BAB III PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG SABAR
Kesabaran merupakan ungkapan keteguhan dorongan agama dalam menghadapi dorongan nafsu. Jika kesabaran itu yang teguh dan dapat mengalahkan nafsu, maka diapun tergabung dalam golongan orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu melemah dan nafsu yang menang maka diapun tergabung dalam golongan syetan. Jika sudah ada ketetapan bahwa sabar itu merupakan ungkapan tentang dorongan agama dalam menghadapi nafsu, maka upaya menghadapi nafsu ini merupakan kekhususan yang dimiliki manusia.1 Sabar merupakan produk dari mengingat janji-janji Alah yang akan diberikan kepada orang orang yang rela memikul kesusahan melaksanakan amalamal bakti yang sukar dikerjakan, rela menanggung kepahitan karena mengekang diri dari syahwat yang diharamkan serta ia sadar bahwa segala bencana itu dari perbuatan Allah dan dari tasharruf-Nya kepada makhluknya.2 Dengan demikian kesabaraan membekali manusia untuk mempunyai kendali diri sehingga tidak terombang-ambing oleh nafsunya sendiri.3 Dalam bab III ini akan dijelaskan sabar menurut al-Ghazali yang meliputi: pengertian sabar, kedudukan sabar sebagian dari iman, pembagian sabar, sabar sebagai maqamat dalam tasawuf, jalan untuk memiliki sifat sabar, serta aplikasi sabar dalam pendidikan. A. Biografi al-Ghazali Untuk menganalisis secara mendalam terhadap pemikiran seorang tokoh, akan lebih baik jika disertai dengan latar belakang tokoh tersebut. Dengan demikian akan diperoleh suatu pemahaman yang komprehensif tentang tokoh tersebut, karena tidak jarang hasil pemikiran seorang tokoh 1
Ibnu Qudamah, MINHAJUL QASHIDIN, Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk, terj. Katur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm.343. 2 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al Islam I, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm.515. 3 Muhammad al-Ghazali, Menghidupkan Ajaran Rohani Islam, terj. Cecep Bihar Anwar, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm.317.
dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan serta kultur sosial yang melingkupinya. 4 Demikian juga dengan tokoh yang penulis teliti saat ini yaitu al-Ghazali yang merupakan sosok tokoh yang memiliki kemampuan dimensional dalam arti intelektual. 1. Kehidupan al-Ghazali Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali5, dilahirkan di Thus, salah satu kota di negeri Khurasan Persi (Iran)6, pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M.7 Beliau keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz.8 Kata-kata al-Ghazali kadang diucapkan dengan al-Ghazzali (dua “z”) yang diambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah memintal benang wol. Sedang al-Ghazali (satu “z”) diambil dari kata Ghazali yang merupakan nama kampung kelahiran al-Ghazali. Sebutan terakhir ini yang banyak dipakai.9 Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudera yang Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain.10 Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh. Sekalipun ia seorang miskin dengan usaha tenun wol, namun ia termasuk orang yang tekun
4
Siti Masitoh, Hukuman Sebagai Alat Pendidikan dalam Pandangan al-Ghazali, Skripsi, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, skripsi, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo, 2001), hlm.36, t.d. 5 Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran al-Ghazali, terj. LPMI, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1993), hlm.20. 6 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan, Studi tentang Aliran Pendidikan menurut al-Ghazali, terj. S. Agil Husin Al-Munawar dan Hadri Hasan, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm.9. 7 Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 1997), hlm.9. 8 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991), hlm.7. 9 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), hlm.135. 10 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendididkan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.9.
mengikuti majlis para ulama dan pencinta ilmu. Ia selalu berdoa agar putranya menjadi seorang ulama yang pandai dan berguna bagi sesama manusia. Tetapi usia ayahnya tidak memberi kesempatan untuk menyaksikan segala keinginannya dan doanya terkabul. Beliau meninggal dunia ketika al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad masih kecil. Kedua anak itu diamanatkan kepada sahabatnya yang sufi agar memberikan pendidikan kepadanya.11 Mula-mula al-Ghazali belajar agama sebagai pendidikan dasar kepada Ahmad bin Muhammad Razkafi. Kemudian pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nasir Ismaili. Setelah menamatkan studinya, alGhazali meningkatkan pendidikannya di Naisabur dan mengaji kepada alJuwainy, salah seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain. Kepadanya al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzhab fiqh, retorika, logika, tasawuf dan filsafat.12 Al-Ghazali sanggup bertukar pikiran dengan berbagai aliran agama dan menulis beberapa buku di berbagai cabang ilmu, sehingga keahliannya itu diakui dapat mengimbangi gurunya.13 Al-Juwainy sendiri kagum terhadap kepandaian al-Ghazali sehingga ia mengibaratkan dengan predikat bagaikan “lautan dalam menenggelamkan” (bahrun al-mughriq) karena al-Ghazali ahli dalam beberapa ilmu terutama dalam ilmu jadal (ilmu berdebat).14 Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan senang mencari kebenaran. Dalam sebuah karyanya beliau mengisahkan: “kehausanku untuk menggali segala hakikat, segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semenjak aku masih muda belia dan
11 M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu menurut al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologis Paedagogik, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm.22. 12 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali … Op. Cit., hlm. 10-11. 13 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk……..Op.Cit, hlm.8. 14 M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu……..Op.Cit, hlm.23.
hal itu merupakan tabiat dan fitrah yang telah diberikan Allah dalam kejadianku, bukan merupakan usaha dan rekaan saja.”15 Kewafatan al-Juwainy pada tahun 478 H / 1085 M menyebabkan kesedihan yang mendalam baginya. Peristiwa ini mengharuskannya melangkah lebih jauh, meninggalkan Naisabur menuju Mu’askar yang mana tempat ini sering digunakan untuk berkumpul para ulama ternama.16 Kegiatan pokok yang dilakukan al-Ghazali sebelum terjun menjadi guru besar Nizhamiyah adalah mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Perdana Menteri Nizhamul Muluk. Pada tahun 484 H / 1091 M, al-Ghazali diangkat menjadi dosen di Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi rektor universitas tersebut. Selama menjadi rektor al-Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang seperti fiqh, ilmu kalam dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran Kebatinan, Ismailiyah dan filsafat.17 Hanya empat tahun al-Ghazali mengajar di Universitas Nizhamiyah. Setelah itu ia mengalami krisis rohani, merasa hampa jiwanya. Secara diam-diam ia meninggalkan jabatannya dan menuju Syam untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyepi sambil merenung). Hal ini dilakukan setelah ia bergelut dengan skeptisisme yang tak kunjung usai, dan konflik psikis antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.18 Selama hampir dua tahun al-Ghazali menghabiskan waktunya untuk berkhalwat, ibadah dan itikaf di sebuah masjid di Damaskus. Untuk melanjutkan taqarrubnya kepada Allah, al-Ghazali pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian al-Ghazali menjalankan ibadah haji ke Mekkah,
15
Imam Ghazali, Penyelamat Jalan Sesat, terj. Nasib Musthafa, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002), hlm.87. 16 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali……Op.cit, hlm.11. 17 Ibid 18 Victor Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, terjemahan Ahmadie Thaha, (Jakarta:Pustaka Panji Mas, 1990), hlm.8.
