudak. Dapat diinterpretasi bahwa penyebab utama dari sikap diam yang diambil oleh pihak perempuan ialah takut terhadap perceraian karena perempuan tidak dididik bahkan tidak diberi kesempatan untuk bekerja dan mencari nafkah sendiri, tidak diberi kesempatan untuk dapat berdiri sendiri. Sehingga dengan demikian timbul perasaan takut untuk diceraikan, perasaan takut nantinya tidak dinafkahi oleh suami sehingga tidak berani bersuara dan menjadi 13
Ibid., 15.
57
kaum yang penurut, padahal jelas terlihat perempuan tidak mengalami kebahagiaan, sebaliknya menelan pahitnya ketidakadilan dalam rumah tangga. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Soekarno, dalam sebuah buku yang berjudul Kartini, dijelaskan oleh Soeroto bahwa perempuan yang telah ada dalam hubungan pernikahan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Alasan yang mendukung adalah karena laki-laki diperbolehkan berpoligami dan perempuan tetap berdiam diri. Demikian penuturannya:14 “.......Wanita dalam perkawinan lebih banyak mengalami duka daripada suka. Sebab sang suami tidak hanya boleh mempunyai isteri lebih dari satu, tetapi disamping itu ia juga masih dapat menyeleweng memelihara wanita-wanita lain tanpa dikawin. Bahayanya keadaan ini bertahan sekian lama, karena kaum wanita selalu menerima nasibnya dengan berdiam diri (bahasa Jawa: “nrima”)! Mereka tidak pernah menentang, tidak pernah memberontak karena mereka takut diceraikan dan kehilangan nafkahnya.”
Melalui pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa perceraian yang merupakan alasan dimana kaum perempuan menjadi tidak berdaya atas situasi yang dialami sehingga lebih memilih untuk menjadi kaum yang penurut. Mengenai poligami yang merupakan bentuk ketidakadilan bagi kaum perempuan, maka setidaknya berbicara juga tentang kehidupan pribadi Soekarno yang mempraktekkan poligami dalam pernikahannya. Sebuah buku yang berjudul Soekarno, Perempuan, dan Revolusi yang ditulis oleh Ashad Kusuma Djaya, menginformasikan bahwa kehadiran perempuan-perempuan di sekeliling Soekarno, membantunya dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Diinformasikan pula bahwa mereka memberikan kontribusi baik dalam hal-hal yang bersifat maternal, kepemimpinan dan spiritual pada kehidupan politiknya.15 Bagi sebagian orang,
14
Sitisoemandari Soeroto, KARTINI, Sebuah Biografi (Jakarta: Penerbit PT Gunung Agung, 1986), 57. Ashad Kusuma Djaya, Soekarno, Perempuan, dan Revolusi : Sebuah Biografi Politik dan Intelektual (Bantul: Penerbit Kreasi Wacana, 2013), 4. Secara keseluruhan pada buku ini dijelaskan tentang perempuanperempuan yang berada di sekeliling Soekarno mulai dari Ibunya, Sarinah, sampai kepada isteri-isterinya. Menurut penuturan dari buku ini, semua perempuan yang hadir di dalam kehidupan Soekarno memberikan 15
58
informasi ini dapat diterima karena memiliki alasan yang kelihatannya bernada positif. Tetapi bagi sebagian orang lagi, informasi ini dilihat sebagai pembelaan atas apa yang dilakukan oleh pemimpin bangsa. Bagi mereka yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, salah satunya Toeti Kakiailatu yang adalah wartawan istana pada masa kepemimpinan Soekarno, mengatakan bahwa Soekarno adalah sosok yang sangat ramah, sopan terhadap wanita meskipun dalam hal ini dia menikahi banyak wanita (berpoligami).16 Selain itu, Dalimin Ronoatmodjo yang adalah pengawal pribadi Soekarno juga menuturkan bahwa sosok Soekarno adalah sosok yang dekat dengan siapa saja, termasuk dengan perempuan.17 Kedekatannya dengan banyak perempuan yang kemudian dijadikan isteri tentu berdampak pada isteri-isterinya yang terdahulu. Tidak ada seorang perempuan pun yang dengan senang hati bersedia dipoligami. Dalam kasus ini, Soekarno adalah seseorang yang memiliki kekuasaan karena itu para isteri hanya bisa menerima apa yang menjadi keputusannya. Mereka lebih memilih untuk tidak banyak berkomentar, tetapi memendam perasaan yang dipenuhi dengan rasa kecewa, sakit hati karena mendapat perlakuan yang diskriminatif. Dapat dikatakan Soekarno mengingkari kepentingan pokok yang menjadi alasan pembelaannya terhadap kaum perempuan. B.2.3. Fisik dan Seksualitas Selain kedua bentuk diskriminasi yang telah dibahas, pada masa penjajahan Belanda, perempuan yang dipekerjakan di perkebunan kopi sering menjadi sasaran kontribusi yang membangun bagi kepribadian bahkan kehidupan politik Soekarno. Digambarkan bahwa perempuan-perempuan tersebut memiliki andil besar bagi perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno. 16 Informasi ini diperoleh melalui perbincangan pada Mata Najwa tanggal 5 Juni 2013, bagian pertama yang membahas tentang Soekarno dengan nara sumber Toeti Kakialatu yang adalah Mantan Wartawan Istana pada masa kepemimpinan Soekarno. http://www.youtube.com/watch?v=YLhE-MOngoQ. 17 Informasi ini diperoleh melalui perbincangan pada Mata Najwa tanggal 5 Juni 2013, bagian kedua yang membahas tentang Soekarno dengan nara sumber Dalimin Ronoatmodjo yang adalah Mantan Pengawal Pribadi Presiden Soekarno. http://www.youtube.com/watch?v=4aHYIemtSYY.