Madinah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW, serta makam Nabi ibrahim as. Setelah itu ia meninggalkan kedua kota itu menuju Hijaz.19 Atas desakan Fakhrul Muluk (putera Nizhamul Muluk), pada tahun 499 H/1106 M al-Ghazali kembali ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nizhamiyah. Kali ini ia tampil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul mewarisi dan mengarifi ajaran Rasulullah SAW.20 Disamping sebagai orang yang beragama kuat, juga seorang sufi dan penunjuk jalan yang agamis yang sama sekali telah melepaskan motivasi kepentingan diri dalam menjalankan misinya.21 Tidak diketahui secara pasti berapa lama al-Ghazali memberikan kuliah di Nizhamiyah setelah sembuh dari krisis rohani. Tidak lama setelah Fakhrul Muluk wafat pada tahun 500 H / 1107 M, al-Ghazali kembali ke Thus. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca alQur’an dan hadits serta mengajar. Disamping rumahnya, didirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi.22 Al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H / 19 Desember 1111 M, dihadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujiduddin.23 2. Latar Belakang Pemikiran al-Ghazali Kondisi pemikiran Islam pada masa al-Ghazali diwarnai dengan pertentangan antar berbagai aliran pemikiran. Hal ini menandakan bahwa pemikiran Islam tengah berkembang pesat. Namun, sangat disayangkan, dialog-dialog intelektual dengan nuansa perdebatan itu mengarah pada upaya mempertahankan doktrin aliran masing-masing yang cenderung
19
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali…,Op.Cit. hlm.12. Ibid 21 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran…….,Op.Cit, hlm.13. 22 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali…., Op.Cit, hlm.13. 23 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk …Op. Cit., hlm. 10. 20
saling antagonistik. Aliran-aliran yang sangat populer ketika itu adalah aliran kalam, aliran filsafat, aliran tasawauf dan aliran batiniah.24 Al-Ghazali bertekad untuk mengetahui hakekat fitrah manusiawi, hakekat akidah-akidah, aliran-aliran filsafat yang dianut masyarakat dengan jalan mengikuti dua orang gurunya, kemudian membedakan mana yang benar dan yang salah dengan tetap memelihara perbedaan, jumlah serta pertentangannya.25 Untuk merealisasikan tekadnya, al-Ghazali mulai belajar ilmu kalam aliran kebatinan, kemudian teori-teori filsafat dan aliran tasawuf. Meskipun al-Ghazali selalu berbeda dengan para filosof, namun perbedaan itu kadang dalam istilah dan pikiran tertentu, atau dalam bukunya yang lain dipertahankannya. Al-Ghazali juga menentang ilmu kalam dan ulama kalam, namun ia tetap menjadi seorang
tokoh ilmu kalam. Tantangannya hanya
ditunjukkan pada tingkah laku dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankan oleh mereka dengan mulut.26 Pada masa al-Ghazali, kehadiran aliran Batiniyah atau Ta’limiyah yaitu madzhab Isma’illiyah dari Syi’ah juga mendapat kritikan al-Ghazali karena telah mengakibatkan generasi muda banyak yang tersesat jalan. Mereka berpendapat bahwa merekalah yang memperoleh pengajaran khusus dari Imam Ma’shum (yang terhindar dari dosa), yang mereka pandang sang penunjuk, karena Nabi Muhammad SAW telah meninggal dunia sehingga tidak bisa dimintai petunjuknya lagi. al-Ghazali menolak aliran tersebut dan membantah pendapat mereka dengan jawaban-jawaban yang fundamental serta kokoh, bahkan dijelaskannya bahwa Imam itu pun terkadang melakukan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Ghazali sangat menaruh perhatian untuk mengkritik habis pendapat-pendapat mereka, 24
M. Solihin, Epistimologi Ilmu, dalam Sudut Pandang al-Ghazali, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 23. 25 Imam Ghazali, Pembebas … Loc. Cit. 26 Ahmad Hanafi, Pengantar … Op. Cit., hlm. 153.
dengan dasar pertimbangan bahwa tersebar luasnya aliran tersebut akan menimbulkan disintegrasi sosial.27 Penguasaan terhadap aliran itu menyebabkan al-Ghazali ahli di bidang itu dengan memunculkan karya-karyanya pada setiap bidang tentang faham tersebut yang bersifat kritik dan verifikatif developmental. Hal itulah yang melatar belakangi pemikiran al-Ghazali yang pada akhirnya dapat melakukan suatu pemikiran Islam terhadap aliran-aliran yang muncul pada masanya, sehingga ia mampu tampil dengan teori tersendiri tentang kebenaran yang selalu dikaitkannya dengan ajaran islam.28 3. Corak Pemikiran al-Ghazali Yang menarik perhatian dalam sejarah hidup al-Ghazali adalah kehausannya akan segala macam pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu. Pengalaman pengembaran intelektual dan spiritualnya berpindah-pindah dari ilmu kalam ke filsafat, kemudian ke dunia batiniyah dan akhirnya membawanya kepada tasawuf.29 Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki dan jalan yang ditempuh merupakan paduan ilmu dan amal yang buahnya adalah moralitas.30 Dalam upaya mencari kebenaran yang hakiki, al-Ghazali menempuh berbagai jalan yaitu melalui ilmu kalam, filsafat, aliran batiniyah dan tasawuf. 1. Melalui Jalan Ilmu Kalam Mula-mula beliau mengkaji kitab-kitab yang ditulis para tokoh kalam dan menulis beberapa kitab tentang persoalan kalam. Ulama kalam dilahirkan untuk membela sunnah dengan argumentasi logis
27
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. A.R. Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 164. 28 M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu …… Op. Cit., hlm. 27. 29 Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk… … Op. Cit., hlm. 17. 30 Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman…….Op.Cit, hlm.165.