59
kekerasan fisik dan seksual.18 Soekarno juga mengatakan hal yang senada berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan adanya diskriminasi terhadap unsur seks seorang perempuan. Misalnya; ketika terjadinya hubungan antara laki-laki dan perempuan sehingga menghasilkan anak di luar pernikahan maka perempuan yang seringkali dijadikan sebagai alasan utama terjadinya hal tersebut. Perempuan mendapat penghinaan dari berbagai pihak, dicemoh bahkan tidak jarang juga mendapatkan makian dari orang lain. Sebaliknya, laki-laki berada pada posisi aman dan tidak menanggung segala bentuk cemohan dan makian dari masyarakat. Dalam menanggapi peristiwa seperti ini, Soekarno mengkritik bahwa: 19 “Jari tunjuk masyarakat hanya menuding kepada perempuan saja, tidak menunjuk kepada laki-laki, tidak menunjuk kepada kedua pihak secara adil.”
Bagi saya, Soekarno hendak mengkritik masyarakat Indonesia bahwa persoalan di atas terjadi bukan karena kesalahan satu pihak saja, akan tetapi merupakan kesalahan bersama yang dilakukan oleh kedua pihak. Karena itu, ketika masyarakat hendak memberikan sanksi atas persoalan tersebut haruslah memberikan secara adil bagi keduanya. 18
Pada beberapa bagian yang diperankan di dalam film ini menunjukkan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan kepada kaum perempuan. Perempuan-perempuan Indonesia yang pada saat itu bekerja di perkebunan kopi milik Belanda, sering dijadikan sebagai bahan pelampiasan seksual dari tentara-tentara Belanda. Jika perempuan memberontak maka akan dipukuli dan diperkosa. Tidak hanya itu, perempuanperempuan muda bahkan dijadikan pelacur untuk memenuhi hasrat seksual dari tentara Belanda. Anggapan miring terhadap perempuan juga didapatkan dari tentara Indonesia yang menganggap bahwa dalam situasi perang, perempuan sebagai penghambat sehingga meremehkan kemampuan perempuan hanya karena alasan yang “konyol” bahwa perempuan tidak menggunakan celana panjang tetapi menggunakan “rok’ sehingga tidak dapat membantu laki-laki berperang melawan penjajah. Pada saat yang sama, perempuan menentang anggapan miring tersebut dan menunjukkan bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan juga pegang senjata dan turut bahu-membahu dalam melawan penjajah. Informasi ini diperoleh dari sebuah film Indonesia yang berjudul Darah Garuda-Merah Putih II yang merupakan drama fiksi historis Indonesia yang dirilis tahun 2010. Film ini disutradarai oleh Yadi Sugandi dan Conor Allyn dan dibintangi antara lain oleh Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Darius Sinathrya, Ario Bayu, Teuku Rifnu Wikana, Rahayu Saraswati, Rudy Wowor, Astri Nurdin, Alex Komang, dan Aldy Zulfikar. 19 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. (Jakarta : Inti Idayu Press, 1984), 24.
60
Sebuah buku yang berjudul Kisah Di Balik Pintu yang ditulis oleh Marching dikisahkan tentang seksualitas perempuan Indonesia mulai dari zaman pergerakan kemerdekaan hingga sekarang. Pada zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia, dikisahkan bahwa perempuan mengalami tindakan diskriminasi dalam hal seksualitasnya. Sulistina Soetomo yang adalah isteri dari Bung Tomo merupakan salah satu dari beberapa perempuan pada masa pergerakan kemerdekaan yang diperlakukan tidak adil dari suaminya. Digambarkan bahwa dalam hubungan mereka sebagai suami dan isteri, kesetiaan dan pengabdian seorang isteri adalah keharusan, tetapi kesetiaan seorang suami tidak; ia tergantung dari istrinya dan bahkan menjadi tanggung jawab sang isteri. Kalau dirasa sang isteri belum memenuhi “tanggung jawab” ini, si lelaki bisa mempunyai pilihan lain, sedang isterinya tidak. Pernyataan ini mendukung bahwa lelaki bisa lebih bebas dalam seksualitasnya. Sehingga pada akhirnya Sulistina menyetujui bahwa ia yang harus menjaga kesetiaan Soetomo, sedangkan kesetiaanya adalah tanggung jawab dirinya sendiri.20 Dari penjelasan di atas, maka siapakah yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam menghadirkan nilai-nilai yang adil dalam hal seksualitas bagi keutuhan rumah tangga? Apakah suami? Ataukah Isteri? Atau Keduanya? Pertanyaan ini seharusnya dimaknai dengan tepat untuk terwujudnya keadilan bagi laki-laki dan perempuan, juga bagi suami dan isteri. Sayangnya, hanya kaum perempuan yang dijadikan sebagai objek untuk terbentuknya kesetiaan, ia pula yang harus memikul tanggung jawab besar demi keutuhan keluarganya. Dengan demikian, terlihat adanya ketimpangan dimana begitu pentingnya kepentingan dan kenikmatan lelaki. Disinilah letaknya salah satu ketidakadilan dan diskriminasi terhadap seksualitas perempuan.
20
Soe Tjen Marching, Kisah Di Balik Pintu, Identitas Perempuan Indonesia: Antara Yang Publik & Privat (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011), 136. Yang dimaksudkan dengan kata “tanggung jawab” ialah persoalan hubungan antara suami dan isteri.
61
Seksualitas perempuan dijadikan sebagai syarat untuk keutuhan rumah tangga sedangkan laki-laki diberikan kebebasan penuh untuk tidak diatur dalam hal seksualitasnya. B.2.4. Wacana Publik Wacana publik yang dimaksudkan oleh Soekarno adalah wacana yang seharusnya dibangun atas dasar kemanusiaan. Berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan pada dunia publik, Soekarno menegaskan bahwa:21 “Kaum perempuan tidak cukup dengan mengejar persamaan hak dengan laki-laki sahaja, tidak pun cukup dengan mendapat persamaan hak dengan laki-laki sahaja... Kaum laki-laki boleh menjadi pegawai paberik, boleh berpolitik, boleh menjadi advocaat, boleh menjadi guru, boleh jadi anggauta parlemen – kenapa kaum perempuan tidak? Wahai, kaum perempuan, marilah bersatu, marilah rukun, marilah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu, merebut persamaan hak itu dari tangannya kaum laki-laki yang mau menggagahi dunia sendiri!”
Analisa yang dibangun melalui penguraian di atas ialah terdapat gambaran bahwa dalam praktek bermasyarakat telah terjadinya pengurungan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan, karena itu adanya penegasan bahwa kaum perempuan harus bangkit dan berjuang menjadi pribadi yang tidak hanya menerima keadaan yang tidak adil di dalam suatu masyarakat. Perempuan harus berani mengayunkan langkah di depan kaum laki-laki untuk menggapai haknya dalam berkarya pada wilayah publik. Dengan demikian disimpulkan bahwa wilayah publik tidaklah semata-mata menjadi wilayah khusus bagi kaum laki-laki, tetapi menjadi wilayah bagi keduanya yakni kaum laki-laki dan perempuan untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara bersama-sama. Di dalam perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk merebut haknya, perempuan berhadapan dengan kaum borjuis yang pada saat itu bersimpati kepada perempuan. Ironisnya, simpati yang diberikan oleh kaum borjuis adalah 21
Ir. Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005), 246
62
simpati yang terselubung yaitu untuk keuntungan bagi pihak mereka sendiri. Ideologi yang terbentuk melalui rasa simpati yang terselubung dari pihak borjuis ialah ideologi kapitalisme, dimana ketika kaum perempuan diperbolehkan bekerja pada wilayah publik, maka dengan mudahnya mereka (kaum borjuis) mendapat kaum buruh murah.22 Dengan memahami pernyataan di atas, maka dalam hal ini dapat diinterpretasi bahwa kebebasan yang diberikan bagi kaum perempuan untuk terjun pada wilayah publik tidak dapat menjamin seorang perempuan memperoleh keadilan yang benarbenar adil. Awalnya perempuan mengalami ketidakadilan karena tidak diperbolehkan bekerja pada wilayah publik, menanggapi ketidakadilan tersebut maka perempuan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan agar dapat bergabung pada wilayah publik. Namun, ketika kebebasan telah dikantongi, ketidakadilan tetap melekat pada diri perempuan yaitu dengan menjadi kaum buruh murah yang mendapat bayaran murah. Hal ini pun hendak menegaskan bahwa keberadaan perempuan di wilayah publik masih dipandang rendah dan dipandang tidak memiliki kualitas yang setara dengan kaum laki-laki sehingga sekalipun telah berada di wilayah publik tetap berada pada posisi yang rendah. B.2.5. Politik 22
Ibid., 246-247. Penjelasan yang lebih detail ialah sebagai berikut: Di dalam perjuangan itu (perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk memperoleh hak mereka), seluruh dunia burjuis adalah bersimpati kepadanya (kaum perempuan). Di dalam perjuangan itu mereka sangat sekali mendapat sokongan dari dunia burjuis itu, mendapat sokongan dari dunia kemodalan. Sokongan karena rasa “kemanusiaan”? Karena “rasa keadilan”, karena “rasa ethiek”? boleh jadi begitu; memang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki adalah juga soal kemanusiaan, soal keadilan, soal ethiek. Memang setiap manusia yang adildan sehat otak, harus menyokong aksi persamaan hak itu. Tetapi di atas dasarnya “rasa kemanusiaan” daripada kaum burjuis dan kaum modal itu adalah terletak rasa keuntungan yang tebal sekali. “Ethiek-nya kaum burjuis terhadap pada soal ini adalah ethiek-nya kepentingan kelas yang mentah-mentahan: jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan di dalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk ke dalam dunia luaran, jikalau kaum perempuan itu boleh masuk bekerja di dalam paberik, di dalam bingkil, di dalam perdagangan, di dalam kantor, maka kaum burjuislah yang sangat untung, kaum burjuislah yang mendapat kaum buruh murah! “..... Inilah yang memberi kebenaran pada perkataan Henriette Roland Holst bahwa pergerakan emansipasi wanita itu dulu sebenarnya adalah suatu pergerakan burjuis.”
63
Sebuah kalimat yang sering didengar bahkan dikatakan oleh banyak orang bahwa keberhasilan dan nama besar seorang laki-laki tidak terlepas dari sosok perempuan yang menjadi penentu suksesnya seorang laki-laki. Namun, realitas yang berkembang dalam pandangan masyarakat, perempuan adalah kaum lemah, tidak berdaya, tidak dapat bersaing dengan laki-laki dan sebagainya. Untuk mematahkan anggapan miring tersebut, maka pada masa perjuangan kemerdekaan banyak perempuan yang turut berdiri di depan untuk merebut kemerdekaan sekaligus menegakkan keadilan bagi kaum perempuan. Peran politik perempuan hendak memperlihatkan bahwa keberadaan perempuan tidak hanya sekedar sebagai isteri dan ibu rumah tangga tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan.23 Di dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Soekarno mendukung kaum perempuan untuk terlibat dalam dunia politik bersama dengan kaum laki-laki dalam mewujudkan Indonesia Merdeka. Ia mengatakan bahwa:24 “Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!”