sehingga mampu membongkar kepalsuan para ahli bid'ah.31 Dari sini jelas bahwa dasar yang digunakan yaitu dengan menggunakan akal disertai wahyu. Namun metode kalam tidak memuaskan al-Ghazali dalam mencari kebenaran yang hakiki, sehingga beliau kemudian menempuh jalan filsafat. 2. Melalui Jalan Filsafat Menurutnya seseorang tidak akan mengetahui sisi lemah suatu ajaran sampai ia mempelajari secara mendalam seluk-beluk ajaran yang dimaksud. Mula-mula al-Ghazali mengkonsentrasikan diri untuk belajar filsafat, sampai akhirnya paham seluk-beluk ilmu filsafat. Hal ini ditandai dengan hasil karyanya yaitu Maqasid al-Falasifah (Tujuan Para Filosuf) dan Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf). Dalam filsafat, kaum filosof terpecah dalam berbagai madzhab dan pemikiran. Hal ini merupakan akibat dari bentuk pemikiran bebas yang pada akhirnya malah mengantarkan pada kekufuran dan atheisme.32 Dari sini al-Ghazali sadar bahwa setelah mendalami filsafat, ternyata tidak mampu memenuhi hasratnya dan rasio tidak mampu mencapai segala tujuan, juga tidak mampu membuka tabir segala kesulitan. 3. Melalui Jalan Aliran Ta'limiyyah (Kebatinan). Golongan ini berpendapat bahwa mereka bisa mengerti makna segala sesuatu dengan perantaraan seorang imam yang ma'sum. Mulamula al-Ghazali mengkaji buku-buku mereka yang lama maupun yang baru, yang pada akhirnya al-Ghazali berkesimpulan bahwa ajaran Ta'limiyyah tidak mampu memenuhi hasrat orang yang ingin menjelaskan tuntas untuk menghilangkan keraguan. Juga tidak bisa membantu orang yang ingin keluar dari kegelapan akibat simpang siurnya berbagai pendapat.33
31
Imam al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali, Sebuah Otobiografi Intelerktual, tej. Achmad Khudori Soleh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 23. 32 Ibid, hlm. 27. 33 Ibid, hlm. 52.
4. Melalui Jalan Tasawuf Setelah tidak menemukan apa yang dicarinya, akhirnya alGhazali mengkonsentrasikan diri pada jalan sufi34 yang untuk mengikutinya dengan ilmu dan amal. Dalam upaya mencari kebenaran, tidak hanya menggunakan alkal semata, tapi juga mengandalkan hati yang merupakan kekekuatan intuisi (kasyaf) dalam membuka tabir Ilahy. Dari sini al-Ghazali sadar dan berkeyakinan bahwa akal pikiran saja tidaklah cukup untuk memahami kebenaran dan pengetahuan tentang kebenaran itu tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang berada di luar akal pikiran manusia, dimana dapat terjadi hubungan dengan hal-hal yang bersifat ghaib. Akal menurut al-Ghazali merupakan jembatan dalam mencapai kebenaran sejati yang mempunyai batas kemampuan. Sehingga ketika kemampuan akal mencapai titik optimumnya, tugas berpikir diteruskan oleh hati.35 Bagi Imam Ghazali, masalah kebenaran adalah sesuatu yang identik dengan kebahagiaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang identik dengan kebebasan. Dan kebebasan hanya mungkin dicapai jika manusia mampu melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap benda-benda materiel. Disinilah akal (filsafat) tidak mungkin melepaskan dari ketergantungannya terhadap benda-benda tersebut, sehingga sebagai jalan terakhirnya adalah tasawuf yang memadukan keduanya (akal dan hati). Karena sebagaiman diketahui pemikiran tasawuf itu didasari oleh kesadaran untuk mengadakan hubungan yang disadari dan sedekat mungkin dengan Tuhan yang tujuannya adalah untuk mencapai kepuasan spiritual yang merupakan kebahagiaan sejati, dan salah satunya yaitu kesabaran yang akan dijelaskan pada penjelasan berikutnya.
34
Ibid, hlm.53. Abdul Munir Mulkan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan, Sebuah Esai Pemikiran Imam al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm.106. 35
Kontradiksi pemikiran al-Ghazali juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan pikirannya, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru, bahkan guru yang benar-benar kenamaan. Akhirnya menjadi kritikus kuat, menguasai dan menyikap bermacam-macam pendapat kemudian menjadi pegangan besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan dan bukubukunya. Sehingga jelas perbedaan antara karya al-Ghazali yang ditulis pada masa mudanya yang masih kuat pengaruh logikanya dengan karya yang ditulis pada masa tuanya karena pengaruh tasawufnya.36 Dari sini jelas bahwa al-Ghazali mempunyai karakteristik dan kelainan alur pemikiran yang berbeda serta mampu membuat suatu kajian yang tidak terpengaruh oleh alam sekitarnya yaitu mutakallimin dan filosof. Ia membangun satu teori sendiri yang lebih lengkap dan komprehensif, mengimbangi teori yang telah berkembang baik tumbuh di dunia Islam sendiri pada masanya maupun teori yang berkembang di dunia barat setelah wafatnya.37 4. Karya-karya al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya.38 Al-Ghazali telah banyak menghasilkan karya-karya monumental dalam berbagai disiplin ilmu antara lain: filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tasawuf, akhlak dan otobiografi.39 Di dalam muqaddimah kitab “Ihya Ulumuddin” Dr. Badawi Thabana, menulis hasil-hasil karya al-Ghazali yang berjumlah 47 kitab, yang disusun menurut kelompok ilmu pengetahuan yaitu:
36
Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk….Op.Cit, hlm. 18. M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu……. Op. Cit., hlm. 34. 38 Ibid. 39 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali….Op. Cit., hlm. 26. 37
a. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, yang meliputi : 1). 2). 3). 4). 5).