Penulis memahami bahwa Soekarno menghimbau bagi kaum perempuan agar tidak hanya menjadi penikmat dari gerakan revolusi dalam memperoleh kemerdekaan, sebaliknya ia menginginkan agar kaum perempuan turut mengambil bagian di dalam gerakan revolusi dengan menjadi barisan revolusioner. Barisan yang memberikan kontribusi atau perubahan bagi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Di dalam seruannya terkandung makna bahwa perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Perempuan bukanlah kaum yang bodoh, lemah, bahkan secara tidak langsung tersirat 23
Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Penerbit Garba Budaya, 1999), 332. 24 Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. (Jakarta : Inti Idayu Press, 1984), 189.
64
bahwa bangsa Indonesia mutlak membutuhkan kaum perempuan untuk sama-sama bergerak dengan kaum laki-lakinya pada gerakan revolusi untuk kepentingan bersama. Selain himbauan yang diberikan Soekarno bagi kaum perempuan, ia juga mengkritik kaum laki-laki berkaitan dengan ketidakbebasan yang dialami oleh kaum perempuan dalam pembangunan masyarakat. Baginya, laki-laki harus mendidik dirinya sendiri untuk dapat memahami dengan benar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Kembali lagi ia tandaskan bahwa pada umumnya kaum laki-laki masih terikat dengan sistim patriarki atau masih ada dalam produk “pemerintahan kaum lakilaki”. Laki-laki harus belajar mengerti bahwa “soal wanita adalah soal kita yang amat penting. Wanita adalah elemen mutlak dalam perjuangan Indonesia”.25 Dengan demikian disimpulkan bahwa himbauan bagi kaum perempuan untuk bergerak aktif memberikan arti bahwa perempuan harus sadar akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Tanpa adanya kesadaran dari kaum perempuan, maka secara terus-menerus akan menjadi budak dan diperdaya oleh kaum yang berkuasa. Begitu juga kaum laki-laki harus memiliki kesadaran penuh untuk belajar memahami unsur-unsur yang adil antara laki-laki dan perempuan. Lakilaki harus melepaskan egoisme yang ada di dalam dirinya, dan keluar dari sistim patriarki yang mendominasi, kemudian bersama-sama dengan kaum perempuan dalam menciptakan kondisi yang adil dalam masyarakat. Kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya ialah ketika terciptanya suatu kemerdekaan sosial yakni kemerdekaan dimana setiap rakyat Indonesia menjalani kehidupan bersama yang di dalamnya terdapat harmonisasi dan tidak adanya pembedaan. Bangsa yang satu. Bangsa yang hidup dalam satu negara yang merdeka,
25
Ibid., 240-241. Dengan gaya bahasanya, Soekarno mengatakan bahwa “soal wanita dalam segala seluk-beluknya, sebenarnya pihak laki-laki masih harus mengadakan pendidikan pada diri sendiri dengan cara yang sehebat-hebatnya.”
65
bernaung dibawah satu bendera Merah Putih. Untuk memperoleh kemerdekaan yang utuh maka semua lapisan masyarakat yang ada dan tergabung dalam tubuh NKRI harus mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Artinya, tidak hanya kaum laki-laki yang diberikan tanggung jawab dalam berjuang untuk mengusahakan kemerdekaan. Sebaliknya, perempuan-perempuan Indonesia juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam menghadirkan Indonesia merdeka karena sejatinya, perempuan juga merupakan elemen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa perempuan harus menggerakkan “separuh dari tenaganya” untuk pembangunan masyarakat. 26 Namun, bukanlah “separuh tenaga” yang harus dikerahkan, tetapi “seluruh tenaga” dari perempuan yang harus dikerahkan untuk pembangunan masyarakat. Berdasarkan konteks bangsa yang terjajah serta adanya diskrimininasi melalui perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perempuan, kemudian mengarahkan Soekarno pada sebuah pemahaman bahwa bangsa dan rakyat Indonesia membutuhkan kebebasan dari tindakan-tindakan yang tidak adil dan yang menindas. Pemahaman dan pandangan kemudian dituangkan kedalam bukunya yang berjudul Sarinah. Berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang terdapat di dalam Sarinah. C. Gagasan Soekarno dalam Sarinah Di dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Soekarno yang dituangkan di dalam Sarinah. Adapun gagasan-gagasan tersebut antara lain; mengenai perempuan dan laki-laki, dikotomi publik-domestik, matriarki dan patriarki. Berikut ini adalah pembahasannya: C.1. Perempuan dan Laki-laki dalam Pandangan Soekarno
26
Ibid., 235
66
Soekarno adalah sosok yang menginspirasi banyak orang. Kepemimpinannya, kecerdasannya, perjuangannya bahkan sifatnya yang tegas mampu menarik perhatian banyak orang untuk terinspirasi melalui kehidupannya. Semasa hidupnya, ia banyak berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya yang bahkan juga menjadi inspirator bagi masa depannya. Perjumpaan dengan banyak orang (perempuan dan laki-laki) membuat ia memiliki pandangan yang beragam tentang sifat perempuan dan laki-laki. Keadaan ini pula yang membantunya memahami kelebihan dan kekurangan dari sosok perempuan maupun laki-laki. Berikut ini akan dibahas mengenai hubungan laki-laki dan perempuan dalam pandangan Soekarno yang terdapat di dalam Sarinah. C.1.1. Siapa Itu Perempuan? Secara garis besar, Soekarno memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia, pekerja keras, memiliki talenta dan kemampuan yang sama dengan laki-laki. Ia tidak melakukan pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena baginya jika lakilaki mampu menjadi individu yang sukses maka perempuan juga mampu dan berhak menjadi individu yang sukses karena memiliki kemampuan yang sama dengan lakilaki. Ia mengutarakan bahwa dalam pandangan sebagian besar rakyat Indonesia terkandung pemahaman bahwa perempuan adalah objek laki-laki. Perempuan diperlakukan sebagai barang yang berharga, barang yang selayaknya tetap berada pada satu posisi yang tidak dapat dipindahkan. Untuk dapat menjamin kenyamanan seorang perempuan maka ia harus tetap berada dalam posisi yang tidak mudah diganggu oleh orang lain. Ini merupakan sebuah pandangan yang keliru karena sejatinya manusia dalam hal ini perempuan adalah subjek dan bukan objek yang dapat diperlakukan dengan tidak adil dan tidak setara. Bagi Soekarno, persoalan di atas haruslah dipandang sebagai masalah yang harus dicari jalan keluarnya. Dipecahkan,