Maqasid al-Falasifah (Tujuan para Filosuf) Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filosuf) Al-Iqtishod Fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Aqidah) Al-Munqid Min al-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan) Al-Muqashidul Asna Fi Ma’ani Asmillah al-Husna (Arti NamaNama Tuhan Allah yang Hasan) 6). Faishalut Tafriqah Bainal Islam Waz Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq) 7). Al-Qishasul Mustaqim (Jalan untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat) 8). Al-Mustadhiri (Penjelasan-Penjelasan) 9). Hujjatul Haq (Argumen yang Benar) 10). Mufsilul Khilaf Fi Ushuluddin (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin) 11). Al-Muntahal Fi ‘Ilmil Jidal (Tata Cara dalam Ilmu Diskusi) 12). Al-Madhnun Bin ‘Ala Ghairi Ahlihi (Persangkaan pada Bukan Ahlinya) 13). Mahkum Nadlar (Metodologika) 14). Asrar ‘Ilmiddin (Rahasia Ilmu Agama) 15). Al-Arba’in Fi Ushuluddin (40 Masalah Ushuluddin) 16). Ijamul Awwam ‘An ‘Ilmil Kalam (Menghalangi Orang Awan dari Ilmu Kalam) 17). Al Qulul Jamil Fir Raddi Ala Man Ghayaral Injil (Kata yang Baik untuk Orang-orang yang Mengubah Injil) 18). Mi’yarul ‘Ilmi (Timbangan Ilmu) 19). Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam) 20). Isbatun Nadlar (Pemantapan Logika) b. Kelompok Ilmi Fiqh dan Ushul Fiqh, yang meliputi: 1). 2). 3). 4). 5). 6). 7).
Al-Bastih (Pembahasan yang Mendalam) Al-Wasith (Perantara) Al-Wajiz (Surat-surat Wasiat) Khulashatul Mukhtashar (Intisari Ringkasan Karangan) Al-Mutasyfa (Pilihan) Al- Mankhul (Adat Kebiasaan) Syifakul ‘Alil Fi Qiyas wat Ta’lil (Penyembuh yang Baik dalam Qiyas dan Ta’lil) 8). Adz- Dzari’ah Ila Makarimis Syari’ah (Jalan kepada Kemuliaan Syari’ah) c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf , yang meliputi: 1). 2). 3). 4).
Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) Mizanul Amal (Timbangan amal) Kimiyaus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) Misykatul Anwar (Relung-relung Cahaya)
5). Minhajul ‘Abidin (Pedoman Beribadah) 6). Ad-Dardarul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhirah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat) 7). Al- ‘Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan) 8). Al-Qurbah Ilallahi Azza Wajalla (Mendekatkan Diri kepada Allah) 9). Akhlak al-Abrar Wan Najat Minal Asrar (Akhlak yang luhur dan Menyelamatkan dari Keburukan) 10). Bidayatul Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk) 11). Al-Mabadi Wal ghayyah (Permulaan dan Tujuan) 12). Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis) 13). Nasihat Al-Mulk (Nasihat untuk Raja-raja) 14). Al-‘Ulum al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni) 15). Ar-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci) 16). Al-Ma’khadz (Tempat Pengambilan) 17). Al-amali (Kemuliaan) d. Kelompok Ilmu Tafsir yang meliputi : 1). Yaaquutut Ta’wil Fi Tafsiririt Tanzil (Metodologi Ta’wil di dalam Tafsir yang Diturunkan), Terdiri 40 Jilid. 2). Jawahir al-Qur’an (Rahasia yang Terkandung dalam Al-Qur’an).40 Sebenarnya masih banyak kitab al-Ghazali yang tidak ditulis Dr. Al-Badawi Thabanah tersebut di atas, akan tetapi yang demikian itu telah mencukupi, karena dianggap dapat mewakili kitab-kitab karangannya yang musnah, hilang atau pun belum ditemukan.
B. Sabar Menurut al-Ghazali 1. Pengertian Sabar Manusia dalam hidupnya seringkali diberi ujian dan cobaan oleh Alah SWT, baik berupa musibah maupun nikmat. Berhasil atau tidaknya dalam menghadapi cobaan tersebut tergantung pada diri manusia itu sendiri. Allah SWT telah memeberikan petunjuk kepada hamba-Nya dalam menghadapi cobaan yang ada yaitu dengan cara bersabar diri, sehingga akan memperoleh kesuksesan dalam hidupnya. Sabar merupakan suatu maqam (tingkat) dari tingkat-tingkat agama. Adapun maqam-maqam agama itu terdiri dari tiga hal yaitu:ma’rifah, hal-
40
Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk……. Op.Cit, hlm.19-21.
ihwal dan amal perbuatan. Ma’rifah (ilmu) merupakan pokok atau dasar yang mewariskan hal-ihwal, sedangkan hal-ihwal (pembawaan) akan membuahkan amal perbuatan. Sebagai contoh, ma’rifah diibaratkan seperti pohon, hal-ihwal itu ranting sedang amal perbuatan itu buahnya.41 Dan sabar pada hakekatnya ibarat ma’rifah serta amal perbuatan itu seperti buah yang keluar dari ma’rifah. Sabar merupakan karakter yang hanya dimiliki manusia. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan nafsu birahi, sedangkan malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan kepada-Nya. Sementara pada diri manusia cenderung dikendalikan oleh dua kekuatan (potensi) yang saling mempengaruhi (menyerang) dan berebut untuk menguasainya. Yang pertama adalah potensi yang berasal dari Allah dan malaikat-Nya yang berupa pendorong agama dan akal pikiran berikut instrumennya. Yang kedua adalah potensi yang mengarah pada pengingkaran serta kontra dengan potensi yang pertama. Potensi ini merupakan pengaruh dari syetan yang berupa hawa nafsu dan seluruh instrumennya (dapat disebut juga dengan penggerak hawa nafsu) yang akan menuntun nafsu syahwat dengan semua keinginan yang dikehendaki.42 Potensi ketuhanan yang berupa unsur pendorong agama dan akal selalu memerangi pasukan syetan dengan berbagai daya upaya yang akan menjerumuskan manusia ke lembah kemaksiatan dan kehinaan. Jika dorongan agama lebih kuat dalam menghadapi dorongan hawa nafsu hingga dapat mengalahkannnya, berarti telah mencapai tingkatan (maqam) sabar. Begitu pula sebaliknya jika ia kalah oleh hawa nafsunya maka akan berhubungan dan menjadi pengikut syetan. Peperangan tersebut berlaku terus-menerus dan bertempat di hati.
41 42
al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, (Beirut: Libanon, Darul Kitab, t.t), hlm.65. Ibid.
Berbicara tentang hati (al-qalbu) menurut al-Ghazali ada dua pengertian: a. al-Qalbu (hati jantung) dalam arti segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada yaitu segumpal daging yang mempunyai tugas tertentu yang didalamnya ada rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber roh. b. al-Qalbu dalam arti yang halus bersifat ketuhanan dan rohaniah yang ada hubungannya dengan hati jasmani di atas, dimana hati dalam hal ini merupakan hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengetahuan dan arif.43 Hati (al-Qalbu) mempunyai dua pasukan yaitu: a. Pasukan lahir, berupa syahwat (nafsu, emosi) dan ghadhab (amarah, ambisi) bertempat pada kedua tangan, kaki, mata, telinga dan anggota tubuh lainnya. b. Pasukan batin, bertempat pada otak yang mempunyai kemampuan berimajinasi, merenung, menghafal, mengingat dan menduga.44 Hati manusia diistimewakan dengan adanya ilmu dan iradah. Ilmu yaitu mengetahui urusan-urusan dunia dan akhirat serta kenyataankenyataan yang bersifat akal. Sedang iradah (kehendak) maksudnya dengan adanya akal seseorang dapat melihat, menangkap akibat suatu urusan dan mengetahui jalan terbaik dalam suatu urusan, sehingga akan bangkit keinginan kearah kemaslahatan melakukan hal-hal yang menyebabkannya dan kehendak padanya.45 Jadi, yang dimaksud sabar adalah tetapnya penggerak agama dalam menghadapi penggerak hawa nafsu. Tetapnya penggerak agama adalah suatu hal (pembawaan) yang dihasilkan oleh ma’rifah, dengan memusuhi nafsu syahwat serta melawannya.46 Dengan demikian, sabar dapat diartikan mengendalikan keinginan-keinginan yang dapat menjadi hambatan dalam
43
Imam Ghazali, Keajaiban Hati, alih bahasa, Nurhickmah, (Jakarta: Tintamas, 1984),
hlm. 1. 44
Imam al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, terj. Fathurrahman, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.23. 45 Imam Ghazali, Keajaiban…….Op.Cit. hlm.15. 46 Al-Ghazali, Ihya……Op.Cit. hlm.66.
pencapaian sesuatu yang luhur atau mendorong jiwa pelakunya mendorong jiwa pelakunya mencapai cita-cita yang didamba. 2. Kedudukan Sabar Sebagian dari Iman Iman
merupakan
keyakinan
terhadap
ajaran
agama
yang
diwujudkan dengan perbuatan. Sabar sendiri merupakan sebagian dari iman, dan menurut al-Ghazali dalam hal ini ada dua pandangan. Pandangan pertama: iman diartikan sebagai pengakuan dengan ikhlas akan kebenaran ajaran Tuhan beserta amalnya. Dalam hal ini iman mengandung dua unsur yaitu keyakinan dan sabar. Keyakinan adalah ilmu pengetahuan tentang dasar agama yang diperoleh melalui petunjuk Alah SWT kepada hamba-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan sabar adalah beramal
sesuai
keyakinan.47
Sebagai
gambaran
seseorang
yang
meninggalkan perbuatan maksiat dan tetap dalam ketaatan kepada Allah Maka hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya kesabaran, yakni dengan mengekang
hawa nafsu, sehingga sabar dalam pandangan ini
dikatakan sebagian dari iman. Pandangan kedua, bahwa iman diartikan sebagai sesuatu yang membuahkan amal. Dalam hal ini iman terdiri dari sabar dan syukur.48 Belum sempurna iman seseorang bila tidak disertai dengan sabar dan syukur. Karena hidup pada intinya merupakan sebuah perjalanan yang di dalamnya pasti dijumpai dengan berbagai hal, baik yang menyenangkan atau tidak. Bila manusia mendapat kenikmatan hendaknya mendahulukan syukur kemudian diikuti dengan sabar. Karena dengan syukur, nikmat yang telah ada terasa menjadi lebih banyak dan tidak menyesatkan pemiliknya. Begitu pula jika ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan (bancana), hendaknya bersabar atas bencana itu diikuti rasa syukur. Karena pada dasarnya berbagai bencana yang ada itu adalah takdir Allah dan sebagai wahana pendewasaan diri. Dengan rasa syukur juga sebagai ungkapan 47 48
Ibid, hlm.69. Ibid.
bahwa Allah tidak memberikan musibah (bencana) yang lebih besar dari itu. 3. Pembagian Sabar Sebagaimana
diketahui
bahwa
sabar
bukan
hanya
dalam
menghadapi musibah, tetapi dalam segala aspek kehidupan. Al-Ghazali membagi sabar dalam beberapa bagian: a. b. c. d.
Sabar yang berhubungan dengan keadaan Sabar berdasarkan kuat lemahnya Sabar berdasarkan hukumnya Sabar dilihat dari kondisi yang menimpa seseorang49
Pertama, Sabar yang berhubungan dengan keadaan 1). Berhubungan dengan badaniah seperti menanggung kesukaran badan dan tetap bertahan atasnya, seperti mengerjakan pekerjaan sulit, sabar dari pukulan keras, dan sakit keras. 2). Berhubungan dengan rohaniah atau sabar diri, terbagi menjadi beberapa macam, yaitu: a.) Iffah (pemeliharaan diri) yaitu sabar menahan hawa nafsu dan seksual (kemaluan) b.) Sabar atau teguh hati menahan musibah, lawannya gelisah dan keluh kesah. c.) Mengekang atau menahan diri diwaktu kaya, lawannya yaitu sombong dengan kesenangan (al-bathar). d.) Syaja’ah yaitu sabar dalam perjuangan atau peperangan, lawannya adalah pengecut e.) Lemah lembut (hilm) yaitu sabar atau menahan diri dari amarah dan marah, lawannya at-tadhamur (pengutukan diri kepada sesuatu yang sudah hilang) f.) Lapang dada yaitu sabar pada suatu pergantian masa yang membosankan, lawannya adalah membosankan, mangkal hati dan sempit dada. g.) Kitman (menyembunyikam rahasia)yaitu sabar mernyembunyikan perkataan. h.) Zuhud, yaitu sabar atau menahan diri pada daya tarik keduniawian, lawanya adalaah rakus. i.) Qana’ah, yaitu menahan diri dari hidup berlebih-lebihan dan merasa puas atau cukup seadanya, lawannya lahap.50 49 50
Ibid, hlm.70-75. Ibid, hlm.70.