67
dipikirkan, dibolak-balikkan, bukan saja oleh kaum perempuan kita, tetapi juga oleh kaum laki-laki kita, oleh karena soal perempuan adalah memang satu soal masyarakat yang teramat penting. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kemanusiaan akan terus pincang, selama yang satu menindas yang lain. Oleh karena itu, soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah satu soal masyarakat dan negara.27 C.1.2. Laki-laki dan Perempuan Soekarno mengawali definisi tentang laki-laki dan perempuan dengan pemahaman bahwa laki-laki tak dapat ada jika tak ada perempuan, dan sebaliknya perempuan tak dapat ada jika tak ada laki-laki.28 Jika diinterpretasi, maka kalimat ini memiliki arti bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hubungan atau kaitan yang sangat erat. Keberadaan laki-laki tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perempuan. Dan sebaliknya keberadaan perempuan akan menjadi lebih berarti jika adanya kehadiran laki-laki. Jadi antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang sama dalam meningkatkan kelangsungan hidup keduanya. Karena itu, laki-laki tidak harus mendominasi perempuan dan perempuan tidak harus mendominasi laki-laki. Untuk dapat melengkapi pandangannya tentang laki-laki dan perempuan, Soekarno mengutip beberapa pemahaman yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain: 29 Olive Schreiner yang melambangkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk yang terikat satu kepada yang lain oleh satu “tali hidup” – begitu terikat satu kepada yang lainnya, sehingga yang satu tidak dapat mendahului selangkah pun kepada yang lain¸tak dapat maju setapak pun dengan tidak membawa juga kepada yang lain. Tidak berbeda jauh dengan pandangannya Schreiner, Charles Fourrire juga berpandangan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu masyarakat adalah ditetapkan oleh tinggi rendahnya tingkat kedudukan perempuan di dalam masyarakat. 27
Ibid., 18-19. Ibid., 20. 29 Ibid., 20-21 28
68
Selain itu, Baba O’lllah menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan sebagai dua sayap ekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya; jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.
Ketiga pandangan di atas telah membuka cakrawala berpikir Soekarno bahkan telah memberikan sebuah pertimbangan yang sama bagi kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Kedudukan yang tidak hanya mementingkan dan menguntungkan salah satu pihak, bahkan kedudukan yang tidak menjatuhkan dan merugikan salah satu pihak. Sayangnya, pada kenyataan yang terjadi perempuan adalah makhluk yang tertindas sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bab ini. Laki-laki nyata mendapat hak yang lebih, nyata mendapat kedudukan yang lebih menguntungkan. Secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, perbedaan tersebut hanyalah untuk kesempurnaan tercapainya tujuan kodrat alam, yaitu tujuan mengadakan keturunan, dan memelihara keturunan itu. Tetapi perbedaan ini tidaklah harus membawa perbedaan pula di dalam perikehidupan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk masyarakat maupun sebagai anggota keluarga.30 Melalui pandangan di atas menurut penulis, masyarakat tidak hanya terdiri dari kaum laki-laki saja, dan tidak pula terdiri dari kaum perempuan saja tetapi terdiri dari kaum perempuan dan laki-laki. Suatu masyarakat tidak akan menjadi sehat jika salah satu pihak menindas pihak yang lain. Sebaliknya, akan menjadi sehat ketika adanya perimbangan hak dan perimbangan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan yang sama adilnya. Perimbangan hak dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya harus diberlakukan pada wilayah publik, tetapi harus disertakan pada wilayah domestik yang adalah unit utama dalam pengembangan keadilan pada masyarakat. 30
Ibid., 26-27
69
C.2. Dikotomi Publik-Domestik Pemahaman yang dibangun oleh Soekarno berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan melahirkan sebuah kenyataan bahwa pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama dalam mengembangkan kemampuan dan potensinya. Sayangnya, potensi yang dimiliki oleh perempuan tidak tersalurkan dengan bebas dan sempurna karena dihimpit oleh adanya kenyataan dikotomi publikdomestik. Pembagian kerja publik-domestik berawal pada masyarakat primitif dimana laki-laki memiliki tugas berburu dan sebaliknya perempuan ditugaskan untuk mencari bahan makanan nabati (tumbuhan) dan mengolah makanan. Periode selanjutnya adalah periode zaman agraris. Pada zaman ini, perempuan berada pada masa keemasannya dimana titik-tumpu kelangsungan kehidupan manusia berada pada kemampuan perempuan sebagai produsen makanan. Periode berikutnya ialah periode dengan sistem peternakan yang ditandai dengan konsep hak waris milik yang diarahkan pada keturunan. Ketiga periode tersebut secara tidak langsung membentuk berbagai pola pikir serta pembagian tentang posisi perempuan dan laki-laki dalam mengembangkan potensi/kemampuannya. Banyak orang percaya bahwa wanita sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Sebaliknya laki-laki diberikan tugas pada wilayah publik.31 Keterlibatan perempuan dalam ranah publik mengandung resiko guncangan psikologis perempuan. Jika seorang perempuan melakukan aktifitasnya pada ranah publik maka akan dijumpai banyaknya anggapan yang meremehkan kemampuan seorang perempuan sehingga naluri kejiwaan sebagai perempuan akan kembali
31
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologi tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1985), 1.