Kedua, Sabar berdasarkan kuat dan lemahnya, dalam hal ini ada tiga golongan, yaitu: 1) Orang yang dapat memaksakan penggerak hawa nafsunya sehingga penggerak hawa nafsu itu tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.Yang termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang shiddiq (Ash –Shiddiqun) 2) Orang yang tidak dapat mengalahkan hawa nafsunya kemudian menyerahkan dirinya kepada tentara setan dan tidak berjuang (bermujahadah) untuk melawannya. Golongan ini disebut orang-orang yang lalai. 3) Orang yang berjuang (al-mujahidin) yaitu orang-orang yang kadang dapat mengalahkan hawa nafsunya tetapi kadang tidak dapat.51 Sebagian orang arifin berkata bahwa orang-orang yang kuat sabarnya (ahlu’sh-shabri) itu ada tiga maqam, yaitu: 1). Meninggalkan nafsu syahwat. Merupakan derajat orang-orang yang taubat. 2). Ridla dengan yang ditaqdirkan Tuhan, ini adalah derajat orang-orang zahid. 3). Suka terhadap apa yang diperbuat Tuhannya, ini adalah derajat orangorang shiddiq.52 Ketiga, Sabar berdasarkan hukumnya. 1). Fardlu (wajib) yaitu sabar dalam menahan diri dari perbuatan yang haram menurut syariah. 2). Sunat yaitu sabar dari segala yang makruh. 3). Makruh, yaitu menerima tindakan tidak adil atau bencana yang tidak disenangi syariah. 4). Haram, misal seperti orang yang akan dipotong tangannya atau tangan anaknya, bersabar atas hal ini dengan berdiam diri maka termasuk sabar yang haram atau tidak diperbolehkan.53 Keempat, Sabar dilihat dari kondisi yang menimpa seseorang, maka tidak akan terlepas dari dua hal yaitu: 1). Yang sesuai dengan keinginannya, seperti kesehatan, keselamatan, harta, kemegahan, banyak keluarga dan semua kesenangan duniawi. Sabar pada hal ini lebih sulit karena dibarengi dengan kemampuan serta menjaga diri sehingga orang yang tidak dapat menahan (sabar) terhadap segala kesenangan dapat menimbulkan fitnah. 51
Ibid. Ibid, hlm.72. 53 Ibid. 52
2). Yang tidak sesuai dengan keinginan dan tabiatnya, ada tiga macam yaitu: a.) Yang terikat dengan pilihannya (ikhtiarnya) terdiri dari tha’at dan maksiat. a.1). Tha’at Sabar dalam ketaatan itu sangat berat bagi sesorang karena pada dasarnya manusia itu menghindari pengabdian (Ubudiyah) dan senang dipertuhan (Rububiyah). Dalam hal ini dibutuhkan sabar dalam tiga hal yaitu sebelum melaksanakan, saat melaksanakan dan setelah selesai melaksanakan. a.1.1). Sebelum melaksanakan. Niat dengan ikhlas sebelum melaksanakan ibadah (membetulkan niat) bahwa ibadahnya benarbenar karena mengharapkan keridhaaan Allah semata, tidak riya, serta tidak ingin memperlihatkan kepada manusia.
Niat
merupakan
getaran
hati
yang
merencanakan ingin melakukan suatu perbuatan dalam bentuk nyata. Niat dalam hati untuk mengantarkan suatu perbuatan dalam bentuk nyata adalah sangat penting. Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan agar meluruskan dan membenarkan niat dalam beramal agar tidak timbul perbuatan yang sia-sia serta rasa kecewa setelah perbuatan yang dilakukan berakhir.54 a.1.2). Saat melaksanakan Yaitu supaya tidak lalai pada Allah saat sedang mengerjakan dengan terus-menerus melakukannya berdasarkan syariat yang ditentukan sampai pekerjaan
54
S. Ansory Al-Mansor, Jalan Kebahagiaan yang Diridhai, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hlm.253.
itu berakhir, serta terus menerus sabar (menahan diri) dari semua yang menyebabkan lunturnya perbuatan sampai selesai (tidak tergesa-gesa). a.1.3). Setelah selesai melaksanakan Yaitu memerlukan sabar (menahan diri) untuk tidak menyiarkan perbuatan itu dan menampakkannya pada umum untuk keharuman namanya (as-sum’ah), dan riya. Dan sabar terhadap merasa bangga pada perbuatannya
serta
dari
hal-hal
yang
dapat
membatalkan perbuatan tersebut dan menghapus bekasbekasnya. a.2). Perbuatan Maksiat Perbuatan maksiat itu merupakan tempat kehendak penggerak hawa nafsu. Dan sabar yang paling sulit dari perbuatan maksiat itu adalah sabar dari perbuatan maksiat yang telah menjadi kesukaan orang menurut adat kebiasaan.55 b.) Yang tidak terikat dengan pilihannya (ikhtiarnya) dan mempunyai pilihan menolaknya. Sebagai contoh adalah jika disakiti orang lain dengan perbuatan atau perkataan baik atas dirinya maupun pada hartanya, maka bersabar pada hal ini, dengan meniadakan pembalasan yang setimpal (balas dendam) adalah lebih baik. Sebagaiman firman Allah:
(10 : )ﺍﳌﺰﻣﻞ.ﻼ ﺟﻤِﻴ ﹰ ﺍﺠﺮ ﻫ ﻢ ﻫ ﺮ ﺠ ﻫ ﺍﻳﻘﹸﻮﻟﹸﻮ ﹶﻥ ﻭ ﺎﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮ ﺻِﺒ ﺍﻭ “Hendaklah engkau bersabar terhadap perkataan yang dikatakan mereka dan menghindarlah dari mereka dengan cara yang sebaik-baiknya,” (Q.S. Al-Muzzamil:10) 56 55 56
Al-Ghazali, Ihya…...Op.Cit, hlm.74. A. Soenarjo, dkk, Al Qur'an dan terjemahnya, (Jakarta: CV. Alwaah, 1995), hlm.989.