70
menarik perhatian mereka pada pekerjaan-pekerjaan domestik.32 Artinya, naluri keperempuanan secara tidak langsung juga menjadi sekat yang menghambat seorang perempuan untuk keluar dari tekanan-tekanan yang ada dalam ranah domestik. Seiring dengan industrialisasi, maka gaya tarik menarik yang dialami oleh kaum perempuan dalam menentukan posisi dan perannya pada dunia publik maupun domestik akan semakin diperparah dengan adanya beban ganda yang dialami oleh kaum perempuan. Stereotipe domestik sebagai “kewajiban” perempuan merupakan bagian dari konsep patriaki yang tidak dapat begitu saja dihapuskan. 33 Menurut penulis, berkaitan dengan pembahasan mengenai dikotomi publikdomestik, Soekarno mengawalinya dengan sebuah cerita yang dialaminya yang kemudian menjadi pengantar dalam menjelaskan tentang keadilan bagi kaum perempuan.34 Pada pembahasan mengenai diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan, dijelaskan bahwa dalam kehidupan rumah tangga pun kaum perempuan masih ditempatkan pada posisi yang paling belakang. Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk berjumpa, bersinggungan dan bertukar pendapat dengan orang lain. Tetapi, dalam hal ini Soekarno tidak mendudukan permasalahan keadilan bagi kaum perempuan diawali dengan pembagian tugas atau pekerjaan rumah tangga yang adil antara laki-laki dan perempuan. Namun bagi penulis, pandangan yang dikemukakan olehnya ialah kaum perempuan harus keluar pada wilayah publik untuk mendapatkan “kemerdekaan/kebebasan” antara lain bebas berjumpa, bertukar pikiran dengan orang lain dan mengembangkan kemampuannya pada wilayah publik. Sementara itu, realitas tumbuhnya kapitalisme secara besar-besaran juga membawa dampak bagi posisi dan kedudukan perempuan dalam ranah publik maupun 32
Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan Implementasinya Bagi Gerakan Perempuan Indonesia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2003), 86 33 Ibid., 99. 34 Penjelasan tentang hal ini terdapat pada halaman 55.
71
domestik. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan bagi perempuan. Beban kerja perempuan menjadi berganda antara tuntutan kebutuhan hidup dan tuntutan peran domestik. Selebihnya, kapitalisme mendesak laki-laki membuat pembagian kerja dengan isterinya. Kapitalisme akhirnya menimbulkan banyak penyakit sosial yang sangat serius, mulai dari penindasan kaum buruh, kehamilan di luar pernikahan, pelacuran, ketimpangan ekonomi, gangguan kejiwaan, dan perbudakan.35 C.3. Matriarki dan Patriarki Untuk mendukung pembelaannya terhadap keadilan bagi kaum perempuan, Soekarno mengemukakan tentang beberapa topik yang baginya turut mempengaruhi terjadinya tindakan-tindakan yang tidak adil bagi kaum perempuan yang diantaranya paham matriaki dan patriaki. Karena itu, saat ini penulis akan menguraikan secara singkat tentang kedua paham tersebut. Salah satu alasan yang mendukung sehingga dipilihnya pembahasan tentang kedua paham ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang hadir pada masa lampau hingga masa sekarang masih terkontaminasi dengan konsep matriaki dan patriaki yang pada akhirnya berdampak pada hubunganhubungan yang tidak adil di dalam masyarakat. Demikian penjelasannya. Pada awalnya, untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup, maka manusia hidup secara nomaden. Pada waktu yang bersamaan pula, belum terbentuknya suatu garis keturunan yang berkuasa pada saat itu. Masyarakat hidup secara bersama-sama, bekerja bersama hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan agar kehidupan tetap berlanjut. Namun, pada akhirnya terbentuk garis keturunan Matriarki sebagai tanda bahwa perempuan berkuasa atas kelangsungan kehidupan. Selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya perempuan duduk di tahta kekuasaannya. Zaman semakin berkembang, pemenuhan kebutuhan hidup tidak hanya berfokus pada 35
Evi Nurleni, Teks Yang Memerdekakan: Interpretasi Terhadap SARINAH Sebagai Teks Ideologi dan Implementasinya Bagi Gerakan Perempuan Indonesia (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2003), 88.
72
kebutuhan pangan, tetapi berfokus juga pada pemenuhan kebutuhan sandang dan papan, maka kekuasaan yang awalnya dikendalikan oleh kaum perempuan, digantikan dengan sistem patriarki di mana laki-laki mengambil alih kekuasaan yang dulunya dikendalikan oleh kaum perempuan. Beralihnya matriarki kepada patriarki berarti beralih pula cara pandang bahkan aturan dan norma yang terbentuk dalam satu garis keturunan. Norma yang terbentuk pun mengandung berbagai macam nilai yang dapat berdampak positif ataupun negatif bagi laki-laki maupun perempuan. Berkaitan dengan keadilan bagi kaum perempuan yang selalu menjadi bahan perbincangan publik, maka dalam anggapan banyak orang, kita harus kembali pada sistem matriarki yang pada dasarnya menjunjung tinggi harkat, martabat, dan keadilan bagi kaum perempuan. Anggapan ini sama sekali bertolak belakang dengan pandangan yang dikemukakan oleh Soekarno. Baginya, matriarki hanya merupakan sejarah pada masa lampau yang hanya dapat dikenang oleh masyarakat saat ini, karena itu harapan untuk mengulang kembali sistem matriarki hanyalah sebagai sebuah hayalan. Jika hendak menghadirkan suatu sistem masyarakat yang adil antara laki-laki dan perempuan, dan yang memerdekakan maka dasarnya ialah masyarakat yang ada pada zaman sekarang ini yakni masyarakat modern.36
36
Sukarno, SARINAH Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. (Jakarta : Inti Idayu Press, 1984), 78. Secara tegas Soekarno mengatakan bahwa sejarah dunia pun membuktikan bahwa, hukum peribuan itu sepanjang jalannya sejarah yang ratusan dan ribuan tahun, makin lama makin surut, makin lama makin tak laku, makin lama makin lenyap. Karena itu bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara restan-restan matriarki-lah caranya kita mesti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini, bukan dengan menghidupkan kembali atau memelihara satu sistem yang basisnya adalah di dalam fase masyarakat yang zaman dahulu. Kita mesti mencari ikhtiarmemerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masyarakat sekarang, atau dengan basis masyarakat yang akan datang. Kalau sekarang masih ada hukum peribuan, maka buat sekian kalinya saya katakan: itu hanyalah sisa-sisa dan runtuhan-runtuhan belaka dari satu gedung adat yang telah gugur. Itu hanyalah suatu kematian yang terlambat. Satu sistem yang memperbudakkan perempuan tidaklah sehat, satu sistem yang memperbudakkan laki-laki tidaklah sehat. Yang sehat hanyalah satu sistem, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama merdeka, sama-sama beruntung, sama-sama bahagia. Maka oleh karena itu, cukuplah kiranya, kalau saya katakan di sini, bahwa pemecahan “soal perempuan” itu bukanlah harus kita cari di dalam hukum peribuan dan bukanlah pula di dalam matriarki, tetapi di dalam masyarakat yang lain, dengan aturan-aturan yang lain.
73
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum peribuan adalah hukum yang sudah ketinggalan zaman, dan tidak mampu lagi menjawab berbagai macam persoalan, salah satunya tentang ketidak-adilan yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan. Secara logis, zaman berganti sehingga kelangsungan kehidupan manusia yang ada pada zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang. Karena itu, terdapat perbedaan cara dalam menangani bahkan menyelesaikan sebuah permasalahan serta adanya perbedaan pola pikir antara zaman dahulu dengan zaman sekarang. Benarlah apa yang dikatakan oleh Soekarno bahwa dalam memberikan jalan keluar bagi ketidakadilan yang sementara dihadapi oleh kaum perempuan di zaman modern ini, maka sangat tidak tepat jika hendak kembali pada hukum peribuan yang sudah berakhir ratusan bahkan ribuan tahun yang lampau. Sementara itu, hukum perbapakan merupakan suatu sistem yang sudah maju. Hanya sayang sekali bahwa kemajuan ini dibarengi dengan perbudakan, perbudakan satu pihak guna menegakkan kepertuanannya pihak lain. Pokok hukum perbapakan itu digambarkan oleh Engels dengan satu kalimat yang jitu: “Ia berasaskan pertuanan orang laki-laki, dengan maksud tertentu untuk melahirkan anak-anak yang tak dapat dibantah lagi siapa bapaknya: dan perbapakan yang tak dapat dibantah itu amat perlu, oleh karena anak-anak ini nantinya harus mewarisi harta milik si bapa itu”. Hukum perbapakan timbul sesudah masyarakat mengenal “milik”, yakni mengenal “milik perseorangan”. Untuk menetapkan milik ini maka harus adanya keturunan yang dapat mempertahankan harta pusaka agar tidak jatuh pada tangan pihak lain, maka diadakanlah hukum perbapakan. Sistem kepemilikan tidak hanya dikhususkan bagi suatu barang atau harta, tetapi juga diberlakukan bagi perempuan. Perempuan pun dijadikan milik perorangan. Yang tadi-tadinya mempunyai kekuasaan untuk
74
“memiliki” kini menjadi sifat “dimiliki”, dari subjek menjadi objek. Karena itu jika seorang perempuan sudah ada dalam hubungan keluarga maka secara otomatis perempuan itu telah dibeli dengan sejumlah mahar dan menjadi milik suaminya. Hukum
perbapakan
adalah
hukum
yang
menindas
dan
merampok
serta
memperlakukan perempuan sebagai benda dan sebagai ternak. Bagi Soekarno, hukum perbapakan harus dikoreksi dan harus diganti dengan hukum perbapakan yang lebih adil dan baik.37 Dengan demikian kita digiring pada kesimpulan bahwa pada dasarnya antara hukum peribuan dan hukum perbapakan memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahan yang ada dalam kedua hukum tersebut sangat mengabaikan harkat dan martabat manusia bahkan lalai dalam mengutamakan sifatsifat kemanusiaan. Berkaitan dengan pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan oleh Soekarno tentang matriarki dan patriarki maka dalam kerangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, ia tidak serta-merta mengacu pada sistem garis keturunan bapak yang menegaskan bahwa hanya kaum laki-laki saja yang diperbolehkan berada di depan dan secara leluasa bergerak dalam dunia publik. Ia mewajibkan kaum perempuan turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Artinya perempuan tidak hanya berdiam di rumah dan melaksanakan tugas pada wilayah domestik. Sebaliknya perempuan diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya untuk berkecimpung pada wilayah publik dalam rangka menuangkan aspirasi serta bertindak tegas untuk kemerdekaan Indonesia. Karena pada dasarnya perjuangan kemerdekaan adalah solusi yang harus diupayakan untuk menciptakan suatu masyarakat yang adil dan makmur. D. Kemerdekaan dalam Pandangan Soekarno
37
Ibid., 84-96.