Dalam
ayat
ini
Allah
memerintahkan
kepada
nabi
Muhammad SAW supaya sabar menahan diri menghadapi orangorang musyrik yang melontarkan kata-kata yang tidak senonoh terhadap dirinya dan Tuhannya, karena kesabaran membawa kepada tercapainya cita-cita. Dan supaya Nabi Muhammad SAW memutuskan pergaulan dengan orang-orang seperti itu dengan bijaksana tanpa melontarkan cercaan terhadap mereka.57 c.) Yang tidak masuk dalam kategori pilihan, baik awal maupun akhirnya, seperti malapetaka (musibah). Musibah tidak berarti menunjukkan celakanya seseorang. Banyak hikmah dibalik musibah yang terjadi. Dibalik musibah terdapat kebaikan bagi seseorang serta tersimpan karunia rahmat Ilahy. Begitu pula dengan nikmat, tidak selamnya dapat diartikan sebagai ridha Ilahy. Karena kadang dibalik nikmat yang ada terkandung beberapa musibah yang akan menimpa seseorang seperti fitnah. Oleh karena itu seseorang hendaknya sesalu berpegang pada prinsip kesabaran. 4. Sabar Sebagai Maqamat Dalam Tasawuf Sebagaimana telah dikemukakan pada penjelasan terdahulu, bahwa setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan bathiniyah akhirnya al-Ghazali memilih jalan tasawuf sebagai jalan hidunya. Ia yakin bahwa para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki karena jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal. Sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan hawa nafsu yang tumbuhnya atas dorongan ajaran agama. Karena sabar merupakan kondisi mental dalam mengendalikan diri, maka sabar merupakan salah satu maqam (tingkatan) yang harus dijalani oleh sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.58
57
Depag. RI, Al Qur'an dan tafsirnya, Jilid X, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti {Wakaf Milik UII}, 1995), hlm.438. 58 Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 184.
Maqam sabar merupakan tingkat kedua setelah taubat. Taubat yang sempurna, memerlukan kesabaran untuk mengendalikan nafsu ingin berbuat dosa dan menghilangkan keengganan kewajiban. Sabar sebagai maqam dalam tasawuf bisa dikatakan tercapai kalau dapat dijalankan dalam semua keadaan yang memerlukan sabar tanpa kesulitan. Karena ini membuktikan bahwa motif agamanya telah kuat, sehingga tidak bisa dikalahkan oleh motif hawa nafsunya. Jika seseorang bisa berlaku sabar dalam beberapa situasi saja, tidak dalam semua keadaan atau dalam semua situasi bias berlaku sabar dengan lebih banyak kesusahan ketimbang mudah, berarti motif agamanya belum kuat, ia sedang belajar sabar (tashabur) dan belum memilikinya. Motif agama mendapatkan kekuatan dari latihan bersabar dan dari pengetahuan. Setelah latihan kesabaran dalam waktu lama, dorongan agama menjadi kuat sehingga sabar dalam segala keadaan menjadi mudah.59 Jadi dari sini dapat diketahui bahwa tingkat kesabaran seseorang tergantung pada kemampuan berpikir (ilmu pengetahuan), banyaknya pengalaman yang dimiliki serta kekuatan dorongan agama. Kesabaran juga merupakan proses atau tahapan yang untuk memperolehnya diperlukan ilmu serta amal sehingga betul-betul dapat menjhadi orang yang sabar yaitu dapat mengendalikan diri. Kesabaran merupakan tahapan sebagai tangga dalam menuju puncak yaitu ma'rifatullah. 5. Jalan untuk dapat Memiliki Sifat Sabar Allah menurunkan suatu penyakit tentu juga menurunkan obat dan menjanjikan
sembuh.
Dan
sabar
itu
walaupun
sukar
(banyak
penghalangnya), tapi masih memungkinkan diperoleh dengan ilmu dan amal. Sabar ibarat pertarungan antara kekuatan kebaikan yang bersumber dari agama dengan keburukan yang bersumber dari hawa nafsu. Sehingga untuk memperoleh sabar ini, manusia hendaknya menguatkan motivasi
59
Muhammad Abul Quasem, Etika al-Ghazali, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), cet. I, hlm. 178.
agama dan melemahkan pembangkit hawa nafsu. Untuk melemahkan kekuatan hawa nafsu yaitu: a. Dengan cara berpuasa serta sederhana ketika berbuka puasa. Selain itu juga menjaga diri dari makanan yang dapat mengobarkan nafsu syahwat. Munculnya nafsu syahwat menurut al-Ghazali pada dasarnya bersumber dari makanan. Dengan berpuasa maka seorang akan dapat mengurangi makanan yang dapat mengobarkan hawa nafsu. b. Menghindarkan diri dari hal-hal yang secara langsung dapat mengobarkan
hawa
nafsu.
Yaitu
dapat
dilakukan
dengan
menghindarkan diri dari tempat-tempat maksiat, serta menjaga pandangan dari yang menggerakkan hati yang akan menimbulkkan hawa nafsu. c. Menghiasi diri dengan yang mubah (yang diperbolehkan), misal dengan menikah. Segala sesuatu yang diharamkan
dan disenangi
tabiatnya, berubah menjadi yang pasti dibutuhkan dalam hal-hal yang mubah. Begitu pula dengan menikah maka nafsu syahwat yang selama ini dipendam (ditahan) dalam tubuh akan dapat tersalurkan bahkan bernilai ibadah. Adapun untuk menguatkan pembangkit agama ada dua jalan yaitu: a. Memberi masukan pada pembangkit agama pada segala faedah mujahadah dan hasilnya tentang agama dan dunia. Yaitu dengan memperbanyak pikiran pada hadis-hadis atau ayat-ayat misal tentang keutamaan sabar dan akibatnya. Dengan mengetahui keutamaankeutamaan sabar maka diharapkan dapat menerapkannya dalm kehidupan karena orang tersebut telah mengetahui hal-hal yang akan diperoleh jika segala sesuatunya dilakukan dengan sabar.