75
Soekarno
mengatakan
bahwa
ketika
suatu
bangsa
telah
sanggup
mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat yang sama bangsa itu telah masuk dalam kemerdekaan. Secara lanjut di dalam pidatonya, Soekarno menjelaskan bahwa: 38 “Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekan hatinya bangsa kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya dan menyusun rakyat Indonesia yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”
Dengan kata lain, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memberikan kesejahteraan bagi setiap rakyatnya. Bangsa yang benar-benar merdeka dapat tercermin melalui keadaan rakyatnya yang memperoleh kesenangan secara lahir batin, memperoleh kesehatan secara fisik dan psikis serta bangsa yang bebas dari ketidakadilan serta diskriminasi. Di dalam bukunya yang berjudul Indonesia Menggugat, ia mengatakan bahwa kemerdekaan adalah syarat yang amat penting untuk dapat melawan dan memberhentikan imperialisme. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasional serta penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-tiap negeri, tiap-tiap bangsa, baik bangsa kulit berwarna maupun bangsa kulit putih. 39 Kemerdekaan adalah dambaan setiap orang. Karena itu dalam mengemukakan pandangannya tentang kemerdekaan, Soekarno menetapkan fokus berpikirnya pada 38
Disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya pada rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung pada tanggal 01 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In dengan agenda pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia. Lihat, Saafroedin bahar & Nannie Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)- Panitia Persiapan Kemrdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1998), 89. 39 Ir. Soekarno, Indonesia Menggugat; Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Untuk Indonesia, 2001), 109.
76
kemerdekaan secara umum yakni kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia dari tangan penjajah. Kemerdekaan sejati yang dimaksudkan oleh Soekarno ialah ketika semua orang dapat menikmati kehidupan yang sejahtera, dan terbebas dari ketidakadilan serta penindasan. Kemerdekaan yang mampu menyehatkan rakyat baik secara fisik maupun psikis dan membebaskan setiap hati dari belenggu ketertindasan yang bertujuan untuk kesejahteraan kepentingan orang lain dan mendapatkan penghargaan yang selayaknya sebagai manusia. Itulah kemerdekaan yang memerdekakan. E. Kelebihan dan Kekurangan dari Pandangan Soekarno Dibandingkan dengan Susan OKin E.1. Kelebihan Yang menarik dari pemikiran Soekarno adalah jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, ia sudah hadir dengan sebuah konsep yang cemerlang yaitu konsep tentang kesetaraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia di mana kaum perempuan pun tidak luput dari konsep tersebut. Ia
berhasil menggerakan massa (laki-laki dan
perempuan) untuk melawan penjajah dalam merebut kemerdekaan RI dan berhasil mempersatukan semua lapisan masyarakat yang pada awalnya belum terbingkai dalam kesatuan RI sehingga menjadi satu kesatuan yang bersama-sama memiliki rasa cinta Tanah Air. Melalui pandangan-pandangannya yang menyemangati, rakyat tidak hanya dibatasi pada rasa cinta Tanah Air dan semangat kebangsaan, tetapi ia membawa Indonesia pada gerbang kemerdekaan. E.2. Kekurangan Dalam pandangan Soekarno, partisipasi perempuan dalam kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan suatu hal yang mutlak dan tidak bisa dinegosiasi dengan pihak manapun. Disamping itu perjuangan kesetaraan, kesejahteraan bahkan keadilan bagi kaum perempuan tidak hanya merupakan suatu
77
keharusan tetapi merupakan sebuah kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih bermartabat, beradab serta berkemanusiaan. Karena itu, membahas tentang perempuan merupakan suatu hal yang teramat penting. Selebihnya, keberpihakan kepada kaum perempuan merupakan nilai tambahan baginya. Sayangnya, terdapat perbedaan antara teori dan praktek yang dilakukan oleh Soekarno. Di satu sisi, ia menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan merupakan persoalan bersama yang harus dibahas dan dicari jalan keluarnya. Namun, di sisi lain ia menyeberang bahkan mengingkari pokok utama yang menjadi tujuan dari keberpihakannya terhadap posisi kaum perempuan. Nilai-nilai keadilan yang ia serukan berkaitan dengan keberadaan kaum perempuan dalam hubungan rumah tangga menjadi sesuatu yang hambar manakala ia mempraktekkan poligami pada kehidupan perkawinannya. Tindakan ini merupakan sebuah bentuk dukungan yang ditunjukkan oleh Soekarno bahwa kaum laki-laki berkuasa atas perempuan. Laki-laki yang dapat menentukan segala sesuatu dan kaum perempuan hanya dapat menerima setiap keputusan yang diambil oleh kaum laki-laki. Dapat juga dikatakan bahwa ini merupakan sebuah bentuk imajinasi keunggulan kaum laki-laki sekaligus merupakan simbol yang menegaskan bahwa patriaki merupakan sistem sosial yang sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Hal ini menjadi sebuah pukulan keras bagi kaum perempuan karena tidak adanya konsistensi antara gagasan dan praktek dari Soekarno.
78