b. Membiasakan dan melatih diri dengan perbuatan-perbuatan yang sulit.60 Segala sesuatu bila sudah dibiasakan, sesulit apapun pasti akan tertanam (membekas) dalam jiwa seseorang. Begitu pula jika seseorang sudah membiasakan dan melatih diri dengan perbuatanperbuatan yang sulit, diharapkan apabila suatu saat menjumpai kesulitan yang kadarnya sama ataupun lebih tinggi tidak akan putus asa, tetapi dihadapinya dengan penuh optimis dan keyakinan diri, sesulit apapun pasti ada jalan keluarnya. 6. Aplikasi Sabar dalam Pendidikan Sebagaimana diketahui bahwa sabar diperlukan bukan hanya ketika mendapat musibah saja, tetapi dibutuhkan juga dalam setiap aktivitas kehidupan, salah satunya yaitu pendidikan yang menunjukkan kualitas suatu bangsa . Karena maju dan tidaknya suatu bangsa itu tergantung dari kualitas pendidikan bangsa tersebut. Dalam pendidikan terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait dan dibutuhkan satu dengan yang lainnya. al-Ghazali menyebutkan bahwa komponen pendidikan itu terdiri dari faktor tujuan, pendidik, anak didik, alat dan lingkungan pendidikan. Untuk mengetahui aplikasi sabar dalam dunia pendidikan, penulis akan mengambil dua komponen yaitu: faktor pendidik (guru), anak didik (murid). a. Faktor Pendidik (guru) Al-Ghazali mengibaratkan pendidik sebagai matahari yang menyinari (memberi cahayanya) kepada orang lain dan ia sendiri pun bercahaya. Menurutnya syarat-syarat menjadi sosok guru ideal adalah : 1). Bersikap lembut dan kasih sayang kepada murid Dalam hal ini guru sebagai orang tua, kedua didepan murid sehingga seorang guru akan berhasil melaksanakan tugasnya
60
Al-Ghazali, Ihya……Op.Cit, hlm.80.
apabila mempunyai rasa tanggung jawab dan kasih sayang kepada muridnya sebagaimana orang tua kepada anaknya sendiri, serta mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan diakhirat yang kekal dan bahagia. 2). Memiliki motivasi mengajar yang tulus yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya serta tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Oleh sebab itu seorang guru harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagai anugerah dan rasa kasih sayang kepada orang yang membutuhkan atau memintanya tanpa rasa disertai keinginan untuk mendapatkan upah. 3). Tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Guru harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasehat, pembimbing para murid ketika mereka membutuhkannya. 4). Menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. 5). Tidak mewajibkan kepada para murid agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. 6). Memperlakukan
murid
sesuai
dengan
kesanggupannya
(mempertimbangkan kemampuan intelektual) yaitu mengajar setahap- demi setahap dan tidak beralih dari satu tema ketema yang lain kecuali murid telah betul-betul paham dan menguasai pelajaran tersebut. 7). Bekerjasama dengan murid dalam membahas dan menjelaskan (dalam memecahkan masalah). 8). Seorang guru harus mengamalkan ilmunya.61 Dengan demikian guru seharusnya dapat mengarahkan, membimbing
dan menunjukan kepada muridnya untuk mencapai
pendewasaan diri sehingga menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab serta menanamkan nilai-nilai pendidikan agama 61
Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hlm. 98-101.
dan akhlak sehingga selain pandai, murid juga memiliki akhlak yang mulia. Dalam mengajar, guru harus memandang murid sebagai individu yang utuh,
satu dengan yang lain tentu
kemampuan, bakat, kesenangan,
62
berbeda baik,
sifat karakter dan latar belakang
sosial, ekonomi dan budaya.63 Disinilah beratnya menjadi seorang guru, selain dituntut untuk mendidik membimbing serta mengarakan
murid juga sangat
diperlukan kesabaran, pemahaman serta strategi yang tepat. Karena jika tidak, maka guru akan stress dengan berbagai perbedaan yang ada pada murid. Kesabaran harus dimiliki oleh seorang guru, baik dalam melakukan tugas mendidik maupun dalam menanti hasil dari jerih payahnya. Hasil pekerjaan guru dalam mendidik seorang anak tidak dapat ditunjukkan dan tidak dapat dilihat dengan seketika. Banyak usaha atau jerih payah guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah muridnya menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat.64 Sifat sabar ada pada seorang pendidik jika pendidik itu mempunyai rasa cinta terhadap anak didiknya. Sehingga tidak berlebihanlah rupanya apa yang dikatakan Jan Lighthart sebagaimana dikutip oleh M. Ngalim Purwanto bahwa pendidikan itu harus berdasarkan cinta, sabar dan bijaksana.65 Dari sini jelas bahwa untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah karena selain harus mempunyai kecakapan dalam ilmu pengetahuan juga harus mempunyai kesabaran, tanggung jawab serta kasih sayang.
62
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran……Op.Cit, hlm.67. Abuddin Nata, Perspektif Islam……Op.Cit, hlm. 34. 64 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 144. 65 Ibid, hlm. 145. 63
b. Faktor Anak Didik (Murid) Menurut al-Ghazali akhlak harus dimiliki seseorang murid adalah : 1). Berniat mencari ilmu semata-mata untuk beribadah kepada Allah. 2). Bersikap zuhud dan memuliakan ilmu akhirat. 3). Ilmu harus dipelajari secara sistematik integtraed dimulai dari yang umum kepada yang khusus. 4). Tidak menyombongkan diri dengan ilmunya. 5). Tidak menengelamkan diri dari satu bidang ilmu saja tetapi harus menguasai ilmu pendukung lainnya. 6). Mengetahui macam-macam hubungan ilmu dan manfaatnya.66 Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu seorang murid harus membekali dirinya dengan kesabaran. Sabar dalam segala hal, terutama menuntut ilmu demi masa depan dan cita-cita sehingga seorang murid harus senantiasa berjuang dengan belajar dengan disertai berdo’a. Karena hanya orang yang mau berjuang dalam hidup ini yang bisa mencapai puncak dan menikmati lezatnya perjuangan. Sehingga benarlah apa kata pepatah “tiada bahagia tanpa penderitaan, tiada sukses tanpa ujian” dan senjata yang ampuh dalam ujian adalah sabar. Jika dalam dunia kaum sufi ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh demi mencapai puncak yaitu kedekatan dengan Allah, maka seorang sufi akan dapat memasuki tahap yang lebih tinggi apabila betulbetul telah memenuhi segala sesuatu (aturan atau hukum) dalam tahapan tersebut salah satunya yaitu tahap sabar. Begitu juga dalam pendidikan murid dalam menuntut haruslah sistematik, artinya dimulai dari tingkat dasar menuju ketingkat yang lebih tinggi. Murid haruslah sabar dalam menekuni ilmu, sehingga ia tidak boleh berpindah pada satu materi sebelum paham bentul materi tersebut. Murid juga harus sabar terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi dalam menanti hasil dan apapun hasilnya sudah seharusnya diterima dengan lapang dada. Karena tugas manusia adalah berusahan semaksimal mungkin sedangkan hasilnya Allahlah yang menentukan.
66
Ibid, hlm 106-108.